NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Tomodachi Ijou Uwaki miman no Kanojo-tachi [LN] Bahasa Indonesia Volume 1 Chapter 1

 Penerjemah: Miru-chan

Proffreader: Miru-chan


Chapter 1

Cinta Kekasihku Adalah Suplemen Kesehatan

"Yuna. Aku… ada hal yang harus kukatakan padamu."

Musim dingin di kelas tiga SMP. Pada awal Februari yang masih menyisakan hawa dingin, sepulang dari kencan dengan kekasihku di sebuah pusat perbelanjaan kecil di daerahku, aku memberanikan diri untuk membuka pembicaraan.

"Ada apa? Kenapa?"

Yuna menoleh dengan sedikit mengangkat bibir merahnya yang indah.

— Gadis secantik ini sebenarnya terlalu berharga untukku. Putri tunggal dari keluarga dokter besar yang telah turun-temurun, dengan kecantikan luar biasa dan prestasi akademik yang menonjol, membuat dirinya selalu menjadi pusat perhatian iri di sekolah.

Aku mulai berpacaran dengannya sejak musim dingin tahun lalu, setelah ia menyatakan perasaannya padaku terlebih dahulu. Banyak orang di sekeliling mengatakan bahwa kami tidak sepadan, tetapi aku benar-benar menyukai Yuna, dan kupikir toh hubungan ini tidak akan berarti banyak jika aku harus pindah sekolah, jadi aku tidak terlalu memikirkan perkataan mereka.

Ya, begitu pindah sekolah, hubungan akan terputus dengan mudah. Sama seperti sebelumnya. Baru sekarang aku menyadari bahwa hal itu juga berlaku bagi Yuna.

"Jadi begini…"

Kata-kata yang hendak kuucapkan tertelan lagi karena keberanian yang kurang. Sejak kecil, karena orang tuaku sering pindah tugas, aku berkali-kali harus pindah sekolah dan rumah. Aku sering kehilangan teman, atau mengalami hal pahit ketika orang yang kuanggap sahabat dekat ternyata lebih akrab dengan orang lain, hingga posisiku semakin tersisih. Karena itu aku sempat berpikir tidak perlu memiliki orang dekat sama sekali.

"Aku… harus pindah lagi. Ke Tokyo."

Mata Yuna yang besar semakin membelalak, lalu ia berbisik pelan,

"Kota besar, ya…"

Memang, Tokyo jelas jauh lebih besar dibandingkan Mie, tempat kami tinggal sekarang. Bagaimanapun, itu ibu kota Jepang. Orang tuaku bilang jaraknya sekitar tiga jam dari kota kecil ini yang hanya dipenuhi sawah.

"Kebetulan juga pas lulus SMP tahun ini, jadi menurut orang tua waktunya pas. Lagipula aku tidak mungkin tinggal di sini sendirian. Katanya, kalau masuk sekolah swasta, aku masih sempat mendaftar ujian masuk SMA."

"……………"

"Tokyo itu luar biasa, kan? Pasti sangat besar. Kalau aku tersesat di stasiun, bagaimana ya? Kau tahu, di TV sering bilang Stasiun Shinjuku itu seperti labirin."

Aku masih ingin membicarakan hal penting, tapi justru kata-kata sepele yang meluncur keluar. Tangan Yuna yang masih menggenggam tanganku mulai basah oleh keringat dalam diamnya. Lalu, apa yang harus kulakukan?

Berdasarkan pengalamanku, hati Yuna pasti akan menjauh. Kalau begitu, mungkin lebih baik kami putus sekarang daripada nanti. Sebab perpisahan dengan teman saja sudah begitu menyakitkan, apalagi dengan seorang kekasih. Aku pasti tidak akan sanggup menahannya.

Kalau Yuna sendiri yang mengucapkan kata putus, entah ia kemudian dekat dengan teman sekelas yang kukenal atau dengan orang asing sekalipun, itu tetap terasa sebagai hal terburuk. Hanya membayangkannya saja membuatku ingin mati. Daripada mendengar kata itu langsung darinya, lebih baik aku mengakhirinya sekarang. Kalau tidak, aku tidak akan mampu bertahan.

Apa yang sebenarnya Yuna pikirkan? Aku takut. Takut mendengar jawabannya.

— Aku ingin kau tetap menjadi kekasihku.

Hanya ingin menyampaikan hal itu, tapi suaraku tak kunjung keluar.

"Yuna. Aku… aku ingin kau…"

Tetap menyukaiku. Kata-kata yang hampir terucap dengan menyedihkan itu tertahan oleh sentuhan lembut bibirnya. Tanpa sadar aku memejamkan mata. Itu adalah ciuman pertamaku.

"Aku tidak akan pernah putus hanya karena hubungan jarak jauh."

Yuna memegang wajahku dengan kedua tangannya, menatap lurus padaku dengan mata yang nyaris tergenang air mata. Detak jantungku berdentum keras di telingaku, lebih cepat dari biasanya.

"Shiki, aku tahu kau banyak berpikir. Aku tahu juga kau pernah terluka sebelumnya. Tapi aku, aku tidak akan pernah mengkhianatimu. Tolong, percayalah padaku."

Suaranya bergetar, berbeda jauh dari suara tegasnya yang biasa, dan aku baru sadar bahwa ia pun merasakan ketakutan yang sama denganku.

"…Jangan jadikan ini alasan untuk menjauh dariku. Berusahalah. Aku juga akan berusaha sekuat tenaga agar bisa terus bersama Shiki."

Aku tidak tahu apa yang akan terjadi nanti. Namun saat itu, aku ingin percaya. Aku ingin mencoba berusaha demi bisa tetap bersama Yuna.

Setetes air mata mengalir di pipinya, lalu ia melanjutkan dengan senyum.

"Kan kau memang menyukaiku!"

Setelah itu, kami kembali ke pusat perbelanjaan. Dengan hati-hati agar tidak bertemu teman sekelas, kami membeli alat tindik telinga, lalu menuju rumahku.

Semuanya berawal dari ucapan Yuna.

"Hei, Shiki. Bagaimana kalau kita bertindik bareng?"

Tanpa menunggu jawabanku, ia langsung menarikku kembali ke jalan yang tadi kami lewati.

"Itu melanggar peraturan sekolah, nanti pasti ketahuan."

"Tidak apa-apa. Bisa disembunyikan dengan rambut kok."

Padahal sebentar lagi ada ujian masuk SMA, tapi seorang gadis terpandang seperti dia bisa-bisanya berkata begitu. Aku benar-benar khawatir, tetapi karena ia ingin, aku tidak punya pilihan selain menuruti. Lagipula aku memang pernah berniat untuk bertindik suatu saat. Jadi mungkin, sekaranglah waktunya.

Mungkin karena suasana hati sedang terbawa euforia, kami kehilangan kewaspadaan dan langsung menyiapkan proses tindik telinga. Kami mencuci tangan, membersihkan daun telinga dengan cairan disinfektan, lalu memberi tanda di titik yang ingin ditindik. Setelah itu, sesuai petunjuk di buku panduan, tinggal menempelkan alat tindik secara tegak lurus dan menekannya.

Aku menempelkan alat itu ke telinga Yuna. Ia sedikit menggeliat sambil berkata dingin, "Agak dingin." Mendengar itu, aku baru sedikit tersadar kembali.

"Benarkah ini tidak apa-apa? Bukankah orang tuamu sangat ketat soal hal seperti ini?"

"Aku tidak peduli. Sebelum kita terpisah jauh, aku ingin setidaknya punya tanda."

Melihat matanya yang berkaca-kaca, aku kembali menggenggam alat itu dengan mantap.

"Kalau begitu, aku lakukan sekarang."

Pletak.

Lubang kecil terbentuk di telinganya, dan anting pertama terpasang dengan mudah. Ternyata tidak terlalu sakit, Yuna segera bercermin lalu tersenyum tipis.

"Pas sekali. …Fufu. Aku sudah jadi ‘gadis bertanda’."

"Hei, jangan bicara seperti itu."

Ketika kuketukkan jariku pelan di kepalanya, Yuna tetap saja tersenyum bahagia, lalu segera mulai membersihkan telingaku dengan cairan disinfektan. Sensasi dingin itu terasa cukup nyaman.

"Hei, kau tahu tidak? Menindik telinga itu sebenarnya termasuk tindakan medis. Jadi kalau orang yang tidak punya izin dokter melakukannya pada orang lain, itu dianggap ilegal."

"Baru sekarang kau bilang begitu?"

"Aku kan nanti jadi dokter, jadi aman."

Tentu saja itu tidak membuat tindakannya jadi legal, tapi entah kenapa ucapannya terdengar meyakinkan.

Kalaupun Yuna bisa berdalih demikian, tetap saja aku yang melakukannya berarti sedang melakukan sesuatu yang ilegal. Aku tahu tidak mungkin hal sepele ini membuatku ditangkap, tapi tetap saja rasa bersalah yang aneh membuat dadaku gelisah.

"Tenang saja. Aku tidak akan bilang ke siapa pun. Mari jadikan ini rahasia kita berdua, yang akan kita bawa sampai ke liang lahat."

Pletak.

Lubang terbentuk di telingaku, di posisi yang sama dengan Yuna, hanya saja di telinga kiriku. Anting pun terpasang. Melihat itu, Yuna tersenyum dan berkata bahwa itu cocok padaku, lalu menyebut namaku───。

"…ki! Shiki!!"

"………Hah?"

Merasa ada yang memanggil namaku, aku berusaha membuka mata yang berat. Di sana kulihat wajah kekasihku, Fuyushiro Yuna, dengan ekspresi seakan akan menangis kapan saja.

"Ada… apa…"

"Shiki, kau tidak apa-apa!? Apa kau sakit!? Ada yang terasa sakit!? Syukurlah aku sempat datang… tunggu, aku panggil ambulans sekarang juga…!"

Kenapa dia ada di sini? …Ah, benar, aku memang pernah memberinya kunci duplikat. Tapi kenapa bisa sampai Tokyo? Kepalaku terasa masih linglung, namun aku tahu sesuatu yang penting sedang terjadi. Maka dengan tergesa aku meraih pergelangan tangannya. Tubuh mungil Yuna pun mudah sekali jatuh ke arahku.

"Hyah!"

"…Yuna…"

"A-apa!?"

"Makan… sesuatu…"

Sambil sempat berpikir hal sepele—tahi lalat di lehernya lucu juga ya—aku hanya sempat mengucapkan itu, lalu kembali kehilangan kesadaran.

Ketika membuka mata lagi, Yuna sudah berdiri di hadapanku dengan kedua tangan penuh membawa suplemen kesehatan, sambil berlinangan air mata.

Sambil menyeruput jeli yang dibawakan Yuna, aku mencoba memahami kenapa semua ini bisa terjadi. Sepertinya kejadiannya begini:

Karena libur Golden Week, aku terlalu tenggelam dalam membaca dan bermain game sampai lupa makan. Akhirnya aku pingsan karena kelaparan.

Buktinya, tanggal di layar ponsel sudah menunjukkan hari terakhir Golden Week tanpa kusadari.

Sejak musim semi tahun ini aku naik ke kelas dua SMA, aku memutuskan untuk tidak ikut lagi dalam perpindahan tugas orang tuaku. Soalnya tujuan berikutnya adalah Aomori. Setelah terbiasa dengan kenyamanan hidup di Tokyo, aku merasa tidak sanggup kembali ke kehidupan di mana harus menunggu kereta selama satu jam bila ketinggalan.

Sekali merasakan hidup di kota besar, kembali ke pedesaan jelas berat. Selain itu, di masa SD dan SMP mungkin masih mudah pindah sekolah karena itu bagian dari wajib belajar. Tetapi untuk SMA, tidak sesederhana itu. Kalau pindah, biasanya harus turun ke sekolah dengan tingkat lebih rendah. Karena SMA-ku sekarang merupakan sekolah afiliasi universitas, orang tuaku akhirnya mengizinkanku tetap tinggal di Tokyo.

Begitulah aku mulai hidup sendiri di sebuah apartemen kecil. Namun masalah terbesar adalah ketidakmampuanku memasak. Berbeda dengan bersih-bersih atau mencuci yang bisa diatasi dengan bantuan mesin, memasak tetap menuntut keterampilan dasar.

Aku, yang sejak kecil selalu dimanjakan oleh ibu rumah tangga penuh waktu, bahkan hampir tidak pernah masuk dapur. Ibuku bilang aku hanya perlu memanggang daging atau sayuran secara sederhana. Tapi aku bahkan tidak tahu cara mengatur api, sehingga semua bahan makanan selalu hangus. Setiap hari aku hanya mengunyah gumpalan gosong, sampai-sampai menangis sendiri.

Aku sempat mencoba mencari resep di internet dan berusaha keras. Namun meski sudah menghabiskan waktu lama, hasilnya selalu tidak sebanding dengan usaha. Karena itu, aku akhirnya menyerah memasak sendiri.

Hasilnya: aku jadi terbiasa tidak makan sama sekali. Dan inilah akibatnya.

"Pingsan karena kelaparan… sungguh tidak masuk akal."

"Aku tidak bisa membantah."

Setelah menghabiskan tiga bungkus jeli nutrisi yang dibawakan Yuna, aku menceritakan semuanya. Wajahnya langsung memerah karena marah.

"Dasar bodoh!! Shiki Bodoh! Tahu tidak, aku ini cemas setengah mati!?"

"A-ampun, maaf, maaf."

"Bukan sekadar maaf! Tahu tidak kalau aku tidak datang, apa yang bisa terjadi padamu!? Kau benar-benar bisa mati, tahu!?"

"Itu… mungkin saja, tapi…"

"Tidak ada ‘tapi’! Mengerti tidak perasaanku!? Punya pacar yang tinggal sendiri jauh di Tokyo, susah dihubungi, telepon tidak pernah diangkat, jelas-jelas membuatku panik, takut ada apa-apa terjadi padamu!"

"………"

"Lalu aku buru-buru naik Shinkansen sendirian, terhimpit orang banyak, hanya berbekal Google Maps untuk menemukan rumahmu. Begitu sampai, aku tekan bel berkali-kali tidak ada jawaban. Begitu masuk dengan kunci cadangan, ternyata kau tergeletak! Bisa bayangkan betapa takutnya aku!? Kau sama sekali tidak mengerti perasaanku, kan!?"

Yuna terengah-engah seperti hewan kecil yang sedang mengancam, menatapku tajam. Sudah empat tahun sejak aku bertemu dengannya, dan rasanya sudah lama sekali aku tidak melihat Yuna sekacau ini.

"Hubungan kita saja sudah cukup sulit karena jarak, jadi jangan menambah kekhawatiranku dengan hal konyol seperti ini…!"

Perjalanan dari Yokkaichi, kampung halaman Yuna di Mie, sampai ke Tokyo memakan waktu lebih dari tiga jam.

Dia anak tunggal yang sangat dilindungi keluarganya. Pasti kalau bilang ke orang tuanya akan dilarang, jadi ia datang tanpa memberi tahu siapa pun.

"…Aku tidak bisa sepenuhnya mengerti perasaanmu. Tapi aku senang sekali."

"Hah?"

"Perjalananmu sampai ke sini pasti sulit, kan. Kau benar-benar menolongku. Mungkin kau bahkan penyelamat nyawaku."

Memang, kalau Yuna tidak datang, mungkin aku sudah berakhir dibawa ambulans.

"…Jangan bercanda! Aku ini sedang marah, tahu!?"

"Benar-benar minta maaf. Terima kasih. Karena kau sudah mengkhawatirkanku."

Yuna biasanya terlihat tenang dan dingin, tapi kalau menyangkut diriku, ia sering jadi sangat emosional. Terus terang, kadang terasa agak merepotkan, tapi justru kerepotan itu pun terasa manis.

Sekarang pun, semua ucapannya lahir semata-mata karena ia benar-

benar mengkhawatirkanku.

"Yuna, kau benar-benar sangat mencintaiku, ya."

"Ini bukan saatnya bicara begitu."

"Aku justru merasa begitu. Saat membuka mata dan melihatmu ada di sana, aku merasa sangat menyayangimu. …Maaf sudah membuatmu menangis."

"U-uh… aku tidak menangis! Kau pasti berhalusinasi!"

"Tapi matamu bengkak."

Yuna memejamkan mata rapat-rapat, lalu berbisik pelan, "…Diamlah," sebelum membuka mata lagi dan langsung memelukku erat.

Aku bisa mendengar detak jantungnya yang jelas lebih cepat dari biasanya. Tubuh mungilnya pun bergetar. Mungkin bukan hanya soal aku yang jatuh sakit, tapi ia juga sempat membayangkan kemungkinan-kemungkinan buruk lain—aku berselingkuh, atau hubungan kami berakhir.

"…Aku benar-benar ketakutan."

"Ya."

"Aku sudah menduga kau pasti begini, Shiki. Tapi kau harus makan dengan benar…"

"Ya."

Dengan mata berkaca-kaca, ia menatapku lalu menyandarkan wajahnya ke leherku.

"…Shiki, aku sayang padamu. Aku sangat mencintaimu."

— Astaga, betapa menggemaskannya dia.

Aku memeluk punggungnya, mengusap lembut hingga tubuhnya berhenti bergetar.

Tak lama kemudian, Yuna kembali seperti biasanya. Sikap lembutnya hilang, dan sorot mata penuh percaya diri yang biasa sudah kembali.

"Aku tahu hidup sendiri itu berat, tapi setidaknya makanlah dengan benar."

"Tapi makan di luar mahal. Kalau mau makanan enak dan memuaskan, aku hanya bisa sekali sehari. Kalau dipikir-pikir soal uang yang dikirim orang tuaku, ya begitulah."

Mendengar itu, Yuna tampak sedih. Ia menahan diri sejenak sebelum akhirnya bicara.

"…Apa kalau begitu biar aku yang membayarnya?"

"Sudahlah, tidak usah begitu."

Keluarga Yuna memang berbeda dari kebanyakan. Mereka berasal dari garis keturunan dokter, mengelola rumah sakit besar yang semua orang di daerahnya kenal, dan Yuna adalah satu-satunya pewaris.

Karena itu ia sangat dilindungi, dan kabarnya diberi kebebasan mengatur uang dalam jumlah tertentu. Sesekali ia mengusulkan hal-hal seperti ini. Aku tahu ia tidak bermaksud buruk, justru itulah yang membuatnya lebih sulit dihadapi.

"…Maaf. Aku tahu seharusnya tidak mengatakan hal seperti itu."

"…"

"Aku ingin masuk fakultas kedokteran di Tokyo. Itu berarti aku akan sibuk belajar, jadi tidak bisa sering menjengukmu. Karena itu, biarkan aku melakukan apa yang bisa. Kalau sampai kejadian seperti hari ini terulang, aku pasti sangat khawatir…"

"Kalau begitu, belikan saja buku resep atau peralatan dapur."

"Tapi Shiki, walaupun aku belikan, kau tetap tidak akan memasak sendiri, kan."

Benar juga. Ia sangat mengerti diriku. Melihatku hanya bisa tersenyum, Yuna menghela napas panjang lalu menepuk kepalanya sendiri dengan pasrah.

"…Kalau begitu, kirimkan foto makananmu setiap siang dan malam. Kalau sampai tidak, aku akan datang lagi untuk memastikan kau masih hidup."

"Dua hari sekali saja."

"Ditolak."

"…Baiklah. Akan kucoba semampuku."

Setelah kejadian kali ini, kalau aku mencoba meremehkan dengan berkata “tidak separah itu”, mungkin nyawaku justru terancam. Dan kalau aku tidak berjanji, bukan tidak mungkin Yuna benar-benar datang tiap minggu.

Aku pun mengulurkan kelingking, dan Yuna, dengan senyum bahagia, mengaitkan kelingkingnya yang mungil. Sifat tsundere-nya yang disertai ekspresi yang kaya—itulah salah satu hal yang membuatku jatuh hati padanya.

"Ngomong-ngomong, bukankah sekarang sudah waktunya kau pulang? Aku juga sudah agak baikan, jadi biar kuantar ke Stasiun Tokyo."

Di luar jendela sudah gelap gulita. Rupanya waktu terus berjalan saat aku tak sadarkan diri, jam pun menunjukkan pukul delapan malam.

Kalau Yuna ingin pulang ke Mie malam ini—atau lebih tepatnya, kalau aku tidak membuatnya pulang, keluarganya pasti akan membunuhku—maka kami harus segera berangkat ke stasiun. Namun begitu aku berdiri, Yuna justru tersenyum manis dan mendorongku kembali ke tempat tidur. Rambut lurusnya tergerai dan menyapu leherku, membuatku geli.

Saat kusibakkan rambut indah yang terawat itu ke telinganya, terlihat anting perak kecil yang kontras dengan wajahnya yang anggun. Tiba-tiba aku teringat mimpi nostalgia yang barusan kulihat.

"Apa-apaan. Mana mungkin aku pulang dengan keadaanmu seperti ini."

"Tapi, aku tidak sakit parah. Kau juga ada sekolah…"

"Sekolahku kan negeri, besok libur."

"Kalau keluargamu?"

"Tadi aku sudah bilang pada mereka, jadi tenang saja."

…Sepertinya itu jelas bohong. Orang tuanya yang super protektif bisa saja langsung naik Shinkansen untuk menjemputnya sekarang juga.

Aku hanya bisa tersenyum kecut. Tentu saja keluarga Yuna tidak terlalu menyukaiku, karena latar belakangku biasa-biasa saja. Melihatku begitu, Yuna manyun dan berkata,

"Ada yang tidak boleh kulakukan, ya? Kau menyembunyikan buku cabul atau semacamnya?"

"Eh, tidak, tidak mungkin ada hal begitu."

"Kalau begitu, tidak masalah kan. Lagipula, sudah lama kita tidak bertemu. Aku belum mau pulang. …Boleh kan?"

Dengan tatapan memohon seperti itu, mana ada lelaki yang bisa mengatakan tidak.

Setelah itu, kami memesan makanan Jepang dan kue kecil melalui aplikasi pesan-antar. Yuna mengadakan pesta kecil sebagai perayaan pindah rumahku. Sempat kupikir ia akan berkata "biar aku yang masak," tapi begitu ia langsung memutuskan untuk pesan-antar, aku merasa lega.

Dulu, aku pernah diberinya hidangan rebusan yang rasanya jujur agak aneh. Aku tidak bisa bilang enak ataupun tidak enak, jadi diam-diam kutambahkan kecap. Akibatnya, aku tidak diajak bicara selama seminggu. Sejak itu ia tidak pernah lagi memasak untukku. Aku merasa bersalah, tapi di sisi lain, juga sedikit lega.

Omong-omong, makan malam kali ini ditraktir Yuna. Setelah memesan, aku sempat ingin memberinya uang bagianku, tapi ia memaksa, "Karena ini perayaan, aku yang ingin membayar!"

Aku sendiri jadi takut. Jangan-jangan suatu hari nanti aku benar-benar akan jadi laki-laki pemalas yang hidup dari pacarnya. Pertemuan terakhir kami terjadi sebelum aku sibuk pindahan, jadi ini pertama kalinya kami bertemu lagi setelah hampir tiga bulan. Walaupun kami hampir setiap hari berbicara lewat telepon, ada banyak hal yang tidak bisa diketahui hanya dari layar, apalagi menyentuhnya pun tidak bisa. Karena itu, aku sangat gembira saat sadar Yuna ada di dekatku, dalam jarak yang bisa kugapai dengan tangan.

"Makanan dan kuenya enak sekali. Aku ingin Shiki bisa makan seperti ini setiap hari."

Yuna berkata demikian sambil mengembungkan pipi.

Duduknya tegak, punggung lurus, memperlihatkan tata krama yang baik. Di kamar kecilku ini, seolah-olah Yuna tampak tidak menyatu dengan ruangan, seperti gambar yang ditempel secara paksa.

"Yuna."

"A—apa?"

Aku spontan mengulurkan tangan dan mengelus pipinya. Bisa kusentuh.

Kulitnya halus, menyenangkan untuk dielus, jadi aku terus melakukannya. Yuna sempat terkejut, mengernyit, lalu dengan nada pasrah bergumam, "Apa sih…," sebelum akhirnya, seperti kucing yang manja, ia menyandarkan wajahnya ke tanganku dengan mata terpejam.

Tak lama, terdengar bunyi tanda air di bak mandi sudah penuh. Sekilas, Yuna melirik ke arah sana. Entah kenapa, hal itu membuatku sedikit kesal. Jadi aku tetap menempelkan tanganku di pipinya, lalu menciumnya. Saat kubuka mata, Yuna menatapku lurus-lurus dengan mata besar yang basah.

"Kamu manis sekali."

"…Diam."

"Aduh, tidak ada satu pun saat kau tidak terlihat manis."

"T-terima kasih banyak!"

Dengan wajah memerah sampai ke leher, ia menutupinya dengan kedua tangan sambil menoleh ke samping, seakan berkata “sudah cukup.”

Imut sekali. Terlalu imut. Pacarku sungguh luar biasa imut.

"Itu sudah cukup! Cepat mandi sana! Besok kau masih sekolah, bukan?"

"Baik, baik."

Meski enggan berpisah, aku tahu itu hanya cara Yuna menutupi rasa malunya. Jadi aku menurut, bersiap mandi, lalu keluar kamar.

"Memang salahnya sendiri… kenapa imut sekali, sih…"

Aku sudah bertekad untuk tidak terlalu sering menyentuhnya. Selain karena ia begitu polos sehingga sulit bagiku untuk melangkah lebih jauh, aku juga sadar bahwa keluarganya sama sekali tidak menyukaiku. Kadang aku berpikir, mungkin sebaiknya ia berpisah dariku, agar bisa lebih bahagia.

Saat itu, kupikir jika memang harus berakhir, lebih baik jangan sampai terlalu dalam. Aku tahu itu egois. Tapi justru karena aku mencintainya, pikiran itu muncul.

Aku tidak tahu bagaimana masa depan akan berjalan. Tapi kalau kami terus bersama, kemungkinan besar aku akan kembali ke Mie, menikahi Yuna, lalu membantu mengurus rumah sakit keluarganya.

Yuna mati-matian mempersiapkan diri menghadapi ujian masuk fakultas kedokteran demi masa depan kami. Karena aku bukan calon dokter, maka Yuna-lah yang harus menjadi dokter dan meneruskan rumah sakit. Itu syarat minimum agar kami bisa melangkah ke depan. Yuna memang pintar, tapi masuk fakultas kedokteran bukanlah hal yang mudah.

Awalnya ia sudah mengikuti bimbingan belajar setiap hari, dan kini bahkan ikut kelas persiapan khusus untuk kedokteran.

"…Paling tidak, aku tidak boleh merepotkan dan membuatnya khawatir."

Yuna sedang berusaha keras. Karena itu, aku tidak boleh hanya terjebak dalam pikiran negatif. Aku pun harus menghadapi musuh besarku: masak sendiri.

Aku memutar keran shower, lalu mematikan air hangat dan keluar dari kamar mandi. Sesudah merapikan kamar mandi dan tempat cuci muka hingga sebersih mungkin, aku kembali ke ruang tengah. Yuna sudah berbaring di atas tempat tidur, tertidur pulas dengan napas yang teratur.

"…Selamat malam."

Pasti rasa lelahnya sudah menumpuk. Agar tidak membangunkannya, aku menutupinya dengan selimut, lalu menggelar futon cadangan dan ikut berbaring.

Tubuhku pun masih lemah setelah sempat tumbang, jadi kesadaranku hilang dalam hitungan detik.

Ketika aku membuka mata, hari sudah berganti pagi.

"…ki! Shiki! Bangun!!"

"Jam berapa sekarang…?"

"Jam setengah delapan! Bukannya kemarin kau bilang harus berangkat jam tujuh kalau mau sempat!?"

Dalam pandangan samar saat baru bangun, yang kulihat adalah pacarku yang manis. Aku ingin merengkuhnya, tapi kemudian kata-kata mengejutkan menampar telingaku.

"Jam setengah delapan!?"

Habis sudah. Pasti terlambat. Dari rumahku ke sekolah butuh waktu sekitar satu jam naik kereta. Bel masuk berbunyi pukul delapan lewat tiga puluh. Dengan waktu yang tersisa, jelas tak mungkin sempat.

Kupikir, kalau begitu lebih baik sekalian saja aku antar Yuna ke Stasiun Tokyo, lalu masuk sekolah dengan tenang meski terlambat.

Ide bagus, menurutku. Meski sebenarnya aku sudah sehat, aku masih bisa beralasan baru saja sembuh. Yuna pun pasti memakluminya.

"Yuna, begini…"


"Aku sudah pesan taksi, bisa siap dalam sepuluh menit!?"

Aku tidak sempat menjawab. Taksi, apa maksudnya?

"Aku juga ikut naik, setelah mengantar Shiki aku akan minta sopirnya langsung ke Stasiun Tokyo. Kalau begitu masih sempat, kan!?"

Sambil berkata begitu, Yuna dengan tergesa-gesa memasukkan barang-barangnya ke dalam koper.

Serius? Kata-kata itu melintas di kepalaku, tapi aku hanya sempat menggosok gigi, melepaskan pakaian, dipakaikan seragam oleh Yuna, dan tanpa sadar sudah berada di dalam taksi.

"Tipis banget waktunya, tapi untung bisa tepat waktu juga ya."

Yuna tersenyum lelah. Tidak ada komentar sama sekali soal berangkat sekolah naik taksi. Aku belum pernah hidup seperti ini! Memang, sejak cara berpikir pun seorang nona besar sudah berbeda. Tapi semua ini dia lakukan demi aku.

"…Terima kasih. Hati-hati di perjalanan ke Mie, ya."

"Iya. Shiki juga hati-hati. Makan yang enak, jangan lupa dengan janji kita!"

"Tentu saja."

"Sering-sering telepon juga, ya. Bukan karena aku khawatir atau apa, tapi… Shiki kan suka sama aku, jadi nggak mungkin selingkuh, kan."

Yuna menggenggam tanganku erat.

───Kamu suka sama aku, kan!

Kata-kata yang pernah dia ucapkan itu terngiang di kepalaku. Aku memang menyukai sisi Yuna yang sedikit arogan ini.

"Sudah sampai."

Suara sopir taksi membuatku mengangkat wajah. Benar saja, itu sekolahku. Waktu menunjukkan tiga menit sebelum bel masuk. Kalau lari, masih ada kesempatan.

"Kalau begitu, aku pergi! Sampai ketemu lagi!"

"Iya. Jaga dirimu baik-baik."

Aku menutup pintu dengan cepat dan melompat keluar. Sebelum masuk gerbang sekolah, aku sempat menoleh sekali lagi—Yuna melambaikan tangan dengan anggun dari jendela taksi.

Sial. Cantiknya bukan main. Kenapa aku bahkan tidak bisa mengantarnya sampai selesai!?

Dengan dorongan amarah, aku berlari menaiki tangga dan berhasil lolos dari keterlambatan tepat waktu. Setelah sampai sejauh itu, mana mungkin aku masih tega datang terlambat. Meski begitu, tubuhku benar-benar kelelahan, jadi selama pelajaran pertama aku hanya menelungkup di meja.

Saat aku setengah mendengarkan pelajaran, waktu istirahat siang pun tiba. Aku membeli mi goreng berminyak di minimarket sekolah, memotretnya, lalu menghela napas.

"Baiklah, sekarang harus bagaimana, ya…"

Sejujurnya, aku sudah mulai menyesal. Terlalu gegabah membuat janji dengan Yuna. Bagi nona besar itu mungkin tidak ada pengaruhnya, tapi ternyata makan di luar jauh lebih mahal dari dugaanku. Dan sekalipun aku masak sendiri, tidak mungkin langsung bisa menghasilkan masakan yang memuaskan.

Aku memang punya semangat, tapi sebelum jago memasak, mungkin aku sudah keburu mati kelaparan. Kalau pun aku minta tambahan kiriman uang dari orang tua, kemungkinan besar akan ditolak. Dan tidak mungkin aku membiarkan pacarku yang menanggung biaya. Sisa sedikit harga diriku tidak akan mengizinkan itu.

『Eh, kamu bisa masak nggak sih? 』

Sebagai jalan terakhir, aku mencoba menghubungi satu-satunya sahabat sekaligus teman masa kecilku, Suzu. Tapi sampai istirahat siang pun belum ada balasan. Memang biasanya begitu, tapi kali ini aku benar-benar terdesak, jadi aku coba kirim pesan lagi. Tetap tidak ada respons.

Suzu sebenarnya juga murid sekolah ini, tapi dia mengambil jurusan seni, jadi kadang datang, kadang tidak. Apalagi gedung jurusannya berbeda dengan jurusanku, jadi kalau aku nekat mencarinya pun kemungkinan besar tidak ketemu. Tidak ada pilihan selain menunggu balasan.

"Mau cari uang pun, aturan sekolah melarang kerja paruh waktu…!"

Aku menelungkup di meja sambil meratapi keadaan, sampai seorang teman yang sepertinya baru pulang berperang di kantin kembali ke kelas.

"Midoriya~ aku pulang nih."

"Selamat datang, Gokaidou."

"Jangan dinaikkan tiga tingkat. Aku Nikaidou, tahu."

Sudah jadi kebiasaan, candaan itu berulang lagi. Nikaidou Atsuya—yang sering kupanggil Gokaidou—duduk di kursinya sambil membawa roti isi daging. Sepertinya dia berhasil menang dalam perebutan di kantin.

Nikaidou adalah salah satu dari sedikit teman yang aku punya. Aku sendiri sebenarnya enggan bilang ‘sedikit,’ tapi kenyataannya memang begitu. Dengan kemampuan komunikasi pas-pasan, ditambah sering pindah sekolah sehingga terus-menerus mereset pertemanan, mempertahankan hubungan teman itu sulit sekali.

Malah bisa dibilang, di sekolah gabungan SMP-SMA ini—di mana siswa baru SMA hanya sekitar sepuluh persen—aku cukup beruntung bisa menemukan teman yang cocok.

Awalnya aku tidak menyangka bisa akrab dengan Nikaidou, yang rambutnya dicat cokelat terang dengan gaya tren anak gaul, tampak seperti perwakilan murid populer. Tapi ternyata dia ramah dan mudah diajak bicara.

Ditambah lagi, dia tahu seratus kali lebih banyak soal informasi sekolah dibanding aku. Mulai dari tenggat pengumpulan tugas sampai jadwal acara, sejak kelas satu aku sudah sering terbantu olehnya.

"Ngomong-ngomong, aku mau minta saran deh."

"Saran apa?"

"Aku pernah cerita kan, aku mulai hidup sendiri. Nah, sekarang lagi kesusahan soal makanan."

"Makanan?"

"Iya. Kemarin aku sampai pingsan gara-gara kelaparan."

Aku menceritakan kondisi makanku dan kejadian kemarin. Nikaidou menatapku dengan wajah yang jelas-jelas jengkel.

"Bikin pacar secantik itu khawatir? Gila, nggak banget, bro. Cowok SMA itu asal kenyang aja cukup. Tinggal bakar daging seenaknya, selesai!"

"Itu nggak bisa, makanya aku minta saran! Kalau makanannya nggak enak, aku jadi malas makan. Aku ini, meskipun kelihatan begini, lumayan pecinta kuliner."

"Nyebelin banget, sumpah…"

"Kedengeran loh."

"Emang sengaja biar kedengeran. Apa-apaan pecinta kuliner, dasar bego."

Aku bercanda pura-pura tersinggung, dan dia malah menatapku lebih tajam.

"Lagian, pacaran jarak jauh juga susah, ya. Kalau dia tinggal dekat, bisa sering datang buat masakin kamu."

"Mana mungkin. Lagian pacarku juga kurang jago masak."

"Itu bukan soal rasa, tapi soal kasih sayang."

"Enggak, tetap soal rasa. Sekali dua kali sih oke, tapi kalau tiap hari ya berat juga. Mending makan makanan enak dari minimarket sekalian."

"Dasar cowok nggak peka! Jangan pernah sekali pun ngomong kayak gitu di depan pacarmu!!"

"Aku nggak sebodoh itu! Dan aku juga nggak pernah ngomong begitu!"

Meski begitu, aku sadar kalau aku ini memang kurang punya kepekaan. Tapi setidaknya, aku masih cukup peka untuk tidak mengatakannya langsung di depan pacarku. Bahkan, pada dasarnya aku berusaha untuk tidak membicarakan hal-hal yang tidak ditanyakan. Soalnya, orang sering bilang mulut itu sumber malapetaka.

Namun, izinkan aku menegaskan satu hal. Aku bukan makan untuk hidup, melainkan hidup untuk makan. Kalau harus makan tiga kali sehari dengan rasa yang hambar, aku lebih memilih menyantap makanan luar biasa enak sekali tiap dua hari. Begitu makan hanya untuk sekadar gizi, menurutku itu sudah tamat riwayat. Lebih dari sekadar cinta atau usaha keras memasak, ujung-ujungnya yang terpenting tetaplah rasa.

Saat aku menegaskan itu pada Nikaidou, dia hanya menghela napas panjang seolah berkata, “Orang ini sudah tidak bisa diselamatkan,” lalu menunjukkan layar ponselnya. Di sana berjejer foto-foto makanan yang terlihat amat lezat. Rupanya itu akun Instagrum.

“Wah! Kelihatan enak banget!”

“Kamu kan sekarang nggak ikut klub, coba masuk klub memasak aja?”

“...Hah. Jadi akun ini dikelola klub memasak sekolah kita!?”

“Iya. Keren banget kan, kelihatan profesional.”

Aku buru-buru melihat nama akunnya, dan benar saja tertulis di sana: Klub Memasak Akademi Sakasaki. Jumlah pengikutnya mencapai empat puluh lima ribu orang. Meski akun itu hanya berisi foto-foto masakan, semua hidangannya terlihat begitu menggugah selera. Tidak heran populer, bahkan tanpa melihat siapa yang membuatnya, jelas kualitasnya tinggi.

Kenapa aku bisa tidak tahu hal sehebat ini? Ya, mungkin karena selama ini aku sama sekali tidak tertarik untuk memasak. Bisa jadi, sekalipun pernah dengar, aku hanya menyepelekan.

“Eh, maksudnya apa? Jadi di situ bisa belajar masak dan makan makanan seenak itu di sekolah? Gila, ini klub impian banget.”

“Ada. Dan bukan cuma enak, ada hal lain juga.”

“...Enak?”

Aku memiringkan kepala. Nikaidou menatapku seperti sedang melihat sesuatu yang tak masuk akal, lalu dengan tatapan jijik menjelaskan:

“Level ceweknya luar biasa tinggi di sana. Misalnya Sakuraba Haru, ‘Dewi’ dari kelas sebelah, atau Natsukawa Aoi, adik kelas yang imut banget—katanya sudah terkenal sejak SMP.”

“Ohh, begitu...”

Sepertinya memang terkenal. Bahkan aku, yang sering dimarahi Nikaidou karena dianggap tidak peduli lingkungan sekitar, setidaknya pernah mendengar nama-namanya. Wajahnya saja yang tidak terbayang jelas.

“Yah, tapi sekarang anggota cowoknya nol. Katanya semua yang masuk di bulan April kemarin sudah keluar.”

“Kenapa? Apa khusus cewek doang?”

“Bukan. Cowok juga bisa masuk, cuma ya… orang yang masuk klub memasak biasanya ada maksud lain, kan? Nah, sekalipun berhasil masuk, ujung-ujungnya mereka patah hati karena diperlakukan super dingin, lalu keluar sendiri.”

Aku sempat panik, mengira harapan satu-satunya sudah pupus. Tapi aku tidak bisa menyerah—satu-satunya pilihan hanyalah klub memasak!

“Ah, kalau cuma dingin begitu sih aku nggak masalah. Aku yakin bisa bertahan.”

“Serius, kamu beneran mau masuk?”

“Serius. Ini masalah hidup dan mati bagiku.”

“Padahal aku yang kasih ide, tapi kamu beneran nekat juga, ya.”

“Aku nggak punya apa-apa untuk hilang.”

Memang, temanku di sekolah hanya Nikaidou dan Suzu, teman lama sejak kecil. Sisanya ada beberapa kenalan biasa, tapi tidak ada yang benar-benar penting bagiku. Karena sering pindah sekolah, aku jadi terbiasa bersikap dingin soal pertemanan.

Jadi meski agak berat masuk ke tempat yang nyaris jadi “wilayah larangan cowok”, ini menyangkut kelangsungan hidupku. Risiko dicap cowok mesum tidak ada apa-apanya dibanding kesempatan makan enak dengan biaya murah sekaligus belajar memasak.

Setelah mendapat informasi emas dari Nikaidou, begitu jam pelajaran selesai aku langsung menuju ruang masak yang digunakan klub memasak.

“Ingin mendaftar jadi anggota.”

Begitu pintu terbuka, aku langsung mengucapkannya. Sekitar delapan siswi yang ada di dalam menatapku tajam.

Pantas saja dibilang “levelnya tinggi”—semua terlihat modis dan menarik. Saat aku sedang terkesan, seorang gadis cantik yang tampak paling dewasa di antara mereka meletakkan pisaunya lalu berjalan ke arahku. Tahi lalat kecil di samping bibirnya membuatnya semakin memikat. Dari warna sepatu dalamnya, dia jelas kelas tiga.

“...Jadi, kamu mau masuk?”

“Iya.”

“Aku Miyase Akina, ketua klub. Siapa namamu?”

“Midoriya Shiki.”

“Shiki-kun, kamu suka memasak?”

“Tidak sama sekali. Aku malah sama sekali tidak bisa, itu sebabnya aku datang ke sini.”

“Oh begitu~...”

Sepertinya tidak ada larangan untuk pemula, tapi jelas dari ekspresi ketua dan anggota lainnya bahwa aku tidak disambut baik. Pasti mereka mengira aku hanya tertarik pada siswinya. Buktinya, aku bisa merasakan tatapan penuh keraguan yang saling bertukar di antara mereka. Tapi aku tidak boleh melepas “seutas benang laba-laba” yang sudah kutangkap ini.

“Aku sungguh-sungguh serius. Mulai tahun ini aku terpaksa hidup sendiri karena urusan orang tua, tapi aku benar-benar kesulitan karena tidak bisa masak sama sekali. Sampai pacarku juga jadi khawatir banget.”

“……”

“Aku lihat akun Instagram klub ini, semua makanannya kelihatan sangat enak. Aku pikir kalau masuk ke sini, mungkin aku bisa belajar membuat sesuatu yang layak dimakan...”

Dan kalau bisa, aku ingin sesekali diberi kesempatan mencicipi masakan kalian juga.

Sambil berusaha terlihat seputus asa mungkin, aku menyampaikan alasanku. Tapi tiba-tiba terdengar suara dingin menusuk dari belakang.

“...Dasar nyebelin, ada lagi yang masuk kayak gini.”

Aku menoleh. Seorang gadis cantik dengan rambut warna teh susu pekat, diikat tinggi dengan model side tail, berdiri dengan wajah kesal. Dari warna sepatu dalamnya, dia kelas satu. Sepertinya dia baru masuk setelahku, lalu mendengar pembicaraan kami.

Tubuhnya mungil, gigi taringnya yang tampak saat berbicara membuatnya mirip hewan kecil. Tapi wajahnya yang begitu cantik, berpadu dengan ekspresi kesal itu, justru terasa menekan dan membuatku terdiam sesaat.

“Hei, Aoi-chan!”

“Memang kan? Kita repot gara-gara cowok macam begini terus.”

Sambil berkata begitu, dia meletakkan tas di atas meja, mengeluarkan celemek dari loker, lalu memakainya dengan gerakan yang sangat terbiasa.

“Aku, Natsukawa Aoi.”


Natsukawa Aoi. Aku merasa pernah mendengar namanya dari Nikaidou.

Memang benar, tak heran kalau dia jadi bahan gosip. Wajahnya memang luar biasa rupawan.

"…Ehm, aku Midoriya Shiki."

"Aku tahu. Aku sudah dengar tadi."

Ia menjawab singkat begitu saja, lalu melangkah ke arahku dan menudingku dengan jarinya.

"Ini klub memasak. Kalau terlihat sedikit saja sikapmu tidak serius soal masak-memasak, kau akan langsung kami suruh keluar."

"Eh, jadi maksudnya aku boleh masuk?"

"Boleh sih… soalnya ini klub resmi sekolah. Jadi sebenarnya tidak bisa menolak hanya karena alasan jenis kelamin."

T-tertolong…!

Begitu rupanya. Karena ini klub resmi, bukan sekadar perkumpulan, mereka tidak bisa menolak aku masuk hanya berdasarkan dugaan belaka. Aku cinta SMA Sakasaki. Suka, suka, benar-benar cinta. Maafkan aku yang sering mengutukmu.

Kalau begitu, artinya hari ini aku bisa makan enak lagi setelah sekian lama! Mantap, aku senang sekali. Semangatku langsung naik.

"Mulai sekarang, mohon bimbingannya!"

"…Aku tidak akan membimbingmu. Aku juga tidak akan memberi kontak, tidak akan memotong sayur bersama, tidak akan mengobrol.

Aku harap kau cepat keluar."

Natsukawa-san tetap tanpa ekspresi saat berkata begitu, lalu menaruh barangnya di tempat yang paling jauh dariku.

Kenapa bisa sedingin ini, sih? Apa salahku? Benar-benar awal yang buruk. Tanganku yang terulur untuk berjabat tangan diabaikan begitu saja, membuatku sedikit terpuruk. Untungnya, ketua klub tersenyum samar untuk menengahi.

"Ahaha… maaf, ya?"

"Tidak apa-apa! Bisa diterima masuk saja aku sudah sangat bersyukur!!"

Sepertinya mereka sudah lelah dengan orang-orang yang masuk klub hanya demi gadis-gadis. Jawabanku yang cepat tampaknya membuat ketua kaget. Tapi kalau sampai begitu terkejut, aku jadi penasaran sebenarnya seperti apa orang-orang yang pernah masuk sebelumnya.

Bagaimanapun, bagiku ini soal hidup dan mati—demi pacarku juga. Aku tidak berniat keluar dari klub memasak, walau dibenci seperti apa pun.

Tentu saja lebih baik kalau bisa akrab, tapi dari pengalaman pindah sekolah berkali-kali aku sudah belajar bahwa manusia tidak bisa serta-merta saling memahami. Jadi aku pun tidak berharap bisa akrab suatu saat nanti. Maaf saja untuk Natsukawa, tapi aku akan bertahan di sini dengan mental baja.

"Baiklah. Untuk permulaan, mari kita lihat kemampuanmu dulu."

Ketua klub berkata begitu sambil menyerahkan sebuah buku resep kepadaku.

"Di klub memasak ada aturan, setiap anggota baru harus membuat

satu hidangan dari buku ini untuk mengukur tingkatannya. Silakan pilih salah satu menu."

Aku membuka-buka sekilas. Isinya ada hamburger, nikujaga, nasi goreng—semuanya sudah berbentuk hidangan jadi. Untukku yang bahkan tidak bisa membuat tumisan sederhana, ini jelas terlalu sulit.

"Ehm, sepertinya semua tidak bisa. Aku benar-benar pemula. Aku datang ke sini untuk belajar dari awal!"

"Kalau begitu, cukup tamagoyaki saja. Tinggal kocok lalu goreng, kan mudah."

"Masalahnya aku bahkan tidak pernah bisa memecahkan telur dengan benar. Bagaimana caranya agar bisa pecah tanpa cangkangnya ikut masuk?"

Sorot mata ketua klub yang awalnya penuh perhatian, seketika berubah jadi campuran iba dan ngeri.

Tunggu dulu. Jangan tinggalkan aku!

"…Pokoknya coba dulu, ya!"

Ketua Miyase bertepuk tangan dua kali untuk mencairkan suasana, lalu menyerahkan celemek dan telur padaku.

Setelah menghabiskan waktu begitu lama, hasil tamagoyakiku akhirnya jadi. Warnanya sama sekali tidak menyerupai kuning telur, malah lebih mirip arang. Di beberapa bagian bahkan masih terlihat serpihan putih dari cangkang.

"Ahaha… inilah tingkatanku."

Tanpa perlu dicicip pun orang bisa tahu betapa rendahnya

kemampuanku. Namun mungkin karena rasa tanggung jawab sebagai ketua, Miyase-senpai tetap mencoba sepotong.

"Ugh…"

Ia mengerang, lalu terdiam tanpa komentar.

"Senpai, aku malah salut bagaimana bisa terpikir masuk klub memasak dengan kemampuan seperti itu."

Perkataannya, entah sindiran atau pujian tulus, meluncur dari mulut Natsukawa-san yang kebetulan melihat. Itu menancap langsung di dadaku, ditambah tatapan dingin dari anggota lain yang kini punya alasan berbeda untuk menatapku tajam.

Dalam suasana yang hampir seperti suasana duka, aku akhirnya resmi berhasil masuk klub memasak.

Malam harinya. Aku menelpon Yuna lewat video call untuk melaporkan kejadian hari ini.

Sejak kami menjalani hubungan jarak jauh, kami sudah membuat janji untuk selalu video call tiap Senin, Rabu, Jumat, dan Minggu pukul sebelas malam. Terus terang kadang terasa merepotkan, tapi kalau tidak begini hubungan kami pasti akan cepat renggang. Karena itu, sejauh ini aku tidak pernah absen sekalipun.

"Halo~"

『Halo. Untung tadi pagi kamu tidak jadi terlambat. Setelah itu bagaimana, tidak ada masalah dengan badanmu? 』

"Syukurlah, berkat doamu."

『Syukurlah 』, kata Yuna dengan suara lega yang jelas terdengar bahkan lewat telepon, wajahnya pun tampak mengendur.

"Syukurlah juga kamu bisa pulang dengan selamat. Setelah itu tidak apa-apa? Mendadak datang dan menginap di tempatku… kamu tidak dimarahi?"

『Tak disangka, ternyata baik-baik saja. Sepertinya aku sudah agak diabaikan. Asal mau meneruskan usaha keluarga, itu saja sudah cukup. 』

Yuna tersenyum terpaksa, jelas terlihat ia sedang menutupi perasaan, lalu dengan nada ceria mencoba mengganti topik.

『Oh ya, makan malammu tadi kelihatan enak sekali. 』

"Bagus kan. Aku masuk klub memasak, jadi bisa numpang makan di sana."

『Kamu… masuk klub memasak? 』

"Jangan kaget begitu. Aku memang memutuskan untuk berusaha, supaya kamu tidak khawatir. Aku juga ingin menepati janji kita."

『Begitu, ya. 』

Yuna sempat terdiam, lalu tersenyum malu dan berkata, 『Semoga bisa bertahan lama』. Wajahnya yang bahagia membuatku merasa usaha masuk klub benar-benar tidak sia-sia.

"Nanti kalau sudah lumayan jago, aku masakkan juga untukmu."

『Benarkah!?』

"Kenapa sih kagetnya begitu?"

『Soalnya aku senang sekali. Kalau Shiki bisa masak enak, aku sangat terbantu. 』

Ucapan itu jelas berasumsi tentang masa depan bersama. Aku tidak membencinya, tapi jalan menuju masa depan itu terasa masih panjang, jadi aku agak bingung merespons. Mungkin menyadari ekspresiku, Yuna bertepuk tangan dan kembali mengganti topik.

『Ngomong-ngomong, klub memasak itu isinya anak perempuan semua, kan? 』

"…Yah, memang begitu sih."

Bahkan lebih dari itu, klubnya memang hanya ada perempuan.

Aku sempat menegakkan badan, siap kalau-kalau Yuna akan memintaku berhenti. Namun ia justru tersenyum nakal.

『Kira-kira Shiki bisa berbaur?』

"……………Entahlah."

Aku ingin membantah, tapi perkataan Natsukawa-san siang tadi terlintas kembali di kepalaku. Benarkah aku bisa bertahan?

Setelah jeda sejenak, aku menjawab begitu, dan Yuna terlihat sedikit canggung tapi juga agak lega. Yuna biasanya rasional dalam banyak hal. Ia tidak gampang marah hanya karena aku berbicara dengan gadis lain, dan juga tidak curiga. Namun sejak hubungan kami jadi jarak jauh, sesekali rasa cemas itu bocor keluar. Dan entah kenapa, justru itu membuatnya terlihat sangat manis. Kalau aku bilang begitu, mungkin dia akan marah.

『Kenapa senyum-senyum? Mumpung ada kesempatan, manfaatkan untuk cari teman dan belajar masak yang benar, ya?』

"Baiklah, aku akan berusaha."

Terus terang, keduanya terasa sulit. Tapi tak ada pilihan lain selain mencoba.

Aku mengepalkan tangan, menunjukkan pose siap bertarung ke arah layar tempat Yuna tersenyum.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

0

Post a Comment


close