NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Tomodachi Ijou Uwaki miman no Kanojo-tachi [LN] Bahasa Indonesia Volume 1 Side 2

 Penerjemah: Miru-chan

Proffreader: Miru-chan


Side: Sakuraba Haru

“Nafsu Makan yang Tergugah”

Makanan yang kubuat sendiri… rasanya tidak ada.

Kalau aku bilang begini, mungkin Midoriya-kun akan terkejut, tapi aku rasa orang yang sering masak untuk dirinya sendiri cukup banyak yang merasakan hal sama. Kecuali kalau memang benar-benar suka memasak, biasanya rasanya bisa ditebak sejak awal.

Aku menyuapkan masakan tanpa nama—sekadar tumisan daging dan sayur. Aku makan hanya supaya tidak mati, bukan karena merasa lapar.

Sejak sekitar setengah tahun lalu, aku tidak pernah merasa benar-benar lapar, dan makanan pun tidak terasa enak.

“...Apa ini sebenarnya enak?”

Aku makan hanya demi bertahan hidup. Sekalipun pandai memasak, mana mungkin setiap hari membuat masakan yang rumit. Kalau hanya untuk dimakan seorang diri, apalagi.

Aku menatap lembaran uang seribu yen yang ditinggalkan ibuku, sambil mengunyah makanan yang hanya terasa teksturnya saja.

Awalnya, aku belajar memasak mati-matian demi ibu. Karena beliau selalu bilang enak, berapapun waktu yang kuhabiskan untuk masak, rasanya semua terbayar.

Sekitar setahun lalu, ibu berganti pekerjaan. Aku mengerti betul bahwa kerja malam itu melelahkan, tapi tetap saja rasanya sepi. Kalau tidak mendengar beliau bilang enak, aku bahkan tidak tahu apakah makanan yang kumakan ini sebenarnya enak atau tidak.

“Ini… benar-benar enak, kan?”

Aku bergumam pelan seolah ingin meyakinkan diri, lalu kembali menggerakkan sumpit. Karena Midoriya-kun makan dengan lahap sambil berkata enak berkali-kali. Mengingat dirinya, tanpa sadar aku tersenyum. Bagaimana bisa dia makan dengan wajah sebahagia itu? Melihat ekspresi seperti itu membuatku ingin memasakkan apa pun untuknya.

“Terima kasih atas makanannya.”

Saat sadar, makananku sudah habis. Aku merapikan piring, membawanya ke dapur, lalu langsung mencuci.

Makan yang hanya sekadar formalitas seperti ini rasanya hampa. Karena perasaan jadi murung, aku mencoba memikirkan hal menyenangkan. Besok ada shift kerja paruh waktu. Memang terasa berat, tapi aku bisa bertemu dengan Midoriya-kun.

“Nomor dua belas sudah jadi, silakan!”

Kerja paruh waktu di dapur restoran keluarga itu cukup berat. Jam sibuk sore hari di hari kerja benar-benar seperti medan perang. Kalau Midoriya-kun yang ada di sini, dia pasti langsung tumbang.

Sekalipun ikut pelatihan karyawan baru, sepertinya tetap tidak akan bisa. Soalnya, dia bahkan bisa sampai membakar telur gulung meski aku sudah mengajarinya langsung.

“...Fufu.”

Tapi bersama Midoriya-kun terasa menyenangkan. Dia tahu rahasiaku, jadi aku tidak perlu repot berpura-pura. Dan saat makan bersama dia, makanan benar-benar terasa. Ada rasa, bukan sekadar tekstur. Sejujurnya, aku ingin makan bersama setiap hari. Tapi belakangan ini, dia makin jarang menghubungi. Kadang juga tiba-tiba membatalkan janji dengan alasan ada urusan penting. Aku tidak mau mengakuinya sebagai rasa sepi, tapi tetap saja hatiku terasa sumpek.

“Padahal… tidak ada orang lain yang bisa dia andalkan selain aku.”

Srett, srett. Suara pisau memotong bawang menggema. Aku geser potongan itu ke tepi talenan.

Katanya, dia tidak banyak punya teman. Setiap kali kulihat di sekolah, dia hanya bersama satu orang yang sama, atau sendirian membaca buku. Kalau dia punya banyak teman, mana mungkin dia tiba-tiba datang padaku minta diajari masak.

Kupikir paling tidak akan muncul gosip kalau aku pernah masakkan sesuatu untuknya, atau minimal kami kelihatan akrab. Tapi ternyata tidak. Mungkin karena dia memang tidak banyak berteman… atau mungkin karena dia hanya orang baik. Mungkin keduanya.

Aku belum bisa benar-benar percaya penuh padanya, tapi dia jelas bukan tipe orang yang suka menyebarkan cerita. Justru sebaliknya, gara-gara aku sering meliriknya dari lorong, malah aku yang ditanya temanku apakah kami kenal.

Aku mengelak seadanya, lalu coba bertanya pendapat mereka tentang Midoriya-kun. Jawabnya: “Kan anak kelas persiapan ujian, jadi nggak tahu banyak. Tapi orang itu agak misterius, ya, ada auranya gitu.” Aku malah bingung menanggapi.

Misterius? Padahal saat makan masakanku sambil bilang enak, wajahnya jelas-jelas polos dan kekanak-kanakan. Setiap kali berpapasan di lorong, jantungku berdebar. Aku sering meliriknya, tapi tidak pernah sekali pun mata kami bertemu. Bukan karena dia sengaja menghindar, tapi entah kenapa dia tidak pernah melihat ke arahku.

Anehnya, begitu aku datang ke rumahnya, dia justru menatapku dengan mata berbinar. Rasanya aneh sekali.

“Ya… tidak buruk sih.”

“Haru-chan, barusan bilang sesuatu?”

“Ah, tidak. Bukan apa-apa.”

Aku tersenyum, lalu manajerku, Enoshima-san, membalas dengan, “Kalau begitu bagus,” sambil merangkul punggungku dan mengusapnya.

Aku merinding seketika.

“Bisa sebentar? Aku mau bahas soal jadwal minggu depan, ikut aku ya.”

“...Tidak bisa di sini saja?”

“Soalnya ini cuma buat kamu yang boleh dengar. Rahasia berdua gitu, lho.”

Ini tidak bagus. Tapi sebagai bawahan, aku tidak punya pilihan untuk menolak. Aku dibawa ke ruang belakang tempat stok barang disimpan. Di sana ada kursi sederhana di sudut ruangan. Dia bilang lebih enak duduk berdampingan, jadi aku menurut.

Begitu duduk, kalimat pertamanya langsung:

“Haru-chan, akhir-akhir ini kamu menghindari aku, ya?”

“Tidak ada begitu…”

“Ada kok. Dulu sebelum kamu punya pacar, kita sering makan bareng, kan. Pacarmu pasti melarang, ya?”

Aku menahan kalimat, ya jelas saja kalau aku punya pacar aku tidak akan sering makan berdua denganmu. Kenapa dia menganggap seolah-olah aku pasti ingin pergi makan dengannya, sih?

“...Maafkan saya.”

“Ya sudahlah! Tapi ayo lain kali kita pergi minum diam-diam.”

“Saya masih di bawah umur, lho?”

“Ada izakaya yang tidak pernah periksa umur. Kamu pasti pengin coba minum, kan? Kapan kamu kosong?”

Tidak bisa. Orang ini sama sekali tidak bisa diajak bicara baik-baik. Aku menahan reaksi penolakan sekuat tenaga, lalu hanya bisa tersenyum kaku. Kakiku gemetar ketakutan. Senyumku terasa kaku. Tubuhku sulit digerakkan.

“Akhir-akhir ini saya sibuk…”

Meski begitu, aku benci diriku sendiri yang tetap tidak bisa berhenti dari kerja paruh waktu ini. Andai saja aku lahir di keluarga yang lebih berkecukupan, mungkin tidak perlu merasakan hal seperti ini.

…Apakah memikirkan hal seperti ini berarti aku anak yang tidak berbakti?

Sambil berpikir begitu, aku mengeluarkan ponsel dan membuka LIME. Tidak boleh terlalu lama, nanti malah menimbulkan kecurigaan. Dengan cepat, aku mengetik pesan ke Midoriya-kun: ‘telepon aku’.

Kebetulan hari ini aku dapat shift malam. Masih ada sekitar tiga jam lagi sebelum selesai, jadi tentu mustahil memintanya datang ke sini. Tapi kalau Midoriya-kun menelponku, mungkin aku bisa punya alasan untuk keluar sebentar.

“Maaf, jadwal saya penuh. Sepertinya sulit.”

“Kalau begitu, setelah selesai kerja bagaimana?”

“Pacar saya akan menjemput, jadi…”

“Ah—… begitu ya.”

Padahal sudah tahu, tapi dia masih pura-pura tidak tahu.

Sambil menyeringai, manajer berkata, “Katanya dia teman sekelasmu waktu SMA, ya?” Aku merasa ada sesuatu menyentuh pahaku. …Tidak mungkin itu hanya kebetulan! Sekujur tubuhku merinding.

“Memang dia tinggi, tapi wajahnya biasa-biasa saja kan. Tidak sebanding dengan Haru-chan.”

“……”

“Coba pikir lagi, sebenarnya—”

“Itu bukan urusan Anda. Saya menyukai dia.”

Tanpa sadar kata-kata itu meluncur dari mulutku. Padahal bisa saja dia marah mendengarnya. Tapi sesuatu yang seperti magma di dalam diriku sudah terlanjur meluap.

…Aku menyukai Midoriya-kun? Aku?

“Eh, maksudku—”

Melihat wajah manajer yang jelas-jelas menegang, aku tak bisa mengendalikan kata-kataku. Saat itu juga, nada dering purururururu terdengar. Aku tidak sempat langsung mengangkatnya. Manajer menatapku, lalu mungkin karena kesal dengan suara dering yang tak henti, dia berkata, “Angkat saja.”

Dengan penuh harap, aku menekan tombol terima. Lalu terdengar suara berat yang menenangkan—suara Midoriya-kun.

“Gawat!”

“Gawat?”

“Adik Sakuraba tadi pingsan di sekolah! Mereka minta kamu segera menjemput!”

“Eh!?”

“Aku akan ke sana, jadi kamu cepatlah keluar begitu selesai shift!”

Manajer jelas mendengar suara itu, dan buru-buru menarik tangannya dari pahaku. Dengan suara terbata-bata ia berkata, “Ka-kalau keadaan darurat, ya mau bagaimana lagi.”

Sepertinya meski hanya lewat telepon, ia merasa terpojok mendengar suara pacarku. Aku segera keluar ruangan, berganti pakaian, lalu lari lewat pintu belakang.

“Mi… Midoriya-kun!!”

Begitu melihat wajahnya, aku hampir menangis dan spontan memeluknya. Jaket hitam kesukaannya berbau aneh—campuran pelembut pakaian dan aroma jemuran dalam ruangan. Bukan aroma yang bisa disebut harum, tapi entah kenapa membuatku tenang. Aku menarik napas dalam-dalam. Rasanya aku tidak ingin melepaskannya.

Dia tampak sedikit bingung, tapi tidak menolakku. Kehangatannya membuatku merasa aman.

“...A-ah, kamu baik-baik saja? Tadi aku asal saja, tapi benar ya?”

“Iya. Sempurna, seratus dari seratus.”

“Syukurlah. Soalnya kamu jarang sekali minta ditelepon, jadi kupikir ada keadaan darurat. Aku panik.”

Benar-benar ide yang brilian. Padahal aku tidak punya adik. Tapi manajer tidak tahu, jadi langsung percaya.

“...Mendadak begini, maaf ya. Terima kasih banyak.”

“Tidak usah dipikirkan. Lagipula rumahku dekat, dan ini demi makanan juga, kan?”

Nada santainya membuatku merasa lega. Aku ingin Midoriya-kun tetap tersenyum seperti itu, meski tidak tahu alasannya.

“Ayo, cepat naik,” katanya sambil menepuk-nepuk boncengan sepedanya.

“...Kalau ketahuan bisa repot, lho.”

“Tidak apa-apa. Kan darurat.”

Aku mengernyit, tapi dia hanya tertawa lepas. Biasanya aku tidak akan mau, tapi hari ini… tidak apa-apa. Anggap saja pengecualian.

Aku naik ke boncengan, lalu menggenggam erat lengan jaketnya yang agak lusuh.

“Benar-benar, terima kasih.”

“Siap. Nanti balas saja dengan hamburger buatanmu.”

“Baiklah. Aku akan buatkan.”

“Yesss. Kalau hamburger kuah juga boleh, kan?”

“Tentu. Bahkan hamburger saja bisa kubuat kapan saja untukmu. Kalau mau, kamu bisa minta hal lain juga.”

“Tidak ada yang lebih mewah daripada hamburger di dunia ini… oh iya, tolong ajari aku belajar, ya? Minggu depan ada ulangan, aku agak kacau.”

“Fufu. Baiklah, akan kuajari.”

Mendengar jawabanku, Midoriya-kun langsung bersenandung gembira sambil mengayuh sepeda. Pemandangan yang biasa kulihat saat pergi ke rumahnya, kini mengalir pelan karena dia sengaja mengayuh dengan kecepatan lambat agar aku tidak terjatuh.

──“Saya menyukainya.”

Ucapan yang kulontarkan pada manajer tadi bergema lagi di telingaku. Sebagai teman, tentu saja. Tidak lebih dan tidak kurang. Aku tidak mungkin jatuh cinta hanya karena kebaikan kecil.

Memang, Midoriya-kun itu baik. Senyumnya manis saat makan. Tapi dia bukan tipeku. Tipeku adalah pria yang mandiri, pintar, dan dewasa. Yah, meskipun aku belum pernah benar-benar menyukai siapa pun, jadi semua itu cuma bayangan di kepala.

Apakah mungkin menyukai orang yang bukan tipe kita?

“...Midoriya-kun itu sama sekali bukan tipeku.”

“Haha. Aku tahu.”

Aku refleks menutup mulut. Rupanya, apa yang kupikirkan langsung terucap. Dan lebih parah lagi, dia mendengarnya.

Benar, Midoriya-kun memang bukan tipeku. Dan kami hanya sekadar rekan kerja sama. Mengatakan hal itu tidak akan membuat suasana canggung. Malah… justru lebih mudah begitu.

Sebenarnya, salah satu alasan besar aku mau bekerja sama dengannya adalah karena kupikir dia tidak akan jatuh cinta padaku. Waktu kulihat kulkasnya benar-benar kosong, aku justru merasa bisa mempercayainya. Namun, ketika dia sendiri berkata kalau dia sudah tahu hal itu, entah kenapa aku merasa sesak.

Harus cepat. Harus segera kuperbaiki ucapanku tadi. Tapi kalau aku mengoreksinya sekarang, justru terdengar seolah-olah aku ingin mengatakan bahwa Midoriya-kun adalah tipeku. Aku harus bilang sesuatu.

Begitu kupikir, kata-kata tak juga keluar, dan yang bisa kulakukan hanyalah menarik lengan jaketnya.

“Uwo. Kenapa?”

Midoriya-kun menghentikan sepedanya dan menoleh ke belakang. Sempat terpikir kalau ternyata bulu matanya lumayan panjang, lalu aku buru-buru melepaskan jaket yang tadi kugenggam.

“...Maaf. Tidak ada apa-apa.”

Saat aku mengatakan itu, Midoriya-kun hanya tertawa kecil, “Apaan sih,” lalu kembali mengayuh sepedanya.

Hanya itu saja, tapi rasanya membuatku bahagia. Aneh. Apa jantungku rusak, ya?

Sampai sekarang, rasa lega karena dia datang menolongku masih belum hilang. Saat aku keluar lewat pintu belakang restoran dan melihat sosok Midoriya-kun, aku sempat berpikir, andaikan saja Midoriya-kun benar-benar pacarku, betapa bahagianya aku.

Aku sebenarnya tidak suka anting karena kesannya urakan, tapi entah kenapa, kalau Midoriya-kun yang memakainya, justru terlihat keren.

Lain kali, aku ingin datang lagi ke klub memasak. Aku ingin tahu bagaimana Midoriya-kun di sana. Apa dia kesulitan? Kalau iya, aku ingin menolongnya.

Sepeda berguncang pelan di jalan. Angin yang menyapu pipi terasa menyenangkan. Dan begitu apartemen tempat Midoriya-kun tinggal mulai terlihat, entah kenapa aku merasa sangat tenang, hampir menangis, dan dalam hati hanya ada satu keinginan: aku ingin bisa memasak makanan yang lebih enak lagi.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

0

Post a Comment


close