NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Tomodachi Ijou Uwaki miman no Kanojo-tachi [LN] Bahasa Indonesia Volume 1 Chapter 5

 Penerjemah: Miru-chan

Proffreader: Miru-chan


Chapter 5

Pengantaran Cream Stew

Haru: “Hari ini sepertinya aku bisa mampir ke klub, kalau kamu tidak keberatan mau pergi bersama?”

Pesan seperti itu dari Sakuraba datang di siang hari, tepat ketika aku selesai makan siang, gula darah naik, dan mulai mengantuk.

Memang, dia bilang hari ini kebetulan tidak ada shift kerja paruh waktu. Tapi seharusnya di hari langka seperti itu dia lebih baik beristirahat dengan tenang. Atau mungkin dia merasa canggung kalau tidak segera menampakkan diri di klub?

Karena tidak ada alasan untuk menolak, aku mengucek mata yang berat dan menjawab singkat, “Tentu saja.” Katanya dia cukup dekat dengan Natsukawa, jadi pasti anak itu akan sangat senang.

“...Pelajaran berikutnya apa ya?”

Nikaidou di bangku belakang bertanya.

“Sejarah dunia.”

“Syukurlah. Aku suka sejarah dunia.”

“Oh ya? Bagian mana yang kamu suka?”

“Seru saja. Nama orang Jerman itu seperti nama senjata.”

“Apaan tuh cara pandang aneh begitu.”

Sambil mengobrol kosong tentang hal-hal yang lima detik lagi juga bakal dilupakan, aku melamun. Saat itu, kulihat Sakuraba di lorong.

Mungkin karena ada kelas pindahan.

“Ah, itu Sakuraba-san. Hari ini pun tetap memancarkan aura dewi.”

Mendengar ucapan Nikaidou, entah kenapa aku merasa ada semacam rasa puas. Di tengah lingkaran gadis-gadis yang berkilauan, Sakuraba tersenyum lembut. Dia jelas yang paling cantik di antara mereka, dan tak mungkin ada yang bisa membayangkan sosoknya sedang membuat sup babi di rumahku. Apalagi membayangkan wajahnya yang gembira saat mencicipi masakan lalu berkata, “Hari ini berhasil dengan baik.”

Midoriya Shiki: “Lihat ke sini.”

Karena tiba-tiba terlintas ide, aku mengirim pesan lewat LIME. Saat melewati depan kelas kami, Sakuraba melirik ke layar ponselnya. Ia menoleh ke kiri-kanan dengan canggung, lalu menemukan sosokku di dalam kelas. Seakan berkata “ketemu!”, matanya menyipit kecil dan ia tersenyum nakal.

“Pffft.”

Tanpa alasan jelas, aku ikut tersenyum lebar. Seketika kantuk hilang. Oke, aku harus semangat di pelajaran berikutnya.

Ketika Nikaidou berisik, “Eh, barusan Sakuraba-san ngeliat ke sini, kan!?” aku memilih mengabaikannya dan bersiap untuk pelajaran sejarah dunia. Namun tiba-tiba pundakku disikut.

“Kamu senyum-senyum sendiri. Jangan-jangan baru sekarang jadi fans Sakuraba-san?”

“Berisik...”

Rasanya ingin bilang kalau dia malah sering ke rumahku buat ngajarin masak. Tapi ya, jelas tak bisa.

Aku menahan senyum yang terus-menerus ingin muncul dan menelungkup di meja. Saat itu, ponselku—yang sudah kuatur dalam mode senyap—bergetar pelan. Sepertinya dari Sakuraba. Aku langsung menegakkan badan dan memeriksa.

Haru: “Apa-apaan barusan──!? Kaget tahu!”

Hanya sepenggal kalimat itu, tapi aku tidak bisa melepaskan pandangan, bahkan berkali-kali kubaca ulang. Karena di sekolah kami jarang bicara, jadinya terasa segar, ada nuansa istimewa. …Aku suka perasaan ini. Bukan berarti aku sedang main hati. Toh dia sendiri pernah bilang aku bukan tipenya.

Dengan itu, aku balikkan ponsel dan menyimpannya ke dalam meja. Tak lama, bel tanda pelajaran berbunyi, kelas sejarah dunia pun dimulai. Namun beberapa kali bayangan senyum nakal Sakuraba melintas di kepalaku, membuatku sama sekali tidak bisa fokus.

Kalau ditanya apakah aku dan Sakuraba berteman, rasanya bukan. Tidak seakrab hubunganku dengan Nikaidou atau Suzu. Awalnya aku pikir hanya sekadar hubungan saling membantu, tapi sekarang rasanya sudah ada sedikit rasa keterikatan.

Saat bersamanya terasa menyenangkan, melihat senyumnya pun membuatku ikut bahagia. Karena tahu ada orang-orang aneh yang pernah mengganggunya, aku jadi ingin melindunginya. Kalau ini bukan cinta, bukan pula sekadar persahabatan, lalu apa sebenarnya? Naluri untuk melindungi, mungkin?

Sambil setengah mendengarkan obrolan guru yang membosankan, aku tenggelam dalam pikiran itu.

Sore harinya. Aku menghabiskan waktu di tangga dekat ruang masak, sambil menatap ponsel.

Tiba-tiba terdengar suara langkah menuruni tangga. Rambut ikal yang bergoyang lembut. Gadis cantik yang membuat siapa pun di sekolah merasa beruntung hanya dengan melihatnya sekilas. Sakuraba, dengan tergesa, berlari ke arahku.

“Maaf ya, tiba-tiba ngajak gini.”

“Nggak apa-apa. Aku juga memang mau ke sana. Lagi pula, kalau lama nggak muncul pasti canggung juga, kan?”

Sepertinya dia bahkan belum menghubungi Natsukawa, yang katanya dekat dengannya. Bisa jadi, Sakuraba jauh lebih gugup daripada yang kubayangkan. Hubungan antarperempuan memang rumit, tak mudah kumengerti. Mungkin karena itulah dia memilih menghubungiku, orang yang tak terikat dengan apa pun.

Saat menuruni tangga, wajah Sakuraba tersenyum samar, tapi masih tampak sedikit tegang. Oke, saatnya kasih kabar baik!

“Hari ini menunya cream stew, lho.”

“Ah, itu aku sudah lihat di grup LIME—”

“Senpa──i!”

Sebuah suara yang sangat kukenal tiba-tiba terdengar. Pada saat bersamaan, dug! lenganku terkena benturan cukup keras, lalu segera saja ada lengan mungil yang melingkar erat di sana.

Anak ini, seolah merasa bebas melakukan apa pun padaku.

“Natsukawa, panas.”

“Senpai memang suka malu-malu. Cuma sama Senpai aku bisa pasang wajah seolah-olah merepotkan begini, tahu?”

Ya terima kasih atas kehormatannya. Sekarang tolong lepas.

Biasanya aku akan langsung berkata begitu, tapi kali ini aku diam. Karena kulihat Sakuraba tampak terperangah, matanya sedikit membesar. Jangan sampai gara-gara Natsukawa aku ikut kena nilai jelek di matanya.

“Eh? Itu Haru-chan Senpai, kan!?”

“...Ah.”

“Lama nggak ketemu!”

Natsukawa menyapa Sakuraba dengan wajah ceria. Namun, Sakuraba justru terlihat kebingungan, seakan tak bisa memahami situasi.

Hei, bukankah kalian ini dekat? Jangan-jangan selama ini hanya salah paham Natsukawa?

Aku melirik dengan curiga. Tapi Natsukawa buru-buru menggeleng keras, seakan berkata “bukan begitu.” Lalu dia menatap Sakuraba dengan ekspresi penuh tanda tanya. Tampaknya mereka memang benar-benar dekat dulunya. Kalau begitu, artinya masalahnya ada di pihak Sakuraba?

Sakuraba, yang menjadi pusat perhatian, bergantian menatapku dan Natsukawa yang masih menempel di lenganku, lalu berbisik pelan:

“……………… Kalian akrab, ya?”

“Hah? Dengan Shiki-senpai maksudnya?”

“Iya… dengan Midoriya-kun.”

“Kami akrab banget kok〜!”

Natsukawa bahkan mengedipkan mata sambil menambahkan, “Ya, kan!” Kalau ditanya apakah kami akrab, jujur agak sulit menjawab. Tapi memang di klub memasak, dia yang paling bebas berinteraksi denganku.

“Yah, soalnya kami berdua kan sering diabaikan….”

Aku mengiyakan setengah hati, dan Natsukawa tampak begitu bahagia sampai seakan-akan ekor imajiner di belakangnya bergoyang cepat.

Hei, itu sebenarnya hal yang cukup memalukan, tahu.

Sakuraba masih terlihat kaget dan kebingungan.…tunggu. Apa aku memang belum pernah bilang ke Sakuraba kalau aku kenal Natsukawa?

Mungkin karena ia sudah tegang sejak awal akan kembali ke klub setelah lama tidak muncul, lalu mendapati hal tak terduga seperti ini, akhirnya jadi makin bingung. Sepertinya aku salah juga.

Aku ingin buru-buru menjelaskan, tapi Natsukawa yang tampak sangat senang malah menyela dengan berkata, “Wah, orang-orang kesayanganku semua kumpul di klub hari ini!” dan lain sebagainya. Akhirnya aku tidak sempat bicara sebelum kegiatan klub dimulai. Namun ternyata kekhawatiranku tidak terbukti. Sakuraba malah bekerja lebih cekatan dari biasanya, dengan sigap memotong bahan-bahan masakan. Sementara itu, aku dan Natsukawa hampir tidak mengerjakan apa pun, hanya menyelesaikan bagian kecil yang dipercayakan pada kami. Malah rasanya aku hanya membuat keadaan kurang efisien.

Yang sebenarnya harus dikhawatirkan justru kemampuan memasakku sendiri.

Berkat Sakuraba, cream stew selesai dalam sekejap. Katanya karena bahan-bahannya sudah diproses dulu dengan microwave, jadi waktu merebus bisa dipersingkat. Memang, dalam memasak, perbedaan kemampuan terlihat jelas pada hasil dan waktu pengerjaan. Hal ini membuatku iri.

Hari ini kami terbagi menjadi tim stew dan tim roti. Karena stew selesai lebih cepat, sebelum roti matang masih ada waktu senggang. Jadi, semua orang pun larut dalam obrolan santai.

Setelah memastikan Sakuraba dan Natsukawa sedang mengobrol dengan gembira, aku menghampiri ketua klub yang sedang membereskan peralatan makan.

“Ketua, maaf. Hari ini stew-nya dibuat sebanyak apa, ya?”

“Hmm, biasanya kami buat agak banyak, jadi sepertinya akan ada sisa. Kenapa, mau dibawa pulang?”

“Iya, mau kubawakan buat Suzu. Padahal dia sudah masuk klub, tapi hampir tidak pernah datang. Aku jadi khawatir dia makan dengan benar atau tidak.”

“Oh, kalau begitu tidak apa-apa. Lagipula sekarang iuran klub juga sudah lancar, berbeda dengan dulu.”

Ketua tersenyum nakal dan bahkan dengan ramah meminjamkan soup jar. Tidak hanya itu, dia juga menambahkan porsiku sekalian supaya aku bisa makan bersama Suzu. Aku benar-benar berterima kasih.

Setelah mengucapkan terima kasih dengan sungguh-sungguh, aku memasukkan stew ke dalam dua soup jar. Aromanya saja sudah sangat menggugah selera sampai membuat perutku keroncongan. Kalau hanya dilihat dari situasi ini, aku mungkin terlihat seperti pencuri makanan. Karena posisiku di klub juga kurang menonjol, aku sengaja mengisi stew itu diam-diam supaya tidak menarik perhatian. Tapi ternyata pandangan kami bertemu dengan Sakuraba dan Natsukawa.

Keduanya pun segera menghampiriku.

“Senpaai, lagi apa tuh? Saking lapar sampai nggak tahan, ya?”

“Ssshh! Diam, jangan berisik!”

“Ahaha, reaksinya jelas-jelas mencurigakan, lho.”

“Itu kan soup jar, ya? Mau dibawa ke mana?”

“Untuk temanku… ini buat Suzu. Aku juga mau makan bersama dia, jadi kalian duluan saja pulang.”

“Baiklah〜. Kalau begitu, Haru-chan Senpai! Bagaimana kalau habis ini kita pergi kencan sepulang sekolah?”

“……Boleh. Ayo, kita pergi.”

“Yeay!!”

Sepertinya mereka sudah benar-benar kembali seperti dulu, begitu akrab dan riang. Karena mereka tampak asyik merencanakan ke mana akan pergi, aku pun meninggalkan ruang masak tanpa terlalu khawatir meninggalkan Sakuraba sendirian.

Setelah itu, aku mampir ke koperasi sekolah untuk membeli roti, lalu berjalan menuju gedung seni rupa. Kami, anak-anak jurusan reguler, biasa menyebutnya gedung seni.

“……Sepi sekali.”

Berbeda dengan gedung reguler yang selalu agak berisik di jam segini, gedung seni terasa sunyi. Mungkin karena dilengkapi fasilitas kedap suara supaya para siswa bisa lebih fokus berkarya. Lagipula, karena prestasi siswa seni cukup tinggi, sekolah memang berinvestasi besar di sini.

Sepanjang lorong panjang, banyak lukisan dipajang. Saat berpapasan dengan potret manusia, aku sampai merasa jantung berdegup kencang. Walaupun satu sekolah, aku jarang datang ke sini, jadi banyak hal yang terasa asing dan bikin tegang.

“Kalau sudah ketemu Suzu, aku langsung pulang…”

Susahnya, aku tidak bisa menghubungi Suzu. Itu memang hal biasa, tapi dia orang yang tidak pernah melanggar janji. Dia bilang akan datang ke klub memasak, tapi ternyata tidak muncul. Itu berarti ia sedang benar-benar tenggelam dalam proses karyanya. Aku jadi teringat waktu aku pingsan dulu, sehingga khawatir dan memutuskan menemuinya langsung.

“Ruangan ini… ya, seharusnya yang ini, kan?”

Suzu memang seorang jenius. Bahkan aku yang tidak paham seni sekalipun tahu kalau dia memang luar biasa sejak kecil.

Buktinya, dia sudah menyapu bersih berbagai penghargaan seni. Di sekolah ini, ia diterima sebagai siswa unggulan dengan beasiswa penuh: bebas biaya sekolah, bebas absensi, hingga bantuan biaya tempat tinggal. Salah satu fasilitasnya adalah ruang atelier pribadi, dan ruangan inilah yang dimaksud.

Sejak masuk sekolah, baru kali ini aku datang ke sini. Ukuran ruangannya bahkan terlihat lebih besar daripada rumahku. Tapi masuk akal, karena ia butuh ruang luas untuk berkarya.

Di depan pintu tertera tulisan tangan Suzu: “Atelier.” Jadi tidak salah lagi. Tok-tok. Aku mengetuk pintu, tapi tidak ada jawaban.

“Halo?”

Tok-tok. Masih tidak ada jawaban.

“Ini layanan Midoriya Eats〜”

Jangan-jangan dia tidak masuk sekolah hari ini? Aku mulai cemas. Aku mengetuk sekali lagi.

“Aku Midoriya Shiki, nih. Suzu—…”

“Shii-kun!!!!?”

“Uwah!?”

Bersamaan dengan suara ban! pintu terbuka lebar, sesuatu melompat keluar dengan kecepatan tinggi dan menubrukku hingga terjatuh. Itu adalah Suzu. Bau cat yang khas langsung tercium… atau lebih tepatnya, sesuatu yang lembut menekan wajahku hingga membuatku sulit bernapas.

Aku menepuk-nepuk punggungnya sebagai protes. Suzu buru-buru bangkit, merapikan rambutnya yang kusut, lalu bersuara dengan nada gugup.

“Ma-maaf. Tiba-tiba dengar suara Shii-kun, aku kaget banget. Refleks gitu.”

“……Padahal aku sudah memanggil berkali-kali.”

“Benarkah? Aku sama sekali tidak sadar.”

Apa dia memang hanya diprogram untuk merespons namanya sendiri?

Aku mendesah lelah sambil memeriksa soup jar yang tadi susah payah kulindungi. Untung saja stew di dalamnya tidak tumpah.

“Cream stew!”

“Itu hasil masakan klub hari ini. Karena kamu jarang sekali datang, aku khawatir, jadi kubawakan.”

“……Sekarang jam berapa?”

“Jam enam sore.”

“……Jangan-jangan klub sudah selesai?”

“Ya, biasanya setelah makan bersama lalu bubar. Makanya sekarang stew ini ada di sini.”

“Padahal aku niat mau datang hari ini!”

Seperti dugaan, dia terlalu tenggelam dalam lukisan sampai lupa waktu.

“Terakhir kali kamu makan kapan?”

“……Kemarin? Siang, mungkin?”

“Sudah kuduga. Nih, makan yang banyak!”

Memang aku juga tidak bisa banyak bicara soal pola hidup, tapi ini sudah kelewatan. Aku menyerahkan stew bersama roti gulung yang tadi kubeli di koperasi sekolah. Suzu, dengan wajah pucat, tersenyum tipis.

“Wah, pengantaran penuh kasih sayang.”

“Bahkan ada bonus: aku jadi teman ngobrol sampai kamu selesai makan.”

“……Boleh?”

“Tentu. Kamu kan cuma bisa makan kalau sama aku.”

“Iya.”

Itu hanya gurauan, tapi dia mengangguk serius. Aku jadi agak bingung menanggapinya.

Suzu lalu mengajakku masuk ke atelier. “Bau catnya lagi pekat, jadi aku buka jendela dulu, ya.” Dia segera membuka semua jendela.

Memang bau cat cukup menyengat, tapi justru mataku lebih tertarik pada semua karya yang memenuhi ruangan. Aku yang tidak paham seni pun bisa sampai terpesona. Itu bukti nyata betapa besar bakatnya. Tapi bukan hanya itu, Suzu juga pekerja keras yang tidak pernah sombong atas talenta yang ia punya—dan itu membuatnya keren. Setiap kali karyanya dipamerkan di suatu tempat, aku selalu merasa bangga sebagai sahabatnya.

“……Kalau diperhatikan sebegitu serius, aku jadi malu.”

“Maaf.”

“Kalau ada yang kamu suka, akan kuberikan.”

Katanya sebagai balasan untuk stew, tapi justru aku merasa takut menerima sesuatu yang nilainya tidak bisa kuukur. Jadi kutolak dengan sopan. Kalau aku yang tidak punya mata seni menerima lukisan, sama saja seperti mutiara untuk babi.

“Jadi, bagaimana? Rasa stewnya?”

“Enak sekali. Sudah lama aku tidak makan makanan selezat ini. Dan sudah lama juga aku tidak makan makanan hangat.”

“Baguslah kalau begitu.”

Melihat Suzu lahap menyantap stew dengan wajah gembira, hatiku justru terasa sesak hingga hampir meneteskan air mata. Di zaman modern Jepang, bagaimana mungkin ada yang hidup seperti ini? Dia benar-benar profesional dalam hal menelantarkan diri sendiri.

Aku sendiri memang sempat pingsan beberapa minggu lalu, jadi mungkin memang hukum “sejenis tarik sejenis” berlaku. Tapi kalau dibiarkan, dia bisa benar-benar celaka.

“Aku boleh datang secara rutin mulai sekarang?”

“Maksudmu bawa makanan lagi buatku? Benarkah?”

“Sebetulnya aku ingin kamu datang ke klub, tapi kurasa seringkali sulit. Setelah melihatmu barusan, aku justru makin khawatir kalau dibiarkan sendirian.”

“……Hehe. Memang benar, yang paling berharga itu punya kakak yang perhatian.”

Apa aku barusan kembali memanjakannya? Tidak, tunggu—ini murni penyelamatan jiwa. Ya, begitu saja.

Sambil menenangkan diri dengan pikiran itu, aku juga mulai menyantap stew. Sayuran yang dipotong Sakuraba tadi matang merata, lembut, dan sangat lezat. Kami menghabiskan stew sambil berbincang santai. Setelah piring kosong, kami menangkupkan tangan dan mengucap, “Terima kasih atas makanannya.”

Wajah Suzu kini tampak lebih segar dan berwarna.

Hanya dengan melihat itu saja, aku hampir meneteskan air mata. Mungkin perasaan Yuna saat menolongku waktu itu juga seperti ini.

“Menurutmu, berapa lama lagi karya kali ini selesai?”

“Hmm… tidak tahu. Sepertinya belum sebentar lagi. Jadi, kalau bisa bawakan lagi lusa, aku akan senang.”

“Itu bisa saja. Tapi lusa aku ada jadwal, jadi tidak bisa menemanimu makan seperti hari ini. Kalau hanya mengantarkan, tidak masalah, kan?”

“……Jadwal apa?”

“Aku belajar masak sama teman sekelas di klub. Kebetulan rumahku dekat dengan tempat kerjanya.”

“Tunggu.”

Tiba-tiba lenganku ditarik. Tubuhku ikut terjatuh duduk di lantai atelier. Meski ini masih awal musim panas, saat jam segini matahari sudah condong. Ruangan yang lampunya belum dinyalakan itu tampak agak temaram. Karena jendela dibuka, suara riuh siswa dari luar ikut masuk, meski gedung seni biasanya sangat sunyi.

Di tengah cahaya redup itu, bibir Suzu yang merah menyala tampak begitu kontras—hingga terlihat sangat sensual.

“Kalau pacarmu tahu soal ini, bukankah gawat?”

Wajahnya memerah, senyum menggoda tersungging, begitu jauh berbeda dari sikapnya yang biasanya datar.

“……Padahal tidak ada hal mencurigakan yang kami lakukan. Aku bahkan sudah bilang pada Yuna.”

“Oh, begitu. Tapi Yuna tidak tahu kan, kalau kamu belajar dari seorang gadis?”

Seolah menegaskan kata-katanya, ponsel di saku celanaku bergetar. Jantungku refleks berdegup kencang. Pasti dari Yuna, atau mungkin Natsukawa. Bisa juga Sakuraba.

Setelah beberapa kali notifikasi masuk, getaran berhenti. Suasana kembali hening.

“Aku kaget sekali. Setelah sekian lama tidak bertemu, ternyata Shii-kun banyak mengobrol dengan gadis-gadis.”

“……Yah, itu hanya karena situasi saja.”

“Padahal Yuna pasti tidak akan mengizinkan hal seperti itu.”

Selama ini aku tidak pernah mendapat pengawasan ketat dari Yuna, jadi aku tidak mengerti kenapa wajah Suzu tampak begitu serius. Mungkin dia khawatir sama seperti Nikaidou.

Memang benar, ketika aku masih tinggal di Mie, aku hampir tidak pernah berbicara dengan siapa pun selain Yuna. Tapi aku tidak merasa Yuna tipe yang gampang cemburu. Meski begitu, dengan kepribadian Suzu, harusnya dia bisa membiarkan hal semacam ini begitu saja. Tapi entah kenapa, dia justru menekanku seperti ini.

“……Bisa tidak kamu diam saja?”

“Bisa.”

“Serius?”

Padahal barusan nadanya seperti mengancam, tapi dia malah menerima dengan sangat mudah, membuatku kehilangan kata-kata.

Sambil mengusap dada lega, aku melihat Suzu memperlihatkan layar ponselnya. Ternyata itu adalah tampilan DM di Instagrum yang hendak ia kirim ke Yuna.

『Shii-kun sedang berselingkuh. 』

“Eh, oi!”

“Aku belum kirim.”

Kalau dilihat lebih jelas, memang tulisan itu baru ada di kolom pesan, belum terkirim. Meski begitu, ini sudah cukup membuat keadaan genting.

“Siapa juga yang selingkuh…! Pokoknya kita bicarakan ini baik-baik—”

“Bicarakan juga denganku.”

“……Apa maksudmu?”

“Kalau aku diam saja, ayo lakukan sesuatu yang bisa disalahpahami Yuna sebagai perselingkuhan.”

“……Maksudmu apa sebenarnya?”

“Aku ingin kamu jadi model lukisanku. Sejak dulu aku ingin sekali menggambarmu.”

Kepalaku hampir kacau karena terlalu banyak hal di luar dugaan yang diucapkan Suzu sejak tadi. Ia sengaja menyorongkan ponselnya, jarinya bertumpu di atas tombol kirim. Di dalam ruangan yang makin redup ditelan senja, cahaya layar ponsel Suzu tampak begitu menyilaukan.

“……Tidak boleh, ya?”


Cahaya ponsel memantul di sekitar mata Suzu. Sekilas terlihat seperti ia hampir menangis.

Kenapa, padahal barusan dia mengancam begitu keras, tapi wajahnya justru tampak cemas? Lagi pula, ini hal yang kalau diminta dengan biasa saja pun mungkin akan kuterima. Kita ini kan sahabat?

Suzu semakin memerah wajahnya, matanya berair tipis, bibirnya terkatup rapat seolah menahan sesuatu. Aku tidak tahu kenapa justru dia yang terlihat seperti sudah menyiapkan tekad sebesar itu, tapi kalau dengan syarat sesederhana itu dia mau diam, maka tidak masalah. Aku pun mengangguk pelan.

“Baiklah. Aku akan jadi modelnya.”

“……Yeay.”

Suzu tersenyum lega, lalu mematikan ponselnya. Setelah itu ia langsung jongkok di tempat, mengembuskan napas panjang. Seakan ingin mengatakan, akhirnya bisa tenang. Padahal sejujurnya, akulah yang lebih ingin begitu.

“Hei, kamu sebahagia itu, ya?”

“Iya. Karena aku suka tubuh Shii-kun. Kesan kokohnya bagus sekali, bikin tanganku lancar melukis.”

“Jadi cuma karena tubuhku!?”

“Iya.”

Aneh sekali. Biasanya kan sebaliknya, sebaliknya.

Saat aku masih merenungkan itu, tiba-tiba Suzu berdiri dan menggeser jarinya di sekitar dadaku.

“Mulai sekarang biarkan aku sering menyentuhmu, ya.”

……Ah, gawat. Mata Suzu berkilat dengan cara yang mencurigakan.

Tatapan seperti ini pernah kulihat beberapa kali—itu tanda-tanda kalau Suzu akan kehilangan kendali.

Sepertinya… aku agak terburu-buru tadi.

Meski sempat terjadi kesepakatan yang mencurigakan, tetap saja aku dan Suzu masih sahabat. Kami sepakat membicarakan detailnya lebih lanjut sebelum pulang. Karena katanya pengerjaan hari ini sudah cukup, akhirnya kami keluar dari sekolah dan mampir ke Wack terdekat.

“Mau pesan apa?”

“Waku-waku Set. Yang pancake.”

“Padahal baru saja makan stew. Kalau terus begitu, kamu bakal gendut.”

“Tidak apa-apa. Itu kan pencuci mulut.”

Aku mencoba meyakinkannya bahwa makanan penutup punya tempat tersendiri di perut, tapi Suzu hanya memesan shake sambil berkata, “Aku sudah kenyang.”

Padahal biasanya setiap kali aku pesan, dia yang malah ingin mencicipinya.

“Apa yang Anda pesan, Kak?”

“Waku-waku Set. Hmm… yang aksesorisnya, tolong.”

Setiap kali ke Wack, aku selalu ingat kalau Sakuraba pernah menginginkannya, jadi tanpa alasan khusus aku sering memesan Waku-waku Set. Tapi mungkin karena “sensor keinginan”, barang yang kucari tak kunjung keluar. Kali ini yang kudapat hanyalah kalung kupu-kupu berwarna ungu.

Zonk. Dibawa pulang pun percuma.

“Suzu, ini buatmu.”

“Boleh!?”

Suzu tersenyum cerah sekali. Karena dia bilang, “Pakaikan, ya,” aku langsung memakaikannya di tempat. Ia pun tampak sangat puas, tersenyum bangga.

Biasanya dia memang polos dan aneh seperti ini, jadi sikapnya yang begitu menggoda tadi benar-benar membuatku kaget. Ternyata dia juga bisa memperlihatkan wajah seperti itu.

“Ambil fotonya, buat kenang-kenangan.”

──── Persahabatan antara laki-laki dan perempuan sebenarnya bisa saja terjalin. Aku membatin begitu, lalu menurutinya dengan mengambil foto Suzu.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close