NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Yosei no Batsurigaku―PHysics PHenomenon PHantom―[LN] Bahasa Indonesia Volume 1 Chapter 3

 Penerjemah: Chesky Aseka

Proffreader: Chesky Aseka


Chapter 3 

“Anak-anak Gien ── Seven sisters, and more ──”


Bagian 1

“Tiga, dua, satu. Tembak.”

Penembak jitu menarik pelatuknya, dan dari moncong solenoid, melesatlah peluru kristal karbon dengan kecepatan awal 2.157 meter per detik. 

Pengintai mengintip ke dalam spotting scope untuk memastikan keadaannya.

Dalam waktu kurang dari satu detik, peluru itu telah mencapai jarak 2,5 kilometer, tepat di depan kepala seorang anak laki-laki, dan... 

...Ruang di dekat telinga anak itu meledak. 

“...Mulai serangan...”

“Tidak, Omega, pelurunya berhasil ditahan...! Tampaknya tembakan dari Yankee dan Zulu juga tidak mengenai sasaran. ...Ada tiga kubus berwarna biru pucat yang tampak melayang di sekitar anak itu.” 

Pengintai buru-buru melakukan komunikasi antar-unit.

Menurut rencana, seharusnya anak itu sudah dilenyapkan, lalu pasukan penggempur akan menaklukkan Elwesii yang tersisa. 

“Laporan dari Regu 3 Mike. Peri Fenomena pengamat sempat menangkap getaran aneh pada molekul udara di ruang tempat target berada. Namun skalanya sangat kecil, informasi ini saja tidak cukup untuk dianalisis...”

“...Hm, lanjutkan operasinya... Alpha, Bravo, dan Charlie segera bergerak taklukkan Elwesii... Kerahkan pula pasukan cadangan kita. ...X-Ray, Yankee, dan Zulu terus lakukan tembakan dukungan pada anak itu...” 

Penembak jitu, setelah menyesuaikan kembali bidikan elektronik sesuai koreksi dari pengintai, kembali melepaskan peluru berikutnya, membidik langsung ke kepala target.


* * *


“Yuki! Selanjutnya di sini dan di sini!”

Tembakan musuh begitu presisi.

Mereka selalu mengincar tepat ke arah kepala Kanae.

Justru karena itu, mereka bisa menyiapkan langkah antisipasi. 

“Begitu ya...!”

Yuki mengulurkan tangannya, seketika mendinginkan gas nitrogen di ruang yang ditunjuk Levy hingga di bawah -210 derajat Celsius.

Kristal es berbentuk kubus dari nitrogen yang tercipta itu dipaku ke udara, dan pada saat yang sama menahan peluru yang melesat.

Dua dentuman ledakan terdengar di belakang kepala Kanae. 

“Mereka nggak peduli dilihat orang kota, apa!? Mereka benar-benar nggak peduli!”

Tak lama setelah tembakan itu, orang-orang berbaju hitam menyerang Yuki tanpa ragu di hadapan mata banyak orang.

Di tengah kerumunan yang berteriak panik, Kanae menggenggam tangan kiri Yuki dan menariknya untuk kabur.

Levy berlari sejajar di sisi Kanae, tetap fokus pada jalur tembakan.

Tujuan mereka adalah tepi luar kota.

Mereka berlari menembus keramaian, menyibak orang-orang yang berdesakan. 

Ketika mereka berbelok untuk memutus garis tembak dan tiba di persimpangan sepi, empat orang berbaju hitam sudah menghadang di depan.

Masing-masing membawa Peri Fenomena berbalut hitam dengan mata merah menyala, lalu serentak mengayunkan lengan kanan mereka ke samping.

Dari pelindung lengan yang dikenakan, debu karbon aerosol tersebar di udara, kemudian menyatu karena interaksi elektromagnetik, membentuk wujud tertentu.

Bilahan hitam bergerigi memanjang di udara, membesar hingga puluhan meter.

Cakar raksasa hitam, bengkok dan mengerikan, menghantam turun tepat ke arah kepala Kanae. 

“Kanae, awas...!”

Yuki mengacungkan tangan kanan, menciptakan bongkah es nitrogen dan menghantam sisi cakar itu, memaksa jalurnya melenceng.

Cakar hitam itu menancap ke jalan beraspal.

Dengan ledakan yang menggelegar, menyebarlah pecahan-pecahan, dan jalan pun tergores dalam. 

“Yuki, lemparkan es ke tubuh mereka!”

“Oke...!”

...Bukan ke Peri Fenomena hitam itu, bukan pula ke FT yang terikat dengannya, melainkan langsung ke tubuh orang-orang yang berbaju hitam, dengan syarat tidak membunuh mereka.

Mendengar permintaan Kanae, untuk pertama kalinya Yuki menyerang manusia. 

Yuki membentuk pilar es raksasa dan mengayunkan lengan kanannya ke samping.

Seiring gerakannya, pilar es itu pun terhempas ke samping dengan mengendalikan pergerakannya.

Para pria berbaju hitam mengibaskan cakar hitam mereka untuk menghadang es.

Pilar es itu hancur berkeping-keping, namun Yuki sudah memperhitungkan hal itu. 

Sesuai instruksi awal dari Kanae, jalanan telah dilapisi es tanpa mereka sadari.

Es itu merambat bagaikan gelombang di permukaan jalan, dan kaki para pria yang teralihkan oleh pilar es langsung membeku bersama permukaan tanah. 

“Lempar sekali lagi!”

“Maaf...!”

Kali ini Yuki mengayunkan tangan kirinya, pilar es menghantam dari arah berlawanan.

Orang-orang berbaju hitam yang tak mampu bergerak terjatuh bersamaan ke jalan.

Tubuh mereka, bersama dengan cakar hitam yang menancap ke permukaan jalan, terperangkap dalam lapisan es. 

Karena Yuki mampu menghapus “dingin” dari es ciptaannya, mereka tidak sampai menderita radang beku atau mati kedinginan.

Namun kenyataan bahwa tubuh mereka dipaksa roboh dengan kaki terikat es tak berubah.

Seluruh kaki mereka tertekuk ke arah yang tak wajar. 

“...Aku, menyakiti orang... Lagi-lagi, membekukan orang...!”

“Yuki tidak salah. Kamu sudah mengikat kontrak denganku, jadi tak bisa melawan perintah. Jadi semua itu salahku.” 

Orang-orang yang menyaksikan pertarungan itu mulai bersuara.

Gaduhnya segera menyebar ke segala arah. 

“P-Pembunuhan!”

“Apa-apaan ini, syuting film?”

“Aku barusan lihat cewek itu bikin es keluar gitu aja...” 

Kanae terus berlari tanpa peduli pada keributan itu.

Yuki yang ditarik tangan kirinya, ikut terseret berlari. 

“Yuki! Begitu kita keluar jalan ini, garis tembak mereka bakal nyambung, hati-hati dengan penembak jitu!”

Dengan arahan tepat dari Levy, Yuki menciptakan kubus es nitrogen.

Pada saat bersamaan, ruang di dekat telinga Kanae meledak. Namun dia tak peduli pada suara yang memekakkan, dia hanya terus berlari menembus kota. 

Jika hanya menghadapi tembakan dari atap, atau hanya pasukan darat, masih bisa ditangani.

Tapi bila keduanya menyerang bersamaan, Kanae sudah pasti mati.

Maka dengan bimbingan Levy, dia berulang kali memutus garis tembak, sambil menghadapi pasukan darat.

Setiap detiknya adalah pertaruhan hidup mati, kematian bisa menyentuhnya kapan saja. 

Dengan napas terengah, Kanae dan Yuki hanya bisa terus berlari.

Mereka menembus gang sempit, berkelok-kelok untuk mengecoh pengejar.

Hingga akhirnya, tiba di tempat terbuka. 

“Tuan Kanae! Sekarang kita tidak terlihat oleh penembak jitu ataupun pengejar, oleh siapa pun juga!”

Di depan mereka terbentang langit luas berwarna merah muda samar, senja yang belum mencapai puncak keindahannya. 

“Yuki, keluarkan semua kekuatanmu! Hentikan waktu!”

Yuki menatap lautan awan yang bersemu merah tertiup angin, lalu melafalkan doa untuk menghentikan dunia.


Memulai penyebaran Aether di lingkup orbit Bumi.

Penyebaran selesai, semua jalur komunikasi dengan Peri Fenomena terhubung.

Mengaktifkan Imperial Order, Telestial Globe.

Harap diam di tempat.


Begitu suara Yuki menggema di dalam kepala Kanae, langit di depannya terhenti total.

Awan-awan senja beku tak bergeming, seolah pita film berhenti berputar. 

Kanae dan yang lain segera berlari mendekat ke pagar pengaman.

Untuk sementara kita turun dua lantai lebih bawah!

Entah bagaimana, musuh tahu bahwa mereka berada di distrik hunian lantai 197.

Lari ke dalam kota terlalu berbahaya.

Kalau begitu, mereka harus terjun ke hutan purba, tempat sistem kota tak bisa menjangkau. 

Di lantai 195 terdapat distrik konservasi alam, hutan luas pohon beech, selebar lima belas kilometer, tinggi lebih dari seratus meter, disebut Hutan Buna. 

Tuan Kanae! Gimana kita makan dan tidur!?

...Dulu waktu SD, aku sering main ke Hutan Buna sendirian. Aku hafal tata letak lantai 195, juga pondok kosong di dalam hutan. Ada persediaan makanan juga... Untuk sementara waktu kita aman. 

Mereka takkan bisa pulang lagi.

Kanae, Levy, dan Yuki sama-sama mengerti itu. 

...Maaf, sungguh... Maafkan aku.

Yuki berbisik lirih, terbata-bata.

Kanae mengusap kepalanya di atas baret yang dikenakan. 

Sekarang kita turun lewat tiang seluncur lagi. Ayo!

Kanae menggenggam tangan Yuki, menariknya melewati pagar.

Dia mengalungkan ranselnya di tangan, dan Yuki terpaksa digendong di punggung. 

Aku dan Levy sudah siap dari awal. Jangan dipikirkan.

Jangan khawatir!

...Baik... 

Mereka menggenggam tiang penghubung dengan tangan berlapis handuk yang dibeli di toko kain, lalu mulai meluncur turun.

Pemandangan pagi tadi kini terlihat lagi.

Deretan gedung perkantoran, dan bila menembus tanah dasarnya, hutan beech yang lebat.

Dua puluh enam elevator tersebar di antara aliran sungai yang melintasi hutan.

Pohon-pohon hijau dan sungai bening itu kini terwarnai merah oleh cahaya.

Cahaya buatan yang merekayasa sinar senja. 

Mereka meluncur sejauh 150 meter, hampir tiba di pagar pengaman lantai 195.

Sesuai arahan Kanae, Yuki menciptakan perosotan es di bawah kaki mereka.

Kanae melepaskan genggamannya dari tiang. Tubuh mereka meluncur mengikuti perosotan es, terhempas ke dalam pagar. 

Apa kita berhasil lolos...? Yuki, cukup sampai di sini!


Menonaktifkan Imperial Order, Telestial Globe.


Pada saat itu, tekstur dunia kembali seperti semula.

Angin sepoi musim gugur berhembus melewati hutan buna.

Kanae menggenggam tangan Yuki yang berjongkok dan menolongnya berdiri, lalu melirik sekilas papan penunjuk yang bersandar pada pagar.

“Posisi kita sekarang timur tenggara 120 derajat... Kalau begitu, untuk menuju ke pondok...”

Lalu, ketika dia hendak berlari menembus hutan tempat angin berdesir,

“Yuki! Tiarap!”

Menggantikan Yuki yang terlambat bereaksi, Kanae segera membanting tubuhnya ke tanah.

Terdengar suara tajam.

Topi casquette yang terlepas dari kepala Yuki ketika dia merunduk, telah terpaku ke tanah dengan sebilah pisau.

Dari balik batang pohon besar tempat Levy melotot tajam, muncullah seorang pemuda dan seorang gadis. 


“Oh, bingo.”

“Di pelipis kiri, hiasan rambut bunga Elwesii. Tidak salah lagi, tapi...”


Pemuda itu berwajah seperti seorang salesman ulung.

Dia mengenakan setelan bisnis tipis, rambut hitam pendeknya disisir kebelakang dengan kaku.

Dari saku jasnya menjulur kabel earphone yang menutup kedua telinganya.

Sementara si gadis mengenakan seragam pelaut yang telah diubah gayanya.

Beberapa bagian diberi sulaman, dan panjang rok dipendekkan hingga setengah paha.

Wajahnya berkesan cerdas, gaya dandanan yang pas untuk usianya.

Di atas rambut lurus hitam panjangnya, bertengger bingkai kacamata biru muda serta bando berbentuk pohon bulan.

“...Rambut pendek, bergaya punk? Hei, hei, kalau datanya benar, kondisi standar Elwesii seharusnya rambut panjang perak dan gaun putih pendek, kan?”

“Sepertinya sudah dimodifikasi. ...Menjijikkan.”

“Tunggu dulu! Kalian bukannya...”

Pemuda itu menarik revolver dari sisi jasnya.

Dia mengarahkannya ke Kanae yang berdiri melindungi Yuki.

“Bagaimanapun, ini pertama kali kita bertemu. Langsung saja, maaf kalau mendadak, tapi kamu ini, apa kamu tuannya Elwesii?”

Melihat Kanae dan Levy yang berdiri diam tanpa sepatah kata, gadis berseragam modifikasi itu tampak menyadari sesuatu.

“...Eh? Tunggu, Tatsumi! Ini bukan pertama kalinya! Anak laki-laki ini, kan, si tiang luncuran tadi pagi!”

“Kasane, apa maksudmu? Eh, sial, dia beneran si sate babi panggang tadi?”


* * *


“Sekarang mudah saja. Kalau kakak sudah membuat kontrak dengannya, berarti kakak pasti punya FT eksklusif. Kalau kakak menyerahkannya dengan patuh ke sini, kami tidak akan melakukan apa pun padamu, kak.”

Keduanya menyadari bahwa mereka memang pernah bertemu pagi ini.

Namun, meskipun begitu Tatsumi tidak menurunkan revolvernya.

Dia tetap mengarahkan moncong pistol ke Kanae yang ada di depan, sambil mengajukan tuntutan dengan suara santai.

“FT eksklusif...? Apa itu?”

“Jangan pura-pura gak tau. Tanpa benda itu, kakak tidak mungkin bisa jadi tuannya Elwesii, kan? Kontrak dengan mereka memang punya aturan begitu.” 

Tatsumi mengeluarkan sebuah ponsel yang terhubung dengan earphone dari saku jasnya.

Itu bukanlah smartphone.

Benda itu terlalu ketinggalan zaman. Sebuah ponsel lipat tua era Galapagos yang sudah lama hilang dari pasaran... Dulunya disebut ponsel genggam.

“N-Nostalgia sekali! Aku cuma pernah lihat itu di buku pelajaran!”

Kanae, tak tahan, langsung menyela, dan Tatsumi menanggapinya dengan senyum kecut.

Dia menggoyangkan sedikit revolver yang diacungkannya.

“Jangan terlalu mengalihkan pembicaraan. Jari telunjukku sebentar lagi bisa terpeleset.”

“Aku beneran gak tau! Sungguh, aku sama sekali tidak merasa punya itu!” 

Ancaman Tatsumi membuat Kanae merasa janggal.

Berbeda dengan musuh berbaju hitam yang tanpa ampun, sikap mereka terasa agak setengah hati.

“…Kalian ini... Bukan datang untuk membunuhku, ya?”

Kasane, yang bersandar pada batang besar pohon buna, berdiri seakan-akan dia tidak punya pilihan.

“Tatsumi, jelaskan padanya. Sepertinya dia gak paham.”

“Memang kami mendapat berbagai perintah dari atasan, tapi sekarang itu tidak penting. Ada urusan pribadi, bukan bagian dari pekerjaan, yang harus kami selesaikan. ...Memang bisa saja kami membunuh tuannya dulu lalu mencapai tujuan itu, tapi membunuh anak seumuran kakak, bisa bikin tidur kami jadi tak tenang. Jadi, kalau kakak mau menyerahkan FT eksklusif itu, kami akan senang. ...Karena benda itu, akan kami hancurkan di depan mata kakak.”

“...Hei...! Kamu bilang mau menghancurkan FT yang terikat dengan Peri Fenomena...!

“Benar sekali, Tuan Kanae! Pisau yang pertama kali meluncur itu jelas-jelas mengincar Yuki!” 

Musuh berbaju hitam berusaha membunuh Kanae, tapi terhadap Yuki, tujuan mereka adalah menangkap hidup-hidup.

Sebaliknya, Tatsumi dan Kasane tidak punya niat membunuh Kanae, tapi justru berencana membunuh Yuki.

“Itu cuma peringatan. Aku tidak mengira Elwesii akan mati hanya karena itu. Peri Fenomena yang terikat kontrak... Terutama mereka itu, punya kekuatan pemulihan luka yang luar biasa. Tunggu, Yuki? Siapa itu?”

“Gadis yang ada di belakangku. ...Yang kalian sebut Elwesii, dialah yang menamakan dirinya begitu...!”

Kanae menjawab Tatsumi, namun Kasane yang merespons dengan suara pelan, sarat amarah.

“Memberi dirinya nama sendiri, mengenakan pakaian layaknya manusia... Dan pada akhirnya diperlakukan sebagai seorang gadis...!”

“Kuhah, kuhaha! Ini benar-benar lelucon kelas atas! Hei, Kasane! Dia melakukan hal yang persis sama denganmu!”

“Aku tidak pernah diperlakukan sebagai gadis olehmu, Tatsumi! 

Kanae sama sekali tidak mengerti apa maksud percakapan itu.

Setelah sejenak berselisih, Tatsumi dan Kasane kembali menghadapi Kanae, seolah hendak mengatur ulang suasana.

Masih mengacungkan revolvernya, Tatsumi berkata, “Aku ulangi sekali lagi. Serahkan FT eksklusif itu. Kalau kakak menurut, kami akan kasih after-service. ...Kakak sekarang sedang diburu Asgard. Tapi kalau sekarang, kami masih bisa menyelesaikan masalahmu.”

Asgard Factory, perusahaan multinasional raksasa dengan modal terbesar di dunia, yang mendirikan kota Kobe.

Dan kini, Kanae serta yang lainnya sedang diburu oleh Asgard.

Itulah jawaban pahit atas firasat buruk yang selama ini mereka rasakan. 

“Kami akan menyembunyikan kakak di tempat aman sampai keadaan reda. Jadi serahkan saja FT eksklusifnya. Kami akan hancurkan di sini, bunuh Elwesii, lalu selesai. Kami dapat tujuan, kakak bisa kembali ke kehidupan biasa dengan kenangan sekadar main api sebentar. Pikirkan baik-baik. Ini bukan tawaran yang buruk, kan?”

“...Tidak. Aku tidak bisa menerima tawaranmu...” 

Permintaan Tatsumi terlalu meremehkan nyawa Yuki. Lagipula, pada dasarnya...

“Apa kakak pikir bisa lari dari Asgard? Kakak datang ke lantai ini karena mau bersembunyi di hutan buna, kan? Tapi dalam satu hari saja mereka sudah bisa menemukan kakak. Betapa naifnya pikiranmu, kak.”

“...Kalau begitu, aku hanya perlu kabur ke tempat lain...”

“Lari tanpa rencana tidak ada gunanya. Pemeriksaan kapal udara sudah diperketat. Kakak juga tahu, di kota terbalik yang mengambang di langit ini, tidak ada lagi tempat lain untuk lari, kan?”

Apa yang dikatakan Tatsumi memang logis.

Kanae terdiam, tak bisa membantah. Dari belakangnya, sebuah suara muncul.

“...Aku tidak mau Tuan Kanae menghadapi bahaya! Tapi, Yuki...”

“...Asal Kanae selamat... Aku... Aku...”

“Levy, aku mengerti. Aku tidak akan meninggalkan Yuki. Jadi, Yuki, jangan bicara begitu.” 

Kanae melindungi Yuki dan Levy dengan tubuhnya, membalas kata-kata mereka masing-masing, lalu menatap tajam ke arah Tatsumi.

“Hei, cepatlah menyerah dan serahkan terminal yang terhubung dengan Elwesii. Kakak ga mau mati, kan?”

“Tentu aku ga mau mati. Karena itu, aku tidak bisa menyerahkannya. Terminal yang kamu maksud, mungkin ada di sini.”

Kanae memutuskan untuk melawan. Dia menahan gemetar tangannya, lalu mengetuk pelan puncak kepalanya sendiri.

“Hah? Apa maksudmu?”

“...Sejak lahir aku punya tubuh aneh yang bisa mendengar dan membedakan Strange Code.

Itu adalah bahasa Peri Fenomena, sekaligus kode inti yang menuliskan program FT.

“Aku bisa membuat kontrak langsung dengan Peri Fenomena tanpa FT. Nyatanya, Levy dan Yuki ada di sini. Otakku ini adalah FT itu sendiri. Kalau aku mati, mereka berdua juga ikut mati. Karena itu, aku ga boleh mati, ga bisa mati.” 

Tatapan Tatsumi dan Kasane mendadak menjadi dingin.

“...Kasane, bagaimana kita harus menyikapinya yang mengoceh gila begini? Kalau pun bohong, setidaknya ada alasan masuk akal seperti ‘hilang entah di mana’.”

“Gak ada pilihan lain. Kita harus membuatnya merasakan sedikit sakit dan merebut paksa FT eksklusifnya. Drama murahan begini, tidak mungkin...”


“Ini bukan drama murahan! Kalau kalian memang berniat begitu, aku sudah siap untuk bertarung!” 

Ekspresi Tatsumi dan Kasane seketika membeku. 


“Eh? ...Kenapa? Bagaimana bisa kamu bisa mendengar kata-kataku...?”

“Kenapa kalian kaget? Aku tidak akan menuruti permintaan kalian!”

“Bukan itu maksudku! Maksudku, kamu bisa mengerti apa yang aku ucapkan!”

“Tentu saja, aku bisa mengerti ucapanmu. Kenapa memangnya?”

“...Kasane, bukankah fungsi terjemahan FT eksklusif hanya berlaku untuk satu entitas yang dikontrak?”

“Ya. Baik suara dari earphone Tatsumi maupun teks di layar ponselnya, hanya bisa menerjemahkan bahasa individu yang sesuai. Artinya, selain tuannya, kita tidak bisa berkomunikasi dengan pihak lain.”

“...Lagipula, tadi kakak ini bilang dia juga mengontrak Peri Fenomena yang berpenampilan pelayan itu, selain Elwesii. Ayolah, aku belum pernah dengar ada kontrak ganda dengan Peri Fenomena.”

“Tapi pagi tadi, memang ada pelayan kecil di samping si anak tiang luncuran ini... Sulit dipercaya...” 

Dalam percakapan itu, Kanae dan yang lain hanya jadi penonton.

Namun, tidak ada alasan bagi Kanae untuk tetap terhenti. 

“Hei! Aku tidak tahu apa yang kalian bicarakan, tapi kalau kalian mau menghalangi kami, kalau kalian berniat membunuh Yuki... Yuki, pinjamkan kekuatanmu, kalau begitu, kami tidak punya pilihan selain melawan kalian!”

Kanae menggenggam tangan kiri Yuki dan membantunya berdiri.

Dia menempatkan Yuki di sisi kirinya, dan membawa Levy di sisi kanannya.

Tatsumi masih mempertahankan wajah seriusnya.

Sebaliknya, pipi Kasane tiba-tiba melunak dengan senyum lembut.

“Kalau tidak salah, pagi tadi aku sempat bilang padamu. ‘Coba saja meluncur, dasar pengecut’... Begitu ya?”

“...Benar juga, itu memang perkataanmu pagi tadi.”

“Maaf ya. Aku tidak bermaksud jahat waktu itu. Hanya sekadar bicara pada diri sendiri.”

“Tidak, justru aku yang harus berterima kasih. ...Mungkin tidak pada tempatnya, tapi, terima kasih...”

Tanpa kata-kata Kasane, Kanae tidak akan pernah terpikir untuk menggunakan tiang penghubung sebagai jalur pelarian.

Dan tanpa itu, dia tidak akan bisa merasakan hari-hari singkat namun menyenangkan yang sempat dia alami. 

“...Namamu siapa?”

“Murotsuki Kanae.”

“Murotsuki...Kanae...? Kanae, apa kamu kebetulan hidup sendirian? ...Orang tuamu, sudah tiada?

“Iya, benar... Tapi, kenapa kamu menangis?” 

Kanae bertanya dengan wajah penuh heran, namun Kasane tidak menjawab.

Dia hanya menghapus air mata di balik bingkai kacamatanya yang berwarna biru muda dengan jari, lalu berkata pada Tatsumi.

...Tak perlu ragu lagi, kan? Mungkin sulit dipercaya, tapi adakah kebetulan seperti ini? Anak laki-laki yang ada di depan kita adalah kontraktor ganda yang mampu memahami Strange Code dengan otaknya sendiri, singkatnya seorang irregular. Dan Kanae adalah...dosaku.”

“...Sulit untuk langsung dipercaya, tapi tampaknya kita tidak punya pilihan selain mengakuinya... Kalau begitu, haruskah kita habisi Elwesii sampai kemampuan regenerasinya tak bisa menambal lukanya?”


Kalau memang mereka berniat membunuh Yuki.

“Jangan kira aku akan terus meladeni obrolan kosong ini! Yuki, kunci pergerakan pria itu!”

“Tsk!” 

Saat Yuki mengangkat tangannya ke depan, Tatsumi langsung mengarahkan revolvernya dan melepaskan tembakan nyaris tanpa jeda.

Yuki segera mengoreksi sedikit koordinat pembentukan kristal es nitrogen, dan berhasil menghentikan peluru itu.

“Kalau kalian tidak mengeluarkan Peri Fenomena, jangan salahkan aku bila kubekukan kalian!” 

Itu justru yang Kanae harapkan.

Dia tidak ingin melukai Peri Fenomena.

Dia selalu mengira Peri Fenomena tidak punya kehendak untuk bertarung, hanya dipaksa jadi senjata oleh manusia. 


Udara di depan telapak tangan kanan Yuki mendingin drastis, gas nitrogennya beralih wujud menjadi padatan.

Rangkaian kristal es nitrogen terbentuk beruntun, lalu melesat ke arah Tatsumi dengan lintasan bergerigi seperti kilat. 

Namun di antara jalur es yang menembus udara dan tubuh Tatsumi, “Aku ada di sini.”

Kasane menyelipkan tangannya dengan tenang.

“Hei, awas...!” 

Udara yang menyelubungi tangan Kasane tampak kabur, seperti fatamorgana.


Krushuhushhush!

Rangkaian es itu, sesaat sebelum menyentuh tangan Kasane, seketika dihantam jatuh ke tanah.

Kristal-kristal yang menghantam tanah lebih dulu bertubrukan dengan es yang terus datang, lalu terhimpit, hancur, dan pecah menyebar dalam lingkaran. 

“Tuan Kanae! Ada banyak sekali partikel kecil yang menekan es Yuki barusan!

Kanae tidak bisa melihat butiran kecil yang dimaksud Levy.

“Oh? Aneh ya, ternyata si pelayan kecil bisa melihat kekuatanku.”

“Kekuatan...? Sebenarnya kamu ini apa!?”

“Hei, kak. Masih belum sadar juga?” 

Tatsumi berkata dengan nada jengkel, seolah tak peduli pada es nitrogen yang remuk di kakinya.

“Baiklah, aku tahu ini sedikit terlambat, tapi seharusnya aku memperkenalkan diri.” 

Kasane, yang tubuhnya disinari puncak cahaya senja, tersenyum getir lalu mengaku.

“Namaku Kasane. ...Salah satu dari Tujuh Bencana Besar yang diciptakan oleh Haitani Gien. Terminal identifikasiku adalah daun laurel yang membentuk mahkota, sama halnya dengan Elwesii yang berbunga tiga kelopak putih. Dengan kata lain, aku adalah irregular yang seharusnya tidak boleh ada di dunia ini.”

Kasane mengangkat tangan kanannya ke langit, jemarinya melengkung seakan meraih kekosongan.

Sekejap, Void Gravity tercipta di atas telapak tangannya, memotong ruang di sekelilingnya.

Pemandangan yang melewati Void Gravity itu terdistorsi bengkok. 

“Maaf, Kanae dan pelayan kecil. Tapi kami punya alasan yang memaksa kami harus membunuh Elwesii. Jadi, bisakah kalian tidur tenang sebentar?”

Kasane lalu melempar ringan Void Gravity itu ke udara, tepat di atas kepala Kanae dan yang lain.

“Awas! Partikel itu sedang dikompresi!” 

Kanae dan yang lainnya mencoba berlari, tapi terlambat.

Void Gravity, yang melengkungkan pemandangan mencapai jauh di atas kepala mereka, lalu mendadak berhenti.

Pada saat yang sama, tekanan tak kasatmata yang luar biasa berat menghujani mereka dari atas. 

Rasanya seperti ditekan tembok tak terlihat.

Gaya itu menekan mereka ke tanah, seolah-olah dipaku telentang.

Bahkan mengangkat kepala pun mustahil.

“Diam di tempat.”

Kasane menyelipkan tangan kirinya ke dalam saku rok mini, lalu mengeluarkan empat bilah bush knife besar sepanjang lebih dari tiga puluh sentimeter, dijepit di sela-sela jarinya.

Dengan satu ayunan, dia melemparkan keempat bush knife itu ke udara dengan mudah. 

Bilah-bilah itu, dengan sudut yang teratur, tertarik oleh gravitasi dari Void Gravity yang menggantung di udara, lalu meluncur tajam ke bawah

“Aaahhh... Aaah...! Aaahhhh... Sakit...!”

“Hei! Apa yang kamu lakukan pada Yuki!?” 

Levy, dengan susah payah memalingkan wajah, melihat Yuki yang tersungkur di tanah, tersedak tangis.

“Uuuh... Tuan Kanae...! Tangan dan kakinya Yuki... Ditusu pisau...” 

Keempat bush knife itu menembus tangan dan kaki Yuki, menjepitnya dalam-dalam ke tanah. 

“...Bajingan! Dasar...!”

Kanae hendak berteriak, namun suaranya terhenti oleh rasa tak berdaya. 

“Kasane, jangan buang waktu.”

“Aku tidak berniat begitu. Aku hanya perlu memastikan daya regenerasi mereka. ...Seperti yang kuduga dari salah satu Tujuh Bencana, luka luarnya sudah menutup. Tapi dengan bilah masih menancap, kerusakan di dalam tubuhnya tetap bertahan.”

“Kalau begitu, kita hanya perlu mengikis isinya perlahan, sambil menjaga luka tetap terbuka, ya?” 

Kata-kata mereka terdengar persis seperti strategi menaklukkan bos dalam permainan.

Kanae hanya bisa terdiam, ngeri pada sikap dingin tanpa sedikit pun belas kasih yang sama sekali berbeda dari Kasane yang sempat dia ajak bicara sebelumnya.

Kasane tanpa sepatah kata pun mengeluarkan total delapan bilah bush knife dari kedua saku rok mininya.

“Bentangkan dinding es berlapis padat di atas kepala kita!” 

Tepat sebelum Kasane mengambil sikap untuk melempar, Levy berseru.

Kanae tidak punya pilihan selain mempercayai kata-kata itu. 

“Yuki!”

“...Oke...!” 

Meskipun dirundung rasa sakit hebat yang menembus keempat anggota tubuhnya, Yuki memaksa memutar lengan kanannya yang terpaku ke tanah, tak peduli luka itu terkoyak semakin dalam, lalu membalikkan telapak tangannya ke atas. 

Sebuah kubus panjang kristal es nitrogen tercipta di udara, terkunci di ruang dengan presisi setingkat koordinat molekul.

Kristal es nitrogen itu menahan tekanan luar biasa dari Void Gravity, dan pada saat yang sama menerima hantaman delapan bush knife yang meluncur dengan kecepatan jatuh akibat gravitasi buatan tersebut. Bilah-bilah itu menancap dalam. 

Pertahanannya berhasil... Namun manfaat dari instruksi Levy tidak berhenti di situ. 

“Aku bisa berdiri lagi... Apa tekanannya hilang!?”

“Segera menjauh dari sini! Es itu tidak akan bertahan lama!” 

Melihat keadaan Yuki yang tubuhnya tertancap sampai ke tanah, Kanae hampir kehilangan kendali diri.

Namun nalurinya berteriak: selamatkan Yuki. 

Kanae meminta maaf singkat, lalu dengan cepat mencabut satu per satu bush knife yang memaku keempat anggota tubuh Yuki ke tanah.

Dia kemudian mengangkat Yuki, lalu berlari bersama Levy meninggalkan tempat itu. 

Begitu mereka menjauh, kristal es nitrogen yang retak di seluruh strukturnya runtuh dan pecah berkeping-keping menghantam tanah. 

“Yuki! Kamu baik-baik saja? ...Ini terlalu kejam...”

Kasane mengangkat tangannya ke arah Void Gravity yang sudah tidak diperlukan, lalu menghapus bola aneh itu hingga lenyap dari udara. 

“Hm... Jadi maksudnya kemampuanku berhasil dihalau, ya?”

“Ini benar-benar di luar perkiraan...”

Bahkan Tatsumi, yang hanya mengamati jalannya pertempuran, mengerutkan kening, seolah merasakan hal yang sama dengan Kasane. 

“Jangan bercanda!! Apa yang sudah kalian lakukan pada Yuki!!” 

Dalam pelukan Kanae, tubuh Yuki bergetar hebat, wajahnya menekan kuat ke dada Kanae.

Dilihat sepintas, luka-luka di tubuhnya sudah menutup, hanya darah lengket yang masih menodai kulit dan pakaian.

Namun rasa sakit tajam yang sempat merobek keempat anggota tubuhnya itu tetap membekas, tertoreh sebagai ingatan yang tak akan hilang. 

“Sudah berulang kali kukatakan, bukan? Kami akan membunuh Elwesii. ...Kamu juga sebaiknya menjauh dari Kanae. Kalau tidak, kamu tidak hanya akan terluka. Tidak seperti kami, manusia bisa mati dengan mudah. Atau jangan-jangan, kamu ingin menjadikan tuanmu sebagai tameng?” 

“...T-Tidak...! Aku tidak akan pernah...! Aku tak mau melakukan itu...!”

Dengan hati-hati Yuki menyingkirkan lengan Kanae, mendorong lembut dada Kanae agar dia mundur ke belakang. 

“...Maafkan aku... Kanae, Levy. Tolong mundurlah. ...Aku akan bertarung sendiri.” 

“Keputusan yang bijak. Aku memang tidak berniat melukai mereka berdua. Tatsumi, kamu juga begitu kan?”

“Akan aku usahakan.” 

“...Kanae, bisakah kamu memberiku perintah? ...Tolong gunakan aku sebaik-baiknya.”

Yuki memohon pada Kanae, seakan tidak ada jejak air mata perih akibat rasa sakit yang baru saja dialaminya. 

“...! A-Aku mengerti...”

Kanae teringat percakapan mereka di saluran pembuangan.

Yuki yang selalu memikul segalanya seorang diri dan menjauh, tak pernah bisa dia kejar. 

Dia tahu.

Bahwa dirinya hanyalah manusia biasa. 

Tetapi selama ini dia terbuai.

Dengan keistimewaan sebagai kontraktor ganda yang mampu memahami Strange Code.

Dia percaya dirinya bisa melakukan sesuatu yang luar biasa. 

Namun kini kenyataan menamparnya.

Pada akhirnya, dirinya hanyalah manusia tak berdaya. 

“...Kasane.”

“Apa? Mau nyerah?”

“Sebaliknya. Kamu yang harus menyerah, Kasane. Jika tidak, aku akan benar-benar mengalahkanmu.” 

Kasane dengan tenang melepas kacamata biru mudanya, menyelipkannya ke saku rok mini, lalu menurunkan kedua tangannya. 

“Kamu sungguh meremehkanku... Ini sangat, sangat menghinaku!!” 

Kasane membalikkan kedua telapak tangannya ke luar, menciptakan dua Void Gravity, lalu melemparkannya ke ruang kanan dan kiri.

Dalam gerakan yang sama, dia mengeluarkan total enam belas bush knife dari sakunya, dua di setiap sela jari, lalu melemparkan semuanya ke dalam kedua Void Gravity.

Enam belas bilah itu memperoleh percepatan luar biasa ke arah samping, melesat serentak menuju Yuki. 


Sementara itu, Yuki mengulurkan tangan kanannya, memutar pergelangan sekali penuh.

Sekejap saja, enam belas kubus kristal es tercipta di udara.

Namun sebelum bush knife itu menyentuhnya, semuanya meledak serempak. 

Dari dalam bilah, sebuah ledakan pecah menghancurkan logamnya menjadi pecahan tajam yang menyebar ke arah Yuki.

Asap mesiu menelan seluruh pandangan. 

“Itu adalah pisau granat palsu. Jangan sangka aku bermain adil.” 

Beberapa detik kemudian, asap tebal tersapu angin senja.

Yang muncul dari dalamnya adalah dua perisai es berbentuk lingkaran. 

...Enam belas kubus kristal es telah saling berpadu membentuk pelindung yang menutupi sisi Yuki, menyerap setiap pecahan logam tanpa terkecuali.

Perisai es itu tidak hanya menahan pisau granat palsu, tapi juga memutus tekanan berat dari Void Gravity. 

“Jadi kalau bukan dengan titik, melainkan dengan permukaan, serangannya bisa ditahan. ...Aku mengerti sekarang.”

“Kalau begitu, coba hadapi yang ini.” 

Kasane mencabut sebuah bush knife dengan tangan kiri, lalu memasukkan bilahnya ke dalam Void Gravity yang dia bentuk dengan tangan kanan.

Energi sirkulasi abadi dari Void Gravity terserap masuk ke dalam bilah itu. 

Sekilas, tidak ada perubahan apa pun pada pisau itu, Kasane menggenggamnya di tangan kiri secara terbalik, lalu membiarkan dirinya terdorong oleh tekanan horizontal dari Void Gravity yang baru saja dia ciptakan. 

Akselerasi dari Void Gravity yang memanfaatkan tekanan berat yang bekerja secara horizontal, kecepatan puncak yang tercapai dalam sekejap.

Yuki merespons dengan menembakkan tombak es berbentuk kerucut, ditembakkan dari lingkaran perisai yang dia tempatkan di sampingnya. 

Pisau dan tombak es beradu.

Kasane menusukkan bush knife di tangan kirinya ke ujung tombak es yang melaju. 

Hal yang terjadi berikutnya membuat Yuki terbelalak.

Tombak es yang seharusnya kokoh itu, terbelah dua dengan mulus oleh bush knife, seakan hanya mengiris sebatang mentega.

Bilah-bilah yang melaju bersama Kasane pada akhirnya akan mencapai tubuh Yuki.

“Lepaskan penguncian esnya dan lari ke depan!” 

Yuki segera menjalankan gambaran yang dipikirkan Kanae.

Dia melepaskan penguncian koordinat perisai es.

Pada saat bersamaan, dia mengayunkan tangan ke belakang serong bawah, lalu menembakkan tombak es.

...Dengan reaksi balik dari tombak es yang menancap ke tanah, Yuki berhasil melontarkan dirinya keluar ke depan. 

Perisai es yang telah dilepaskan dari koordinatnya tersapu jauh ke samping oleh tekanan Void Gravity yang berada di kejauhan, lalu menghantam Kasane yang sedang menerjang.

Kasane menancapkan bush knife ke tengah perisai es itu, kemudian merobeknya habis-habisan.

Perisai es pun hancur berkeping-keping oleh kekuatan brutal. 

Pipi Kasane tergores oleh serpihan es, dia pun menoleh ke arah Yuki sambil berkata, “Kamu kurang memerhatikan, ya?” 

Di tanah, bercampur dengan pecahan es yang berserakan, terdapat delapan pisau granat palsu.

Senjata jebakan yang sebelumnya sempat ditahan oleh dinding es di awal pertempuran, yang ditunda Kasane agar tidak meledak, kini akhirnya diledakkan. 

Yuki tak punya waktu untuk bertahan.

“Ugh...! ...Ahh...!” 

Yuki jatuh tersungkur ke tanah.

Namun meskipun begitu, dia tetap tidak tunduk pada Kasane, menatapnya dengan tatapan kristal biru salju yang dingin. 

“Mulai dari tubuh bagian bawah hingga sekujur kaki. Kalau luas area yang terkena serangan semakin besar, bahkan regenerasi sekalipun butuh waktu lama.”

“Hei, apa-apaan itu! Apa maksudnya gaya bertarung konyol seperti itu!?”

“Gaya bertarung indah layaknya fantasi hanya buang-buang tenaga. ...Tapi ada alasan lain juga.”

“Alasan? Kenapa Peri Fenomena bisa melakukan hal yang begitu pengecut dan kejam?”

“Tidak ada gunanya aku menjawab itu. Lagipula, dalam pertempuran hidup dan mati, tak ada yang namanya pengecut atau kejam. Kamu terlalu naif. ...Sudah cukup basa-basinya. Selagi aku berhasil membatasi gerakan Elwesii, sekaranglah waktunya menghabisinya...” 

Kanae sangat ingin segera berlari menghampiri Yuki dan mendongakkan tubuhnya.

Namun dia tetap menahan diri di tempatnya.

Bukan karena ciut nyali.

...Tapi karena berbicara pada Kasane untuk mengalihkan perhatian juga bagian dari strategi. 

Saat Kasane mengarahkan bush knife di tangan kirinya pada Yuki yang meringkuk di tanah...


“Sekarang! Kurung dia!” 

Yuki menekan kedua telapak tangannya ke tanah, lalu dengan tatapan tajam ke atas dia menatap Kasane.

“Kamu juga harusnya lebih sadar dengan pergerakanmu...!” 

Dari bawah kaki Kasane, dari tanah tempat Yuki berdiri beberapa saat yang lalu, semburan debu berlian melesat deras seperti mata air pecah.

Semburan itu menjulang hingga lebih dari seratus meter, menyentuh langit-langit lapisan atas, lalu tiba-tiba memadat membentuk pilar es silindris. 

Di dalam silinder biru pucat yang tembus cahaya itu, Kasane membeku tanpa bergerak.

Bagaikan fosil yang terkurung dalam ambar.

Bersamaan dengan itu, Void yang sebelumnya terbentang di ruang sekitar lenyap begitu saja, terurai seperti kabut.


Kanae, bisa beri aku perintah? ...Tolong, gunakan aku dengan baik.

...! O-Oke... Kalau begitu... Kita habisi dengan serangan kejutan. Jangan biarkan dia sadar, pelan-pelan tebarkan es lewat tanah dari bawah kakinya...


“Musuh masih hidup! ...Entah kenapa, aku sedikit lega...”

“...Untuk saat ini, sepertinya sudah selesai.” 

Kanae dan Levy segera berlari menuju Yuki yang meringkuk di tanah.

Yuki berusaha bangkit untuk menyambut.

“Ahh...! Ugh...”

“Jangan dipaksakan! Diamlah dulu sebentar.” 

Yuki sudah babak belur. Kaos pendek dan celana denimnya sudah robek menjadi kain perca, tubuh bagian bawahnya basah kuyup berlumur darah segar.

Sesekali kulit Yuki berdenyut, lalu dengan daya regenerasi tubuhnya mengeluarkan pecahan logam pisau yang tertinggal di dalam daging.

Setiap kali itu terjadi, wajah Yuki menegang menahan perih. 

“Hei, kenapa kamu tidak menghabisi Kasane?”

Tatsumi, yang sejak tadi hanya mengamati pertempuran, bertanya dengan nada heran tulus. 

Dia mengarahkan revolver ke Yuki, tapi tidak mendapat jawaban.

Dia lalu menggeser moncong senjata itu ke samping.

Sekejap kemudian Yuki mengangkat tangan kanannya. 

Begitu moncong senjata diarahkan ke Kanae, es menjulur dengan cepat membekukan revolver.

“...Kasane sudah bilang, dia tidak akan menyentuh Kanae...” 

“Tusukan bilah, pecahan logam, dan rasa sakit berulang dalam tubuh yang terus meregenerasi. ...Kalau manusia biasa, kamu pasti sudah hancur sejak tadi.”

“...Aku tidak tahu apa-apa. Hari ini, aku hanya banyak diajari oleh Kanae dan Levy yang baru kutemui. Tapi, kalau soal rasa sakit yang diberikan... Aku sudah sangat mengenalnya. ...Mungkin, aku sudah terbiasa.” 

Bohong, pikir Kanae.

Ketika rambutnya hendak dipotong, Yuki jelas terlihat ketakutan akan rasa sakit yang asing. 

“...Aku pun tak ingin menyakiti sesama Peri Fenomena. Kalau bisa menghindarinya, aku ingin menghindari itu...”

“Hah, tak kusangka baik Elwesii maupun tuannya sama-sama selembek ini.”

Tatsumi menggerutu lirih bagai berbicara pada diri sendiri. Sial, makin susah saja ini. 

“Kumohon, mundurlah. Gadis yang bernama Kasane itu tidak menggunakan kemampuan Peri Fenomena-nya. Kalau begitu, dia tidak akan bisa menang melawan es Yuki. Aku tidak suka mengatakan ini, tapi skala kemampuan mereka terlalu jauh berbeda.” 

Gaya bertarung Kasane memang efisien, namun juga terasa seperti cara untuk menutupi suatu kekurangan. 

“Kakak salah paham. Belum ada yang selesai di sini.”

“Pertarungannya jelas sudah selesai...”

Mengabaikan Kanae, Tatsumi menatap Kasane yang terkurung diam dalam pilar es, lalu berseru lantang, “Kasane, aku izinkan kamu menggunakan Repulsion. Tak perlu menahan diri. Robek habis semuanya.”

Dari belakang Kanae dan yang lain, suara berderak seperti cambuk yang merobek ruang terdengar berulang kali.

Saat mereka menoleh panik, terlihat puluhan rongga kosong merambat di sekitar pilar es yang tembus cahaya senja. 

Runtuhnya pilar es terjadi seketika.

Kasane, dengan tangan kirinya mengangkat Void Gravity, mengalihkan reruntuhan bongkahan es supermasif yang berjatuhan. 

“...Sebenarnya aku tidak ingin menggunakan ini... Tapi tidak ada opsi lain.” 

Dari setiap ujung jari tangan kanan Kasane, memanjang lima garis jejak merah menyala bagai api.

Benang-benang cahaya itu, berkilau lebih terang daripada cahaya matahari senja, melayang longgar, berayun ringan di sekeliling Kasane. 

Dibalut jalinan benang cahaya merah yang bergetar lembut, Kasane menundukkan pandangan ke arah Yuki yang masih berlutut di tanah.

“...Repulsion. Kamu pasti pernah mendengar nama gadis kecil yang menguasai gaya tolak ini.” 

Entitas supernatural yang pernah dipanggil Haitani Gien dalam seminar legendarisnya.

Sosok yang mendefinisikan ulang hukum dunia.

“Peri Fenomena yang pertama...!”

“Inilah... Kekuatan kakak kami.” 

Kasane menggerakkan lima jarinya, lalu melemparkan benang cahaya merah elastis itu ke depan.

Benang yang melesat tanpa henti itu mengarah langsung pada Yuki. 

Menyadari pilar es telah terbelah, Yuki membentuk perisai es tebal dengan susunan molekul yang diperkuat sekuat mungkin di depannya, bersiap menghadapi benang merah. 

“Yuki! Benang itu tidak mungkin bisa kamu tahan!”

“Eh?” 

Kanae, yang melihat luka Yuki belum sembuh, segera merangkul tubuhnya, lalu meloncat keras ke samping. 

Benang cahaya merah itu menembus perisai es yang sangat tebal, menciptakan lubang selebar sepuluh sentimeter, lalu meluncur terus menuju hutan buna di belakang mereka. 

Cahaya merah berkilau memotong udara.

Kasane membalikkan telapak kanannya, menarik kembali benang merah bercahaya itu.

“Kanae, kamu bilang skala kekuatanku kecil, kan? Sekarang puas?” 

Dari dalam hutan, suara pohon-pohon tumbang mengguncang bumi, bergema jauh dan dalam.

Dalam sekejap saja, pada garis lurus sepanjang ratusan meter, pepohonan terukir rongga selebar sepuluh sentimeter, lalu ambruk satu demi satu bagai boneka daruma yang dijatuhkan. 

“Tuan Kanae, benang itu adalah wujud terbalik dari partikel-partikel kecil yang banyak keluar dari bola itu!”

“Benar sekali. Pandanganmu setajam alat observasi, tak ada gunanya lagi menyembunyikan hal ini. Partike-partikel kecil yang dikatakan si pelayan itu sebenarnya adalah partikel gravitasi yang terus membasuh tubuh kita sekarang ini, graviton.” 

Gravitasi adalah gaya yang membuat benda bermassa saling tarik-menarik, sebuah manifestasi dari kelengkungan ruang.

Interaksi yang senantiasa berpindah di antara benda-benda, yang menyampaikan gravitasi itu sendiri, didefinisikan dalam fisika partikel sebagai akibat dari graviton.

Pengendalian gravitasi melalui graviton itulah yang menjadi wujud nyata dari dinding tekanan berat yang diciptakan Kasane, Void Gravity. 

“Sebaliknya, benang merah ini adalah hasil penghubungan dan penggabungan partikel virtual yang membalikkan sifat graviton, repulsion, partikel yang menolak. Rantai Repulsion-ku ini, tidak mengizinkan apa pun untuk menyentuhnya.” 

Gaya tolak adalah kekuatan yang mendorong dan menolak benda-benda menjauh.

Lintasan ruang Repulsion yang memancarkan gaya penolak itu secara sepihak, memusnahkan semua benda dalam radius lima sentimeter pada tingkat komposisi partikel, dan mengubah ruang sepanjang garis benang itu menjadi vakum berdiameter sepuluh sentimeter. 

Itu adalah bilah maut yang menolak keberadaan itu sendiri.

Tak satu pun yang diizinkan menyentuhnya.

Dengan kata lain, menghalangi Repulsion adalah hal yang mustahil secara fisika.


“Ayo, Elwesii. Mari bertarung, hanya kita berdua.”


Bagian 2

“Oke... Kanae, aku sudah bisa berdiri sendiri... Aah...! ...Ugh...”

“Tunggu! Luka-lukamu sama sekali masih belum sembuh...” 

Yuki mendorong Kanae menjauh, lalu mengayunkan tangan kanannya ke samping dengan cepat, membangun dinding es yang membentang tanpa akhir di antara dirinya dan Kanae. Dengan itu, Yuki dan Kasane terpisah dari Kanae, Levy, serta Tatsumi.

“...Selama Kanae tetap di sana, kamu pasti akan selamat. Tolong tunggu aku...”

Di balik dinding es, Yuki menahan rasa sakit dan bangkit berdiri, menjauh dari Kanae. Dia berhadapan dengan Kasane, dan pertempuran pun kembali dimulai.

Namun yang terjadi terlalu sepihak untuk disebut sebagai sebuah pertarungan.


Kekuatan Yuki yang mampu menciptakan dan mengendalikan kristal es nitrogen adalah kemampuan serba guna, bisa digunakan baik untuk menyerang maupun bertahan.

Namun bahkan es Yuki yang begitu kuat pun tak berdaya di hadapan rantai Repulsion yang digerakkan Kasane.

Benang merah bercahaya itu bergerak mengikuti ujung jari tangan kanan Kasane, mencabik dan merobek seluruh es Yuki yang dilewatinya.

Yuki hanya bisa berlari, melompat mundur, atau menembakkan tombak es untuk memanfaatkan reaksi dorong agar bisa menghindari benang itu dengan selisih tipis.


Kasane tidak memberi jeda.

Dia melepaskan beberapa Void Gravity ke berbagai arah, lalu dengan tangan kirinya yang bebas melemparkan bush knife dan granat tiruan, mempercepat keduanya dengan gravitasi.

Bahkan dirinya sendiri dia percayakan pada Void Gravity, berpindah dari satu tarikan gravitasi ke tarikan lainnya, melesat bebas melintasi ruang dengan kecepatan mematikan.


Perisai es diciptakan. Dentuman dahsyat bergema seperti bom yang meledak.

Yuki tak diberi kesempatan untuk menghemat tenaga.

Perisai es itu dicabik dengan mudah oleh benang merah bercahaya.

Serangan beruntun tanpa belas kasihan akhirnya membuat Yuki kehilangan keseimbangannya.

Kasane tak melewatkan celah sesaat itu.

Lima helai benang merah bercahaya mengekor, mengincar tubuh Yuki yang terhuyung, hendak membelahnya...


Sambil condong jatuh ke tanah, Yuki mengangkat kedua tangannya, menghentikan seluruh gerakan partikel di hadapannya dalam bentuk kubus.

Dia menggigit bibirnya kuat-kuat.

Itu adalah penggunaan penuh, batas tertinggi dari kekuatannya.

“Masih belum paham, ya?” 

Benang merah bercahaya menyentuh kubus kristal es itu.

Separuh darinya terkoyak, lima benang merah bercahaya itu terputus menjadi dua.

Potongan yang tercerai itu meluncur ke langit senja di belakang Yuki.

Rantai Repulsion yang lepas dari kendali Kasane mencabik habis tiang-tiang penghubung di luar kota, lalu tersedot jauh ke laut awan yang memerah.

Lima rongga yang terukir di lautan awan itu semakin merekah seperti retakan, hingga akhirnya mengoyak habis pola awan. 

“...Seharusnya mustahil ada sesuatu yang bisa bersentuhan secara fisik dengan Repulsion...”

Kasane tertegun menatap Yuki, yang barusan berhasil menahan serangan mutlak penolak eksistensi.

“Jangan panik. Elwesii tidak benar-benar menahan Repulsion dengan sentuhan fisik. Pembentukan es itu masuk dalam ranah manipulasi suhu. Hakikat dari kemampuannya adalah pengendalian percepatan dan perlambatan partikel. Jadi dia bisa memutus graviton-nya, atau bahkan mengintervensi langsung partikel virtual Repulsion dan membelokkannya.”

Dari balik dinding es, Tatsumi menganalisis situasi dengan tenang.

“Memang kekuatannya berbahaya, tapi kita masih unggul. Tidak seperti graviton, Repulsion tak bisa sepenuhnya ditahan.” 

Repulsion sempat menyambar sisi kanan perut Yuki, meninggalkan rongga sebesar kepalan tangan.

Luka tubuh yang tercerai hingga tingkat partikel tak bisa lagi pulih, darah deras pun mengalir dari perutnya, membuat tubuhnya menggeliat di tanah.

Rasa sakit begitu intens hingga dia bahkan tak sanggup berteriak, hanya bisa tercekik batuk darah, terengah-engah dengan napas tipis. 

“Sekarang saatnya menyelesaikan ini, selagi Elwesii masih lemah.”

“Baiklah. Tatsumi... Kamu urus saja Kanae itu.”


Krek, krek, krek, krek...

Kanae mencoba mengikis dinding es dengan bush knife milik Kasane yang terjatuh ke tanah.

Levy hanya bisa menangis tersedu, tak mampu ikut campur dalam pertempuran, tak sanggup pula menghentikan keberanian nekat Kanae. 

“Brengsek! Dasar, brengsek! Tunggu sebentar...!”

Kanae tiba-tiba menyadari sesuatu, matanya yang merah menatap tajam ke arah Tatsumi.

“Kamu tuannya Kasane, kan!? Kalau begitu hentikan dia sekarang juga!” 

Di balik dinding es, Yuki masih berjuang menahan Repulsion milik Kasane.

“Dan menurut kakak, aku akan patuh begitu saja?”

“...Revolvermu sudah tak berguna lagi setelah dibekukan Yuki!” 

Dengan kedua tangannya yang gemetar, Kanae menggenggam bush knife dan menodongkannya ke arah Tatsumi.

“Kalau begitu, paksa aku dengan kekuatanmu.”

Tatsumi menyeringai, mengejek. 

Kanae menggigit bibirnya, lalu menerjang sambil mengaum.

“Uooooooooooooohhhhhh!” 

Tatsumi menangkis sisi pisau yang mendekat dengan pukulan punggung tangan kanannya, membuat senjata itu terlepas dari genggaman Kanae.

Dengan gerakan mengalir dari pukulan tadi, dia memutar tubuh seperti matador, menghindari terjangan.

Kemudian, dengan momentum putaran itu, dia menancapkan siku kanan ke punggung Kanae yang terhuyung.

“Guhh!” 

Kanae terpental ke depan dan jatuh tersungkur.

“Mau lanjut lagi? Kalau menyerah sekarang, kakak masih bisa kembali ke kehidupan normalmu.”

“Jangan bercanda! Menutup mata dan membiarkan gadis yang berharga mati, aku gak mau hidup normal yang seperti itu!” 

Kanae meraih bush knife lain yang terjatuh di dekatnya, lalu berlari kembali ke arah Tatsumi.

“Hahaha, kakak ambil lagi? Sepertinya cara bertarung Kasane juga perlu dipertimbangkan ulang.” 

Wajah Kanae terdistorsi oleh amarah saat dia mengangkat bush knife dengan kedua tangan.

Tatsumi tersenyum tipis, menilai arah gerakan pisau itu.

Dia bergeser sedikit ke kiri, menghindar, lalu di saat bersamaan menghantam ulu hati Kanae dengan tinju kanannya, seperti sebuah pukulan lariat. 

Perut Kanae terguncang hebat, terdengar suara basah bergolak.

“Ughh... Gahhh...! Ogghh...”

Kanae jatuh ke tanah, wajahnya berlumuran muntahannya sendiri.

Kue stroberi, es krim Turki, matcha anmitsu... Makanan manis yang sebelumnya dia nikmati bersama Yuki dan Levy, kini keluar sebagai kotoran menjijikkan.

Kenangan berharga itu serasa tercabik, luruh dari dirinya. 

“...Hebat juga, kakak masih bisa berdiri.”

Kanae menyeka kasar mulutnya, kembali mengangkat bush knife, dan menyerbu.

Namun langkahnya sudah gontai, serangan itu sia-sia, tak berarti apa-apa. 

Pisau yang diarahkan ke Tatsumi... Pak.

Hanya dijepit ringan dengan dua jari.

Tatsumi mencabut bush knife itu, melemparkannya ke dinding es hingga menancap.

Segera setelah itu dia menyapu kaki Kanae, menangkap lengannya, dan membantingnya telungkup ke tanah.

“Gahhh...!” 

“Kasane, sudah selesai belum?”

Kanae yang tergeletak tetap berusaha melirik ke balik dinding es.

Yuki, terbaring telentang di tanah, masih merentangkan kedua tangan, berusaha mati-matian menahan benang merah bercahaya, rantai Repulsion yang menjulur dari tangan kanan Kasane.

Tubuhnya penuh luka, pakaian bekas pemberian Kanae kini telah menjadi lembaran kain compang-camping.

Di antara semua luka itu, bagian yang paling parah adalah rongga menganga di sisi kanan perutnya, yang tak juga bisa diperbaiki karena sumber daya kemampuannya telah tercurah ke tempat lain, membuat darah segar terus mengucur tanpa henti. 

“Belum juga tumbang... Seberapa gigih dia ini sebenarnya...?”

Bukan hanya Yuki, bahkan Kasane yang tak terluka sedikit pun tampak mulai kelelahan. 

“...Mungkin saja kita sudah salah cara sejak awal.” 

Tatsumi mengeluarkan sebilah pisau bersarung dari saku jasnya, lalu menggenggamnya dengan tangan kiri dalam posisi terbalik.

Dia mengibaskan pisaunya, sarung itu terlempar, dan mata pisau sepanjang kurang dari sepuluh sentimeter diarahkan tepat ke leher Kanae yang terbelenggu di tanah. 

“Elwesii, hentikan perlawananmu dan biarkan dirimu dibunuh dengan tenang. Jika tidak, maka tuanmu yang akan mati.” 

“...T-Tidak...! Kalau begitu...g-gantinya...b-biar aku...!” 

“Yuki! Jangan pernah mati!” 

Kanae berteriak.

Perintah sang tuan adalah sesuatu yang mutlak bagi Peri Fenomena.

Begitu Kanae mengucapkannya, terlepas dari kehendak Yuki sendiri, pilihan untuk menyerah pada kematian telah tertutup baginya. 

Tatsumi melirik sejenak sambungan earphone di telinganya, yang terhubung ke FT eksklusif miliknya. 

“Dasar merepotkan... Kalau begitu, memang tak ada pilihan selain membunuhmu.” 

“Tunggu sebentar, Tatsumi! Itu hanya ancaman, kan? Kamu sendiri bilang meski mereka tuan dari Tujuh Bencana Besar, sebisa mungkin manusia jangan dibunuh! Lagipula Kanae adalah...!”

“Sebisa mungkin, ya? Tapi kalau FT eksklusif yang seharusnya dihancurkan tak ada, dan kalau tak ada cara lain... Maka tak ada pilihan selain membunuh manusia ini. Itu perintah. Kasane, jangan membantah dan urus saja Elwesii.” 

Kasane pun berbalik menghadap Yuki, meski jelas itu bukan kehendaknya sendiri.

Tatsumi menempelkan mata pisau itu pada leher Kanae. 

Mendadak, dia merasakan sebuah kehadiran dan menoleh ke depan.

Tepat di hadapannya, Levy melayang. 

“Apa ini? Si bocah kecil... Oh, jadi kalau aku bunuh lelaki ini, kamu pun mati, ya?” 

Meski Tatsumi berkata demikian, Levy tampak tak peduli akan dirinya sendiri. Dia malah bergetar dalam ketegangan batin. 

“...Baik Tuan Kanae, maupun Yuki... Kalau salah satunya mati, yang lain pun ikut mati... Gak, gak, aku juga gak mauuuuuuuuuuuuuuuu!” 

Dengan putus asa Levy menerjang, namun Tatsumi menghantamnya dengan gagang pisau. 

“Ugh!” 

Levy jatuh di samping Kanae. Dengan tubuh mungilnya dia merangkak sekuat tenaga, meraih wajah Kanae dengan tangannya. 


“...Bukan hanya Kanae... Bahkan Levy juga ikut mati... Aku tak mau itu terjadi...! Jadi...kumohon...! Perintahkan aku untuk mati...!” 

“Membiarkan satu orang mati, atau menyeret tiga orang sekaligus ke liang lahat. Pilihan hidup yang begitu jelas. Sebuah triase, bukan?” 

“Mana bisa aku tega membiarkannya begitu saja! Mana bisa aku berpaling begitu saja!” 

“Begitu, ya. Sayang sekali kalau begitu.” 

Tatsumi mengayunkan tangan kiri yang memegang pisau terbalik itu.

Terdengar suara tumpul menghantam tulang leher. 

Yang menekan leher Kanae bukanlah mata pisaunya, melainkan gagangnya.

Dari belakang lehernya merembes cairan merah kental, menetes perlahan. 

“...Tuan Kanae? Tuan Kanae? H-Hah... Kenapa Tuan Kanae tidak bergerak...?”

Tatsumi cepat menarik kembali pisaunya, merah pekat itu menetes membentuk garis tipis seperti benang.

Yuki kehilangan tenaga, kedua tangannya yang menahan benang merah bercahaya pun terkulai ke tanah. 

Rantai Repulsion yang terlepas dari perlambatan partikel langsung melahap kakinya sebelah kanan sampai ke pangkal, melenyapkannya.

Namun Yuki sama sekali tak mengindahkan semburan darah yang bergolak keluar. 

“Sepertinya masih ada jeda waktu sebelum otaknya mati. Kasane, pastikan kamu beri dia pukulan terakhir.” 

“...Tch...!!”

Berbanding terbalik dengan wajah tanpa ekspresi Yuki, Kasane merengutkan wajahnya dan hendak mengayunkan benang merah itu.


“A...ah...aaaaaa... Ka...nae...”

Hembusan badai ganas bersuhu -70 derajat menerpa.

Kasane terhempas keras menabrak dinding es. 

Seluruh kawasan hutan buna berdiameter lima belas kilometer, yang diciptakan lewat sistem pendingin buatan, seketika berubah menjadi lanskap kutub layaknya Siberia. 

Hutan diterangi cahaya matahari senja yang hampir tenggelam, kini membeku.

Di tengah badai salju, Yuki berdiri, mengenakan gaun pendek putih bak busana pengantin Eropa.

Kaki kanannya yang lenyap, semua luka di sekujur tubuh, bahkan rongga besar di sisi kanan perutnya, semuanya hilang tanpa jejak. 

Rambut perak panjangnya, yang kembali terurai hingga ke pinggang, bergelombang lembut mengikuti langkahnya, sama sekali tak terpengaruh badai. 

“Pemulihan total dari semua luka... Apa kamu memaksakan reset ke kondisi standar...?” 

Yuki mengangkat tangan kanan ke arah Tatsumi yang menindih Kanae di balik dinding es.


Huuushhh... Master Key...


Hiasan bunga salju Elwesii di sisi kiri kepalanya bersinar, menyala biru sewarna kristal salju yang sama dengan mata biru esnya.

Kristal es nitrogen yang tersedot dari ruang di sekelilingnya berputar spiral, menyatu membentuk sebilah pedang panjang. 

Itu adalah pedang panjang es, berpola rumit seperti ukiran geometri. 

Dengan ringan tanpa kesan berbeban, Yuki mengayunkan pedang itu ke samping.

Tebasan esnya melepaskan massa es raksasa, memancarkan serangan membelah.


Kasane buru-buru menebaskan benang merah untuk membuka celah pada dinding es dan berlari ke sisi Tatsumi.

Dia memutar jemari kanannya, menenun benang merah membentuk perisai bulat, sebuah tameng penolak segala kontak fisik. 

Serangan es yang datang dengan mudah memotong dinding es, lalu menghantam tameng merah itu, keduanya saling berbenturan. 

“Apa sebenarnya kekuatan ini...?”

Bunyi berderak sumbang bergema. Namun, serangan es itu sama sekali tak menunjukkan tanda akan lenyap.

Daya dorongnya menekan Kasane hingga dia mundur setapak demi setapak. 

Kasane menciptakan Void Gravity di bawah kakinya, meraih lengan Tatsumi.

Keduanya terangkat ke udara oleh gaya gravitasi miring ke atas, menghindari serangan es di bawah mereka. 

Serangan itu melintas di atas Kanae yang terbaring, menumbangkan pepohonan hutan hingga ke akar-akarnya, mencabik-cabik tanah yang mengikatnya. 

Menggendong Tatsumi, Kasane mendarat di tempat yang agak jauh. 

Sementara itu Yuki berjalan mendekati Kanae, lalu perlahan meraih bahunya, mengangkat tubuhnya dengan lembut. 

“...”

“Yu, Yuki! U-Uh! Tuan Kanae...!”

Levy meratap penuh putus asa, namun tak ada jawaban.

Yuki hanya menatap kosong, matanya hampa tertuju pada Tatsumi.

Dengan tangan kiri mendekap Kanae, dia perlahan mengangkat pedang esnya dengan tangan kanan. 

“Kasane, gunakan Imperial Order.” 

“...Baiklah. Hanya saja, dengan sisa tenagaku yang sekarang, jangkauannya tak bisa jauh...” 

“Begitu ya. Kalau begitu...” 

Atas perintah Tatsumi, Kasane mengibaskan tangan kanannya, dan empat helai benang merah bercahaya yang tersisa pun lenyap dari ujung jarinya.


“Memulai penyebaran Aether dalam lingkup pandangan.

“Membangun jalur komunikasi dengan Peri Fenomena lokal.

“Selanjutnya, mendeteksi garis geodesik gravitasi.

“Selesai, memasukkan Affine Parameter yang optimal.

“Ambang batas tercapai.”


Yuki mengayunkan pedang esnya.

Sepanjang lintasan bilahnya, lahir tebasan es bermassa raksasa yang melebar, lalu melesat deras.


“Mengaktifkan Imperial Order, Apple Eater.

“Selamat tinggal, semuanya.”


Dengan Kasane sebagai pusat, kabut hitam muncul samar, membentuk setengah lingkaran.

Tebasan es itu mengembang ke arah vertikal dan horizontal, menggali tanah hingga terkoyak.

Bagaikan longsoran salju yang mengamuk, tebasan es yang menyebar luas itu ditelan bulat-bulat oleh kabut hitam, lalu lenyap. 

“...Ah... Eh...”

Tebasan es raksasa yang lenyap itu tiba-tiba muncul tepat di depan mata Yuki.

Serangannya sendiri dipantulkan kembali, persis sama tanpa berkurang sedikit pun.

Kecepatannya, daya sebarannya, segalanya tetap utuh. 

Yuki, tersentak refleks, menangkis dengan pedang es di tangan kanannya. Namun tubuhnya terpental oleh hantaman tebasan itu, terseret bersama Kanae dan Levy.

Retakan menjalar di pedang es, bunyi berderak memecah, lalu hancur berkeping-keping. 

Dengan dorongan yang tak terhentikan, tubuh mereka terlempar jauh ke pinggiran kota menuju langit terbalik yang ditelan senja, tempat matahari perlahan tenggelam.


* * *


Di kota terbalik, tempat gravitasi terjungkir.

Tubuh-tubuh jatuh ke arah langit yang tinggi.

Di kejauhan, miring di atas cakrawala, matahari perlahan tergerus. 

“Yuki! Sadarlah! Yuki! Tuan Kanae...!”

Yuki merangkul erat Kanae dan Levy, seakan bersandar pada mereka.

Meski Levy terus memanggil dengan suara putus asa, Yuki yang mengenakan gaun pendek putih hanya menatap kosong pada Kanae, tanpa ekspresi.

Kanae terdiam, Yuki seakan hilang dari dirinya.

Hanya Levy yang masih mampu bergerak waras di tengah situasi ini. 

Namun dengan tubuh sekecil itu, dengan suara, dengan tenaga, dia tak bisa melakukan apa pun. 

Levy berpikir.

Aku hanyalah seseorang yang sekadar memiliki mata yang tajam.

“Yuki! Dengarkan aku! Yuki! Kumohon!”

Rambut perak panjang Yuki berkibar hebat laksana sayap, menelan suara Levy. 

“...Uuh...! Padahal Tuan Kanae, dan juga Yuki, sudah berjuang begitu keras...”

Yuki bertarung mati-matian.

Bahkan saat tubuhnya hancur hingga membuat siapa pun ingin memejamkan mata, dia tetap berusaha hidup.

Meski begitu, demi Kanae, Yuki pernah ingin menyerahkan hidupnya. Namun Kanae tidak pernah mengizinkannya. 

Kanae menempatkan dirinya dalam bahaya, mengeluarkan instruksi yang tepat.

Dia bertarung melawan Tatsumi, berdiri lagi meski berulang kali dikalahkan.

Berkali-kali bujukan manis disampaikan kepadanya, namun dia tidak pernah menyerah pada hidup Yuki.


“Kenapa aku tidak bisa melakukan apa-apa!”


Levy hanya bisa bergerak sesuai perintah Kanae, lalu diam menyaksikan situasi.

Meski Yuki terluka, meski Kanae mengorbankan diri dalam pertarungan, Levy tak mampu bergerak.

Semua akar masalah terletak pada kelemahannya.

Hanya bermodal mata yang tajam, tanpa kemampuan lain, apa yang bisa dilakukan boneka seperti Levy selain tetap tak berdaya?

Dalam rasa tak berguna itu, Levy menyalahkan dirinya sendiri. 

“Yuki! Sadarlah!”

Dengan sekuat tenaga, Levy mengayunkan tangan mungilnya ke pipi Yuki, namun jari-jarinya hanya terpantul lembut oleh elastisitas kulit itu.

Levy menampar pipi Yuki berkali-kali.

Munyuu, munyuu, suara hampa yang makin menyesakkan. 

Levy ingin mengubah dirinya yang tak bisa mengubah apa pun.

Dia menginginkan kekuatan, kekuatan yang cukup untuk mengubah kenyataan dingin ini.


“Aku tidak mau tetap jadi pecundang yang tak berguna!”


Plak.

Suara tamparan telapak tangan bergema nyaring di udara. 

Pada wajah tanpa ekspresi itu, warna mulai kembali.

Mata Yuki berkedip-kedip, terkejut melihat Levy tepat di hadapannya. 

“...Levy...? ...Aneh sekali, apa yang terjadi denganmu. Kenapa kamu jadi begitu besar...”


* * *


Badai salju yang menggila menutupi hutan buna tiba-tiba mereda, dan sistem Floor Lagging mulai berfungsi kembali.

Tatsumi menatap langit fajar yang perlahan kehilangan cahayanya.

Kasane, dengan segenap tenaganya, menampar pipi itu. 

“Kenapa kamu bunuh Kanae? Dan juga si pelayan mungil itu! ...Kanae adalah orang yang seharusnya kutebus sendiri...! Ada banyak cara lain yang bisa kamu lakukan...!”

“Tenanglah sedikit. Janji pertama kita untuk tidak membunuh tuannya masih belum kulanggar.” 

“...Apa maksudmu?” 

Kasane melepaskan genggamannya dari kerah Tatsumi.

Tatsumi lalu mengeluarkan sebilah pisau bercat merah kehitaman dari sakunya, memainkan bilahnya yang bisa keluar masuk ke dalam gagang dengan bunyi clang, clang.

Di bagian atas gagang, terlihat kantung berlumur darah kering dan sebuah jarum kecil untuk menyuntikkan obat bius. 

“Ini cuma pisau mainan, Switchblade dengan bilah yang bisa ditarik masuk. Jarang sekali aku menggunakan trik murahan begini. Maksudku hanya memancing kegugupan Elwesii dan mencari celah... Tapi sepertinya aku malah menginjak ekor harimau. Yah, ini berarti kita harus mengulang dari awal. Kita juga harus cepat-cepat pergi dari sini.” 

“Mengulang dari awal, katamu...? Tapi aku sudah menjatuhkan Kanae ke langit terbalik, aku sudah membunuhnya...!”

“Oi, oi, masa kamu sendiri tidak paham struktur ruang aneh yang diciptakan oleh gravitasi terbalik Gravity Bound di Kobe?” 

“Aku, sudah lupa semuanya. ...Mungkin aku hanya ingin melupakan apa yang telah kulakukan.” 

“20 kilometer di atas permukaan tanah, ada bidang batas gravitasi terbalik. Gravitasi di sini bekerja dengan menarik segala sesuatu ke arah bidang itu. Lalu kota bertingkat Kobe dibangun dengan menjadikan bidang batas itu sebagai fondasi, diperkuat dengan menempel pada elevator orbit. ...Sampai di sini kamu paham?” 

“Kalau seseorang melewati bidang batas gravitasi itu, sifat gravitasinya akan terbalik, bukan?” 

“Selama tidak tersangkut di tiang penghubung, atau menabrak fondasi kota yang ada tepat di bawah, hampir mustahil ada yang mati karena jatuh di Kobe. Mereka hanya akan terlempar jauh ke luar kota, ke arah langit terbalik.” 

“Kalau begitu, Kanae dan yang lain yang jatuh itu... Bagaimana mereka akan berhenti?” 

“Mereka akan terus bolak-balik melintasi bidang batas itu sampai tenaganya habis. ...Seperti bungee jump, kira-kira begitu.”


* * *


Dalam kesadaran yang samar, sebuah kehangatan lembut membungkus kepala Kanae.

Ada sepasang tangan yang menopang dagu dan dahinya.

Ketika dia menggoyangkan kepalanya sedikit, dia merasakan elastisitas lembut yang membuatnya seakan tenggelam ke dalam sofa. 

“Ah! Tuan Kanae sudah bangun! Apa Tuan Kanae baik-baik saja!?” 

“...Nn-ah...?”

Kanae perlahan membuka kelopaknya.

Membentanglah malam tanpa selembar awan pun.

Di sampingnya menjulang dengan megah, kota bertingkat yang melawan gravitasi, Kota Terbalik Kobe.

Kota bertingkat itu memiliki struktur yang tidak membiarkan cahaya untuk bocor keluar, sehingga tidak seperti di perkotaan, langit malam tidak pernah lenyap.

Dua puluh kilometer jauhnya, di permukaan laut yang tersambung dari kubah bumi, terpantul langit penuh bintang dan bulan purnama.

Dan tepat di atas kepala Kanae...

“Ugh!” 

Wajah Kanae tertutup rapat.

Yuki, dengan tubuhnya sejajar pada posisi Kanae yang berbaring, menubrukkan pelukan erat padanya. 

“Kanae...! Syukurlah...! Kanae masih hidup...!”

“Bisa tidak sedikit menjauh!? Dadamu, dadamu menekan wajahku!” 

Yuki memeluk Kanae dengan seluruh tubuhnya, seakan ingin memastikan keberadaannya. 

“Ya ampun, Yuki. Kamu berat, tahu!” 

“Lebih tepatnya, kenapa aku masih hidup? ...Dan di mana ini?” 

“Kita berada di bagian paling bawah kota! Hmm? ...Atau, karena Kobe itu terbalik, mungkin lebih tepat disebut paling atas!” 

Suara Levy terdengar dari balik tubuh Yuki.

Entah kenapa, suaranya terasa lebih keras dari biasanya. 

“Eh?” 

Ada sesuatu yang janggal.

Meski pandangannya terhalang Yuki, Kanae tahu pasti apa yang menjadi alas kepala empuknya itu.

Malu memang, tapi tampaknya dia sedang dipangku.


Dipangku siapa?


Yuki sedang memeluknya erat dengan seluruh tubuh.

Itu bukanlah posisi seseorang yang memberi pangkuan. 

“Yuki, maaf, bisa kamu minggir sebentar?” 

“...Baik...”

Dengan enggan Yuki melepaskan tubuhnya, dan sosok lain segera mencondongkan badan, menatap Kanae dengan wajah penuh kecemasan. 

“Tuan Kanae! Bagaimana perasaanmu? Apa ada rasa sakit di bagian yang dipukul tadi!?” 

Tepat di depan mata Kanae, ada sebuah lekukan besar menonjol pada pakaian yang ketat menempel di tubuh.

Sedikit di atas tonjolan itu, wajah seorang gadis kecil menatapnya.

Tubuh mungil gadis itu terbalut gaun hitam panjang, dengan apron putih berenda di atasnya, sebuah pakaian pelayan.

Mata zamrudnya yang jernih dihiasi bintik-bintik kuning berkilau menyerupai bintang.

Rambut pirang bergelombangnya jatuh hingga separuh punggung, menyentuh pipi Kanae. 

“Aku, apa aku sudah gila? Kenapa aku melihat Levy jadi besar...?”

“Itu benar! Aku adalah pelayan yang mengabdi pada Tuan Kanae! Ini aku, Levy!” 

“Hah? Eh? Eh? Ehhhhhhhhhhhhhhhhh!?” 

Kanae sontak melompat dari pangkuan Levy, lalu mundur terhuyung dan merasakan sensasi melayang. 

“Itu berbahaya!” 

Di bawahnya hanyalah langit malam yang terbalik.

Levy dengan sigap menangkap lengan kanan Kanae dengan kedua tangannya, lalu menariknya kembali layaknya permainan tarik tambang.

Kanae jatuh terduduk di permukaan, dan menyadari alas pijakannya terbuat dari es.

Landasan es yang menjorok ke langit malam itu terhubung jauh ke depan, menuju Fasilitas Penanganan Benda Jatuh. 

Kanae kembali mengingat sensasi genggaman di lengannya.

Sensasi tangan seorang gadis seukuran manusia.

Tampaknya ini bukan mimpi. 

“Kanae, kenapa melamun? Apa tubuhmu masih sakit...?”

Namun kini, penampilan Yuki pun telah berubah.

Dia mengenakan gaun putih pendek, dan rambut peraknya yang seharusnya dipotong di rumah, kini terurai hingga pinggang.

Itulah kondisi standar dirinya sebagai Peri Fenomena.

Wujud yang sama seperti saat mereka pertama kali bertemu. 

“...Tidak, aku baik-baik saja. Tapi untuk sementara, bisakah kalian berdua menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi sekarang?”


* * *


Menyusuri tangga spiral dari es yang terbentuk mengikuti jalur lingkar luar, Kanae dan yang lain mulai mendakinya.

Mereka tentu saja tidak bisa menunggu datangnya pagi di dasar langit malam, jadi untuk sementara, mereka memutuskan untuk menuju ke atas.

Meski di dinding tak ada lampu penerang sama sekali, cahaya bintang-bintang dan sinar bulan purnama yang membentang di bawah mata mereka sudah lebih dari cukup. 

Sambil Yuki menambahkan anak tangga es seperlunya, Levy berbicara pada Kanae.

“Jadi begitulah, sepertinya kekuatan Yuki mengalir balik melalui tuannya, yaitu Tuan Kanae, lalu masuk ke dalam diriku! Dan kemudian, aku jadi sebesar ini! Wahaha!!” 

“...Aku sudah memastikan, sebagian dari Aether yang kumiliki, berpindah ke Levy. Selain sebagai medium keluaran Imperial Order... Tampaknya ada efek yang sama sekali tak terduga.” 

“Jadi hanya dengan berharap ingin jadi lebih kuat, lalu tubuhmu jadi besar? Sesederhana itu...? Ngawur banget!” 

“Pakaianku sampai robek, dan aku sempat benar-benar telanjang di udara, sangat merepotkan. Aku terombang-ambing naik-turun menembus batas pembalikan gravitasi, seperti orang yang sedang bungee jump, dan Yuki juga kerepotan mengurusku. Setelah semuanya agak tenang, aku membuka ransel Tuan Kanae, lalu meminjam pakaian dalam, sepatu, dan seragam pelayan yang sempat kita beli di toko!” 

“Ah, begitu ya... Lantas, dadamu, ehm! ...Maksudku, kelihatannya cocok sekali denganmu.” 

“Padahal itu ukuran untuk Yuki, tapi sepatu dan celana dalamnya pas sekali denganku. Cuma seragam pelayan ini, bagian bawahnya kebesaran sampai menggantung, tapi anehnya, di bagian dada kainnya justru ketat sekali.” 

“Hei, Yuki, kamu dengar itu? Levy baru saja menyindirku habis-habisan.” 

“Begitukah? Aku sama sekali ga sadar.” 

“Dan lagi, ukuran bra-nya sama sekali tidak muat, jadi, aku sekarang tidak memakai bra.” 

“Pfftt!” 

“Sekarang setelah aku sebesar ini, apa Tuan Kanae sudah percaya? ...Kalau aku, memang benar-benar punya ini.” 

Levy tanpa sedikit pun rasa malu, mengangkat dadanya yang besar seolah sedang mempersembahkan sebuah hadiah. 

“Sudah, sudah! Aku mengerti! Aku yang salah karena sempat meragukanmu! Jadi turunkan tanganmu itu!” 

“Reaksi Tuan Kanae benar-benar segar, entah kenapa aku malah sedikit senang... Ini dia!” 

Levy menampilkan senyum nakal, lalu tiba-tiba berusaha memeluk Kanae erat-erat.

Kanae, terkejut, secara refleks menghindar dan hampir saja terpeleset dari tangga es. 

Seandainya Yuki tak segera membentuk pijakan baru, dia pasti sudah terjatuh. 

“Kanae... Tolong jangan jatuh lagi. Levy juga, itu berbahaya.” 

“Maafkan aku! Aku terlalu bersemangat! ...Hanya saja, mimpiku terkabul sekarang...”

Levy menunduk dalam-dalam, meminta maaf dengan segenap hati pada Kanae dan Yuki.

Kalimat terakhirnya terdengar kecil, hingga sulit ditangkap dengan jelas. 

“Levy, kamu sudah seperti ini, aku pun tak tahu harus bilang apa lagi. Tubuhmu sudah terlanjur besar... Lalu, bagaimana denganmu, Yuki?” 

Bagi Kanae, semua ini sungguh mustahil. Namun rangkaian kejadian hari itu terlalu luar biasa hingga membuat perasaannya mati rasa. 

“...Sejujurnya, aku sama sekali tidak ingat. Saat orang bernama Tatsumi itu muncul, aku sempat salah paham kalau Kanae...terbunuh. Lalu kepalaku mendadak kosong... Dan ketika tersadar, aku sudah berada di langit dalam wujud ini.” 

Yuki meraba rambut peraknya yang kini panjang, wajahnya menunduk seakan merasa bersalah. 

“Y-Ya! Aku sampai kaget luar biasa ketika Yuki tiba-tiba berubah! Lalu dia langsung bertarung... Tapi tiba-tiba Kasane menghantamnya, wush! Kita semua, Tuan Kanae dan aku, terpental keluar dari kota, jatuh ke luar...” 

Levy berkata terbata-bata, seakan mencoba merangkai kata.


Saat itu Kanae sedang pingsan, dan Yuki pun kehilangan ingatan. Dengan demikian, kebenaran hanya bisa ditopang dari cerita Levy.

Namun, jelas terlihat Levy menyembunyikan sesuatu. 

“Levy... Apa yang kamu...”

Levy segera meletakkan jari di bibirnya, memberi isyarat mulut terkunci.

Lalu dia mendekat pada Kanae dan berbisik pelan. 

“...Hanya pada Tuan Kanae saja, nanti aku akan ceritakan. Jadi sekarang, tolong...” 

Wajah Levy begitu serius.

Melihat Yuki yang menatap kosong penuh tanda tanya, Kanae akhirnya mengalihkan topik.


“Meski kita jatuh sejauh ini di udara, anehnya tak terasa terlalu dingin. Yuki, apa kamu membuat sesuatu dengan kekuatanmu?” 

“...Tidak. Kemampuanku pada dasarnya tidak dapat menghasilkan api atau panas melalui percepatan molekul...” 

“Itu karena struktur atmosfer di sekitar Kobe berbeda dengan tempat lain, Tuan Kanae! Normalnya, di ketinggian ini suhu akan turun di bawah -70 derajat. Tapi karena adanya fenomena pembalikan gravitasi, kita terisolasi dari udara luar.” 

Levy menambahkan penjelasan seolah itu hal biasa, sembari mengangkat telunjuk dan merangkai uraian yang terdengar ilmiah. 

“Untungnya batas pembalikan gravitasi ada tepat di 20 kilometer dari permukaan! Kalau sedikit lebih tinggi, lapisan ozon dengan konsentrasi tertinggi di ketinggian 25 kilometer bisa jebol, lho! ...Ah, lapisan ozon itu adalah lapisan atmosfer yang menyerap dan menghalangi sinar ultraviolet berbahaya dari luar angkasa. Tanpa lapisan itu, sinar ultraviolet akan menghujani kita langsung, dan meski ada kota Kobe, tidak akan ada manusia yang bisa tinggal di sana.” 

“...Aku tidak terlalu paham dengan apa yang kamu katakan, Levy.” 

“Pelajaran sekolahku pun tidak pernah sampai sejauh itu... Maaf kalau kasar, tapi... Levy, sejak kapan kamu sepintar ini?” 

“Aduh, apa yang Tuan Kanae katakan? Aku ini bodoh kok. ...Tapi sejak dulu, aku bisa samar-samar memahami sifat benda yang kulihat. Dan baru saja, setelah aku tumbuh besar, aku tiba-tiba bisa benar-benar mengerti ‘apa yang ada, dan bagaimana keberadaannya’. Semuanya terlihat jelas.” 

“Jadi, bukan berarti kamu bisa menimbulkan fenomena fisik khusus seperti Yuki.” 

“Ugh, jangan bilang begitu... Memang aku tidak bisa melakukan hal mencolok seperti Peri Fenomena pada umumnya, tapi! Aku bisa jadi karakter serba tahu yang bisa menjelaskan apa saja! Andalkan Levy saat kesusahan!” 

“Tidak perlu repot-repot menjual dirimu begitu!” 

“Tapi, kan sudah susah payah aku dapat bagian dari kekuatan Yuki, selain ini aku tidak punya...”

“Levy... Minuman bernama lavender yang kuminum di rumah Kanae waktu itu sungguh lezat.” 

“Kalau sekarang, dengan kemampuan Levy, mungkin teh dan kue bisa kamu buat sepenuhnya dari awal, tanpa bantuanku.” 

“Kalau begitu, boleh aku juga mencicipi makanan buatan Levy?” 

“...Tuan Kanae, Yuki... Kalau begitu, ayo semua pulang ke rumah bersama... Ah.” 

“...Benar juga... Rumah Kanae, sudah tidak ada lagi...” 

Yuki dan Levy terhenti langkahnya.

Kini, Kanae memang tak punya rumah untuk kembali, dan tak ada tujuan pun untuk dituju. 

Kanae menepuk bahu Yuki dan Levy yang berbeda tinggi itu dengan kedua tangannya, lalu mendorong mereka untuk melangkah maju. 

“Kalau bukan rumah pun tak apa. Kita bertiga saja, yang membangunnya. Untuk itu...yah...” 

Kata-kata Kanae terhenti di udara.

Dia ingin menyemangati, namun sama sekali tak bisa memikirkan cara untuk keluar dari keadaan ini.

Menurut Tatsumi, pemeriksaan pada kapal udara sedang diperketat.

Di kota terbalik yang melayang di langit ini, selain kapal udara, tidak ada cara lain untuk keluar dari Kobe.

Namun, jika mereka hanya terus berlari dan bersembunyi di dalam kota, akhirnya pun sudah jelas terlihat.

Hanya dalam hitungan jam, Asgard mampu menemukan Kanae meski terpisah 96 lantai. 

“...Untuk sementara, kita harus mencari tempat yang sedikit lebih tenang dulu. Kalau terus menaiki tangga es ini, paling tidak kita bisa sampai di lantai pertama.”

“Lantai pertama di kota ini, seperti apa tempat itu?”

“Aku juga tidak tahu pasti. Hanya ada satu elevator yang bisa lewat. Bagian bawah Kobe sudah berubah jadi daerah kumuh dengan keamanan buruk, tapi katanya bahkan tidak ada orang yang tinggal di lantai pertama. Tempat itu diabaikan orang-orang.”

“Hiiiii! Jangan-jangan ada hantu di sana!?”

“...? Hantu itu apa?”

“Ya, kalian berdua sebenarnya sudah seperti hantu sih. Yah, hantu itu...” 

Sebelum penemuan Peri Fenomena, pernah ada laporan tentang fenomena gaib, poltergeist, dan sebagainya.

Kemudian, dalam penelitian di tahun-tahun berikutnya, dipastikan bahwa semua itu adalah akibat dari Peri Fenomena yang terbentuk secara alami dalam wujud yang tidak sempurna. 

“...Yang disebut hantu itu, makhluk mati yang muncul kembali dalam wujud roh seperti dirimu dan Levy.”

Dengan bentangan langit malam di bawah mata, Kanae bercerita dengan semangat.

Yuki hanya mengangguk, sementara Levy gemetar ketakutan. 

“Hantu itu biasanya masih punya penyesalan saat hidup, jadi mereka tetap tinggal di dunia ini. Misalnya seseorang mati terbunuh dalam sebuah insiden... Lalu muncul kembali dengan wajah menyeramkan, gentayangan sambil berkata... U-ra-me-shi-ya~!”

“Aku tidak dengar! Tidak dengar! Tidak dengar! Tidak dengar! Tidak dengar!”

“U-ra-me-shi-ya? ...Itu bahasa apa?”

“Itu artinya, menyimpan dendam. Jadi, dalam cerita ini, hantu menyimpan dendam pada orang yang telah membunuhnya.”

“Kalau begitu, Kanae... Setiap orang yang terbunuh, semuanya akan jadi hantu lalu selamanya hidup dengan dendam, terus bergentayangan...?” 

Yuki bertanya dengan nada lebih serius dari biasanya, membuat Kanae sedikit bingung.

Dia buru-buru mengubah arah pembicaraan. 

“Aku rasa tidak semua hantu sesedih itu. Penyesalan itu macam-macam. Misalnya, seseorang punya hal kecil yang belum sempat dilakukan semasa hidupnya, lalu berharap ada yang mewujudkannya, sehingga tetap bertahan sebagai hantu.”

“Kalau Tuan Kanae tidak ada, mungkin aku sudah jadi hantu yang merindukan kue manis!”

“Itu penyesalan karena rakus... Bukannya aku sudah pernah bilang? Ngomong-ngomong Levy, lihat! Ada hantu di sampingmu!” 

Kanae menunjuk ke dinding abu-abu di bagian luar, dan Levy yang ketakutan langsung menoleh secepat kilat.

Tentu saja tidak ada apa-apa di sana. Kanae hanya bermaksud menakut-nakutinya. 

Namun tiba-tiba... gangangangangangangangangang.

Terdengar suara dari balik dinding. 

“Waaaaaaaaaaaaaaaaaaaaahhhhhhhhhhhhhh!!”

“Seriusan, aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!” 

Kanae dan Levy berlari mundur bersamaan, bahkan hampir terpeleset jatuh dari tangga es.

Untung saja Yuki, yang tetap tenang, segera menciptakan pijakan tambahan sehingga mereka selamat. 

“Makanya, tolong jangan jatuh lagi. Aku sangat khawatir.”

“Ini bukan soal jatuh! Kenapa bisa ada suara dari balik dinding!? Kita ini lagi di langit!!”

“Tuan Kanaeee! Jangan-jangan itu benar-benar hantu!?” 

Kanae dan Levy duduk jatuh di atas pijakan es tambahan, keduanya mundur ketakutan.

Tiba-tiba, terdengar sebuah suara.


Kehadiran ini... Tuan Gi?

Repu... Sangat kesepian.

Aku akan...menuangkan teh hitam kesukaannya...Tuan Gi.


Suara dari balik dinding itu perlahan melemah.

Namun jelas ada sesuatu, atau seseorang di sana. 

“...Barusan, kalian tidak dengar suara gadis aneh itu?”

Yuki dan Levy sama-sama menggeleng.

Sepertinya suara pilu itu hanya bisa didengar oleh Kanae. 

“Kalau begitu, Levy. Setelah tenang sedikit, coba perhatikan baik-baik dinding ini.” 

Levy akhirnya menenangkan diri, lalu menatap lekat-lekat dinding luar itu.

Bintang-bintang dalam matanya berkilauan. 

“Tuan Kanae! Ini ternyata pintu yang disamarkan di dalam dinding! Dan lebih lagi, tempat ini bukan dinding luar kota bertingkat tambahan, melainkan bagian dasar asli dari elevator yang terekspos!”

“Kenapa bisa ada pintu di ketinggian 20 kilometer? Kamu bisa tahu apa yang ada di dalamnya?”

“Aku tidak bisa melihatnya! Sepertinya hanya dinding di sekitar sini yang terbuat dari material khusus yang bisa menghalangi pengamatanku!” 

Bahkan Levy, yang mampu mengenali partikel dasar seperti graviton sebagai partikel-partikel kecil, tidak bisa menembusnya. 

“...Haruskah kita buka?” 

Yuki mengangkat tangan kanannya, menciptakan tombak-tombak es di sekelilingnya. 

“Berhenti! Kalau ada orang di dalam, itu berbahaya! Kalau ini pintu, pasti ada cara normal untuk membukanya, kan?”

“Sebentar... Hmmm... Ah! Ada perangkat pengenal di bagian ini!” 

Levy menempelkan telunjuk kanannya pada dinding, menelusuri kotak persegi sebesar telapak tangan pria dewasa. 

“Tapi kalau begini, hanya orang yang bisa melewati sistem pengenal inilah yang bisa membuka pintunya!” 

Dia menempelkan tangannya, tapi tidak ada reaksi.

Yuki ikut mencoba, hasilnya sama. 

“Gawat, berarti memang harus dihancurkan oleh Yuki. Seandainya pintu ini bisa terbuka begitu saja...” 

Sambil menggerutu, Kanae pun menempelkan tangannya ke dinding.


Identified.

Class: Administrator.


Sekejap kemudian, terdengar suara mekanisme dari balik pintu. 

“Terbuka.”

“Serius?” 

Di dinding abu-abu itu, sebuah celah dengan pola bergerigi tajam terbentuk, lalu perlahan terbuka ke kiri dan kanan.


Terdengar suara yang sumbang.

Seperti kotak musik yang rusak, sebuah suara sopran dengan nada-nada yang hilang di sana-sini. 

“Selamat pulang, Tuan Gien. Repu sudah lama menunggu.” 

Di tengah kegelapan, melayang seorang gadis seukuran boneka.

Dia mengenakan gaun frill berwarna merah kecokelatan yang compang-camping, sambil menjinjit rok mengembangnya di kedua sisi dan menundukkan tubuh.

Tubuhnya kurus kering kehilangan daya hidup, kulitnya pucat kebiruan sampai tampak sakit.

Rambut panjangnya yang menyentuh lantai berwarna kusam seperti cahaya senja yang pudar.

Segalanya tampak lapuk dimakan waktu, seolah akan lenyap kapan saja. 

Gadis lusuh itu mengangkat wajahnya, lalu menatap Kanae. 

“Aku sudah siapkan teh Earl Grey kesukaan Tuan Gien. Daun teh ini dari Tiongkok, kucampur...” 

Namun hanya mata gadis itu yang tetap terlepas dari pelapukan, masih indah seperti dahulu.

Dasarnya biru nila pekat, di dalam irisnya tertanam rapat pola misterius menyerupai ukiran kristal, seakan dirajut dengan keterampilan seorang pengrajin.


...Kanae pun teringat akan wujud gadis itu di masa lalu.

Gaun merah.

Rambut panjang berwarna senja kekuningan, dan mata hijau kebiruan laksana kristal.

Sosok yang pernah muncul dalam rekaman seminar legendaris milik Haitani Gien, sosok yang tergantung sebagai gantungan kunci di tangan sang ilmuwan.

Dan yang menurut Kasane disebut sebagai “kakak kami”.

Penguasa gaya tolak, Peri Fenomena pertama. 

“Jadi kamu Repulsion!? ...Kalau begitu, tempat ini barangkali...!!” 

Dia teringat ucapan dari kelas.

“—Kecuali yang ada di Tokyo, yang diumumkan secara resmi, semua lab pribadi Haitani Gien tidak pernah ditemukan hingga sekarang...” 

“Ya. Repu selalu berada di sisi Tuan Gien. Di sinilah, markas rahasia Tuan Gien... Hide Lab di Kobe, benar bukan?”


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

0

Post a Comment


close