NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Yosei no Batsurigaku―PHysics PHenomenon PHantom―[LN] Bahasa Indonesia Volume 1 Chapter 1

 Penerjemah: Chesky Aseka

Proffreader: Chesky Aseka


Chapter 1

“Kobe Gravity Bound ── Reverse City──”


Bagian 1

...Hari Sabtu ada pelajaran sampai siang.

Minggu lalu aku bolos, tapi untuk hari ini saja aku sudah memutuskan akan pergi.

Sebenarnya aku sama sekali tidak berniat untuk pergi, tapi kalau tidak menuruti apa yang dikatakan orang, itu hanya akan menimbulkan masalah.

Itulah sebabnya sebelum tidur aku sudah memastikan jam alarm.

Kalau begitu, kenapa belnya tidak berbunyi...?

Murotsuki Kanae, sambil setengah terjaga dengan kelopak mata tertutup, mengulurkan tangan kanannya ke arah kanan atas, ke tempat biasanya jam alarm berada.

Punyuu...

Sensasi itu menunjukkan kelenturan lembut yang sama sekali tidak menyerupai jam.

Bentuknya berubah mengikuti gerakan jari, baik saat ditekan, ditarik, maupun dicubit, benda ini jelas bukan jam alarm.

Getaran yang terasa pun teredam, sehingga Kanae semakin merasa ada yang janggal, lalu memaksa kelopak matanya yang berat untuk terbuka.

Di antara dua bel yang bergetar, telapak tangan kanan Kanae sedang mencengkeram pantat seorang gadis kecil.

“Dalam keadaan begini... Kamu masih tidur...!?”

Di antara dua bel sebesar bola tenis di bagian atas jam besar bergaya gotik, wajah gadis itu terbenam rapat dan dia tertidur pulas.

Seharusnya, getaran bel yang mengeluarkan suara nyaring untuk membangunkan orang itu, sepenuhnya terserap oleh wajahnya yang menekan kedua pipi.

Wajah tidur gadis itu, yang tenggelam dalam rambut emas bergelombang miliknya, terlihat sangat damai meski kepalanya bergetar cepat.

Karena getaran bel, air liur yang menetes dari mulut terbuka gadis itu terpercik ke kiri dan kanan dengan sibuknya.

“Udah kayak bulldog aja.”

Kanae mencubit pipi gadis yang tidur nyenyak itu hingga berubah bentuk, tapi seperti dugaan, tidak ada reaksi dan dia terus bernapas lembut dalam tidurnya.

Kanae pun memutuskan untuk mengambil tindakan tegas.

Dengan ibu jari menahan kekuatan jari telunjuk yang hendak kembali ke posisi semula, dia membidik bagian tengah kening gadis itu, lalu melancarkan sentikan jari.

Plak! Suara yang agak keras terdengar, dan bersamaan dengan itu, gadis itu langsung menegakkan kepalanya.

“T-Tuan Kanaeeee! A-Ada gempa bumi besar! Cepat kita harus mengungsi!”

“Yang bergetar itu kepalamu, Levy.”

Kanae melingkarkan tangan kanannya ke pinggang gadis bernama Levy itu, lalu mengangkatnya seperti menangkap boneka di mesin capit.

“Hyaaaahh!”

Kringgggggggg!!

“Pengganjal” yang tersangkut terlepas, dan bel pun berbunyi nyaring.

Levy, yang tergenggam di tangan kanan Kanae, mengenakan pakaian ala pelayan.

Di atas gaun panjang hitam, dia memakai celemek berenda putih; ditambah rambut emas bergelombang alami sepanjang punggung, penampilannya sekilas tidak seperti cosplay, melainkan benar-benar pelayan asal Inggris.

Namun, tinggi badan Levy hanya sekitar tiga puluh sentimeter, seukuran boneka.

“...Sepertinya sudah waktunya. Tuan Kanae, mari kita sarapan.”

“Sudah tidak ada waktu.”

“Eh? Tapi kalau jamnya berbunyi, berarti ini pukul tujuh, kan? ...Eh, t-tepat pukul delapan... Hyaaahhh! Aku terlambat!!”

Levy terkulai lesu seolah dunia akan berakhir.

Dia turun dari tangan Kanae dan mendarat tepat di sebelah jam alarm.

Dengan kedua tangannya, dia menekan tombol kecil yang menonjol beberapa sentimeter di jam itu.

Masih bergelayut di tombol, Levy menunduk dan mulai menjelaskan dengan nada pelan.

“...Hari ini aku ingin bertindak seperti pelayan sejati, membangunkan Tuan Kanae lebih dulu...”

“Pada akhirnya aku duluan yang membangunkanmu.”

“Hyaa!”

Kena tepat sasaran, Levy tersentak, dan tanpa sengaja menekan tombol itu lagi.

Suara bel yang bising kembali memenuhi ruangan, tapi Levy sudah tidak punya ketenangan hati untuk mematikannya.

“Aku ingin Tuan Kanae menikmati teh panas dan kue manis saat bangun tidur...”

“...”

“Aku pikir kalau tidur di sebelah jam alarm, aku bisa bangun lebih dulu dari Tuan Kanae, tapi... Aku malah menjadikannya bantal...”

Mata Levy berwarna hijau zamrud jernih, dan tambahannya di dalam matanya ada pola bintang kuning pucat yang tertanam yang tampak seperti stiker hiasan.

Mata itu sedikit berkaca-kaca karena rasa bersalah, membuat bintang di dalamnya tampak berkilau.

Kanae menurunkan kedua tangan Levy yang masih memegang tombol, mematikan suara bel itu.

“Yang sudah terjadi, biarlah terjadi. Bukan cuma peri yang tidak bisa melawan kantuk, manusia juga begitu.”

“Kalau seorang peri suka tidur larut dan bangun siang, sama sekali tidak berguna sebagai pelayan yang melayani Tuan Kanae.”

“Orang bilang anak yang banyak tidur akan tumbuh besar. Tidurlah yang nyenyak, tumbuhlah menjadi pelayan super dengan tubuh indah dan lekuk sempurna. Anggap saja ini persiapannya, mungkin.”

“Tapi sebenarnya, aku ini punya bentuk tubuh cukup bagus, lho?”

Levy melirik Kanae dengan tatapan genit murahan.

“Mau aku ukur pakai penggaris dan busur derajat?”

“Kemontokanku bukan bangun datar!”

Kepercayaan diri Levy yang tipis langsung hancur, membuatnya terkulai.

Namun, ketika melihat jam di depannya, dia kembali teringat tujuannya dan menegakkan kepala dengan semangat.

“Benar! Tuan Kanae, ini soal sekolah! Bagaimana ini?”

“Baiklah, bolos saja.”

“Walau terlambat, tetap saja kita harus pergi! Apalagi minggu lalu juga sudah bolos!”

“Itu gara-gara kamu mencampur ekstrak vanila dengan obat pencahar pada kue di hari sebelumnya.”

“Hyaa, maafkan aku!”

“Entah kenapa hari ini aku ingin bersantai. Aku tidak akan pergi. Kamu mau ke jalan-jalan, Levy?”

“Baiklah.”

Cepat sekali berubah sikapnya.

“Kalau begitu, ke kafe, toko kue, gerobak es krim, toko anmitsu, lalu...”

“Perutku penuh gula nanti! Sisipkan makanan pokok sekali-kali buat manusia.”

“Kami tidak bisa makan selain yang manis. Aku tidak mengerti kenapa manusia mau makan selain yang manis...”

“Kalau ada peri yang makan camilan pedas atau mapo tofu yang pedas, apa yang terjadi?”

“Dulu pernah aku coba sedikit punya Tuan Kanae, dan langsung lari ke wastafel...”

“Manusia sih tidak separah itu, tapi kalau cuma makan manis, itu berat juga, tahu?”

“Karena kami para peri hanya bisa menyerap nutrisi dari makanan manis, jadi aku selalu menyiapkan hal yang mirip-mirip untuk Tuan Kanae...”

“Tidak, aku tidak menyalahkanmu sejauh itu! Aku pernah dengar otak manusia butuh gula supaya bisa berpikir, apalagi di pagi hari saat kepala masih pusing, jadi sekalian untuk membuatku terjaga, bukannya itu pas? Jadi, kumohon.”

“Eh?”

“Kamu kan mau jadi pelayan? Ayo, teh dan kue.”

“Ah, baik! Akan segera kusiapkan, mohon tunggu sebentar!”

Setelah mengatakan itu, Levy melesat ke dapur yang berada tepat di depan ranjang tunggal.

Meski disebut peri, mereka tidak punya sayap.

Mereka tidak mengendalikan gravitasi untuk terbang, hanya saja mereka berjalan di udara, tak terikat oleh konsep permukaan tanah maupun gravitasi.

Levy mendarat di atas tombol “Panaskan” pada teko listrik sebesar tubuhnya, melayang sedikit sambil mengatur waktu dan suhu.

Lalu dia terbang menjauh dari teko dan mendarat di lemari piring di sebelah kulkas.

Mengambil satu sendok, dia menyelipkan gagangnya ke celah pintu kulkas, lalu memanfaatkan prinsip tuas untuk membukanya.

Meraih rak teratas, dia mengambil sepotong sponge cake polos yang kemarin dibelinya bersama Kanae, meletakkannya di piring, dan dengan susah payah mengangkatnya.

Ditaruh di atas kepala, dia membawanya perlahan ke atas meja.

Setelah itu, Levy bolak-balik antara kulkas dan meja, menghias sponge cake polos itu.

Dia memeras krim dan cokelat sebanyak-banyaknya, menaburkan butiran gula berlapis perak, lalu menaruh potongan stroberi dan nanas di atasnya.

Dalam sekejap, jadilah sebuah kue yang tampak indah.

Kanae memastikan semuanya sudah beres, lalu berganti posisi dengan Levy dan menuju dapur.

Ketika Kanae kembali setelah selesai menggosok gigi di dapur, Levy tengah mencelupkan kantong teh ke dalam cangkir berisi air mendidih.

Bukan Levy, melainkan Kanae yang membawa cangkir itu ke meja.

Tidak seperti kue, jika cangkir itu terjatuh, Levy bisa terkena bahaya.

Melihat itu, Levy menampakkan wajah sedikit murung.

“Gula dan susu mau berapa?”

“Gulanya dua batang, dan krimernya kasih yang banyak.”

“Batang yang itu... Oh, dua ya!”

Begitu melihat wadah panjang yang entah dari mana dibawa Levy, mata Kanae membelalak.

“Itu juga obat pencahar! Mau bikin hari Sabtu jadi berantakan lagi, hah!?”

“Hueee, kenapa sih di sini banyak banget obat pencahar...”

“Karena waktu itu aku nyuruh kamu belanja, dan kamu malah beli banyak! Apa yang kamu pikirkan waktu itu!?”

“Soalnya warnanya mirip sama bentuknya, jadi...”

“Tempat kamu ambil itu jelas-jelas bukan di rak makanan! Di meja makan rumahku nggak pernah ada pil atau protein bar!”

Levy akhirnya membawa yang benar, lalu dengan susah payah membuka kemasannya dan menuangkannya ke dalam cangkir.

Bagaikan penyihir yang mengaduk ramuan di kuali, dia menggerakkan seluruh tubuhnya untuk melarutkan gula dan susu dengan sendok.

“Tuan Kanae, tehnya sudah siap!”

Di tengah ruang tamu yang tak bisa dibilang luas, terdapat meja kecil untuk dua orang.

Levy berdiri di atas meja, sementara Kanae duduk berhadapan dengannya.

Sponge cake polos yang tadi hanyalah dasar kue kini telah berubah menjadi kue berhias indah, setara dengan yang dipajang di toko-toko.

Tehnya pun, kemungkinan diseduh lebih baik daripada para penyaji teh profesional di perusahaan mana pun.

Namun, Levy tetap menunjukkan wajah tak puas.

“Ada apa? Bagus kok hasilnya.”

“...Aku cuma merasa, andai saja aku bisa melakukan lebih banyak lagi.”

Kanae menusukkan garpu ke kue sambil melirik Levy yang tampak canggung.

“Kalau aku punya kemampuan mengendalikan suhu, aku bisa membuat kue dari adonannya langsung. Kalau bisa mengendalikan gravitasi, aku bisa menggunakan peralatan masak, mengangkat cangkir, dan menyeduh teh sendiri.”

“Kamu kan sudah bikin kue. Walau sering nyampur bahan berbahaya juga sih.”

“Adonan kuenya kebanyakan bahan instan. Dan kalau pakai pisau atau oven, aku selalu minta bantuan Tuan Kanae. Padahal aku ini seharusnya seorang peri yang melayani tuannya, tapi aku tidak punya kemampuan apa pun...”

Mata Levy mulai berkaca-kaca.

Air mata yang tumpah seolah akan menghapus bintang-bintang di dalam matanya.

“Aduh.”

Kanae kembali menjentik dahinya. Dia lalu menaruh sepotong kue di atas sendok dan menyodorkannya pada Levy.

“Jangan cengeng, dasar tukang nangis. Apa kamu punya kemampuan khusus mengendalikan air mata, hah?”

Levy, sambil mengunyah penuh mulut, langsung memamerkan senyum cerah.

“Ham... Tuan Kanae, terima kasih!”

Kali ini, Kanae mengambil salah satu wadah krimer bekas pakai, mengisinya dengan teh, lalu menyerahkannya pada Levy.

“Ingat waktu aku masak sarapan gantiin kamu kemarin? Waktu itu aku nggak bisa menghias kue secantik ini, dan teh celupku cuma jadi air pahit. Jadi, kamu boleh bangga.”

“Aku ingin merawat Tuan Kanae lebih banyak lagi! Kayak pelayan yang sempurna!”

“Kalau gitu, tidur yang banyak. Nanti kalau sudah besar, kamu bisa masak apa saja.”

“Aduh, itu lagi! Kali ini aku nggak akan sampai dibangunin Tuan Kanae!”

Dengan mulut belepotan kue, mereka berdua tertawa lepas. Suasana sarapan pagi itu sungguh hangat.

Pipipipipipi.

Nada dering bawaan ponsel menggema dari sisi bantal di tempat tidur.

Kanae dengan hati-hati mengangkatnya dan menjawab.

“Nozomi-sensei, maaf...”

Namun suara yang memotong tanpa memberi kesempatan berbicara langsung memenuhi ruangan lewat speaker.

“Kanae, bukannya aku sudah bilang kamu harus datang ke sekolah hari ini? Apa yang sedang kamu lakukan? Jangan-jangan kamu bangun kesiangan, lalu setelah bermesraan dengan Levy, kamu kabur dan berniat menikmati libur, ya?”

“Sensei itu cenayang, ya?”

“Sebagai guru sains, aku memasang alat penyadap buatanku sendiri di rumahmu.”

“Guru sains di mana pun nggak ada yang bikin alat penyadap!”

“Sebenarnya hanya deduksi sederhana. Sampai jam segini kamu belum di sekolah, tapi kamu mengangkat telepon dengan suara yang normal. Berarti bukan karena kesiangan, dan dari kebiasaanmu, bisa dipastikan kamu bolos.”

“Itu bukan deduksi, cuma tuduhan, tapi aku nggak bisa bantah... Ngomong-ngomong, apa dugaan Sensei tadi?”

“Kalau kamu lagi jadi teman akrab toilet karena teh racikan spesial Levy.”

“Pasti Sensei memang pasang penyadap! Boleh nggak aku manggil tim G-Men buat nyisir ruangan?”

“Soalnya kemarin teh yang Levy buat berbau aneh, jadi aku analisis, dan ketahuan mengandung antrakuinon, bahan yang dipakai di obat pencahar komersial.”

“Benda macam apa yang kamu bawa-bawa!? Aku bisa ikut disalahpahami, tahu!?”

“Byaa... Maaf ya, Nozomi-senseeeeiiii!”

“Mungkin Levy ini peri yang mengendalikan kelancaran buang air, sesuatu yang bahkan Haitani Gien pun tak pernah temukan.”

“Itu cukup berguna sih, tapi nggak ada hubungannya sama fisika!”

“Aku dapat kekuatan baru!?”

Levy, yang dari tadi menunduk sambil meminta maaf, tiba-tiba mengangkat kepala dan matanya berkilat.

“Kamu ini oportunis ya.”

“Hm? Levy bilang apa?”

“Cih, padahal kalau aku minum, berat badanku bisa turun satu kilo.”

“Aku nggak bilang begitu!”

“Berat badanku turun dua kilo, terima kasih.”

“Sensei minum itu!? Padahal tadi bilang baunya aneh!”

“Ah, itu nggak penting.”

“Oke, kalau begitu...”

“Jadi, Kanae, kamu tetap nggak mau datang minggu ini, atau bahkan bulan ini? Kamu belum pernah masuk sekolah di hari Sabtu, kan? Dari semester satu sampai dua minggu di semester dua ini.”

“Aku cuma mau menikmati hari libur nasional dengan sepenuh hati, mungkin.”

“Kamu meremehkan para pekerja yang harus masuk di hari libur?”

“Maaf.”

“Aku nggak peduli apa alasanmu bolos. Pokoknya, jam 8:40 kamu harus sudah di sini.”

Sambungan terputus.

Kanae melempar ponsel ke kasur, lalu kembali menyesap tehnya.

“Tuan Kanae, apa tehnya nggak enak?”

“Bukan, Levy. Ini namanya wajah seperti habis mengunyah serangga pahit.”

“Hiiih! Aku sampai masukin serangga!?”

“Bukan! Itu cuma perumpamaan!”

Kanae menghela napas panjang, lalu menjelaskan situasinya pada Levy.

“Jadi, kalau terlambat hari ini, gawat, ya? Dan kita nggak bisa keliling cari makanan manis juga... Tapi ayo berangkat, Tuan Kanae! Memangnya kenapa sih cuma Sabtu doang kamu bolos?”

“Aku nggak mau ikut kelas itu. Yah, gimana ya, bisa dibilang mata pelajaran yang aku nggak suka.”

Kanae mengucapkannya asal-asalan sambil membersihkan sisa kue di piring.

“Kalau Tuan Kanae sampai dikeluarkan dari sekolah... Aku bakal sedih. Yuk, kita semangat bareng!”

“Waktunya sih, udah nggak mungkin.”

“Jadi ini salahku lagi... Uuuh...”

“Makanya, berhenti jadi peri cengeng. Jadi peri sembelit aja mendingan.”

Kanae lalu menyodorkan cangkir berisi teh setengah penuh pada Levy.

“Tambah gula. Yang batangan itu, pastikan gula beneran, ya.”

Kali ini, Levy tidak langsung bergerak. Dia malah bergumam pelan dan tampak tenggelam dalam pikirannya.

“Yang batangan, batangan... Ah! Tuan Kanae! Masih ada cara supaya kita sempat!”

* * *

“Eh, Levy, gimana caranya kita bisa tepat waktu?”

“Tuan Kanae, ponselmu ketinggalan di kasur.”

“Oh ya. Makasih.”

Kanae sudah berada di pintu depan.

Levy masuk ke dalam ransel yang dibawa Kanae, bersama dengan ponsel itu.

Setelahnya, dia mengintip keluar hanya dengan kepalanya dari mulut ransel yang terbuka.

Sambil mengunci pintu, Kanae secara tak sengaja melirik ke arah taman kecil yang dikelilingi pagar, lalu menemukan tanaman yang membuat wajahnya refleks mengerut.

Benda hijau yang berdiri tegak mengarah ke langit...

“Tebunya lagi-lagi tumbuh…”

Sejak Peri Fenomena muncul, seluruh industri yang berkaitan dengan makanan manis berkembang pesat di seluruh dunia.

Salah satunya adalah pengembangan varietas tebu, bahan baku gula, yang dimodifikasi menjadi tipe tahan segala cuaca sehingga dapat tumbuh di kondisi apa pun.

Tebu itu memiliki ketahanan setara gulma, dan kini, layaknya gulma, tumbuh di pinggir jalan di berbagai wilayah.

Ibarat spesies asing yang menguasai sebuah danau.

Meski bisa dimakan, tak ada yang berniat memakannya, sehingga tak memberi manfaat apa pun.

“Padahal aku sudah menebasnya tempo hari, apa aku kelewatan satu... Mau makan?”

“Sama sekali tidak! Peri itu juga pilih-pilih, tahu! Karena Tuan Kanae, aku jadi mengenal rasa manisnya kue. Mana bisa aku bertahan hanya dengan gula mentah sekarang...”

“Cuma bercanda.”

“Makan tebu yang tumbuh di pinggir jalan itu sudah gila. Sekalipun orang yang kusukai itu Tuan Kanae, kalau bilang begitu, aku bakal marah sekali!!”

“Wah, marah banget! Salahku, salahku.”

“Aku akan memaafkan kalau Tuan Kanae membelikanku kue stroberi spesial dari toko kue Prancis bintang tiga René Belmond!”

“Waduh, licik banget! ...Oke, lain kali saja.”

“Yay! Rezeki nomplok jatuh dari langit!”

“Balik ke topik, gimana? Ke sekolah aja butuh empat puluh menit, sekarang tinggal dua puluh lima menit lagi.”

“Serahkan padaku! Pertama, lari ke kiri di jalan ini!”

Dengan enggan mengikuti perintah, Kanae bersiap berlari di trotoar, lalu terhenti.

“Eh, tunggu sebentar. Bukannya harusnya ke kanan? Ini arah sebaliknya, kan?”

“Tidak, ke kiri!”

Kanae menoleh ke belakang.

Di tepi mulut ransel, Levy memegang pinggirannya dengan ekspresi penuh kemenangan.

Kanae ragu sebentar, tapi mengingat toh mereka akan terlambat, maka seberapa pun tambahannya tak akan berbeda, dia memutuskan mengikuti arahan Levy.

Entah berapa bintang yang berkilau di mata Levy saat ini?

Begitu pikir Kanae, sambil berlari kencang melintasi kota Kobe.

Kota itu tampak baru, penuh bangunan berwarna-warni yang berdiri rapat tanpa ruang yang tersisa.

Ada rumah prefabrikasi seperti rumah Kanae, bangunan kayu, hingga rumah bata bergaya Barat, semuanya bercampur tanpa aturan.

Sesekali terlihat apartemen dan gedung, namun tingginya seragam, tak lebih dari delapan lantai.

Batasan ketinggian itu bukan demi menjaga pemandangan, melainkan semata agar tidak menghalangi sumber cahaya.

Yang terbentang di atas kota bukanlah langit biru, melainkan langit-langit abu-abu dengan tinggi terbatas.

Di sana, lampu-lampu berintensitas tinggi yang dioperasikan oleh peri pengendali foton yang menyala dengan jarak teratur.

Bukan hanya sumber cahaya, para Peri Fenomena adalah bagian yang tak terpisahkan dari sistem yang menopang kota ini.

Kanae membenci cahaya itu.

“Lalu setelah ini gimana? Di depan buntu, loh.”

“Justru buntu itu yang kita tuju! Ayo sampai ke ujung kota!”

Sambil berlari, Kanae melirik orang-orang di sekitarnya.

Di kota Kobe ini, orang asing sudah menjadi pemandangan biasa.

Sekilas, ada orang Jerman yang tampak paling banyak setelah orang Jepang.

Sekitar lima menit berlari, bagi Kanae yang anggota klub pulang cepat dan jarang berolahraga, lima menit saja sudah hampir batasnya.

Merasa malas, dia berhenti berlari dan berjalan dengan kepala terangkat miring, ciri khas orang yang sudah lelah.

Dia menatap terus langit-langit abu-abu yang tak berubah, hingga tiba-tiba berganti menjadi biru.

Sebuah papan penunjuk bertuliskan “NNW 345°” terpasang di pagar pengaman untuk mencegah orang jatuh.

Sudah lama Kanae tak melihat luar kota, dan mendadak dia ingin memotret pemandangan itu.

Begitu dia mengangkat ponselnya, Levy meloncat keluar dari ransel dan diam-diam memberi tanda damai di pojok frame.

Krek.

Biru jernih, disilang garis-garis abu-abu kusam.

Di hadapannya terbentang langit biru tanpa awan, namun pemandangan itu dirusak oleh tiang-tiang kusam yang berdiri acak di mana-mana.

Seolah kanvas biru itu dicoret-coret kuas berlumur cat abu-abu secara sembarangan dari atas ke bawah.

Beberapa tiang berdiri tegak, sementara tiang lainnya miring ke kiri dan kanan sesuka hati.

Kalau dipikir-pikir, dengan tiang-tiang ini, main undian amida-kuji mungkin bisa, pikir Kanae.

Langit luas yang terbentang hingga ke ujung mata, dan kumpulan tiang murahan, itulah tepi kota Kobe, tempat tinggal Kanae.

Usai puas memotret, dia menyimpan ponselnya ke saku, lalu mencondongkan tubuh di pagar untuk mengintip ke bawah.

Di bawahnya, terpisah oleh lapisan tanah tebal beberapa meter, terbentang distrik perkantoran di lantai 196.

Bangunan perkantoran, sesuai fungsinya, lebih tinggi daripada distrik hunian.

Lapisan demi lapisan itu tersusun bak mille-feuille yang menumpuk tanpa akhir.

Kanae mencoba menelusuri pandangan hingga lapisan terbawah, namun dari titik tertentu, semuanya terselubung kabut putih, tak terlihat lagi.

“Kita udah sampai sini. Dari sini ke sekolahku yang ada di dua puluh tiga lantai bawah, kamu mau aku turun gimana? ...Jangan bilang mau nyuruh aku jatuh?”

“Betul sekali! Tepat seperti dugaan Tuan Kanae!”

Kanae terhuyung, menopang tubuh di pagar.

“Kalau mau pindah antar kota, satu-satunya cara itu pakai elevator.”

“Hmm, Tuan Kanae, tahu ini apa?”

Levy terbang perlahan dan mengetuk salah satu tiang.

Warnanya kusam, abu-abu suram.

Tiang itu menjulur dari luar kota, melengkung pelan, lalu menancap dalam ke lapisan tanah di sisi dalam pagar.

“Pipa besi?”

“Salah! Ini adalah tiang yang memperkuat antar-lapisan kota dari luar. Dan ini bukan besi, tapi kristal karbon yang diolah oleh peri, sebuah batang super keras yang mustahil patah!”

“Wih, kamu cukup tahu ya.”

“Itu aku pinjam dari kata-kata guru IPS! Waktu itu Tuan Kanae malah ngiler bahagia!”

Kanae pun berpikir, jarang-jarang Levy mengajarinya sesuatu.

“Berarti waktu bangun kota di atas kota, tiang-tiang jelek penghancur pemandangan ini dipasang bertumpuk belakangan, ya. Biasa aja kelihatannya, tapi kalau dipikir ulang, nggak ada rencana sama sekali.”

“Kayak aku yang menabur gula berlebih karena kueku kurang manis, kan!”

“Biasakan dengan standar manis dari toko aja! ...Jadi, kamu mau aku pakai tiang ini buat meluncur ke bawah?”

“Benar sekali, memang itu maksudku!”

Kanae pun teringat masa lalu.

Kenangan itu saat dia masih SD, tepatnya sekitar usia sepuluh tahun.

Uji nyali khas keluarga Kamado ini adalah tiang seluncur yang menurun hingga satu tingkat di bawah.

Kanae kali ini berada di pihak yang dipaksa melakukan, bukan yang mendorong orang lain.

Meski permintaan sejenis pernah beberapa kali dia turuti, hanya tiang seluncur ini saja yang tak pernah sekalipun dia coba.

Selain itu, masih banyak peristiwa lain yang membuat masa kecil Kanae kelam, kenangan-kenangan suram yang ingin dihindari terus berputar tanpa henti di dalam kepalanya.

“Ugh.”

“Ada apa, Tuan Kanae? Mulutmu seperti berkedut.”

“Hanya sedikit nostalgia... Baiklah, ayo kita lakukan.”

Kanae menyingsingkan lengan bajunya dan kembali hendak mendekati pagar.

“Tuan Kanae, mohon tunggu! Biar aku yang memeriksa titik sambungnya!”

“Oh, aku serahkan padamu.”

Levy melesat keluar, terbang menembus udara.

“Hmm... Ah, ini dia!”

Tiang yang ditunjuk Levy berada dalam jangkauan dari pagar.

Dengan begitu, Kanae bisa meraihnya tanpa terlalu berisiko.

Levy segera kembali, lalu menempatkan diri di posisi biasanya, kepalanya menyembul keluar dari mulut ransel.

Kanae berpikir.

Bukan berarti dia ingin mengucapkan selamat tinggal pada trauma masa lalu atau semacamnya.

Jika ada tiang di depan mata, lelaki akan merasa ingin meluncurinya, begitulah adanya.

Bukan karena keras kepala.

Kanae mencondongkan tubuh, meraih tiang, lalu melepas pijakan sambil berteriak.

“Lihat ini, dasar bocah-bocah brengsek!”

“?”

Kanae meluncur turun dengan mulus.

Melewati lapisan tanah setebal beberapa meter, menatap ke bawah pada pemandangan kota di bawahnya.

Gedung-gedung tinggi yang tak ada di kotanya berderet rapat memenuhi pandangan.

Orang-orang yang sedang bekerja di gedung terdekat menoleh, membeku ketika melihat Kanae meluncur menjerit-jerit di salah satu dari sekian banyak tiang yang menjuntai.

“Gyaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!”

“Anginnya enak sekali, kan! Iya, kan!”

Tiang itu panjangnya sekitar empat puluh meter.

Tidak mungkin untuk tidak takut.

Rasa jatuh yang semakin cepat oleh percepatan gravitasi menghadirkan waktu yang sama sekali tidak memberi rasa aman, layaknya roller coaster besi yang sudah berkarat.

“Mustahil mustahil ini benar-benar mustahil...”

Tapi itu sebentar lagi akan berakhir.

Layaknya elevator sungguhan, lantai-lantai gedung di hadapan matanya terus menurun.

Sebentar lagi tiang ini akan masuk ke sisi dalam pagar, lalu membawa Kanae yang terlempar di udara masuk ke dalamnya.

“Tanah. Aku rindu. Ayo pulang.”

Dia semakin dekat dengan lantai dasar zona perkantoran, lalu melewatinya begitu saja.

“...Hah?”

Kini yang terbentang di bawah mata Kanae adalah lantai 195, zona reproduksi alam, yang dikenal dengan sebutan Hutan Buna.

Bukan gedung, melainkan hutan lebat pepohonan berdaun lebar yang tumbuh rapat tanpa celah.

Di sela-sela hutan, berdiri pilar-pilar abu-abu raksasa, dua puluh enam elevator yang menjulang dari tanah hingga langit.

Di antara hijau pepohonan dan kelabu bangunan itu, mengalir sungai-sungai jernih yang berliku-liku seperti labirin.

“Hijaunya indah, udaranya segar, rasanya enak! Tapi tunggu dulu Levy, apa-apaan ini! Bukannya harusnya berhenti di lantai tepat di bawah kita!?”

“Apa yang kamu bicarakan, Tuan Kanae?”

Dengan wajah ceria, Levy yang menyembul dari belakang menjawab santai.

“Ini jalur langsung dari lantai 197 ke lantai 174!”

“Haaaaaaaa!? 23 lantai!? Tahu nggak itu berapa meter!? Sekitar 1 kilometer, bego!”

“Karena melewati zona perkantoran dan zona alam, tepatnya sekitar 1,2 kilometer!”

“Itu malah lebih buruk, tolol!”

“Tuan Kanae, ini juga termasuk pelajaran perencanaan kota, kyah!”

Kanae yang panik menoleh mendadak, membuat Levy terpental keluar dari ransel.

“Hei, kamu nggak apa-apa!?”

“Kyaaaaaaaaaaaaaa!”

Terseret arus udara naik, Levy sempat terlempar jauh di luar jangkauan tangan Kanae.

“Oh, aku kan bisa terbang.”

Diaberputar arah, lalu terbang mendekat, menyamai kecepatan jatuh Kanae.

“Syukurlah kamu selamat, Levy. Bukan itu masalahnya sekarang! Tanganku panas, mau meleleh ini!”

Kanae langsung sadar dia bisa mati.

Meski tak bisa terbang, setidaknya dia harus menghentikan percepatan jatuhnya kalau mau selamat.

Dia meraih tiang itu melalui ujung seragam yang berkibar, lalu menjepitnya sekuat tenaga dengan telapak sepatu.

Serat kain seragam mulai panas dan meleleh.

Bunyi gesekan karet sepatu melengking, terus terdengar sampai kecepatan jatuhnya berhenti.

Menembus zona reproduksi alam dan lapisan tanahnya, pemandangan kota yang mirip lantai tempat tinggal Kanae pun tersaji.

Kecepatannya kini melambat, dan dia berhenti tepat setinggi pagar pengaman lantai 194.

Pagar itu berjarak sekitar lima meter darinya.

Dia tak bisa mencapai tanah sendirian, tapi untungnya, di hadapannya ada seorang gadis yang tengah bersandar pada pagar, menatap pemandangan di luar.

Gadis itu mengenakan seragam pelaut yang sudah dimodifikasi.

Kerah, ujung lengan, dan beberapa bagian lainnya dihiasi bordiran berbentuk bintang, hati, dan motif hewan. Panjang roknya pun dipendekkan hingga setengah paha, seolah mengabaikan aturan kota.

Gadis itu berambut panjang lurus berwarna hitam, memakai kacamata berbingkai biru muda, dan meski wajahnya kekanakan, tampak ada kesan cerdas yang terpancar.

Di atas rambutnya yang rapi terpasang bando berbentuk pohon katsura, seperti mahkota dari untaian daun.

“...Aku benar-benar tidak paham...”

Melihat Kanae yang tiba-tiba meluncur dari atas dan berhenti tepat di depannya, gadis itu tak sadar bergumam.

Namun segera setelah itu, entah kenapa, dia menutup bibirnya dengan jari tangan kiri, seperti menyesal telah bersuara.

“...? Pokoknya! Hei, kamu, seseorang! Bisa tolong panggil orang dewasa tanpa tanya alasan? Aku sedang tidak bisa melepas pegangan ini...”

Kanae memohon, namun gadis itu tetap diam, tangannya masih menutup bibir.

Dia menatap Kanae yang bergantung pada tiang itu dengan pandangan penuh kecurigaan, bahkan sedikit terkesan jijik.

“Bilang sesuatu dong... Bereaksi sedikit saja malah lebih mending!”

Di antara Kanae yang bergelantungan di luar pagar dan gadis yang berdiri lima meter di dalam pagar, terbentang keheningan yang sulit dijelaskan.

Kanae memasang wajah canggung, bersiap melanjutkan kata-katanya.

“Baru saja lewat telepon, sudah dipastikan penyerahan pelaku usaha ilegal itu berhasil.”

Suara yang datar terdengar dari jauh di belakang gadis itu.

Seorang pemuda dengan berambut disisir ke belakang, mengenakan setelan jas yang dipakai dengan santai, berjalan mendekat ke arah sang gadis.

Tampaknya, dari posisinya, pemuda itu tidak bisa melihat Kanae yang tertutupi oleh tubuh sang gadis.

“Barang-barang di lokasi sudah kami sita semua. Selanjutnya serahkan saja pada ahlinya, dan aku akan menemanimu pulang, eh, ini siapa?”

Begitu jaraknya cukup dekat, pemuda itu menyadari keberadaan Kanae.

Dari tubuh gadis yang kini masuk ke dalam pandangan pemuda itu, tampak sosok Kanae yang bergantung pada tiang.

“Apa-apaan ini, kayak babi panggang ditusuk...”

“Anda walinya siswi ini!? ...Eh, tapi kok muda banget? ...Pokoknya, saya sedang dalam masalah besar! Tolong, bisakah Anda menyelamatkan saya dari tiang ini?”

“Maaf, tapi aku sama sekali nggak ngerti maksudmu. Tapi kalau nggak salah, di Kobe, tiang luncur di tiang penghubung ini semacam uji nyali, kan? ...Kamu yang meluncur sendiri, terus begitu takut malah minta tolong?”

“Bukan, bukan begitu! Uji nyali yang umum di Kobe cuma meluncur sejauh satu lantai, tapi masalah yang sedang saya hadapi sekarang ini...”

Kanae yang bicara cepat seolah mencari-cari alasan, dipotong tegas oleh pemuda itu.

“Cih, payah banget. Urus masalahmu sendiri.”

“...”

Otot wajah Kanae bergetar cepat.

Levy, yang merasa geli melihat itu, menyentil pipi Kanae.

“Wah, Tuan Kanae seperti sedang dalam mode senyap!”

Gadis berseragam modifikasi yang sedari tadi hanya mengamati akhirnya tak tahan dan terkekeh kecil.

Meski tetap menekan bibirnya dengan jari, itu bukan karena menahan diri untuk tidak bicara, melainkan menahan tawa.

“Yah, coba saja meluncur. Menyelesaikan sesuatu sampai akhir itu penting, tahu?”

Pemuda itu lalu berbalik, seolah sudah kehilangan minat pada Kanae, dan pergi.

Terbawa oleh langkahnya, gadis itu pun membalikkan badan menjauh dari Kanae.

Dia melepaskan jari yang menutup bibirnya, menyatukan kedua tangan di belakang, lalu mengejar pemuda itu.

Dari punggungnya yang memancarkan kesan anggun, terdengar bisikan lirih.

“Coba saja meluncur, dasar pengecut.”

“Nggh...”

“Tuan Kanae sekarang mode senyapnya parah banget!”

“Sejak tadi, apa sih yang kamu omongin?”

“Tuan Kanae, ayo kita telepon minta tolong! Aku ambilkan ponselnya dari ransel!”

“Ah, iya juga. Tapi ya sudah.”

“Hah?”

“Ya. Ayo meluncur. Sekitar satu kilo lebih.”

Kanae menyatakan itu dengan wajah yang segar.

...Begitu sedikit rasa tenang muncul, pikirannya mulai terarah pada hal-hal yang sebelumnya tak terpikirkan.

Misalnya, arah yang sedari tadi dipandang gadis berseragam modifikasi itu.

Berdasarkan percakapan dengan pemuda tadi, tampaknya gadis itu sedang dalam perjalanan pulang.

Mendengar bahwa mereka sama-sama berasal dari Kobe, rasa malu yang tadi ditanamkan gadis itu seakan terlupa, berganti dengan rasa kedekatan yang samar.

Kanae pun mengalihkan pandangannya ke tempat dia lahir, lalu menatap ke atas.

Levy ikut meniru Kanae, membuka mulut lebar sambil menatap langit.

Sekitar sepuluh kilometer jauhnya, di atas kota, membentang langit-langit lain yang bentuknya sama sekali berbeda dari langit-langit yang biasa terlihat, terus berlanjut sejauh mata memandang.

Langit-langit cokelat tua yang polos itu menjulur luas tanpa henti.

Namun, lebih tepat menyebutnya sebagai kanopi raksasa daripada langit-langit.

Di kejauhan, terlihat jelas perubahan warna dari cokelat tua menjadi biru pekat.

Ya, dari daratan menuju laut.

Kanopi daratan yang semestinya berada di bawah kaki manusia kini sepenuhnya menutupi kota bertingkat Kobe, Kota Terbalik.

Kota itu bertentangan dengan logika.

Laksana Menara Babel terbalik yang menjulur dari langit menuju bumi.

Kota itu dibangun memanjang mengikuti struktur tunggal yang menghubungkan permukaan bumi dengan satelit geostasioner, sebuah elevator orbit.

Berlandaskan pada batas pembalikan gravitasi yang berada di bawah stratosfer, di ketinggian dua puluh kilometer, kota ini terus ditumpuk dengan area hunian, perkantoran, penelitian, hingga zona rekayasa alam, hingga kini mencapai 298 lantai.

Dengan tinggi dan diameter masing-masing lebih dari 15 kilometer, inilah kota bertingkat raksasa...

Kota Terbalik Kobe, merupakan model kasus kota pemulihan pasca Tujuh Bencana Besar.


Bagian 2

8 Maret 2032, di sebuah konferensi ilmiah di Stockholm, Swedia, pria itu mengemukakan sebuah teori fisika yang belum pernah terdengar sebelumnya dalam sejarah.

Kelak, di usianya yang baru menginjak tiga puluh lima tahun, dia akan tercatat dalam-dalam di setiap catatan sejarah sebagai fisikawan yang memberi pengaruh terbesar bagi dunia, Haitani Gien.

“Dunia ini terbuat dari empat anasir atau yang dikenal rizomata. Ada api, udara, air, dan tanah, seperti yang dikatakan para tokoh besar Yunani Kuno? Sama sekali tidak. Itu hanyalah filsafat yang telah mati ribuan tahun yang lalu. Lalu, apakah dunia sepenuhnya dibangun dari mekanika Newton yang dapat dijabarkan dalam persamaan matematis? Tidak, tentu saja tidak. Einstein telah menyingkirkan konsep ‘mutlak’ bersama teori aether dari ranah fisika. Relativitas, yang mendasarkan dirinya pada kecepatan cahaya di ruang hampa, telah mengambil tempatnya. Ditambah lagi dengan mekanika kuantum dan teori partikel dasar, kini dunia menjadi sesuatu yang mustahil dijabarkan,bahkan tak dapat diamati, yang hanya dibentuk dari kumpulan perilaku mikrokosmos yang samar. Dan sekarang, teori fisika yang sedang hangat adalah teori superstring. Ia mendefinisikan partikel dasar sebagai ‘tali bergetar berdimensi satu yang memiliki bentangan’. Teori ini menggabungkan relativitas dan mekanika kuantum, serta menjadi cita-cita seluruh fisikawan, sebuah upaya menyatukan semua hukum interaksi menjadi ‘Teori Segala Sesuatu’ yang potensial. Kemajuan pesat sains telah membawa kita di ambang pencapaian itu. Ya, tinggal sedikit lagi fisika akan sempurna, dan dunia akan terdefinisi secara mutlak, setidaknya begitulah seharusnya. Namun, pada detik ini juga, aku akan mereset fisika yang nyaris sempurna itu. Ibaratnya ‘pendefinisian dunia yang terbalik’. Aku akan merusak dan menghapus seluruh pencapaian fisika modern yang telah kalian bangun, membalikkan meja dengan konyolnya. Hmm, kalau di luar negeri, peribahasa ini mungkin tak tersampaikan, ya? ...Begini saja, anggap saja semua yang telah kalian siapkan akan kujungkirbalikkan, seperti ini.”

Begitu kata-kata itu meluncur, meja persegi panjang di hadapan Gien melayang berputar dan menghantam langit-langit dengan keras.

Guncangan berat dan suara pecahan yang nyaring bergema bersamaan.

Langit-langit setinggi tiga lantai, sekitar delapan meter dari lantai, kini tertancapi empat kaki meja dengan rapi.

Klip penjepit makalah yang sebelumnya memenuhi permukaan meja terlepas satu per satu, dan lembaran kertasnya beterbangan di udara seperti badai salju, lalu berjatuhan di atas kepala para ilmuwan dan jurnalis yang memenuhi ruangan.

Mereka menatap ke atas dengan mulut ternganga seperti boneka kaleng yang kaku, lalu perlahan mengembalikan pandangan ke arah Gien.

Tak seorang pun dari mereka memahami apa yang baru saja terjadi.

Gien sama sekali tidak menyentuh meja itu.

Dia bahkan tak duduk, hanya berdiri agak jauh dari meja sambil berpidato.

Kalaupun ada yang terlewat dari pengamatan, tetap mustahil melempar meja seberat puluhan kilogram hingga tertancap di langit-langit hanya dengan kekuatan tangan.

Perhatian mereka pun tertuju pada benda di tangan kanan Gien.

Sebuah ponsel pintar, sesuatu yang dikenal semua orang.

“Semua orang ingin tahu tentangmu. Keluarlah.”

Saat Gien menggesek layarnya dengan satu tangan, udara di sekitanya beriak seperti riak di permukaan air.

Riak itu menyebar dalam lingkaran konsentris, dan ketika menghilang, sesuatu berbentuk manusia mungil muncul tepat di hadapannya.

Itu adalah sesosok gadis telanjang sebesar boneka.

Rambutnya berwarna kuning senja yang memanjang hingga menyentuh ujung jari kakinya, berkibar lembut seperti tirai sutra putih yang diterpa cahaya sore.

Mata yang menghuni bola matanya berwarna biru tua, dihiasi pola rumit nan misterius seperti pahatan kristal, rapat memenuhi irisnya yang hanya beberapa milimeter itu.

Para hadirin tampak terintimidasi oleh aura suci yang dipancarkan gadis itu, memalingkan pandangan dengan canggung dari tubuh telanjangnya.

Entah karena menyadari pandangan itu, sekadar iseng, atau memang sebagai wujud emosi manusia yang mungkin dimilikinya, si gadis menoleh ke arah Gien dan mengeluarkan suara bernada tinggi, bukan bahasa.

Suara itu menyerupai kualitas nada terbaik yang dimainkan oleh seorang musisi ternama pada instrumen gesek.

“Oh, aku lupa memberinya pakaian. Maafkan aku.”

Gien kembali melakukan input pada ponselnya.

Kali ini, riak yang lebih kecil muncul mengelilingi gadis itu, menghilang satu per satu, dan di tengah proses itu, dia kini mengenakan gaun merah menyala berhias rumbai-rumbai manis bak mainan koleksi.

Gadis itu mengeluarkan suara lagi.

Nada itu mengandung emosi kegembiraan, amarah, dan kesedihan.

Gadis itu melihat ke depan lagi, namun wajahnya yang tetap tanpa ekspresi kini tampak sedikit melunak.

Gien merentangkan tangannya, seolah mendeklarasikan keberadaan gadis mungil nan cantik itu pada semua orang.

“Inilah hukum baru dunia. Penyebab fenomena fisika, sebaiknya kusebut sebagai Peri Fenomena, atau disingkat saja peri? Gadis seperti boneka bermata permata ini adalah wujud khas mereka ketika ‘diekstrak’ dan dimunculkan di dunia nyata. ...Nah, kejadian pembalikan meja tadi adalah ulah gadis ini. Dalam bahasa kalian, kekuatannya disebut Repulsion, gaya tolak. Gaya yang selama ini kalian cari mati-matian, hukum misterius yang berlawanan namun sehakikat dengan gravitasi. Dan kebetulan, barusan sudah kubuktikan keberadaannya, benar?”

Tak seorang pun menyela.

Berhadapan dengan fenomena yang bagai sihir, mereka hanya menelan ludah, menahan napas, dan terus menyimak pidatonya.

“Peri Fenomena ada di mana-mana di ruang ini. Sebelum diekstrak, mereka tak terlihat, tapi selalu ada, tak terhitung jumlahnya. Sebagian besar dari mereka berperilaku persis seperti fenomena fisika yang telah ditemukan dan didefinisikan di dunia ini. Ada peri interaksi elektromagnetik, peri gaya Van der Waals, peri elastisitas entropi, peri gaya dispersi London, hingga peri gaya nuklir, segala fenomena fisika yang kalian kenal adalah hasil kerja keras para Peri Fenomena yang tak terlihat.”

Gien berhenti sejenak. Rupanya lidahnya yang terlalu lancar membuat tenggorokannya kering.

“Ah, Rep-chan, tolong ambilkan teh itu.”

Si gadis mungil yang bernama Repulsion itu mengangguk pelan.

Matanya yang seperti kristal beralih menatap teko teh dan tumpukan gelas kertas di sudut ruangan.

Tanpa ada yang menyentuhnya, gelas kertas itu terlepas dari tumpukan, lalu tuas teko bergerak sendiri, menuangkan teh murahan hingga penuh ke bibir gelas.

Dengan gerakan horizontal yang nyaris sempurna, gelas itu melayang hingga tiba di tangan Gien.

“Terima kasih,” ucap Gien dalam bahasa Jepang, yang dijawab Repulsion hanya dengan tatapan mata pucatnya.

“Aroma murah ini entah kenapa membuat ketagihan. Mungkin sebaiknya kalian mengalokasikan lebih banyak anggaran untuk ini. ...Baiklah, mari kita simpulkan. Segala hal yang kalian anggap pasti kini gugur. Ilmu pengetahuan mutakhir telah berakhir, dan okultisme tak ilmiah telah menjadi realitas ilmiah. Hukum dunia ini bukan superstring, bukan relativitas, bukan mekanika kuantum. Tentu saja bukan mekanika Newton, bahkan bila kita menelusuri lebih jauh, ini lebih mirip teori eter dan empat sifat dasar yang pernah kalian remehkan. Ya, sungguh sebuah fantasi! Kebenaran yang kita cari ternyata jauh lebih konyol, luar biasa absurd, hingga membuat kita ingin tertawa hambar dan menyerah sambil berkata, ‘Ah, tapi ini lucu jadi biarlah.’

“...Mulai saat ini, mari kita redefinisikan hukum dunia.

“Fisikanya para peri.”

Perkembangan dunia setelah itu berlangsung mencengangkan.

Aplikasi dalam ponsel Gien itu bernama Fairy Tale’r.

Disingkat FT, aplikasi tersebut diprogram dengan Strange Code, bahasa para peri yang bukan berasal dari dunia ini.

Gien membagikan FT secara gratis.

Negara-negara maju berlomba-lomba mengembangkan FT yang lebih praktis, atau FT yang lebih canggih untuk perang. Laju pengembangan itu memicu kembali pertumbuhan ekonomi yang sempat stagnan.

Di Jepang, markas Gien, negeri itu melaju sendirian di garis depan pengembangan FT, meninggalkan negara maju lainnya jauh di belakang. Dan kemudian...

* * *

Di titik itu, rekaman dokumenter itu terputus.

Kelas menjadi terang, dan layar proyektor menggulung kembali secara otomatis.

“Tetapi fisikawan ternama, Haitani Gien, pada tanggal 19 November 2035, sekitar tujuh tahun yang lalu, akibat kegagalan dalam sebuah eksperimen Peri Fenomena berujung pada kekacauan, seketika itu juga dicap sebagai ilmuwan gila terburuk di dunia. Dan akibat peristiwa itu, negara bernama Jepang runtuh.”

Pria paruh baya yang berdiri di podium melirik ke arah Kanae yang duduk tepat di barisan depan, dan juga pada Levy yang sedang menggesekkan pipinya pada seragam Kanae yang seratnya meleleh akibat panas gesekan.

“Murotsuki Kanae, apa peri itu tidak bisa kamu tangani?”

Dia menunjuk pada Levy, berambut pirang bergelombang yang tergerai panjang hingga melewati bahu, dan sedang menempel rapat pada Kanae.

“Maaf, biarkan saja dia diam, oke? Kayaknya dia benci kalau dimasukkan kembali ke tempatnya.”

Levy bilang, seragam yang meleleh itu “terasa licin dan enak disentuh”.

Kanae mencopot Levy dari seragamnya, lalu menaruhnya di ujung meja.

Levy menggeser jarinya di bibir, membuat isyarat “mulutku terkunci”.

“...Baiklah. Sekalian saja, karena kamu sudah berusaha masuk kelas tepat sebelum bel berbunyi, aku akan memberimu kesempatan untuk membela diri. Mungkin saja, meskipun kamu membolos satu semester penuh, kamu sebenarnya adalah murid berbakat yang ahli dalam Ilmu Peri Fenomena yang menjadi bidang ajaranku. Sayang kalau murid seperti itu sampai tinggal kelas. Jadi, bisakah kamu menjawab ini, Murotsuki? Jelaskan secara rinci peristiwa tujuh tahun lalu yang menyebabkan runtuhnya Jepang.”

Wajah sang pengajar sama sekali tidak menunjukkan harapan, tapi dia setidaknya memberi kesan seolah mempertimbangkannya.

“...Fairy Hazard terbesar yang konon merenggut nyawa lima belas juta orang, membekukan wilayah dengan radius lima belas kilometer dari pusat kota dalam lapisan tanah beku permanen setebal enam ratus meter, itulah Tokyo Absolute Zero.”

Itulah sebabnya sang pengajar terkejut ketika dari Kanae keluar jawaban yang tak terduga sekaligus tepat sasaran.

“...Hm, cukup akurat. Mari kita lanjut. Kegagalan eksperimen oleh Haitani Gien tidak hanya satu. Dimulai dari Tokyo Absolute Zero, Fairy Hazard terjadi berturut-turut di tujuh lokasi di Jepang tempat dia mendirikan basis penelitian. Apa sebutan untuk semua itu secara keseluruhan?”

“Rangkaian fenomena abnormal itu dikenal dengan sebutan Tujuh Bencana Besar. Urutannya dimulai dari Tokyo, lalu Sapporo, Fukuoka, Sendai, Nagoya, Hiroshima, dan terakhir Kobe. Oh, dan tentang basis penelitian itu sendiri, Haitani Gien hanya mengakuinya secara lisan, keberadaannya sendiri patut diragukan. Kecuali yang ada di Tokyo, yang diumumkan secara resmi, semua lab pribadinya tidak pernah ditemukan hingga sekarang...”

“Itulah yang biasa disebut Hide Lab . Pencariannya dilakukan oleh negara, perusahaan, bahkan para penggila individu, dan jumlahnya tak terhitung. Memang terdengar seperti legenda urban, dan patut diragukan, tapi, di lab Tokyo yang satu-satunya alamatnya diumumkan, pada hari itu Haitani Gien melakukan eksperimen Peri Fenomena. Eksperimen itu berujung pada Tokyo Absolute Zero yang terburuk. Enam lokasi berikutnya, semuanya sama dengan lokasi Hide Lab yang dia sebutkan. ...Sisanya hanyalah pengadilan in absentia. Dan mau tidak mau harus diakui, baik tujuh tahun lalu maupun sekarang, tak ada orang lain yang mampu melakukan hal seperti itu selain dia.”

“Jadi, Haitani Gien memang tersesat di suatu titik jalannya, ya...”

Kanae kembali menyadari betapa agungnya pria itu, dan betapa besar pula dosa yang telah dia perbuat.

“Murotsuki, kamu cukup rajin belajar. Rasanya sudah lama aku bisa berbicara seperti ini.”

Tampaknya sang pengajar mulai menganggap Kanae cukup memahami Ilmu Peri Fenomena, hingga setengah memaafkan ketidakhadirannya selama ini.

Kanae pun tersenyum tipis, agak kaget sendiri.

Ilmu Peri Fenomena adalah kurikulum tambahan yang diberlakukan secara seragam di seluruh negeri sejak tahun 2040-an.

Tiga jam penuh setiap Sabtu pagi hingga siang hari mencerminkan betapa seriusnya pemerintah, namun semangat siswa berbanding terbalik dengan itu.

Bagi pengajar yang semangatnya turut memudar mengikuti murid-muridnya, kehadiran Kanae mungkin terasa segar.

Namun, di dalam kelas, suasananya jelas menunjukkan ketidaksukaan terhadap Kanae yang tiba-tiba muncul lalu sok menonjol.

“...Setelah runtuhnya Jepang, Perserikatan Bangsa-Bangsa turun tangan sebagai pihak yang membereskan kekacauan, dan memutuskan untuk menerapkan pemerintahan bersama oleh negara-negara anggota tetap Dewan Keamanan. Jepang bukan lagi milik orang Jepang. Amerika, Inggris, Rusia, Prancis, dan Cina, lima negara itu, ditambah satu perusahaan yang akan disebut nanti, membentuk enam pihak yang menguasai negeri ini. Entah karena dampak Tujuh Bencana Besar, jumlah Peri Fenomena yang bisa diambil alih di Jepang meningkat drastis. Berkat Haitani Gien yang membuat Jepang berada di garis depan penelitian, meskipun Peri Fenomena-lah yang menghancurkan negara ini, persaingan teknologi antarnegara yang bersembunyi di balik pemerintahan bersama itu justru semakin gencar. Penelitian dan pengembangan dilakukan lebih bebas dan lebih ganas daripada sebelumnya.”

Sang pengajar berhenti sejenak, meneguk teh untuk membasahi tenggorokannya, lalu melanjutkan.

“Tanah istimewa yang disebut Tujuh Bencana Besar adalah hal yang tak bisa diabaikan bagi negara-negara yang rakus akan penelitian Peri Fenomena... Namun, untuk kasus Kobe, kelima negara itu semuanya mengibarkan bendera putih. Soalnya, gravitasi di sana bekerja terbalik. Seluruh kota tercerabut dari tanahnya, dan melalui ‘masuk kembali ke atmosfer secara terbalik’, hampir seluruhnya, 99,99999% bagian di permukaan bumi hangus terbakar. Sederhana dan jelas: tak ada yang bisa dilakukan. Sama seperti Tokyo, wilayah itu diabaikan sebagai zona terlarang, yang hanya bisa ditatap dari kejauhan. ...Kecuali oleh satu pihak.”

“Asgard Factory...”

“Benar. Perusahaan industri multinasional yang bermarkas di Republik Federal Jerman, Asgard Factory, kini pemilik modal terbesar di dunia. Perusahaan ini adalah yang pertama menanggapi Kobe Gravity Bound yang bahkan negara-negara anggota Dewan Keamanan pun angkat tangan. Mereka memanfaatkan kerangka elevator orbit yang tengah dibangun di bekas lokasi Kobe, tepat di perbatasan di mana gravitasi terbalik, dan menambahkan lapisan-lapisan yang bisa dihuni manusia, seolah menempelkan daging pada tulang. Dengan memanfaatkan FT, material konstruksi rahasia yang tengah dikembangkan Asgard, lapisan demi lapisan permukiman itu menjulang ke atas. Pencapaian itu benar-benar belum pernah dilakukan sebelumnya, sebuah keajaiban yang membuat mustahil menjadi nyata, mengingatkan pada masa lalu Dr. Gien... Ah, ah, uhuk... Sepertinya aku kebanyakan bicara. Murotsuki, bisa kamu lanjutkan?”

“Baik, jadi... Tanda-tanda gravitasi terbalik itu sebenarnya sudah terlihat. Evakuasi bisa dilakukan sebelumnya, jadi meskipun skalanya sebesar Bencana Peri Fenomena, korban jiwa di Kobe lebih sedikit dibandingkan bencana lainnya. Meski begitu, tetap saja ada 136 korban jiwa. Para pengungsi yang selamat kehilangan tempat tinggal. Asgard, setelah menyelesaikan Kota Terbalik Kobe, menerima para pengungsi itu secara cuma-cuma. ...PBB tak bisa mengabaikan jasa itu, jadi dalam rapat pemerintahan gabungan yang diisi oleh negara-negara Dewan Keamanan, mereka mengundang direktur utama Asgard, Egenfried, dan menjadikan Asgard, meski hanya sebuah perusahaan, sebagai pihak keenam yang menguasai Jepang. ...Begitu, kan?”

“Itu jawaban yang nyaris sempurna. Soal kelulusanmu, biar aku yang bilang: oke.”

“Terima kasih...”

“Tak kusangka Tuan Kanae begitu rajin belajar... Aku terharu sekali!”

“Hei, Murotsuki, suruh tuh peri diam sedikit.”

Kanae memberi isyarat “diam” pada Levy dengan menempelkan telunjuk ke bibir.

“Kamu memang benar-benar rajin belajar. Dari mana datangnya semangat itu?”

Kanae terdiam mendengar pertanyaan itu.

Memang, dia sendiri tak merasa pernah secara khusus mempelajari Ilmu Peri Fenomena.

Buku pelajaran pun baru dibuka hari ini.

Meski begitu, dia tetap bisa mengucapkannya dengan lancar seperti ini...

“...Mungkin karena aku menyukai peri.”

Kepala Levy yang tiba-tiba terangkat dengan gerakan kaget, ditekan ringan oleh ujung jari Kanae yang berwajah lelah seakan ingin meredamnya.

“Namun, pengetahuan yang baru saja disampaikan oleh Murotsuki itu seharusnya bisa disebut sebagai sisi negatif dari Peri Fenomena.”

Tatapan sang pengajar seakan ingin bertanya, “Meski begitu, kamu tetap suka?”

Kanae merasa itu benar-benar keliru.

“Peri Fenomena tidak memiliki sisi negatif seperti itu.”

“...Peri Fenomena telah diterapkan dalam peperangan modern. Bagaimana pendapatmu soal itu?”

“Peri Fenomena bukanlah senjata atau alat perang. Peri Fenomena adalah makhluk hidup. Yang sepenuhnya bersalah adalah pihak manusia yang memanfaatkan kepolosan mereka demi keuntungan pribadi.”

“Murotsuki, kamu ingin Peri Fenomena tidak digunakan oleh siapa pun, dan dibiarkan hidup bebas begitu saja?”

“...Tidak, aku tidak berpikir sejauh itu. Peri Fenomena tidak mengenal kebahagiaan atau hal semacam itu, dan mereka juga mudah merasa kesepian. Karena itu, aku hanya berharap mereka diperlakukan dengan lembut.”

“Tidak mengenal kebahagiaan? Siapa kamu sampai bisa bilang begitu?”

“Dibilang kesepian pula.”

Diejek oleh para siswa, Kanae pun menyadari bahwa dirinya sudah berbicara terlalu banyak.

Rasa malu pun menyelimutinya.

“...Murotsuki, sepertinya kamu tidak hanya mengetahui Peri Fenomena secara pengetahuan, tapi juga memahami mereka lebih dalam.”

“Ah, maafkan saya!”

“Bukan, ini salahku karena mengutarakannya dengan cara yang kurang enak. ...Sebenarnya aku juga berpandangan sama denganmu, Murotsuki. Apa pun yang digunakan manusia, mereka bisa dengan mudah melukai orang lain. Bahkan pada Peri Fenomena pun, mereka seenaknya mengekstrak dan mempekerjakan mereka, lalu ketika terjadi sesuatu, justru menyalahkan mereka. Itu sama sekali tidak masuk akal.”

Sang pengajar tersenyum lembut sambil mengambil buku pelajaran.

“Baiklah, sepertinya kita sudah terlalu lama mengobrol. Maaf membuat kalian menunggu, murid-murid sekalian. Mari kita lanjutkan pelajaran.”

Kanae merasa begitu nyaman, sampai dia lupa akan satu hal penting.

Kenapa dia sampai membolos pelajaran yang begitu menyenangkan ini?

* * *

Satu jam berikutnya bisa dibilang menjadi pelajaran paling bermakna dalam kehidupan sekolah menengah Kanae.

“...Kita terlalu melenceng dari topik. Mari kembali ke pelajaran. Nah, Fairy Tale’r, yang juga disebut Pendongeng, serta aplikasi kendali FT yang kita gunakan di ponsel, diprogram dengan bahasa khusus yang disebut Strange Code. Nah, Murotsuki, bisa kamu jelaskan, sebenarnya apa itu Strange Code?”

Seluruh kelas serentak memprotes dalam hati, seakan berkata, “Kenapa lagi-lagi dia yang ditunjuk?”

“Itu adalah bahasa yang tak dikenal, digunakan untuk menulis program inti. Namun, bahkan delapan tahun setelah ditemukannya FT, Strange Code ini masih dianggap sebagai kotak hitam.”

“Tepat sekali. Strange Code adalah bahasa misterius yang hingga kini tak bisa diuraikan. Satu-satunya orang yang mengetahui jawabannya, Haitani Gien, telah menghilang bersama Tokyo Absolute Zero. Meski begitu, fenomena fisik yang diciptakannya, beserta prosesnya, dapat dituliskan dengan bahasa pemrograman biasa di dunia ini. Soalnya, meski hanya satu arah, Peri Fenomena dapat memahami bahasa manusia.”

Sambil berkata demikian, sang pengajar melirik jam di pergelangan tangan kanannya. Jarum pendek menunjuk pukul 10:40.

Sudah sejauh ini waktunya berlalu?”

Bagi Kanae sendiri, ini adalah pertama kalinya dia mengikuti pelajaran yang membuatnya tak merasakan lamanya waktu berjalan.

Dia merasa sangat puas.

Namun, karena terlalu larut dalam nikmatnya perbincangan yang sudah lama tak dia rasakan, Kanae melupakan satu hal penting.

Mengapa dia, dengan pilihannya sendiri, tak pernah hadir di pelajaran hari Sabtu?

Mata pelajaran yang menantinya setelah ini.

“Baiklah, sampai di sini untuk bagian teori. Sekarang, kita beralih ke praktik.”

Siswa-siswa yang sejak tadi tak menunjukkan minat pada teori, kini tampak bersemangat saat tiba giliran praktik.

Sambil bercakap-cakap, masing-masing mengeluarkan ponsel dan menyalakan FT.

Peri Fenomena yang disimpan dalam bentuk tubuh astral dimunculkan ke dunia nyata.

Tiga puluh lebih riak ruang yang terbentuk.

Gelombang-gelombang yang meluas saling menyatu lalu tercerai-berai, hingga akhirnya jumlah peri yang muncul sama dengan jumlah siswa di kelas.

Para siswa menatap Kanae dan Levy sambil menyeringai, seakan menunggu sesuatu.

“Baiklah, Murotsuki. Bisa kamu tunjukkan kemampuan Peri Fenomena-mu?”

Mendengar itu, Kanae membeku di tempat sambil tersenyum.

“Ah, um, itu, eh...”

“Ada apa? Aku memintamu untuk menunjukkan kemampuan Peri Fenomena-mu, kan?”

Seakan baru tersadar, Levy membelalakkan mata.

Dia buru-buru menutup mulutnya dengan kedua tangan, seolah menahan diri agar tidak berbicara.

“Itu... Levy ini...”

“Sensei, peri itu nggak bisa ngapa-ngapain, lho.”

“Iya betul. Si Murotsuki ini, meski omongannya pintar, yang dia punya cuma peri rongsokan tanpa kemampuan.”

Salah satu siswa mengejek, dan ketika mendengar kata “rongsokan”, Levy terlonjak kecil.

Bagi para siswa, mengejek Kanae yang beberapa saat lalu begitu lancar bicara adalah hiburan yang menyenangkan.

Sang pengajar mengernyit curiga.

“Maksudmu, Peri Fenomena-mu tak bisa memicu fenomena fisik yang unik?”

“...”

Kanae memilih diam.

Namun justru keheningan itu menjadi jawaban yang paling jelas.

“Itu aneh. Soalnya, kalau sudah eksis sebagai Peri Fenomena, itu sama saja dengan eksistensi sebuah fenomena fisik. Peri Fenomena yang tak bisa melakukan apa-apa tak mungkin bisa ada.”

Bagi Kanae, kata-kata itu terdengar seperti sesuatu yang tak punya kemampuan sama sekali adalah sesuatu yang tak ada artinya.

Kanae membuka mulut, lalu menutupnya lagi, seakan hendak berkata sesuatu namun tak sanggup.

Melihat gerakan mulutnya yang hanya membuka dan menutup, para siswa semakin terhibur.

“Dia kayak ikan mas tuh. Nunggu dikasih makan, ya?”

“Tiba-tiba sok maju ke depan, kan. Rasain deh.”

“Kalau perinya ga guna, orangnya juga ga guna, dong...”

Di tengah hiruk-pikuk itu, Levy tak sanggup lagi menahan diri.

“Tuan Kanae bukan ga guna! Yang ga guna cuma aku!”

Usai berteriak, Levy menggertakkan giginya, seolah diliputi rasa tak berdaya.

Mengabaikan keributan di kelas, Kanae mengusap sudut mata Levy yang basah dengan lengan seragamnya yang sudah hangus meleleh.

“Tuan Kanae, itu geli...”

“Enak, kan, rasanya? Aku akan mengusap sesukamu, jadi hilangkan mukamu yang cemberut itu.”

Levy menggosokkan pipinya dengan kasar ke Kanae, lalu menatapnya dari bawah dengan tatapan tajam.

“Tapi karena aku nggak bisa melakukan apa-apa!”

“Apa maksudmu nggak bisa melakukan apa-apa? Kamu bikin teh, bahkan bisa bikin kue, kan?”

“Aku tak punya kemampuan apa pun sebagai Peri Fenomena!”

“Nggak perlu yang begitu. Kalau temanmu nggak bisa menyemburkan api atau membekukan ruangan, apa kamu bakal langsung ga berteman?”

Tawa ejekan di kelas semakin riuh.

Bahkan sang pengajar, yang tadi hendak membela Kanae, kini terdiam dengan mulut terbuka.

Tatapan yang tadinya penuh rasa simpati, kini berubah menjadi pandangan aneh, seolah dia melihat sesuatu yang tak masuk akal.

Tanpa sadar, dia pun bertanya.

“Sebenarnya kamu sedang berbicara dengan siapa?”

Wajah Kanae berubah kikuk, seolah dia baru saja terpeleset lidah.

Dia menggaruk pipinya, mencari cara untuk keluar dari situasi ini tanpa memicu masalah, namun tak menemukan jawaban.

Akhirnya, dia memilih untuk menjawab dengan jujur.

“Aku sedang berbicara dengan Levy, di situ...”

Sang pengajar kehilangan kata-kata.

“Sensei ini, kalau dipikir-pikir, dia nggak pernah kelihatan selain hari Sabtu, ya.”

“Mungkin dia cuma tenaga paruh waktu yang ngajar mata pelajaran Ilmu Peri Fenomena.”

“Kalau gitu wajar aja nggak tahu soal dia.”

“Nggak juga. Kalau tahu, mana mungkin dia bicara akrab begitu.”

“...Apa maksudnya?”

Menanggapi pertanyaan sang pengajar, seorang siswa laki-laki menjawab.

“Dia itu orang aneh yang ngaku bisa ngobrol sama peri.”

Lalu, mengikuti arus ejekan yang semakin sengit, seorang siswi pun menambahkan pukulan telak.

“Udahlah, berhenti main boneka-bonekaan.”

Dengan sekali sentuh, rekaman percakapan Kanae dan Levy dari ponsel seseorang diperdengarkan ke seluruh kelas.

Bagi semua orang di ruangan itu, kecuali Kanae, rangkaian suara itu sama sekali tak terdengar seperti percakapan.

“—Enak, kan, rasanya? Aku akan mengusap sesukamu, jadi hilangkan mukamu yang cemberut itu.”

Tangisan itu terdengar mirip dengan nada tinggi yang dipetik dari alat musik berdawai.

Amarah Levy yang terekam dalam audio berubah menjadi nada-nada sumbang yang bergerak naik-turun di antara tangga nada berbeda.

“—Apa maksudmu nggak bisa melakukan apa-apa? Kamu bikin teh, bahkan bisa bikin kue, kan?”

Frasa nada sumbang yang kembali dimainkan itu terdengar lebih sarat kepedihan dibandingkan sebelumnya.

“—Nggak perlu yang begitu. Kalau temanmu nggak bisa menyemburkan api atau membekukan ruangan, apa kamu bakal langsung ga berteman?”

“...Murotsuki, kamu bisa berbicara dengan peri?”

“...Ya.”

Berbeda dengan teman sekelas yang suka menebar kebencian, pengajar itu tidak menyudutkan Kanae.

“Itu hal yang menarik. Jika benar demikian, itu akan menjadi peristiwa yang tercatat dalam sejarah penelitian Peri Fenomena.”

Namun sang pengajar juga tidak serta-merta membenarkan Kanae.

“Namun, seperti yang pasti sudah kamu ketahui jika kamu memang paham tentang Peri Fenomena, bahasa yang digunakan peri saat ini diduga adalah Strange Code itu sendiri. Bahasa ini sepenuhnya sejenis dengan bahasa asing yang tak terbaca dan tak dapat diuraikan, yang digunakan untuk menulis program inti FT.”

Karena posisinya untuk mengajarkan ilmu Peri Fenomena dengan benar, dia tidak bisa menerima kata-kata Kanae mentah-mentah.

“Jika komunikasi bahasa benar-benar terjalin antara dirimu dan peri itu, maka artinya... Strange Code yang bahkan seluruh negara, dengan biaya berapa pun, tenaga ahli sebanyak apa pun, dan waktu sepanjang apa pun, tidak diizinkan untuk mengetahui satu pun bagian kodenya, justru bisa dipahami begitu saja oleh seorang siswa SMA biasa hanya dengan mendengarkannya.”

“Benar juga. Tapi karena sudah begitu sejak dulu, aku tidak terlalu mengerti kenapa itu dianggap aneh.”

“Selain dirimu, semua orang termasuk aku menganggapnya tak lebih dari monolog seorang diri.”

“Tuan Kanae... Tolong abaikan saja aku... Kumohon... Uuh, hiks...”

“...Tapi bukannya itu juga tidak bisa sepenuhnya dibantah? Dari pihak kami pun, kalau diminta menunjukkan sesuatu yang dianggap tidak ada, kami tidak bisa membuktikannya. Ada istilah pembuktian, apa ya namanya?”

“Itu disebut probatio diabolica. Memang benar, mungkin aku tidak bisa sepenuhnya menyangkal kata-katamu, Murotsuki. Tapi di saat yang sama, dunia ini juga tak akan pernah bisa memahami dirimu. Karena sejak awal, analisis Strange Code sama sekali tidak mengalami kemajuan, jadi meskipun kamu memberi jawaban yang benar, sains saat ini tidak memiliki hasil penelitian yang bisa dijadikan pembanding untuk memverifikasi kebenaranmu.”

“Maaf, tapi aku tidak terlalu paham maksudnya.”

“Kalau begitu, mari kita buat contoh.”

Sambil berkata begitu, pengajar itu mengeluarkan dompet berantai gantungan kunci, lalu mengangkat gantungan kunci itu hingga sejajar mata.

Seorang gadis mungil bergaun merah.

Rambut panjang berwarna kuning senja dan mata hijau bak kristal.

Itu adalah tiruan peri Repulsion, tokoh utama dalam kisah legendaris Haitani Gien.

“Misalnya aku berbicara dengan Rep-chan ini. ‘Rambutmu halus sekali, bolehkah aku menciumnya? Tidak boleh? Kalau begitu membelainya saja? Itu juga tidak? Kalau begitu cukup menatapmu saja. Eh, bahkan memandang pun tidak boleh, katanya menjijikkan? Sifatmu yang penuh daya tolak itu pun indah bagiku.’”

“Uwah...”

Seluruh teman sekelas, termasuk Kanae, tampak sepenuhnya kehilangan minat.

“Nah, Murotsuki. Aku merasa aku sedang berbicara dengan Rep-chan. Apakah kamu sependapat?”

“Maaf, aku tidak bisa setuju.”

“Lalu apa yang kamu pikirkan saat melihatku?”

“Terus terang, aku merasa itu menjijikkan.”

“Itulah apa yang orang lain rasakan ketika melihatmu.”

Kanae tidak bisa mengajukan bantahan apa pun.

* * *

“Kamu berani sekali menghina Tuan Kanae! Dasar kamu! Hancur saja! Kucincang kamu! Hiyaa!”

Grakgrak bam brak! Gruk! Gas! Gos!

Dari arah dapur, bersama suara Levy yang sarat dengan dendam, bergema bunyi logam yang tajam bercampur dentuman tumpul.

“Hei, Nozomi-sensei! Sebenarnya apa yang Levy lakukan di sana!?”

Penglihatan Kanae sepenuhnya gelap, tertutup sesuatu dari leher ke atas.

Terdengar suara-suara yang tidak enak di telinga, membuatnya refleks berteriak.

“Lagi bikin teh buah.”

“Teh buah tidak mungkin menimbulkan suara masak sebrutal itu kan!?”

“Kalau buah diperas habis-habisan, kadar gulanya akan meningkat. Levy pun ingin menghibur diri lewat rasa manis.”

“Kalau dari bunyinya, ini lebih seperti menghibur diri secara fisik.”

Kanae dan Levy saat itu berada di bekas ruang laboratorium sekolah.

Laboratorium di ujung gedung yang sudah tidak dipakai untuk pelajaran itu entah kenapa diperlakukan Nozomi, si guru fisika, seolah ruangan pribadinya.

Meja-meja eksperimen yang dulu berjajar kini hanya tersisa satu di tengah ruangan, sementara di sekitarnya berjejalan peralatan eksperimen dengan fungsi tak jelas.

Kanae sedang memasukkan kepalanya ke dalam salah satu alat yang bentuknya seperti terowongan yang dipotong melintang, sebuah MRI kecil yang entah dari mana didapat Nozomi dan sudah dimodifikasinya, untuk memindai data otaknya.

“Gelombang beta yang mengatur stresmu membentuk pola garis yang unik. Sepertinya kamu sedang haus akan pengakuan.”

“Mesin ini bisa tahu sampai segitunya, ya?”

“Kamu tahu siapa aku? Di kelas, begitu kamu merasa menemukan teman bicara, dia langsung mengabaikanmu, bukan?”

“Rupanya aku tidak bisa menyembunyikan apa pun dari Sensei. Nozomi-sensei memang ilmuwan jenius... Tadi sempat ribut sedikit dengan salah satu pengajar. Rasanya senang sekali, sudah lama tidak ada orang yang mau mengobrol serius denganku. Meskipun ada beberapa sisi yang agak menjijikkan.”

“Kamu sedang cukup rapuh rupanya... Meski yang kudengar itu hanya gosip di ruang guru.”

“Kembalikan rasa tertarik dan ketulusanku!”

“Tuan Kanae! Nozomi! Makan siang sudah siap!”

Bagi Nozomi, suara Levy hanya terdengar seperti kicauan, tapi nuansanya tetap tersampaikan.

“Hm, kebetulan pemindaian juga baru selesai.”

Dengan suara psshh udara yang terlepas, ranjang geser itu bergerak dan kegelapan di penglihatan Kanae pun hilang.

Di atas MRI kecil itu duduklah Levy, mengenakan celemek berenda hitam-putih.

Levy menatap ke bawah dan tersenyum kecil pada Kanae yang lewat di bawahnya.

“Celana dalammu kelihatan, tahu.”

“Kalau Tuan Kanae yang lihat, tidak masalah kok!”

“Mau kirim-kirim rayuan pun, di mataku itu cuma seperti dua batang lobak yang tumbuh di atas wortel.”

“Dasar Tuan Kanae jahat!”

Saat Kanae masih menatap Levy yang buru-buru membetulkan posisi duduknya dengan tatapan tak berminat, tiba-tiba bayangan menutupi pandangannya.

Nozomi berdiri di sisi ranjang.

Wajahnya yang berparas rapi namun dengan ekspresi malas, kedua tangannya terlipat di depan, membuat dadanya yang besar tertekan dan berubah bentuk.

Posisi ranjang yang didukuki Kanae sejajar dengan perut Nozomi.

Bagian dadanya yang menonjol sedikit menyentuh dagu Kanae.

Sambil menunduk sedikit, dia berbisik ke telinga Kanae.

“Aku makan ya.”

“Apa maksudnya!?”

Wajah Kanae memanas dan ia tergesa-gesa berguling ke samping untuk keluar dari posisi terjepit antara ranjang dan tubuh Nozomi.

“Maksudku makan siang.”

“Jangan berkata dengan cara ambigu seperti itu! Serius, itu bikin repot!”

“Hmm, sepertinya gelombang otakmu berguncang dengan cara yang cabul.”

“Cabul apanya! Lagi pula, pemindaian sudah selesai kan!?”

“Kalau kulihat, ini jelas gelombang beta-cabul.”

“Jangan bikin nama gelombang baru seenaknya!”

Melihat Kanae berdiri, Nozomi menahan tawa kecil.

“Maaf, menggoda perjaka itu menyenangkan.”

“Kapan aku bilang aku perjaka?”

“Dulu kamu pernah mengeluh tidak punya teman laki-laki pun, apalagi teman perempuan.”

“Ugh...”

Grrshh grashhh.

Levy, yang masih duduk di atas MRI kecil, menghentak-hentakkan tumitnya ke dudukan dengan wajah masam.

“Nozomi curang! Kenapa ke aku tidak ada reaksi sama sekali!?”

“Levy, sebenarnya kamu marah karena apa? Kalau kamu cemburu, wajar saja kalau Kanae bisa terpicu nafsunya oleh daya tarik orang dewasa, tapi tidak bereaksi pada gadis mungil seperti dirimu.”

“Kamu sengaja memprovokasi, ya?”

“Nozomi, dasar si hantu kantong susu! Guru mesum berjubah lab!”

“Kalau tidak bisa dimengerti, bicaramu jadi seenaknya ya.”

“Kanae ini orang sehat yang tidak akan terangsang oleh boneka berukuran manusia. Bagus kan, Levy?”

“Tidak bagus sama sekali! Kenapa Tuan Kanae tidak terlahir sebagai orang mesum!?”

“Hentikan ucapanmu yang bisa bikin salah paham!”

“Aku tahu kok! Tuan Kanae diam-diam melirik-lirik dada besar Nozomi saat tidak dilihat!”

“Itu gosip dari siapa!?”

“Nozomi yang bilang! Katanya perempuan itu peka terhadap tatapan mesum pria!”

“Itu cuma refleks bawaan siswa SMA, maafkanlah... Tunggu, eh?”

Kanae merasa ada yang janggal dari kata-kata Levy.

“Tunggu sebentar, maksudnya kamu dengar langsung dari Nozomi-san itu bagaimana?”

Mendengar berarti ada komunikasi dua arah.

Baik Levy maupun Nozomi menunjukkan ekspresi kecewa.

Akhirnya, Nozomi mengeluarkan ponsel dari saku jas labnya.

“Memang aku bisa berbicara dengan Levy. Selama ini dia membantuku menguji coba secara diam-diam. Aplikasi ini masih tahap prototipe, jadi rencananya akan kuceritakan padamu setelah jadi.”

Beberapa jam sebelumnya, di kelas, Kanae baru saja diberitahu bahwa bahasa peri Strange Code mustahil dipecahkan, membuatnya ditolak mentah-mentah.

Pernyataan Nozomi sekarang membalikkan semua itu dengan mudah, membuat Kanae terdiam.

“Maaf! Aku tidak sengaja membocorkannya!”

“Kalau kata-katamu tadi diubah ke bahasa Jepang dan diputar ulang...”

“Maaf. Tadinya mau kutahan, tapi tanpa sadar aku mengompol.”

“Itu terjemahan ngawur banget!”

“Aku sudah tidak ngompol lagi sekarang!”

“Sampai tiga bulan yang lalu kadang masih melakukannya.”

“Pantas saja...”

“Uwaaaaaa!”

Nozomi lalu melangkah mendekat dan duduk di bangku di seberang Kanae di meja percobaan itu.

Sambil mengusap kepala Levy yang meringkuk kesakitan, Kanae menuangkan teh buah dari teko untuk melepas dahaga.

“Manis banget...”

“Itu malah bikin haus, tahu...”

Kanae tersenyum malu sambil memandang Nozomi.

Dalam pandangannya ada rasa hormat.

“Jadi aplikasi ini dibuat setelah memeriksa otakku, bukan? Memang ada beberapa bagian yang aneh, tapi ternyata Nozomi-sensei benar-benar berhasil menerjemahkan Strange Code, ya...”

“Aku tidak menerjemahkannya.”

“...Maksudnya bagaimana?”

“Menerjemahkan berarti sang penerjemah memahami kedua bahasa dengan benar. Tapi seperti yang dikatakan pengajar di kelas tadi, ‘tidak bisa menilai ujian yang tidak punya jawaban’. Tidak ada seorang pun di dunia ini yang tahu apakah Kanae benar-benar memahami Strange Code.”

Senyum malu Kanae berubah menjadi senyum kecut.

Rasanya dia ingin menegur dirinya sendiri karena terlalu percaya diri.

“...Iya juga, sih. Dari sudut pandang siapa pun, sepertinya memang cuma aku yang aneh...”

Menimpa kata-kata Kanae yang penuh rasa pasrah itu, “Itu sebabnya, hanya aku yang memilih untuk mempercayaimu.”

Nozomi menyatakan itu dengan senyum cerah.

“Eh? Tapi tadi Sensei bilang tidak mengerti...”

“Meski tak mengerti, aku masih bisa percaya.”

Nozomi mengeluarkan sebuah remote dari jas laboratoriumnya dan mulai mengoperasikan layar LCD yang terpasang di dinding.

Pertama, muncul ilustrasi detail otak manusia.

Dari sana, tak terhitung garis kuning memancar keluar.

Garis-garis itu menghubungkan diri satu per satu dengan kalimat-kalimat berbahasa Jerman yang muncul di sekeliling otak.

“Aku tidak mendekatinya dari Ilmu Peri Fenomena, tapi berdasarkan pandangan neurosains terbaru. Singkatnya, aku membalik proses untuk menemukan cara kerja pengenalan dan respons otak terhadap Strange Code. Ini dirancang berdasarkan asumsi yang seharusnya mustahil, yakni ‘Kanae memahami Strange Code dengan benar’. Jadi ini bukanlah aplikasi penerjemah bahasa peri, tapi lebih tepat disebut aplikasi analisis Kanae. Dalam artian tertentu, ini tindakan yang licik.”

“Tapi dengan ini, orang-orang selain aku juga bisa mengerti bahasa peri, kan? Ini penemuan besar!”

“Sayangnya, untuk saat ini aplikasi ini hanya berfungsi pada Peri Fenomena yang terikat kontrak denganmu, Kanae.”

Kali ini Nozomi yang tersenyum kecut.

Dia kemudian menatap makan siang yang tersaji di meja.

Dia mematikan tayangan data di layar LCD, lalu menggantinya ke program berita siang yang umum.

“Kalau begitu, cepat dimakan, atau rotinya akan dingin. Sayang sekali kalau roti yang baru dipanggang jadi begitu.”

“Bukan baru dipanggang, tapi roti gosong, tepatnya.”

“Hm? Tidak puas dengan buatan tanganku?”

“Makan gratis, jadi tidak masalah, tapi kenapa tidak memanggangnya di oven komersial yang bagus saja?”

Kanae menoleh ke arah dapur di sisi dinding.

Sekilas, peralatan di sana hanya terlihat seperti kumpulan alat eksperimen aneh yang tak jelas fungsinya, namun konon semuanya adalah perlengkapan rumah tangga yang telah dimodifikasi oleh Nozomi.

Kanae mengambil roti manis di depannya, memisahkan bagian yang tidak hangus, lalu mengolesinya dengan selai jeruk.

Kemudian dia menyodorkannya ke bibir Levy, yang duduk membelakangi mereka sambil merajuk.

“...Terima kasih!”

“Aduh! Jari aku itu nggak manis, tahu!”

Sisa roti hangus itu dia lahap dengan gigitan besar, lalu meneguk teh susu yang sudah dituangkan ke cangkirnya.

Di ruang laboratorium tua yang mirip markas rahasia dan jarang dikunjungi siapa pun ini, Kanae merasa ada semacam ketenangan.

“...Pelaku perdagangan peri ilegal yang ditangkap pagi ini di lantai 86, diduga melanggar perjanjian internasional multilateral Proses Kimberley. Saat ini mereka telah dibawa ke Interpol di Osaka...”

Mendengar berita itu, Kanae mengernyit.

“Proses Kimberley , ya. Awalnya itu adalah perjanjian antar-LSM di Afrika soal ‘sesuatu’. Tapi seiring waktu, definisinya berubah... Sama seperti ibukota Jepang yang kini didefinisikan ulang menjadi Osaka.”

“Mau bagaimana lagi. Tujuh Bencana Besar itu terjadi di Tokyo, tapi tidak di Osaka.”

“...?”

Melihat ekspresi muram di wajah Kanae dan Nozomi, Levy hanya memiringkan kepala.

“Tidak apa-apa, Levy. Kanae pasti akan melindungimu.”

Nozomi mengelus rambut pirang Levy, lalu mengganti saluran TV dari berita menjadi acara varietas yang biasa-biasa saja.

Suara tawa penonton yang khas memenuhi ruangan, diiringi penampilan komedi oleh artis populer.

Levy bertepuk tangan dengan gembira sambil menonton.

Kanae menyuapi roti yang telah disobek, bergantian antara dirinya dan Levy.

Kalau untuk Levy, dia selalu mengolesi selai, marmalade, atau mentega secara berlebihan.

Kadang jarinya ikut tergigit, tapi dia sudah terbiasa. Kadang dia malah curiga Levy sengaja melakukannya.

“...Levy, kita pulang. Terima kasih untuk makan siangnya, Nozomi-sensei.”

Usai menghabiskan waktu makan siang di laboratorium lama Nozomi, Kanae membungkuk hendak keluar pintu.

“Tunggu sebentar, Kanae.”

“Mau nagih bayarannya, ya?”

“Semacam itu. Ada titipan kecil.”

Berdiri, Nozomi berjalan hingga ke sudut terdalam laboratorium, lalu mengoperasikan komputer desktop untuk analisis, menyalin data ROM, dan memasukkannya ke dalam sebuah kotak.

“Seseorang yang kenal denganku dari masa ketika aku masih aktif di akademisi memintaku membuat ini. Sebenarnya aku akan mengunggah hasilnya ke penyimpanan berbagi yang terenkripsi, tapi servernya sedang bermasalah. Dia bilang perlu segera, tapi aku ada rapat staf sepanjang siang ini. Bisa kamu antar, Kanae?”

“Tidak bisa dikirim dengan cara lain?”

“Data ini adalah bagian dari penelitian terbaru. Klien khawatir soal kebocoran informasi.”

“...Tapi kalau aku yang pergi, bukannya agak berisiko?”

“Kamu terlalu paranoid, Kanae. Tenang saja, tentu saja aku tidak memberitahu siapa pun. Lagipula, ini terlalu tak masuk akal untuk dipercaya. Kamu tidak akan ditangkap lalu dibedah, santai saja.”

“Haa... Lalu aku harus pergi ke mana?”

“Lantai 293.”

“Gila, gila, jauh banget! Itu kan area terbaru juga!”

“Kamu cukup mampir saja dalam perjalanan pulang.”

“Rumahku di lantai 197! Naik 96 lantai lalu pulang itu bukan mampir namanya!”

“Oh? Jadi kamu berniat menolak permintaanku?”

Nozomi menyilangkan tangan di depan dada, menegakkan punggungnya sambil menatap Kanae dari atas dengan sorot menekan.

Kanae yang terpojok tanpa sadar mengangguk setuju.

“Oke, oke, aku pergi.”

“Begitu dong.”

“Wajah Tuan Kanae kelihatan agak nggak murni, ya...”

Mengangguk puas, Nozomi menyerahkan kotak berisi data ROM itu.

“Tujuanmu adalah distrik penelitian terbaru di Kobe. Itu juga pusat riset terdepan tentang Peri Fenomena. Kamu sudah SMA, jadi pasti tahu mana yang boleh dan tidak. ...Jadi, jangan sampai melakukan hal bodoh.”

Mendengar itu, jantung Kanae berdegup keras.

Untuk meyakinkan Nozomi, dia berkata, “...Hanya karena aku bisa mendengar suara peri, aku tidak akan melakukan kebodohan itu lagi.”

* * *

Suara itu hanya terdengar oleh Kanae.

Di dalam suara itu, tak ada keluhan atau amarah karena disiksa.

...Sedih, sepi, sakit... Siapa pun... Tolong...

Tanpa subjek atau predikat, hanya kata-kata yang meluapkan kepedihan yang terdengar di telinganya.

Bagi Kanae, itu adalah kata-kata kutukan.

Dan untuk melawan kutukan itu, hati Kanae yang berusia sepuluh tahun belum cukup dingin maupun kuat.

Dia berlari sekuat tenaga menuju arah suara itu, berusaha menyelamatkan sosok yang terperangkap sebagai bagian dari sistem kota.

Dia menggigit siapa pun, baik anak-anak seusianya maupun orang dewasa.

Namun di hadapan kekuasaan yang begitu besar, jeritan perlawanan anak kecil seperti Kanae tak ubahnya hal yang sia-sia.

Kanae tak berhasil menyelamatkan keberadaan itu, dan yang tersisa hanyalah jejak penghancuran fasilitas yang tak ada gunanya.

Meski sudah menjadi murid SMP, Kanae tak bisa menghentikan kebrutalan itu.

Dia tak mampu berpura-pura tak mendengar suara itu.

Dosanya menumpuk, hingga salah satunya menjadi pukulan terakhir yang membuatnya dilemparkan ke Unit Rehabilitasi Kriminal Lantai 112, tempat penjara dan pusat tahanan terhimpun.

Berbulan-bulan lamanya dia mengerjakan tugas kerja paksa sambil memandangi dinding kelabu, sampai akhirnya Kanae mengambil satu keputusan.

Sudah cukup, hentikan semua ini.

Dia akan berpura-pura tak mendengar suara itu, dan hidup dengan damai.

Keluar dari lapas remaja, hal pertama yang Kanae lakukan adalah mencari SMA yang bisa menerimanya.

SMA yang terletak 23 lantai di bawah rumahnya adalah tempat yang sempurna, selama dia mendapatkan nilai ujian yang cukup, hal-hal lain tidak akan dipermasalahkan.

Kanae mengumpulkan buku-buku referensi dan belajar secara otodidak.

Untuk anak kelas tiga SMP yang tak pernah bersungguh-sungguh belajar seperti dirinya, harga yang harus dibayar pun menumpuk.

Segala waktu luang dia curahkan untuk belajar.

Semua itu demi merasakan masa remaja yang biasa saja.

Dia sepenuhnya sadar bahwa keinginan itu egois dan tak masuk akal.

Namun dia merasa, dirinya sudah melangkah satu langkah ke depan.

Dibandingkan dengan dirinya yang dulu, tak ada lagi “kebaikan” yang murni dari diri sendiri, tak ada lagi tindakan yang digerakkan hanya oleh kata-kata kutukan itu dan rasa tanggung jawab tanpa arah. Hati Kanae kini semakin kuat, semakin dingin.

Bagi Kanae, itu tak terbantahkan adalah tanda pertumbuhan.

...Dan akhirnya, dia lulus ujian masuk yang terkenal sulit itu, memulai debutnya di SMA dengan gemilang.

Para guru berpura-pura tak tahu masa lalunya.

Teman-teman sekelas yang dia temui, setidaknya saat itu, belum mengetahui masa lalunya.

Awal perkenalan, jarak yang kaku, lalu perlahan menjadi teman dari sekadar tetangga bangku, semuanya terasa baru.

Untuk pertama kalinya dia merasakan arti masa remaja.

Sejak dia mulai mengabaikan suara itu, perlahan suara itu tak lagi terdengar sebagai bahasa yang jelas.

Suara penuh duka itu berubah menjadi deru samar, seperti suara ombak yang tak berpola.

Namun pada hari itu, dua minggu setelah masuk sekolah, dalam perjalanan ke sekolah, Kanae mendengar satu suara yang jelas di antara desiran samar itu.

Gelap, dingin, sepi, ugh, hik...

Dia berniat mengabaikannya seperti biasa.

Jika sudah menjadi bagian dari sistem kota, seharusnya mereka tidak akan mati meski disiksa.

Namun suara pilu itu semakin lama semakin melemah, mematahkan perkiraannya.

Mengabaikan ini berarti membiarkan keberadaan itu mati begitu saja.

Tolong, jangan tinggalkan aku sendirian...

Kanae tak bisa mengabaikannya.

Dari sebuah gang sepi, dia membuka penutup lubang got dan turun ke saluran pembuangan yang gelap gulita.

Dengan cahaya redup ponselnya, dia merangkak maju hingga mencapai sumber suara itu.

Dia mengambil keputusan, lalu melangkah masuk ke dalam air kotor.

Bau busuk menusuk hidungnya.

Kanae merogoh air setinggi betisnya dengan kedua tangan.

Mengandalkan suara itu, dia mengaduk dasar air, hingga akhirnya berhasil meraih sumber suara itu.

Di tangan kanannya tergenggam sebuah chip IC berukuran beberapa sentimeter.

Tenggelam dalam air kotor, rangkaian elektroniknya sudah rusak.

Apa aku akan menghilang...?

Seandainya ini hanyalah ponsel rusak biasa, dan pemilik suara itu memiliki kontrak dengan seseorang, maka setelah dia memperbaiki perangkatnya, dia bisa mengoperasikan FT untuk melakukan Release, melepaskan Peri Fenomena ke dalam bentuk roh tak kasat mata dari sisi FT.

Namun yang ada di depannya ini hanyalah sepotong logam yang tak bisa dioperasikan.

Dan Peri Fenomena yang tak memiliki kontrak dengan siapa pun memiliki kecepatan memperbaiki bug yang sangat lambat.

Saat ini, hanya keajaiban berupa sisa-sisa keberadaannya yang masih terikat pada inti program yang ditulis dengan Strange Code berkerapatan tinggi.

Namun keajaiban tak bertahan lama.

Tak lama lagi, dia akan mati dan lenyap dari dunia ini.

Kalau mati, aku tak bisa makan kue manis lagi...

“Alasan yang keras kepala juga ya buat bertahan hidup.”

Ada seseorang di sana?

“Ya, aku di dekatmu.”

Uuh... Ada yang datang! Uwaaaaaaah!”

Dalam situasi ini, satu-satunya orang di dunia yang bisa menyelamatkannya hanyalah Kanae, satu-satunya yang mengerti Strange Code.

Hanya ada satu cara untuk menyelamatkannya. Sejak kecil, Kanae melarang dirinya melakukannya karena takut kehilangan kendali atas emosinya.

Namun kali ini, dia mencabut larangan itu.

Tolong selamatkan aku! Aku tak akan menuntut yang aneh-aneh! Aku pasti akan berguna! Aku akan mengabdikan hidupku untuk membalas budi padamu!

“Tidak perlu langsung mengorbankan diri sejauh itu...”

Tidak! Biarkan aku bekerja! Biarkan aku berada di sisimu! Aku akan melakukan apa saja! Aku akan membuktikannya! ...Jadi, jangan tinggalkan aku...

“Kamu udah kayak pelayan aja.”

...Eh? Pelayan itu apa?

“Hmm... Misalnya, membangunkan aku yang susah bangun di pagi hari, atau membuatkan teh dan kue sebagai kudapan karena aku tak pandai memasak. Pokoknya, seperti seseorang yang membantu tuannya yang hidup sendirian dan menyedihkan seperti aku.”

Kalau begitu, aku akan menjadi pelayanmu! Gajinya dibayar dengan kue manis!

“Kamu pintar juga ya ngatur untungnya! ...Baiklah. Kita makan yang enak bareng-bareng nanti.”

Biasanya, ini adalah prosedur rumit yang tak mungkin dilakukan seorang diri, dan harus dijalankan dengan tepat tanpa sedikit pun kesalahan.

Namun bagi Kanae, hanya ada satu hal yang perlu dia lakukan.

Kanae menatap chip IC di tangan kanannya, tersenyum lembut pada peri yang terkurung di dalamnya.

“Hanya satu yang ingin kutanyakan padamu.

“Katakan padaku, dari mulutmu sendiri, nama gadis yang akan membuat kontrak denganku.”


Bagian 3

Kanae dan Levy berada di lantai 293, sebuah zona penelitian terbaru.

Ketinggian langit-langitnya sama seperti di zona hunian.

Gedung-gedung laboratorium bertingkat rendah namun memanjang ke samping berjajar rapi, dengan jalan-jalan lurus membentuk pola seperti papan catur.

Hanya sedikit orang yang berjalan di jalanan, kebanyakan manusia dari berbagai ras mengenakan jas laboratorium putih, melangkah lesu.

Dari seluruh lantai ini menguar suasana yang entah bagaimana terasa menyeramkan.

Bukan hanya suasananya, tetapi kota ini memang benar-benar tampak redup.

Pencahayaan di lantai ini menggunakan LED berkekuatan tinggi, bukan peri foton yang umum di Kobe.

Di zona penelitian, tidak hanya lampu, tetapi semua fasilitas sama sekali tidak menggunakan Peri Fenomena.

Sebab, dalam eksperimen dan penelitian, segala bentuk gangguan dari kondisi tak terduga harus dihindari.

Terpengaruh suasana kota yang suram, dan untuk mengusir suara bising samar yang terasa seperti gangguan di kepalanya, Kanaee, yang biasanya tidak seperti ini, terjebak dalam pikirannya sendiri.

“Apa benar di sini?”

Institut Fisika Belum-Terwujud dan Fungsi Gelombang yang ditunjukkan oleh aplikasi navigasi ternyata hanyalah bangunan mungil.

Kanae menekan bel interkom.

Levy buru-buru menyelinap bersembunyi di dalam ransel.

“Permisi!”

“Mahasiswa? Ada keperluan apa?”

“Saya datang membawa titipan dari Yajima Nozomi.”

“Oh, jadi kamu kurir yang bisa dipercaya, ya.”

“Kurir murah hati, tepatnya.”

Tak lama kemudian, seorang peneliti pria asal Jerman keluar dari pintu depan.

Dari wajahnya, terlihat dia masih berusia dua puluhan, namun rambutnya kusut dan lingkar hitam di matanya membuatnya tampak agak lebih tua.

“Halo, selamat siang. Terima kasih sudah jauh-jauh datang.”

Dia menyapa Kanae dengan bahasa Jepang yang lancar.

Kanae hendak mengeluarkan kotak berisi data ROM dari ranselnya.

Levy, dari dalam, sempat mengedipkan mata dengan penuh gaya, namun Kanae mengabaikannya dan menyerahkan kotak itu pada sang peneliti.

“Ini yang dimaksud... Tapi, ini sebenarnya data apa?”

“Dari sudut pandang Fisika Belum-Terwujud, ini adalah simulasi kuantum virtual yang mengamati kemungkinan eksistensi, dilihat sebagai perilaku Peri Fenomena.”

“Maaf, saya tidak mengerti sama sekali.”

“Baik, akan aku jelaskan. Bidang penelitianku adalah membuktikan fenomena fisika yang hingga kini belum terbukti keberadaannya, dilihat dari sudut pandang Peri Fenomena. Fisika dan Peri Fenomena adalah satu kesatuan, dengan memahami keduanya, kita dapat mengubah yang tak diketahui menjadi sesuatu yang diketahui. Itulah yang disebut Fisika Belum-Terwujud.”

“Oh, saya mengerti sekarang. Tapi kenapa data ini diberikan pada Bu… maksud saya, Yajima Nozomi?”

“Kamu mengaguminya tanpa tahu siapa dia? ...Ya, Yajima Nozomi adalah seorang ahli Fisika Belum-Terwujud, talenta yang diharapkan akan memimpin dunia akademis meski masih muda. Namun tahun lalu, dia tiba-tiba meninggalkan dunia akademis, menjadi guru fisika SMA. Katanya, dia hanya ingin pensiun karena lelah. Sungguh disayangkan, haha.”

“Begitu rupanya...”

Kanae menatap jauh, seolah melihat sosok Nozomi yang tak pernah dia kenal sebelumnya.

Mungkin, dia merasa sedikit senang mengetahui sisi lain dari gurunya itu.

“Kalau begitu, aku akan kembali bereksperimen. Tidak mungkin aku bisa diam saja memegang data ini.”

Saat peneliti itu membungkuk dan hendak kembali masuk, Kanae tiba-tiba memanggilnya.

“Ah, maaf! Saya ingin bertanya satu hal. Sebagai peneliti, bagaimana pendapat Anda tentang Peri Fenomena?”

“Mereka adalah rekan yang menemaniku menggali lebih dalam dunia fisika.”

“...Menurut Anda apa boleh memperlakukan rekan sesuka hati dalam eksperimen?”

Kanae tak bisa menahan dirinya untuk tidak berkata begitu.

“Kalau dibilang mereka hanya objek eksperimen, aku tak bisa menyangkal. Tapi hal itu juga berlaku untuk yang lain. Contohnya kelinci, di satu sisi mereka disayang sebagai hewan peliharaan, tapi di sisi lain dijadikan daging untuk sup, atau sebagai hewan percobaan. Tanpa kemampuan berbagi kecerdasan, emosi, dan bahasa, mereka tak bisa setara dengan manusia.”

“Terima kasih atas pendapat Anda... Kalau begitu.”

Kanae berbalik, menapaki kembali jalan yang dia lewati.

Dia memaksa wajahnya tersenyum, lalu membuka ransel, mengeluarkan Levy, dan menaruhnya di bahu kanan.

Agar tidak mengundang kecurigaan para peneliti yang lewat, dia berbicara pada Levy dengan suara kecil.

“Tadi dengar pembicaraannya?”

“Sup kelinci itu rasanya manis, ya?”

“Itu saja yang kamu tangkap!?”

Kanae menghela napas lega. Namun sesaat kemudian, wajahnya mengeras.

“Ada apa?”

“...Levy, kamu tidak dengar sesuatu?”

“Tidak.”

“Kalau begitu, tidak apa-apa.”

...Kanae lebih mahir daripada Levy, yang sejenis dengannya, dalam mendengar Strange Code.

Suara itu terdengar.

Pasti di suatu tempat di zona penelitian ini, ada Peri Fenomena yang diperlakukan layaknya kelinci percobaan, menangis.

Namun, perasaan itu begitu kecil sehingga tidak dapat dia dengar jelas sebagai bahasa.

Biasanya, bahkan bagi Levy, itu hanya terdengar seperti derau samar.

Saat dia memusatkan perhatian, terdengar satu nada seperti senar instrumen yang dipetik, berdesir seperti gelombang yang datang dan pergi.

Kelinci tidak bersuara.

Justru karena tak bersuara, mereka nyaman bagi para ilmuwan.

Kanae memiliki bakat bawaan yang tak dimiliki siapa pun, kemampuan untuk mendengar Strange Code.

Terutama untuk “kesedihan” Peri Fenomena, meski tak diucapkan dalam kata-kata, dia bisa mendengarnya sebagai suara hati.

Mungkin, dulu Kanae akan mendengar suara itu dengan jelas.

Dan mungkin dia akan langsung berlari menyelamatkannya, meski harus merusak kota dan merepotkan banyak orang.

“Levy, naik ke bahuku. Kita akan sedikit berlari.”

“Ada apa?”

“Aku hanya ingin cepat pulang.”

Kanae mulai berlari, ingin mengusir gangguan itu dari pikirannya.

Dia ingin menghapus perasaan keruh ini.

Karena jalanannya sepi, dia bisa sampai ke tujuan dengan cukup lancar.

Di hadapannya berdiri sebuah pilar raksasa berwarna abu-abu, menjulang dari permukaan tanah hingga ke langit, sebuah Elevator P.

Warnanya sama dengan tiang penghubung yang tak terhitung jumlahnya di luar kota, terbuat dari bahan yang sama, membentuk jalur vertikal yang sangat kokoh.

Di kota Kobe, terdapat dua puluh enam elevator seperti ini, masing-masing diberi nama huruf abjad, yang terhubung antar lantai, dengan mekanisme angkut penumpang berkapasitas multi-lantai.

Setiap elevator memiliki lantai-lantai tertentu yang dilayani. Untuk mencapai lantai yang berjarak ratusan tingkat, seseorang harus mengikuti jadwal rute di aplikasi navigasi dan berpindah dari satu huruf ke huruf lain.

“Tuan Kanae, siang ini mau kemana? Makan kue? Atau kita coba restoran bintang tiga?”

“Khawatir dikit lah sama dompetku! ...Ya sudah, toh tidak ada yang lain untuk dibelanjakan.”

Tiba-tiba, terdengar suara gangguan.

Suara Peri Fenomena merayap menyelusup ke otak, mendadak menguat.

“Tuan Kanae?”

“Tidak ada apa-apa. Lihat, sebentar lagi kita akan sampai.”

Kanae menatap lampu indikator yang menunjukkan posisi Elevator P saat ini.

Elevator itu sudah naik hingga beberapa lantai di atas.

Lampu indikator menyala bergantian menurun satu lantai demi satu lantai, lalu melewatinya begitu saja.

“...Apa? Tunggu, bukannya seharusnya berhenti di sini?”

Dia membuka aplikasi navigasi untuk memastikan.

Dilihat dari situ, Elevator P rupanya baru saja dibatalkan untuk berhenti di lantai ini.

Padahal, catatan log dengan jelas menunjukkan bahwa sekitar puluhan menit lalu, Elevator P pernah berhenti di lantai 293, wilayah penelitian ini.

Kanae sudah lama tinggal di Kobe, tapi ini pertama kalinya jadwal operasi Elevator berubah mendadak seperti ini.

“Apa elevatornya rusak?”

Levy bertanya dengan nada khawatir.

“Mana mungkin kota Kobe melakukan kesalahan seperti itu. Ini kota buatan Asgard Factory, tahu.”

Bukannya ada anak nakal seperti dirinya di masa lalu yang iseng cari masalah, batin Kanae menambahkan dalam hati.

“Kita tinggalkan saja. Kita cari elevator lain. Yang penting bisa turun ke bawah.”

Sambil berkata begitu, Kanae mengalihkan pandangan ke aplikasi navigasi untuk memeriksa jadwal semua elevator yang berhenti di lantai ini.

Dan saat itulah Kanae terbelalak tak percaya.

“Tuan Kanae, aplikasi ini tidak bermasalah kah?”

Jadwal operasi di aplikasi navigasi itu sedang diubah secara langsung, waktu nyata.

Tulisan “Lantai 293” pada daftar pemberhentian Elevator L terdekat menghilang begitu saja.

Bukan hanya “L”.

Aplikasi navigasi menunjukkan bahwa keempat elevator yang seharusnya berhenti di lantai ini, “E”, “J”, “P” di depan mata mereka, semuanya akan melewati lantai 293.

“Aku sama sekali tidak paham apa yang sedang terjadi...”

“Tuan Kanae, maksudnya itu bagaimana?”

“Kan kubilang aku tidak tahu! Tapi yang jelas, kita terjebak di lantai ini.”

“Kalau begitu, Tuan Kanae, ayo kita keluar lewat tiang luncur saja!”

“Levy, kamu memang cerdas juga rupanya.”

Sekitar satu kilometer di ujung jalan lurus ini, di balik pagar pembatas kota, langit terlihat.

“Kalau kita terus maju, sepertinya bisa sampai ke tepi kota.”

Pemandangan kota yang redup dan memudar warnanya, serta langit biru seperti dilapisi cat tebal.

Karena struktur kota yang terbalik dengan matahari menyinari dari bawah miring, langit di ujung sana tampak amat terang.

Kanae menatap Levy dan berkata, “Kita akan meluncur lagi, tapi kali ini cuma setinggi satu lantai, ya?”

“Tuan Kanae! Lihat ke sana sekali lagi!”

“Apa?”

Begitu dia kembali menatap ke depan, sirene melengking tiba-tiba meraung.

Suara peringatan yang menusuk, membangkitkan insting naluriah untuk waspada.

Tak lama, suara pengumuman terdengar berulang di seluruh wilayah penelitian.

“Peringatan untuk semua personel. Telah terjadi Ancaman Bahaya Tingkat Empat di Egenfried Lab. Sebagai tindakan darurat, pelaksanaan penahanan lantai 293 sedang berlangsung. Semua personel segera mengungsi ke tempat perlindungan.”

“Apa-apaan ini...”

“Keempat elevator telah ditutup sepenuhnya. Selanjutnya, penurunan sekat isolasi dimulai.”

Dari langit di ujung kota, tabir kelabu kusam mulai turun.

Seperti tirai penutup akhir pertunjukan, biru langit perlahan tertelan oleh abu-abu yang merayap dari atas.

Warna kusam itu muram dan merusak keindahan biru yang cemerlang.

Kontras mencolok antara biru dan kelabu itu membuat Levy teringat sesuatu.

“Tuan Kanae! Tirai itu warnanya sama, bahannya pun sama dengan tiang penghubung!”

“Levy, bukannya kamu bilang tiang penghubung itu sangat kuat?”

“Tiang itu dibuat dari kristal karbon produksi Peri Fenomena! Berdasarkan pelajaran, materialnya tahan beku sampai -250 derajat Celcius, tahan panas hingga 5.000 derajat Celsius, tidak meleleh walau terjadi pelelehan inti reaktor, dan tidak hancur sekalipun terkena ledakan nuklir!”

“Jadi situasi ini segawat itu sampai perlu pakai benda berbahaya begitu, ya.”

Suara benturan berat dari sekat isolasi yang menyambung dari tepi luar kota menggema, lalu merambat ke dalam.

Kota menjadi semakin gelap.

Jalan yang sebelumnya sepi kini dipenuhi orang.

Seperti anak laba-laba yang beterbangan, pria dan wanita tua-muda berjas laboratorium berlari panik menuju satu arah.

Terseret dalam keributan itu, Kanae pun ikut menyusup ke dalam kerumunan.

Saat itulah.

Tolong.

Strange Code yang selama ini hanya berupa suara gangguan, kini berubah menjadi kata-kata yang jelas, menembus telinganya.

Bukan lagi sekadar derau samar, melainkan bahasa yang tegas.

“Tuan Kanae! Jangan berdiri di situ, ayo mengungsi!”

“Maaf, Levy. Kamu duluan saja.”

* * *

Akhirnya, Levy tetap mengikuti Kanae.

Bagaimanapun caranya, dia sama sekali tak bisa membujuknya untuk mundur.

“Tuan Kanae! Dari depan ada sesuatu yang mendekat, hiiih!”

Kanae yang berlari menembus gang sempit dan lembap itu segera meraih tengkuk Levy yang terbang di belakangnya, lalu menariknya untuk bersembunyi di balik sebuah kotak berwarna putih.

Perangkat asing yang dijadikan Kanae sebagai pelindung itu adalah pendingin udara mandiri dari zaman lama, yang sudah ada sebelum Peri Fenomena diintegrasikan ke dalam sistem pendingin terpisah Floor Lagging.

“Di sini Phonetic Regu 14, November. Elwesii belum ditemukan.”

“...Sekitar 1.500 meter ke arah barat, Regu 4 Delta menemukan jejak Elwesii...”

“Dipahami, kami segera bergabung.”

Seseorang sedang berkomunikasi melalui radio.

Di situlah Kanae mendengar sebuah kata yang asing di telinganya.

“...Elwesii itu apa? Itu yang sedang diburu?”

Sambil menyimpan rasa cemas yang samar karena kata itu, Kanae mengintip sedikit dari tepi pendingin udara untuk melihat ke depan.

Di jalan, empat orang berpakaian serba hitam sedang bergerak seperti pasukan.

Mereka mengenakan pelindung tubuh ringan, dan kacamata pelindung besar yang menutupi hampir seluruh bagian atas wajah.

Di lengan kiri mereka melingkar komputer mini, sedikit lebih besar dari arloji, perangkat yang memungkinkan performa tinggi FT.

Tepat di sisi kelompok berpakaian hitam itu, empat Peri Fenomena terbang mengiringi.

Tatapan para gadis mungil itu dingin, gelap, dan begitu berbeda hingga terasa seperti makhluk yang sama sekali lain dibanding Levy yang penuh emosi.

Kanae menggertakkan gigi, menahan gejolak darahnya.

Dia teringat pada kata-kata Nozomi yang pernah dia dengar.

Apakah Peri Fenomena yang dimodifikasi untuk militer itu tidak bahagia? Aku rasa tidak. Karena mereka memiliki kontrak. Itu adalah sebuah kebahagiaan. Berbeda dengan mereka yang ingin kamu tolong, Kanae, mereka yang menjadi bagian dari sistem kota tanpa ikatan dengan siapa pun, menjalankan perannya seorang diri seperti mesin.

“...Oke, mereka sudah pergi. Ayo.”

Kanae melesat keluar ke jalan yang kosong.

Dia menutup mata, memusatkan seluruh indranya pada pendengaran.

“Tuan Kanae! Itu arah yang sama dengan orang-orang berpakaian hitam tadi!!”

“Aku tahu! Tapi aku juga punya urusan ke sana!”

“...Baiklah! Tapi mohon tunggu sebentar!”

Levy melesat naik, hampir menyentuh langit-langit.

Dia memeriksa keadaan sekitar, lalu turun kembali ke Kanae.

“Di depan sana ada beberapa kelompok berpakaian hitam yang menunggu, ada risiko Tuan Kanae akan ditangkap. Jadi gunakan jalur yang aku tentukan. Pertama, lewat sini!”

Mengikuti arahan Levy, Kanae kembali menyusup ke lorong belakang.

Dia berlari di celah sempit di antara bangunan-bangunan, menembus ruang yang membuatnya kehilangan arah.

Hanya berbekal gambaran dari pandangan udara Levy, Kanae terus bergerak.

“Namun, Levy, kamu memang bisa diandalkan dalam hal begini. Pagi ini pun kamu bisa mengenali tiang penghubung yang langsung terhubung ke satu kilometer jauhnya, tiga lantai di bawah, kan?”

“Aku ini bodoh, jadi mungkin hanya mataku saja yang bagus!”

Kanae mempercayakan langkahnya pada Levy.

Dia melompati berbagai peralatan yang berantakan di luar laboratorium, dan meski terengah-engah, dia tak memperlambat langkahnya sedikit pun. Sampai akhirnya, dia berhenti.

Ada yang aneh.

Suara retakan seperti sesuatu yang tertekan terdengar, pak, pak.

“Hei, rasanya udara tiba-tiba jadi dingin, ya?”

“Uh, Tuan Kanae! Lihat ke sana!”

Mengikuti telunjuk Levy ke arah gang buntu, Kanae terbelalak.

Es yang menjalar di permukaan tanah.

Bening dengan sedikit semburat biru, es itu membekukan jalan dan merambat naik ke dinding bangunan, menebarkan hawa dingin yang menggigit di sekitarnya.

Di ujung gang buntu itu, tutup lubang got yang berlubang tergeletak miring.

Lubang itu cukup besar untuk dimasuki oleh Peri Fenomena seperti Levy.

Bukan hanya itu yang membuat Kanae terkejut.

Es itu sedang tumbuh, saat ini juga.

Suara retakan yang terdengar berasal dari proses pembekuan yang merayapi dinding dan lantai, mengurung sekitarnya.

Bagian yang telah tertutup es bahkan ditimpa lagi dengan lapisan baru, menebalkan permukaan beku itu.

Pertumbuhan es itu merambat hingga mendekati lubang besar di tanah.

Dan suara mirip gangguan statis itu terdengar dari bawah lubang itu.

“Tuan Kanae! Di sana saluran pembuangan!”

Kanae berlari menuju lubang yang hampir tertutup es.

“Suaranya dari sini! Maaf, Levy, kamu ikut aku! Kita loncat!”

“Aku trauma dengan saluran pembuangaaaan!”

Kanae mendekap Levy di dadanya, lalu melompat masuk.

Sesaat kemudian, lubang itu tertutup lapisan es berlapis-lapis, memutus cahaya.

Setelah melayang sebentar, tubuh Kanae terguling keras di lantai gelap gulita.

“Tuan Kanae! Ini, pakai ini!”

Levy, yang selamat berkat perlindungan Kanae, cepat-cepat mengambil ponsel dari ranselnya.

Kanae yang masih meringis menahan sakit segera menyalakan lampu senter dari ponselnya, memeriksa sekitar.

Air limbah di dasar sudah membeku sepenuhnya, tanpa bau yang menyengat.

Dinding-dinding di sekeliling mereka pun diselimuti lapisan es yang berlapis-lapis.

Bahkan napas putih yang keluar, uap air kecil yang ada di napasnya, seolah membeku di udara.

“Dingin sekaliiiii!”

“Aduh, tahan dulu.”

Begitu pulih dari rasa sakit, Kanae menarik Levy yang gemetar di udara dan menyelimutinya dengan seragamnya.

Lalu dia melangkah sendirian, menembus kegelapan.

Bukan berarti Kanae kebal dingin, kulitnya yang terpapar udara luar memerah, suhu tubuhnya juga turun drastis.

Sedikit saja lengah, dia merasa kesadarannya bisa hilang selamanya.

Memaksa diri untuk tetap bergerak, dia mengikuti arah suara gangguan statis yang samar itu.

Waktu yang terasa aneh, sekaligus panjang dan singkat.

Tanpa sadar, suara itu sudah ada di depan matanya.

Kanae mengarahkan cahaya ponsel ke depan, dan matanya membelalak.

Levy pun ternganga.

Tombak-tombak es raksasa menancap saling bersilangan.

Bagaikan penghalang magis, ratusan kerucut es dengan ujung runcing merekah rapat dari dinding, begitu padat hingga tak terlihat apa pun di baliknya.

“Hei! Peri Elwesii! Ini ulahmu, kan? Bisa dengar aku?”

Kanae berteriak ke arah di balik tombak es itu.

“Elwesii... Dia yang sedang diburu oleh orang-orang berpakaian hitam tadi, kan?”

Kanae punya keyakinan hampir pasti, sebuah pemikiran yang hanya bisa dicapai oleh seseorang yang bisa mendengar suara Peri Fenomena.

“...Kalau cuma virus atau semacamnya, tak perlu sekat isolasi sekuat ini. Kalau begitu, insiden di Lab Egenfried hampir pasti adalah Fairy Hazard. Peri Fenomena yang jadi penyebabnya dikurung di balik sekat isolasi itu, dan orang-orang berpakaian hitam sedang mengejarnya.”

“Berarti Tuan Kanae dari awal sudah tahu suara minta tolong itu dari Elwesii...”

Levy tertegun.

Namun jika Kanae sudah memutuskan untuk menolong makhluk berbahaya itu, tak ada lagi yang perlu dia katakan.

Sepenuhnya, Levy mempercayai Kanae.

Kanae melemparkan kata-kata lebih lanjut kepada Elwesii yang terdiam.

“Kamu tadi bilang, ‘tolong aku,’ kan?”

“Jangan ngomong sembarangan.”

Bertolak belakang dengan suara sopran ceria milik Levy, suaranya tinggi namun tenang.

“...Tidak mungkin manusia bisa mendengar kata-kata yang kuucapkan.”

“Faktanya, itu mungkin.”

“Karena itu, mustahil... Eh?”

“Entah mengapa, aku bisa mengerti bahasa Peri Fenomena. Aku bisa mendengar Strange Code.”

“Tak bisa dipercaya... Tidak ada peneliti yang pernah mengatakan hal seperti itu...”

“Meski kamu tak percaya, ini adalah kenyataan. Karena itu, aku pikir hanya akulah yang bisa memahami dirimu. Walau kita baru bertemu, walau apa pun latar belakangmu.”

Di balik penghalang es, Elwesii terdiam.

Lalu, dengan ragu, dia merangkai kata-kata.

“...Baiklah, aku akan percaya... Kalau begitu, jangan ikut campur denganku. Kamu pasti tidak akan selamat. Lagipula, apa yang ingin kamu lakukan padaku setelah datang ke sini?”

“Begini saja... Aku akan membuat kontrak denganmu, Elwesii, lalu membawamu keluar dari sini.”

Di balik penghalang es, terdengar suara napas Elwesii tercekat.

Namun segera, dia menolak.

“Mustahil. Aku tidak bisa membuat kontrak dengan manusia. Semua peneliti mencoba menjadikanku Peri Fenomena yang bisa mereka kendalikan, tapi itu sia-sia. Aku hanya ada di dunia ini, seperti arwah gentayangan.”

“Jangan bilang hal sesedih itu.”

“Aku tidak sedih. Aku suka sendiri. Aku akan diam di sini dan menunggu mereka. Jadi, kumohon, larilah. Kalau kamu tetap di sini, kamu juga akan dalam bahaya...”

Penghalang es itu tertutup rapat.

Apa pun yang Kanae katakan, Elwesii menunjukkan penolakan.

Namun Kanae, yang dulu pernah sendirian, tahu.

Ucapan “suka sendiri” hampir selalu hanyalah tipu daya.

Itu adalah cara untuk mempertahankan hati yang rapuh agar tidak runtuh.

“...Memang ada orang yang benar-benar suka menyendiri. Mereka punya kesenangan seperti membaca, bepergian sendiri, hidup tanpa butuh orang lain, dan merasa itu sudah cukup tanpa teman. Apa kamu punya hal semacam itu, Elwesii?”

Kanae mulai menginjak masalah pribadi Elwesii tanpa ragu.

Dia ingin tahu makna sesungguhnya di balik kata-katanya.

Dan jawaban yang kembali adalah seperti yang sudah dia duga.

“Menikmati sesuatu... Aku tidak punya hal semacam itu...”

Kata-kata Elwesii bertentangan dengan pernyataannya bahwa dia suka menyendiri.

“Kalau begitu, ayo kita cari saja sesuatu yang menyenangkan. Aku akan mencarikannya bersamamu.”

“...Tidak. Aku yang seharusnya mati sendirian di suatu tempat, tidak pantas mendapat kesenangan.”

“Itu terlalu menyedihkan!”

Tiba-tiba Levy, yang sejak tadi diam, berteriak membantah.

“Aku juga, enam bulan lalu, hampir mati sendirian! Tapi sekarang aku bisa tenggelam dalam kehidupan penuh makanan manis! Jadi Elwesii, ayo makan bersama!”

“Kenapa kamu malah mengajaknya menjadi gemuk!?”

“Karena Elwesii adalah Peri Fenomena! Dan Peri Fenomena paling bahagia saat makan makanan manis! Sweets is happiness!”

“Kamu ternyata gadis pencinta manis sampai segitunya, ya... Tunggu, kalau Peri Fenomena tak mungkin beli permen atau kue sendirian, Elwesii, selama kabur, kamu makan apa?”

“...Tebu.”

“Hah?”

“Tebu. Aku menggigit tebu.”

Kanae teringat tebu liar yang tumbuh di samping pintu masuk, suram seperti gulma.

Tebu yang, saat dia tawarkan ke Levy, membuat gadis itu benar-benar marah. Rupanya itulah yang mempertahankan hidup Elwesii.

“Kamu makan tebu liar di pinggir jalan? Terus menerus?”

“...Ya. Terus menerus.”

“Eh!? Apa kamu makan makanan manis lain?”

“Hanya tebu, tak pernah makan yang lain...”

“Uwaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!”

Levy menangis tersedu-sedu.

“Tidak bisa begitu! Sebagai sesama Peri Fenomena, itu terlalu menyedihkan! Kamu tak punya hal yang membuatmu hidup bahagia!? Kamu tak pernah tahu enaknya kue, tart, wafel, es krim, warabi mochi, anmitsu, apel gula, dan semua makanan manis!?”

“Tebu juga makanan...”

“Itu cuma batang tebu! Jadi selama ini kamu hidup dengan mengunyah batang tanaman dan kelaparan? Itu terlalu menyedihkan...”

Bahkan Kanae ikut meneteskan air mata.

“Elwesii! Ayo keluar dari sini! Berhenti makan tebu, ayo makan makanan enak bareng-bareng! Kita buat dompet Tuan Kanae kosong!”

“Ayo, serahkan padaku! Akan kubuat dompetku jebol demi membiarkanmu makan makanan manis sepuasnya! Jadi jangan ngomong hal menyedihkan seperti makan tebu lagi!”

Dari balik penghalang es, terdengar suara tajam yang benar-benar berbeda dari sebelumnya.

“Jangan meremehkan tebu...!”

“Kamu suka, tebu!?” “Kamu suka, batang tanaman itu!?”

Kanae dan Levy serempak menimpali.

“Kalau begitu, kita yang menangis tadi jadi kelihatan bodoh.”

“Kita kelihatan bodoh.”

“Ya. Kalian memang bodoh.”

Kanae merasa dia mendengar ketawa pelan.

Itu hanya sekejap, dan saat Kanae hendak memastikan dia tidak salah dengar, rasa sakit tiba-tiba menyerang.

“Aduh aduh aduuuuuh!! Hei, air mata ini membeku!”

“Ugh! Ini nempel! Tidak bisa lepas! Tuan Kanae, tolong!”

Air mata Kanae dan Levy langsung membeku di kulit, berubah dari cair menjadi padat.

Bersamaan dengan itu, kelembapan kulit ikut tersedot, menempel rapat.

Setiap gerakan otot wajah menimbulkan rasa sakit yang menusuk.

Mereka menutup wajah dengan kedua tangan, tengah merintih kesakitan.

Air mata tambahan yang keluar karena sakit kembali membeku, menambah rasa perih, menciptakan lingkaran setan yang menyedihkan.

“Elwesii! Batalkan kemampuanmu! Air mataku membeku di kulit dan ini sakit sekali! Sekalian, buka penghalang es ini dan kabur bersama!”

“Tak mungkin Elwesii mau mendengar karena hal sepele begini!”

“...Baiklah.”

“Apaaaaaaaaaa!?”

“Itu tidak sepele. Aku juga tidak suka air mata membeku.”

Terdengar suara retakan pada penghalang es.

Retakan menyebar di antara tumpukan pilar es yang memisahkan Kanae dan Levy dari Elwesii.

Lalu, dengan bunyi pecahan kaca berlapis yang dihantam habis-habisan, penghalang es itu runtuh.

Pecahan es yang beterbangan memantulkan cahaya, membuat pandangan terhalang.

Namun pada saat yang sama, hawa dingin menusuk itu menghilang.

Kanae, sambil menggendong Levy, mengarahkan cahaya ponselnya ke depan.

Tampaknya serpihan es yang beterbangan mulai mereda.

Di tengah kegelapan got, dikelilingi pecahan es yang berkilauan, Elwesii berdiri di sana.

Melihat itu, Kanae dan Levy membeku, seolah-olah mereka sendiri yang menjadi patung es, dengan ekspresi terperangah.

Elwesii duduk bersandar di dinding.

Di sisi kiri kepalanya tersemat hiasan rambut berbentuk bunga dengan tiga kelopak putih yang merekah.

Bukan hanya hiasan rambutnya saja yang putih, rambutnya sendiri pun demikian.

Rambut panjang berwarna putih keperakan yang berkilau itu tergerai lembut mengikuti garis bahu yang ramping, lengan yang jenjang, dan dada mungilnya.

Rambut perak itu terurai hingga mencapai pinggang, lalu melingkar di atas pangkuannya seolah diikat secara alami.

Putihnya rambut itu menyatu dengan gaun pendek putih yang dikenakannya, menyerupai busana pengantin Barat.

Kain putih murni itu membalut tubuh bagian atas layaknya sebuah ikatan, menonjolkan lekuk tubuh gadis yang begitu rapuh.

Dari tubuh bagian atas, kain itu mengalir ke bawah pinggang, membentuk rok klasik yang anggun dan sopan.

Bahkan kulit yang tampak dari celah lengan dan rok pun begitu pucat hingga membuat orang tertegun. Seluruh sosok gadis bernama Elwesii ini seakan membangkitkan gambaran hamparan salju yang tak berujung.

Tiba-tiba, Elwesii mengangkat wajahnya.

Rambut perak yang tergerai menutupi matanya, namun sekilas keindahan parasnya masih dapat dirasakan.

Wajahnya yang anggun itu tanpa ekspresi.

Namun, bukan berarti dia tidak memiliki perasaan.

Seakan-akan dia hanya kurang peka terhadap emosinya sendiri, atau ekspresinya tak sanggup mengejar laju hatinya.

Elwesii mengenakan kembali sepatu putih yang tadi dilepaskannya, lalu berdiri perlahan.

“...Tidak apa-apa, jangan pedulikan aku. Cepatlah pergi dari sini. Aku mencairkan es itu agar air mata kalian tidak membeku... Anggap saja kalian tidak pernah melihatku.”

“Eh, bukan begitu maksudnya...”

Kanae melirik ke samping sambil tersenyum kaku.

Levy masih melayang di udara dengan tatapan kosong.

Kanae mengusap kepalanya, berpikir keras.

Dia sulit mempercayai keberadaan Elwesii, yang disebut sebagai Peri Fenomena di hadapannya ini.

“...Bisa nggak, buat lagi sekali saja, yang seperti es runcing tadi?”

“Bisa.”

Elwesii mengarahkan tangan kanannya ke belakang.

Dia menunjuk ke arah ujung saluran pembuangan.

Terdengar suara melengking, shii.

Melalui suatu perubahan fisik yang tak dapat dimengerti Kanae, sebuah tombak es berbentuk kerucut terbentuk seketika, lalu melesat dari ujung jarinya.

Namun, sasarannya bukanlah arah yang dia tunjukkan.

Jari yang tadi terentang kini menembak ke arah vertikal, dan tombak es itu menancap dalam di dinding seberang saluran pembuangan.

“Aku tidak bisa mengendalikan arahnya dengan baik.”

“Asli. Ini beneran, Peri Fenomena yang asli...”

“Uwaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaah!!”

Levy, yang sebelumnya seperti beku, kini menyala lagi.

Otaknya tak sanggup memproses kenyataan itu. Dia berteriak sambil berputar-putar mengelilingi Kanae, lalu mendarat di atas kepala Kanae dengan napas tersengal.

“B-B-Besaaar! Peri seukuran manusiaaa!!”

Keyakinan bahwa Peri Fenomena berukuran sebesar boneka, kini hancur tepat di depan mata mereka.

“Kalau dipikir-pikir, ini malah kelihatannya manusia asli...”

Bahkan lebih dari itu, dia tergolong sebagai gadis yang kecantikannya bisa membuat bulu kuduk siapa pun meremang.

Levy tertegun oleh kenyataan itu, sementara Kanae terpaku oleh kecantikannya. Saat itu, Elwesii menatap Kanae dari bawah.

Dari celah poninya yang perak, terlihat sepasang mata berwarna biru jernih.

Sayang sekali, pikir Kanae, poninya menghalangi pandangan.

Dia ingin sekali melihat warna biru itu lebih jelas.

“Tapi serius, ukuran manusia ini sama sekali di luar dugaan...!”

“...Um, aku punya satu permintaan...”

“Hm? Apa?”

“...Tolong panggil aku Yuki.”

“Hah? Yuki? Bukan Elwesii?”

“Elwesii adalah nama yang diberikan oleh orang-orang yang mengejarku, tanpa seizinku. ...Lagipula, Yuki adalah kata yang kusukai...”

Kanae mengangguk seolah mengerti.

Dengan senyum tipis dia menjawab, “Ah, oke. Yuki, mulai sekarang kita bareng, ya.”

“Eh, t-tidak...! Jangan bilang seperti itu...”

“Loh? Kupikir memang itu maksudmu. Tapi ya sudah, udah terlambat kok.”

Yuki buru-buru menggeleng, tapi semuanya sudah terlanjur.

Karena bukan hanya Kanae yang menerimanya...

“...Yuki! Nama yang bagus! Mulai sekarang kita bareng, ya! Yuki!”

Entah kapan, Levy sudah pulih dari paniknya, dan kini menyambut Yuki dengan senyum paling cerah.

“Iya, Yuki. Sekarang kamu nggak bakal bisa kabur dari aku sama Levy, tahu?”

“Tapi dari para pengejar tadi, kita tetap akan kabur!”

“Kalian berdua...”

Kali ini, Yuki terdiam, seolah menikmati sisa suasana.

Keheningan singkat itu membuat Kanae tak tahan, hingga dia berkata seperti baru teringat sesuatu.

“Ngomong-ngomong, aku tadinya pikir kamu itu seukuran boneka, jadi sempat kebayang kamu duduk di pinggir jalan sambil gigitin tebu, terus aku sedih sendiri.”

“Aku juga! Bayangin aja, belum pernah makan apa pun selain tebu, nggak tahu rasa manisnya kue... Itu aja udah sedih, eh malah kebayang tambah kasihan... Hiks, jadi pengen nangis lagi...”

“...? Tebu? Aku tadi ketemu, kok...”

Yuki menyelipkan tangannya ke kerah gaun putihnya.

Dia merogoh dalam, seperti mencari sesuatu.

Sekilas kulit pucatnya terlihat dari celah itu, membuat Kanae segera memalingkan wajah.

“Kamu nyimpen di situ...? Nih ya, cuma yang asetnya besar aja yang boleh nyimpen barang di situ.”

“...Asetnya besar? Maksudnya ukuran dada?”

Yuki membuka kerahnya, menyentuh sedikit tonjolan lembut di dadanya, seperti memastikannya.

Wajah Kanae memanas.

Dia mencoba menenangkan diri, meyakinkan bahwa Yuki hanyalah Peri Fenomena meski tubuhnya besar.

“Kalau soal dada besar!! Ini giliran aku!”

“Kecil minggir sana.”

“Uwaaaaaa!!”

Hehe.

“Eh, kamu senyum lagi, ya!”

“Aku nggak senyum. Ngomong-ngomong, ini tebunya...”

Dengan wajah tenang, Yuki mengeluarkan tebu yang membeku dari balik dadanya.

“Kalau dibekukan, bisa awet lebih lama.”

“Wah, kamu boleh juga!”

“Mau?”

“Mau dong!”

“Akan kucairkan dulu.”

Yuki menatap tebu beku itu, dan perlahan esnya mencair, mengembalikan kelembapannya.

“Kamu ternyata bisa juga ngatur yang detail gini. Tapi kenapa waktu bikin tombak es malah meleset?”

“Kalau yang kecil-kecil, aku bisa atur. Tapi kalau skalanya besar, aku tak bisa mengendalikannya...”

Yuki memang tidak mampu melakukan penyesuaian halus pada kekuatannya.

Buktinya, dinding es yang tadi menutup saluran pembuangan, terbentuk dari banyak sekali serpihan es, tidak memiliki arah atau bentuk yang teratur.

Dia tak mampu membentuk dinding es yang rata.

Untuk mencairkan suhu rendah yang bisa membekukan air mata, dia harus memusnahkan seluruh penghalang es itu sekaligus.

“Yuki! Ayo cepat kasih tebunya!”

“Ini, ambil.”

Yuki menyerahkan tebu itu dengan tangan kanan, dan Levy langsung menggigitnya.

“Ueeeh! Pahit sekali!”

“Kalau nggak dikunyah lama, nggak akan sampai ke bagian manisnya.”

“Tapi ini keras banget!”

Yuki yang seukuran manusia, berdiri sambil memegang tebu, sementara Levy yang seukuran boneka menggantung di udara menggigitnya.

Perbedaan ukuran itu terlihat begitu aneh, sampai-sampai Kanae hanya bisa tertawa.

Mereka terlihat seperti kakak beradik.

“Oke, sudah waktunya kita pergi. Kita udah terlalu lama di sini.”

“...Apa benar tidak apa-apa? Nanti kalian akan sangat repot karena aku.”

“Eh, ngomong apa sih? Kamu sendiri tadi minta tolong, kan?”

Jangan ngomong sembarangan.

Beberapa waktu lalu, saat Kanae menanyakan hal yang sama, Elwesii menepisnya begitu saja dengan suara yang dingin.

Namun, Yuki yang ada di sini sekarang mengangguk pelan, tenang, dan kecil.

Poni panjangnya menutupi mata, membuat mustahil untuk melihat sorotnya.

Namun, dari pipi yang bergetar dan bibir yang menggigil saja, Kanae sudah cukup mengerti.

“Aku mendengar suara itu dan datang sampai sejauh ini. Karena itu, apa pun yang terjadi, aku akan menolongmu. Kemampuanku cuma bisa berkomunikasi dengan Peri Fenomena, tapi tetap saja aku akan menolongmu, Yuki. Apa pun yang terjadi, aku akan selalu ada di pihakmu.”

“Akulah pelayan yang buruk, tapi aku akan berusaha sekuat tenaga!”

Kali ini giliran Yuki yang meneteskan air mata.

Air mata itu tidak membeku.

“...Uuuh... Hiks... Hik... Maafkan aku yang bersandar pada kalian...”

Kanae menggenggam tangan kanan Yuki yang terisak, menariknya berdiri.

Tangan kiri Yuki dipegang oleh Levy, yang menyelimutinya dengan kedua tangannya sambil berjaga.

Kanae tersenyum.

“Ayo, pertama-tama kita keluar dari sini...”

Tiba-tiba, suara asing menggema di dalam saluran pembuangan itu.

“Di sini Phonetic Regu 17 Quebec dan Regu 19 Sierra. Kami menemukan Elwesii.”

Kanae menoleh ke belakang.

Di kejauhan, dia melihat cahaya obor yang dipegang seseorang.

Cahaya yang bergoyang itu menampakkan delapan orang berpakaian serba hitam, beserta jumlah yang sama dari Peri Fenomena militer mereka.

Kanae mengenali rompi pelindung tubuh ringan mereka, serta kacamata goggle besar yang menutupi setengah wajah bagian atas.

“Di dekat Elwesii ada seorang laki-laki warga biasa dan Peri Fenomena. Menunggu keputusan dari Atasan Omega.”

“...Akan lebih baik jika orang yang mengetahui tentang Elwesii sesedikit mungkin...”

“Dipahami. Memulai operasi senyap.”

Pria yang berdiri di barisan depan mengoperasikan FT yang terpasang di lengan kirinya, lalu mengayunkan lengan kanannya ke samping.

Mata merah Peri Fenomena yang menunggu di sisinya tampak berkilau lebih tajam dalam kegelapan.

Debu bubuk campuran karbon konduktif yang disebarkan dari pelindung lengan pria itu mulai menyatu membentuk wujud tertentu melalui interaksi elektromagnetik.

Puluhan kristal karbon terbentuk menjadi panah dan tabung, semuanya diarahkan pada Kanae.

Seorang pria berbaju hitam lainnya cepat maju berdiri sejajar di sisi depan.

Peri Fenomena-nya, yang unggul dalam kendali presisi elektromagnetik, mulai mengaktifkan kemampuannya.

Gaya Lorentz dari induksi elektromagnetik diterapkan secara bersamaan pada semua tabung, menembakkan panah secara serentak.

“Berhenti...!”

Ketika Yuki mengibaskan tangan kanannya, suara gemuruh menggelegar di udara.

Dari seluruh permukaan dinding setengah lingkaran saluran pembuangan, ada banyak batangan es yang terpancar, menancap ke arah seberang.

Mereka menutup rapat saluran itu, benar-benar menjadi sebuah penghalang es.

Panah-panah yang mengincar Kanae menghantam penghalang es itu dan terhenti.

“Mereka benar-benar gila! Mereka tanpa ragu mencoba membunuh kita!”

“Ini benar-benar krisis besar!”

“Itu salahku... Aku yang melepaskan es itu...”

Sebelumnya, Yuki menghancurkan penghalang es untuk mengakhiri suhu beku yang ekstrem.

Tanpa kendali penuh, perintah penghancuran itu menjalar ke semua es yang terhubung, termasuk es yang menutup saluran pembuangan.

“...Sial! Sekarang sudah terlambat untuk menyesali! Meski aku tahu ini bakal terjadi, aku sudah memutuskan untuk menolong Yuki. Jadi mulai sekarang, aku nggak akan mengeluh lagi. Kita kabur dari sini!”

“Aku sudah jadi teman Yuki! Teman tidak akan pernah meninggalkan temannya!”

“...Terima kasih...”

“Ayo berdiri! Kita lari!”

Bahkan sekarang pun, di belakang mereka, terdengar suara gerusan dari penghalang es yang mulai terkikis.

“...Ngomong-ngomong, kenapa kamu bisa mendengar suaraku? Padahal aku cuma berbisik pelan.”

“Entahlah, rasanya seperti bergema di kepalaku... Tapi itu nggak penting sekarang. Lagipula, jangan panggil aku ‘kamu’ terus. Panggil saja aku Kanae.”

“...Baik, Kanae...”

“Kalau aku, panggil saja Levy dengan penuh rasa hormat!”

“Kenapa nada bicaramu seperti atasan!?”

“Soalnya dia pelayan baru yang melayani Tuan Kanae! Dia bawahanku!”

“Tadi kamu bilang kalian teman, kan!? Jangan seenaknya menjadikan Yuki pelayan!”

“Pelayan...? Levy, apa itu?”

“Ehehe, bercanda kok! Panggil dengan nada santai saja, Yuki!”

“...Baiklah, Levy.”

Tidak ada jaminan keselamatan.

Tidak ada kepastian mereka bisa melarikan diri.

Meski begitu, Kanae melihat secercah harapan dari percakapan mereka bertiga.

Dengan senyum kecil, Kanae berbelok di tikungan.

“Phonetic Regu 4 Delta, Regu 14 November juga sudah melakukan kontak dengan Elwesii. Target sipil juga terkonfirmasi.”

Begitu melewati tikungan, cahaya lampu sorot menerangi saluran pembuangan.

Sekitar lima meter di depan, delapan pria berbaju hitam sudah menunggu.

Bubuk karbon konduktif yang mereka bawa telah dibentuk menjadi panah dan tabung lewat interaksi elektromagnetik, siap melayang di udara.

Jumlahnya mencapai ratusan.

Kanae mengambil posisi siap bertarung sambil menjaga jarak, namun manusia biasa tanpa kemampuan mustahil menang melawan Peri Fenomena dengan tangan kosong.

“Yuki! Gunakan es tadi untuk mengalahkan mereka!”

Levy tak tahan lagi dan memohon. Namun, Yuki tidak bergerak.

“Maaf... Aku tidak bisa...”

Kanae merasakan ada yang janggal.

Meski Yuki memiliki kekuatan luar biasa, orang-orang berbaju hitam itu tidak terlihat gentar.

Percakapan mereka melalui komunikasi terdengar jelas di telinga Kanae, berkat keheningan saluran pembuangan.

“...Begitu jarak dipersempit, tidak ada masalah... Elwesii tidak bisa melukai manusia...”

Tangan Yuki yang bergetar membuktikan kebenaran kata-kata itu.

“...Tujuh Bencana Besar yang tidak bersama tuannya memiliki proteksi yang menghalangi tindakan selain pertahanan diri... Apalagi yang belum terikat kontrak... Untuk hal itu, kita patut berterima kasih pada Haitani Gien...”

“Tujuh Bencana Besar? Haitani Gien? Apa maksudnya!?”

Kanae tidak mengerti arti kata-kata itu, meski dia bisa menebak bahwa Tujuh Bencana Besar ada kaitannya dengan nama Haitani Gien.

Tapi kenapa Yuki termasuk di dalamnya?

“...Kamu terlalu banyak tahu, nak... Peri Fenomena hanyalah alat... Meskipun berbentuk manusia, tanpa persetujuan tuannya, dia tidak bisa menggunakan kemampuan sebagai Peri Fenomena...”

Meskipun berada dalam situasi terpojok, Kanae ingin sekali membantah kata-kata itu.

“Peri bukanlah alat! Mereka hidup dengan perasaan! Yuki pun, tak peduli soal perlindungan, dia hanya tidak mau melukai manusia atau peri lain, itu saja!”

Kalaupun benar ada proteksi yang membuat Yuki tak bisa melukai manusia, dia seharusnya masih bisa melukai Peri Fenomena yang dikendalikan manusia.

Meski begitu, Yuki sama sekali tidak berusaha melakukan perlawanan.

Namun, lelaki di seberang saluran komunikasi yang mendengar bantahan Kanae, justru merasa heran pada bagian yang berbeda dari inti perdebatan.

“...Yuki? ...Hmm, siapa yang kamu maksud itu?”

“Yang kalian sebut Elwesii itu, dia sendiri yang bilang ingin kupanggil Yuki. Dia memutuskan namanya sendiri. Jadi dia itu bukan lagi Elwesii, dia itu Yuki!”

“...Nak, ucapanmu menarik sekali... Jadi Elwesii ingin dipanggil Yuki? ...Kedengarannya seperti kamu bisa mengerti bahasa Peri Fenomena itu...”

“Ya, benar! Karena itu aku tahu, mereka ini sama sekali tidak berbeda dari manusia...!”

“...Hm, hm, tidak ada yang bisa dilakukan mengenai itu... Tapi baiklah... Kami tidak bisa mengerti bahasa Elwesii, namun sebaliknya mereka bisa mengerti kita... Dan kami memahami keunikan sifat mental mereka... Jadi, mari kita buat kesepakatan... Elwesii, datanglah ke sini tanpa melawan... Sekarang, aku akan membiarkan anak itu pergi...”

“Omong kosong!”

“...Baik... Aku mengerti...”

Ucap Yuki pelan, lalu melangkah maju dengan ragu-ragu.

“Kenapa kamu menuruti mereka! Bukannya kamu mau kabur!?”

“...Kanae. Seharusnya aku tidak melibatkan kalian sejak awal.”

“Kita sudah janji akan makan semua makanan manis bersama, kan! Bukannya mau bikin dompet Tuan Kanae sampai kosong total!?”

“...Levy... Maafkan aku...”

Kanae menggenggam tangan Yuki yang hendak pergi, memaksanya berbalik.

Mata Yuki tersembunyi di balik poni.

Dia menggigit bibirnya dengan kuat, lalu mendorong Kanae hingga terjatuh ke lantai.

Kemudian, sambil mengangkat tangan kanan, dia menciptakan sebuah es runcing seperti tombak,

dan menusukkannya ke lengan kirinya sendiri.

“...Apa yang kamu lakukan...?”

Darah yang mengalir dari Yuki berwarna merah, sama seperti manusia.

Percikan darah dari lengannya membasahi bukan hanya rambut perak panjangnya, tapi juga hiasan bunga putih di sisi kiri kepalanya, mewarnainya tipis dengan merah.

“Kanae orang yang baik hati. Karena itu, kalau aku tidak melakukan ini, kamu tidak akan berhenti. ...Jangan mendekat. Selanjutnya, aku akan menusuk lengan kananku. Kalau kendalinya lepas, mungkin saja bisa menancap dadaku...”

Keberanian nekat Kanae hanya membuat Yuki terluka lebih parah.

Ancaman itu memaksa Kanae untuk menyerah.

“Tunggu! Yuki! Aku bilang tunggu!”

“Yuki! Jangan pergi!”

Langkah Yuki mantap menembus jarak, hingga dia sampai di hadapan kelompok berpakaian serba hitam.

Salah satu dari mereka memasang alat pengekang mirip kalung di leher Yuki.

Saat itu juga, di pundak Yuki muncul Peri Fenomena yang berpakaian hitam.

Kanae tidak tahu, tapi dengan begitu kemampuan Yuki untuk mengendalikan hukum fisika unik miliknya telah disegel.

Orang di ujung komunikasi tertawa puas mendengar percakapan Yuki dan Kanae sebelumnya.

“...Jadi kamu kira tadi sedang berbicara dengan Peri Fenomena? ...Kamu seperti badut di sirkus... Mendengar permainan peranmu sepihak sejauh ini, bahkan membuatku merasa iba...”

“Kurang ajar, kubunuh kau...”

“...Sayangnya, yang akan mati adalah kamu, Nak...”

“Itu tidak sesuai janji...! Kamu bilang akan menyelamatkan Kanae...!”

“...Oh? ...Aku mendengar suara gaduh dari peri itu... Sungguh, Elwesii punya sifat mental yang unik... Tidak masuk akal untuk membuat kesepakatan dengan benda yang bahkan tidak bisa diajak berbicara...”

Yuki berusaha berlari kembali ke arah Kanae.

Namun kedua tangannya ditekan oleh orang-orang berbaju hitam, dan kemampuannya untuk mengendalikan hukum fisika unik disegel oleh peri berbaju hitam.

Meski begitu, dia tetap mencoba meronta, sampai orang-orang itu menindihnya dan menekannya kuat-kuat ke lantai.

Suara napas Yuki terlepas, teredam oleh benturan itu.

Luka di lengan kirinya ditekan keras-keras.

Dia masih punya tekad untuk melawan, tapi sudah tidak ada lagi tenaga.

Dan seolah itu belum cukup, mereka menarik rambut Yuki dengan tenaga seperti ingin merobeknya, memaksanya menunduk ke tanah.

“Hentikan! Lepaskan Yuki!”

Yuki mengangkat wajahnya dengan susah payah. Dari matanya yang berkaca-kaca, mengalir air mata yang bercampur antara rasa sakit dan kesedihan.

“...Kanae, larilah...!”

“...Nak, bencilah kebodohanmu sendiri karena terlibat dengan Elwesii... Habisi dia...”

Ratusan tabung peluncur yang melayang di udara serentak diarahkan ke Kanae yang hanya berjarak lima meter.

Medan gaya Lorentz elektromagnetik terbentuk di dalamnya, menembakkan panah kristal karbon dengan daya yang melampaui senapan mesin berat.

Anak panah itu melesat lebih dari 800 meter per detik, meninggalkan suara di belakangnya.

Begitu ditembakkan, sasarannya pasti akan tertembus, disusul suara tembakan, benturan pada penghalang, dan suara tubuh manusia yang terkoyak... Atau begitu seharusnya yang terjadi.

Namun, yang terdengar oleh Kanae adalah sebuah suara.

Pada saat yang sama dengan rentetan tembakan itu, bibir Yuki bergerak.

Suaranya lebih cepat daripada panah yang melesat 800 meter per detik, tak lewat telinga, tapi langsung sampai ke dalam diri Kanae.

Tolong, selamatkan Kanae.

Bersama suara yang begitu mendesak itu, benak Kanae dibanjiri rentetan kata-kata tak bermakna.

Koneksi dengan Fairy Tale’r berhasil. Selanjutnya, verifikasi pembukaan batas izin operasi tertinggi.

Memulai penyebaran Aether di lingkup orbit Bumi.

Penyebaran selesai, seluruh jalur komunikasi dengan Peri Fenomena telah terhubung.

Mengaktifkan Imperial Order , Telestial Globe .

Harap diam di tempat.

Pada saat suara Yuki bergema di dalam kepala Kanae, seluruh Peri Fenomena yang berada di lingkup gravitasi Bumi, dalam radius 925.000 kilometer, berhenti berfungsi.

* * *

Apa-apaan ini...?

Suara Yuki bergema, dan hal berikutnya yang disadari Kanae adalah sebuah ruang di mana segalanya berhenti.

Ratusan anak panah yang ditembakkan serentak berhenti tepat di depan hidung Kanae.

Bahkan ada anak panah yang berhenti hanya sehelai rambut dari alisnya, nyaris menembus bola matanya.

Dia mencoba melompat mundur dengan panik, tetapi tubuhnya sama sekali tidak bisa bergerak, seolah berubah menjadi batu.

Bahkan matanya pun tak bisa digerakkan, sehingga dia tak dapat memastikan keselamatan Levy yang tadi telah ia dorong ke tepi dinding.

Ugh, sial, yang benar saja, aku bahkan nggak bisa bernapas...!

Peri Fenomena yang dapat ditentukan dalam filter pengecualian dari Telestial Globe ini hanyalah cahaya, aku, dan sedikit fenomena fisik yang ada di dalam tubuh Kanae. Karena itu Kanae tidak bisa bernapas...

Suara itu terdengar di dalam kepalanya, bagaikan telepati.

Di ruang di mana segalanya membeku, hanya Yuki, yang mengenakan alat pengekang berbentuk kalung, yang berjalan menuju Kanae.

Meninggalkan jejak merah di udara.

Darah yang menetes dari lengan kirinya membentuk butiran-butiran kecil sesaat setelah meninggalkan kulit, dan tetap mengambang di udara.

Sepanjang lima meter yang telah dia tempuh, titik-titik merah itu membentuk garis putus-putus.

Aku akan menjelaskan situasinya secara singkat. Dengan otoritasku, Telestial Globe, aku menghentikan seluruh fenomena fisik, dan akibatnya waktu pun berhenti.

Apa-apaan itu? Itu nggak ada hubungannya sama Peri Fenomena kan? Dan lagi, biarin aku bernapas! Aku mati beneran nanti!

Tidak ada waktu untuk menjelaskan itu. Ada hal yang lebih penting.

Biasanya Kanae akan menyahut, “Kalau waktu berhenti, kenapa dibilang nggak ada waktu?” Tetapi sekarang, dengan ratusan anak panah membeku di depannya dan napas yang terhenti, dia tidak punya kelonggaran untuk bercanda.

Kanae bilang bisa membuat kontrak denganku. Sekarang tolong buatlah kontrak itu...

Yuki mengepalkan kedua tangannya, gemetar, dan memohon dengan wajah penuh rasa bersalah.

Penghentian waktu ini hanyalah langkah darurat sementara untuk mempertahankan kondisi yang memungkinkan terjadinya kontrak. Jika tidak membuat kontrak, Kanae tidak akan bisa bergerak. Aku juga tidak akan bisa menggerakkan anak panah yang mengincarmu. Kalau dibiarkan seperti ini, waktunya akan berjalan lagi dan kamu akan mati tertembak, atau tetap berhenti dan kamu mati karena kehabisan napas.

Dengan kata lain, jika tidak membuat kontrak dengan Yuki, dia akan mati. Kanae tak mengerti arti kata-kata itu, maupun kenyataan bahwa waktu di dunia ini berhenti.

Namun, dalam hal membuat kontrak, dia sama sekali tidak ragu.

Sejak awal memang itulah niatnya.

...Baiklah. Aku cuma mau tanya satu hal, jadi jawab yang jujur.

Kontrak dengan Peri Fenomena pada dasarnya hanya bisa terwujud melalui prosedur yang sangat rumit, yang mustahil dilakukan seorang diri, dan harus dieksekusi dengan presisi mutlak.

Namun bagi Kanae, yang diperlukan untuk membuat kontrak hanyalah satu hal.

Katakan padaku, dari mulutmu sendiri, nama gadis yang akan membuat kontrak denganku.

...Gadis...? Bukan. Aku bukan manusia... Aku ini Peri Fenomena...!

Kalau aku bilang kamu gadis, ya berarti kamu seorang gadis! Aku juga bilang itu ke Levy! Peri Fenomena nggak ada bedanya sama manusia! Jadi nggak perlu menahan diri! Hiduplah sebagai seorang gadis!

...Aku tidak mengerti, bagaimana bersikap feminin...

Aku juga nggak ngerti, tanya aja ke Levy. Tapi nggak usah ngikutin gaya imut kayak dia. Cari gaya femininmu sendiri. Aku akan menemanimu.

Disadarkan oleh Kanae bahwa dia adalah seorang gadis, Yuki mulai menampakkan sesuatu yang mirip emosi di wajah tanpa ekspresinya.

Awalnya ragu, bimbang, lalu sedikit berduka.

Bibirnya bergerak tanpa suara, tak mampu mengucapkan kata-kata, pandangannya teralihkan ke bawah.

Lalu dia menggenggam ujung pakaiannya, menatap mata Kanae, dan dengan tekad dia berkata,

...Namaku... Yuki! Nama yang akan kugunakan setelah membuat kontrak dengan Kanae, dan menjadi gadisnya Kanae...adalah Yuki!

Begitu dia berteriak, rambut perak yang menutupi matanya terurai, menyingkap pola di dalam irisnya.

Pola misterius berupa gabungan berlapis-lapis heksagon berwarna biru bening, seindah es tipis, dulu di buku pelajaran sains, Kanae pernah membaca bahwa struktur yang tampak seperti permata biru transparan itu disebut kristal salju.

Keindahan matanya begitu memukau hingga membuat Kanae terhenti napasnya, meski dia memang sudah tak bisa bernapas sejak tadi.

Saat kesadarannya mulai memudar, Kanae buru-buru mengukir dua suku kata itu dalam-dalam di lubuk hatinya.

Kontrak sudah jadi, tapi biarin aku bernapas atau aku mati! Pokoknya senang berkenalan, Yuki! Dan tolong aku!

Gadis yang menyimpan kristal salju biru di kedua matanya itu ragu-ragu mengulurkan tangannya pada Kanae.

Ya, Kanae...! Aku memang masih banyak kekurangan... Tapi mulai sekarang, aku mohon bimbingannya...!


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

0

Post a Comment


close