NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Yosei no Batsurigaku―PHysics PHenomenon PHantom―[LN] Bahasa Indonesia Volume 1 Interlude 1

 Penerjemah: Chesky Aseka

Proffreader: Chesky Aseka


Interlude 1

Bunga yang Menunggu Salju

──Elwesii──

Ketika berburu, dialah yang memimpin langsung.

Dia mengendalikan pasukan pemburu Phonetic, yang dibagi menjadi dua puluh enam regu berdasarkan fungsinya, bagaikan menggerakkan bidak-bidak catur, dia memberi komando secara lihai.

Dan perburuan itu hanya dilakukan dengan suara.

Tanpa pernah melihat gambar dari Goggle, dia hanya mengandalkan imajinasi untuk memainkan catur.

Itu adalah aturan budaya yang dia tetapkan untuk dirinya sendiri.

Perburuan telah mencapai puncaknya.

Hanya dengan mendengarkan, itu sudah menjadi tontonan yang mengasyikkan.

Dia berniat memuaskan telinganya dengan simfoni suara seorang bocah tolol yang berubah menjadi daging cincang, berpadu dengan jeritan pilu Peri Fenomena.

Lelaki itu, dengan perangkat yang terhubung melalui satelit di satu tangan, menampilkan wajah pucat pasi.

Kesepuluh jarinya dihiasi masing-masing dengan satu permata.

Di antara semuanya, ruby pada ibu jarinya memiliki ukuran yang di luar kelaziman, dan bersama dengan pola misterius di dalam batu permata itu, bagaikan lautan dan daratan, dia memancarkan aura yang luar biasa mencolok.

“November, apa yang sebenarnya terjadi? Bagaimana dengan Elwesii...?”

Seperti halnya seorang ilmuwan medis yang mahir berbahasa Jerman, semua yang terlibat dengan Peri Fenomena memahami bahasa Jepang.

Bahasa Jepang yang digunakan lelaki itu begitu fasih, sehingga dari percakapan saja, tak akan ada yang mengira dia adalah orang Jerman tulen.

“Namun, Omega, bagaimana saya harus menjelaskan situasi ini...”

“Tak usah bertele-tele. Sampaikan saja kesimpulannya.”

“Mereka tiba-tiba menghilang... Bocah itu, Peri Fenomena-nya, serta Elwesii, semuanya menghilang.”

“Menghilang, kamu bilang...?”

“Ya. Berdasarkan pengamatan kami, pada saat bersamaan ketika tembakan serentak bubuk karbon aerosol campuran dilancarkan, bocah itu lenyap. Peri Fenomena yang dilemparkan bocah itu di detik terakhir juga menghilang, bahkan Elwesii yang sudah kami amankan pun lenyap. ...Dan di lantai hanya tersisa Phenomenon Canceller yang hancur...”

“Mengapa bisa begitu? Phenomenon Canceller adalah perangkat yang dipasangkan pada Peri Fenomena untuk menghasilkan derau tertentu yang menekan fenomena fisik khusus mereka. Bahkan Tujuh Bencana Besar pun takkan bisa menggunakan kekuatannya, dan itu sudah dibuktikan berkali-kali melalui eksperimen Laurus, bukan?”

“Mungkin fenomena hilangnya mereka adalah kemampuan dari Peri Fenomena yang berada di sisi bocah itu. Tapi kalau begitu, pertanyaannya adalah, mengapa dia tidak menggunakannya sejak awal...”

“Cukup. Ini memang melanggar aturan, tapi kirimkan rekaman video dari Goggle ke sini.”

“Tidak bisa! Entah sejak kapan Goggle juga sudah dihancurkan. Padahal semua orang sedang memakainya!”

“Jangan main-main, Wahnsinn.”

Tak sanggup menahan gejolak amarahnya, lelaki itu melontarkan kata-kata buruk dalam bahasa Jerman, Fuck.

Dalam keadaan seperti ini, satu-satunya cara untuk menenangkan diri hanyalah mengusap ruby agung yang melingkar di ibu jari kanannya.

“...Cari Elwesii dengan cara apa pun, dan pastikan bocah itu dieliminasi...”

Lelaki itu memutus sambungan telepon satelit, lalu meraih perangkat lain dan melakukan panggilan.

Phonetic saja tidak cukup.

Dia perlu menghubungi seorang yang ahli di bidangnya.

* * *

Di atap sebuah laboratorium di lantai 293, seorang gadis dan seorang pemuda berdiri diam.

Laboratorium itu memiliki ketinggian bangunan tertinggi kedua setelah Egenfried Lab, dan dari atapnya, seluruh distrik penelitian terbaru di kota Kobe terlihat jelas.

Namun, laboratorium itu sama sekali tidak memiliki tangga, lorong, atau pintu yang mengarah ke atap.

Di atas atap yang seharusnya mustahil dijangkau itu, duduklah seorang gadis di pinggir, kedua kakinya bergoyang-goyang santai.

Pakaiannya adalah seragam pelaut yang telah dimodifikasi, dihiasi sulaman berbentuk bintang, hati, dan hewan di kerah, ujung lengan, dan bagian-bagian lain. Panjang roknya pun dipendekkan hingga setengah paha, seolah-olah mengabaikan peraturan kota.

Rambut hitam panjang lurusnya dipadukan dengan bingkai kacamata berwarna biru muda.

Di balik kacamata itu, matanya berwarna hitam pekat.

Tanpa sadar, dia menyadari kacamatanya sedikit melorot.

Dia menjepit ujung kanan kacamatanya dengan jari, memperbaiki posisinya.

Saat itu, kacamata bersentuhan dengan hiasan rambutnya, menimbulkan bunyi kaclik.

Di atas rambut hitamnya, terpasang sebuah bando sederhana berbentuk pohon katsura, berbeda dengan tema hiasan lainnya.

“Baik, misi itu sudah saya terima. Lagipula, kami sudah ada di lokasi.”

Beberapa poin komunikasi disampaikan, lalu sambungan pemuda itu berakhir.

Setelah memutus komunikasi, dia mengambil perangkat lain, bukan yang baru saja dia gunakan untuk bicara, dan mencolokkan kabel earphone.

Dia memutar semua lagu di dalamnya dengan mode acak.

Sambil mengenakan earphone di kedua telinga, dia mengaduk-aduk isi kantong plastik di belakang gadis itu.

Tak lama kemudian, suara kunyahan terdengar, membuat gadis itu mengerutkan wajah.

Kucha kucha kucha kucha...

“Tatsumi, makanlah lebih pelan,” suara gadis itu terdengar langsung di telinga Tatsumi, terselip di antara dentingan riang musik jazz-rock, tanpa dia menoleh.

“Ah, sudahlah. Jangan ribut soal hal sepele.”

Dengan nada santai yang membantah, Tatsumi berpenampilan seperti salesman ulung.

Dia mengenakan setelan bisnis tipis, rambut hitam pendeknya disisir ke belakang dengan rapi, tatapannya setajam elang yang menatap jauh ke depan.

Namun, kenyataannya jauh dari kesan itu.

Dia duduk santai di atap, mengambil sate babi dari nampan di lantai dengan tangan kanan, lalu mengunyahnya perlahan.

“Hei, Kasane.”

“Apa?”

Gadis yang dipanggil Kasane itu menengok ke belakang, kepalanya menekuk lentur.

“Ambilin bir.”

“Astaga, kamu tahu jam berapa sekarang? Sekarang masih siang! Dan kemarin kamu bilang mau berhenti minum!”

“Ayolah, tanpa alkohol aku nggak bisa kerja.”

“...Oke, mulai besok kamu berhenti lagi, paham?”

“Dan satu lagi...”

“Satu kaleng saja. Nggak ada tambahannya.”

“Bukan itu maksudku. ...Tapi, walau kamu membusungkan dada sambil menekuk badan ke belakang gitu, tetap aja rata kayak papan.”

Melihat dada Kasane yang sama sekali tanpa lekukan, Tatsumi tertawa terbahak-bahak.

Urat biru muncul di pelipis Kasane. Tanpa berkata apa-apa, dia menyelipkan tangan ke saku rok mininya.

Lalu dia mengeluarkan sekaleng bir dingin 500 ml, dan melemparkannya ke wajah Tatsumi dengan dendam.

Tatsumi menangkap lemparan cepat itu hanya dengan tangan kiri.

“Hiii, serem banget. Maaf, maaf.”

“...Kalau kamu kasih aku sate babi itu, aku maafin.”

“Kasane ini aneh seleranya. Tapi ya sudah, aku pesannya yang manis pedas.”

Tatsumi menyuapkan sate babi itu ke mulut Kasane.

Wajah Kasane yang tadinya tenang langsung berubah.

Pipinya memerah hingga telinga, matanya langsung berair.

Dengan susah payah dia menahan diri agar tidak memuntahkannya.

Kedua kakinya menendang-nendang, otot wajahnya bergetar cepat.

“Kuahaha! Kayak silent mode tuh! Udah, nggak usah dipaksain, ada kue sus juga nih.”

“Tut-tup ma-mulutmu! Cepat kasih minum!”

Kasane mengambil botol teh tawar berlabel tanpa gula dari sakunya, lalu meminumnya dalam-dalam, menelan sate babi itu bersama teh.

“...Ugh... Ngomong-ngomong, kata silent mode itu juga aku dengar pagi ini. Kamu ingat kan? Anak laki-laki yang menyedihkan itu. Dan gadis di sebelahnya, dia sangat imut.”

“Yang itu? Iya, aku keingat bentuknya kayak sate babi, makanya aku beli ini.”

“Jadi itu alasannya... Ya sudah, ayo kita masuk ke topik utama.”

Tatsumi berdiri perlahan, menatap ke arah sekat isolasi yang berjarak ratusan meter.

Itu adalah perangkat yang akan turun dari perimeter luar kota saat Fairy Hazard ancaman bahaya tingkat 4 terjadi, untuk menyegel wilayah tersebut.

Materialnya terbuat dari kristal karbon terkeras yang pernah diciptakan Asgard.

“Sekat isolasinya, jelas-jelas dihancurkan es.”

Pada sekat isolasi menganga lubang berdiameter sepuluh meter.

Dari tepi lubang, bongkahan es menyebar, menutupi seluruh permukaannya.

Es itu menjalar hingga mencapai batas atap, mendinginkan seluruh distrik penelitian ke suhu sangat rendah.

“Peri Fenomena bisa menghancurkan sekat isolasi dari kristal karbon itu dengan kekuatan fisiknya?”

“...Bukan dihancurkan secara fisik. Itu runtuh sendiri karena suhunya turun di bawah batas tahan dinginnya.”

“Bukannya batasnya itu -250 derajat?”

“Suhunya turun di bawahnya. Ada jejak pendinginan sampai -273 derajat, titik nol mutlak.”

Tatsumi meremas kaleng bir di tangan kanannya, membuat isinya yang tersisa menetes keluar.

“Sudah pasti. Di dunia ini, cuma Elwesii yang bisa melakukan hal itu.”

“...Dan satu hal lagi yang pasti: ada manusia yang sudah membuat kontrak dan menjadi tuannya Elwesii.”

“Kontrak? Padahal FT khusus Elwesii sudah hilang selama tujuh tahun. Tanpa itu, tidak mungkin bisa membuat kontrak dengan Tujuh Bencana Besar, bahkan komunikasi saja tidak bisa.”

“Entah dengan cara resmi, atau ada celah yang digunakan... Tapi itu sudah tidak penting.”

Nada suara Kasane mendadak merendah.

Mendengar itu, Tatsumi tersenyum miring.

Senyumnya memancarkan kebuasan seperti elang yang mengincar mangsa.

“Benar. Yang penting cuma satu, Elwesii yang kita cari masih ada di Kobe ini. Betul, Kasane?”

“Di Kota Terbalik yang melayang di langit, tak ada tempat untuk lari.”

Kasane menundukkan pandangan ke lubang sepuluh meter di sekat isolasi, mengikuti gerakan Tatsumi.

Tanpa mengalihkan pandangan, Tatsumi berucap seolah sambil bersiul.

“Ngomong-ngomong, aku baru dapat misi. Misi untuk menyelidiki anomali yang terjadi di Kobe ini. Hampir pasti itu ada hubungannya dengan Elwesii. Begitu ketemu penyebabnya, tangkap hidup-hidup, lalu...”

“...Aku tahu tanpa kamu bilang. Itu sebabnya aku berpasangan denganmu.”

Tatapan Kasane pada sekat isolasi yang diselimuti es, yang sangat dingin dan tak berperasaan.

“Kalau sampai terlepas, kita bilang saja tangan kita licin, kan?”

“Kita laporkan begitu. Jadi, jangan ragu, ayo kita bunuh Elwesii.”

“Ya, ayo kita lakukan. Demi kita berdua.”

Dan pada detik berikutnya, kedua sosok itu lenyap dari atap laboratorium.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close