NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

America Gaeri no Uzakawa Osananajimi Volume 3 Chapter 1

 Penerjemah: Flykitty

Proffreader: Flykitty


Chapter 1

Kenangan Musim Panas yang Tertinggal di Kolam Musim Dingin


Fuushh—hembusan angin dingin yang menderu tiba-tiba membawa aroma musim dingin.


"…Dingin banget."


Angin sejuk yang dulu begitu kuinginkan saat terik matahari musim panas, kini hanyalah angin kencang yang menggugurkan daun-daun yang tersisa dari pepohonan. 


Angin dingin itu seolah menyeret sisa-sisa musim gugur yang masih tertinggal ke suatu tempat yang jauh, membuat tubuhku bergetar kedinginan.


Aku menghembuskan napas, menghangatkan ujung jariku yang kaku, seakan menyambut kedatangan musim dingin yang terasa agak muram.


Pergantian musim sering terasa seperti momen untuk memulai sesuatu yang baru. Tapi entah kenapa, musim dingin terasa tidak begitu. Tidak ada kesegaran seperti musim semi, tidak ada semangat berdebar seperti musim panas, tidak ada kenyamanan yang sejuk seperti musim gugur. Musim dingin seolah menutupi semua itu dengan dinginnya yang menyelimuti segalanya.


Mungkin karena aku memikirkan hal itu, mataku jadi mencari tanda-tanda khas musim dingin.


Misalnya, kesunyian pagi yang seakan membuat suara pun membeku.


Atau matahari yang lambat bangun dengan cahaya yang redup.


Atau sensasi keras aspal yang berderak di bawah langkah kaki.


Atau serpihan daun yang sudah kehilangan warna, jatuh berputar di depanku.


Atau… rasa hangat botol jus yang tiba-tiba menempel di pipi dari belakang—…


…Tunggu dulu, botol jus yang hangat?


"Panas banget!?"


"Oooh! Bahkan orang Amerika pun bakal kaget dengan reaksi itu!"


Tiba-tiba diserang rasa hangat itu, aku refleks bereaksi berlebihan.


Teriakanku yang melengking, membelah udara pagi yang hening, membuat orang-orang yang lewat menoleh kaget ke arahku. 


Rasa malu dan bersalah membuat tubuhku yang tadi kedinginan jadi panas membara. 


Sambil menekan pipiku yang masih terasa panas berdenyut, aku menoleh ke belakang—dan mendapati senyum nakal penuh kemenangan dari si pelaku usil.


"…Seira, maksudmu apa?"


"Kalau ditanya apa maksudku… hmm, pertanyaan sulit ya. Aku sebenarnya nggak punya alasan khusus untuk mengerjai Ruu-kun. Itu terjadi begitu saja, alami, seperti insting. Tubuhku bergerak sendiri hanya demi membuat Ruu-kun kaget."


"Jadi intinya, nggak ada alasan."


"Kalau harus dipaksakan, mungkin ini alasannya. Karena sahabat kecilku ini sama sekali nggak bilang ‘kamu cantik’ meskipun Seira-chan sudah tampil imut dengan pakaian musim dingin."


"……Ah—"


Suara eranganku yang seperti tersangkut di tenggorokan terdengar di udara pagi yang tenang.


Seperti yang dia bilang sendiri, hari ini Seira memakai pakaian musim dingin. 


Sarung tangan tebal yang fluffy, syal rajut hangat, dan di atas seragamnya dia mengenakan mantel. Katanya, mantel itu dia beli langsung di tempat setelah dipakai untuk pemotretan majalah fashion karena dia suka sekali dengan modelnya. 


Aku teringat wajah ceria sahabat kecilku yang dulu berseri-seri sambil berkata tak sabar ingin segera memakainya untuk berangkat sekolah, sembari menatap mantel itu yang tergantung di rak kamarnya.


Mungkin untuk awal musim dingin ini dia agak terlalu banyak lapisan, tapi rasa dingin kan berbeda-beda bagi setiap orang. 


Bisa jadi, lebih daripada soal suhu, dia hanya tidak sabar ingin mengenakan mantel kesayangannya.


Melihat Seira tersenyum riang begitu, aku akhirnya pasrah dan mengembuskan napas putih.


"Seira."


"Apa?"


"Benar-benar cocok. Rasanya seperti kau keluar langsung dari majalah fashion."


"…Itu, sebagai pujian buat seorang model fashion, menurutmu tepat nggak?"


Seira sempat mengernyitkan alis, tapi segera wajahnya kembali berseri dengan senyum cerah. Senyum yang seakan menggantikan matahari yang malas bangun pagi.


"Tapi aku senang. Terima kasih, Ruu-kun. Sebagai hadiah, ini untukmu."


Yang dia sodorkan padaku adalah botol jus yang tadi ditempelkan ke pipiku. Saat kuambil, hangatnya menyelimuti telapak tanganku yang dingin. 


Sepertinya tadi aku merasa terlalu panas hanya karena kaget dengan sentuhan mendadak dari belakang.


"Apa ini?"


"Apple cider. Minuman hangat populer saat musim dingin di Amerika."


"Cider? Jadi minuman hangat tapi pakai soda?"


"Bukan, ini sari apel yang direbus. Nggak ada karbonasinya."


"Kalau begitu, kenapa namanya cider?"


"Entahlah?"


Seira memiringkan kepala dengan polos.


Aku sempat ingin mengeluh, tapi ya, aku juga nggak tahu asal-usul nama banyak hal di sekitarku. Minum jus apel hangat begini juga baru pertama kali kualami. 


Dengan sedikit rasa waspada tapi juga penasaran, aku meneguknya. Rasa asam manis hangat langsung menyebar di mulut.


"…Rasanya bukan enak, tapi lebih seperti menenangkan, ya."


"Kan? Minuman ini lebih untuk menghangatkan tubuh daripada menikmati rasa. Minum apple cider sambil duduk dekat perapian di hari dingin itu benar-benar ‘cozy’."


"Cozy?"


"Kalau diterjemahkan ke bahasa Jepang, hmm… mungkin ‘hangat dan nyaman’ gitu ya?"


Seira menyesap sedikit apple cider, lalu mengembuskan napas hangat.


Pagi yang dingin dan suram. Tapi di mata sahabat kecilku itu tidak ada sedikit pun warna dingin.


Suaranya tetap riang, tidak terbawa muramnya udara pagi.


"Musim dingin punya cara bersenang-senangnya sendiri. Atau lebih tepatnya, ada hal-hal yang hanya bisa dinikmati di musim dingin. Seperti minum jus hangat begini yang menenangkan hati, atau bisa berangkat sekolah dengan mengenakan mantel kesayangan. Semua itu adalah waktu khusus yang hanya bisa dialami di musim ini. Aku benar-benar menantikan musim dingin di Jepang ini, apalagi bersama Ruu-kun!"


Senyum Seira terasa lebih menyilaukan daripada biasanya.

Mungkin kalau punya hati seperti dia, dingin yang menusuk tulang atau kesunyian yang membuat sepi juga bisa terasa berbeda.


Contohnya, di pagi musim dingin yang tenang kita bisa merasakan hembusan napas orang di samping kita lebih dekat, atau karena matahari bangun lebih siang, kita bisa melihat langit indah saat matahari terbit dalam perjalanan ke sekolah.


"Ups, anginnya…"


Byuu, angin musim dingin bertiup, membuat rambut dan syalnya berkibar.


—Musim dingin sudah dimulai.


Angin yang tadi hanya membuatku menggigil kini terasa seperti berbisik di telingaku, seolah menyambut sesuatu yang baru.


"Yah, cuma jangan sampai terlalu bersemangat terus jadi masuk angin ya."


"Itu kekhawatiran yang tidak perlu. Seira-chan bukan tipe orang yang bisa diombang-ambingkan oleh musim. Kalau pun ada, aku lebih jago mengombang-ambingkan orang lain daripada diombang-ambingkan."


"…Entah kenapa aku merasa kau sengaja bilang itu sambil menatapku."


Aku meliriknya dengan tajam, tapi Seira hanya terkikik kecil lalu berjalan lebih dulu.


Aku menghela napas putih, lalu berlari kecil menyusulnya. 


Hanya dengan seorang gadis yang ingin menikmati musim dingin di sisiku saja, rasanya aku juga bisa menemukan kehangatan di dalam pemandangan musim dingin yang dingin ini.


Daripada terombang-ambing oleh dinginnya musim, lebih baik kita sendiri yang menari di dalamnya.


Dengan pikiran itu, kami pun berjalan menuju sekolah, seolah hendak menyambut jejak langkah musim dingin yang baru tiba.


***


"—Jadi begitu, Maiori. Hukumannya, kau harus bersihkan kolam renang."


"…"


Begitu tiba di sekolah, langkah musim dinginku langsung berlari kabur entah ke mana.


Aku digiring setengah paksa ke ruang bimbingan siswa oleh Yae-sakura-sensei yang menunggu di pintu masuk sekolah.


Kami duduk berhadapan, seperti dulu, dan beliau langsung menjatuhkan hukuman tanpa ampun.


"…Eh, tunggu, hukuman membersihkan kolam renang?"


Isi hukumannya terlalu tidak sesuai musim, sampai-sampai aku lebih kebingungan daripada protes.


Hei, ke mana perginya aroma musim dinginku?


"Hm, wajahmu terlihat seolah ingin protes."


"Protes sih… iya. Maksudku, ya, aku bisa terima kalau memang harus dihukum. Tapi kenapa harus kolam renang? Nggak ada hukuman lain yang lebih sesuai musim, kayak bersihin daun-daun gugur misalnya?"


"Jangan cari suasana dalam sebuah hukuman."


Protes panjangku langsung dipotong Yazakura-sensei dengan tegas.


Ya, memang benar sih… tapi tetap saja, kolam renang di musim dingin? Bukankah lebih butuh tenaga buat bersihin halaman sekarang?


"Eh, ngomong-ngomong, aku ini dihukum karena apa sih?"


"Karena kau seenaknya sendiri di panggung festival."


Festival, ya. Yang langsung terlintas di benakku adalah saat festival momiji beberapa hari lalu, ketika aku menari bersama Nowa.


Karena masalah teknis, Nowa datang terlambat, jadi aku menari sendirian untuk memperpanjang waktu festival.


Kalau dipikir, memang kelihatannya seperti aku seenaknya merebut panggung.


"Tapi pihak panitia sudah memaafkan, kan?"


Setelah festival berakhir, aku dan Nowa dipanggil untuk minta maaf ke panitia bersama sensei. Tapi mereka justru tersenyum ramah dan bilang terima kasih karena membuat festival jadi lebih meriah. Bahkan kami malah dapat ucapan terima kasih. 


Tentu mungkin ada basa-basi di balik itu, tapi orang-orang yang tertawa seperti itu jelas nggak mungkin memaksakan hukuman pada kami.


"Itu hanya karena kebaikan hati mereka. Lebih tepatnya, karena kalian masih dianggap anak-anak jadi dimaafkan."


Nada suara sensei tegas, menepis sikap optimis yang tadi kutunjukkan.


"Mari kita bicara angka yang nyata. Memperpanjang festival sebesar itu tentu ada biayanya. Misalnya, biaya lampu. Waktu satu jam tambahan karena ulahmu berarti ada kerugian nyata yang ditanggung panitia."


"Ugh, itu…"


"Aku paham kalau saat itu kau punya sesuatu yang tidak bisa dikompromikan. Tapi tetap saja, ada orang yang terkena imbasnya. Karena itu, kau perlu bertanggung jawab."


Mata tajam sensei menyampaikan bahwa hukuman ini adalah bentuk tanggung jawab.


Aku tidak bisa membantah.


Kalau begitu saja aku dimaafkan, rasa penyesalanku pasti akan memudar, dan itu sama saja mengkhianati kebaikan hati orang-orang panitia yang telah memaafkan kami.


"Aku mengerti soal hukuman… tapi tetap saja, kenapa kolam renang?"


"Kebetulan kolam renang memang butuh dibersihkan. Kau tadi mengeluh soal ‘tidak sesuai musim’, tapi alasan itu tidak berlaku di sekolah kita, kan?"


"Itu… ya…"


Kolam renang sekolah Kanaha memang kolam renang air hangat dalam ruangan. Karena itu, selalu ada pelajaran renang sepanjang tahun, dan teman-temanku yang tidak bisa berenang sering mengeluh karenanya.


"Kalau tidak salah, sekolah memang mengeluarkan dana besar untuk kolam renang karena klub renang, kan?"


"Tepatnya, klub polo air. Karena sekolah yang punya klub itu sedikit, peluang ke tingkat nasional cukup besar. Jadi prestasinya jelas, dan sekolah mudah menggunakannya untuk promosi."


Sebagai SMA Kanaha yang menjunjung tinggi prinsip keseimbangan antara akademik dan olahraga, ini adalah kasus model yang ideal.


Aku memang merasa ada sedikit ketidakmurnian ketika urusan orang dewasa ikut campur dalam masa remaja anak-anak, tapi pada akhirnya pihak sekolah mendukung kegiatan klub, jadi seharusnya ini bukan sesuatu yang perlu dipermasalahkan. 


Namun――


"Seharusnya itu tugas klub polo air untuk membersihkan kolam sebagai bentuk terima kasih mereka sehari-hari, bukan?"


"Klub polo air yang akan ikut serta di turnamen nasional sedang mengadakan kamp gabungan dengan sekolah kuat di Aichi sampai akhir pekan ini. Sekolah pun memberi izin absen dan mereka menginap di fasilitas kolam renang daerah."


"……Lalu kenapa?"


"Kemarin, saat pelajaran menggunakan kolam renang sekolah, terjadi sedikit masalah yang menyebabkan pompa sirkulasi air rusak. Akibatnya, kotoran yang menumpuk di pipa pembuangan selama bertahun-tahun berbalik mengalir masuk ke dalam kolam."


"Haa……"


"Melihat jadwal turnamen, klub polo air pasti ingin segera menggunakan kolam begitu kembali dari kamp untuk melakukan penyesuaian terakhir. Namun perusahaan yang biasa kita minta membersihkan sedang penuh pekerjaan, jadi mereka kekurangan waktu dan tenaga untuk menangani ini. Akhirnya, kepala sekolah memerintahkan aku untuk menugaskan pihak sekolah sendiri membersihkan kolam."


"……Jadi, itu artinya membersihkan kolam adalah tugasmu, kan, Yazakura-sensei?"


"Ah, dengan kata lain itu juga tugas para anggota klub yang menjadi tanggung jawabku. Sudah paham situasinya? Ketua klub dansa, Maiori Ruto."


"……Sejak kapan aku jadi ketua?"


Aku menyeringai kaku pada jabatan yang ditunjuk sepihak tanpa sepengetahuanku.


Awalnya ini hanyalah klub sementara yang dibuat demi ikut festival, tapi sepertinya bentuknya masih tersisa hingga sekarang. 


Aku memang merasa seperti sedang dimanfaatkan dengan seenaknya, tapi……yah, termasuk urusan skorsing waktu itu, aku sudah banyak ditolong Yazakura-sensei. Tidak ada pilihan. Hal sepele seperti ini, aku terima saja.


"Baiklah, kalau ini tugas klub dansa, berarti aku juga harus memanggil Nowa?"


"Benar, hubungi dia. Alat-alat sudah kusiapkan di sini. Aku akan menguras air sebelum jam pulang sekolah, jadi datanglah ke kolam dengan pakaian yang bisa kotor."


Sambil dengan lihai menyeret rekanku, aku mengangguk.


Langkah musim dingin menjauh, dan aku menghela napas, seolah sedang kembali untuk mengambil barang yang tertinggal di musim panas. 


Hembusan napas yang lolos dari bibirku membentuk kabut putih meski di dalam ruangan. Hanya itulah serpihan kecil musim dingin yang bisa kurasakan.


***


Sore harinya.


Saat aku berjalan di koridor yang menuju kolam, angin dingin menyelinap lewat jendela yang terbuka.


Poni ekor kuda gadis yang berjalan di depanku bergoyang dengan kesal.


"Hmph, kenapa aku juga harus ikut-ikutan membersihkan kolam sih."


"Ya, ya, tapi Nowa kan partner dansaku?"


"Mm…… memang begitu, tapi terus kenapa?"


"Aku nggak terima kalau cuma aku yang harus ikut menari sesuai keinginan Sensei. Kita sudah berjanji kan. Aku dan kau, setiap menari selalu bersama."


"Itu bukan maksudku!!"


Nowa, yang memakai jaket training merah, menajamkan mata seperti kucing yang sedang mengancam.


Dengan langkah yang cepat, ia berputar menghadapku. Seperti yang diharapkan dari mantan balerina, putaran pirouette-nya sempurna. Ujung sepatunya berbunyi gesekan kecil yang tajam dan enak didengar.


"Lupakan bercandanya. Jujur saja, membersihkan kolam sendirian jelas terlalu berat buatku, jadi kalau kau bisa bantu, aku akan sangat terbantu……"


"Hmph, aku juga sudah pernah berhutang budi pada Yazakura-sensei, jadi membersihkan kolam sih tidak masalah. Tapi bukannya lebih baik kalau ada lebih banyak orang? Bagaimana dengan Seira?"


"Dia bilang hari ini adalah hari rilis game galge yang sudah ditunggunya, jadi langsung pulang."


"Hah?"


"Dia juga bilang game galge yang ditunggu-tunggunya rilis, jadi langsung pulang."


"Sungguh nggak berguna, para otaku itu!"


Dari ceritanya, sepertinya mereka berdua menunggu game yang sama. Itu adalah sekuel dari karya populer yang rilis beberapa tahun lalu. 


Dengan karakter yang imut, cerita yang lucu sekaligus mengharukan. Versi terjemahannya bahkan dijual di luar negeri. 


Saat sibuk dengan pekerjaan modeling keliling Amerika, Seira menyempatkan diri untuk memainkannya perlahan-lahan, dan tiap kali sampai ke bagian emosional, makeup-nya berantakan karena menangis.


Katanya sendiri, "Seluruh Amerika menangis……". Ribut sekali.


"Yah, bagaimanapun, semua ini dimulai dari training camp dansa kita. Jadi sudah seharusnya kita juga yang menanggung akibatnya."


"……Tetap saja, rasanya nggak enak kalah dari galge."


Meskipun manyun sambil memalingkan wajah, Nowa akhirnya mau menerima keadaan.


Sambil mengobrol, kami pun sampai di kolam renang dalam ruangan.


Saat pintu dibuka, hawa panas dari heater langsung menyelimuti kulit. Sepertinya Sensei menyalakan AC lebih dulu. Rasanya agak mubazir memanaskan ruangan sebesar ini hanya untuk kami berdua, tapi karena harus bekerja dengan air di musim dingin, bantuan ini patut disyukuri.


"Baik, Ruto, ayo kita mulai!"


"Oh, wah, semangat sekali tiba-tiba."


"Kalau sudah dikerjakan, aku benci setengah-setengah! Aku akan bikin ini berkilau bersih!"


Dengan semangat yang menggebu, Nowa melepaskan sepatu dan kaus kakinya. Ia berjongkok, lalu menggulung celana training hingga ke lutut.


Cahaya lampu memantul di sisi kolam dan menerangi betisnya yang sehat. Ototnya yang kencang bersinar, khas seorang penari, namun tetap memiliki kelembutan feminin.


"Apa yang kau lihat, mesum."


Hah, apa dia punya mata di belakang?


"……Maaf."


"Tidak perlu minta maaf cuma karena lihat kaki. Kau sudah sering lihat saat kita menari kan."


Dengan nada seolah heran, Nowa malah mengangkat kakinya tinggi-tinggi.


Sebuah pose keseimbangan lurus vertikal, bahkan lebih dari sekadar Y-shape. Tubuhnya stabil, siluetnya indah, lentur, namun kuat seakan-akan mengakar dari ujung kakinya.


"Whoa……"


Aku tanpa sadar terkagum.


Sepertinya senang dengan reaksiku, Nowa menyeringai bangga.


"Kalau kau mau lihat, lihat saja sesuka hatimu. Tak ada penari yang benci diperhatikan. Yang tidak baik itu kalau diam-diam mengintip. Lagi pula, toh besok……"


"Besok?"


"Ups, seharusnya ini masih rahasia."


Sambil tersenyum penuh arti, Nowa mengambil sikat yang disiapkan. Ia memutarnya seperti tongkat, lalu menghadap ke arah kolam.


"Ayo mulai, Ruto. Kalau tidak cepat, keburu malam."


"O-oke……"


Ada hal yang membuatku penasaran, tapi gara-gara omong kosong pekerjaan bisa terbengkalai, jadi aku mengesampingkan itu.


Aku cepat-cepat melepas alas kaki, turun ke kolam lewat tangga. Lantainya masih licin karena baru dikuras. 


Butiran air yang memantulkan cahaya lampu menutupi dasar kolam seperti taburan permata. Sedikit menyilaukan kalau dipandang langsung.


Kulihat sekilas, tidak ada noda yang mencolok. Katanya bertahun-tahun kotoran balik ke kolam, jadi kupikir akan lebih parah, tapi ternyata tidak seburuk itu. Jujur saja agak mengecewakan.


"Ya, kalau memang separah itu, tidak mungkin sekolah menyerahkan pada muridnya."


Aku juga pernah dengar kalau kotoran kolam lebih pada kandungan zatnya daripada tampilannya. Tapi jelas kami yang amatir tidak tahu cara menanganinya. Yah, untuk sekarang, cukup sikat seluruh permukaan saja.


Kami mengalirkan air dari selang, lalu mulai menyikat lantai. Deterjen khusus kolam yang disediakan pun kami taburkan secukupnya. Busa yang muncul entah kenapa membuat kerja terasa lebih bersemangat, membuat genggaman sikat semakin kuat.


"Haah…, meski musim dingin, kalau sudah begini rasanya panas juga ya. Aku sampai berkeringat."


Sambil menyikat, Nowa meluruskan punggung dan berkata begitu.


Lalu, ia menarik resleting jaket training-nya. Jaket yang dilepas diikatkan di pinggang seperti rok. Dengan hanya memakai baju olahraga atas, ia kembali menyikat.


"……"


Aku yang sedang melihat malah sadar sesuatu.


Karena menunduk, garis bra hitam terlihat menonjol di balik bajunya.


Degup jantungku berdetak kencang karena kecerobohan itu.


Tapi melihat Nowa yang tetap serius menyikat tanpa sadar akan hal itu, rasa bersalah malah lebih besar daripada rasa gugup. Untungnya, tidak ada orang lain selain aku di sini. 


Aku segera mengalihkan pandangan dan kembali fokus pada pekerjaan.


"……Pengecut."


"Hah?"


"Bukan apa-apa."


"Fuh," suara kesal dari Nowa yang mendengus itu menusuk ke punggungku.


…Aku berusaha untuk tidak terlalu memikirkan artinya dan terus menggosok kotoran yang kutemukan dengan sikat.


Perfeksionis, atau mungkin terlalu serius…


Aku dan Nowa sama-sama tipe orang yang kalau sudah mulai melakukan sesuatu, tidak bisa berhenti di tengah jalan. Kami terus membersihkan kolam dengan tekun, dan baru selesai menggosok seluruhnya tepat di detik-detik terakhir sebelum waktu pulang.


Saat aku menghapus keringat di keningku, merasakan kelelahan yang menyenangkan bercampur dengan rasa puas—


"Uwah!?"


Air menyembur menghantam wajahku seperti tamparan.


Aku mendongak kaget, dan melihat Nowa tertawa riang sambil mengarahkan selang padaku.


"Terakhir harus dibilas pakai air dan busa supaya kotorannya ikut kebawa, kan?"


"…Itu maksudnya sindiran halus kalau hatiku kotor juga, atau gimana?"


"Apa sih? Kau lagi mikirin hal-hal jorok, ya?"


"Sama sekali enggak, sumpah, beneran, bahkan secuil pun enggak."


"Penolakannya terlalu heboh sampai jadi terdengar bohong, tahu."


Aku memalingkan wajah, bukan hanya karena rasa bersalah.


Seragam olahraga Nowa yang basah karena keringat menempel ketat di tubuhnya, dan bra hitamnya terlihat samar-samar dengan menggoda. 


Sepertinya dia tidak menyiapkan perlindungan supaya tidak tembus pandang karena tadinya tidak berencana melepas jaket. Bagaimanapun juga, ini benar-benar membuatku tak tahu harus memandang ke mana.


"…?"


Mungkin belum sadar dengan keadaannya sendiri, Nowa hanya memiringkan kepala polos. Gerakan polos itu justru semakin menusuk rasa bersalahku.


Mungkin karena curiga aku memalingkan wajah, Nowa melangkah perlahan di atas lantai basah yang licin, mencoba masuk ke dalam pandanganku—


"Waah!?"


Kyuurr…


Kakinya terpeleset busa, tubuh Nowa miring ke samping.


—Tubuhku bergerak lebih dulu daripada otak.


Aku refleks mengulurkan tangan untuk menahan Nowa—tapi karena lantai penuh busa dan aku juga bertelanjang kaki, aku tidak bisa menahan pijakan. 


Berat tubuh yang kutahan membuatku ikut kehilangan keseimbangan… aku menjatuhkan diri lebih dulu supaya bisa jadi alas Nowa.


"Gweh!?"


Punggungku membentur lantai, lalu berat tubuh Nowa menghantam ulu hatiku. Suaraku keluar seperti suara katak terhimpit.


Uuh… sakit banget…


Kami terjatuh berdua, saling menindih. Aku hanya bisa berkedut di lantai seperti serangga sekarat, tidak tahu persis apa yang baru saja terjadi.


Beberapa detik kami merintih penuh busa—


Dengan susah payah aku bangkit, lalu menoleh ke arah Nowa.


"Nowa, kau nggak—eh!?"


Suara yang hendak kupakai untuk memastikan keselamatannya langsung terhenti di tengah jalan.


Di sana ada seorang gadis yang memeluk dadanya sendiri, tubuhnya meringkuk kecil dengan wajah memerah.


"…!"


Rasa kaget yang membuat napas tercekat membekukan pikiranku.


Sepertinya selang yang tadi dia pegang jadi liar dan menyiramnya habis-habisan. Tetesan air jatuh dari tubuh Nowa, membentuk genangan kecil di kaki yang duduk dengan gaya "duduk perempuan".


Bukan sekadar samar-samar seperti tadi.


Seragam olahraga yang basah kuyup itu kini benar-benar transparan, sampai-sampai garis bra dan motif renda-nya terlihat jelas.


Tetesan air jatuh, memunculkan aroma sensual yang basah.


Aku merasa seperti melihat sisi "gadis" dari partnerku yang selama ini tidak kusadari. Rasa malu yang basah itu memerah di pipi Nowa. 


Tatapannya dari bawah dengan mata yang bergetar, terlihat ketakutan sekaligus seperti sedang menginginkan sesuatu, membuat rasa bersalah misterius di tubuhku berubah jadi panas.


Di dalam waktu yang terasa berhenti, hanya detak jantungku yang terdengar keras.


Nowa menggeliat, lalu membisikkan suara yang terdengar seperti lilin yang hampir padam.


"Jangan… lihat ke sini…"


"Ma—maaf!"


Aku tersadar dan langsung memalingkan punggungku.


Air dari selang yang tak terurus mengalir membasahi kakiku. Bersama busa yang meleleh, aku berusaha menghapus dari ingatan pemandangan partnerku yang begitu polos tapi juga menggoda itu—


"…Benarkah, kau tidak mau melihat?"


Suara yang terdengar sedih, lembut, seolah hendak menggenggam punggungku, datang dari belakang.


Jantungku yang berusaha tenang mulai berdetak lagi, pelan-pelan, gelisah.


"Apa maksudmu…?"


"Jangan berpura-pura tidak tahu. Jangan berpura-pura tidak sadar."


"…Itu…"


"Ruto, apa kau… tidak tertarik padaku?"


Suaranya seperti mengupas satu per satu lapisan kebohongan yang kupasang di hatiku.


Suara yang matang, menggoda, seolah menggigit manja naluri kelam dalam diriku.


Nada suara yang berbeda dari Nowa biasanya, seperti permainan orang dewasa, menggali sisi lemahnya diriku hingga menggema di kepala.


Suara langkah basah terdengar, telanjang kaki menginjak lantai penuh busa.


Langkah itu berhenti tepat di belakangku, lalu napas panas terasa di telingaku.


"Hei… lihat aku dong."


Rasanya seperti seorang penyihir menawari apel beracun.

Aku tidak boleh menoleh.


Naluri dan akal sehatku berteriak begitu, tapi di hadapan godaan penyihir yang memikat, suara itu tidak ada artinya.


Deg, deg—jantungku berdetak kencang.


Berdebar, berdebar—denyutnya berubah jadi rasa sakit manis yang menusuk.


Perlahan.


Seakan ada sesuatu di luar diriku yang mendorongku, aku memutar kepala ke belakang—


Dan di sana ada wajah polos Nowa yang tersenyum nakal sambil mengacungkan selang air.


"Lengah, ya!!"


"Dingin—!?!"


Ujung selang dijepitnya, dan semburan air yang deras menghantam tepat ke wajahku.


Serangan mendadak itu benar-benar seperti pepatah "air masuk ke telinga yang sedang tidur". Dengan kaki yang licin karena busa, aku tak bisa menahan diri dan jatuh terduduk dengan keras.


Di depanku yang melongo, ada sosok partnerku yang tertawa puas.


"Kena, kan, Ruto! Seorang penari itu kan ekspresif. Masak aku bakal malu cuma karena Ruto ngelihat pakaianku? Mustahil lah!"


"…Tapi tetap aja, punya rasa malu itu penting, tahu. Kayak… sisi feminim gitu."


"Sama kamu? Enggak perlu. Aku udah siap kok buat ngungkapin semuanya di depanmu."


Dengan bangga Nowa menegakkan dada, lalu mengibaskan kepalanya. Butir-butir air beterbangan, dan kuncir kudanya yang bergerak lincah seakan menampar pipiku dengan kilau yang cerah.


—Inilah aku.


Tanpa ragu sedikit pun, Nowa menunjukkan pesona dirinya yang sesungguhnya, lalu tersenyum lepas.


"Ruto, makasih ya! Udah nyelametin aku waktu hampir jatuh tadi!"


"…Gak apa-apa. Kalau kamu mau jatuh, tugasku ya menahanmu."


Pesona aneh yang sempat muncul sebelumnya memang hilang, tapi suaranya yang jernih itu begitu kuat, terang, seolah menarik tangan seseorang yang menunduk ke arah cahaya. 


Rambut yang terikat kuncir kuda itu berkilau, menyebarkan senyum cerah bersama percikan air, dan aku sampai terpesona melihatnya.


Di saat aku masih terhanyut dalam perasaan itu, Nowa seolah baru teringat sesuatu dan bertanya:


"Hei, Ruto, kamu bakal ikut ‘C-DAF’ tahun ini nggak?"


"Ikut."


Aku menjawab singkat, dan Nowa tersenyum tipis.


Ada dua kompetisi tari berskala nasional untuk anak SMA.


Yang pertama, "Kejuaraan Tari SMA" di musim panas.


Dan yang kedua, "Christmas Dance Festa" di musim dingin—yang biasa disebut "C-DAF".


Final dari C-DAF hanya bisa ditembus oleh mereka yang lolos seleksi daerah, dan bahkan disiarkan di televisi. Banyak tokoh terkenal di dunia tari yang juga memberi perhatian. Hampir semua penari profesional saat ini pernah mengukir prestasi di salah satu dari dua ajang ini.


Meski begitu, C-DAF dibandingkan dengan Kejuaraan Tari SMA terasa lebih seperti festival. Baik peserta maupun penonton utamanya ingin menikmati tarian, dan pemenangnya diputuskan lewat voting penonton TV, bukan juri.


Karena itu, teknik-teknik yang mencolok lebih disukai. Tergantung genre yang dikuasai, bisa jadi ada keuntungan besar atau malah kesulitan. Makanya, tak sedikit penari yang memilih absen demi fokus ke kompetisi musim panas.


"Aku kan udah melewatkan musim panas. Kalau musim dingin pun nggak turun, tubuhku bisa-bisa jadi dingin beneran."


"Hehe, jadi ini pertarungan comeback si penari hip-hop ‘RuTo’, ya."


Comeback—kata itu membuat jantungku sedikit menegang, tapi lebih dari itu aku merasa bersemangat.


Lewat akun SNS "RuTo" yang baru-baru ini kuaktifkan lagi, aku juga sudah mengumumkan ikut C-DAF. Ada yang senang, ada yang mendukung, ada juga yang ninggalin komentar pedas, tapi ternyata lebih banyak orang yang menantikan kembalinya duniaku di atas panggung.


Bahkan, beberapa rival masa SMP yang dulu bersaing di level nasional juga menulis, "Jangan kira aku bakal kalah." Setiap membacanya, aku merasa bersyukur bisa kembali ke tempat ini.


"Musim panas yang kujalani dengan kepala tertunduk, aku tinggalin aja. Musim dingin ini bakal jadi waktu terpanas buat tarianku."


Detak jantung yang berdentam terasa menyenangkan, seakan menanti hari esok dengan penuh gairah.


Bisa berdiri menghadap ke depan seperti sekarang, itu semua berkat Seira dan Nowa.


Enam bulan yang suram, semua penyesalan yang menghantui… aku tidak ingin menghapusnya. Itu adalah waktu yang kubutuhkan untuk memastikan alasan kenapa aku menari. 


Aku memang tidak bisa berkata bahwa hari-hari pahit itu indah, tapi aku yakin semua penyesalan yang kutanggung hingga sampai di sini membuatku lebih kuat daripada diriku yang dulu tak pernah jatuh sekalipun.


"Hei, Ruto."


Suara Nowa, gadis berkuncir kuda yang masih basah oleh air.


Gadis yang seperti melambangkan musim panas, kini berbicara dengan suara hangat seakan mengusir dinginnya musim dingin.


"Memang sih, lari ke musim dingin itu bagus. Tapi… apa nggak sedih kalau semua kenangan musim panasmu cuma penuh dengan rasa lesu dan tertunduk?"


"Ya, tapi musim panas kan udah selesai."


"Makanya."


Nowa tersenyum lebar, seperti anak kecil yang menantikan libur musim panas.


"Setidaknya satu hari saja, gimana kalau kita ambil kembali barang yang kita lupakan di musim panas?"


Besok pukul dua siang, di kolam renang ini.


Janji yang kubuat dengan gadis berkuncir kuda itu membawa aroma musim panas yang segar, seakan menghidupkan kembali cahaya matahari yang membara.


***


Keesokan harinya.


Aku sudah mengenakan pakaian renang, berdiri di tepi kolam yang baru saja kubersihkan dengan tanganku sendiri.


Cahaya lampu memantul di permukaan air yang berkilau jernih, membuat pemandangan itu terasa menyilaukan sekaligus indah. 


Membayangkan hasil kerjaku kemarin ikut andil dalam kebersihan ini, aku merasa cukup bangga.


Kami hanya janjian waktu dan tempat.


Sambil menunggu Nowa di sisi kolam yang hangat karena penghangat ruangan, aku bertanya pada temanku yang duduk di sebelah.


"Eh, Yuuma, kamu tahu kita bakal ngapain?"


"…………"


"Yuuma?"


"Ah, maaf. Otakku lagi kosong pilihan jawaban, jadi aku nggak bisa fokus ngomong."


"Kebanyakan main game, kan?"


Katanya semalam Yuuma begadang main galge, dan kini ia menguap lebar. Entah kenapa, bahkan tampilan lesunya pun masih terlihat pas di wajahnya yang ganteng.


"Ngapain lagi kalau di kolam renang? Ruto pasti juga udah bisa nebak, kan?"


"…Yah, kira-kira."


Suara yang keluar dari mulutku lebih lemah dari yang kuduga.

Jantungku entah kenapa terasa gelisah, berdebar aneh.


Selain Yuuma, Seira juga katanya bakal datang.


Kolam renang. Lalu gadis-gadis cantik luar biasa. Meski mereka teman masa kecil dan partner dekatku, jelas mustahil untuk tetap tenang menghadapi situasi ini.


"Eh, lagian, Ruto pakaiannya juga bukan seragam sekolah, kan? Pasti udah nggak sabar tuh."


"Bukan gitu… ini sebenarnya Seira yang maksa. Dia kasih ini pagi-pagi sambil bilang, ‘Ini pilihan Seira-chan, lho!’."


Pakaian renang yang kupakai sebenarnya model standar, tidak ada yang istimewa. Aku sih tidak melihatnya spesial, tapi sepertinya bagi Seira hal ini penting.


"Kalau begitu, Yuuma juga…"


"Hm?"


"…Nggak, deh. Takut malah kepo terlalu jauh."


Yuuma yang menoleh dengan wajah bingung itu memakai rash guard biru muda. Entah kenapa ukurannya terlalu panjang, jadi bagian bawahnya menutupi sampai paha, membuatku tidak tahu ia pakai apa di bawahnya.


Mengira-ngira tentang hobi rahasia temanku itu tidak penting sekarang, jadi aku kembali mengarahkan pandangan pada kolam renang.


Barang yang tertinggal di musim panas.


Liburan musim panas yang kujalani sambil terus terseret oleh Seira memang tidak diragukan lagi menyenangkan, tapi kalau ditanya apakah aku benar-benar melakukan hal-hal khas musim panas, jawabannya tidak ada yang terpikirkan. 


Padahal sudah lama berteman, aku menyadari bahwa aku tidak punya ingatan pernah pergi ke kolam renang atau ke laut bersama Seira ataupun Nowa, dan perasaan itu membuatku agak gelisah.


"Ruu-kun, menungguku ya?"


Suara yang memanggil dari belakang membuat jantungku berdegup kencang seakan meloncat.


Aku menarik napas kecil tanpa sadar, mungkin untuk menenangkan kegugupanku.


Setelah menghembuskan oksigen yang menumpuk di paru-paru bersama sedikit keberanian, aku pun menoleh ke belakang.


Dan kemudian—


"……"


Sebuah hentakan keras bergetar di kepalaku.


Yang kulihat adalah Seira dengan bikini berwarna biru gelap, seperti warna langit malam yang dipenuhi taburan bintang.


Tubuhnya berdiri tegak dengan penuh wibawa, membuat lekuk dada yang kencang itu semakin jelas. 


Aku tahu ukurannya memang besar, dan di rumah dia sering mengenakan pakaian longgar yang kadang membuatku melihat belahan dadanya. Tapi dibandingkan itu, penampilannya dalam balutan bikini punya daya hancur yang berbeda.


Pareo yang terbentang tipis melayang-layang bagai jubah air transparan. Terlihat seolah menutupi tubuhnya, tapi justru membuat celana renang ketat di balik kain tipis itu semakin menonjol.


Perpaduan mematikan antara pesona anggun nan polos dengan daya tarik menggoda.


Gadis yang membusungkan dada dengan penuh percaya diri, layaknya malaikat di bawah langit biru, namun wajahnya menyunggingkan senyum nakal bak iblis sambil menatapku dengan mata berbinar penuh kesenangan.


Degup jantungku makin gaduh.


Tubuhku memanas seakan ada sirkuit dalam otakku yang putus.


Aku kehilangan kata-kata.


Aku takut kalau kata-kata sederhana dari kosa kataku yang terbatas justru akan menodai keindahan ini, sampai-sampai aku terpaku hanya menatap pesona Seira.


"Tak apa meski sederhana. Kalau itu keluar dari mulut Ruu-kun, bagiku itu sudah seratus poin."


"……Jangan asal membaca isi hati orang."


Aku bisa merasakan wajahku memerah.


Seira tersenyum kecil, seakan menikmati reaksiku.


Namun matanya yang biru itu bersinar polos, seperti anak kecil yang bersemangat.


Gadis secantik ini, dengan begitu polosnya, benar-benar menginginkan kata-kata dariku.


…Ya.


Aku ingin menjawabnya.


Aku ingin merespons sorot mata itu.


Aku menarik napas, menghembuskannya pelan. Jantung tetap saja berisik.


Aku memalingkan wajah sedikit, lalu mengucapkan kata-kata yang muncul di hatiku, kuserahkan pada sahabat kecilku.


"—Kau cantik sekali, Seira."


"……Ah, iya, aku tarik kembali ucapanku tadi. Bukan seratus poin. Kalau menilai kata-kata dari Ruu-kun, bahkan berapa pun jumlah nolnya tetap tak akan cukup."


Seira tersenyum lembut.


Ia merapatkan tangannya di depan dada, seolah sedang memeluk harta paling berharga.


Melihat itu membuatku senang, sekaligus malu. Aku buru-buru mengalihkan topik sambil melirik ke sekitar.


"Ngomong-ngomong, Nowa di mana?"


"Nowa itu makhluk yang penuh kewaspadaan. Tapi anehnya, punya insting teritorial yang kuat dan suka berkonflik. Meski begitu, kalau sudah percaya pada seseorang, dia bisa manja. Jadi sebaiknya jangan terlalu memaksa, lebih baik sabar menunggu dia keluar sendiri."


"Itu penjelasan ensiklopedia hewan?"


"Nowa, tidak usah takut. Jangan meringkuk di situ, ayo, keluarlah."


Seira melambaikan tangan ke arah ruang ganti.


Dadanya yang besar ikut berguncang karena gerakan itu, membuatku buru-buru mengalihkan pandangan. Apakah dia tidak sadar atau hanya alami, entahlah—yang jelas, tolong hentikan, aku ini juga seorang lelaki.


"U-um… Ruto."


Suara malu-malu memanggilku, membuatku menoleh.

Aku lengah.


Aku sudah lama bersama Nowa sejak SMP.


Dia sering mengenakan baju dansa yang terbuka, menampakkan pinggang dan pusarnya. Bahkan kemarin saat membersihkan kolam, aku sempat melihat bra-nya yang tembus pandang karena basah keringat. Jadi kupikir aku tidak akan terlalu kaget melihatnya dengan pakaian renang…


Namun kenyataannya—


"……A, ap…!?"


Jantungku melonjak seakan mau meledak.


Nowa mengenakan bikini model off-shoulder, memperlihatkan kedua bahunya. Penampilannya jauh melampaui dugaanku.


Memang benar, dibanding Seira ukuran dadanya kalah jauh. Tapi itu bukan berarti dia tidak menarik. Justru karena tubuhnya ditempa oleh latihan dansa, pinggang dan kakinya terlihat indah dan kencang.


Aku mengira dia akan memilih pakaian renang yang menekankan bagian itu, atau model yang tidak menonjolkan dada. Tapi ternyata—


Bahunya terbuka, kulit halusnya terlihat jelas.


Bukan hanya dadanya, tapi garis tubuh keseluruhanlah yang ditonjolkan.


Siluet ramping namun lembut, menggabungkan kekuatan dan keindahan.


Dengan kedua pahanya yang rapat karena malu, wajahnya tertutup selubung rasa gugup, tapi tubuhnya tidak bersembunyi. Kedua tangannya disilangkan di belakang punggung, sambil melirikku sesekali.


—Lihat aku.


—Lihat seluruh diriku.


Aku seakan mendengar suara itu dari tatapan matanya. Dadaku terasa sakit manis.


Biasanya Nowa selalu terlihat percaya diri, tapi sekarang ia menampilkan sisi dirinya seolah mengumpulkan keberanian. Itu punya daya pukau berbeda.


Misalnya, sisa samar bekas sinar matahari di bahu telanjangnya. Bagian yang biasanya ia tutupi… kini hanya untukku yang bisa melihat.


Rasa istimewa itu benar-benar mengaduk-aduk hatiku.


Nowa akhirnya bersuara dengan wajah memerah, melihatku yang terdiam kaku karena kebingungan.


"U-um, Ruto… katakan sesuatu dong."


"…K-kau cantik, Nowa."


"……T-terima kasih."


Aku tidak bisa menemukan kata-kata yang indah.


Yang keluar hanya ucapan sederhana yang penuh gugup dan rasa malu, seakan bisa pecah kapan saja.


Saat aku masih dilanda rasa malu yang menusuk—


"Auw!"


Sebuah jari mencubit pinggangku. Hah, sakit?


Aku menoleh kaget, dan di sampingku ada Seira dengan pipi menggembung.


"……Apa lagi?"


"Seira-chan sedang mengungkapkan protes keras. Lihat, pipiku sampai menggelembung begini."


"Protes? Tentang apa?"


"……Reaksi Ruu-kun ke Nowa lebih nyata."


"Nyata?"


"Reaksimu."


Ya Tuhan…


"Reaksiku padamu juga tidak ada yang bohong kok."


"Kalau begitu jelaskan. Apa yang membuat Seira-chan cantik? Uraikan dengan detail, indah layaknya buket bunga."


"Kau ingin membunuhku, ya?"


Aku sudah malu setengah mati, tolong jangan minta lebih.


Namun Seira masih saja cemberut dengan wajah serius. Wajah seperti itu jarang kulihat darinya yang biasanya ceria seperti matahari. Rasa cemburu kecil yang tiba-tiba ia tunjukkan… apa aku boleh menganggapnya manis?


"Hmph, Seira-chan ngambek. Kalau begitu aku akan berenang saja."


Tanpa peduli isi hatiku, Seira berjalan menuju kolam renang.


Langkahnya anggun layaknya berjalan di atas panggung peragaan.


Terdengar suara kaitan terbuka, lalu pareo tipisnya jatuh terlepas.


Paha putihnya yang terbuka seakan menyilaukan mataku, membuatku menyipitkan pandangan. Untuk mengalihkan pikiran, aku pun bertanya tentang hal yang sempat membuatku penasaran.


"Kau sudah bisa berenang sekarang?"


Pelajaran renang di SD.


Aku teringat bagaimana Seira menangis karena tidak bisa berenang, lalu hanya bermain air di tempat dangkal.


Aku tahu itu hanya kenangan masa lalu, tapi tetap saja, dalam pikiranku Seira selalu punya citra sebagai gadis yang tidak bisa berenang. Namun, seolah mengejek ingatan kuno itu, sahabat kecilku mengangkat bahu sambil berkata pasrah.


"Ruu-kun, aku ini Amerika, tahu?"


"Kau, ternyata Amerika, ya."


Bilangnya aneh banget, kasih kata ‘orang’ kek.


"Jadi, terus kenapa?"


"Gen kebebasan dari Negeri Paman Sam memberiku tinggi badan yang menguntungkan. Kebanyakan orang takut air karena tidak bisa bernapas di dalamnya, kan? Jujur saja, aku masih agak payah berenang. Tapi kalau setinggi ini, kakiku bisa sampai ke dasar kolam dengan mudah. Jadi nggak ada alasan buat takut air berlebihan."


Seira mulai ngoceh panjang lebar dengan teori yang terdengar masuk akal.


Lalu, berdiri di papan loncat, gadis yang baru kembali dari Amerika itu melangkah ringan dan jatuh ke dalam kolam.


Topon! Terdengar suara air yang jernih.


Permukaan yang ia tinggalkan membuatku teringat pada adegan dongeng. Gelombang riak melebar dalam lingkaran, dan suasana tenang itu seolah menunggu dewi dari mata air muncul.


"……"


Bersama Nowa dan Yuuma, aku tanpa sadar menatap permukaan air.


Riak mulai mereda. Suara pemanas yang berdengung terdengar begitu jelas di telinga.


Ketika Seira tidak segera muncul, aku mulai curiga――saat itulah.


Bubblubblubbluub!!


Gelembung-gelembung besar muncul dari dasar kolam, seakan memohon pertolongan.


"Dasar bodoh!!"


Aku langsung melompat ke kolam.


Baru kusadari, kolam ini dipakai untuk polo air. Lebih dalam dari kolam renang biasa. Aku tidak tahu persis berapa, tapi seingatku lebih dari dua meter.


Seira memang tinggi untuk ukuran perempuan, tapi jelas kakinya tidak sampai dasar. Sadar terlambat, aku buru-buru menariknya ke permukaan.


"――Puhah! Hei, Seira, kau nggak apa-apa!?"


"Kehokh, kohh… yah, ya, aku lengah. Aku terlalu percaya diri sama Amerikaku. New York itu kota yang lemah sama banjir, dan penduduknya juga nggak bisa lepas dari bencana air. Jadi wajar kalau aku juga lemah air, kan?"


"Aku nggak ngerti maksudmu, dan kenapa kau masih bisa sok tenang gitu…"


"Aku nggak tenang sama sekali! Lihat tangan ini yang mencengkeram tubuhmu! Pelukan panas ini bukan cinta atau kasih sayang, tapi SOS dariku! Terimalah, Ruu-kun!!"


"Baik-baik, jangan gerak, nanti tenggelam lagi!!"


Aku memang tidak payah berenang, tapi menopang dua orang dengan treading water jelas berat. Apalagi Seira menempel erat padaku, membuat lengan dan punggungku dihantam lembut oleh sensasi yang… ah sial, apa-apaan ini, enak banget――


"Ruu-kun kelihatan masih santai, ya."


Brengsek, dia bisa baca pikiranku lagi!


Dengan segala tenaga kutahan rasa gugupku, lalu berhasil menyeret Seira ke tepi kolam.


Baju kami basah kuyup. Nowa dan Yuuma segera berlari mendekat dengan wajah cemas.


"Hei, Seira, kau nggak apa-apa kan!?"


"Sepertinya tidak. Kalau Nowa memberi napas buatan, mungkin aku bisa selamat."


"Yah, kelihatannya kau baik-baik saja."


Entah tidak suka dengan sikap cuek itu, Seira langsung memeluk Nowa.


Suara tawa riang gadis-gadis berbikini menggema. Tetesan air yang beterbangan berkilau seperti cahaya, menghiasi mereka berdua.


Sambil menata napas, aku hanya bisa tersenyum lelah.


Aku tidak ingin dia melakukan hal berbahaya lagi, tapi… pemandangan ini hanya bisa kulihat sekarang. Saat kuusap rambut basahku, aku tanpa sadar terpaku pada keindahan itu.


Entah kenapa, aku ingin mengingat waktu ini. Menyimpannya dalam ingatan.


"Ruu-kun, ayo kita foto."


Aku rasa dia tidak menyadari tatapanku, tapi tiba-tiba Seira berkata begitu.


Nowa yang masih dipeluknya menatap curiga.


"Foto? Terserah sih, tapi kenapa?"


"Aku ingin menyimpan momen ini. Supaya suatu hari nanti bisa kulihat kembali, seakan aku bisa kembali ke hari ini kapan saja. Aku ingin kenangan ini berbentuk nyata."


"Berlebihan banget. Kita nggak perlu kembali ke hari ini, masih banyak kenangan menyenangkan lain yang bisa――"


"Tidak."


Aku memotong ucapan Nowa.


Aku juga ingin menyimpan waktu ini.


Apa yang Seira katakan… sama persis dengan apa yang tadi aku pikirkan.


"Ayo foto. Selagi ada kesempatan."


"…Kau kok tiba-tiba semangat banget. Jangan-jangan kau mau pakai foto bikini kita buat hal aneh ya?"


"Apa aku terlihat seburuk itu di matamu?"


"Hei, aku cuma bercanda."


Nowa terkekeh, lalu mulai mencari sudut bagus dengan latar belakang kolam.


Yuuma tanpa banyak bicara menyiapkan smartphone dan menyalakan kamera depan.


Seira mengibaskan air dari rambutnya, lalu tersenyum padaku sambil mengulurkan tangan.


"Ayo, Ruu-kun. Hari ini adalah peringatan Seira-chan hampir tenggelam."


"Bisa nggak kasih label yang lebih bagus sedikit?"


"Atau peringatan hari saat sang putri yang tenggelam diselamatkan oleh pangeran yang keras kepala."


"…Aku nggak tahu soal keras kepala, tapi jelas aku nggak cocok disebut pangeran."


"Oh? Jadi kau mengakui aku ini putri?"


Senyumnya membuatku memalingkan wajah sambil menggaruk kepala.


Pasti hanya kami yang tahu.


Aku yang tetap di Jepang, dan sahabat kecilku yang baru pulang dari Amerika.


Kami tahu betul… bahwa perpisahan datang tiba-tiba.

Bahwa saat berpisah itu menyakitkan.


Itulah sebabnya aku ingin menyimpan momen ini.


Meski hanya hari biasa.


Meski hanya tawa ringan yang seakan wajar.


Meski hanya hari musim dingin yang sedikit istimewa.


Meski hari-hari ini bisa terkubur di antara begitu banyak kenangan.


Aku ingin ada sesuatu yang bisa membuatku berkata, "Oh ya, kita pernah mengalami ini."


Satu foto yang bisa jadi alasan untuk kembali ke hari itu――


…Mungkin aku terlalu berlebihan?


Melihat Seira yang tertawa polos, aku malah jadi malu sendiri karena tenggelam dalam pikiran sentimental.


"Seira, Ruto, ayo cepat! Kita mau foto sekarang!"


"Ah, iya. Ayo, Ruu-kun."


Yuuma menaruh smartphone di tempat yang pas, lalu mengaktifkan timer kamera.


Bip… bip… suara elektronik itu terasa makin membuatku gelisah.


Tanpa sadar, bahu kami bersentuhan.


Bahu Seira di kanan. Bahu Nowa di kiri.


Mungkin mimpi indah "selamanya" itu tidak akan ada.


Tapi setidaknya sekarang, aku ingin menghargai jarak ini, kehangatan ini.


"Baik, senyum! Satu, dua… cheese!"


Aku tidak pandai tersenyum. Tapi, aku tetap berusaha untuk membentuk senyum.


Supaya suatu hari nanti, ketika aku melihat kembali foto hari ini, kenangan itu bisa sedikit saja terasa lebih berwarna.


Cekrek! Suara jepretan terdengar.


Kenangan musim dingin yang terpotret itu terasa benar-benar aneh, karena ada kolam renang dan baju renang yang jelas-jelas tidak cocok dengan musim ini.


Tapi, justru karena itu, suatu hari nanti kita bisa saling menertawakannya, lalu mengingat kembali hari ini.


Saat itu, aku berharap senyumanku yang kaku ini bisa terlihat sedikit lebih baik.


Itulah yang kupercayakan kepada diriku di masa depan.


***


Setelah itu, kami berempat kembali menikmati waktu di kolam renang.


Meskipun digunakan untuk polo air, pada dasarnya ini adalah kolam sekolah yang juga dipakai untuk pelajaran. Ada bagian dangkal yang bisa diinjak, jadi kami berkumpul di sana sambil bermain lempar bola.


Di tengah permainan, Nowa tiba-tiba berkata, "Ayo lomba, siapa yang bisa berenang lebih cepat!"


Akhirnya kami mengadakan pertandingan renang. Karena sama-sama keras kepala, jelas tidak cukup sekali saja. Kami berganti-ganti gaya, mulai dari crawl, gaya dada, hingga kupu-kupu, saling menang dan kalah berulang kali.


Seira yang bosan akhirnya mulai usil dengan menarik kakiku, dan dari sana semuanya jadi kacau. Ia juga tiba-tiba memelukku dengan tenaga penuh, membuatku tak bisa bergerak dalam berbagai arti. Sementara itu, Yuuma hanya tersenyum hangat dari tepi kolam, memperhatikan kami.


"Hei, Ruto."


Setelah beberapa saat, ketika aku sedang beristirahat kelelahan, Nowa mendekat.


Tetes... cipratan... suara air menetes terdengar.


Rambut hitamnya yang basah menempel di bahunya yang terbuka, kulit sehatnya berkilau oleh air. Setetes air mengalir turun di bagian dalam pahanya, membuatku refleks mengalihkan pandangan.


Entah bagaimana, Nowa menanggapinya dengan nada kesal.


"Aduh, dengan reaksi begitu, gimana caranya kau bisa tinggal bareng Seira?"


"Ya… aku biasanya menghindar saja kalau habis mandi atau semacamnya…"


"…Duh."


Dengan suara yang terdengar seperti disertai desahan, Nowa tiba-tiba meraih wajahku, menggenggam pipiku erat-erat.


Lalu ia memutar wajahku paksa agar menghadap ke arahnya. Gadis dengan senyum nakal dalam balutan baju renang itu berbicara dengan suara segar, seakan-akan membawa sisa musim panas.


"Kalau terus-terusan mengalihkan pandangan, itu nggak baik. Ada kalanya seorang gadis ingin diperhatikan. Daripada menjaga harga diri yang kaku, atau mencari-cari alasan karena malu, lebih baik kau tatap mataku dulu, lalu dengarkan suaraku."


Ponytail-nya bergoyang seperti menegur hatiku yang pengecut.


Aku menatapnya dengan mata terbelalak, sementara Nowa melanjutkan dengan suara lirih, seakan sedang berbisik rahasia.


"Hei, Ruto, aku punya sesuatu yang ingin kukatakan padamu."


"…Sesuatu yang ingin kau katakan?"


"Iya, tapi bukan sekarang."


Di pipinya yang basah oleh air, terlihat semburat merah samar.


"C-DAF juga sudah dekat. Jadi untuk sekarang, lebih baik kita fokus pada dansa. Mari jalani musim dingin ini dengan tarian penuh semangat, menari sekuat tenaga sampai habis-habisan. Setelah itu, ketika semuanya sudah selesai, barulah aku akan menyampaikan apa yang ingin kukatakan."


Sambil sedikit malu, Nowa tetap menatap lurus ke mataku.


Kekuatan dalam tatapannya membuatku terpikat. Untukku, yang selalu mudah menghindari banyak hal, mata lurus Nowa terasa lebih berkilau dan lebih kuat daripada permata apa pun.


"Ketika waktunya tiba, aku ingin kau memberikan jawaban atas perasaan yang akan kusampaikan."


Seperti mengulurkan jari kelingking untuk berjanji, Nowa mengikat janji denganku.


Aku tahu, ada hal-hal yang tidak bisa terus kuhindari. Ada jawaban yang harus kuberi.


…Itu semua, bahkan aku pun sudah memahaminya.


Jadi, ya.


Meniru tatapan lurus Nowa, aku mencoba mengumpulkan sedikit keberanian.


"Ya, saat waktunya tiba aku pasti akan menghadapinya."


Setelah tarian musim dingin ini berakhir, aku juga akan memberikan jawabanku.


Aku akan menghadapi apa yang selama ini kuhindari, dan menjawabnya dengan sungguh-sungguh.


"Iya, janji ya."


Nowa tersenyum lebar.


Janji untuk masa depan bukanlah alasan untuk menunda.


Justru karena saat ini begitu berharga, aku ingin menjawabnya dengan kata-kata yang tulus.


Mari kita menari sampai benar-benar habis tenaga.


Lalu setelah itu, aku yakin aku bisa memberikan jawaban.


Aku mengikat janji dengan gadis yang kuyakini seperti titipan musim panas di tengah musim dingin.


Janji itu kini kuikat erat dalam hatiku.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close