Penerjemah: Flykitty
Proffreader: Flykitty
Chapter 5
Dan Menjadi Bintangmu
Siswa kelas tiga SD──
Itu terjadi setelah aku pertama kali ikut lomba dansa dan kalah telak.
Aku merasa frustrasi, tapi aku tidak tahu bagaimana menghadapi rasa frustrasi itu, jadi aku tetap tinggal di studio dan menari tanpa arah.
Sebenarnya aku seharusnya lebih banyak refleksi dan analisis, mencari tahu dengan benar di mana letaknya kesalahan dan memikirkan bagaimana cara mengatasinya.
Tapi dengan hati anak SD yang masih belum matang, aku sama sekali tidak mampu melakukan kilas balik secerdik itu.
Kalau aku berhenti, aku merasa akan dihancurkan oleh rasa frustrasi dan kesedihan, jadi aku menari seperti sedang melarikan diri.
Meski begitu, air mata yang tidak tertahankan jatuh berderai dari mataku.
Tidak menyenangkan.
Perasaan itu pertama kali aku rasakan saat menari.
Dansa yang seharusnya selalu menyenangkan malah jadi menakutkan.
Kekalahan telak. Kekalahan yang menyedihkan.
Itu rasanya seperti sebuah penolakan terhadap semua tarianku selama ini, seolah diberitahu bahwa sekadar menari sesuka hati saja tidak cukup.
Bintang terasa jauh.
Aku mengagumi "sensei" yang bertarung gagah menghadapi panggung dunia.
Aku mengagumi para penari yang tampak bersenang-senang menari, seolah melesat melintasi langit malam yang begitu luas.
Aku pernah ingin menjadi sosok seperti itu suatu hari nanti.
Aku benar-benar pernah percaya aku bisa menjadi seperti itu.
Aku benar-benar percaya bahwa aku bisa mengubah dunia dengan duniaku.
Aku berpikir aku mampu melakukannya.
Pikiran yang kekanak-kanakan, tapi di dalam khayalanku aku selalu menjadi tokoh utama yang terkuat dan tak terkalahkan, yakin tanpa ragu bahwa masa depan yang menguntungkan sedang menungguku.
Karena itulah, ini adalah kegagalan pertamaku──tidak, bahkan menyebutnya kegagalan pun terlalu berlebihan.
Ini hanya kejadian di mana aku sadar akan kenyataan──menyadari posisiku sendiri.
Aku hanya tahu bahwa aku adalah penari yang meringkuk di tanah yang jauh dari langit penuh bintang itu.
Jauh, sangat jauh.
Saat aku menyadari posisiku sendiri, aku jadi malu pada diriku yang pernah bermimpi muluk.
Aku bukanlah tokoh utama di dunia ini. Aku hanya salah satu dari sekian banyak penari biasa yang bisa kau temukan di mana saja.
Aku tidak bisa menjadi bintang yang berkilau di langit malam. Aku hanya bisa memandang kilau menyilaukan itu dari bawah dan berbisik "indahnya" dari luar kerumunan.
Tentu saja, itu hanyalah kebencian diri yang agak berlebihan, yang muncul karena hatiku sedang rapuh.
Tapi saat itu aku tidak bisa percaya pada duniaku sendiri. Aku takut menari, aku tidak merasa senang menari, dan hati kecilku sama sekali tidak bisa menahan perasaan gelap itu.
Jadi aku hanya bisa menangis──
Dan saat itu ada tangan yang──
"Hey, Ruu-kun."
Ada seorang gadis yang menggenggam tanganku.
Seorang gadis asing berambut pirang indah dan bermata biru. Gadis penakut yang biasanya selalu gugup memperhatikan pandangan orang-orang di sekitarnya itu, pada saat itu memberanikan diri menggenggam tanganku.
Aku dibiarkan ditarik begitu saja.
Kami melewati kota, menembus keramaian orang, dua anak kecil menuju entah ke mana.
Dia membawaku ke taman alam.
Lalu kami naik ke bukit kecil, duduk berdampingan di bangku di puncaknya.
Matahari sudah benar-benar terbenam sepanjang perjalanan. Mungkin sudah lewat jam tujuh malam. Anak kecil saja di jam seperti itu memang berbahaya, tapi aku tidak punya ruang untuk memikirkan hal itu waktu itu.
"Hey, Ruu-kun. Lihat."
Di langit senja yang mulai redup, bintang-bintang kecil mulai tampak.
Langit biru memudar, berubah menjadi gelap, dan butiran cahaya seperti air mata berkilauan di sana.
Menatap langit penuh bintang yang terlihat begitu jelas berkat udara yang jernih──aku pun menangis.
Bukan lagi tangisan kecil dengan air mata menetes pelan seperti sebelumnya.
Aku menangis keras-keras tanpa malu-malu.
Aku tidak tahu apa pemicunya. Apa karena aku merasa lega hanya ada Seira di dekatku, atau aku merasa sedih karena aku hanya bisa menatap langit penuh bintang yang indah itu tanpa bisa menggapainya… pokoknya aku menangis. Menangis terus.
Saat aku menangis, Seira terus memelukku.
Sambil menyembunyikan wajah di dadanya, aku menangis seakan-akan ingin mengeluarkan semua perasaan gelap yang mengambang di hatiku. "Frustrasi, frustrasi, frustrasi…" aku menangis sambil berteriak dengan suara yang parau.
…Lalu emosi yang meledak itu, seiring waktu pun agak reda.
Seira terus mengelus kepalaku dengan lembut, sementara aku tersengal-sengal mengisap ingus.
Karena merasa lega setelah menangis habis-habisan, aku mulai merasa malu. Aku menjauhkan tubuhku dari Seira, lalu kembali menatap langit malam.
Langit penuh bintang yang berserakan itu tetap indah, aku refleks mengulurkan tangan, tapi aku merasa aku tidak akan pernah bisa menjangkau kilauan itu.
Dan sekali lagi, Seira menggenggam tanganku erat.
"…Ini, ya. Tempat yang sering aku datangi kalau lagi sedih," katanya.
Tangan Seira yang bertumpu di atas tanganku terasa hangat dan lembut, tangan seorang gadis.
"Di sini langit terasa dekat, bisa seperti punya cahaya bintang-bintang yang berkilau itu sendiri. Seakan-akan semua perasaan gelap ikut diterangi, dipenuhi oleh kilauan yang indah."
Aku mendengarkan suaranya sambil bersandar erat di sisinya.
Merasa hangatnya kulit yang bersentuhan, napasnya yang kecil. Merasakan seluruh Seira di sana.
"Tapi tahu nggak, sejak aku ketemu Ruu-kun aku jadi nggak datang ke sini lagi. Karena aku selalu jadi menunggu esok hari. Karena aku terus berharap cepat-cepat melihat dancenya Ruu-kun lagi."
Seperti membuka kotak perhiasan perlahan-lahan, Seira menyampaikan isi hatinya padaku.
Pipi merahnya yang terlihat malu-malu itu diterangi cahaya bintang.
Mata birunya yang menatapku berkilau seperti memantulkan hati yang polos.
Aku terpikat oleh gadis yang tersenyum di tengah malam itu──dan seketika waktu di dalam diriku berhenti.
Cicit-cicit, serangga berbunyi bagai lonceng kecil.
Desir-desir, dedaunan bersuara digesek angin malam.
Menembus semua bunyi itu, gadis yang tersenyum itu berkata.
Suara itu seperti suara yang menggandeng tanganku, berkata "ke sini" pada hati yang tersesat──
"Ruu-kun bisa jadi bintang, tahu."
Ada suara yang menemukan hatiku, yang bahkan aku sendiri tidak percaya.
"Dance-nya Ruu-kun dari dulu sudah jadi langit berbintang untukku."
Ada kata-kata bagai cahaya bintang yang menerangi hatiku yang gelap. Perasaan manis dan pahit meluap, dadaku terasa hendak pecah.
Di bawah langit malam yang bintang-bintangnya berkilau menyilaukan, senyum Seira terlihat paling bercahaya.
Dia lembut mendorong punggungku yang berhenti di jalan menuju mimpi, berbisik bahwa aku tidak salah. Itu membuatku bahagia, membuatku hangat.
Ujung hidungku terasa perih.
Perasaan yang kukira sudah habis keluar, kembali meluap dari dasar hatiku.
Tapi kali ini bukan perasaan kotor seperti frustrasi atau sedih.
Ada seorang gadis yang percaya pada duniaku.
Hanya itu saja sudah membuatku bahagia, bahagia, sampai dadaku penuh.
"Aku selalu suka dance-nya Ruu-kun, kapan pun."
Aku menangis lagi. Mengubur wajahku di dada Seira dan menangis keras-keras.
Seira menerima semuanya dan tersenyum padaku.
Seira memelukku terus, meski aku menangis sejadi-jadinya dengan wajah yang begitu menyedihkan.
Setelah itu aku segera melewati dinding itu.
Danceku berkembang pesat, aku terus menang dalam lomba, dan di usia anak SD aku tumbuh menjadi penari yang dikenal di tingkat nasional.
Tentu saja bukan berarti semuanya berjalan mulus. Aku pernah kalah telak lagi, pernah jatuh terpuruk lagi, tapi aku tidak berhenti.
Karena Seira selalu melihat dancemu.
Karena dia melihat dancemu dan tersenyum bahagia.
Aku ingin menari untuk senyum itu.
Aku ingin dia selalu tersenyum dengan dancemu.
Senyum Seira mengubah dancemu yang tadinya hanya berkeliaran di dunia yang membosankan menjadi langit penuh bintang.
Karena itu, aku──
Sejak saat itu, aku──
Kepadamu──
Baiklah, berhenti mengalihkan pandangan.
Meyakinkan perasaan hangat yang menyala di dadaku, aku menengadah ke langit.
Pada bintang-bintang yang bersinar di langit malam itu, entah kenapa aku merasa seolah-olah kali ini aku bisa meraihnya.
***
Di panggung utama, kegembiraan yang meluap bagaikan pusaran angin sedang bergemuruh.
Biasanya, "C-DAF" diselenggarakan di balai kebudayaan kota Tokyo, tetapi tahun ini panggung finalnya adalah studio stasiun televisi. Lebih tepatnya, pertandingan eksibisi yang akan dimulai sebentar lagi akan disiarkan secara langsung ke seluruh negeri.
Alasan stasiun televisi menyediakan tempatnya sesederhana itu.
Karena sudah dipastikan ada seorang penari yang pasti bisa menarik angka pemirsa.
"Pentasan impian penari SMA — ‘Christmas Dance Festa’ babak penyisihan Tokyo baru saja selesai, dan kini tinggal pertandingan eksibisi saja yang tersisa!"
Sang pembawa acara menyampaikan dengan lantang agar panasnya suasana di arena tidak mengendur.
Sambil senang mendengarkan sorakan dari penonton yang duduk di kursi yang disediakan studio, ia melanjutkan siarannya.
"Kami menghadirkan penari hip-hop kelas dunia, ‘NiCo’-san! Mohon perkenalannya!"
"Uh, senang bertemu… uuh, lama nggak tampil di TV, jadi gugup nih…"
"Oh, pakaian Anda sedikit robek, apakah itu bagian dari gaya fashion hip-hop juga?"
"Ah, tidak, itu, di jalan ke sini aku diserang anjing…"
"O-oh, begitu…"
Mendengar jawaban NiCo yang tampak tak berdaya, sang pembawa acara mengerutkan keningnya.
Kesannya jadi tak sesuai antara gelar besar dan sosok pemuda di depannya. Ia pun tak bisa menyembunyikan kegugupannya. Namun ia seorang profesional, dan ini sedang siaran langsung. Ia segera menata dirinya dan melanjutkan acara.
"Mulai sekarang, ‘NiCo’-san akan melakukan dance battle di tempat ini dengan penari SMA yang berhasil lolos dari penyisihan Tokyo. Bagaimana perasaan Anda?"
"…Ya, ini sudah jadi mimpiku sejak dulu."
"Maaf? Mimpi, maksudnya?"
"Aku ingin menari bersama anak itu dengan segenap tenaga. Akhirnya kesampaian juga. Ya, aku benar-benar menantikannya…"
"H-haah…"
Melihat senyum samar NiCo, pembawa acara hanya bisa kebingungan.
Ia menyadari tidak boleh membiarkan NiCo memegang kendali percakapan. Secara profesional ia langsung mengalihkan pembicaraan ke topik lain.
"Kali ini penari SMA yang lolos adalah yang pertama kali berhasil naik dari ‘Second Chance’ — yaitu dari babak repechage. Dengan tarian yang seperti orang berbeda dari babak penyisihan pertama, ia mengalahkan penari lainnya dan melaju hingga memenangkan turnamen! Internet dipenuhi dengan suara penggemar yang terkejut melihat perubahan drastisnya!"
Mendengar info itu, riuh rendah terdengar dari para penonton.
Hanya NiCo yang tetap tersenyum tenang seolah tahu semuanya.
"Kalau begitu, mari kita panggil. — Penari hip-hop yang berhasil lolos penyisihan Tokyo dan mendapatkan hak tampil di babak utama! Siswa kelas satu SMA Kanaha, ‘RuTo’-kun!"
Seiring perkenalan pembawa acara, diiringi sedikit efek, pemuda itu muncul.
Bukan sosok dengan penampilan mencolok. Menurut data pun, ia bukan seseorang dengan riwayat istimewa. Kalau mau jujur, ia hanyalah anak laki-laki biasa yang bisa kau temui di mana saja.
Namun, matanya bersinar.
Seperti seorang penantang dengan tekad yang kuat, atau seperti anak kecil polos yang baru saja mulai menari. Ia berdiri di sana dengan cahaya yang murni dan menyilaukan tersimpan di dalam matanya.
"…!"
Pembawa acara saja yang menyadari.
Bersamaan dengan kemunculan anak itu, aura penari hebat di sampingnya berubah.
Pemuda yang tadi menampilkan senyum lugu itu sekarang memandang anak itu dengan tatapan tajam seperti predator yang menemukan mangsa.
Di balik ketajaman itu terselip pula kelembutan seolah menyambutnya ke tempat ini. Perubahan yang rumit itu membuat pembawa acara kehilangan kata-kata.
NiCo berdiri dari kursinya dan berjalan menuju pemuda itu, ke arah panggung.
Skenario di luar naskah. Tapi tak ada yang bisa menyelanya.
Seolah menutup suara dunia luar, dua penari itu hanya saling memandang.
"Hei, Ruto."
NiCo memanggilnya pelan.
Ia ingin tahu alasan anak itu berdiri di sini, ingin tahu cahaya apa yang berpendar di matanya.
"Ruto yang sekarang, untuk apa menari?"
"Untuk menyampaikan pada orang yang kusukai, bahwa aku menyukainya."
Jawaban itu langsung keluar.
Keyakinan yang tanpa ragu itu membuat NiCo bahagia.
Dulu anak ini selalu bimbang.
Selalu terlalu peduli pada orang lain, sampai mengabaikan dirinya sendiri.
Padahal sebenarnya ia punya kemampuan yang bisa bersaing di dunia. Tapi setiap kali memikirkan hal-hal yang tak perlu, ia berhenti melangkah, kehilangan kepercayaan diri.
…Akhirnya, anak ini bisa membanggakan dirinya sendiri, ya.
Sebagai ‘sensei’ Ruto, ia benar-benar bahagia atas pertumbuhan itu.
Cangkang pun telah pecah.
NiCo kini mengakui anak di depannya sebagai lawan setara.
Di sini bukan lagi ‘sensei’ dan murid.
Yang ada hanyalah dua penari yang berdiri di atas panggung battle.
"Baik. Kalau begitu, kita menari, ya."
"Iya!"
Dan dimulailah.
Sebuah dance battle hanya untuk mendengarkan jawaban anak yang dulu selalu bimbang.
***
Aneh, aku merasa tenang.
Hati ini jernih.
Padahal ini pertarungan yang seharusnya tidak boleh kalah, tapi rasa ingin menari lebih besar daripada rasa takut kalah.
Jantungku berdegup girang.
Biasanya, sebelum tampil di turnamen, sampai detik terakhir musik diputar aku selalu mengecek koreografi di kepala atau menganalisis gerakan lawan.
Tapi kali ini aku berdiri di lantai dengan hati yang benar-benar bersih. Tidak ada rasa khawatir sedikit pun.
…Ya, singkatnya aku tanpa rencana.
Aku memang sudah menyiapkan beberapa trik untuk ini, tapi entah akan berguna atau tidak.
Dance battle berpihak pada yang bisa membawa momentum. Yang bisa menarik lawan ke dalam iramanya akan lebih dekat pada kemenangan. Tapi orang yang mengajariku menari ini, aku yakin tidak akan mudah goyah oleh trik-trik kecil semacam itu.
Jadi, ya, menarilah sesuka hati.
Tanpa memikirkan yang tidak perlu, tunjukkan saja tarianku.
Aku ingin menang, iya.
Tapi lebih dari itu, ada sesuatu yang ingin kusampaikan pada anak itu. Tapi untuk itu aku memang harus menang juga — ah, tidak, aku malah mikirin hal yang nggak perlu lagi.
Pokoknya, menarilah.
Aku tidak perlu merangkai kata untuk menjelaskan apa yang kupikirkan.
Biarkan semuanya diucapkan lewat tarianku.
Aku menoleh sejenak ke arah penonton.
Di sana, ada orang yang ingin kusampaikan isi hatiku.
Wajahnya yang terlihat cemas itu membuatku tanpa sadar tersenyum.
Butuh waktu lama untuk sampai sejauh ini.
Sebenarnya aku harusnya mengatakannya lebih cepat.
Tapi semua penyesalan dan hati yang penuh sesak itu akan kusampaikan lewat tarianku.
Aku meneguhkan niatku.
Alasan untuk berdiri di sini, keberanian untuk bertarung, semuanya sudah ada.
Baiklah.
Kembalilah ke hari itu.
Lewat tarianku, aku akan mengembalikan waktu ketika kau tersenyum padaku.
***
Aku dan yang lain mengawasi tarian Ruto dari kursi penonton.
"…Nowa, aku tidak begitu mengerti tentang bagus atau tidaknya tarian, tapi siapa yang lebih unggul?"
Seira, yang duduk di sampingku, menggenggam erat tangannya dengan wajah penuh kecemasan.
Saat tarian keduanya dimulai, kursi penonton memang sempat memanas, tapi sekarang suasananya menjadi lebih tenang. Tak ada yang bersorak keras, semuanya hanya terpaku menatap tarian ‘sensei’ dan Ruto dengan mata yang terpikat.
"…Sekarang masih tahap saling mengamati."
"Saling mengamati?"
Aku sebenarnya tidak berniat sok pintar, tapi demi Seira yang tidak begitu paham soal tari, aku mencoba menjelaskan menurut pemahamanku.
"Di dalam tarian, ada teknik mencolok atau semacam jurus pamungkas yang bisa membuat penonton heboh. Tapi kalau digunakan di awal, itu bukan hal yang baik."
"Hmm, kenapa begitu?"
"Soalnya kalau memperlihatkan teknik mencolok duluan, gerakan setelahnya akan terlihat biasa saja. Yang menilai tarian adalah manusia. Jadi kesan terakhir setelah tarian selesai, dengan kata lain bagian akhir yang paling dekat, kalau bisa dibuat lebih meriah, maka kemenangan akan lebih mudah didapat. Karena itu, biasanya awalnya ditahan dulu, lalu perlahan-lahan naikkan gigi. Itu alur dasar dalam tarian battle."
"Begitu ya, masuk akal."
"Lalu… yah, alasannya juga sama, tapi gerakan mencolok itu menguras tenaga. Memang menarik kalau dari awal langsung gas pol sebagai kejutan, tapi kalau kehabisan energi, ya percuma juga."
"Benar juga. Sama seperti saat melawan bos di game, kalau di perjalanan sudah kebanyakan pakai sihir atau skill, nanti saat lawan bos terakhir malah kekurangan MP. Hmm, itu tidak bagus. Aku mengerti."
"Kenapa ya, padahal analoginya pas, tapi begitu disamakan dengan game malah terdengar murahan."
Aku menyipitkan mata mendengar pemahaman Seira, lalu kembali fokus ke tarian Ruto dan sensei.
Saling mengamati itu hanya dugaanku, tapi kupikir tidak jauh meleset.
Gerakan mereka masih lambat… entah itu istilah yang tepat atau bukan. Baik sensei maupun Ruto masih menari dengan tenang.
Gerakan mereka mirip dengan menirukan dance move terkenal, seolah sedang menikmati percakapan rahasia berdua melalui tarian.
"Artinya, pertarungan yang sebenarnya dimulai nanti di babak akhir, ya?"
"Itu pasti. Tapi bukan berarti mereka meremehkan bagian awal, lho. Walaupun belum ada gerakan yang menonjol, baik Ruto maupun sensei tetap menari dengan hati-hati."
"Hati-hati? Kenapa begitu? Bukankah yang penting bagian akhirnya?"
"Untuk membuat bagian penting terlihat semakin kuat, bagaimana membawanya sampai ke sana juga penting."
"…?"
"Umm, bagaimana ya aku harus menjelaskannya…"
"—Mereka sedang membuat sebuah cerita lewat tarian."
Suara itu datang dari belakang, saat aku hampir kehabisan kata.
Ketika aku menoleh, seorang wanita cantik melemparkan wink dengan gaya yang dibuat-buat.
"…Kenapa Haruna-san ada di sini?"
"Jangan begitu dingin, Noir. Bukankah kita sudah melewati pertarungan sengit bersama? Bagaimana dengan cederamu?"
"Cuma keseleo. Tidak perlu terlalu khawatir, aku baik-baik saja."
Mendengar itu, Haruna-san terlihat lega dan menghela napas.
Hmm, meski sering bertingkah aneh, orang ini memang tidak bisa dibenci karena sisi-sisinya seperti ini.
Saat aku tenggelam dalam perasaan aneh itu, Seira bertanya pada Haruna-san.
"Yang dimaksud cerita itu apa?"
"Sama seperti manga atau anime. Puncak memang ada di akhir, tapi kalau proses menuju ke sana membosankan, pembaca akan berhenti membaca, kan? Karena itu, bagian awal juga harus punya daya tarik. Mereka menutupinya dengan kesempurnaan tarian mereka."
Aku terkesan. Seperti yang diharapkan dari Haruna-san, pandangannya tajam.
Tarian adalah olahraga yang dinilai dengan penglihatan, olahraga kesan.
Tak peduli dengan cara apa, kalau tidak ada sesuatu yang membuat orang berpikir, "Aku ingin melihat tarian orang ini!", maka penonton tidak akan tertarik.
"Tarian mereka terlalu presisi. Seakan mereka benar-benar mengenal seluruh tubuh mereka, tanpa gerakan yang sia-sia. Tenang namun penuh energi. Hanya dengan move dasar saja mereka bisa menampilkan tarian yang begitu memikat, di usia SMA hampir tidak ada yang bisa seperti itu. Kalau NiCo sih aku mengerti, tapi anak itu sampai bisa menari di level ini sungguh mengejutkan."
"Fufu, kan? Tarian Ruu-kun memang luar biasa!"
Entah seberapa dia mengerti, tapi Seira terlihat sangat senang mendengar Ruto dipuji. Sisi polosnya itu membuatku merasa hangat.
Haruna-san melanjutkan,
"Karena itu aku menantikan saat masa saling mengamati ini berakhir. Saat cerita mereka masuk ke bagian klimaks, aku ingin tahu seberapa hebat tarian yang akan mereka tunjukkan."
Dengan gaya angkuh, Haruna-san melirik ke arah kami.
Dan baru saat itu dia menyadari wajah Seira, lalu terkejut sampai bahunya meloncat.
"…P—‘Princess Seira’!? Kenapa kau ada di sini…!? A-aku sudah jadi fans sejak lama! Terutama waktu kau muncul di majalah ‘Sun Fashion’ edisi November kemarin, dalam sesi ‘Bersiap Menyambut Musim Dingin, Hangatkan Hati di Musim Dingin Ini!’—penampilanmu dengan cardigan itu sangat menakjubkan…!"
"Oh? Ternyata ada penggemarku di sini. Terima kasih. Ngomong-ngomong, aku penasaran, gaya fashion-mu ini terinspirasi dari heroine anime musim ini, bukan?"
"Hei! Kalian berdua, fokus ke tarian sekarang!"
Aku tak tahan dan meninggikan suara, membuat tatapan tajam dari orang-orang sekitar menghujani kami.
Aku buru-buru menutup mulut dan membungkuk minta maaf.
Ugh, padahal bukan salahku…
Merasa malu, aku meringkuk di kursi, lalu pundakku ditepuk dari samping dan belakang seolah memberi semangat.
Pandangan Seira dan Haruna-san seolah berkata "santai saja", tapi aku malah ingin meninju keduanya.
"…Hm."
Tiba-tiba Haruna-san bergumam.
Agak terlambat aku juga menyadarinya.
Lagu kedua, giliran Ruto.
Saat musik dimulai, ia langsung memulai dengan top rock, membuatku sadar.
—Akan datang.
Aku tidak menyangka Ruto yang akan mulai menyerang lebih dulu. Tapi sikap agresif itu sangat kusukai.
Aku menggenggam tangan Seira. Aku ingin dia juga melihat ini.
Tak peduli bagaimana akhir ceritanya, tak peduli apa jawaban yang keluar nanti, kami tidak boleh mengalihkan pandangan dari tarian yang akan dimulai.
"—Tunjukkan, Ruto."
Untuk saat ini, aku hanya ingin menyampaikan kata-kata itu kepadanya, sebagai partner sejati.
***
Sedikit lebih awal, tapi aku memutuskan untuk menyerang.
Bukan karena kurang percaya diri, hanya kenyataan bahwa kalau bertarung biasa, aku takkan bisa menang melawan sensei.
Dalam hal teknik dan pengalaman, aku jelas kalah. Karena itu aku butuh strategi untuk membalikkan keadaan.
"Aku mulai ya, sensei."
Sebuah kejutan.
Aku melangkah mengikuti irama dengan top rock, lalu langsung menjatuhkan tubuh ke lantai, memutar seperti gasing dengan power move.
Sorak "Ooooh!!" pun pecah dari penonton.
Selain karena gerakannya mencolok, juga karena perubahan genre tari yang tiba-tiba.
Peralihan dari hip-hop ke breaking.
Sebenarnya hip-hop adalah turunan dari breakdance, jadi bukan berarti aku mengubah aliran tari begitu drastis.
Garis pemisah di antara keduanya pun masih samar sampai sekarang, dan orang-orang dulu kabarnya biasa saja menguasai hip-hop dan breakin’ dalam satu lagu sebagai bagian dari street dance. Aku hanya membawanya ke panggung ini.
Aku memang punya minat. Aku juga punya waktu.
Selama setengah tahun aku berhenti menari, sebenarnya aku terus-menerus menonton video tari.
Pasti di lubuk hati aku tetap selalu mendambakan tarian.
Pertarungan para penari profesional, video tarian penari terkenal di internet, hingga kelas tari untuk pemula yang diunggah oleh seorang sensei dari sebuah studio tari.
Meski kulihat dengan tatapan kosong, pengetahuan dan minat itu tetap menumpuk di dalam kepalaku, dan setelah kembali menari, aku mencoba semuanya satu per satu.
Bukan berarti aku berniat mendalami tiap genre.
Hanya saja, setelah bisa kembali menari, aku benar-benar merasa senang, sampai tanpa sadar aku tenggelam dalam keseruan mencoba genre baru.
Gerakan jazz dance yang menuntut putaran sesuai ritme tajam, gerakan house dance yang menapaki langkah-langkah kecil di atas breakbeat, gerakan lock dance yang memadukan gerakan lincah dengan pose yang membeku.
Rangkaian teknik yang terus kuluncurkan membangkitkan sorak kagum dari penonton.
Di sana aku merasakan kepastian, dan di saat yang sama tenggelam dalam perasaan aneh.
Enam bulan tidak bisa menari adalah masa terberat dalam hidupku, tanpa diragukan lagi.
Namun, semua yang kutahan saat itu kini berputar kembali menjadi kekuatanku.
Itu terasa sangat aneh bagiku.
Aku tidak akan pernah menganggap hari-hari itu sebagai sesuatu yang baik.
Namun, aku juga berpikir.
Kalau saat itu aku tidak terpuruk, mungkin Seira tidak akan datang ke Jepang.
Memenangkan kompetisi tari lalu pergi ke Amerika.
Kalau aku terlalu terikat pada mimpi itu, mungkin pertemuan dengannya baru terjadi di masa depan yang jauh.
Setidaknya, kami tidak akan bersekolah di SMA yang sama, dan aku tidak akan pernah melihat pemandangan Seira dan Nowa berada di kelas yang sama.
Masa lalu tidak bisa diubah, penyesalan pun tidak bisa dihapus.
Namun, tanpa semua itu, tidak akan ada masa kini yang terbentuk dari tumpukan masa lalu.
Kalau begitu, yang perlu kulakukan hanyalah menari sekuat tenaga di masa kini yang berhasil kuraih.
Menelan habis masa lalu dan masa kini, lalu menari menuju esok.
Agar aku di hari esok bisa sedikit lebih ikhlas melangkah ke depan, aku harus menari dengan sepenuh hati sekarang.
Pasti itulah arti aku menari.
Dengan dentuman kakiku menghentak lantai, aku keluar dari panggung.
Aku menyerahkan giliranku.
Aku merasakan kepuasan. Reaksi penonton pun bagus.
Tentu aku tidak tahu bagaimana tanggapan di internet, tapi setidaknya aku bisa puas dengan tarianku sendiri. Tarian yang kubawakan dengan perasaan seperti ini biasanya selalu menghasilkan hasil yang baik.
Aku mendongak.
Orang yang selalu mengajarkanku menari ini, bagaimana reaksinya?
Apakah dia senang melihat perkembanganku?
Ataukah dia menatapku dengan ekspresi menantang, seakan bilang aku masih terlalu mentah?
Sambil membawa sedikit harapan, aku melihat ke arahnya.
…………………Haa, begitu.
‘Sensei’ menghembuskan napas dingin.
"…………………Hah?"
Helaan napas? Di sini? Untuk apa?
Isyarat kekecewaan yang begitu jelas membuat kepalaku seketika kacau.
Meski begitu, aku memaksa pikiranku yang goyah untuk bekerja, mencari penyebabnya.
…Apakah aku melakukan kesalahan fatal?
Aku tidak tahu, tidak merasa melakukannya.
Namun kepalaku berdenyut dengan firasat buruk yang mencengkeram.
Seperti trauma masa kecil yang kembali, aku mengingatnya.
――‘Sensei’ yang menari itu menakutkan.
Biasanya dia lembut, memuji tarian apa pun, tapi begitu dia berada di panggung, dia menuntut kesempurnaan dari penari yang menari bersamanya.
Kalau ada penari lain yang menari setengah hati, ‘Sensei’ akan tampak kecewa terang-terangan. Seolah marah karena dunia suci tari telah dicemari.
Reaksi ‘Sensei’ barusan, itu.
…Apa aku melakukan sesuatu…?
"Masihkah Ruto terperangkap di sana?"
Hanya itu.
Tidak ada penjelasan khusus.
Dengan suara dingin itu saja yang diarahkan padaku, ‘Sensei’ mulai menari.
"……………Apa!?"
Pikiranku membeku oleh kejutan dari tarian yang ditunjukkan. Kepalaku diselimuti sepenuhnya oleh keterkejutan.
Ruangan pun sejenak kehilangan suara, namun segera meledak dalam sorakan riuh.
Di sana, ada tarian yang benar-benar luar biasa.
"…Ini, apa…"
Bukan tarian aneh atau sesuatu yang asing.
Dia tidak melakukan hal yang mencolok, koreografinya sederhana. Gerakan langkah yang dikeluarkan, juga alur keseluruhan, tidak ada yang benar-benar baru.
Bukan sombong, tapi kalau bicara soal tingkat kesulitan, gerakanku tadi justru lebih sulit.
Namun dia hanya menggerakkan tubuhnya mengikuti irama.
Gerakan polos seorang anak kecil yang baru saja belajar menari, hanya perpanjangan dari itu.
Tarian ‘Sensei’ adalah itu.
Hanya saja gerakan itu ditampilkan dengan kesempurnaan yang menakutkan――
Meskipun begitu, tarian itu langsung menguasai hati penonton dalam sekejap.
"…Apa-apaan itu!"
Gerakannya bisa kupahami, tapi hasil yang diciptakannya tidak bisa kumengerti.
Pikiran tentang "puncak hip-hop dance" melintas di kepalaku.
Dalam situasi yang menyesakkan, aku berusaha keras memeras otak.
Untuk mencari kemungkinan tipis kemenangan, aku menganalisis tarian ‘Sensei’.
Seniman, petarung.
Dalam dance battle, penari terbagi ke dalam dua tipe itu.
Seniman adalah tipe yang mengejar kesempurnaan tarian.
Mereka terus mencari kualitas, selalu sadar untuk ‘menunjukkan’ bahkan di panggung battle. Karena itu, kalau lawannya menampilkan tarian buruk, mereka menunjukkan sikap kecewa. Meski membuat dirinya diuntungkan, mereka sangat membenci kalau kesempurnaan tarian berkurang.
Petarung adalah tipe yang hanya mengejar kemenangan.
Bagaimanapun caranya. Tanpa peduli proses atau metode, hanya mengejar kemenangan dalam battle. Bahkan kalau harus kotor, bahkan dengan cara yang disebut curang, yang penting hasilnya.
‘Sensei’ adalah tipe seniman sejati.
Aku kali ini memakai kejutan dengan mengadopsi genre lain, artinya aku tipe petarung.
Perbedaan gaya itu, apakah yang menciptakan jurang jelas di antara aku dan ‘Sensei’…?
"…Karena aku tidak bisa sepenuhnya percaya pada hip-hop…?"
"Bukan itu."
Suara penolakan yang segera datang.
‘Sensei’ yang mengatakannya hanya menampilkan wajah dingin lagi.
…Menakutkan.
Perasaan itu saja memenuhi hatiku. Makin meluap.
Tarianku tidak bisa menandingi. Itu tidak masalah. Soal teknik bisa diatasi dengan usaha. Kalau kalah di sana, dengan waktu dan latihan, aku pasti bisa mengejarnya suatu hari nanti.
Tapi tatapan ‘Sensei’ terasa seperti menolak inti diriku.
Seakan dewa tari sendiri telah meninggalkanku.
…Menakutkan.
Menakutkan, menakutkan, menakutkan, menakutkan.
Kekalahan ini, pasti tidak akan berakhir hanya sebagai kekalahan biasa.
Di dalam hatiku yang mencintai tari, kekalahan ini akan meninggalkan luka yang tidak akan pernah hilang.
Aku harus melakukan sesuatu.
Meskipun hatiku terburu-buru, pikiranku berjalan lamban.
Kartu truf yang kupersiapkan untuk pertarungan ini, begitu mudahnya dilampaui.
Guncangan itu terlalu besar.
Lagu ketiga. Aku sulit untuk segera bergerak, sampai akhirnya sadar kalau giliranku tiba karena riuh penonton di sekelilingku.
Dari sana aku buru-buru mulai menari, tapi aku tidak tahu apa yang harus kupikirkan.
Tarian adalah olahraga hati.
Kalau hati masih ragu, tarian itu tidak akan pernah sampai pada siapa pun.
Seperti yang kuduga, reaksinya datar saat giliranku. Dibandingkan dengan tarian "sensei", jelas aku kalah jauh. Bahkan tatapan penuh iba yang samar-samar terasa dari penonton pun tidak memunculkan rasa kesal dalam diriku.
Begitu saja, giliranku berakhir.
Begitu giliran "sensei" dimulai, aula kembali bergemuruh oleh sorak-sorai yang menggelegar.
Dan mendengar suara itu, hatiku patah seketika.
…Ahh… ini, kekalahanku ya…
Yang muncul bukanlah keputusasaan, melainkan… penerimaan.
Sejak awal memang begitu. Mana mungkin seorang murid SMA biasa sepertiku bisa menandingi "sensei" yang berkiprah di puncak dunia.
Kata-kata menyedihkan bermunculan, seakan untuk menenangkan diriku sendiri.
…Tapi, mau bagaimana lagi.
Kalau sudah diperlihatkan perbedaan sejauh ini, semangat untuk bertarung pun tidak bisa muncul.
Lagi pula ini cuma pertandingan eksibisi.
Hanya permainan. Acara hiburan untuk menikmati murid SMA menantang penari profesional. Tidak ada seorang pun yang sungguh-sungguh berharap aku menang.
Nyatanya, dari bangku penonton pun terdengar suara-suara hangat seperti "wah, kamu sudah berusaha keras, ya."
…Iya kan… aku memang sudah berusaha keras…
Melihat reaksi penonton, sepertinya mereka tidak kecewa dengan tarianku. Hanya saja tarian "sensei" benar-benar terlalu luar biasa. Bukannya tarianku tidak pantas ditonton.
Aku sudah menumpahkan seluruh kemampuanku kepada "sensei".
Tapi tidak sampai. Hanya itu saja.
Kalau kupikir begitu, dadaku sedikit terasa lega.
Memang menakutkan, tapi itu juga bukti kalau "sensei" untuk pertama kalinya menanggapi tarianku dengan sungguh-sungguh.
Aku akhirnya bisa berdiri di panggung yang sama, benar-benar sejajar dengan orang yang selalu kukagumi.
Perasaan kecewa memang ada, tapi bersamaan dengan itu juga ada kepuasan yang segar.
Kekuranganku bisa kulengkapi mulai sekarang. Aku akan berusaha, sebanyak apa pun yang dibutuhkan. Kekalahan ini akan kujadikan bekal untuk berkembang lebih jauh.
Ini bukanlah akhir.
Lagi pula ini cuma eksibisi. Kalah di sini tidak membuatku kehilangan apa pun.
………
………
…………………benarkah begitu?
"Ruuu-kunnnnnn!!"
"……Eh?"
Sebuah suara.
Aku mendengarnya.
Suara yang meraih hatiku yang sudah berpaling ke belakang, lalu dengan paksa menariknya maju ke depan.
Itu—menembus diriku.
"……Seira?"
Aku menoleh ke arah penonton dengan linglung.
Mungkin karena dia berdiri, aku segera menemukannya.
Teriakannya yang tiba-tiba membuat banyak orang menoleh ke arahnya.
Tapi dia tidak peduli.
Seira menarik napas panjang, lalu berteriak dengan suara yang seakan menghempaskan seluruh isi hatinya.
"Semangaaaattttttttt!!"
Itu suara seorang putri yang manja.
Dia tidak mau melihat sang tokoh utama kalah.
Suara seorang heroine egois, yang tidak peduli dengan alur cerita.
Tatapan kami bertemu, jelas sekali.
Rasanya sudah lama sekali sejak terakhir kali aku benar-benar menatap mata Seira.
Pipinya merah, mungkin karena dia terlalu bersemangat, napasnya terengah-engah.
Mata yang berkilau itu mengatakan segalanya.
Hatinya terhubung, dan berteriak kalau perasaan itu nyata.
—Seira.
—Dia ingin aku menang.
"……Sialan."
Rasa frustasi berlari liar ke seluruh tubuhku.
Darahku mendidih, panasnya tersebar ke sekujur tubuh lewat pembuluh darah.
Bodoh sekali aku ini.
Bagaimana bisa aku tidak sadar sampai sejauh ini.
Tidak ada yang berharap aku menang?
Kenapa aku berpura-pura keren dengan berpikir begitu, seakan aku sudah ditinggalkan.
Padahal ada suara yang begitu menantikan tarianku.
Ada mata yang berkilau penuh harapan, menantikan gerakanku.
Dan aku tidak berusaha membalas harapan itu?
Apa aku kira aku bisa tetap maju seperti ini?
……
Proses tidak penting. Cari hasilnya.
Panggil kembali rasa lapar akan kemenangan yang sudah lama terpendam di dasar pikiranmu.
Ingat lagi.
Yakinkan lagi.
Apa bahan bakar hatimu untuk terus menari?
"………Seira belum tertawa, kan."
Di hatiku yang patah, sesuatu menyala kembali.
Aku merasa malu luar biasa karena melupakan hal yang tidak bisa digadaikan.
Tapi aku menelan semuanya, lalu menyerahkan diri pada dorongan yang menyembur keluar.
Jantungku berdegup liar.
Darahku mendidih, menggelegak di seluruh tubuh.
Ada percabangan.
Aku memilih jalur ke arah yang benar-benar ingin kutempuh.
Ketekadan busuk yang mencoba berdamai dengan kata-kata manis, hancur kukunyah hingga remuk.
Yang kubangun kembali adalah—harga diri.
Gertakkan gigimu.
Bertekuk lututlah dalam usaha yang kotor sekalipun.
Percayalah kalau kaulah penari terbaik di dunia.
Kalau aku tidak menggapai bintang di sini, kapan lagi aku akan bisa mendapatkan cahaya itu!?
"Uaaaaaaaaaahhhhhh!!"
Aku berteriak, seakan membangunkan semua sel yang tertidur dalam tubuhku.
Aula berguncang oleh riuh yang aneh.
Suasana seakan bimbang, membuat panas yang tadinya membara jadi tertutup kabut.
Biarlah.
Aku tidak akan tergoyahkan lagi oleh tatapan sekitar.
Aku akan menari seperti yang kuinginkan.
Aku akan menari untuk meraih apa yang ingin kugenggam.
Dan hanya ada satu cara untuk itu—
"Aku harus menang!!"
Alasan menari?
Agar aku bisa sedikit lebih puas dengan diriku esok hari?
Bukan itu.
Aku membakar habis segala pikiran hina dan pengecut dengan api hasrat yang mendidih. Semua itu hanyalah alasan murahan milik pecundang yang tak mampu mempertaruhkan segalanya pada momen ini.
Mereka yang tak punya keberanian untuk menelanjangi seluruh dirinya, tak punya hak sedikit pun untuk meraih keinginan.
Kalau aku tidak mengulurkan tangan pada bintang sekarang, selamanya rasa kagum itu hanya akan tinggal sebagai kagum!
"Sekarang juga! Dengan danceku! Aku akan melampauimu! Aku akan mengalahkanmu!!"
Dengan mata yang menyala merah membara, aku menatap tajam ke arah 'sensei'.
Lagu keempat. Lagu terakhir.
Sambil melahap setiap dentuman beat yang menggema di aula, aku menerjunkan diri ke panggung.
Dan pada saat itu――
"………………fufu."
Sekilas aku menangkap wajah 'sensei'.
Entah bagaimana, bibirnya seolah membentuk senyum kecil.
Begitulah perasaan yang kurasakan.
***
『Eh, dia barusan teriak sesuatu』
『Menyedihkan. Jelas-jelas sudah ketahuan kalau level mereka beda jauh, kan』
『Ah, itu. Kayak tipe orang yang percaya masih ada arti untuk berjuang sampai akhir gitu』
『Tapi ya, dance "RuTo" barusan juga gila sih. Kayak nggak percaya itu orang yang sama pas kualifikasi dua minggu lalu. Waktu itu dia sakit, ya?』
『Hei, itu di kursi penonton bukannya "Princess Seira" ya?』
『Lagu keempat, Bobby Brown "Every Little Step", ya? Dua-duanya kan dancer hip hop. Kayaknya panitia juga pilih lagu ini biar seimbang』
『Woi, "RuTo" dari awal udah kebut banget』
『Ya wajar sih, terakhir. Kayaknya dia mau habisin semua tenaganya』
『Tetep aja, kebut banget』
『Lihat matanya deh. Gila, tajem banget』
『……jangan-jangan dia beneran mau menang?』
『Mana mungkin lah. Lawannya itu "NiCo"』
『Kalau iya, berarti beneran nggak tahu diri tuh』
『Tapi……』
『Dia gila-gilaan banget. Sampe bikin ketawa』
『Dia kan dulu pas SMP sering langganan jadi finalis nasional. Mungkin dia beneran percaya bisa menang. Yah, mungkin jadi sombong juga』
『Kalian tadi nggak lihat dancenya? Mana mungkin bisa menang』
『Hah, malah bikin males nonton. Ini kan cuma ekshibisi, santai aja lah』
『Bener banget. Nggak bisa baca situasi nih anak』
『Tuh, lihat. Suasana jadi kaku gitu. Kalau ada satu orang yang terlalu serius, yang lain malah jadi nggak enak nontonnya. Malu bareng gitu』
『Udahlah, biarin "NiCo" yang mecahin hidung si sombong itu』
『Yaudah deh, liatin aja dulu』
『Iya. Semoga ada sedikit tontonan bagus lah』
『Ayo, semangat, semangatー』
『…………』
『…………』
『…………』
『…………………eh?』
『……nggak, maksudnya…… gimana ya……』
『……itu…… gila banget nggak sih……?』
『……oi, ini gimana ceritanya. Itu beneran dance "RuTo"?』
『Ya iya lah, siapa lagi. Tapi……』
『Sumpah, ada yang bisa jelasin nggak? Apa yang keren?』
『Kayaknya sih…… bukan soal teknik. Lebih kayak energi…… semacam jiwa yang dilempar ke tarian』
『…………dia tersenyum?』
『Iya, dia tersenyum……』
『…………』
『……kayaknya aku mau nyobain vote buat "RuTo"』
『Eh, jangan gampang kepengaruh lah. Bagaimanapun, lawannya "NiCo". Mustahil menang』
『Iya sih, tapi……』
『Udahlah. Kalau masih ada yang nggak kebawa suasana setelah lihat ini, percuma juga dijelasin』
『Wah, jadi makin seru!』
『Serius nih? Beneran ada kemungkinan? Seorang anak SMA ngalahin "NiCo"?』
『Hmm…… tetep aja, itu nggak mungkin sih』
『Aku kabarin temen-temen dancerku』
『Aku juga. Sayang banget kalau dilewatin』
『Gila, aku jadi pengen ikutan nari!』
***
Kegembiraan itu menular.
Dance yang dipenuhi jiwa, ibarat magnet yang menarik hati siapa pun yang menontonnya.
Di sebuah papan iklan elektronik pusat perbelanjaan, pertunjukan itu disiarkan.
"Eh, ini apaan sih, dance?"
"Ah, itu 'NiCo' kan! Aku suka banget tarian dia, keren banget!"
Sekelompok mahasiswi yang lewat berhenti karena penasaran.
Tak seorang pun dari mereka benar-benar paham tentang dunia dance.
Momen itu hanya kebetulan tertangkap mata, dan seharusnya bisa berlalu begitu saja.
"Kayaknya ada lomba dance…… atau ekshibisi? Jadi kayak anak SMA nantangin dancer dunia 'NiCo'?"
"Ah gitu. Jadi semacam acara hiburan aja kali ya. Mungkin 'NiCo' juga sengaja nahan diri"
"Haha, semangat ya anak SMAー!"
Dengan pikiran santai, mereka menatap layar.
Memandangi tarian seorang anak laki-laki.
Mereka tidak tahu cara menilai dance.
Kesan pertama yang muncul hanya: "Wah, dia keliatan maksa banget ya."
Tapi jelas dia all-out. Tanpa peduli penampilan, dengan mata yang menyala tajam, anak itu menari. Wajahnya penuh keringat. Nafasnya terengah. Gerakannya memang tajam dan tegas, tapi di sela-sela itu, ada kesan seakan dia bisa jatuh kapan saja. Ada aura berbahaya yang aneh.
"……"
Perlahan, sedikit demi sedikit.
Tatapan mereka berubah.
Mereka tak bisa melepaskan pandangan.
Wajah mereka yang tadi tersenyum santai, kini berubah.
Tarian lurus dan sungguh-sungguh dari anak itu menyedot seluruh perhatian mereka.
"……ini…… gimana ya"
"……iya, kayak…… ada sesuatu"
Mereka saling pandang, bingung dengan rasa panas yang tiba-tiba membuncah di dada.
Mereka mungkin tidak paham tentang dance, tapi mereka bisa merasakannya.
……Anak ini serius.
……Dia sungguh-sungguh berniat menang.
Dan bukan cuma mereka.
Siapa pun yang menonton layar itu, perlahan berhenti.
Kegembiraan itu menular.
Seseorang menyadari: hasil pertandingan ditentukan lewat voting online. Di sudut layar, ada URL dan QR code menuju situs acara.
Seseorang mengeluarkan ponselnya.
Orang lain mengikuti, satu per satu membuka ponsel mereka.
――Pilihlah, dance siapa yang menurutmu lebih baik!
――Dukung dancer dengan satu suara darimu!
Teks polos di layar voting itu terlintas, tapi tangan mereka benar-benar bergerak.
Karena tarian anak itu memiliki cukup energi untuk menggerakkan hati orang.
Dan pemandangan yang sama mulai muncul di berbagai tempat di seluruh Jepang, pada saat yang sama.
Pikiranku sudah melayang entah ke mana.
"…Kaha, heh, gah, haa―hah, hahahahahahaha―!"
Dari mulut yang sama keluar napas kasar yang mencari oksigen dan tawa yang terdengar kacau.
Aku menyerahkan segalanya pada insting.
Aku memaksakan citra ideal yang memenuhi otakku kepada diriku sendiri.
Teknik-teknik yang biasanya kutahan, karena harus menyesuaikan dengan stamina dan skill-ku, semuanya kulepaskan.
Aku sadar telah membuang pengaman itu dan memilih untuk menjerumuskan diriku ke tarian gila yang penuh nekat.
Seperti ember yang ditumpahkan, aku bisa merasakan stamina yang mengalir keluar begitu cepat.
Kepalaku panas, seperti digesek dengan keras.
Jantungku berdegup seakan hendak meledak, dan rasa sesak tak kunjung berhenti.
Kepalaku berdenyut sakit, seiring itu pula penglihatanku bergetar hebat.
Aku bahkan tidak tahu bagaimana aku masih bisa menari dalam kondisi ekstrem seperti ini―
Meski begitu, aku tertawa.
"Hah, hah, hahah, hahahahaha―!"
Aku tidak sedang memaksakan diri.
Aku juga tidak sedang memaksa bibirku tersenyum hanya demi ekspresi dalam tarian.
…Aku benar-benar menikmatinya.
Menari sambil mengorbankan segalanya, momen itu membuat diriku terisi penuh.
Aku tenggelam di dalamnya.
Tiba-tiba aku teringat sepotong momen kecil dari keseharian.
Saat aku menonton anime bersama Seira.
Di layar, sang tokoh utama terus bertarung meski tubuhnya sudah babak belur penuh luka. Aku pernah bertanya waktu itu:
Kenapa tokoh utama ini tetap bertarung sampai hancur-hancuran begini?
Saat itu Seira menatapku dengan wajah heran dan menjawab:
"Sudah jelas, karena dia ingin melihat senyum sang heroine."
Ingatan itu membuat dadaku berdetak kencang.
Itu adalah tunas kecil dari sebuah tekad.
Seperti anak kecil yang mendambakan pahlawan, aku kini menanamkan kembali kerinduan kekanak-kanakan itu pada diriku.
"Aku juga akan jadi seperti itu…" gumamku pelan di dalam mulut yang penuh rasa darah.
Hatiku lemah, tekad dan keberanianku sering goyah, kekuranganku bahkan tak terhitung jumlahnya―tapi meski begitu, aku tahu tujuan yang kutuju sama dengan tokoh itu.
…Itulah sebabnya, aku juga akan jadi seperti itu.
Aku akan menjadi pria yang bisa melindungi senyum orang yang penting bagiku.
Tubuhku terasa ringan sekejap, hanya sebentar.
Tapi karena aku keburu mencoba putaran mencolok, tubuhku langsung menjerit kesakitan.
Menyedihkan.
Memalukan.
Namun, aku tidak bisa membenci diriku yang seperti itu.
Dengan senyum lelah, aku bertanya pada diri sendiri seakan sedang mencari jawaban:
Daripada sok keren lalu memilih menyerah dengan alasan, bukankah lebih cocok kalau aku berjuang keras sampai akhir meski kotor dan lusuh?
Tanpa perlu diarahkan pada siapa pun, aku menguatkan tubuhku yang sudah compang-camping.
Aku bahkan tidak tahu lagi tarian apa yang sedang kulakukan.
Satu-satunya andalan hanyalah refleks insting, pengalaman menari yang telah kupupuk selama ini.
Sisanya adalah kemauan.
Rasa sakit yang mendidih, penderitaan yang membakar, semuanya kulemparkan sebagai bahan bakar demi menari.
Yang kubutuhkan hanyalah apa yang bisa membuatku tetap menari, selain itu semuanya kubuang.
Sensasi seperti ada sesuatu di otakku yang digerus.
Sensasi semangat yang membara dari dalam tubuhku.
Dua perasaan yang saling bertentangan itu mengamuk sesuka hati di seluruh tubuhku.
Kesadaranku sudah separuh hilang.
Yang kulakukan hanyalah terus menari.
Aku ingin menari.
Aku menari, menari, menari, lalu―
"―――Ruto."
"…!"
Hah, kesadaranku kembali.
Bersamaan dengan itu, aku menyadari rasa lelah yang luar biasa.
Rasanya kakiku mau goyah―dan tubuhku tertopang oleh seseorang yang ternyata adalah ‘sensei’ yang entah sejak kapan sudah ada di dekatku.
"…Belum… belum, aku masih bisa menari…"
"Ruto."
Saat aku hendak kembali memulai tarian, ‘sensei’ memanggil lagi. Kemudian dengan senyum tipis yang tampak pasrah, ia berkata:
"Sudah selesai."
Dengan otak yang kekurangan oksigen, butuh waktu bagiku untuk mengerti maksudnya.
Selesai.
Selesai.
…Selesai?
Selesai apa? aku hendak bertanya―
Tapi saat itu aku menyadari tatapan ‘sensei’ sedang tertuju ke arah belakangku.
Bukan hanya ‘sensei’.
Para penonton juga menatap ke arah yang sama, dengan wajah terkejut hingga kehilangan kata-kata.
Apa yang ada di sana―
Aku menoleh.
Layar elektronik raksasa yang digunakan sebagai latar panggung.
Yang terpampang di sana adalah tulisan "Hasil Voting".
『NiCo』 921 suara
『RuTo』 921 suara
Seperti biasa, pemahamanku sedikit terlambat.
Baru setelah memastikan, aku sadar.
Namun meski kucek berulang kali, angka yang kulihat dengan pandangan kabur tetap sama.
Seri.
***
Di balik panggung stasiun TV, kekacauan meledak karena hasil tak terduga.
"Hei, imbang? Bisa begitu?"
"Bagaimana sekarang? Bagaimanapun ini cuma ekshibisi, kita sudahi saja dengan hasil seri?"
"Penonton dan pemirsa nggak akan terima! Lihat reaksi di SNS! Semua teriak minta perpanjangan! Kalau kita hentikan di sini, acara ini akan dihujat habis-habisan!"
"Tapi apa boleh buat! Masa sih sekarang kita bilang siaran diperpanjang―"
Staf program panik seperti sarang lebah yang diganggu.
Tidak ada seorang pun di sini yang berwenang mengambil keputusan sepihak untuk memperpanjang acara. Tapi kalau acara ini dipaksa selesai, tidak ada yang tahu bagaimana reaksi publik nanti.
Saat semua bingung memikirkan jalan keluar―
"Aku yang akan menanggung seluruh tanggung jawab. Kumohon, biarkan mereka menari sampai akhir."
Sosok wanita pirang dengan kacamata hitam muncul di hadapan staf.
Dengan pesona menawan layaknya penyihir, kedatangannya membuat semua orang melotot kaget.
"―‘Queen Olivia’!?"
"Ke… kenapa beliau ada di sini…?"
Dialah Yuzuki Olivia Erling, ibu dari Seira, sekaligus CEO dari salah satu merek fashion terbesar dunia, Erling Sunrise.
Sang Ratu yang dengan karismanya memimpin puncak industri fashion dunia, mengulang kata-katanya dengan tatapan tajam:
"Kalau kalian tahu siapa aku, maka janji tanggung jawabku pasti cukup jadi jaminan, bukan? Jika stasiun TV ini menderita kerugian, aku yang akan menutupinya. Jadi tolonglah, biarkan mereka melanjutkan tarian itu sedikit lebih lama lagi."
"……"
Para staf ragu.
Meskipun ada jaminan, memperpanjang program bukanlah hal yang bisa dilakukan dengan mudah.
Setelah saling berpandangan, sang chief dengan ragu bertanya.
"Um… kenapa Anda sampai sejauh itu…?"
"Lihatlah itu."
Olivia mengarahkan jarinya.
Ke arah seorang pemuda yang menari dengan sekuat tenaga, napasnya tersengal-sengal, namun kepalanya masih belum tertunduk.
Ke arah cahaya tekad yang masih bersinar di matanya. Semangat juang yang tak kunjung padam.
"Anak itu berusaha mati-matian menyampaikan sesuatu. Kalau ada anak yang berjuang sekeras itu, apa yang harus orang dewasa lakukan selain mendukungnya?"
"!!"
Kata-kata itu membuat para staf program mengambil keputusan.
Atau bisa juga dibilang, mereka terbawa oleh karisma Olivia.
"Baiklah! Mari kita lakukan!"
"Toh acara berikutnya cuma liputan kuliner biasa! Kalau kepotong sedikit, nggak ada yang bakal protes!"
"Kalau akhirnya dipecat ya sudah! Lagipula aku juga sudah lelah kerja di TV!"
Dengan tekad bulat, para staf mulai bergerak. Olivia yang menyukai ketegasan itu menambahkan janjinya sebagai bentuk tanggung jawab.
"Kalian orang-orang hebat. Kalau sampai kalian kehilangan pekerjaan, ‘Erling Sunrise’ akan menampung kalian. Bahkan aku janjikan gaji tiga kali lipat dari sekarang."
"Kami akan mengikuti Anda seumur hidup, Olivia-sama!!"
Dengan kekuatan tarik yang luar biasa, Olivia seolah mengambil alih program itu. Ia tersenyum lembut, menatap pemuda yang masih berjuang menuju bintang.
"Ruto-kun, kisahmu selalu menggugah hati orang. Seperti yang kuduga, kau memang calon putraku di masa depan."
Puas dengan kata-katanya sendiri, sang ratu dunia fashion itu mengirimkan dukungan tulus kepada kekasih putri tercintanya.
"Bertarunglah, Ruto-kun. Masa depan yang ingin kau genggam, bukalah dengan tarianmu."
***
Perpanjangan pertandingan――
Saat mendengar itu, aku langsung diberi waktu istirahat.
Aku harus memulihkan stamina yang sudah terkuras habis walau hanya sedikit. Aku butuh minuman, juga jelly atau apa pun untuk isi ulang energi.
Aku bertanya pada staf terdekat, katanya semua itu sudah disiapkan di ruang tunggu.
Dengan kaki yang hampir tak bisa digerakkan, aku memaksa diri berjalan ke sana.
Kuminum minuman yang tersedia, jelly juga langsung kulempar ke dalam perut, lalu segera menuju panggung lagi.
…Sial, tubuhku terasa berat seperti timah.
Tangan dan kakiku mati rasa, bahkan untuk berjalan pun sulit.
Aku menyandarkan tubuh pada dinding, melangkah perlahan ke arah panggung. Rasanya seperti sedang menjalani rehabilitasi cedera.
Apa aku benar-benar bisa menari dalam kondisi ini? Apalagi melawan ‘sensei’ itu――
"…!?"
Mungkin karena pikiran lemah itu sempat melintas.
Tangan yang kusandarkan ke dinding tiba-tiba melemah.
Tak ada lagi tenaga untuk menahan, aku pasrah jatuh――
Namun, gyu,
Tubuhku yang hampir tumbang ditangkap seseorang.
"…Ah."
Hanya itu saja sudah cukup untuk membuat darah kembali mengalir di tubuhku yang kaku.
Rasa dingin menghilang, hangatnya menjalar sampai ke ujung jariku.
Aku menenggelamkan wajah ke bahunya.
Seperti anak kecil yang mencari perlindungan pada ibunya, aku merindukan kehangatan itu.
"…Seira."
"Ya, ini aku."
"…Lagi-lagi aku dibantu olehmu, ya."
"Tidak masalah. Karena seluruh diriku sudah lama jadi milikmu, Ruu-kun."
Aku menghirup napas dalam-dalam, aroma manis dari rambut Seira menenangkan hatiku.
Rasanya sudah lama sekali, tapi itu mampu membuatku rileks.
Sekali saja, aku membalas pelukannya dengan erat, lalu melepaskannya.
Menatap mata biru bagaikan langit cerah yang menatapku lembut, aku memintanya.
"Seira, beri aku sesuatu."
"Sesuatu? Apa maksudmu?"
"Kata-kata. Jujur, aku sekarang benar-benar di ambang batas. Berdiri saja sudah susah, stamina juga habis. Kalau aku disuruh menari satu lagu lagi, itu sudah gila."
"Jadi?"
"Berikan aku kata-kata yang paling istimewa. Kata-kata yang bisa menghapus semua rasa lelahku, membuat semangatku kembali meluap, kata-kata sihir yang kubutuhkan untuk menari lagi."
"…"
Seira perlahan menutup matanya.
Lalu segera tersenyum lembut, seperti bunga matahari yang menatap ke arah matahari.
"Aku ingin melihat tarian Ruu-kun lagi."
Hanya itu saja sudah cukup membuat jantungku berdetak keras.
Tubuhku bergerak sendiri, mempersiapkan diri untuk menari sekali lagi.
Ah, begitu ya……
Hati lebih dulu yang mengerti.
Seperti yang kuduga, aku memang ditakdirkan untuk selalu dibuat menari oleh gadis ini.
"……Hah"
Suara heran keluar dari mulutku sendiri karena betapa sederhananya diriku.
Memang banyak hal sudah berubah di antara kami, tapi bagian yang benar-benar penting tidak pernah berubah.
Sama seperti waktu itu.
Senyuman Seira selalu terhubung di dalam hatiku, dan sekarang kembali memberiku keberanian.
"Perhatikan baik-baik, Seira."
Aku menghimpun tenaga di kakiku.
Bangkit berdiri dengan kekuatanku sendiri.
Dengan kaki itu, aku mulai melangkah menuju panggung.
"Tarian yang kau temukan untukku, akan kusampaikan padamu."
"Wajah seperti apa yang harus kupasang saat melihatnya?"
"Kalau kau tertawa, itu yang paling hebat."
"Kalau begitu, apa Ruu-kun juga akan bahagia dengan itu?"
"Kalau kau tertawa, aku juga bisa tertawa di sisimu."
Aku tersenyum dengan penuh keberanian, lalu kali ini benar-benar berpisah dengan Seira.
Jauh dari kata pulih sepenuhnya, tapi entah kenapa ada tenaga yang mengalir ke tangan dan kakiku.
Dengan langkah pasti aku kembali ke panggung, di sana sudah ada ‘Sensei’.
Begitu melihat wajahku, ia mengangguk-angguk seolah-olah baru saja mendapatkan kepastian.
"Syukurlah. Sepertinya kau masih bisa menari."
Nada santai yang seakan tak pernah goyah itu membuatku panas hati, aku pun membalas dengan nada kekanak-kanakan.
"Sebaiknya Anda bersiap, ‘Sensei’."
"……?"
Ekspresi ‘Sensei’ seolah bertanya, "Apa maksudmu?" Tapi aku hanya menanggapinya dengan senyum penuh gaya.
"Karena aku sekarang…… sedikit tak terkalahkan."
Mendengar itu, ‘Sensei’ tertawa. Tawa yang tulus, tapi juga buas.
***
Kesimpulannya――‘Sensei’ itu monster.
"…………………Sial!!"
Memberikan kesempatan lebih dulu, aku hanya bisa mengumpat kasar menyaksikan tarian ‘Sensei’ yang menggila di depanku.
Gerakannya tak menunjukkan penurunan. Malah semakin tajam.
Memang terlihat lelah, napasnya terengah-engah, tapi setiap gerakan tetap rapi dan penuh tenaga. Gerakan naik-turun begitu kuat, lengannya yang terulur tegang sampai ke ujung jari, indah bagaikan ranting willow yang tegar.
Sialan, istirahatlah sedikit! Pikirkan untuk santai sedikit saja!
Aku membencinya karena begitu serius tanpa kompromi, tapi di saat yang sama aku juga merasakan semacam pengakuan.
……Pantas saja dia disebut dicintai dewa tari.
Selalu menghadapinya dengan tulus, rendah hati dalam berusaha, tak pernah mengabaikan tarian sendiri.
Puncak dunia yang tak bisa dicapai hanya dengan bakat.
Hasil dari usaha luar biasa dan pengasahan tanpa henti.
Dan――
"Hei Ruto, menyenangkan ya!"
Itu adalah ranah para dewa, yang hanya bisa dicapai oleh mereka yang paling menikmati tarian.
……Sial.
………Ah, sial, keren sekali…… terlalu keren, brengsek!
Keinginan murni yang seharusnya dimiliki semua orang pada awalnya. Perasaan polos tanpa noda, sekadar menikmati tarian.
Orang ini tidak pernah, bahkan sekali pun, melupakannya.
Aku mulai menari karena ingin menjadi seperti orang ini.
Tapi aku mudah bimbang, mudah lupa akan kesenangan menari.
Aku sadar betul, aku takkan bisa menjadi dirinya.
Namun――
"Hah."
Sekarang, aku bisa tersenyum meski begitu.
Tarianku tak perlu disamakan dengan tarian orang lain.
Apa yang ingin kusampaikan lewat tarian bukanlah milik orang lain, tapi milikku sendiri.
……Baru sadar akan hal sesederhana ini, apa aku memang sebodoh itu?
"Ayo, giliranmu sekarang, Ruto."
‘Sensei’ yang baru selesai menari berbicara dengan pipi memerah, suaranya lembut namun menggoda.
Seolah dewa tari sendiri mengajakku bermain, dan hatiku yang seharusnya letih kembali bergetar.
"Hmph!"
Aku sedikit kesal, menghentakkan kakiku keras ke panggung.
Dengan detak jantung yang tak berhenti dan gairah yang meluap, aku berteriak untuk menghantamkan semuanya ke tempat ini.
"Akan kulakukan, brengsek!!"
Akan kutunjukkan pada dewa itu――beginilah caranya manusia berjuang!
Kobaran api dalam hatiku menjalar ke seluruh tubuh.
Ubah semua bara itu menjadi tarian.
Frasa basi seperti "baik tertawa maupun menangis" akan kuhancurkan.
Yang kucari hanyalah masa depan penuh senyum.
Aku dan orang yang kucintai harus meraih akhir bahagia itu, dengan segala cara.
Sekarang――mari menari.
***
Yazakura Renka berusaha keras menahan lututnya yang gemetar.
Kerongkongan keringnya terasa haus akan sesuatu yang lebih dari sekadar air.
"…………Fuh."
Dengan senyum kecil yang pahit, matanya yang tajam menatap panggung.
Murid yang masih penuh masalah itu menari dengan mengorbankan segalanya.
Dan di sisinya, pemuda yang dulu pernah menjadi rekan seperjuangan menatapnya dengan senyum hangat.
Melihat tarian mereka yang begitu jujur, lututnya tak bisa berhenti gemetar.
Lutut yang seharusnya cedera, yang mudah terasa sakit, kini justru menjerit ingin menari.
"Jangan tinggalkan aku dan menari dengan begitu bahagia."
Melihat panggung yang sudah tak bisa dinaikinya, hatinya terbakar oleh iri yang begitu kuat.
Mata itu bukan lagi milik seorang guru, melainkan mata seorang penari yang kelaparan akan panggung.
Dengan jantung yang berdetak kencang, ia menyadari rasa sakit, iri, dan gairah yang tak tertahan, lalu menyipitkan mata dengan lembut.
"Apakah tarian itu menyenangkan, Maiori?"
Jawaban tidak diperlukan.
Karena tarian Ruto sudah memberitahunya segalanya.
***
Kotomiya Yuuma menatap tarian itu dari kamarnya sendiri sambil tersenyum lebar.
"Ya, Ruto memang keren sekali……"
Seorang bocah yang sangat mencintai cerita begitu terhanyut dengan penampilan temannya.
Ia tahu.
Meskipun pernah kalah, ia tidak menyerah. Meskipun tenggelam dalam penderitaan, ia tetap berjuang.
Meski jatuh ke tanah, kotor oleh lumpur, ia bangkit lagi dan lagi――hingga akhirnya meraih kemenangan gemilang.
Ia tahu, sosok seperti itu disebut apa.
――Tokoh utama.
Menikmati sosok sahabatnya yang penuh keteguhan layaknya seorang pembaca, ia pun menjalankan perannya sendiri.
Sambil membiarkan siaran tarian tetap berjalan di satu komputer, ia menyalakan komputer lain. "Nng, ngh," ia berdehem kecil, meneguk air, lalu menekan tombol siaran.
"Halo, maaf siaran mendadak. Hari ini ada sesuatu yang ingin kutunjukkan pada kalian――"
Avatar 2D bergerak mengikuti suaranya. Jumlah penonton terus meningkat.
VTuber populer dari agensi besar, Aures-sama, membagikan layar.
Banyak penonton kebingungan dengan tayangan tarian mendadak itu, tapi bocah itu tidak peduli, ia monopoli channel-nya demi kesenangan pribadi.
"Katanya pemenang ditentukan lewat voting penonton, jadi kalian juga dukunglah tarian yang kalian suka. Link voting sudah kutaruh di deskripsi."
Sejak saat itu, jumlah akses ke situs turnamen dan jumlah suara mulai meningkat pesat.
Seorang anak lelaki bekerja di balik layar.
Dia ingin sebanyak mungkin orang melihat wujud gagah temannya.
Untuk membanggakan dunia dengan aksi sang protagonis, dia merendahkan dirinya menjadi perangkat yang membangkitkan panggung.
***
Di sebuah studio tari, anak-anak menempel di layar dan terpaku menonton pemandangan itu.
"Semangat, Ruto-niiー!"
"Kamu bisa! Pasti bisa!"
"Jangan kalahー! Semangatー!"
Anak-anak yang berkumpul di depan televisi berteriak masing-masing seolah berusaha melepaskan luapan emosi yang menggebu di dalam dada mereka. Mungkin itu adalah sorakan yang takkan pernah sampai. Namun itu bukan alasan untuk menahan suara mereka.
Karena dia berjuang sampai tubuhnya hancur begitu parah pun, masih terus menari.
Tersentuh oleh tarian penuh pengorbanan dari kakak yang mereka kagumi, anak-anak itu hanya bisa bersorak sekuat tenaga.
Mereka tak memikirkan apakah akan sampai atau tidak. Mereka hanya mengangkat suara, berharap bisa sampai. Tanpa perlu menyadarinya, mereka sudah tahu bahwa yang penting adalah perasaan itu.
Di belakang studio, nenek pengelola melihat pemandangan itu.
Sebenarnya waktu tutup sudah lewat, tapi dia diam saja. Dia tak sanggup memutus semangat anak-anak yang begitu bersungguh-sungguh.
Selain itu, dia sendiri juga ingin melihat sampai akhir dengan matanya sendiri, aksi dari anak lelaki yang sejak dulu sering datang untuk menari.
"……wah……!"
Di tengah kerumunan, seorang gadis berambut perak dari negeri asing mengeluarkan suara kagum.
Mata birunya berkilau seperti menemukan harta karun, bergetar tanpa henti.
"……ne, e……Akito-kun"
"Ada apa, Sophie-chan?"
Meski tidak begitu fasih berbahasa Jepang, gadis asing itu tetap berusaha menyusun kata-kata.
Dinding bahasa terasa menjengkelkan. Dia ingin menyampaikan perasaan ini. Dia ingin menyampaikan kobaran api yang menyala di dadanya.
Dengan niat itu saja, dia bertanya pada anak laki-laki yang telah membawanya ke tempat ini.
"Aku… juga… bisa menari… seperti ini… kah…?"
Dia menemukan sesuatu yang ingin dia tekuni sepenuh hati. Dia menemukan sesuatu yang ingin dia kejar sepenuh hati.
Mata yang berkilau itu menjadi nyala api tekad, menanamkan mimpi dan rasa kagum di dalam hatinya.
"Iya! Kalau banyak berlatih, pasti kamu bisa jadi seperti Ruto-nii!"
"……mengerti… aku akan… banyak, berlatih…!"
Anak-anak menumpangkan rasa kagum mereka di situ.
Seperti menitipkan harapan pada bintang jatuh, mereka mengulurkan tangan pada tarian pemuda di televisi.
Pasti bukan hanya di tempat ini saja, tapi di berbagai belahan dunia――
Pemuda yang dulu pernah mengagumi bintang.
Tanpa sadar, kini pada malam ajaib itu, dia sendiri telah menjadi bintang yang bersinar bagi seseorang.
***
Kurosaki Nowa menangis di kursi penonton.
"n…aa, aaaah, uaahh, Ruto… Ruto…"
Orang yang paling sering menari di dekat pemuda itu adalah dirinya sendiri.
Karena itu dia mengerti. Justru karena itu dia bisa memahami.
Untuk apa pemuda itu menari.
Untuk siapa dia berjuang.
"Ruto… Ruto akan… pergi jauh…"
Dirinyalah yang pernah berharap agar Ruto jujur pada perasaannya.
Dia ingin menghormati hati pemuda yang berhasil mengatasi konflik batin dan menemukan keberanian untuk memilih. Tapi meski begitu, hati seorang gadis tidak sesederhana itu untuk bisa menerima semuanya begitu saja.
Rasa bahagia, bangga, sedih, dan kesepian bercampur aduk, mengaduk-aduk hati gadis yang kecil itu.
Namun tetap saja, dia tidak memalingkan wajah, menatap tarian pemuda itu dengan mata yang basah oleh air mata.
Karena itulah, dia melihatnya.
Saat tubuh pemuda itu hampir jatuh tersandung, dia berputar, mengangkat ujung jari kakinya, menggunakan satu kaki sebagai poros, memanfaatkan gaya sentrifugal untuk menyeimbangkan tubuhnya.
Pirouette.
Dengan tubuh yang sudah hancur, pemuda itu menunjukkan sekejap gerakan balet, membuat gadis itu membelalakkan mata.
"――――ada"
Dia teringat. Ingatan itu kembali.
……itu adalah gerakan yang dia ajarkan.
Saat pemuda itu mulai tertarik pada balet, dia mengajarkan langkah perputaran itu sebagai salah satu gerakan dasar.
Pirouette pertama Ruto yang masih canggung waktu itu, kini membentuk lingkaran indah yang membuat wajah gadis yang tertunduk kembali terangkat.
"――Aku ada di sana"
Pada titik batas kekuatan, tak mungkin dia masih bisa menjaga nalar atau kebanggaan.
Artinya, di tubuh yang sudah hampir hancur, pikiran yang sudah lelah, gerakan yang dia pilih dengan naluri adalah langkah itu.
Gadis itu mengerti arti dari itu.
"Aku benar-benar ada di dalam tarian Ruto!"
Dia tidak pergi jauh.
Bahkan tanpa jarak sama sekali, keberadaannya sudah melebur di dalam hati pemuda itu.
Di dadanya, hangat mulai naik perlahan.
Kemerahan di kelopak mata yang bengkak karena tangisan tidak akan hilang begitu saja. Namun itu bukan alasan untuk menundukkan wajahnya sekarang.
Dia harus melihat tarian itu sampai akhir, kalau ingin tetap bisa menyebut dirinya sebagai partnernya.
"…………………Semangat…"
Dengan suara serak yang bercampur tangisan, dia menjeritkan semua perasaannya.
Dia berdoa sambil menangis, agar tarian pemuda itu, yang bisa bangkit setelah melalui banyak luka dan keraguan, bisa sampai ke langit berbintang.
"……Semangat, Ruto…… semangat, semangat, semangat――!!"
Karena di momen ini, dia bisa benar-benar menjeritkan kata-kata itu dari lubuk hatinya――
Karena itu.
Sejak awal sampai sekarang, tanpa pernah berubah, dialah gadis terkuat dalam cerita ini.
***
Yuzuki Erling Seira tersenyum.
Dia hanya tersenyum, menonton tarian itu.
Itu saja.
***
Kepala terasa seperti terus meledak.
"…kah, gaaa, haa, haaah…"
Suara napas yang mencari oksigen yang tak cukup itu terdengar seperti erangan binatang terluka.
Tubuh yang penuh luka ini meminta istirahat. Pikiran yang berdenyut sakit, tangan dan kaki yang kesemutan seperti tersengat listrik, jantung yang berdegup kencang sampai membuat tulang rusuk berderit, dan sensasi seperti ada sesuatu dalam diriku yang terus tergerus.
…Sakit, sakit, sakit, sakit.
……………Tapi, menyenangkan.
Tanpa ragu, saat ini adalah momen di hidupku di mana aku paling menderita karena menari, dan sekaligus paling menikmati tarian itu.
Rasanya waktu berjalan seperti dipercepat, tapi juga terasa padat dan bergerak lambat.
Aku tidak tahu apakah aku ingin ini cepat berakhir, atau tidak ingin ini berakhir selamanya.
Aku tidak tahu, dan aku juga tidak perlu tahu.
Akhirnya akan datang. Pasti.
Kalau begitu, agar aku bisa tersenyum pada saat itu, aku hanya perlu menari dengan segenap kekuatan sekarang.
Pikiran yang berarti hanya sampai di situ.
Setelah itu, aku menyingkirkan kesadaran yang sudah tak berguna dan terus menari.
Dengan sepenuh hati, tanpa memikirkan apa pun, aku menyerahkan tubuhku ke arah mana aku ingin menari.
Menari, menari, menari, menari.
Menari tarian itu.
――――
――――
――――
――――――――Apa?
Di sebuah momen, aku menyadarinya.
Entah sejak kapan, lagunya… sudah berakhir…?
Tarian… um, tarianku… bagaimana tadi…?
Seperti cahaya yang menembus celah awan, kesadaranku perlahan naik ke permukaan.
Seperti warna yang mulai menyala di dunia yang tadinya putih polos, perlahan aku mulai melihat pemandangan sekitarku.
Saat aku memandang sekitar, tepuk tangan besar membungkus sekelilingku.
Tak mengerti arti suara yang meledak-ledak itu, aku menoleh ke sana kemari.
Di depanku ada ‘Sensei’.
Wajahnya tersenyum lembut.
"Selamat, Ruto."
…Sela…mat?
Aku tetap melongo dengan mata bulat karena tidak mengerti.
Mungkin reaksiku itu lucu, karena ‘Sensei’ tersenyum sambil menunjuk ke belakangku.
Dengan perasaan déjà vu, aku pelan-pelan menoleh ke belakang.
Di sana ada.
Hasilnya.
『NiCo』2271 suara
『RuTo』2276 suara
"…………"
Aku memandang itu dengan mata kosong, terdiam.
Kecepatan berpikirku seberat timah. Butuh waktu untuk memahami.
Tapi angka yang kulihat itu mutlak.
Aku menang.
Meski begitu, perasaan gembira itu tidak perlahan-lahan muncul.
Rasanya seperti aku satu-satunya yang tertinggal di dunia ini, dalam kemenangan yang tidak kusadari sendiri.
Tapi itu hanya terjadi di dalam diriku, sementara dunia terus bergerak bersama jarum jam.
Sebuah mikrofon disodorkan.
"Selamat," ucap sang pembawa acara dengan senyum ceria.
Lalu dia bertanya lagi.
――Apa perasaanmu sekarang? Kepada siapa kamu ingin menyampaikannya?
Di kepalaku yang lamban berpikir, kata-kata itu bergaung pelan.
…Perasaan… menyampaikan…
Benar. Ada yang ingin kusampaikan.
Itulah alasan aku menari.
Jam yang berhenti di dalam diriku mulai bergerak lagi.
Bersamaan dengan itu, rasa lelah yang tadi kulupakan membuat tubuhku terasa begitu berat.
Aku sempat merasa gravitasi ini jadi berlipat ganda.
Kalau saja ‘Sensei’ tidak sigap menopangku, aku pasti jatuh dengan memalukan.
"――――Seira."
Meski begitu, aku menyambung kata-kata dengan kesadaran yang hampir putus.
Ada sesuatu yang harus kukatakan.
Ada sesuatu yang harus kusampaikan.
Walau jelek, walau berantakan, walau tak terlihat keren sekalipun.
Aku harus berdiri tegak dan menyampaikan perasaan ini dengan kata-kataku sendiri.
Maka aku memaksa tenggorokan yang serak untuk bergetar.
Di dalam kesadaran yang mulai memudar—aku membayangkan wajahmu yang sedang tertawa bahagia.
"―――――――Aku mencintaimu."
Itu terjadi pada saat itu juga.
Dengan "donn" sebuah benturan keras dari samping menghantamku, membuatku terjatuh ke lantai.
Aku sudah tidak punya tenaga untuk melawan, dan dengan memalukan terbaring telentang, barulah aku sadar.
Aku ditindih.
Tepat di depan mataku, begitu dekat, wajah Seira penuh dengan air mata.
…Ah.
…Indah sekali, manis sekali.
Gadis yang kucintai.
Gadis yang selalu kusukai.
Dengan wajah yang basah oleh air mata, ia mendadak bersinar, lalu berteriak dengan suara penuh kebahagiaan.
"――Aku juga suka kamu, Ruu-kun!"
Perasaan tersampaikan, perasaan terbalas.
Untuk hal yang sesederhana ini, rasanya kami sudah terlalu banyak berputar-putar.
"Aku juga selalu suka kamu! Sejak pertama kali kita bertemu, aku sudah suka dengan tarianmu, Ruu-kun! Aku sangat menyukai caramu menari dengan gembira, dan aku selalu ingin bersama denganmu!"
Tapi justru karena perjalanan berliku itu, aku semakin merasa Seira begitu berharga.
Aku sudah memperlihatkan sisi menyedihkanku. Aku banyak memperlihatkan hal-hal memalukan.
Tak ada lagi harga diri yang tersisa, Seira telah melihat semua diriku apa adanya.
"Sejak pertama kali bertemu, aku selalu melihatmu, Ruu-kun! Bahkan selama enam tahun ketika kita tak bisa bertemu, aku selalu memikirkanmu!"
Meski sudah melihat semua itu, Seira tetap berkata ia menyukaiku.
Saat aku kehilangan kepercayaan pada diriku sendiri, aku selalu percaya pada suara Seira. Suara Seira yang cerah seperti matahari, berkilau seperti bintang, selalu menyelamatkanku.
"Aku suka suara Ruu-kun! Hanya dipanggil namaku saja sudah membuat jantungku berdebar! Sejak SD, suara Ruu-kun selalu terasa istimewa! Saat kamu bilang selamat pagi, aku merasa hariku akan jadi luar biasa menyenangkan! Saat kamu bilang sampai jumpa, aku merasa sedih karena waktu menyenangkan bersamamu sudah berakhir! Setelah aku sadar itu, aku mengerti bahwa aku suka kamu!"
Aku senang mendengar ia berkata ia menyukaiku.
Karena itu aku juga harus menyampaikan bahwa aku menyukainya.
Aku tidak mau dengan cara yang setengah-setengah. Aku ingin dia merasakan kesungguhanku. Meskipun caranya egois dan sepihak, hanya kepada Seira aku ingin memperdengarkan suaraku yang paling tulus.
Aku memikirkan bagaimana cara melakukannya.
Dan tetap saja, jawabannya hanya ada pada tarian.
"Aku suka mata Ruu-kun! Walau biasanya terlihat malas, tapi ketika saat penting tiba, matamu bersinar terang seperti bintang jatuh yang melesat! Aku suka matamu itu! Matamu selalu melihat hatiku! Selalu menemukan diriku yang sebenarnya! Lebih daripada wajah rapi atau gelar yang ditempelkan orang lain, kamu selalu mengutamakan perasaanku!"
Karena itu, aku sungguh bersyukur bisa menyampaikannya.
Aku bisa menamai perasaan yang tak terbendung ini sebagai cinta, dan aku bisa menyampaikannya padamu.
Melihat senyum Seira yang bersinar tepat di depanku, aku merasa begitu.
Benar-benar.
Dari lubuk hati aku merasa begitu.
Aku merasa begitu, tapi…
"Setelah kembali dari Amerika pun aku tetap suka Ruu-kun! Tidak, aku jadi semakin suka! Saat akhirnya bisa bertemu lagi, hatiku hampir meledak karena rasa suka ini! Aku ingin langsung memelukmu dan melupakan segalanya! Aku sangat senang karena Ruu-kun tetap sama seperti dulu, tetap menjadi Ruu-kun yang paling kusukai!"
…Ehm.
…Maksudku, yah, gimana ya.
…Aku senang dia bilang suka padaku, tapi…
……………apa, ini nggak kepanjangan?
"Aku suka Ruu-kun! Aku cinta kamu! Meski kamu kadang ceroboh, meski kamu payah karena terlalu lamban sadar, tapi aku suka hatimu yang selalu tidak meleset di saat penting! Aku bahagia hanya dengan berada di sampingmu! Tinggal bersama itu bikin jantungku berdebar-debar! Aku memang suka bercanda dan menutupi rasa malu dengan kata-kata main-main, tapi hatiku selalu penuh! Jantungku selalu berisik dengan degupan dan rasa cintaku pada Ruu-kun! Dilihat saat bangun tidur itu sedikit memalukan! Dilihat setelah mandi malah lebih memalukan! Tapi aku senang saat Ruu-kun menatapku dengan mata yang malu-malu, dan tanpa alasan aku selalu ingin mendekat padamu! Aku ingin dipenuhi dengan aroma Ruu-kun! Mata yang melihat diriku apa adanya untuk pertama kali adalah mata Ruu-kun! Orang yang pertama dan terakhir yang ingin kulihat sisi asliku hanyalah kamu! Aku ingin kamu tahu semuanya tentangku! Aku ingin kamu mengukirkan dirimu pada semua bagian diriku! Seperti luka yang abadi, aku ingin kamu mengacak-acak hatiku! Jika itu Ruu-kun, aku rela! Jika itu Ruu-kun, lakukan sesukamu! Aku akan memberikan seluruh diriku untukmu! Tapi sebagai gantinya, berikan seluruh dirimu padaku juga! Ayo kita saling acak-acak hati masing-masing, saling mencintai sampai hancur lebur! Kalau kita jadi kekasih, ayo pergi ke berbagai tempat! Ayo melakukan banyak hal bersama! Aku ingin membuat banyak kenangan! Aku ingin banyak kenangan hanya berdua saja! Aku ingin selalu bersama, lalu saat melihat kembali kenangan itu kita bisa tertawa bersama bilang ‘ingat nggak waktu itu’. Tertawakan saja kalau aku melayang dengan semua khayalanku! Aku sudah berkali-kali membayangkan ini di tempat tidurku sebelum tidur! Aku ingin jadi kekasihmu, Ruu-kun! Aku ingin melakukan ini dan itu denganmu kalau kita jadi kekasih! Aku memikirkan itu setiap malam sebelum tidur! Aku selalu tertidur sambil membayangkan wajahmu! Seperti khayalan anak remaja, atau lebih tepatnya benar-benar seperti itu, aku sudah membayangkannya banyak sekali! Ayo kita lakukan semuanya! Semua yang ingin kulakukan! Semua yang ingin kamu lakukan juga akan kutemani! Aku cinta kamu Ruu-kun! Aku benar-benar cinta kamu! Perasaanku pada Ruu-kun pasti lebih besar daripada perasaanmu padaku! Aku yakin itu! Karena aku sangat mencintaimu! Aku mencintaimu sampai rasanya dadaku pecah! Matamu, suaramu, hatimu, semua akan kucintai! Ah, aku bahagia sekali! Ini sudah lama jadi impianku! Aku selalu ingin jadi kekasihmu! Dan sekarang terwujud! Akhirnya! Akhirnya! Fufu, fuhehehe, ah tidak bisa, wajahku pasti terlihat bodoh karena terus tersenyum! Sekeras apa pun aku mencoba menahan, pipiku tidak bisa berhenti mengendur! Wajah Seira yang cantik dan manis ini jadi mencair! Untuk pernikahan, aku ingin gaya Amerika! Saat bridal shower aku ingin menari juga! Saat resepsi kita harus menari bersama! Aku ingin menari bersamamu! Eheh, ehehe, ini khayalan yang berlebihan, kan? Aku tahu, tapi aku tidak bisa berhenti! Gadis itu memang begitu! Gadis yang berlari di jalan cinta memang begitu! Ini salahmu, Ruu-kun! Kamu harus bertanggung jawab! Kamu harus menjaga Seira sampai akhir! Eheh, ehehe, suka suka suka, aku cinta kamu Ruu-kun――!!"
"――Kepanjangan!? Hei, Seira, ini benar-benar kepanjangan…!"
"Apa yang kamu katakan! Kalau kamu membiarkanku bicara tentang cintaku padamu, bersiaplah untuk tiga hari tiga malam penuh! Aku akan terus berbicara tanpa henti, dengan kemegahan seperti sebuah opera!"
"…Lagipula, bisa tolong geser dulu… aku benar-benar sudah kehabisan tenaga, dan… berat…"
"A-ah! Kamu baru saja bilang aku berat! Itu tidak sopan! Jangan begitu pada gadis!"
"Woi! Jangan pukul-pukul dadaku… serius, aku bisa muntah beneran…!"
Ini bukan lelucon, aku benar-benar merasa seperti itu, jadi aku mati-matian mencoba menghentikan Seira.
Tapi aku sudah kehabisan tenaga, tidak ada sisa kekuatan untuk melawan.
Saat aku pasrah dipukul, tiba-tiba tangan Seira mencengkeram kepalaku――
―――chuu, begitu saja.
Dengan mudah, dan dengan paksa, bibirku direnggut oleh Seira.
Ciuman pertama.
Mulutku yang hanya terasa darah karena kelelahan, kini dipenuhi rasa manis.
"Ruu-kun, aku cinta kamu."
"………Aku juga."
Kepada Seira yang tersenyum cerah, hanya kata-kata itu yang bisa kubalas.
Wajahku terasa panas seperti orang bodoh. Sambil kebingungan karena ciuman mendadak itu, di sudut pikiranku aku berpikir:
Pasti sekalipun kami jadi kekasih, aku akan terus dibuat menari oleh Seira.
Karena itu sedikit mengesalkan, aku merengkuh Seira erat-erat.
Sekali-sekali, aku yang ingin membuatnya menari.
Itu niatku, sebuah serangan kejutan. Tapi Seira hanya tertawa bahagia dalam pelukanku.
Tak ada gunanya. Sepertinya aku memang tidak bisa jadi pihak yang mengendalikan tarian ini.
Sambil bertanya-tanya apakah ini penutup yang tepat, aku semakin mengeratkan pelukan.
Aku ingin kau melihat tarianku.
Hubungan yang awalnya hanya dari perasaan kecil itu, entah kapan sudah tumbuh menjadi cinta besar.
Tirai mungkin sudah turun, tapi kisah ini tidak akan berakhir. Dengan teman masa kecil yang menyebalkan tapi manis ini, mudah dibayangkan bahwa hidupku nanti akan penuh masalah.
Tapi tidak apa-apa, setiap kali itu terjadi, aku akan resah, aku akan jatuh, tapi aku juga akan bangkit lagi.
Bersama Seira, aku yakin aku bisa. Tidak, aku harus bisa.
Dengan tekad dan keberanian itu, aku mendekap kuat gadis yang kucintai dalam pelukan.
Merasa hangatnya senyum bahagia Seira, aku pun memikirkan hal ini.
Kisah cinta dan tarian kami akan terus berlanjut.





Post a Comment