NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

America Gaeri no Uzakawa Osananajimi Volume 3 Chapter 4

 Penerjemah: Flykitty

Proffreader: Flykitty


Chapter 4

Jadilah Sayap yang Menembus Awan


『――Itulah hasil dari babak penyisihan. Semua peserta, harap hati-hati dalam perjalanan pulang. Untuk informasi mengenai "Second Chance", akan kami sampaikan kemudian. Bagi yang ingin ikut, silakan cek situs resmi kompetisi――』


Aku duduk di tepi ruangan, mendengarkan pengumuman itu seperti sesuatu yang terjadi pada orang lain.


Tapi seiring waktu, perlahan, aku mulai benar-benar menyadarinya.


Babak penyisihan ‘C-DAF’ telah berakhir.


Tanpa ada yang istimewa, tanpa ada rasa puas sama sekali, aku kalah.


Aku sendiri menganggap tarian tadi sangat buruk.


Selama waktu kompetisi, meskipun musik yang ditugaskan dimainkan, tubuhku tak bergerak sesuai keinginan.


Tidak bisa menangkap irama. Kaki tersangkut saat melangkah. Gerakanku lambat. Saat pertunjukan dimulai, di kepala justru penuh dengan noise yang mengganggu, hingga bayangan tarian pun tak muncul.


Aku tidak bisa berkonsentrasi.


Selama menari, kakinya seolah melayang, pikiran selalu tertuju ke hal lain.


Aku tahu alasannya.


Karena aku belum bisa menjawab pengakuan Seira.


Bahkan bukan hanya jawabannya, cara menghadapi itu pun hilang dari pandanganku.


Dengan perasaan seperti ini, tarian apa pun tidak mungkin bisa menyampaikan apa pun. Tarian tanpa citra tidak bisa dinilai. Tarian adalah ekspresi. Jika tidak tahu apa yang ingin disampaikan, menari pun tidak akan menghasilkan apa-apa.


"Hei, Ruto."


Tiba-tiba namaku dipanggil, aku menengok.

Wajah yang familiar. Entah bisa disebut rival atau tidak, ini adalah penari seumuran yang sering bertemu di kompetisi saat SMP.


"Ada yang tidak beres hari ini, ya?"


"…Ah, ya, bisa dibilang begitu."


"Iya, kan? Sejujurnya, kalau lihat penampilanmu hari ini, Ruto SMP dulu lebih hebat."


Mungkin dia tidak bermaksud jahat, tapi wajahku langsung memerah karena komentar itu.


Sepertinya dia menyadari kesalahannya, lalu buru-buru menambahkan klarifikasi.


"Yah, itu… ini kan pertama kalinya ikut kompetisi lagi? Nanti lama-lama sensasinya akan kembali. Malah aku lega. Ternyata Ruto juga bisa terhanyut sama suasana. Dulu waktu SMP, Ruto memang luar biasa, sampai aku sering berpikir, bisa nggak menang lawan orang-orang macam ini."


Kepalaku berdenyut sakit.


Merasa frustasi dan malu karena penampilan yang kalah dari diriku sendiri di masa lalu, aku tersenyum kaku. 


Menyembunyikan perasaan dengan topeng senyum memalukan.


"Masih ada Second Chance juga, jadi ayo sama-sama berusaha."


"…Oke."


Aku mengangkat tangan ringan sebagai tanda jawaban.

Suaraku terdengar datar, dan itu terasa sangat menyebalkan.


***


Aku berjalan pulang.


Dari tempat kompetisi ke rumah butuh lebih dari satu jam, tapi entah kenapa, aku ingin menghirup udara luar sekarang.


"…Dingin banget."


Uap napasku membeku di udara musim dingin, sedikit menenangkan pikiranku.


Tentu saja, menjadi lebih tenang tidak mengubah kenyataan. Masalah di sekitarku belum ada yang terselesaikan, dan aku bahkan belum menemukan jalan keluar.


Tapi, entah kenapa, aku tetap mengeluarkan ponsel.


Seolah ingin melukai diri sendiri, aku mencari informasi tentang babak penyisihan hari ini di media sosial.


‘Tarian Ruto parah banget. Itu katanya mantan finalis JDC?’


Kritik yang dulu menjauhkan aku dari dunia tarian.


Aku menatap deretan kata-kata menyerang itu dengan mata seolah mati rasa.


‘Kupikir bisa lihat tarian "RuTo" lagi, eh ini apa?’

‘Apakah dia malas latihan? Tidak layak ditonton sama sekali.’

‘Dulu waktu SMP dipuja-puja sebagai penari jenius sampai tinggi hati, mungkin karena orang-orang terlalu mendukungnya. Ini baru kemampuan aslinya.’


Anehnya, hatiku tidak terguncang saat melihat kritik itu.


Tidak ada amarah atau penyesalan, hanya rasa malu yang mendidih.


Tidak ada kata untuk membalas.


Aku hanya ingat satu hal: tarian buruk itu nyata. Kata-kata yang menyatakan fakta menusuk dada, menusuk jantung, dan itu saja yang terasa.


‘Yah, kan masih SMA, mungkin ada hal lain yang mau dilakukan.’

‘Tidak bisa hidup cuma dari tarian juga. "RuTo" itu, kan, sekolah di SMA Kanaha? Di situ kan sekolahnya tinggi, pasti belajar juga berat, mungkin karena itu.’


Sekilas terdengar seperti dukungan. Tapi kata-kata itu malah membuatku lebih frustrasi.


Penilaian tarian bisa dimaklumi. Itu fakta; aku menunjukkan tarian yang mengecewakan.


Tapi ini berbeda.


Seolah-olah perasaanku yang mencintai tarian ditolak.


Aku selalu serius dengan tarian. Aku masih mencintai menari. Setelah meyakinkan diri sendiri, suara itu terdengar di pikiranku.


…Benarkah?


‘Kalau lihat tarian hari ini, aku lebih suka "RuTo" waktu SMP.’


Yang dikatakan di tempat kompetisi, kini terngiang lagi.

Apa yang dimiliki masa lalu tapi hilang sekarang.


Sebuah tujuan yang jelas. Alasan untuk menari. Semangat untuk mewujudkan keinginan.


Pergi ke Amerika untuk menemui Seira. Menang di kompetisi tarian demi itu.


Itulah alasanku menari dulu saat SMP, dan masa depan yang ingin kucapai.


Bahkan saat sulit menari, atau gagal di kompetisi, aku tetap bisa menari karena tujuan itu. Aku berusaha sekuat tenaga. Meski jatuh, aku bisa menengadahkan wajah.


…Lalu sekarang?


Aku menari untuk apa sekarang?


‘Tarian itu tidak punya citra. Tidak tahu ingin menyampaikan apa.’


Jika aku tidak bisa menjawab pertanyaan ini, aku pasti tetap berhenti di tempat.


Tarian yang kehilangan tujuan dan alasan tidak akan pernah sampai ke hati orang lain.


Karena tidak ada yang ingin disampaikan, tidak ada yang ingin dikirim.


Mungkin jika aku setidaknya menari dengan senang hati, itu sudah cukup. Tapi hari ini, aku sadar tidak bisa tersenyum saat menari. Bahkan senyum akting pun tidak bisa, hatiku terlalu lemah.


‘Apa sih yang dipikirin orang ini waktu menari?’


Aku mematikan layar ponsel dan memasukkannya ke saku.

Berjalan gemetar di udara dingin, mengulang kata-kata itu di kepalaku.


Apa yang kupikirkan saat menari?


Entahlah――aku sendiri tidak tahu, sialan.


***


"…Terima kasih makanannya."


Aku meletakkan sumpit dan segera bangkit dari meja.


Masih ada sisa makanan di piring. Ibu yang duduk di seberang menatap tajam saat menyadari itu.


"Masih tersisa."


"…Aku tidak lapar. Nanti aku makan, bungkus saja dengan plastik—"


"Tidak. Makan sekarang."


Kata-kata tegas itu membuat dahiku mengerut. Tapi ibu tetap makan sambil berkata, tidak peduli dengan ekspresiku:


"Kamu latihan lagi hari ini kan? Kalau tidak makan dengan benar, bisa pingsan loh."


"……"


Aku duduk kembali di kursi tanpa sepatah kata pun dan mulai memakan makanan yang tersisa.


Rasanya hampir tak terasa. Setiap kali menelan, ada sensasi seperti tersangkut di tenggorokan.


Tidak ada percakapan antara aku dan ibu, dan kekosongan itu membuat suasana jadi canggung.


Sudah lama sekali sejak terakhir kali aku makan dengan begitu hening. Keheningan yang tidak nyaman itu seolah memberitahuku bahwa Seira sudah tidak ada lagi di rumah ini, dan dada terasa nyeri karenanya.


"……Terima kasih untuk makanannya."


"Iya, sama-sama."


Kali ini aku benar-benar selesai makan, lalu membawa piring ke wastafel.


Di sana, mataku menangkap sebuah cangkir kopi bergambar bendera Amerika yang tersimpan di rak piring.


"……"


Seperti berusaha lari dari sesuatu, aku segera berpindah ke wastafel kamar mandi. Setelah membasuh wajah dengan air dingin, pandangan mataku jatuh pada sikat gigi berwarna merah muda yang sama dengan punyaku.


Bukan hanya sikat gigi. Entah sejak kapan, kosmetik yang tersusun rapi, catokan rambut wanita yang tergantung bersama pengering rambut, dan berbagai barang baru lainnya mulai memenuhi rumah ini dalam setengah tahun terakhir――


『Ruu-kun, rambut adalah nyawa seorang gadis. Apalagi rambutku ini penuh dengan helai-helai yang punya sifat membangkang. Kalau tidak dirawat dengan waktu dan tenaga, mereka akan ngambek dan jadi susah diatur, tahu――』


『Yang susah itu aku, tahu! Cepetan! Kalau nggak buru-buru, kita bakal telat ke sekolah!!』


『Aduh, tidak perlu panik begitu, kan. Lagipula penyebab utamanya Ruu-kun sendiri yang tidak membangunkanku tepat waktu, bukan?』


『Aku sudah membangunkanmu berkali-kali! Kenapa sih kamu masih bisa santai begitu!?』


Kenangan yang berlari kencang itu menghimpit dadaku dengan kuat.


Ah, sial.


Tanpa kusadari, aroma Seira sudah menyatu dengan berbagai sudut rumah ini.


Meskipun aku mencoba membohongi perasaan sendiri, aku tidak bisa sepenuhnya mengabaikan emosi yang terus muncul dari dalam. Singkatnya――ya, aku merasa kesepian. Kesepian sekali.


Keheningan saat makan tadi tidak mungkin terjadi kalau Seira ada.


Seperti mencerminkan isi hatiku saat ini, rumah ini penuh dengan kekosongan. Entah itu berupa keheningan, kecanggungan, atau rasa tidak nyaman.


Semua itu dulu selalu diisi oleh Seira. Aku tidak mau mengucapkan kalimat klise "baru sadar setelah kehilangan", tapi aku benar-benar merasakannya sekarang. 


Dengan keriuhan dan tingkah konyolnya, Seira selalu membuatku kewalahan, dan pada akhirnya membuatku tertawa.


"……"


Aku keluar rumah dengan tenang.


Aku bahkan tidak mengucapkan "aku pergi dulu".


Karena saat ini, aku tidak punya keyakinan sedikit pun untuk berkata bahwa aku benar-benar menuju ke suatu tempat.


***


Aku gagal di babak penyisihan, tapi ‘C-DAF’ ku belum berakhir.


Pertandingan pengulangan, loser's match, nama resminya kalau tidak salah adalah "Second Chance".


Babak penyisihan kedua yang mempertemukan para penari yang sudah tereliminasi. Itu akan diadakan minggu depan.


Lawannya banyak dan hanya ada satu orang yang bisa maju ke kompetisi utama. Meski belum jelas seperti apa format pertandingannya, yang pasti itu akan jadi pertarungan berat.


"……Haa… haa……"


Aku terus berlatih di aula olahraga sekolah.


Keringat yang menetes terasa mengganggu. Saat mampir ke toilet dan menatap cermin, yang terlihat hanyalah wajah kosong seperti mayat dengan ekspresi hampa.


"……Hah. Wajah yang parah banget."


Tak ada alasan yang bisa dipakai untuk membenarkan itu dengan dalih lelah akibat latihan.


Aku yakin, kalau itu dulu, aku pasti bisa tetap tersenyum meski seberapa pun lelahnya. Bahkan kegagalan pun bisa kunikmati, dan aku bisa langsung berpikir apa langkah selanjutnya.


Tapi sekarang, aku tidak bisa.


Aku sudah tidak bisa menikmati tarian. Setiap kegagalan hanya berubah menjadi rasa panik, membuat detak jantungku berirama tak beraturan. 


Rasanya seperti mulut di wajah kosong dalam cermin itu bergerak. Tentu saja itu cuma halusinasi. Tapi sosok itu seolah menertawakanku dengan kata-kata dingin yang menusuk.


――Kau mau terus begini?


Aku menggertakkan gigi, lalu meludah dengan suara serak.


"……Tentu saja nggak mungkin."


Untuk menyebutnya halusinasi pun, aku terlalu menyedihkan dan tak bisa diselamatkan.


Dan lebih buruknya, aku bahkan tidak bisa lagi mengingat seperti apa caraku tersenyum dulu.


Semuanya setengah-setengah. Apa pun yang kulakukan, aku tidak bisa berkonsentrasi. Baik pada tarianku, maupun pada pengakuan Seira. Aku mencoba memikirkan semuanya sekaligus, tapi pada akhirnya tidak menghadapi apa pun dengan sungguh-sungguh.


Setelah menyiram kepalaku dengan air, aku kembali ke aula olahraga untuk melanjutkan latihan.


"……Apa yang harus kulakukan, sih."


Aku bergumam, hampir seperti melampiaskan amarah pada kenyataan yang tak bisa diubah.


Siapa pun, siapa saja. Ajarkan aku bagaimana cara berjuang. Tunjukkan arah yang benar.


Kalau soal usaha, aku sanggup melakukan apa pun. Aku bisa mati-matian mengerjakannya.


Jadi tolong, ajarkan padaku.


Arah mana yang harus kutempuh agar bisa mencapai masa depan di mana semua orang bisa tersenyum.


"Ya ampun, murid yang merepotkan."


Suara itu terdengar tepat dari belakang――


Saat aku menoleh, yang kulihat adalah Yazakura-sensei sensei, dengan senyum kebingungan di wajahnya.


"Sensei? Kalau soal izin pakai aula, aku sudah mendapatkannya kok……"


"Dan itu kalimat pertama yang kau ucapkan saat bertemu wanita berpenampilan rapi? Dari situ saja sudah bisa terbayang betapa beratnya perjuangan Yuzuki dan Kurosaki menghadapimu. Aku sama sekali tidak pernah mendidikmu jadi anak seperti ini."


"Dan aku juga nggak ingat pernah dididik langsung sama sensei……"


Meski terkejut dengan kemunculannya yang mendadak, mataku tanpa sadar meneliti penampilannya.


Atasan lengan pendek dipadukan dengan celana skinny. Memberi kesan santai tapi tetap terlihat mudah bergerak. Gayanya lebih mendekati jazz daripada hip hop. 


Bagaimanapun juga, gaya busana itu jelas bukan sesuatu yang biasanya dipakai seorang guru. Lebih tepatnya――


"Penampilannya kayak mau menari deh, ada apa ini?"


"Memang benar. Aku jadi ingin menari sedikit."


"Eh……" Sebuah suara lirih keluar begitu saja dari mulutku yang terbuka setengah.


Menari, katanya. Mendengar itu, aku otomatis melirik ke arah pahanya.


"Mau menari, tapi… sensei kan pernah cedera――"


"Aku ini tetap seorang sensei. Tidak akan memaksa anak-anak mengikuti jalanku. Tugasku hanya mengawasi usaha mereka dan mendukung langkah mereka. Aku tidak akan melewati batas itu."


Mengabaikan keterkejutanku, sensei mulai menyampaikan pendapatnya sendiri.


Meskipun aku hanya bisa mendengarkan, kata-kata itu mengalir mulus masuk ke telingaku. Suara sensei terdengar seperti memuat nada bersalah, seakan sedang menyesali sesuatu.


"Tapi ya, ada satu hal yang kusadari setelah lama menjadi seorang pengajar. Tidak semua anak cukup kuat untuk menemukan jalannya sendiri. Ada banyak anak yang, meski berhasil menemukan jalan itu, tidak bisa mempercayainya, lalu hanya terpaku di gerbang masuk, dan pada akhirnya berbalik arah tanpa sempat melangkah maju."


Kata-kata sensei, yang tampaknya lahir dari pengalaman nyata, memiliki bobot yang tak bisa disepelekan.


Kepada diriku yang hanya bisa melongo, sensei menatap tajam.


"Itulah sebabnya aku mengubah cara berpikirku. Jalan yang akan dipilih dan dijalani tetaplah urusan anak-anak itu sendiri. Tapi, kalau hanya sebatas memberikan dorongan awal, atau membantu mereka melangkahkan kaki pertama, aku merasa itu boleh kulakukan. Misalnya, memberikan sedikit dorongan di punggung murid yang tidak tahu harus ke mana."


"........"


……Sejauh mana orang ini sebenarnya tahu?


Apa dia mendengar sesuatu dari seseorang tentang aku dan Seira? Aku masih tidak tahu bagaimana detail atau alurnya, tapi satu hal jelas: sensei datang ke sini demi aku.


Perasaanku bergejolak.


Seperti paru-paru yang hampir tenggelam dan merindukan udara, aku menatap mata sensei dengan harapan akan sebuah pertolongan.


"Sensei, aku――"


"Jangan buru-buru mencari jawaban. Baru saja kukatakan bahwa memilih jalan itu urusanmu sendiri."


Bersamaan dengan nada yang menegur, sensei mulai memutar musik dari smartphone-nya.


Lagu "I’m Coming Out" dari Diana Ross.


Sebuah lagu terkenal dari era disko yang dirilis tahun 1980. Liriknya yang penuh kekuatan untuk menerima diri yang baru, membuatnya masih sering diputar di lantai dansa hingga sekarang. 


Lagu yang pasti pernah didengar oleh setiap penari. Aku pun mengenalnya, bahkan tubuhku seakan hafal ritmenya.


"Menurutku, cara ini yang paling cepat bisa kau pahami."


Gitar cutting yang khas di intro mulai terdengar. Di antara nada yang lembut, suara funky yang tajam bergema, menjadi isyarat. Sensei lalu menyesuaikan langkahnya.


Sebuah basic club step. Gerakannya memang sederhana, tapi dilakukan dengan besar, rapi, dan penuh tenaga. 


Gerakan naik turun seluruh tubuhnya bersilangan intens, lengannya melentur mengikuti nada, lalu ritme itu menyatu. Seperti sedang tuning, melodi dan tubuhnya berpadu. 


Sebuah tarian memikat pun dimulai, tak henti menarik hati siapa pun yang melihat.


"Jangan alihkan pandanganmu. Inilah tarian asliku."


"......."


Tatapan matanya menyala, setajam binatang buas yang mengincar mangsa.


Lalu yang keluar berikutnya adalah langkah cepat mengikuti hi-hat, berpadu dengan perpindahan berat tubuh khas dari penggunaan lutut. Gerakan koreografinya orisinal, meski sekilas meniru pola hip hop yang terkenal, di sana-sini ada move khas yang benar-benar unik.


"Itu……!?"


Gerakan yang kuat, penuh tenaga, dan tubuh yang tak goyah meski dihantam hentakan. Banyak hal yang mengejutkanku, tapi satu hal membuatku benar-benar kaget lebih dari semuanya.


Gerakan tarian yang kulihat di depanku ini――aku mengenalnya.


"Itu… itu kan, milik orang itu…… ‘sensei’ yang dulu……"


Routine. Dalam bahasa Jepang bisa disebut gerakan tetap.


Dalam dunia tari, routine adalah koreografi yang ditentukan lebih dulu untuk ditarikan mengikuti musik. Ada pola populer yang diwarisi banyak orang, ada juga yang dibuat khusus oleh seorang penari. Jenisnya banyak sekali. Dalam kompetisi freestyle dance, routine sering dipakai saat ragu menentukan gerakan, atau sebagai kartu truf di momen penting.


Dan sebuah routine orisinal biasanya jadi ciri khas sang penari.


Itulah sebabnya aku terkejut.


Routine yang ditunjukkan oleh sensei ini, aku tak mungkin salah lihat. Itu jelas milik sensei…… orang yang dulu mengajariku menari.


"Ada sesuatu yang ingin kau tanyakan sekarang, bukan?"


Deg. Jantungku kembali berdentum keras.


Aku pernah sekali melihat tarian sensei sebelumnya, dan itu sudah sangat luar biasa. Tapi kali ini, ada angin yang lebih agresif menyentuh pipiku.


Seperti sedang memanaskan lantai dansa demi membakar semangat penonton.


Seperti sedang menantang lawan dalam battle dance.


Dengan langkah menghentak, sensei mendekat, wajahnya bengis dan penuh gairah.


Hembusan angin membuat poni rambutku terangkat ringan.

Jarak kami begitu dekat hingga aku bisa merasakan napasnya.

Seakan bibir kami bisa saja bersentuhan――sensei malah tersenyum puas.


"Kalau kau bisa mengalahkanku, akan kuberitahu. Kalau kau begitu percaya diri bisa menang dengan tarian murungmu itu, maka coba saja tantang aku."


"........"


Dug! Jantungku berdetak panas dan kencang.


Aku tahu ini hanyalah provokasi murahan, tapi aku tak bisa melawan arus ini.


Sensei memberiku alasan yang jelas untuk menari.

Dan itu sekarang terasa sangat berharga.


Terlebih, hatiku bergetar hebat setelah melihat tariannya.


Aku ingin menari seperti itu.


Aku ingin menari bersama orang ini.


Aku ingin menari lebih hebat dari orang ini.


Api kecil menyala dalam hatiku yang sebelumnya tertunduk.


"Bagaimana kita menentukan pemenangnya?"


"Cukup biarkan masing-masing yang menilai. Aku yakin baik kau maupun aku takkan berpura-pura dalam menari."


Kata-kata itu terlalu menggoda untuk ditolak, dan aku pun melangkah maju.


Aku merebut giliran.


Dengan langkahku, kutunjukkan bahwa sekarang adalah giliranku, dan kudorong sensei mundur, tepat di depan matanya aku mulai menari.


Awalnya kecil dan pelan. Lalu semakin besar, semakin ramai, semakin liar.


Seiring gigi persnelingku naik, aku mengacungkan jariku ke arah hidung sensei.


Ini bukan tarian untuk main-main.


Ekspresi tubuhku memang musik, tapi lebih dari itu, aku menaruh tekad di ujung jariku: Aku akan mengalahkanmu.


Tapi sensei tetap tersenyum tenang, tak terusik.


Bagus. Akan kuhempaskan senyum itu.


Aku melompat mundur dengan putaran, mendarat rendah dengan lutut tertekuk, lalu masuk ke routine favoritku.


Kukeluarkan putaran satu kaki dari posisi seakan menendang ke langit.


Sebuah routine orisinal: perpaduan gerakan hip hop dengan pirouette balet. Koreografi yang kupikirkan bersama Nowa, yang sudah sering kami tampilkan di kompetisi dengan unison.


Aku menggebrak lantai. Ingin menunjukkan kekuatan kami pada orang hebat ini.


Mungkin aku tak bisa menang sendirian, tapi dalam tarianku, ada kekuatan Nowa juga――


"Itu tidak bagus, Maiori."


"Hah?"


"Dalam battle dance, sering dikatakan lawan harus kau anggap sebagai kekasih."


"Eh, maksudnya apa?"


"Aku bilang, saat berada dalam larangan cinta guru dan murid, memikirkan perempuan lain itu tidak pantas!"


"Apa sih yang kau omongkan!?"


Saat aku terhuyung karena kebingungan mendengar kata-kata absurdnya, sensei langsung merebut giliran.


Dengan gerakan mengalir, ia menyatu dengan beat, tubuh dan musik bergerak seiring.


Seperti kuduga, sensei memang sangat ahli dalam transition.

Tak ada patahan dalam tariannya, tak ada jeda di antara alirannya. Gerakannya bukan hanya kuat, tapi juga penuh teknik halus. Lincah, rapih, dan detail――gaya yang sering terlihat pada penari perempuan atau penari keturunan Afro.


Aku kembali berpikir――memang mirip.


Gerakan yang feminin, lembut, tapi berbasis hip hop, sedikit menyimpang dari pola hip hop klasik. Dan nuansa itu, persis sekali dengan tarian sensei yang dulu.


Meski koreografi sama, tarian akan selalu punya ciri khas berbeda tergantung siapa penarinya.


Perbedaan itu bisa lahir dari latar belakang daerah, dari guru yang sama, atau dari lingkungan tempat mereka belajar.


…Apa mungkin Yazakura-sensei punya hubungan dengan "sensei" itu?


Keraguan kecil yang seperti sekadar rasa tidak nyaman. Namun aku tidak bisa menganggapnya hanya salah paham.


"Fufu."


Saat pikiran itu melintas, aku menyadari sensei yang sedang menari tersenyum kecil.


"…Apa?"


"Aneh ya, Maiori."


"…?"


"Tanpa kata-kata, kita bisa berbicara hanya dengan tarian. Menurutmu, itu bukan hal yang aneh sekaligus bikin hati membara?"


"…Mungkin begitu."


Setiap kata sensei membuat tubuhku merinding.


Aah…


Aah, sial, aku terseret.


Batas dalam diriku dipaksa naik lebih tinggi.


Aku merenggut giliran sensei, merampas tarian itu.


Sedikit saja menunjukkan kelemahan, aku akan kalah, ditelan oleh tarian orang ini.


Maka aku menyerang dengan tarian, melawan arus yang kencang. Aku bisa saja melawan dengan teknik, tapi aku memilih gerakan power yang jadi keahlianku.


Biarpun terlihat kaku, aku tidak peduli. Ini tarian yang aku suka, tarian yang menjadikan aku sebagai pusatnya.


Aku ingin menunjukkan hip-hop-ku pada orang ini. Aku ingin dia tahu siapa aku.


Ketika tanpa sadar aku mendongak, sensei menatapku dengan wajah senang, "Hooh," seakan terkesan.


Berbicara dengan tarian. Menyambungkan hati lewat tarian.

Kebangkitan yang jelas itu memang ada di antara kami. Hangat, menyenangkan.


"I'm Coming Out" ― Inilah diriku ―


Kami menyampaikan itu lewat tarian.


Atau lebih tepatnya, bukan menyampaikan, tapi saling memaksakan pernyataan kami masing-masing lewat tarian yang kasar.


Bergantian, mengikuti irama, mengikuti lirik, kami terus menari.


Kami memang tidak pernah menentukan kapan akan selesai.

Dengan lagu yang terus diulang, kami menari sampai masing-masing merasa puas.


Perlahan, rasa lelah menumpuk, gerakan jadi berantakan, tapi kami tetap menari.


Asalkan bisa membanggakan diri apa adanya, seperti lirik lagu ini, itu sudah cukup.


Lalu—tatapanku bertemu dengan tatapan sensei.


Wajahnya sama, dipenuhi keringat. Rambutnya berantakan karena tarian keras barusan.


Jauh dari kesan cool biasanya, sensei sama sekali tidak berusaha menutupi kelelahan mentah yang terlihat jelas.


Mulutnya terbuka sedikit, napas beratnya keluar seperti erangan.


Tidak ada lagi sisa-sisa sikap tenang, hanya senyum tipis yang dipaksa dengan sisa harga diri.


—Indah, aku sempat berpikir begitu.


Keindahan itu membuatku terpaku, waktu serasa berhenti sesaat. Namun aku segera sadar kembali, dan melanjutkan tarianku.


…Apa dia sadar aku sempat terpana?


Sekilas, wajah sensei menampilkan senyum yang seolah menangkap sesuatu, dan itu membuatku sangat malu. Aku menguatkan langkah, seolah ingin menutupi kegugupan ini—


Dan dann! sensei roboh.


"…Sensei?"


Pikiranku mendadak kosong.


Sensei jatuh tersungkur di lantai. Tangannya menekan paha yang kejang hebat, seperti melawan serangan dari dalam.


"Sensei!!"


Aku buru-buru berlari mendekat.


Aku lupa. Alasan sensei pensiun dari dunia tari.


Karena tarian overwhelming-nya barusan, aku melupakan sepenuhnya kenyataan kalau dia pernah cedera.


"Sial!"


Mungkin tanpa sadar aku juga menyingkirkannya dari pikiranku.


Karena menari dengan sensei begitu menyenangkan. Aku merasa untuk pertama kalinya setelah sekian lama, hatiku terisi penuh dengan tarian.


Aku tak ingin waktu ini berakhir. Karena itu aku menari habis-habisan. Mungkin sensei memaksakan diri, menyadari keinginanku itu.


"…Lagi-lagi, ya."


Karena tarianku, aku kembali melukai seseorang.


Dadaku seolah mengempis, seperti rasa cemas yang tiba-tiba mengingatkan diri.


Pandangan di depanku goyah, tubuhku hampir terpuruk dalam hampa—tapi aku segera menggertakkan gigi, memaksa otakku bekerja.


Yang utama, periksa kondisi sensei. Penyesalan belakangan.

Dia jatuh cukup keras, semoga tidak terbentur kepala—


"Hahahahahaha!!"


"—!?"


Namun kekhawatiranku buyar karena sensei tertawa.


Aku terdiam, terhenti.


Sensei yang tadi menekan pahanya, terjatuh terlentang begitu saja.


Menatap langit-langit, menyipitkan mata karena cahaya lampu yang menyilaukan, lalu—


"Tari itu menyenangkan sekali ya, Maiori."


Dia berkata begitu sambil tersenyum lebar seperti anak kecil.



……


………Ahh, keren sekali.


Orang ini memang keren.


Cantik, gagah, biasanya cool dan berwibawa, tapi bisa tersenyum lepas seperti ini. Cara hidup Yazakura-sensei benar-benar keren, mempesona tanpa batas.


Meski pahanya masih kejang, gemetar sampai ujung kaki, bahkan tidak bisa bangun, aku tidak melihatnya sebagai lemah.


Bahkan dalam keadaan compang-camping, sensei menertawakan segalanya, membuka diri seutuhnya. Seakan berkata "Inilah aku," seakan membiarkan seluruh dunia tahu bahwa dia mencintai tarian.


Kekuatan hatinya begitu besar, sampai membuatku hampir menangis karena kagum.


Aku yang mudah hilang arah karena hal kecil, mendambakan sinar yang sensei miliki.


"Sensei, apa benar tidak apa-apa?"


"Ah, sedikit kesemutan. Tapi ini akan reda sebentar lagi. Terlalu senang jadi agak memaksakan diri, tapi aku bukan tipe yang salah menilai kapan harus berhenti."


"Kalau begitu, seharusnya berhenti sebelum roboh."


"Jangan bilang begitu, nanti sensei ngambek, tahu?"


Masih dalam posisi terlentang, sensei mengembungkan pipinya.


Aku menghela napas lelah, sementara sensei melanjutkan dengan nada serius.


"Baiklah, begini keadaannya, maka aku kalah. Sesuai janji, tanyakan apa yang ingin kau tahu."


"Benarkah boleh?"


"Di kondisi begini, aku tidak mungkin keras kepala mengaku menang. Lagi pula aku guru, dan kau murid. Anak yang ingin curhat ke orang dewasa tidak perlu syarat macam-macam sejak awal."


"Padahal yang memulai ini sensei sendiri…"


Sensei tetap menunggu pertanyaanku, meski aku masih agak sungkan.


Ada beberapa hal yang ingin kutanyakan. Setelah berpikir sejenak, aku memilih yang paling penting.


"Sensei menari untuk apa?"


"…Hmm, itu pertanyaanmu?"


Sensei menatapku seperti sedang menguji. Aku mengangguk pelan.


"Aku… akhir-akhir ini tidak tahu lagi untuk apa aku menari."


Aku memang suka menari. Aku tidak bohong kalau aku merasa senang saat menari. Bersama sensei barusan, aku kembali yakin akan hal itu.


Tapi tetap saja, menari bagiku terasa hanya sarana, bukan tujuan.


Misalnya, sarana untuk mendapatkan hasil di kompetisi agar bisa menemui Seira.


Misalnya lagi, cara untuk terhubung hati dengan Nowa, yang dulu takut kesepian.


Aku menari karena ingin hasil yang bisa kudapat dari menari.


Kalau begitu, sekarang?


Dengan menari… apa sebenarnya yang ingin kucapai?


"――"


Berkali-kali aku mengulang tanya jawab dengan diriku sendiri, dan selalu berhenti di tempat yang sama.


Seira pernah bilang padaku. 


――Jangan jadikan dansa sebagai alasan.


Bukan untuk mendapatkan sesuatu, melainkan untuk melarikan diri dari sesuatu, aku menari. Tujuan dan sarana telah tertukar. Aku tahu keadaan itu salah, tapi aku tidak tahu secara konkret harus bagaimana.


Pasti jawabannya adalah sesuatu yang harus kutemukan sendiri. Tapi setidaknya untuk saat ini, aku ingin bertanya pada sensei.


Bukan untuk dijadikan referensi… entahlah, aku hanya ingin mendengar jawabannya.


Jawaban di depanku ini. Alasan untuk menari yang dimiliki oleh orang yang begitu mempesona ini.


"Hmm, untuk apa, ya…"


Sensei tetap berbaring menatap langit-langit, menutup mata, lalu mulai berpikir.


Jawabannya keluar lebih cepat dari yang kuduga.

Sensei membuka mata lebar-lebar dan berkata,


"Tergantung waktu dan situasinya!"


"……nggak ada inti sama sekali."


Bukan itu… maksudku, ya ampun.


Aku sempat berharap bisa mendapat jawaban yang lebih spesifik, jadi wajahku langsung merengut.


Tapi sensei hanya tertawa ringan, tetap sama seperti biasa――


"Ada banyak alasan, kok. Karena aku suka dansa. Karena menari itu menyenangkan. Karena aku ingin mengubah diriku yang hanya menuruti orang tua. Karena aku ingin menang di kompetisi. Karena aku ingin orang yang kusuka menoleh padaku. Karena ada sesuatu yang ingin kusampaikan lewat dansa."


Tatapan sensei melayang jauh seolah sedang mengingat hari-hari yang telah berlalu.


"Tujuan itu selalu berubah-ubah, tapi kalau harus kusimpulkan dengan satu kata――karena setelah selesai menari aku ingin tetap bisa tersenyum… jawaban seperti itu, mungkin agak terlalu bergaya ya?"


Seakan memastikan kata-kata yang baru saja ia ucapkan, sensei menyentuh bibirnya dengan ujung jari.


Pesona halus yang sempat muncul itu langsung tertutup oleh senyumnya yang segar. Dengan gerakan kecil mengibaskan rambut yang menempel di dahi karena keringat, sensei menatapku dengan mata yang indah.


"Kalau kupikir lagi, aku jarang sekali menari sambil mencari arti atau alasan. Aku menari karena aku ingin merasa puas. Karena kalau ada sesuatu yang tertinggal setelah selesai menari, aku akan menyesal. Mungkin ini egois, tapi bagiku, dansa itu adalah sesuatu yang kulakukan agar pada akhirnya aku bisa tertawa puas."


Sambil berkata begitu, sensei tersenyum penuh kebanggaan, seolah baru saja menyelesaikan sesuatu.


Walau masih terbaring dengan kaki yang terus kejang, senyum letihnya yang penuh keringat itu memancarkan kepuasan dan keyakinan. 


Itu membuatku berpikir, betapa indah bisa tersenyum seperti itu. Tapi, aku juga sulit sepenuhnya mengangguk pada apa yang ia katakan.


"Meski sensei bilang egois… tapi dansa sensei hari ini kan buat aku, kan?"


"Eh?"


"Eh?"


"Bukan, dong?"


"……Bukan?"


Dengan wajah polos, sensei membulatkan matanya.


Aku benar-benar yakin tadi ia menari untuk mendengarkan ceritaku yang sedang bingung, tapi reaksi ini menunjukkan ternyata benar-benar bukan begitu.


Menangkap tatapanku yang bingung, sensei berkata dengan suara polos penuh keceriaan,


"Waktu festival, aku lihat kau dan Kurosaki menari."


"……"


"Aku jadi gatal. Melihat kalian menari dengan bahagia, aku juga ingin menari. Kaki ini yang penuh luka dan cacat pun, tetap bergetar ingin menari."


Sambil menyentuh kakinya yang masih kejang, sensei tersenyum nakal penuh kejernihan.


"Itu saja. Alasan kenapa aku menari di sini hari ini juga nggak berubah. Bukan untuk orang lain, tapi karena aku ingin puas, aku ingin bisa tersenyum puas."


"……Sensei."


"Tapi itu jawabanku, bukan jawabanmu. Kalau mau curhat, aku selalu siap dengar. Tapi jawabannya harus kau temukan sendiri."


Dengan nada penuh wibawa seorang pengajar, sensei menyentuhkan ujung jarinya ke tengah dadaku.


Seakan ingin berkata bahwa jawabannya ada di sana, untuk menuntun murid yang sedang bimbang.


Mataku perlahan memanas, air mata menggenang.


Sensei bilang itu bukan untukku. Tapi ia ingin menari karena melihat dancemu.


Hal sesederhana itu saja sudah cukup membuatku merasa bahagia sampai ingin menangis.


Namun――


"……Aku lebih menginginkan hasil daripada kepuasan diri."


Menghadapi isi hatiku, jawaban yang muncul berbeda dari milik sensei.


"Seberapa pun aku mencoba menerima, aku nggak bisa puas hanya dengan kepuasan diri. Aku ingin Seira dan Nowa juga bisa tersenyum. Kalau tidak dalam waktu seperti itu, aku juga nggak bisa tertawa. Jadi bagiku, dansa itu adalah sarana untuk hal itu."


Setelah menari habis-habisan, pikiranku jadi lebih jernih dan kata-kata keluar.


Waktu aku menerobos masuk ke panggung Seira di festival sekolah, atau waktu aku terus menari di festival desa sampai Nowa datang, tujuannya selalu sama: aku nggak mau mereka menangis. Aku ingin hasilnya adalah mereka bisa tertawa lewat dancemu.


"Tapi sekarang… aku nggak tahu apa yang bisa kudapat dengan menari. Bahkan mungkin semakin aku fokus pada dansa, semakin aku mengabaikan perasaan Seira dan Nowa… Kalau begitu, artinya sekarang aku nggak punya alasan untuk――"


"Jangan besar kepala, Maiori."


Suara itu memotong ucapanku dengan tegas.


Bukan sekadar membantah kata-kata memalukan barusan, tapi lebih dari itu. Sensei ingin menunjukkan bahwa ada yang salah lebih mendasar dari diriku.


"Kenapa kau harus menekan perasaanmu sendiri hanya untuk menanggung tanggung jawab atas kebahagiaan Yuzuki dan yang lainnya?"


"…………Hah?"


Sejenak, aku tidak mengerti apa yang ia katakan. Pikiranku yang hampir kosong dipenuhi lagi oleh kata-kata sensei.


"Menurutmu kebahagiaan Yuzuki dan Kurosaki sepenuhnya ditentukan oleh tindakanmu? Jangan sombong. Jangan menilai kebahagiaan mereka dengan penggaris buatanmu sendiri. Itu bukan sedang menghadapi mereka. Itu cuma berarti kau sudah meremehkan mereka."


"……Itu…"


"Mereka itu kuat. Mereka tahu kalau ingin sesuatu, mereka sendiri yang harus mengulurkan tangan untuk meraihnya. Mereka nggak akan melempar tanggung jawab hidup mereka pada orang lain. Apa pun pilihanmu, mereka pasti akan menerimanya, dan tetap berjuang demi kebahagiaan mereka sendiri."


"……"


"Tak perlu selamanya mengutamakan kebahagiaan orang lain. Sesekali, utamakan kebahagiaanmu sendiri saat memilih sesuatu. Yuzuki dan Kurosaki pasti akan menerimanya."


"……Kebahagiaanku."


"Untuk hal ini saja, boleh egois. Semakin penting pilihannya, semakin seharusnya kau pikirkan apa yang kau mau, apa yang kau ingin jadi, lalu tentukan. Itu yang penting."


Sensei yang selalu menyerahkan banyak pilihan pada muridnya, kali ini justru memaksakan pikirannya. 


Karena hal ini tidak bisa ditawar. Kalau aku membuat pilihan tanpa menanyakan hatiku sendiri, hasilnya hanya akan meninggalkan penyesalan.


"Apa yang benar-benar ingin kulakukan…"


Fokusnya berubah.


Selama ini aku berpikir hanya ingin tidak menyakiti Seira dan Nowa. Aku takut itu saja.


Tapi, salah.


Pikiranku bahwa pilihanku bisa menentukan kebahagiaan mereka… betapa sombongnya itu.


Mereka adalah gadis-gadis yang begitu kuat. Tak mungkin mereka hanya akan terpuruk selamanya. Apa pun hasilnya, sekalipun menangis atau bersedih, mereka akan tetap berjuang menghadapi kenyataan, berdiri kembali, melawan sampai mereka bisa menerima.


Sensei bilang aku nggak perlu menanggung tanggung jawab sebesar itu.


Jadi, fokusku harus berubah. Untuk pertama kalinya, aku berani menatap sisi paling jujur dari hatiku sendiri.


Apa yang benar-benar ingin kulakukan.


Tempat yang benar-benar ingin kutuju. Itu sebenarnya di mana?


"Baiklah."


Sensei pun berdiri.


Melihat perubahan dalam hatiku, ia tersenyum setengah jengkel, seolah berkata: akhirnya juga.


"Kalau begitu, ayo pergi. Untuk memastikan apa yang benar-benar ingin kau lakukan."


"Pergi? Ke mana?"


"Kalau sudah sampai, kau akan tahu. Ikut saja."


Mengatakan begitu, sensei melangkahkan kaki menuju pintu keluar aula olahraga.


Aku tidak bisa menebak ke mana tujuan kami, tapi untuk saat ini aku akan percaya pada sensei.


Dengan pikiran itu, aku juga mulai berjalan ke arah pintu keluar, tapi―


"……Sensei?"


Entah kenapa, sensei berhenti dan tidak mau bergerak dari tempatnya.


"……Tidak, itu, sedikit masalah."


Sensei yang bercucuran keringat dingin berkata sambil menekan kakinya yang bergetar.


"Maaf, Maiori. Karena kupaksakan, kakiku tidak bisa bergerak. Tolong gendong aku."


"……Bukankah bisa sedikit lebih, begini, bergaya sampai akhir?"


"Mau bagaimana lagi, apa kaki bisa bergerak hanya karena gengsi!? Pikir pakai logika!"


"Kenapa tiba-tiba aku yang kena marah!?"


Mau tidak mau, aku pun menggendong sensei keluar dari aula.


Tingginya hampir sama dengan Seira, tapi mungkin karena tubuhnya berotot, sensei terasa berat. 


Aku tanpa sengaja mengucapkan itu, dan dalam keadaan masih menggendongnya, aku ditendang keras di pantat. Sakitnya!


***


Mobil membawa kami ke sebuah tempat yang sudah kukenal—sebuah studio tari.


Pesertanya mulai dari anak SD sampai SMP. Hari latihan biasanya setiap Selasa, Kamis, dan Minggu.


Dasarnya memang hip-hop, tapi mereka tidak membatasi genre. Rock, jazz, house, breakdance—apa pun boleh dicoba sesuai minat. Aturan satu-satunya di tempat ini adalah menikmati tarian.


Jumlah anggota saat ini tiga belas orang.


Jika dibandingkan dengan tempat besar, ini sangat kecil, tapi orang yang membuka kelas ini memang tidak tertarik pada bisnis atau menarik murid. 


Katanya ini murni hobi, dan kalau muridnya terlalu banyak, dia tidak bisa memperhatikan semuanya. Aku masih ingat dia mengatakannya dengan nada ringan.


Aku dan Nowa berasal dari kelas tari ini.


Aku sejak SD, sementara Nowa sejak SMP.


Dasar-dasar tarianku ditempa di tempat ini, diajarkan oleh ‘sensei’ yang ada di sini.


Aku menatap studio sewa yang agak kuno itu dari luar, lalu bertanya samar-samar.


"Sensei, sebenarnya sejauh apa kau tahu tentang aku?"


"Aku wali kelasmu. Data murid tertulis dengan detail di formulir pendaftaran."


"Itu penyalahgunaan wewenang, kan?"


Sensei menepis tatapanku yang menyipit dengan senyum lalu berkata, "Bohong, kok."


"Aku sering mendengar tentangmu dari dia. Jadi wali kelasmu itu kebetulan saja. Aku tetap harus memperhatikan murid lain, jadi aku tidak bisa memihakmu. Tapi sejak kau masuk, aku selalu memperhatikanmu."


"……Dia itu siapa?"


"Itu pun akan kubicarakan di dalam. Anginnya dingin di sini."


Sensei bergidik kedinginan, lalu masuk ke dalam gedung.


Aku mengikutinya. Nenek resepsionis masih mengingatku, menyapaku dengan "Lama tidak bertemu" sambil memberiku camilan.


Kaktus di dekat jendela masih tampak cokelat dan lesu, dan jam di sebelahnya masih menunjuk pukul tiga dini hari, tidak pernah bergerak.


Sambil merasakan nostalgia di berbagai sudut, aku masuk studio bersama sensei.


Anak-anak yang sedang latihan serentak menoleh ke arah kami. Anak-anak yang wajahnya asing—mungkin baru bergabung—memandang kami dengan curiga. Tapi beberapa yang mengenal wajahku segera sadar siapa aku dan langsung melonggarkan kewaspadaan mereka.


"Eh, itu Ruto-nii."


"Benar juga, sudah lama ya. Ada apa kau kemari?"


Mereka memang lebih muda, tapi cara bicara mereka tanpa basa-basi.


Tempat ini memang longgar soal senior-junior, dan aku pribadi menyukai jarak seperti itu. Aku pun menjawab ringan sambil merasakan senang sekaligus nostalgia.


"Yah, bagaimana ya, kalian sehat-sehat saja?"


"Apa-apaan itu."


"Ruto-nii, tanpa sadar kau sudah melewati fase dewasa dan jadi kayak ayah."


Salamku yang setengah matang malah membuat mereka tertawa terbahak-bahak.


……Kubiarkan mereka tidak terlalu memandang senioritas, tapi ya ampun, rasanya aku benar-benar diremehkan. Sampai segitunya, sedikit banyak aku jadi ingin terlihat lebih berwibawa.


Namun, tanpa peduli isi hatiku, salah satu adik kelas seperti teringat sesuatu dan nyeletuk.


"Eh, Ruto-nii, kau baik-baik saja? Padahal waktu seleksi ‘C-DAF’ kau jatuh parah, kan."


"……Ah"


Sekejap, semua orang yang ada di situ membeku.


Namun hanya sebentar. Bocah yang bicara sembarangan itu—Akito, anak kelas enam SD—langsung digencet ramai-ramai.


"Hei, meskipun Ruto-nii orangnya tumpul, dia mungkin tetap kepikiran soal itu, tahu!"


"Betul! Meski Ruto-nii dulu nggak peka sama sekali sama rayuan Nowa-nee dan cuma sibuk menari, kali ini kalau jatuh segitu parahnya pasti kepikiran juga!"


"Ma-maaf, kupikir karena Ruto-nii tumpul jadi dia nggak akan terlalu mikirin."


"Kalau mau ngomongin hal pribadi, jangan di depan umum, dasar!"


Kata-kata mereka menusuk sampai bikin aku reflek protes.


Di sebelahku, sensei menutup mulut dengan tangan menahan tawa. Dasar!


Mendengar komentar mereka yang agak berlebihan, hatiku memang sedikit jatuh, tapi… yah, kurasa itu cara mereka menunjukkan perhatian padaku. Aku merasa ada kehangatan di situ, jadi aku tersenyum kusut untuk menenangkan mereka.


"Memang seleksi itu kacau, tapi aku nggak terlalu memikirkan, jadi tenang saja. Jadi kalian nggak perlu khawatir sebegitu—"


"Nggak, kami nggak khawatir sih?"


"……Setidaknya khawatir sedikit dong."


Respons mereka yang seperti "Apa sih yang kau bilang" agak melukai hatiku.


Bukan berarti aku ingin mereka khawatir, tapi ya, sedikit saja…… kan kami punya hubungan senior dan junior.


Saat aku menggerutu dalam hati, mereka saling pandang lalu mulai berkomentar seenaknya.


"Ruto-nii itu cuma buang-buang waktu kalau dikhawatirin."


"Iya. Dia gampang banget down, suka murung, dan agak payah."


"Tapi toh pada akhirnya dia bakal bangkit sendiri, dan tiba-tiba sudah asyik menari lagi!"


Mereka mengangguk kompak, membuatku bingung bagaimana harus menanggapinya.


Entah itu rasa percaya atau rasa jengkel, yang jelas percakapan mereka penuh keakraban. Aku menutupi canggungku dengan senyum, lalu—


"Senyum basa-basi Ruto-nii creepy banget!?"


Baiklah Akito, mari abang ajak ngobrol sebentar.


"Haha, anak-anak ini bagus ya. Sepertinya mereka lebih mengenalmu daripada dirimu sendiri."


"……Biarkan saja."


Sambil menahan Akito yang menjerit-jerit, aku mengabaikan suara geli dari sensei.


Meski diremehkan habis-habisan, keributan ini justru terasa menyenangkan.


Mereka bilang tidak khawatir, tapi aku tahu sebenarnya mereka berusaha menghiburku setelah gagal di ‘C-DAF’.


Aku mengerti itu, karena sampai tahun lalu kami masih menari bersama sebagai teman satu tim.


Saat aku kebingungan harus memasang ekspresi apa, sensei malah bertanya pada adik-adik itu.


"Hei, anak-anak, Nico ada di mana?"


"Sensei, katanya waktu ke sini dia digigit anjing, jadi mampir ke rumah sakit dulu."


"Apa-apaan sih dia itu……"


Sensei menepuk dahinya sambil mendesah.


Melihat kedekatan itu, aku bertanya tentang sesuatu yang sudah kuduga.


"Sensei, jadi memang kenal dengan ‘sensei’ itu ya."


"Ya, dia dulu partner menariku. Sama seperti hubunganmu dengan Kurosaki."


"Heeh."


"Kenapa, setidaknya tunjukkan sedikit rasa terkejut dong. Padahal aku menyembunyikannya."


"Meski kau menyembunyikan dengan kata-kata, gerakan tarimu sudah jelas menunjukkan."


Sensei pun terkekeh kecil mendengarnya.



Tarian itu fasih berbicara. Kebiasaan gerakan yang tertanam dalam tubuh tidak bisa begitu saja disembunyikan.


Dari tarian sensei, dalam langkah kaki kecil maupun kombinasi gerakan, selalu ada aroma tarian yang sama dengan "sensei" itu.


Sensei dan "sensei".


Dunia tari memang tidak bisa dibilang luas, tapi tetap saja, adanya keterhubungan di antara orang-orang yang pernah berjasa dalam hidupku terasa sebagai sebuah kebetulan yang luar biasa. Entah kenapa, aku merasa ada ikatan aneh yang mempertemukan mereka.


"Ngomong-ngomong, sebenarnya hubungan sensei dengan 'sensei' itu seperti apa?"


"Kalau kau berharap ada hubungan yang menggebu-gebu, sayang sekali. Mengecewakan, tapi benar-benar tidak ada apa-apa. Dia itu masih terlalu kekanak-kanakan soal begituan. Baginya, pasangan satu-satunya hanyalah tarian, sampai ke tahap yang menyebalkan."


"Ahh…"


Entah kenapa, aku bisa membayangkan dengan mudah. Soalnya orang itu memang gila tarian sejak lahir.


"Kalau sensei sendiri, bagaimana menurutmu soal itu?"


"Aku sedang menunggu waktu yang tepat untuk langsung menjatuhkannya."


"Terlalu agresif…"


Demi kebaikan Yazakura-sensei, "sensei" itu harus cepat-cepat menyiapkan diri.


Begitu aku memikirkan itu, bayangan Seira dan Nowa muncul di benakku. Tatapan mereka jelas sekali berkata, "Jangan ngomong gitu, dasar kau juga sama aja." Oke, maaf, aku menyesalinya.


Saat tubuhku gemetar karena tekanan misterius itu, pintu studio terbuka.


"Maaf, aku telat. Tadi sempat digigit anjing di dekat sini—"


Suara yang familiar, namun sudah lama tak kudengar, membuat dadaku bergejolak.


Bukan nostalgia. Bukan pula rasa gugup. Bahkan setelah aku lulus dari kelas tari ini, orang ini tetap menjadi sosok yang ku kagumi, guruku, dan orang yang telah mengajarkan segalanya tentang tari padaku.


Dia melihatku yang ada di dalam studio, lalu matanya melembut dengan senyum hangat.


"Sudah lama ya, Ruto."


"Sudah lama, 'sensei'."


Seorang pemuda dengan penampilan yang cukup sederhana di tengah dunia tari yang penuh bakat dan selera.


Wajahnya terlihat seperti pria baik-baik yang bisa kau temukan di mana saja, tapi senyumnya yang mengembang penuh keakraban membuatnya bercahaya.


***


—"Sensei".


Nama aslinya adalah Yoaki Niko.


Nama penari "NiCo" adalah salah satu nama bintang yang mewakili dunia tari saat ini.


Nama itu pertama kali dikenal dunia tujuh tahun lalu, pada sebuah acara tari di Amerika, New York Your Dance World Final. Salah satu turnamen paling terkenal di dunia tari, tempat para penari jalanan papan atas dari seluruh dunia berkumpul untuk memperebutkan gelar juara dunia.


Sebagai orang Jepang pertama yang ikut serta, "sensei" dengan tariannya yang luar biasa berhasil memikat seluruh penonton, melaju dengan kecepatan tak terbendung, mengejutkan semua prediksi, menggetarkan hati penonton, dan akhirnya meraih gelar juara dunia dengan gemilang.


Prestasi besar itu pun diangkat besar-besaran oleh media Jepang. "Sensei" sempat menjadi buah bibir… atau setidaknya seharusnya begitu. Sayangnya, dia sama sekali tidak terbiasa dengan dunia media. Di luar tari, dia hanyalah orang biasa tanpa pesona khusus, jadi popularitasnya tidak pernah benar-benar meledak.


"Dengan kata lain, kau hanyalah manusia membosankan kalau tidak sedang menari."


"Ke… kejam sekali, Renka. Padahal aku sudah berusaha, meskipun canggung, untuk bicara banyak di televisi supaya lebih banyak orang mengenal street culture…"


"Omongan hambar tanpa isi itu? Hampir semuanya dipotong di siaran, kan. Memalukan sekali."


"Uuhh…"


Dimarahi sensei, "sensei" pun mengempis, bahunya merunduk lesu.


Aneh sekali. Padahal orang ini dikenal sebagai penari hip-hop terkuat saat ini, tapi aku sama sekali tidak merasakan wibawanya. Sungguh, aku tidak ingin melihat sosok yang kukagumi malah meredup karena dimarahi begitu.


"Jadi, Renka, hari ini ada apa?"


"Harusnya kau sudah paham. Jangan serahkan muridmu padaku."


Aku ditarik kasar oleh kerah bajuku dan didorong ke depan "sensei".


"Anak-anak akan kujaga. Kalian berdualah yang harus bicara sampai puas."


"Bi… bicara? Tentang apa…?"


"Itu kalian yang tentukan."


Dengan kata yang terlalu memaksa itu, sensei meninggalkan kami dan bergabung bersama para murid.


Yang tersisa hanyalah aku dan "sensei", saling berpandangan.

Ada sedikit keheningan canggung, tapi segera kami berdua tertawa kecil bersamaan.


"Maaf ya, Renka memang agak memaksa orang."


"Ya, tapi keagresifannya itu juga sudah banyak menolongku."


"Sensei… begitu ya, ternyata Renka benar-benar menjalankan perannya sebagai guru."


Dengan ekspresi heran namun bahagia, "sensei" tersenyum kecil.


Hanya dari itu saja aku bisa tahu betapa dia menghargai sensei, dan itu membuatku ikut merasa senang.


"Minggu lalu kau di Prancis kan? Kapan kembali ke Jepang?"


"Dua malam yang lalu. Aku diundang sebagai tamu di Tokyo Qualifier ‘C-DAF’. Setelah penyisihan selesai, aku akan battle dengan anak yang berhasil jadi perwakilan."


Mendengar informasi baru itu aku cukup terkejut.


Tapi segera aku bisa memahami. Sebagai penari profesional, "sensei" adalah sosok panutan bagi banyak penari pelajar, termasuk aku. Untuk membangkitkan semangat dunia tari Jepang, wajar saja kalau panitia memikirkan acara semacam itu.


"…Ngomong-ngomong, waktu itu, kau nonton tarianku nggak?"


"Iya, aku menontonnya lewat internet dari Prancis."


Deg! Dadaku berdentum tidak enak.


Bukan sekadar malu karena menunjukkan tarian buruk, tapi juga rasa bersalah karena gagal mempraktikkan apa yang telah dia ajarkan padaku.


Orang ini biasanya baik, tapi kalau soal tari, dia berbeda.


Aku mengepalkan tangan, bersiap kalau-kalau akan dimarahi.


Namun—


"Aku rasa itu tarian yang sangat Ruto banget."


"…Eh?"


Dengan senyum lembut, "sensei" menatapku tanpa menyadari kegelisahan hatiku.


Aku tidak mengerti maksud dari tatapan penuh kebaikan itu, jadi aku balik bertanya.


"…Itu kan tarian yang buruk, kan?"


"Memang buruk. Karena itulah, terasa sangat Ruto."


"…Apa kau sedang mengejekku?"


"Bukannya begitu. Mungkin bukan pujian, tapi aku kagum padamu."


Aku tidak mengerti. Saat aku mengerutkan kening bingung, "sensei" bicara seolah itu hal sepele.


"Ruto itu penari yang menari dengan hati. Dari tarianmu aku langsung tahu kau sedang menabrak sesuatu, benar-benar gelisah, dan sedang berjuang mencari jawaban yang tepat."


"…!"


"Setidaknya aku sendiri, selama menari, tidak pernah sampai segitunya benar-benar dipusingkan oleh sesuatu."


Aku tidak tahu bagaimana harus menanggapi kata-kata itu, jadi aku hanya terdiam.


Penari yang menari dengan hati. Kedengarannya bagus, tapi pada dasarnya berarti hasil tarian akan sangat dipengaruhi emosi sesaat.


Itu jelas bukan hal yang pantas dipuji. Tapi meski begitu, sepertinya "sensei" tidak bermaksud merendahkan atau menolak gaya tariku.


"Begini ya, aku mendirikan kelas ini untuk mengajarkan anak-anak betapa menyenangkannya menari. Biarpun jelek, biarpun tanpa tujuan, asalkan mereka bisa menikmatinya, itu sudah cukup."


"…?"


Saat aku hanya diam, "sensei" melanjutkan dengan memilih kata-katanya.


"Tapi hanya padamu, Ruto, aku benar-benar mengajarkan tari dengan serius. Semua pengetahuan dan teknik yang kumiliki, sebisa mungkin kuserahkan padamu, meski aku tidak terbiasa mengajar."


"…Hanya aku? Kenapa?"


Saat aku bertanya, "sensei" menatap ke atas, seakan mengingat sesuatu dari masa lalu yang jauh.


"Kalau tidak salah, waktu kau masih kelas tiga SD, kau ikut lomba pertamamu, dan kalah telak. Kau masih ingat itu?"


Aku mengangguk pelan. Rasa frustrasi itu masih jelas kuingat sampai sekarang.


"Terus terang, aku tidak berniat membuatmu menang saat itu. Yang penting bagiku adalah kau bisa menikmati menari. Menang atau kalah di kompetisi tidak perlu dipedulikan. Aku hanya ingin kau tahu kalau ada dunia seperti ini, semacam pengalaman baru saja."


"Yah, kenyataannya memang kalah telak dan gugur di babak penyisihan, sih."


"Iya. Sampai di situ sesuai perkiraanku. Tapi yang kulihat setelahnya darimu, itu di luar dugaan."


"Setelahnya…? Maaf, aku kurang ingat."


Saat aku mengatakan itu, "sensei" tersenyum sedikit seperti keheranan.


"Kau tetap tinggal di studio ini dan terus menari. Dengan air mata bercucuran, memutar lagu tugas berkali-kali, tanpa istirahat sedikit pun, terus dan terus…"


"……"


"Saat itu aku berpikir… ah, anak ini adalah penari yang menari dengan hatinya. Penari yang bisa menerima rasa frustasi dan mengubahnya jadi kekuatan."


"……bukan hal yang begitu istimewa juga, kan."


"Tidak, itu istimewa."


Menggeleng pelan, "sensei" tetap berkata dengan suara lembut.


"Orang kebanyakan tidak bisa begitu mudah mengakui kelemahannya sendiri. Kalau mereka terbentur dinding atau gagal dalam sesuatu, mereka akan mencari alasan pada bakat atau lingkungan supaya tidak terluka. Hanya segelintir orang yang benar-benar bisa merenungkannya, hanya mereka yang benar-benar serius dengan dansa."


"……apa ini maksudnya, sensei sedang berusaha menghiburku?"


"Tidak. Aku hanya… ingin sekali menari bersama Ruto yang benar-benar serius."


Dengan suara polos seperti anak kecil, "sensei" berkata begitu.


Senyum yang diarahkan padaku begitu murni, dan entah kenapa hal itu membuatku kesal.


Ah, sial.


Kenapa di sekelilingku hanya ada orang-orang dewasa yang begitu keren? Melihat mereka membuatku malu karena aku sendiri masih terus menunduk.


"……Sensei, untuk apa Anda menari?"


"Karena menyenangkan."


"Ya, sudah kuduga."


"Tapi itu alasanku. Ruto pasti punya alasan Ruto sendiri."


Tersenyum cerah, "sensei" berkata seakan sedang membuat sebuah ramalan.


"Teruslah banyak merenung, lalu temukan jawabanmu sendiri. Waktu-waktu penuh luka, kegagalan di masa lalu, semua perasaan yang kau pendam di sana—tumpahkan semua itu lewat tarianmu. Aku tidak bilang kalau merenung itu hal baik, tapi tarianmu yang lahir dari perjalanan panjang penuh keraguan itu akan jauh lebih bersinar dibanding tarianmu yang terus maju tanpa pernah terbentur dinding."


"…………baik."


Sambil mengangguk, aku kembali merasakan dengan kuat bahwa orang ini memang benar-benar "sensei"-ku.


Dia mengakui diriku, bahkan pada saat aku sedang terhenti dalam kebimbangan seperti sekarang. Kelemahan yang bahkan tidak bisa kupercaya sendiri, ia katakan sebagai sebuah kekuatan.


Pelan-pelan, sesuatu mulai muncul dalam hatiku.


Seperti seberkas cahaya yang menembus masuk ke dalam dunia kecil tempatku bersembunyi――


"Ruto-niiiii!!"


"Ugh!?"


Suasana melankolis yang sedang kuselami hancur berantakan karena sebuah tekelan dari samping.


Yang menabrakku adalah Akito. Anak kelas enam SD yang nakal. Saat pertama kali datang ke studio ini, dia hanyalah anak penakut yang selalu mengintip keadaan. Tapi sekarang, lihat saja dia.


Menyundulkan kepalanya ke pinggangku, Akito menatapku sambil berseru.


"Ruto-nii! Ajari aku tarian terkuat!"


"Apa maksudmu itu."


"Tarian terkuat yang bisa bikin semua anak melihatku!"


Akito menunjuk dengan mantap ke sudut studio.


Di sana ada seorang gadis yang duduk sambil memeluk lutut, mengamati keadaan sekitar. Umurnya kira-kira sebaya Akito, tapi rambutnya perak dan matanya biru tua. Sepertinya bukan orang Jepang.


"Itu siapa?"


"Sophie-chan."


"Sophie-chan?"


"Minggu lalu dia pindah ke kelasku. Bahasa Jepangnya belum lancar, jadi di kelas juga kelihatan kurang menikmati. Aku pengen bisa berteman sama dia."


"Makanya kau paksa dia ikut ke sini, ya."


"Iya!"


"Setidaknya aku jadi tahu kalau kau payah memperlakukan anak perempuan."


"Aku nggak mau dibilang begitu sama Ruto-nii! Dasar cowok bebal!"


Aku mengacak-ngacak kepala juniorku yang kelewat lancang itu.


Terlepas dari ejekannya yang tidak adil, aku ingin mendukung keinginannya untuk berusaha demi teman sekelas. Lagipula, aku sendiri merasa seakan itu juga urusanku.


Sophie-chan masih duduk sambil memeluk lutut, menatap sekitar dengan wajah bosan.


Entah kenapa, pemandangan itu tumpang tindih dengan bayangan Seira saat pertama kali kutemui――


『Hei sensei, ajarin aku tarian yang lebih keren lagi!』


Kilas balik itu menyala.


Kenangan jauh yang sempat kulupakan, muncul kembali samar dengan suara bising.


『Ada seseorang yang ingin kubuat tersenyum dengan tarianku!』


Sebuah kilasan singkat――


Alasan pertama yang selama ini kulupakan, akhirnya kuingat kembali.


"……hah."


Aku menghela napas panjang, benar-benar pasrah.


Berapa kali lagi aku harus memastikan ini? Tidak heran kalau aku sering dibilang bebal.


Tentu saja situasi sekarang berbeda dengan masa kecilku, dan aku tidak berpikir perasaan saat itu bisa sepenuhnya mewakili diriku yang sekarang.


Tapi itu jelas hatiku, alasanku.


Perasaan itu, biar waktu berlalu bagaimana pun, tidak akan berubah. Itu adalah emosiku sendiri.


"……Ruto-nii?"


"Ah, maaf. Barusan aku melamun."


"Hmm, nggak apa-apa sih. Jadi, kau bakal ngajarin tarian terkuat itu?"


"……Dengar, tarian terkuat itu tidak ada. Tapi aku tahu cara mendekatinya."


"Benarkah!? Kalau gitu ajari aku!"


"Dasar latihan. Isolasi, up dan down. Mungkin kelihatannya membosankan, tapi semakin kau asah gerakan dasar, semakin tinggi kualitas tarianmu. Jadi mulai dari dasar dulu."


"Eh—"


"Jangan protes. Aku juga akan latihan bersamamu. Ayo, panggil Sophie-chan ke sini."


"Baik!"


Entah karena polos atau nekat—itulah keistimewaan anak-anak—Akito langsung menggandeng tangan Sophie-chan dan menyeretnya ke arah kami. 


Cara memperlakukan anak perempuan memang agak kasar, tapi kadang sikap memaksa itu bisa membawa hasil baik juga.


Sophie-chan memang cemberut, tapi dia tidak melepaskan genggaman tangan Akito. Yah, itu sudah cukup jelas.


"Baiklah, hari ini kita mulai dari gerakan dasar hip-hop――"


Kami menari selama kurang lebih satu jam.


Ini adalah pertama kalinya aku mengajari seseorang menari, dan ternyata rasanya menyenangkan.


Sudah lama sekali aku tidak merasa selega ini. Bersama keringat yang mengucur, rasanya beban gelap yang menempel di hatiku ikut tersapu bersih.


……Sekarang, aku merasa seolah bisa meraih sesuatu.


Aku merasa seolah-olah akhirnya bisa berhadapan dengan jawaban yang selama ini kucari.


"Akhirnya giliranku, ya."


"Entah dari mana kau muncul."


Mengesampingkan logika maupun kewajaran, entah sejak kapan Yuuma sudah ada di sebelahku. Saking tiba-tibanya, seakan dia muncul begitu saja dari dalam tanah.


Kemunculan mendadak seorang teman berwajah tampan membuat bukan hanya aku, tapi juga "sensei" yang ada di dekat kami ikut terkejut. 


Tapi karena bagaimanapun juga dia adalah perwakilan kelas dansa ini, mungkin merasa tidak bisa mengabaikan orang asing begitu saja, maka ia pun menyapanya.


"Uhm, kamu temannya Ruto, ya?"


"Ya, maaf atas kunjungan mendadak ini. Aku adalah teman karakternya Ruto-kun, namaku Kotomiya Yuuma."


"Teman karakter?"


"Seorang ahli peran pendukung, yang membantu tokoh utama agar cerita berjalan lancar, mendukung mereka secara alami, tapi tak pernah mencuri sorotan di momen penting, melainkan setia di balik layar."


"Hei Ruto, anak ini sedang bilang apa sih?"


"Aku juga nggak terlalu paham, Sensei."


Pokoknya Yuuma… aku rasa kau justru suka banget mencuri sorotan di mana-mana, deh?


Saat aku menatapnya dengan pandangan datar, tiba-tiba Yae Sakura-sensei bergabung.


"Kau datang juga, Kotomiya. Sudah siap?"


"Ya, kupikir lebih baik kalau semua orang bisa melihatnya bersama, jadi aku pinjam televisi dari nenek di resepsionis. Modelnya agak lama, tapi sepertinya bisa disambungkan."


Sensei berbicara dengannya dengan nada yang begitu alami, seolah memang sudah tahu kalau Yuuma akan datang.


Apa maksud dari "persiapan" itu?


Sementara aku masih bertanya-tanya, Yuuma sudah mulai memainkan kabel dan tablet, lalu menyambungkannya ke televisi yang ada di sudut studio. 


Gerakannya yang terbiasa itu menarik perhatian anak-anak, yang segera mengerubunginya dengan rasa penasaran.


"Bersyukurlah pada Kotomiya. Karena dialah aku jadi tahu tentang keadaan kalian."


"…Oh, begitu."


"Seorang murid yang punya pendirian sekuat itu, adalah yang pertama kali kutemui selama aku mengajar. Tidak perlu ditiru, tapi mental sekuat itu memang patut diperhatikan."


"Yah, memang… begitu, ya."


Aku sendiri belum pernah bertemu dengan orang yang tidak goyah seperti itu.


…Tapi, begitu ya. Aku sempat bingung kenapa sensei tahu soal keadaan kami, ternyata Yuuma diam-diam juga mengkhawatirkanku.


Mengucapkan terima kasih secara langsung itu agak malu-maluin, jadi lain kali mungkin aku akan mentraktirnya makan.


Tapi ada satu hal yang menggangguku. Saat Seira menyatakan perasaannya, Yuuma jelas tidak ada di tempat itu.


"Hei Yuuma, kenapa kau bisa tahu keadaan kami?"


"Haha."


Yuuma hanya tertawa pendek tanpa memberi jawaban. 


…Entah kenapa, senyum yang terlalu indah itu justru membuatku takut, jadi aku memutuskan tidak menanyakan lebih jauh.


Dengan hati-hati aku beralih bertanya pada Yazakura-sensei.


"Jadi, maksudnya persiapan tadi apa?"


"Kau lebih dicintai banyak orang daripada yang kau kira."


"Hah?"


"Satu-satunya orang yang tidak menyadari hal itu hanyalah dirimu sendiri. Tak heran kalau banyak yang menyebutmu lamban peka."


"Eh, maksudnya apa sih?"


Mendapatkan penilaian mendadak yang agak kejam, aku refleks menyipitkan mata.


Tapi tampaknya bahkan sikap itu pun dianggap menyebalkan, karena sensei hanya mengangkat bahu dengan ekspresi lelah.


"Tak peduli berapa kali dijelaskan dengan kata-kata, kau tetap tidak akan mengerti. Karena dirimu sendiri bahkan tidak tahu bagaimana caramu mencintai orang lain."


Sensei tersenyum miris, dan entah kenapa, wajahnya terlihat sedikit kesepian.


Bagaimana caraku mencintai orang lain…? Aku tidak benar-benar tahu apa maksudnya. Namun seakan membaca keraguanku, sensei kembali berbicara.


"Karena kata-kata tidak cukup, ada seseorang yang mencoba menyampaikan itu dengan cara lain."


Tepat pada saat itu, layar televisi yang sedang diutak-atik Yuuma pun menyala.


Diiringi suara riuh kagum dari anak-anak di sekitarnya, sensei menatapku sambil tersenyum.


"Jangan berpaling. Jangan sampai kau mengedipkan mata. Terimalah. Gadis yang ingin kau lindungi itu jauh lebih kuat daripada yang kau bayangkan."


Aku pun menuruti dan menatap ke arah layar televisi.


Bersama alunan musik yang meriah, tayangan sebuah turnamen terpampang jelas di sana.


『Christmas Dance Festa ~Tokyo Preliminary・Women’s Division・Final Match~』


***


Ini pertama kalinya aku menghadapi sebuah dance battle dengan hati yang begitu tenang.


Berdiri di lantai yang bergetar oleh sorakan dan kegembiraan, aku menatap sosok di depanku dengan tatapan penuh tantangan.


"Halo, mademoiselle bermata indah."


Dengan senyum penuh percaya diri, orang itu memberi salam yang dibuat-buat, hampir seperti berakting.


Pakaian mencolok bermotif kotak merah-hitam yang sama sekali tidak cocok untuk sebuah kompetisi dansa. 


Penampilannya membuat orang percaya kalau ia kabur dari sirkus sebagai badut. Namun, di panggung final sebesar ini, dia tetap tersenyum riang tanpa sedikit pun gentar.


Nishine Haruna.


Tahun lalu di "C-DAF", meski masih kelas satu, dia berhasil lolos dari babak penyisihan Tokyo dan maju ke kompetisi utama sebagai penari rock. Ia juga mengunggah video tarian ke media sosial, memikat banyak penggemar dengan kepribadian unik dan kecantikannya yang menonjol, hingga dikenal luas sebagai influencer.


Namanya saja sudah kukenal.


Bahkan teman-teman sekelas yang tidak tertarik pada tari pun pernah kulihat bersemangat menonton channel video "Haruna Crown" di waktu istirahat.


"C-DAF" adalah sebuah event dansa bernuansa festival.


Kemenangan battle bukan ditentukan oleh teknik tari, melainkan lewat voting penonton di internet.


Dalam pertarungan ini, hal itu punya arti besar. Bisa dibilang ini adalah home field milik Nishine Haruna yang punya pengaruh besar di media sosial. Pasti tidak sedikit penggemar yang akan memilihnya tanpa memandang kualitas tarian.


"Andai hanya sebatas itu saja sih, masih mending…"


Aku juga pernah melihat tarian yang diunggahnya di internet.


Dia memang hebat.


Bukan hanya mengandalkan kecantikan dan karakter uniknya. Rock dance yang ia bawakan dengan mengikuti lagu-lagu populer benar-benar penuh dengan ketajaman yang memikat. 


Itu jelas bukan tarian instan. Gerakan dasar yang keras dan membosankan pasti telah ia tanamkan ke tubuhnya bertahun-tahun, dan hasil dari semua usahanya itulah yang memancar dari tariannya.


Mungkin karena aku sempat berpikir begitu, mataku akhirnya bertemu dengan tatapan tajamnya.


"Mademoiselle. Siapa namamu?"


"Nama? Bukan nama panggung, tapi nama asli? Nowa."


"Nowa… Noir… Baiklah, kalau begitu biarkan aku memanggilmu Noir. Sebagai gantinya, panggillah aku Hartina dengan penuh keakraban."


"Cukup Haruna-san saja, kan."


Menanggapi dengan ketus, Haruna-san tersenyum sambil berkata, "Dingin sekali."


Aku merasa jengah dengan keunikannya, tapi pada saat yang sama, aku juga merasakan sebuah ancaman samar.


Orang yang hidup dalam dunianya sendiri itu kuat.


Dance adalah olahraga ekspresi. Keyakinan penuh pada dirinya sendiri, tanpa pernah meragukan selera atau perasaan, akan melahirkan kekuatan persuasif yang aneh pada sebuah tarian.


Pengalaman, prestasi, dan reputasi, semua ada di pihak lawan.

Kalau dipikir-pikir, keberadaanku di panggung final ini saja sudah sebuah keajaiban. 


Hanya karena kombinasi dan lagu yang cocok, serta keberuntungan yang berpihak, aku yang cuma siswa tahun pertama tanpa nama ini bisa sampai sejauh ini.


Seorang penantang yang masih mentah menantang juara bertahan.


Begitulah banyak orang yang menonton pasti menilainya.


"Akan kupecahkan semua itu."


Aku mendeklarasikan perang pada semua prediksi setengah matang yang melayang di udara.


Jangan menyepelekan aku hanya karena imajinasi kalian.


Jangan kurung aku dalam kerangka yang kalian buat sendiri.


Ada hal yang harus kusampaikan.


Aku punya dua teman bodoh yang selalu mengutamakan orang lain ketimbang dirinya sendiri. Mereka bodoh, tapi sangat berharga, dan aku sangat menyayangi mereka. Saat ini, mereka sedang menangis sendirian sambil memeluk lutut.


Aku yang harus memberitahu mereka.


Tidak ada kewajiban untuk selalu berjuang demi orang lain.

Sekali-kali, kita boleh menuruti ego dan perasaan kita sendiri.


"Memang indah sekali matamu, Noir."


"Apa-apaan, tiba-tiba begitu?"


"Di antara semua orang di ruangan ini, hanya kau yang benar-benar mencurahkan hati dalam pertarungan ini. Bagaikan seorang valkyrie yang melangkah ke medan perang suci. Seakan-akan sayap malaikat terlihat di punggungmu."


"Jangan-jangan, kamu pecinta anime?"


"Tujuanmu bukan sekadar menang… tidak, bahkan gelar juara pun hanyalah sarana demi sesuatu yang lebih bagimu."


"…Kau benar-benar memperhatikan, ya."


Kata-kata Haruna-san membuat hatiku serasa berkeringat.


Meski diucapkan dengan gaya konyol, ucapannya menyentuh sesuatu yang benar.


Jangan sampai kalah mental, aku memperingatkan diriku sendiri.


Dance battle adalah pertarungan hati. Begitu mental goyah, tarian ikut hancur, dan hasil akhirnya ditentukan seketika.


Aku menegaskan kembali tekadku.


Kuperiksa bentuk tekad yang mendidih dalam hatiku, lalu kuangkat wajahku.


"Jadi, maksudmu apa? Kau akan menahan diri?"


"Jangan berkata menyedihkan begitu, Noir. Aku pun punya keinginanku sendiri. Mari datanglah, valkyrie bermata kuat! Mari bertarung sampai panah habis dan tenaga terkuras! Itulah seni sejati yang hanya bisa kita ciptakan bersama!"


"Hmph, aku tidak membenci semangat seperti itu. Ngomong-ngomong, apa keinginanmu, Haruna-san?"


"Aku ingin dielu-elukan. Aku ingin tarianku dipuji. Aku ingin jadi populer."


"Jadi seni yang kau maksud itu sesederhana hasratmu!?"


Aku terkejut, tapi kejujuran dari hasratnya justru terasa menyenangkan.


Lagipula, siapa penari yang tak ingin dipuji? Saat belajar teknik baru, gerakan baru, siapa pun ingin mendengar, "Hebat sekali," dari guru, orang tua, atau teman.


Sederhana, tapi itulah bahan bakar terpenting yang membuat seorang penari terus menari.


Meski merasa lawan ini berat, aku tanpa sadar tersenyum kecil.


Andai Ruto sesederhana ini, pasti lebih mudah. Bahkan di saat seperti ini pun, aku teringat pada si bodoh itu dan mendapati diriku tertawa, lalu merasa kesal pada hati kecilku sendiri.


"Kalau begitu, mari kita mulai. Mari buat semua orang di sini terpikat dengan waltz kita!"


"Aku tidak bisa menari waltz. Sebagai gantinya, akan kutunjukkan hip hop-ku!"


Musik mulai mengalun.


Intro yang ringan menggema di arena, membuatku dan Haruna-san serempak tersentak bahu. Pilihan lagu yang mengejutkan itu membuat kami sama-sama terguncang.


Ini… sebuah anisong.


Lagu pembuka anime populer musim panas tahun ini. Lagu itu mendunia, hingga versi bahasa Inggrisnya bahkan berhasil menjadi lagu artis Jepang pertama yang meraih peringkat satu di tangga musik global. Sebuah monster hit.


Jarang sekali J-Pop dipilih, apalagi anisong…


Arena pun riuh dengan gumaman kaget.


Namun orang pertama yang menerima guncangan itu dengan cepat adalah Haruna-san.


"Maaf, Noir. Kita hanya bisa menari mengikuti takdir."


"…Apa maksudmu?"


Tanpa menjawab pertanyaanku, Haruna-san lebih dulu melompat ke lantai dan mulai menari.


Sorakan memuncak. Sambil mendengarnya, aku mulai memikirkan maksud dari pemilihan lagu ini.


"C-DAF" memang lebih condong ke festival, bukan soal menang atau kalah, melainkan kesenangan. Panitia jelas ingin semakin banyak orang mengenal tarian.


Dan belakangan ini, yang paling populer di media sosial adalah… anisong dance.


Entah itu koreografi orisinal dengan lagu anime terkenal, atau tarian karakter dalam karya yang direka ulang, semua itu menjadi pusat perhatian.


Bahkan ada selebriti dan penari profesional yang mengunggah tarian anisong, begitu besarnya pengaruhnya.


Artinya, panitia memilih lagu yang akrab dan bisa diterima banyak orang agar tarian lebih dikenal. Pasti itulah alasannya.


"Aku mengerti sekarang…"


Dan akhirnya aku paham kenapa Haruna-san sempat meminta maaf.


Dia adalah seorang influencer. Sosok yang peka terhadap tren. Bahkan untuk anisong yang sempat jadi bahan pembicaraan di internet ini, dia punya pemahaman yang dalam—mungkin saja dia bahkan pernah merekam video tarian dengan lagu itu.


Perbedaan dalam tingkat pemahaman terhadap lagu.


Itu mungkin bukanlah sesuatu yang benar-benar menentukan, tapi jelas bisa melahirkan perbedaan nyata dalam gerakan tarian.


Tanpa disengaja, sebelum tarian dimulai pun sudah tercipta jarak. Haruna-san meminta maaf karena merasa bersalah soal itu… mengambil langkah pertama mungkin adalah bentuk belas kasihannya.


Dalam dance battle, pada dasarnya pihak yang tampil belakangan lebih diuntungkan. Mereka punya waktu lebih untuk memikirkan koreografi, dan bisa menari sambil menanggapi apa yang sudah ditunjukkan lawan.


"――Meremehkan juga ya."


Mulutku menggerutu, tapi wajahku tersenyum.


Aku terpicu oleh tarian Haruna-san. Dari gerakan intens, tiba-tiba tubuhnya berhenti kaku seolah waktu terhenti. Itulah asal-usul nama "locking". 


Tarian Haruna-san, yang menghentikan tubuhnya seolah terkunci, menarik mataku lewat irama naik-turun yang kontras.


Otot, sendi, tubuh, bahkan dalam tempo cepat, semua terkendali penuh. Itu bukan wilayah yang bisa dicapai hanya dengan bakat atau naluri. Aroma kerja keras yang tak bisa disembunyikan terasa menusuk hidung.


Yang paling penting, dia terlihat sangat menikmatinya.


"Fufu, hahahaha!!"


Sambil tertawa seperti anak kecil, Haruna-san menari. Dia menikmati tarian, musik, tatapan penonton, sorak-sorai, dan panggung final ini, dari lubuk hatinya.


…Ah, ya.


Perasaan itu menular.


Tubuhku ikut tertarik pada ‘kesenangan’ yang meledak dari dirinya.


"Noir! Inilah locking-ku! Lihat baik-baik!!"


"…Bahkan tanpa kau bilang pun aku sudah melihatnya, sampai kesal rasanya."


Sambil menenangkan jantungku yang berdetak kencang, aku sedikit menyesal.


Selama ini aku mengira influencer hanya orang-orang yang menunggangi tren, menjadikan tarian sekadar alat untuk meraih popularitas.


Tapi, dengan melihat ini, aku mengerti. Aku dipaksa untuk mengerti.


Cintanya pada tarian itu nyata. Dia suka menari, seorang ekspresor emosi yang bisa menyampaikan betapa menyenangkannya tarian kepada dunia. 


Tarian Haruna-san, yang terus ia bagikan pada dunia yang jauh lebih luas dariku, punya daya tarik yang cukup untuk memikat siapa pun.


Aku mengakuinya.


Tapi di atas semua itu—


"Aku tidak berniat kalah begitu saja!"


Giliranku tiba.


Menggantikan Haruna-san di lantai, aku melompat masuk dengan step lincah yang menekan beat. Mengikuti modulasi yang masuk di bait kedua lagu, aku terus menumpukkan gerakan naik dan turun yang detail.


"Mh!"


Haruna-san mengeluarkan suara kecil. Tersirat jelas kekagetan di sana.


Menangkap beat adalah gerakan yang mustahil dilakukan tanpa benar-benar memahami alur lagu. Walau lagu pop ini terkenal luas, dia tetap terkejut aku bisa menangkap irama dengan sempurna.


"Noir, kau kenal lagu ini?"


Menjawab pertanyaan Haruna-san yang berkedip sebelah mata, aku membalas dengan groove.


"Memangnya salah kalau ada penari yang suka anime?"


Sambil menggeser kaki penopang, aku berkata dengan penuh percaya diri.


Di kepalaku, adegan anime yang pernah kutonton bersama Seira terputar. Sesuai dengan adegan, sesuai dengan lirik, aku menyatukan hatiku dengan para karakter. 


Sebagai pengganti hatiku itu, aku menari dengan ekspresi dan gerakan penuh hidup, menjadikan tarianku sebuah kisah.


"Hmph."


Senyum yang seperti dengusan kecil lolos begitu saja.


Kalau aku tidak bertemu Seira, mungkin aku tak pernah punya kesempatan menonton anime. Hari-hari yang tampak tak ada hubungannya, kenangan kecil yang menumpuk, berputar dan akhirnya menjadi sumber kekuatan untuk tarianku. Pertemuan aneh itu membuat langkah kakiku terasa ringan seperti sayap.


"Luar biasa, Noir. Sebenarnya aku juga pecinta anime sejati, rekomendasi musim ini adalah—"


"Itu bukan saatnya bicara begituan!?"


Kaget oleh Haruna-san yang sama sekali tak goyah, aku tetap menuntaskan tarian.


Sorak penonton terbagi rata, seimbang.

Bisa dibilang pertarungan yang sepadan.


Tapi aku tidak butuh penghargaan semacam "usaha bagus". Yang kuinginkan hanyalah kemenangan. Hasil mutlak yang menunjukkan aku lebih kuat.


Lawan ini seorang influencer dunia maya. Kalau reaksi penonton imbang, hasil voting yang mencakup dunia online pasti akan condong ke Haruna-san.


Lagu kedua mulai diputar.


Kali ini musik Barat, lagu battle klasik dengan beat soul yang panas.


Menggantikan posisiku di lantai, Haruna-san tersenyum.


"Ayo lanjut, Noir! Pertempuran suci yang bisa mengguncang dunia, kau dan aku yang memainkannya!"


"Aku tidak peduli dunia. Selama bisa mengalahkanmu dengan tarianku, itu sudah cukup!"


Tertawa seolah bahkan permusuhanku terasa menyenangkan, Haruna-san mulai menari.


Kekuatannya tak berkurang. Walau tempo cepat, di titik-titik penting tubuhnya berhenti kaku dengan locking, sampai membuatku meragukan apakah dia benar-benar bisa mengendalikan waktu.


――Kuat!


Aku kembali menyadari apa yang sudah kuketahui, tapi tetap menegaskan pada diriku sendiri.


――Tapi aku tidak akan kalah!


Menerobos tekanan di venue, aku melompat ke lantai.


Yang kupakai adalah rutinitas yang sudah kulatih berkali-kali bersama Ruto. Gerakan yang meresap ke tubuhku menjadi tombak yang membelah udara dengan kelenturan.


Ini bukan jawaban untuk tarian lawan. Ini adalah gaya kami sendiri yang tak tergoyahkan. Pertarungan kami seperti duel pukul-pukulan tanpa guard.


Aku memang ahli menyerang, tapi lemah dalam menerima.


Tidak boleh ikut arus lawan. Aku harus terus menciptakan atmosfer dengan tarianku sendiri.


Serang, serang, serang!


"Fufu, menyenangkan sekali, Noir."


"…Sial!!"


Tapi, sekeras apa pun aku menyerang, kepercayaan diri Haruna-san tak goyah.


Sudah lagu ketiga, tapi tarian di hadapanku masih belum melemah. Malah, seakan makin panas, lebih tajam daripada yang pertama. 


Napasnya memang mulai memburu, tapi wajahnya masih penuh tenaga. Gila, seberapa besar stamina orang ini…


"……!!"


Mungkin karena panik, aku membuat kesalahan fatal.


Kaki melayang ringan, langkah yang menarik kaki tumpuan. Saat footwork itu, bersamaan dengan menarik napas, pergelangan kakiku terkilir.


"――ugh!?"


Rasa sakit menusuk membuat wajahku kaku.


Kesalahan dasar yang biasanya tidak mungkin kulakukan. Sial, kenapa harus sekarang…!?


Meski kubilang tak peduli, mungkin sebenarnya aku tegang menghadapi panggung final ini? Atau karena terus menari dengan tenaga penuh, stamina-ku terkuras? Apa pun alasannya, hasilnya sama—aku sudah melakukannya.


Apa yang harus kulakukan, kecemasan mulai tumbuh.


Dan lawan di hadapanku langsung menyadarinya.


"Jangan memaksakan diri, Noir."


Suaranya penuh keyakinan. Tarian yang kututupi dengan menahan sakit itu tidak bisa menipu mata seorang penari yang selalu mengawasiku dari dekat.


"Pesona tariamu ada pada vitalitasnya. Langkah kakimu yang ringan seperti sayap adalah pondasi segalanya. Dengan satu sayap yang rusak kau takkan bisa menuju langit. Seperti Ikarus yang terbang dengan sayap lilin menuju bintang, pada akhirnya hanya akan jatuh ke tanah."


"….."


"Lebih serius lagi, kau masih kelas satu, kan? Kau masih punya kesempatan. Ini bukan saatnya memaksakan diri. Pergilah cepat dan pastikan kondisi lukamu."


Suara tenang yang melontarkan kebenaran itu dipenuhi dengan perasaan tulus yang benar-benar memikirkan aku dari lubuk hati.


Karena itulah aku menyadarinya.


…Ah, ini yang disebut penari sejati.


Orang ini sejak awal terus melihatku. Menikmati menari bersamaku. Bahkan pada aku, seorang siswi tahun pertama yang tak dikenal, dia tidak pernah lupa memberi rasa hormat.


Keanggunan itu membuat dadaku perlahan terasa hangat. Namun, di dalam hati aku berbisik kecil.


—Terima kasih, maaf ya.


Tidak ada lain kali.


Kalau aku tidak bertarung di sini, pasti ada sesuatu yang tidak akan pernah kembali lagi.


Karena ini adalah sesuatu yang sama sekali tidak ingin aku kehilangan, aku sudah memutuskan untuk berjuang.


Kalau itu untuk tujuan itu, aku bisa menari sebanyak apa pun.


Aku tidak kenal rasa sakit.


Aku punya alasan untuk membentangkan sayap yang penuh luka sekalipun, dan tetap mengepak menuju langit.


"—Aku tidak bisa berhenti di tempat seperti ini!"


Rasa sakit berdenyut di kaki, aku lawan dengan adrenalin yang meledak-ledak.


Duar!! Aku menghentakkan kakiku.


Swoosh!! Angin terbelah.


Bertumpu di ujung jari kaki, dengan kaki satunya yang ditekuk aku berputar lebar ke samping.


Grand Fouetté.


Rond de Jambe en Tournant.


Putaran balet yang dulu menyeret diriku yang kecil ke dalam dunia tari.


Seakan mengulang kembali pemandangan di hari yang kuimpikan, aku berputar sambil menggiring suasana di seluruh arena.


—Ini seluruh kekuatanku! Inilah dancaku!


Menirukan Odile, si Angsa Hitam, aku menghantamkan 32 putaran.


Sakit, sakit… tidak sakit!


Meyakinkan diri sendiri, aku berteriak dalam hati dan mengalirkan gerakan itu ke langkah selanjutnya.


Melihat tarian yang memaksa diri itu, Haruna-san membuka lebar matanya.


"Masih ingin terbangkah, dengan sayapmu yang sudah compang-camping itu!?"


"Berapa kali pun aku akan terbang! Sampai aku menembus awan yang menutupi langit, dan menyampaikan suaraku pada bintang-bintang!!"


Dug-dug, jantung berdebar cepat.


Panas yang entah karena semangat atau rasa sakit mengamuk dalam tubuhku.


Aku punya alasan yang membuatku tak boleh kalah.


Aku punya perasaan yang ingin kusampaikan.


Karena itu, aku tidak bisa berhenti di sini.


Menyadari itu dari tarian yang kulakukan, Haruna-san tertawa bahagia.


"Aku akan melawanmu dengan sepenuh tenaga. Sekarang aku mengerti, itulah bentuk sopan santun padamu."


"—Kamu benar-benar penari yang hebat!"


Lagu keempat. Lagu terakhir pun mengalun.


Membawa api yang membara di dalam hati, kami memulai tarian terakhir kami.


***


Itu hanyalah benturan keras kepala.


"…Apa ini?"


Dalam siaran turnamen di televisi—aku terdiam melihat tarian Nowa.


Itu bukan soal keindahan. Bukan juga soal teknik.


Tarian yang saling menabrakkan pernyataan itu lebih kental dengan rasa perjuangan ketimbang keanggunan.


Gerakan Nowa, yang mungkin terkilir kakinya di pertengahan lagu ketiga, jelas kehilangan ketajaman.


Namun—aku sama sekali tak bisa memalingkan pandangan darinya.


Di sana ada tekad.


Ada perasaan kuat untuk menang, dan ada pesan nyata yang ingin disampaikan pada seseorang.


…Apa?


…Pada siapa, apa yang ingin Nowa sampaikan?


Jantungku berdetak, mengedarkan darah panas ke seluruh tubuh.


Ujung jariku bergetar seolah mencari sesuatu, kakiku gatal ingin bergerak, dan mataku terasa hangat dengan tetesan air yang mulai menggenang.


Tarian Nowa yang mempertaruhkan segalanya itu begitu berharga, panasnya menular sampai ke jiwaku.


Di depan hatiku yang meringkuk sambil memeluk lutut, sehelai bulu hitam beterbangan, seakan menuntunku ke suatu tempat.


"Ayo semangat, Nowa-nee!!"


"Jangan kalah!!"


Adik-adik kelas bersorak sampai suara mereka serak.


Hatiku terseret.


Jiwa Nowa yang memanas, menanamkan panas itu ke semua orang yang melihatnya.


Kedudukan imbang.


Tampilan grafik voting di layar.


Tadi selalu sekitar tujuh banding tiga untuk keunggulan Nishine-san, perlahan berbalik condong ke Nowa.


"…Semangatlah…"


Tanpa sadar, aku juga ikut bersuara.


Aku sudah terhanyut oleh tarian itu.


Di depan semangat sebesar itu, berpaling justru terasa mustahil.


"Semangat… semangat, Nowa!!"


Mungkin karena sakit, Nowa berkali-kali meringis, kakinya pun sering tersandung.


Namun ia tidak pernah jatuh. Tidak pernah patah. Seakan ada inti hati yang tegak lurus menopang tubuhnya.


Ia tidak mundur, tidak takut, berdiri melawan, melawan arus, bertarung.


Mungkin ada orang yang menyebut tarian yang mengais-ngais di lumpur itu jelek.


Tapi di mataku, ia begitu bersinar.


Tarian Nowa, yang menggertakkan gigi sambil terobsesi untuk menang dengan sepenuh tenaga, seolah mengajarkan pada kita keindahan dari upaya seekor burung yang mencoba terbang ke langit meski dalam kegelapan.


"…Nowa…!!"


Tiba-tiba aku seakan melihatnya.


Di punggung Nowa.


Sayap hitam pekat yang mulia, membentang meski penuh luka.


Kepakan itu mungkin tidak akan pernah mencapai angkasa. Namun, kini tak ada seorang pun yang akan menyebutnya jelek.


Boleh serampangan. Boleh dengan seluruh tenaga. Boleh bebas. Boleh panas.


Meski compang-camping, tarian Nowa yang terus bertarung itu membisikkan padaku: jangan menyerah.


Meraih bintang dengan tangannya. Keindahan itu dibuktikan Nowa dengan dancenya.


Dan akhirnya saat itu pun tiba.


Waktu penentuan.


Lagu berakhir, Nowa yang telah mengeluarkan segalanya ambruk di tempat.


Yang langsung berlari menghampiri dan memapah bahunya, adalah lawannya, Nishine-san.


Suasana arena bergemuruh.


Ketegangan yang nyaris meledak seperti balon, menyelinap di antara penonton.


MC menggenggam mikrofon.


Hasilnya.


Siapa yang lebih banyak menggetarkan hati orang-orang.

Itulah yang diumumkan.


『Haruna Crown』678 suara

『Nowawa』681 suara


Selisih tipis.


Hanya tiga suara.


Namun itu cukup untuk menentukan kemenangan.


Nowa menang.


"………………!!"


Mataku perlahan terasa panas.


Tidak, bukan hanya di sekitar mata. Seluruh tubuhku terasa panas dan tak tertahankan.


Dengan kekuatan tekad yang tak pernah patah, kemenangan berhasil ia gapai.


Nafasnya terengah, matanya memerah, tubuhnya terhuyung, tak mampu berdiri dengan kekuatannya sendiri, hanya bisa bertahan berkat ditopang lawannya.


Sosok Nowa yang begitu compang-camping itu, entah kenapa membuatku sangat bangga.


Dan di saat yang sama—aku iri.


…Mengeluarkan segalanya demi tarian.


…Sebenarnya, seperti apa rasanya?


Sambil merasa hina karena emosi jelek yang mirip rasa cemburu, aku tetap saja berpikir begitu.


Aku ingin tahu bagaimana rasanya, dari partner yang baru saja menuntaskan tarian yang mustahil bisa kulakukan sekarang.


Turnamen pun berakhir, dan wawancara untuk Nowa yang meraih posisi perwakilan Tokyo dimulai.


"Pelan-pelan saja tidak apa-apa," kata MC sambil menyodorkan mikrofon dengan penuh perhatian.


—Bisakah kami dengar perasaanmu sekarang?


Nowa, yang masih ditopang Nishine-san tanpa tenaga.

Dengan lembut.


Menampilkan senyum yang penuh kasih.


『Hei, Ruto』


Deg! Jantungku berdenyut keras.


Tatapan Nowa mengarah lurus pada kamera—melihat tepat ke arahku yang ada di baliknya.


『Aku… sudah jadi kuat』


Mengabaikan alur wawancara, Nowa mengatakan apa yang ingin ia katakan.


Suasana kebingungan terasa di arena, tapi tak ada seorang pun yang mencoba menghentikannya.


Pasti mereka menyadarinya.


Nowa punya sesuatu yang ingin ia sampaikan. Tarian tadi adalah sebuah pesan untuk seseorang.


Hanya Nishine-san yang menopang sang pemenang, tersenyum hangat seakan memberinya restu.


『Aku dan Seira juga bukan lemah, tahu? Kami bisa berdiri dengan kekuatan sendiri. Kalau ada yang kami inginkan, kami bisa meraihnya sendiri. Jadi Ruto nggak perlu menanggung semua beban kami』


Itu yang Nowa sampaikan.


Ia membuktikannya dengan tarian yang begitu kuat.


Hanya demi itu, ia bertarung mati-matian.


Tubuhku bergetar hebat.


Menerima perasaan sebesar ini membuat hatiku dipenuhi hangat yang tak terkira.


Nowa tersenyum.


Gadis yang bertarung habis-habisan hanya tersenyum ketika berkata demikian.


『Jadi, menarilah sesukamu』


Aku menerimanya.


Tekad yang lebih berharga dari permata, aku menerimanya.


『Menarilah dengan makna "suka" yang kau sematkan di dalamnya』


Aku menghadapi.


Aku benar-benar menghadapi semua perasaan yang ia persembahkan, kali ini tanpa memalingkan wajah.


『Menarilah dengan cara yang benar-benar kau inginkan, Ruto』


Aku mengukirnya.


Hatimu yang kau sodorkan tanpa bungkus sedikit pun, akan kuukir habis-habisan ke dalam jiwaku.


『Karena laki-laki yang aku cintai tidak boleh berhenti di tempat seperti itu』


Apakah akan sampai? Semoga sampai.


Seperti meniupkan doa pada sehelai bulu kapas yang terbang di udara, Nowa tersenyum lembut.


"Aku percaya padamu," begitu yang dikatakan tatapan matanya.


Ia tak ingin jalan yang pernah kami tapaki bersama menjadi kebohongan.


Dengan hati yang lapang, Nowa menumpahkan kata-kata apa adanya.


『Karena laki-laki yang aku cintai adalah dirimu, yang menari dengan wajah paling bahagia』


Aku teringat.


Hari-hari yang kujalani bersama Nowa.


Bukan hanya hal-hal menyenangkan, tapi banyak pula yang berat dan menyakitkan.


Namun meski begitu, setelah kami beradu segalanya, Nowa tetap ada di sisiku.


Tangan yang hampir terlepas masih saling menggenggam, karena ia yang kembali meraihnya.


Baru sekarang aku benar-benar sadar, betapa itu adalah sebuah keajaiban, betapa itu adalah sebuah kebahagiaan.


『Jadi aku akan menunggu. Menunggu tarianmu yang kusukai, Ruto』


Sampai akhir ia tersenyum, mengantarkan hatiku.


"Aku tahu," suara itu seakan terdengar.


Tak peduli seberapa lama aku ragu, terluka, atau meringkuk dalam kegelapan.


Kalau itu Ruto, pasti pada akhirnya akan bangkit dan kembali berlari.


Kepercayaan sebesar itu, aku terima dari Nowa.


Aku mendengar suara partner yang paling kuat, paling bersinar, yang menari dengan seluruh kekuatannya di dunia ini.


Seperti cahaya yang menembus celah awan, suara itu menghangatkan hatiku yang telah gelap.


Seluruh emosi dingin yang bersarang di dalam tubuhku, terganti dengan sesuatu yang panas.


Aku benar-benar merasakan itu.


『—Aku cinta padamu, Ruto』


Dengan senyum, kata itu terucap lembut—dan siaran turnamen pun berakhir.


"…….."


Untuk beberapa saat aku terus menatap layar televisi yang gelap.


Sambil mendengarkan suara jantungku yang berdegup kencang, aku menerima kata-kata yang Nowa sampaikan padaku.


Perasaan itu terlalu lurus, terlalu besar, hingga tak bisa tertampung di wadah kecil bernama hatiku.


Sampai tanpa sadar… air mata mengalir di pipiku.


Kegelapan di dalam hatiku yang selama ini ingin aku keluarkan, mengalir bersama air mata.


"…Boleh nggak ya?"


Aku bergumam pelan.


Padahal sebenarnya aku sudah tahu jawabannya.


Seperti anak kecil yang terus tersesat, aku membiarkan suaraku yang serak karena tangisan keluar.


"Boleh nggak kalau aku menari hanya karena aku ingin menari?"


Seakan-akan memastikan setiap kata.

Seakan-akan memastikan setiap perasaan.

Aku menanyakannya lagi dan lagi.


"Hanya dengan alasan sesederhana itu, boleh nggak aku melangkah ke dunia yang begitu terang ini?"


Aku jujur pada hatiku sendiri.


Jawaban itu begitu sederhana, sampai-sampai membuat semua kebimbanganku selama ini terasa konyol.


Itu mungkin jawaban yang egois, yang tidak menjamin kebahagiaan siapa pun.


Tapi.


Aku bergumam dalam hati, "Apa itu saja cukup?"


Nowa tersenyum dan menjawab, "Itu saja sudah cukup."


Meskipun aku tidak bisa percaya pada diriku sendiri, mempercayai kata-kata itu adalah sesuatu yang bisa kulakukan.


Karena aku bisa melakukannya, maka aku harus mengangkat wajahku. Benar-benar mengangkat wajahku.


Yuuma tersenyum dengan mata yang berkilau penuh semangat.


"Sensei" tersenyum seolah menyadari sesuatu. Hanya sensei itu yang mengangkat bahunya seakan-akan pasrah.


Dunia yang kulihat ketika kuangkat wajahku terasa begitu luas, tapi aku tidak lagi merasakan takut di sana.


Aku membuka mata.


Sambil memandang dunia yang dipenuhi cahaya, aku menghadap ke depan dengan perasaan seolah melangkah menuju hari esok.


Aku tidak akan berpaling lagi. 


Ada sesuatu yang telah kuterima. Api di dalam hatiku untuk bisa bangkit kembali masih menyala.


――Ayo, menari.


Bukan untuk siapa pun. Untuk apa yang benar-benar ingin kulakukan.


"Hei Ruto, setelah ini kau mau bagaimana?"

tanya Yuuma.


Teman yang bertanya dengan gembira itu pasti bisa aku jawab sekarang.


Aku tersenyum.


Seolah bangga pada jalan hidup yang akhirnya kusadari.


Seolah ingin menyampaikan sesuatu yang berharga yang kuterima ini menuju masa depan.


Untuk menyampaikan apa yang ingin kulakukan, lewat tarian milikku.


"Kuledakkan semuanya."



Previous Chapter | ToC | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close