NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

America Gaeri no Uzakawa Osananajimi Volume 3 Epilogue

 Penerjemah: Flykitty

Proffreader: Flykitty


Epilogue

Curtain Call  

Menari Menuju Hari Esok


Sejak aku dan Seira menjadi sepasang kekasih――empat tahun telah berlalu.


Sekarang aku mahasiswa tahun kedua. Dan meski masih awal, aku juga sudah diberi kesempatan untuk bekerja sebagai penari profesional.


Saat lulus SMA, aku mendapat tawaran untuk bergabung ke sebuah agensi, dan bersama Nowa yang juga dipanggil, kami pun bergabung ke sana. Yah, hidup hanya dari itu masih terasa sulit, jadi aku tetap melanjutkan kuliah. Lagi pula pekerjaan sebagai penari pun tidak datang sesibuk itu.


Kegiatannya sebatas beberapa kali pertunjukan dalam sebulan. Kadang juga menjadi penari latar untuk seorang artis, atau muncul sekilas sebagai figuran di video musik.


Memang bukan pekerjaan besar yang bisa membuat namaku dikenal luas, tapi pengalaman mendapat bayaran dari menari itu sendiri terasa begitu segar, dan yang terpenting――menyenangkan.


***


"Baiklah, untuk tamu undangan festival budaya tahun ini, aku serahkan pada kalian. Nanti mendekati waktunya akan kukabari lagi, jadi kosongkan jadwal kalian."


Di ruang bimbingan murid di gedung SMA Kanaha yang begitu kukenal, aku tengah berbicara dengan Yazakura-sensei.


Ini juga soal pekerjaan. Setelah kami lulus, beliau menjadi penanggung jawab festival budaya, dan memilih aku serta Nowa sebagai tamu undangan untuk tampil di panggung.


Aku menerima dokumen kontrak yang diserahkan. Saat melihat jumlah honor yang tertera di sana, aku tak bisa menahan diri untuk menggaruk kepala.


"Kan kami juga lulusan sini, Sensei. Kalau cuma menari, tak masalah kok kalau gratis."


"Kau berencana hidup sebagai penari profesional, bukan? Kalau begitu, jangan menjual murah tarianmu. Itu sama saja dengan merendahkan nilaimu sebagai penari."


"……"


"Hm? Kenapa wajahmu terlihat begitu senang?"


"Ah, cuma… rasanya sudah lama sekali aku tidak dimarahi Sensei."


"…… Beberapa tahun tidak bertemu, tapi tampaknya seleramu semakin menyimpang, ya. Apa ini hasil ‘didikan’ Yuzuki?"


"Aku rasa, seorang guru sebaiknya tidak asal bicara soal ‘selera’ atau ‘didikan’ begitu, Sensei."


Menanggapi protesku, Sensei hanya menghela napas, seolah menyerah.


Dan aku melihat cincin berkilau di jari manis tangan beliau yang terlipat――aku tersenyum.


"Selamat atas pernikahannya."


"Ah, terima kasih."


"Bisa juga ya, membuat ‘Sensei si gila tari’ itu luluh hatinya."


"Gampang saja. Aku seret lehernya ke kantor catatan sipil, lalu langsung kuserahkan formulir pernikahan untuk ia tandatangani."


"……"


Aku menahan diri sekuat tenaga agar tidak berkomentar "bukankah itu kriminal".


Tapi, bagaimanapun juga, tak ada yang salah dalam hubungan mereka berdua. Pernikahan itu hanya mewujudkan apa yang memang sudah ada di hati mereka. Jadi biarlah begitu saja. Aku juga masih ingin Sensei tetap menjadi guru.


"Ngomong-ngomong, Maiori. Kau diundang ke 'New York Your Dance World Final' tahun ini, bukan?"


"Ya, undangannya baru tiba kemarin."


"Begitu, kalau begitu aku akan menyampaikan pesan titipan dari Niko. ――Katanya, 'kali ini aku tidak akan kalah'."


"…… Tolong sampaikan juga dariku, 'aku juga tidak akan kalah'."


Dengan tekad penuh di mata, aku membalas pesan itu.

Sensei tersenyum kecil, seolah ikut senang karenanya. Dan aku pun ikut merasa bahagia.


Yazakura-sensei adalah sosok yang berjasa dalam hidupku.


Aku bisa tersenyum sambil menari hingga sekarang, karena dulu beliau menopang hatiku yang hampir hancur. Jadi mungkin bukan tepat kalau kusebut "menari menggantikan Sensei yang tak bisa lagi menari", tapi yang pasti――aku ingin orang ini terus melihat tarianku, selamanya.


"Kalau begitu, aku pergi dulu. Masih ada urusan lain."


"Sepertinya pekerjaan Sensei memang sibuk, ya?"


"Ah, bukan begitu. Malam ini ada siaran Aures-sama. Jadi aku ingin cepat pulang demi itu."


"……"


Aku tak bisa menahan kerut di keningku.


Belakangan baru aku tahu――VTuber yang begitu didukung Sensei itu, sebenarnya adalah Yuuma.


Ada kalanya kebenaran lebih baik tidak diketahui.


Aku memang tak begitu paham soal ‘oshi-katsu’ atau budaya mendukung idola virtual, tapi… seorang guru yang melempar superchat pada muridnya sendiri, jelas bukanlah hal yang sehat.


Itu rahasia yang tak akan membahagiakan siapa pun. Maka aku menelannya bulat-bulat, bersama ludahku.


***


"Oh? Jadi Yazakura-sensei menikah? Jarang-jarang ada karakter guru yang tidak berakhir sebagai perawan tua."


Kata-kata kurang ajar itu keluar dari mulut seorang teman berwajah tampan. Aku hanya bisa menatapnya dengan ekspresi jengkel.


Sudah lama tidak bertemu dengan Yuuma, tapi dari sikapnya, jelas ia masih hidup dengan cara yang sama seperti dulu.


Setelah lulus, Yuuma melanjutkan ke sekolah kejuruan khusus pengisi suara.


Bukan karena ingin jadi seiyuu, tapi karena ada jalur untuk mengejar impiannya――menjadi aktor 2.5D.


Kabarnya ia meraih hasil yang bagus di sana. Bahkan, meski masih berstatus pelajar, kemampuannya sudah diakui hingga sempat dipanggil ke panggung profesional.


Itu memang hebat. Tapi aku tidak kaget.


Yuuma memang orang yang bisa melakukan itu.


Sejak SMA, ia tidak pernah goyah. Sekarang, aku bisa melihat jelas arah yang dituju dalam tindakannya.


Aku merasa bangga punya teman yang berjuang begitu keras demi mimpinya.


"Hei, Ruto. Boleh kita foto bareng? Buat ku-post di SNS."


"Boleh saja. Tapi… yakin mau denganku?"


"Tentu. Aku juga ingin memberi sedikit ‘kode’ pada penggemar wanitaku."


"……Kode apa, maksudmu?"


Aku bertanya, tapi Yuuma hanya tersenyum tanpa menjawab.


Ya sudah lah, kalau hanya foto bersama.


Tapi entah kenapa, jaraknya terasa lebih dekat dari seharusnya. Tatapan Yuuma padaku pun terasa panas――mungkin itu cuma perasaanku saja?


"Oh iya, Ruto. Nanti ajari aku menari, ya."


"Menari? Kamu?"


"Iya. Di pertunjukan berikutnya ada adegan tarian. Di sekolah sebenarnya ada pelajaran juga, tapi untukku, penari nomor satu tetaplah Ruto."


"Jangan bilang yang aneh-aneh begitu."


"Itu bukan hal aneh. Aku ingin bisa menari seperti Ruto, supaya penonton yang datang juga bisa merasa senang."


Dengan wajah serius, Yuuma berkata begitu.


Dan aku kembali merasa bangga punya teman yang bisa berkata setulus itu.


"Baiklah. Kapan kau ada waktu kosong?"


"Hm, sebentar ya…"


Kami pun menunduk bersama menatap buku jadwal, mencari tanggal yang cocok.


Hanya membuat janji untuk berlatih tarian dengan seorang teman――tapi bagi diriku, itu sudah terasa begitu menyenangkan.


***


Sejak lulus SMA, aku pindah rumah dan kini tinggal bersama Seira.


Jujur saja, meski malu diucapkan, kami menjalani hari-hari penuh kemesraan.


Pagi hari, sambil mengucek mata, kami duduk berdampingan menikmati sarapan. 


Seira yang sulit bangun tidur sering menumpahkan makanan di mulutnya, jadi aku menghela napas kecil lalu mengelapnya dengan tisu. Dia akan tersenyum polos dengan wajah hangat――dan itu sungguh menggemaskan sekaligus curang.


Kami kuliah di universitas yang sama, jadi berangkat pun bersama. Hanya dengan berjalan sambil berbincang ringan dengannya sudah menyenangkan. 


Kadang kalau melewati jalan sepi, kami diam-diam menggenggam tangan――membuatku berdebar seperti sedang berbagi rahasia kecil berdua.


Makan malam sering dimasak oleh Seira. Saat aku melihatnya berdiri di dapur dengan apron, khayalan nakal kadang muncul begitu saja. 


Masakannya pun semakin enak, selera makanku sudah benar-benar ditaklukkan olehnya. Saat aku makan dengan lahap, wajah bahagia Seira membuatku ingin makan lebih banyak lagi.


Kadang kami mandi bersama, saling membersihkan tubuh satu sama lain.


Dan tentu saja, kami tidur di ranjang yang sama. Kalau suasana sedang naik, kami akan saling menyentuh bagian sensitif masing-masing, hingga suara manis kami bergema di malam yang sunyi.


――Namun.


Semua yang kuceritakan barusan bukanlah kisahku dengan Seira.


Itu adalah kisah antara Seira dan Nowa.


Suatu hari.


Saat aku sedang duduk di ruang tamu minum kopi, dari kamar tidur di lantai dua turunlah Seira dan Nowa.


"……Fuaaah… selamat pagi, Ruu-kun."


"Se-selamat pagi… Ruto…"


Seira mengusap matanya dengan malas, sementara Nowa terlihat entah kenapa wajahnya memerah.


Keduanya mengenakan piyama yang serasi. Meski sekarang mereka sudah mahasiswa dan selain pesona imutnya kini juga memancarkan keanggunan yang dewasa, sayangnya sifat bawaan mereka yang selalu menimbulkan masalah sepertinya tidak hilang. Setidaknya, tidak pernah di hadapanku.


Dengan rambut dan piyama yang berantakan, tubuh mereka menguar aroma manis yang hangat. Aku hanya bisa menatap dengan setengah mata lalu berkata.


"…Sudah siang, tahu."


"Fufu. Soalnya, semalam Nowa sama sekali tidak membiarkanku tidur. Malam semeriah itu sudah lama sekali tidak kualami."


"A-apaan sih yang kau bilang! Itu semua kan karena Seira duluan yang—"


Keduanya pun mulai berdebat heboh. Sambil menatap mereka, aku menyeruput kopi pelan-pelan.


Kalau sudah begini, membiarkan mereka sampai puas adalah pilihan terbaik. Setelah bertahun-tahun bersama, aku sudah tahu cara menghadapi mereka. Bisa dibilang sudah pasrah juga.


Ngomong-ngomong, memang benar aku dan Seira tinggal bersama. Tapi Nowa juga sering menginap, sekitar dua sampai tiga kali seminggu. Rumah yang disiapkan oleh Olivia-san ini memang dekat dengan kampus, dan karena Nowa juga kuliah di universitas yang sama dengan kami, baginya lebih praktis kalau sekalian menginap.


Sambil memikirkan itu, aku sadar perdebatan keduanya akhirnya mereda.


Aku pun memanfaatkan momen itu untuk membuka mulut.


"Nowa, kalau tidak segera berangkat, kau bisa ketinggalan pesawat."


"Ah, gawat! Benar juga! Kenapa tidak bilang lebih cepat sih!"


"Itu salahku…?"


Nowa buru-buru melihat jam lalu panik menyiapkan barang-barangnya.


Pesawat yang kumaksud tentu urusan pekerjaan. Aku dan Nowa ada pertunjukan tari di luar negeri, dan pesawat untuk ke sana dijadwalkan terbang sore ini. 


Sebenarnya kami berencana berangkat bersama dari sini, tapi karena Nowa lupa membawa paspornya yang tertinggal di rumah orang tuanya, ia harus pulang dulu sebelum bertemu lagi denganku di bandara.


"Kalau begitu Ruto, sampai nanti ya! Kalau kau telat, tidak akan kumaafkan!"


"Ya, ya. Hati-hati di jalan."


Dengan suara bam! pintu tertutup saat Nowa bergegas keluar rumah.


Sambil menghela napas, aku mulai memikirkan apa yang akan kulakukan sambil menunggu waktu keberangkatan. Namun tiba-tiba—


"Fufu."


Seira, dengan ekspresi bahagia, duduk menempel di sampingku.


Lengan kami saling bersentuhan. Piyama tipisnya bergesekan dengan kulitku, meninggalkan sensasi nyaman sekaligus rasa gugup yang membuatku tidak tenang.


Meski hidup sebagai pasangan dengannya masih terasa canggung, perasaan saling mencintai di antara kami tidak pernah surut sedikit pun. Walaupun memalukan, aku sudah cukup berkembang hingga tidak lagi ragu untuk sekadar menempel atau saling manja tanpa alasan.


Tapi, yah… Seira yang kini jadi lebih terbuka sebagai kekasih, juga jadi semakin berani.


"Nee, Ruu-kun. Yuk, ciuman."


Seira memang maniak ciuman. Tanpa bosan dan tanpa jenuh, ia selalu menagih ciuman setiap hari.


Seperti sekarang, saat ia tersenyum manis sambil mendekat dan mulai memutar-mutar rambutnya, itu sudah jadi isyarat khasnya.


"Kalau ‘chuu’ terdengar memalukan, kau boleh bilang kiss, seppun, atau baiser."


"…Itu semua sama saja."


"Ayo, cepat. Cepaaat."


Ia membisikkan itu di telingaku, napas manisnya membuatku geli.


Wajahku memanas, tapi tetap saja aku menyelipkan rambut panjangnya ke belakang telinga, lalu menempelkan bibirku sebentar pada bibirnya. Ciuman singkat, seolah seekor burung kecil yang hanya mematuk.


Tapi hanya itu saja sudah cukup untuk membuat jantungku berdebar keras. Aku tidak pernah bisa terbiasa, dan denyutku yang terlalu keras malah membuatku malu sendiri.


"Muuh~."


Namun entah kenapa, putri kecilku ini justru cemberut sambil menggembungkan pipinya.


"…Kenapa lagi?"


"Aku mau yang lebih dalam."


"…Bisakah kau pilih kata-kata lain sedikit?"


"Dengan ciuman seperti ini, cintamu tidak tersampaikan, Ruu-kun! Apa kau benar-benar mencintaiku, Seira-chan yang imut ini!?"


"Sudah jelas aku mencintaimu. Aku sayang padamu, Seira."


"………H-hyaaa…"


Begitu aku mengatakannya sambil menatap matanya, wajah Seira langsung memerah padam dan tubuhnya menciut malu.


Padahal dia bisa begitu berani soal ciuman, tapi justru di momen seperti ini tetap saja polos. Sungguh menjengkelkan, tapi sekaligus membuatnya semakin menggemaskan di mataku.


Untuk menutupi rasa itu, aku berdiri dari kursi.


"Masih agak awal, tapi bagaimana kalau kita juga berangkat sekarang? Kita bisa membuang waktu di bandara."


"Un. Kalau bersama Ruu-kun, aku bisa menikmati di mana saja."


Kami pun menggiring koper yang sudah siap, lalu meninggalkan rumah.


Untuk menari, jauh di seberang lautan.


***


Amerika. New York.


Meski aku sudah tidak lagi terikat oleh janji hari itu, berdiri di atas panggung ini tetap saja membangkitkan rasa haru.


Aku pun refleks mengingat kembali perjalanan panjang hingga ke titik ini.


Hari ketika aku jatuh cinta pada tarian.


Hari ketika aku bertemu Seira di lapangan tempat aku menari sendirian.


Hari ketika aku berjanji akan menemui kembali sahabat kecilku yang akan pergi jauh.


Hari ketika aku masuk SMP dan bertemu dengan pasangan yang selalu menari di sisiku.


Hari ketika aku gagal di turnamen dan merasakan pahitnya keterpurukan panjang.


Hari ketika aku bertemu lagi dengan sahabat kecil yang kembali dari Amerika, di tengah masa-masa suram itu.


Hari ketika aku nekat naik panggung festival budaya hanya demi melihat senyuman Seira.


Hari ketika aku menari bersama Nowa di festival, yang selalu menungguku.


Hari ketika Seira menyatakan perasaannya padaku.


Hari ketika Nowa memberiku keberanian lewat tarian.


Hari ketika aku menari habis-habisan untuk menjawab perasaan Seira.


Saat mengingatnya, semua terasa sekejap berlalu, dan bibirku tanpa sadar membentuk senyum.


Semua langkah itulah yang membawaku ke sini.


Hari ini akan kuletakkan lagi di atas semua itu, untuk menyambungnya menuju masa depan.


Aku tidak perlu lagi niat klise seperti, "Mari menari dengan segenap hati."


Aku sudah lama tahu alasanku menari, dan itu tidak pernah berubah.


"Ayo, Ruto! Dengan tarian kita, mari taklukkan Amerika!"


"…Cara bicaramu itu sepertinya bisa bikin masalah besar, tahu."


Aku hanya bisa menghela napas pada semangat membara dari partnerku, tapi ikut menyatukan tekadku.


Nowa sudah lebih dulu berlari ke panggung dari balik tirai, seolah punya sayap yang membawanya melayang. Sambil tersenyum melihat sosoknya, aku menoleh ke belakang.


Di sana ada gadis itu. Aku mengangkat tinjuku ringan.


"Kalau begitu, aku pergi dulu."


"Un. Aku akan terus melihatmu. Tarianmu, Ruu-kun."


Didorong oleh kata-kata yang paling membuatku ingin menari di dunia ini, aku pun melangkah maju.


Dari balik tirai gelap, menuju panggung yang penuh cahaya.


Ayo, mari menari.


Untuk masa depan di mana orang yang kucintai akan terus tersenyum. Untuk menari menuju hari esok.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

0

Post a Comment

close