Penerjemah: Flykitty
Proffreader: Flykitty
Prologue
Api Bintang yang Bermula
Aku pernah mengagumi langit penuh bintang itu.
Aku mengagumi tarian yang seperti bintang pertama, yang bahkan mampu mengubah malam tanpa bulan menjadi cahaya.
Langit penuh bintang itu kulihat secara kebetulan di televisi yang sedang menyala.
Sebuah ballroom.
Di atas panggung yang diterangi di tengah kegelapan, ada seorang pria Jepang yang sedang menari.
Itu adalah siaran langsung dari sebuah kompetisi tari di Amerika.
Tarian itu terus berlanjut meskipun udara yang menusuk dingin terasa tak tertahankan. Dialah penari pertama dari Jepang yang berhasil menjadi finalis.
Amerika adalah tempat kelahiran hip-hop dance. Waktu itu aku belum tahu, tetapi rupanya hal ini mengejutkan banyak orang—seorang non-Amerika yang berhasil masuk final—sehingga suasana di arena menjadi buruk.
Suasana yang penuh sikap menyerang atau mengucilkan diarahkan pada penari Jepang itu.
Tapi itu semua tidak penting.
Penari itu hanya terlihat menikmati tariannya. Gerakannya megah dan penuh tenaga.
Langkah-langkahnya, yang mengikuti beat dengan tepat, dilakukan dengan penuh ketelitian.
Tatapan dan ekspresinya terlihat begitu bahagia, seolah perasaannya meluap keluar. Seperti menyalakan bintang-bintang di langit malam dengan tarian sendiri.
Matanya memantulkan cahaya berkilauan, dan orang itu terus menari.
Itu bukan tarian yang hanya mengutamakan penampilan luar. Ada kesungguhan yang seolah mempertaruhkan segalanya pada saat itu, berpadu dengan keceriaan polos seperti anak kecil. Tarian yang merenggut hatiku itu seperti meteor yang membelah langit malam yang gelap.
Energi yang meluap, jiwa yang telanjang seperti berteriak sepenuh hati bahwa “pusat dunia ada di sini”.
"……Hebat banget."
Aku kehilangan segalanya.
Pandangan, hati, kekaguman, kerinduan—bahkan hidupku sendiri yang akan kujalani di masa depan.
Aku dipandu oleh bintang.
Seperti anak kecil yang berlari di jalan malam mengejar cahaya, aku tertarik menuju tempat itu.
"……Aku juga mau menari."
Aku yang saat itu hanyalah seorang anak SD, pada detik itu memutuskan untuk meninggalkan kehidupan yang biasa-biasa saja.
Aku ingin menari seperti itu. Aku ingin merebut seluruh perhatian dunia dan menunjukkan tarianku. Aku ingin berteriak “lihatlah tarian ini!”.
Itulah momen ketika jalur yang harus kutempuh berubah drastis—terlalu besar untuk disebut “pertemuan takdir”, tapi juga terlalu dramatis untuk disebut “kebetulan”.
Aku ingin menari.
Anak kecil yang belum tahu luasnya dunia itu memutuskan jalan hidupnya hanya karena jatuh cinta pada pandangan pertama. Dia memutuskan bahwa tempat itulah rumahnya, dan menapakkan kaki ke dunia tari.
"……"
Televisi sudah dilingkupi sorak-sorai.
Nilai-nilai yang umum dan prasangka yang mengakar menjadi tidak berarti di hadapan tarian itu.
Tarian itu merebut hati, melibatkan semua orang yang melihatnya, dan menciptakan kegembiraan yang tak terbendung.
Degup jantungku berdentum keras, tak berhenti.
Aku menatap kosong pada upacara penghargaan orang itu yang memenangkan juara pertama, sambil menahan dadaku yang berdegup kencang.
Sejarah pertama bagi orang Jepang, momen bersejarah dalam hip-hop dance—semua label megah yang dibicarakan penyiar di televisi itu tak kuhiraukan. Yang kupandang hanyalah wajah penari itu. Wajah orang yang kini tersenyum lembut, seolah panas yang muncul saat menari barusan hanyalah kebohongan.
Degup jantungku perlahan menenangkan diri, tapi seperti cinta pertama, hatiku mendambakannya.
……Bagaimana caranya aku bisa menari sepertinya?
Langkah awal.
Kekaguman yang seperti mengulurkan tangan ke langit penuh bintang.
Itulah pemicu pertama aku memulai menari.
***
Dan sekarang di sini, aku menutup pintu pada kekaguman masa lalu itu.
Di hadapan orang yang dulu berada di langit penuh bintang itu, aku diam-diam menyalakan api dalam hatiku.
—“Sensei”.
Dulu, aku ingin menari sepertimu.
Dulu, aku ingin mencapai tempat yang sama denganmu.
Semua “suatu saat” itu, hari ini aku buang semuanya di sini. Karena, kalau aku hanya terus mengagumi, aku tidak akan pernah menjadi bintang, kan?
"Hei, Ruto."
Mungkin dia menangkap sesuatu dari ekspresi wajahku yang dipenuhi tekad.
Tersenyum tipis, “Sensei” memanggilku dengan suara lembut yang tak cocok dengan julukan penari terkuat.
"Ruto yang sekarang ini, menari untuk apa?"
"Untuk menyampaikan perasaanku pada orang yang kucintai."
Aku tidak lagi ragu dengan jawabanku.
Aku akan melemparkan semuanya pada “Sensei”: kelemahanku, penyesalan egois, masa lalu yang selalu kuhindari, bahkan manisnya kemudahan yang menutupi semuanya.
"…………Fufu."
“Sensei” diam sebentar seolah mencerna jawabanku yang kuucapkan tanpa ragu. Lalu, dia tertawa kecil seperti agak tak percaya.
Penari terkuat saat ini percaya padaku.
Dia percaya pada tekad dan keputusanku yang selama ini hanya penuh kebimbangan, berhenti, terjatuh, dan menangis.
Dia percaya itu sungguhan.
"Baiklah. Kalau begitu, ayo menari."
"Ya!"
Srek—suara sepatu dua orang menggores panggung.
Degup jantungku makin cepat. Pikiranku semakin tajam. Kesadaranku memutihkan dunia ini.
Aku tidak butuh sorakan. Aku tidak butuh penilaian. Bahkan tidak perlu tempat ini menjadi pusat dunia.
Aku hanya ingin tarian ini sampai pada dirinya.
Untuk anak itu—yang mengubah tarianku yang dulu hanya berkelana di kegelapan menjadi langit penuh bintang.
Aku akan menari hanya untuk menyampaikan perasaan ini.
Ayo.
Menarilah menuju langit penuh bintang itu.



Post a Comment