NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Datenshi Heika no Oose no Mamani e [LN] Bahasa Indonesia Volume 1 Prologue

 Penerjemah: Chesky Aseka

Proffreader: Chesky Aseka


Prologue

Tengah malam, aku berlari sekuat tenaga di lorong sebuah gedung perkantoran.

Dari belakang, sekelompok pegawai kantor pria dan wanita mengejarku tanpa sepatah kata pun. Tak ada ekspresi yang bisa disebut ekspresi di wajah mereka dan tak ada sisi manusiawi. Singkatnya, mereka menyeramkan.

“Ini kayaknya beneran gawat, deh!!”

Aku bicara ke arah mikrofon di earphone yang menempel di telingaku. Suaraku jadi tak terkendali, terdengar lebih keras dari yang kumaksudkan.

“Dengar nggak, Ellie!?”

“Bukan Ellie.”

Sebuah suara perempuan yang indah terdengar dari earphone.

“Panggil aku Yang Mulia. Yang Mulia.”

Saat kami sedang bertukar kata seperti itu, seorang perempuan dengan rok berlari seperti atlet atletik, bahkan dengan tubuh nyaris sejajar lantai, ia berlari di sepanjang dinding dan memotong arahku dari depan.

Apa-apaan itu! pikirku, dan aku tetap berusaha lari sekuat tenaga, tapi perempuan itu menendang dinding dan melompat ke arahku.

Kami pun terjatuh, terguling bersama di lantai.

Yang mengejutkan justru datang setelahnya. Wajah perempuan itu berada sangat dekat. Dan matanya yang menatapku sepenuhnya hitam, sampai ke bagian putihnya.

Aku menjerit, “Gyaaah!” dan melepaskan diri darinya, lalu kembali berlari.

“Yang Mulia, matanya hitam semua! Sampai bagian putihnya pun hitam!”

“Kalau matanya hitam sampai ke bagian putihnya...”

Yang Mulia berkata pelan-pelan.

“Itu menyeramkan, bukan? Iya, sangat menyeramkan.”

“Benar! Itu yang sedang aku omongin sekarang!!”

Yang Mulia sedang berada di luar gedung, di alun-alun tempat pohon Natal berdiri, memberi instruksi padaku lewat sambungan suara.

Jadi wajar saja kalau suasana hatinya dan suasana hatiku terasa sangat jauh berbeda.

“Tenang saja. Malam ini bintang-bintang tampak indah.”

“Bukan waktunya ngomong santai begitu!”

Aku benar-benar tidak punya waktu untuk santai.

“Ini semua apa sih? Bukannya biasanya kita dapat permintaan yang ringan-ringan dan damai!?”

Aku dan Yang Mulia biasanya menjalankan semacam jasa serba ada di kota kecil yang letaknya sedikit di luar jalur Yamanote Line. Kami menamai usaha kami “Toko Inggris”.

Yang Mulia ingin menjadikan Toko Inggris sebagai penyelesai kasus yang bergaya dan ringan, membantu orang dengan elegan. Tapi orang-orang sekitar hanya menganggapnya sebagai toko bantuan manis yang dijalankan oleh gadis cantik yang sedang main-main. Jadi permintaan yang datang pun kebanyakan lokal dan remeh temeh.

Misalnya kucing peliharaan kabur, disuruh jaga toko buah, atau diminta bantu isi jumlah pemain untuk pertandingan bisbol amatir, sampai-sampai kami harus kumpul di pinggir sungai pagi-pagi dengan seragam lengkap.

Permintaan untuk mendengarkan curhatan gadis yang baru putus cinta juga sangat melelahkan. Aku duduk di restoran keluarga semalaman, menahan kantuk dan terus-terusan mengangguk sambil mendengarkan. Yang Mulia duduk memandang ke luar jendela sambil terus menggigit kentang goreng.

Kalau ditanya apakah itu pemandangan yang indah atau tidak, ya begitulah, ada pesonanya sendiri.

Yang Mulia, kakak perempuan yang cantik, dan aku, siswa SMA yang agak ceroboh.

Kehidupan kami yang ceria dan menyenangkan.

Mungkin bukan seperti yang dibayangkan Yang Mulia, tapi aku sebenarnya cukup suka dengan semuanya.

Makanya aku berpikir, ayo teruskan hidup seperti ini, semangat! Tapi sekarang...

“Aku sedang dikejar orang-orang aneh yang bikin bulu kuduk berdiri!”

Permintaan kali ini tentang gantungan kunci.

Klien kami seorang siswi SMA kelas satu. Saat sedang naik kereta, gantungan kunci yang tergantung di tasnya diambil oleh seorang pria yang tampak seperti pegawai kantoran.

Gadis itu sempat melihat dengan jelas nama tempat kerja pria itu, yang tertulis di tali identitas yang tergantung di lehernya. Tempat kerja pria itu ternyata sebuah gedung perkantoran di pusat kota.

Dan kebetulan sekali, kami berteman minum teh dengan seorang ibu yang bekerja sebagai petugas kebersihan di gedung itu. Lewat banyaknya permintaan kecil yang kami jalani, kami jadi kenal dengan berbagai orang (Yang Mulia menyebut jaringan ini sebagai “jaringan rakyat”).

Ibu petugas kebersihan itu kemudian mengintip saat sedang membersihkan kantor, dan memastikan kalau gantungan kunci itu memang ada di dalam laci meja kerja pria tersebut.

Kami pun langsung naik kereta sekitar lima belas menit menuju pusat kota.

Gedung tujuan memiliki empat puluh delapan lantai, dan bahkan ada ruang observasi terbuka untuk umum. Gantungan kunci itu kabarnya ada di lantai empat puluh.

Aku, sebagai perpanjangan tangan Yang Mulia, pergi ke ruang observasi menjelang senja untuk bersembunyi dan menunggu malam tiba.

Begitu gedung ditutup dan sudah lewat tengah malam untuk berjaga-jaga, aku mulai bergerak. Dari ruang observasi yang sunyi dan gelap, aku menuruni tangga darurat menuju lantai tujuan dan masuk ke kantor yang gelap gulita.

Seharusnya aku hanya perlu membuka laci, mengambil gantungan kunci, lalu pulang.

Biasanya, semuanya selesai begitu. Aku akan berkata, “Yang Mulia, traktir makanan enak dong.” Tapi kali ini...

“Dia sudah tewas!”

“Siapa yang mati?”

“Pria itu! Pria itu!”

Pria yang diduga mencuri gantungan kunci dari gadis SMA itu tertelungkup di atas mejanya.

Melihatnya dalam kondisi seperti itu di kantor gelap sudah membuatku merasa tidak enak, tapi karena penasaran, aku menyentuh bahunya. Dan seperti yang kuduga, tubuhnya jatuh tergelincir dari kursi.

Pria itu berbaring terlentang, dan kedua matanya adalah rongga hitam pekat yang mengeluarkan asap serta bau gosong.

Aku benar-benar kaget, tapi yang lebih mengerikan datang setelah itu.

Meskipun lampu kantor padam total dan ruangan benar-benar gelap. Namun...

Setiap kursi diduduki oleh seseorang. Para pria dengan jas, para wanita dengan pakaian kantor, semua duduk diam seperti manekin dengan postur sempurna.

Itu pemandangan yang sangat tidak normal. Benar-benar menyeramkan.

“A-Aku cuma ambil gantungan kuncinya aja yaaa...”

Begitu gumamku pelan, dan saat aku mencoba menjulurkan tangan ke arah gantungan kunci, semua pegawai kantor yang duduk itu memutar leher mereka ke arahku secara bersamaan. Bukan karena cahaya atau semacamnya, mata mereka semuanya hitam pekat. Lalu mereka semua menyerbuku.

Tak sanggup menahan, aku melompat ke lorong dan lari menyelamatkan diri.

Itulah situasiku sekarang.

“Yang Mulia, apa sebenarnya mereka ini!?”

“Hm.”

Yang Mulia diam sejenak untuk berpikir.

“Aku juga kurang paham.”

Saat kami berbincang seperti itu, tiba-tiba terdengar suara dentuman keras yang menggema di perutku, dan kaca partisi yang ada dalam pandangan hancur berkeping-keping.

Ketika aku menoleh ke belakang, kulihat ada seorang polisi berseragam di antara para pegawai kantor.

Dan polisi itu, dengan mata hitam yang sama, menatapku sambil mengarahkan moncong pistol ke arahku.

Kalau aku terus lari lurus, aku bisa jadi sasaran tembak.

Dengan naluri, aku menubruk pintu kayu dan menjebolnya masuk ke dalam ruangan. Begitu aku merusak pintu dan masuk ke ruangan, terdengar lagi suara tembakan dari lorong. Aku menyelinap ke bagian dalam ruangan dan bersembunyi di bawah meja.

Tak lama, para pegawai kantor memasuki ruangan. Mereka seperti tak merasakan sakit, beberapa dari mereka menggenggam pecahan kaca dengan tangan kosong. Mereka mulai membalikkan barang-barang di atas meja, mencari-cari keberadaanku.

“Benar-benar kacau.”

“Kacau total dari sisiku.”

“Aku ini tipe orang yang suka menatap keluar jendela saat hujan deras dari dalam rumah sambil merasa bahagia.”

“Ya emang sih!”

Di luar sana, Yang Mulia tampak santai. Sementara itu, aku memutar otak, mencari cara untuk lolos dari situasi ini.

Saat itu, untuk sesaat, seluruh ruangan menjadi hening.

Apa aku selamat?

Memikirkan ini, aku mengintip dengan hati-hati untuk melihat bagaimana situasinya.

Seorang polisi yang tampaknya memang sedang menunggu aku menunjukkan diri, langsung melepaskan tembakan. Aku buru-buru menarik kembali kepalaku, dan pecahan dari layar yang hancur berjatuhan di kepalaku.

Beberapa pegawai kantor pria dan wanita yang menyadari posisiku mulai bergerak mengelilingi ke arahku satu per satu.

“Yang Mulia, apa yang harus kita lakukan!?”

“Pertama-tama, kita coba bicarakan dulu.”

“Santai banget.”

“Seorang pria sejati sepatutnya menyelesaikan masalah lewat dialog.”

“Aku ini cuma anak SMA biasa! Cuma kerja paruh waktu!”

Dan lagi, aku melanjutkan bicara ke earphone.

“Bicara baik-baik itu mustahil. Mereka itu orang-orang yang menyerang sambil menggenggam pecahan kaca!!”

“Begitukah...”

Nada bicara Yang Mulia tiba-tiba menjadi dingin.

“Jadi, mereka menyerang tanpa ada pembicaraan sebelumnya, begitu ya.”

“Benar, bahkan mereka menembaki aku! Mereka benar-benar jahat!”

“Kalau begitu, mereka sungguh tidak tahu sopan santun.”

Ah.

Kurasa saklarnya menyala.

Bahkan lewat sambungan suara pun, aku bisa merasakan perubahan ekspresi Yang Mulia.

“Aku memang tidak percaya bahwa film menyimpan kebenaran, tapi waktu itu, saat kita menonton film bersama, ada satu dialog yang sangat masuk akal bagiku.”

Aku tahu kalimat apa yang sedang diingat oleh Yang Mulia. Itu adalah pepatah Inggris yang juga dijadikan sebagai motto asrama Universitas Oxford.

Yang Mulia pun mengucapkannya.

“Etika membentuk manusia.”

Dengan kata lain, Yang Mulia sedang berkata.

Aku tidak suka orang-orang yang menyerang secara tiba-tiba. Jadi...

“Ajarkan pada mereka tentang sopan santun.”

“Jadi ujung-ujungnya aku harus melawan mereka, ya.”

Polisi itu kembali menembak. Di tengah suara tembakan, aku bicara ke mikrofon di earphone.

“Tapi bukankah itu artinya aku yang harus bertarung dan mengalahkan mereka?”

“Benar.”

Kenapa jawabannya jadi anggukan manis seperti itu sih...”

Uhh, lanjutku.

“Kalau aku bilang aku takut dan gak mau, apa Yang Mulia bakal mengizinkan?”

“...”

Hening.

Tidak bisa. Yang Mulia dengan serius ingin aku bertarung.

Aku tidak memanggilnya “Yang Mulia” cuma buat main-main.

Yang Mulia memang punya aura luar biasa yang membuat orang ingin menyapanya demikian. Bukan hanya karena wajahnya yang amat cantik atau pakaiannya yang selalu seperti bangsawan, tapi juga karena kekuatan aneh yang tak bisa dijelaskan oleh logika biasa. Kalau kekuatan itu dipakai, aku pasti takkan bisa menolak.

Aku benar-benar tidak mau bertarung melawan orang-orang mengerikan bermata gelap seperti hantu. Jadi...

“Ah, Yang Mulia, sepertinya sudah tidak apa-apa. Mereka jadi sangat sopan. Aku bisa kabur sendiri.”

Begitulah, aku mencoba berbohong. Tapi suara tembakan masih terus terdengar, pegawai pria yang menggenggam pecahan kaca masih tersenyum sinis ke arahku, dan lagipula Yang Mulia tidak pernah mempercayai kata-kataku. Maka ia berkata.

“Bertarunglah.

Dengan suara yang penuh wibawa. 

“Demi Yang Mulia Ratu.”

Saat itu juga.

Tubuhku seakan disambar petir, kesadaranku jadi jernih, dan aku bisa melihat dengan jelas seorang pria yang wajahnya mirip seorang manajer sedang memutari barisan meja dan mendekat ke arahku.

Pada saat yang sama, tubuhku bergerak sendiri, tanpa kendali dari kehendakku.

Aku menendang kursi beroda yang ada di dekatku. Ketika kursi itu menghantam lawan, tubuhku memanfaatkan momen itu untuk menapak dan melompati kursi.

“T-Tolong!!”

Aku berteriak sambil menendang lutut pria itu.

Sesaat kemudian, seorang pegawai muda tampan dengan potongan rambut two-block mengayunkan pecahan kaca ke arahku, tapi aku menjatuhkan diriku ke lantai dan menghindarinya, lalu memutar kakiku seperti sedang breakdance dan menyapu kaki lawan hingga terjatuh, kemudian berdiri.

Setelah itu, orang-orang bermata gelap terus berdatangan menyerang.

Seorang pegawai wanita mengangkat kursi di atas kepala dan mengayunkannya. Aku berputar ke belakang seorang pria gemuk dan memeluknya dari belakang, lalu mendorongnya ke depan.

Kursi yang diayunkan wanita itu menghantam wajah si pria gemuk secara langsung.

Mereka jadi saling serang sendiri.

“Ahhh!!”

Tapi yang berteriak panik justru aku, yang menciptakan situasi itu.

Aku benar-benar tidak mengerti.

Tubuhku terus bergerak mengikuti perintah Yang Mulia, sementara aku ketakutan luar biasa.

Aku melempar pria yang kugenggam, lalu membenturkan kepala dua lawan yang menyerang bersamaan hingga mereka pingsan.

Polisi menembak lagi, tapi tubuhku tak gentar. Aku melompati meja, menghindari peluru dengan lincah, mendekat ke polisi, merebut senjatanya dan memelintirnya.

Lalu, aku membongkar senjata itu dengan kecepatan luar biasa.

Bagian-bagian pistol itu jatuh berserakan di lantai.

Si polisi tampak terkejut. Tentu saja, aku juga terkejut.

Masih terkejut, aku memukul wajahnya dan menjatuhkannya ke belakang.

“Yang Mulia!”

“Ada apa?”

“Aku sedang melawan orang-orang yang sangat mengerikan, tapi!”

“Tapi?”

“Entah kenapa, ini terasa komikal!”

“Itu bukan salahku.”

Kekuatan paksa dalam perintah Yang Mulia hanya memaksaku untuk bertarung. Meski kemampuanku meningkat, gerakannya tetap berdasarkan imajinasi dari pikiranku sendiri. Dengan kata lain...

“Kamu terlalu banyak menonton film.”

“Sial, ini gara-gara kebanyakan nonton film Hong Kong!!”

“Aku lebih suka pertarungan yang elegan dan penuh tata krama.”

Lalu, dimulailah adegan baku hantam besar. Aku mencekik leher lawan dengan kabel mesin kantor, menutup wajah mereka di mesin fotokopi sambil mencetak, dan seterusnya.

Ketika aku sadar, hanya aku yang masih berdiri.

Sekitar lima puluh orang kini tergeletak di lantai.

Kantor menjadi benar-benar kacau. Lampu neon terjuntai dari langit-langit dengan kabel-kabel terbuka, dan semua benda di atas meja hancur berkeping-keping.

Aku sempat berpikir apa yang terjadi setelah ini. 

Saat itu juga, ponselku mengeluarkan suara yang tidak menyenangkan. Suara alarm. Itu suara yang biasanya berbunyi ketika ada misil yang melintasi langit Jepang. Aku melirik ke luar jendela.

Demi Yang Mulia Ratu, penglihatanku jadi sangat tajam.

Dari lantai atas gedung, aku melihat langit malam kota, dan di kejauhan terlihat kilatan cahaya.

Layar ponsel menunjukkan titik prediksi jatuhnya misil berada di area Tokyo.

Artinya, kemungkinan besar di sini.

Dari mana datangnya? Apa yang sedang terjadi? Aku ini cuma lagi nyari gantungan kunci cewek SMA, loh! Tapi situasi ini tidak memberiku waktu untuk berpikir.

“Ahhhhh.”

“Tenanglah.”

“Tapi ini lantai empat puluh lima, dan aku gak yakin bisa turun secepat itu.”

“Aku mendengar suara angin.”

Benar juga, karena tembakan polisi tadi, jendela kaca sudah pecah berkeping-keping dan udara luar masuk.

Aku mendekat ke arah itu dan berdiri tepat di tepinya.

Ventilasi alami ini jelas terlalu ekstrem. Saat aku mengintip ke bawah, kakiku gemetar. Tanah terlihat sangat jauh.

Dinding mengilap gedung memantulkan cahaya malam.

“Kamu bisa melompat, bukan?”

“Yang Mulia, Anda lagi main-main ya?”

“Tak ada waktu lagi.”

Benar saja. Suara melengking seperti menggetarkan udara, dan kilatan cahaya di langit makin membesar.

Iya sih, selama dalam perintah Yang Mulia tubuhku memang lebih kuat. Tapi, melompat dari gedung itu sudah keterlaluan, bukan? Tapi...

“Melompatlah.”

Suara Yang Mulia.

“Demi Yang Mulia Ratu.”

“Tolong hentikan itu.”

Tubuhku mundur ke ujung ruangan. Kupikir aku selamat, tapi tubuhku mengambil posisi seperti atlet speed skating saat akan mulai.

“Tak perlu ambil ancang-ancang segala.”

Namun, tubuhku bersemangat penuh dan mulai berlari. Seperti pelari sprint, punggung tegak, tangan mengayun, lutut diangkat tinggi, dan aku melompat dari gedung.

“Waaaaaaah!”

Sambil menjerit dan mengayuh di udara, aku sempat melihat misil itu menabrak gedung dengan suara menggelegar.

Seketika, ledakan menggelegar dari belakang.

Tubuhku terlempar ke langit malam. Gelombang panas menyengat punggungku.

Aku berpikir kenapa aku melayang di udara lebih lama dari yang kukira, aku melihat pohon natal mendekat. Aku sempat berharap, oke, aku akan pegangan di pohon itu seperti di film-film, terus melentur kayak pohon palem dan selamat, tapi tentu saja kenyataan tak seindah itu. Tubuhku menabrak pohon natal itu, mematahkannya, lalu terjatuh. Mungkin sebagian energi benturan terserap, tapi tetap saja aku berguling-guling di tanah.

Dan di situlah, tempat Yang Mulia sudah menunggu.

Aku merangkak dan memandang wajahnya.

Dengan rambut emas, mata biru, dan pipi pucat yang dingin. Kalau dunia ini meminta pelukis terbaik untuk menggambarkan wanita tercantik yang bisa dibayangkan siapa pun, hasilnya pasti wajah Yang Mulia.

Namun, Yang Mulia tidak tertarik pada kecantikannya sendiri. Ia sedang menggigit hamburger yang dipegang di tangannya.

“Yang Mulia, kamu lapar, ya?”

“Sedikit.”

“Entah kenapa aku jadi lapar.”

“Begitu ya.”

Yang Mulia berpikir sejenak, lalu berjongkok dan menyodorkan hamburger yang sudah digigit dan masih dibungkus kertas kepadaku. Aku menggigitnya sambil tetap merangkak.

“Uh, aku juga mau cola...”

“Sudah ketemu gantungan kuncinya?”

“Tidak, keadaannya udah nggak memungkinkan. Beneran.”

Tiba-tiba aku merasa lelah.

Tapi, yang lebih penting...

“Yang Mulia, kamu tertusuk.”

Sepertinya serpihan kaca besar itu terlempar karena ledakan. Benda itu menembus leher Yang Mulia dari kanan ke kiri.

Namun, Yang Mulia hanya mengangguk ringan sambil berkata, “Ah,” dan menatap ke arah dadanya sendiri.

“Kemejaku jadi kotor.”

“Itu bukan saus tomat, kan?”

Darah yang mengalir telah mewarnai kemeja putihnya menjadi merah.

“Padahal ini kemeja kesayanganku...”

Yang Mulia tampak sedikit kecewa. Tapi segera saja, beliau kembali seperti biasa dan berkata.

“Besok pagi-pagi sekali, pergi ke penjahit dan ambil yang baru.”

Aku sekarang sudah enam belas tahun, dan mulai mengerti banyak hal. Sepertinya, hidup bebas sesuka hati seperti yang kita mau itu tidak mungkin.

Setiap orang hidup dengan mendengarkan kata-kata orang lain, dan bersikap rendah hati. Entah itu orang tua, guru, dan nanti kalau sudah dewasa, pasti atasan atau orang-orang seperti itu.

Tapi kalau memang harus menuruti seseorang, aku ingin itu perempuan cantik, berdada besar, menggigit hamburger, dan punya aroma harum yang luar biasa serta berkelas.

Karena itu, aku berkata dengan sikap sopan seperti seekor anjing yang patuh.


“Ya, seperti Yang Mulia perintahkan.”



Previous Chapter | ToC | Next Chapter

0

Post a Comment

close