NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Datenshi Heika no Oose no Mamani e [LN] Bahasa Indonesia Volume 1 Chapter 1

 Penerjemah: Chesky Aseka

Proffreader: Chesky Aseka


Chapter 1

Toko Inggris

Aku Madarame Shinichi, seorang pelajar SMA berusia enam belas tahun.

Sekolah sedang dalam masa libur panjang atas inisiatif sendiri. Penyebabnya adalah ayahku.

Sejak kecil, aku selalu menganggap ayahku keren, dengan setelan jas yang selalu dikenakannya dengan rapi. Dalam benakku yang samar-samar, aku membayangkan bahwa suatu hari nanti, akan baik-baik saja kalau aku bisa menjadi seperti dia.

Namun, suatu hari, aku melihat ayahku di tengah kota sedang membungkuk-bungkuk kepalanya. Rupanya, dia sedang dimarahi oleh rekan bisnis dan meminta maaf.

“Sepertinya kamu melihat sisi buruk ayah, ya.”

Ayah yang menyadari keberadaanku, menyapaku ketika pulang ke rumah malam itu.

“Shinichi, hiduplah sebebas yang kamu mau.”

Kurasa waktu itu ayah mengatakannya begitu saja, tanpa beban.

Tapi karena otakku ini sederhana, aku menafsirkannya seperti janji lelaki, dan keesokan harinya, aku langsung mulai bolos sekolah.

Aku memang agak lamban, dan sejauh ini belum pernah memikirkan apa tujuan hidupku, atau rutinitas harian, atau efisiensi waktu dan biaya. Aku hidup hanya dengan semangat seperti, “Wah, hamburger enak banget” atau “Main game seru banget.”

Tapi kalau terus hidup tanpa berpikir, nantinya aku akan masuk universitas begitu saja, lalu bekerja karena semua orang melakukannya, dan akhirnya jadi pegawai kantoran.

Untuk bisa hidup bebas, mungkin aku harus mempertimbangkan kemungkinan keluar dari jalur seperti itu. Karena berpikiran seperti itu, aku memutuskan untuk berhenti sekolah, tapi saat ditanya apa yang ingin aku lakukan, aku sendiri tidak tahu jawabannya.

Satu-satunya yang aku miliki hanyalah waktu. Karena aku suka film, akhirnya aku mulai pergi ke bioskop indie setiap hari.

Tapi kalau terus seperti itu, uangku cepat habis. Jadi saat aku berpikir untuk mulai kerja paruh waktu agar bisa melanjutkan hidup seperti ini sedikit lebih lama, aku pun menyadarinya.

Untuk hidup bebas melakukan apa yang kusuka, aku butuh uang.

Dan untuk mendapatkan uang, aku harus bekerja.

Artinya, aku ingin hidup bebas, tapi demi itu aku butuh uang, dan untuk mendapat uang aku harus kerja. Kalau aku kerja dan menabung, mungkin aku bisa hidup bebas lagi, tapi kalau uangnya habis, aku tetap harus kerja.

“Lingkaran setan sudah terbentuk dengan sempurna...”

Aku telah mencapai kebenaran dunia.

“Mungkin perasaan ini sama seperti yang dirasakan Wright bersaudara saat mereka menciptakan bola lampu...”

Saat aku berdiri di depan bioskop dengan dompet kosong di tangan, merasa seperti anak anjing terlantar, seorang perempuan dengan wajah seperti boneka menyapaku.

“Wright bersaudara itu menciptakan pesawat, lho.”

Itulah pertemuanku pertama dengan Yang Mulia.

“Bola lampu itu temuan Edison.”

Itulah kontak pertama antara aku dan Yang Mulia. Setelah itu, aku diundang oleh beliau dan mulai bekerja paruh waktu di toko serba bisa milik Yang Mulia, “Toko Inggris.”

Toko Inggris berada di kota Yomizaka.

Terletak sedikit di luar jalur Yamanote di wilayah Tokyo, kota ini memiliki aroma sejarah yang kuat, dengan museum bata merah sebagai simbolnya. Terdapat banyak kafe dan restoran, dipenuhi mahasiswa seni dan warga asing. Yang Mulia selalu mengenakan pakaian bergaya gotik, seperti tokoh yang keluar dari cerita, tapi di kota Yomizaka yang penuh nuansa asing, penampilan itu justru sangat cocok.

Beliau cukup dicintai oleh warga sekitar, dan dipanggil dengan sebutan Ellie. Wajahnya selalu terlihat tenang, tapi ketika melihat kucing berjalan, beliau akan mengikutinya ke mana pun, atau saat kalah undian di pusat perbelanjaan, beliau akan sangat kecewa, ada sisi konyol seperti itu padanya.

Namun, Yang Mulia punya ambisi yang luar biasa.

“Aku dulunya adalah ratu dari negara yang pernah menguasai tujuh lautan.”

Yang Mulia menjalankan Toko Inggris dari lantai dua sebuah kedai kopi di pusat perbelanjaan. Di dalam ruangan kecil yang dipenuhi furnitur bergaya antik itu, beliau duduk di atas sofa dan berkata.

“Karena suatu alasan, aku kehilangan kekuasaan dan kedudukan, tapi aku berencana membangun kembali negeriku mulai dari sini.”

“Mulai dari sini?”

Saat aku menatap sekeliling ruangan, Yang Mulia mengangguk serius.

“Kita cuma punya satu ruangan sewaan, lho.”

“Kota Yomizaka sudah menjadi wilayah kekuasaanku.”

“Kayaknya kamu bakal dianggap sebagai ancaman besar oleh pemerintah Jepang, deh...”

Yang Mulia memberikan imbalan atas permintaan pekerjaan yang datang ke Toko Inggris berupa sedikit uang dan kewajiban menjadi rakyat kerajaannya. Karena itu, setiap kali tugas selesai, jumlah rakyatnya bertambah sedikit demi sedikit, katanya dengan bangga. Tapi orang-orang yang meminta bantuan sama sekali tidak menganggap serius perkataannya, dan menjadi rakyat dianggap selevel dengan menjadi teman biasa.

Namun, aku tahu yang sebenarnya.

Yang Mulia bisa memaksa orang menuruti perintahnya hanya dengan mengucapkan frasa “Demi Yang Mulia Ratu”. Bahkan ketika lehernya tertusuk pecahan kaca, dia tetap tidak mati. Dia benar-benar makhluk misterius.

Kalau dia memang abadi, mungkin saja dulu pernah benar-benar menjadi ratu dalam sejarah.

Peralatan makan perak yang ada di ruangan, juga tempat lilin di atas meja, semuanya tampak antik dan mahal.

Aku bekerja di bawah Yang Mulia karena ingin tahu siapa sebenarnya dia.

Bukan, tidak sehebat itu alasannya.

Aku cuma tetap berada di sisinya karena Yang Mulia itu cantik.


* * *


Pagi-pagi sekali, aku datang ke pusat perbelanjaan di Jalan Yomizaka. 

Di tengah udara dingin musim dingin, aku berlari kecil mampir ke penjahit untuk mengambil kemeja kesukaan Yang Mulia, lalu masuk ke kedai kopi milik pribadi bernama Kafe Kinoshita.

Di dalam toko, persiapan pembukaan sedang berlangsung, dan aroma harum kopi menyebar ke seluruh ruangan. Setelah menyapa manajer toko, aku naik ke lantai dua. 

Aku melewati ruang kerja merangkap ruang tamu yang digunakan untuk menerima permintaan sebagai toko bergaya Inggris, lalu mengetuk pintu kamar pribadi Yang Mulia yang terletak di bagian dalam. 

“Yang Mulia, ini sudah pagi. Silakan bangun.” 

Tak ada jawaban. Yang Mulia tidak akan bangun hanya dengan ini. Jadi seperti biasa, aku masuk ke dalam kamar, lalu menggoyangkan tubuh Yang Mulia melalui selimut di tempat tidur. 

Kemudian, Yang Mulia bergumam “Uhh” dan bangun dari tempat tidur dengan mata setengah terbuka. 

Aku pun sedikit memalingkan pandangan, lalu melemparkan sandal ke arah kaki Yang Mulia. Alasan aku memalingkan pandangan adalah karena Yang Mulia selalu tidur hanya dengan pakaian dalam. 

Pakaian dalam Yang Mulia selalu terlihat sangat dewasa. Warnanya sering merah atau hitam, bahannya pun dari renda atau satin mengilap yang licin. Setiap kali aku melihat pakaian dalam mencolok yang mempertegas kulit putih Yang Mulia itu dari ujung mataku, aku selalu terpikirkan satu hal... 

Yang Mulia, meskipun wajahnya selalu tampak tenang, dia bisa jadi nakal di malam hari...

Bisa jadi sangat nakal! 

Sambil memikirkan hal-hal semacam itu, aku mulai mengenakan pakaian pada Yang Mulia. Saat mengancingkan bagian dada dari kemeja, jantungku berdebar-debar, tapi ketika mengenakan jaket beludru dan mengikatkan dasi pita, rasanya seperti sedang menghias boneka cantik. 

Setelah itu, aku menyisir rambut Yang Mulia dengan sisir. 

Begitu tampilan khas Yang Mulia telah selesai sepenuhnya, aku pun pergi ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Aku memasukkan roti ke dalam pemanggang, menyeduh kopi, lalu menggoreng telur mata sapi dan daging asap di atas wajan. 

Sarapan yang telah selesai kususun di atas baki, lalu kuletakkan di atas meja bundar kayu kesukaan Yang Mulia, dan kami makan bersama. Seperti inilah hari dimulai di Toko Inggris. 

Setelah itu, kami menunggu datangnya permintaan di ruang kerja merangkap ruang tamu. 

Biasanya dalam situasi seperti ini, Yang Mulia akan bermain gim di ponsel. Meski cara berpakaian dan tutur katanya sangat tradisional, Yang Mulia sangat menyukai budaya pop. 

Sementara Yang Mulia bermain gim, aku duduk di sofa yang sama dan membaca manga. 

Tak lama kemudian, Yang Mulia berkata, “Mulutku terasa sepi,” jadi sambil tetap membaca manga, aku membuka bungkus Pocky dan menyodorkan sebatang ke arah mulut Yang Mulia. 

“Hei, itu pipi, tahu.” 

Aku terlalu terlarut dalam manga, tak bisa melepaskan pandangan darinya. Jadi aku menyodorkan Pocky ke arah sembarangan. 

“Itu tidak sopan, tahu. Sangat tidak sopan!” 

Pada akhirnya, hingga menjelang siang tak ada satu pun permintaan yang datang. Yang Mulia, yang bosan bermain gim di ponsel, pun berdiri dan berkata. 

“Aku akan tur kerajaan.” 

Karena Yang Mulia sungguh percaya bahwa Kota Yomizaka adalah wilayah kekuasaannya sendiri, ia menyebut kegiatan keluar rumah dengan istilah tur kerajaan, sebuah kata kehormatan yang merujuk pada kunjungan seorang bangsawan untuk melihat-lihat kota. 

Aku menyampirkan mantel di bahu Yang Mulia yang telah berdiri. Saat Yang Mulia mengulurkan tangan, aku mengenakan sarung tangan putih di tangan itu. Lalu aku berlutut dan memakaikan sepatu. Pipinya yang lengket karena cokelat juga aku bersihkan dengan baik. 

Begitu keluar dan berjalan di jalan, semua orang yang lewat memandang Yang Mulia. Yang Mulia benar-benar seperti seorang model atau aktris yang menarik perhatian semua orang. Berjalan di samping sosok seperti itu membuatku sedikit bangga. 

Saat aku sedang memikirkan hal itu, tiba-tiba. 

“Hei, itu apa?” 

Yang Mulia berkata dengan nada terkejut. Arah pandangannya tertuju pada seorang gadis. 

“Kenapa dia mengenakan mahkota?” 

Gadis itu mengenakan mahkota berwarna emas di kepalanya. 

“Dia melakukan cosplay. Dia sedang memerankan karakter tertentu.” 

“Tidak bisa begitu. Aku menghormati budaya rakyat, tapi mahkota itu keterlaluan.” 

Kemudian Yang Mulia menyipitkan mata, menatap gadis itu lebih saksama. 

“Entah kenapa, aku merasa posisi kepala gadis itu terlalu tinggi.” 

“Jangan keluarkan aura otoriter di bagian aneh seperti itu, dong...”

Aku pun mendorong punggung Yang Mulia dari belakang agar segera berjalan. 

Lalu, kami masuk ke restoran Tiongkok di pusat perbelanjaan untuk makan siang. Tak ada pelanggan lain, dan kami duduk berdua di meja bundar besar dengan bagian tengah yang bisa diputar. 

“Selamat datang, Ellie.” 

Seorang pegawai perempuan berpakaian cheongsam datang membawa menu. 

“Panggil aku Yang Mulia.” 

Setelah kami memesan menu set makan siang, pegawai perempuan itu tertawa sambil berkata, “Baik, Yang Mulia,” lalu kembali ke dapur. 

Tak lama kemudian, masakan khas Sichuan disajikan, dan kami mulai makan dengan sopan. 

“Ngomong-ngomong, semua acara TV pagi itu hanya menayangkan berita yang sama, ya.” 

Aku teringat berita yang kulihat di TV pagi tadi, lalu mulai bicara. 

“Di media sosial pun, topiknya cuma itu. Ada yang bilang ini aksi teror, atau bahkan invasi negara asing.” 

Sambil makan, aku menggulir layar ponsel. 

“Wah, katanya mungkin ulah alien. Kalau dipikir-pikir, memang masuk akal juga.” 

Itu adalah insiden yang terjadi semalam, di mana aku ikut terlibat karena perintah dari Yang Mulia. 

“Bagaimana menurut Yang Mulia?” 

Lalu, aku menyebut nama insiden itu. 

“Insiden Pengeboman Kantor Pemerintah Metropolitan Tokyo.”


* * *


Insiden Pengeboman Kantor Pemerintah Metropolitan Tokyo.

Nama yang benar-benar jelas, seperti bola api.

Ya, memang begitu adanya.

Semalam, tempat aku melompat dan misil ditembakkan adalah Kantor Pemerintah Metropolitan Tokyo. Setelah itu, gedung pemerintahan itu runtuh dengan rapi, seolah kehilangan tulang punggungnya. Aku dan Yang Mulia hanya menatapnya kosong sambil makan hamburger. Rasanya seperti adegan akhir dari film yang konyol.

Sekarang, puing-puingnya telah menjadi tumpukan reruntuhan, dan seluruh area telah diblokade. 

“Itu benar-benar gila ya. Seperti ada yang nggak beres gitu.”

Aku bertarung melawan orang-orang mencurigakan dengan tangan kosong seperti dalam film kungfu Hong Kong. Rasanya seperti sebuah mimpi. Tapi ketika melihat berita yang menayangkan runtuhnya kantor pemerintahan itu, aku sadar bahwa semua itu benar-benar nyata. 

“Dan anehnya, di berita dibilang nggak ada korban jiwa. Padahal waktu aku loncat dari gedung, masih banyak pegawai di dalam, loh. Ini tuh konspirasi kan? Pengendalian informasi, gitu?”

Begitulah, aku memikirkan kemungkinan yang berbeda dari orang-orang pada umumnya. 

“Tapi, bisa jadi memang tidak ada yang tewas.”

Aku berkata begitu, sambil memandang ke arah Yang Mulia.

“Kan memang ada orang yang tidak bisa mati.” 

Ada sesuatu yang sejak lama ingin kutanyakan pada Yang Mulia.

“Selain Yang Mulia, pasti masih banyak orang lain yang tidak bisa mati, kan?” 

Aku senang bisa bersama Yang Mulia, jadi kalaupun aku tidak tahu jawabannya, ya tidak masalah. Kalau beliau memang tidak mau memberitahuku, itu juga tidak apa-apa. Tapi, tetap saja, aku sedikit penasaran, jadi aku bertanya dengan nada santai.

“Yang Mulia itu sebenarnya siapa sih?” 

Dan jawaban dari Yang Mulia adalah...

“Madarame, kamu tidak sopan.” 

“Maafkan aku.”

Aku pun menyimpan ponsel yang sedang kuotak-atik ke dalam saku. Tapi Yang Mulia menggeleng, seolah ingin mengatakan bukan itu maksudku.

Memang benar, Yang Mulia tidak pernah melarang menggunakan ponsel saat makan. Karena beliau sendiri sering melakukan hal-hal yang tidak sopan saat makan. Waktu nonton film gangster favoritnya di Toko Inggris sambil makan, beliau terlalu tenggelam hingga sering menumpahkan sup dari mulutnya. Aku yang duduk di samping, mengelapnya.

Dengan kata lain, meskipun Yang Mulia terkesan sombong, beliau cukup adil untuk tidak memaksakan sesuatu yang bahkan dirinya sendiri tidak bisa lakukan kepada orang lain. 

Lalu, soal apa Yang Mulia menyebutku tidak sopan sekarang ini?

“Jangan menyisakan makanan.” 

Di piring set makananku, masih tersisa banyak cabai. Tapi...

“Yang Mulia, cabai ini hanya untuk memberi aroma pada daging, jadi tidak perlu dimakan.” 

“Makanan yang disajikan harus dimakan sampai habis, itu baru sopan santun.” 

“Hah? Nggak denger ya?”

Telinga Yang Mulia memang sangat praktis, hanya mendengar hal-hal yang ingin didengar saja. 

“Padahal yang ngajarin cara makan ala masakan Sichuan itu juga Yang Mulia, loh!” 

“Makan.” 

“Nggak mau.” 

Kami pun terlibat adu mulut kecil. 

“Tunjukkan rasa hormat pada orang yang telah memasak makanan ini.”

Yang Mulia menginjak kakiku. 

“Yang Mulia juga boleh makan ini, loh!”

Aku mengambil sepotong cabai dengan ujung sumpit dan mengarahkannya ke mulut Yang Mulia. 

“Perutku sudah kenyang. Kau saja yang makan dan sakit perut.” 

“Eh, barusan bilang sakit perut, ya! Disuruh sakit perut!”

Aku menempelkan cabai itu ke pipi putih Yang Mulia. 

“Pasti ini karena pagi tadi! Waktu aku mengotori pipi Yang Mulia pakai Pocky! Sekarang dibalas pakai cabai, ya! Picik banget! Mini Yang Mulia!” 

“Aku ini juga Yang Mulia dalam hal ukuran hati. Aku tidak akan marah hanya karena hal sepele seperti itu.”

Meskipun berkata begitu, Yang Mulia juga mengambil cabai dengan sumpit dan mengarahkannya ke mulutku. 

Kami pun terlibat dalam pertarungan sengit saling menempelkan cabai satu sama lain.

Hingga akhirnya Yang Mulia mengangkat sebelah alis dan berkata, 

“Makanlah! Demi Yang Mulia Ratu!” 

“Eh, tunggu, ehh!!”

Tubuhku langsung membeku, menghadap langsung ke piring penuh cabai. 

“Itu, nggak adil dong? Maksudku, kok bisa pakai kalimat segitu santainya sih? Harusnya jurus pamungkas seperti itu digunakan seperlunya, jangan sembarangan!”

Meski aku protes, tubuhku mulai bergerak sendiri, mengambil cabai dengan sumpit dan menyuapkannya ke mulut, seolah itu makanan favoritku. 

“Aduh, pedas! Pedas banget!! Sialan!!”

Tak mampu melawan kekuatan Yang Mulia, aku pun menghabiskan semua cabai itu.

Dengan kepala rebah di meja bulat khas restoran Tiongkok, aku terkulai lemas. Bibirku membengkak parah.

Yang Mulia tetap memasang wajah santai. 

Namun...

“Tadi itu pasti cuma pengalihan. Karena aku tanya soal identitas Yang Mulia, kan?” 

Yang Mulia tidak menjawab. 

“Sejak aku mulai sering bersama Yang Mulia, aku jadi bisa melihat hal-hal yang sebelumnya tidak kelihatan. Seperti makhluk aneh kayak Yang Mulia, sebenarnya banyak kan?” 

Aku melirik ke arah dapur.

Pelayan wanita yang mengenakan cheongsam tersenyum padaku. Matanya bersinar aneh seperti mata kucing asli. Senyumnya pun seperti senyum si Kucing Cheshire. 

“Aku juga bukan pertama kali melihat manusia bermata hitam pekat.” 

Kalau berjalan di kota dengan santai, kadang bisa ketemu juga. Biasanya, mereka memancarkan aura yang membuat bulu kuduk berdiri. 

Di seberang jalan, di antara kerumunan orang, kadang ada satu orang dengan mata benar-benar hitam. Dan saat menyadari aku menatap mereka, mereka sering mengangkat telunjuk ke depan mulut. 

Sejak bekerja bersama Yang Mulia di Toko Inggris, aku mulai sadar akan keberadaan makhluk seperti itu. Mereka mungkin sudah lama ada, hanya saja aku yang tidak tahu. 

Dan Yang Mulia jelas termasuk makhluk seperti itu. 

“Beri tahu aku. Sebenarnya Yang Mulia itu apa sih?” 

Yang Mulia menatapku sekilas, lalu berkata.

“Aku adalah Sang Ratu.”

“Tuh kan, pasti jawabannya itu lagi.”

“Sudah waktunya memperluas wilayah kekuasaan. Shinjuku juga sudah jadi milikku.” 

“Padahal cuma sering main ke sana, eh tahu-tahu dianeksasi...” 

“Selanjutnya, Yoyogi atau Okubo, ya...” 

“Ini sih cuma pengguna Jalur Yamanote aja!” 

“Kita mulai dari Yoyogi.” 

“Orang ini niat banget menguasai Shibuya.” 

Saat kami sedang bercanda seperti itu.

“Ah, ternyata benar kalian di sini!” 

Seorang siswi SMA masuk ke restoran Tiongkok yang hanya ada kami sebagai pelanggan. 

“Salam sejahtera, Nona Hana.”

Yang Mulia menyapa. 

“Halo, Ellie.” 

“Bukan Ellie. Panggil aku Yang Mulia.” 

Gadis yang masuk ke restoran itu adalah Hana, adik kelasku di SMA yang sama.


* * *


Amami Hana.

Siswa kelas satu SMA, lima belas tahun.

Wajahnya masih menyimpan jejak kekanakan, dan sifatnya cukup serius. Atau lebih tepatnya, kaku dan tidak fleksibel. Tapi dia juga tipe gadis yang tetap didekati oleh anak-anak laki-laki yang suka bercanda. Singkatnya, dia adalah gadis yang lucu dalam artian yang paling sederhana.

Aku berpikir apakah baik-baik saja untuknya tidak menghadiri sekolah hari ini, tapi aku tidak memikirkan situasiku sendiri saat ini.

“Ini bukan waktunya untuk santai-santai begitu! Terutama kamu, Madarame-senpai!”

Begitu memasuki restoran Tiongkok, Hana langsung berkata begitu sambil mengacungkan ponselnya.

Di layar, sebuah video berita kilat sedang diputar. 

“Itu kan ledakan di Kantor Pemerintah Metropolitan Tokyo.”

Tampak gedung pemerintah yang telah menjadi tumpukan puing dan batu. 

“Lihat bagian setelah ini, yang ini!”

Rambut lurus Hana yang panjang sebatas bahu bergoyang pelan. Seragamnya dikenakan rapi, sikapnya sopan, dan karena itulah sang Yang Mulia menyukai Hana. 

Karena Hana menyuruh kami menonton, kami pun melihat kelanjutan berita tersebut.

Penyiar berita tampak berbicara dengan ekspresi serius.

Hana menaikkan volume ponselnya untuk kami dengar.

Ternyata, baru saja terungkap siapa pelaku ledakan di Kantor Pemerintah Tokyo, dan dia telah resmi masuk dalam daftar pencarian nasional. 

Pelaku? pikirku. Soalnya, penggunaan kata “pelaku” terdengar seperti menunjuk satu orang saja. Padahal dengan kejadian sebesar itu, bukankah seharusnya pelakunya adalah kelompok, atau kejahatan terorganisir? begitu pikirku. 

Seakan menjawab keraguanku, penyiar berita menjelaskan bahwa pelakunya adalah seorang siswa SMA, dan dia melancarkan aksinya dengan bantuan dari organisasi teroris luar negeri, begitu katanya. 

Hah?

“Tadi disebut siswa SMA ya?”

Tepat setelah aku merasa heran, wajah dan nama tersangka yang masuk daftar pencarian nasional ditampilkan di layar, dan penyiar membacakannya dengan lantang.

 

“Polisi telah memasukkan Madarame Shinichi (16) ke dalam daftar pencarian nasional atas dugaan keterlibatan dalam ledakan kantor pemerintah...”


* * *


Begitu Yang Mulia menyuruh Hana-chan duduk, ia memesan tambahan bola wijen dan teh Tieguanyin.

Seorang pelayan perempuan bergaya gadis Tiongkok dengan telinga kucing datang membawa pesanan, dan waktu pencuci mulut pun dimulai. 

“Aku beneran masuk daftar buronan, ya...”

Sambil memakan bola wijen, aku membuka situs berita di ponsel dan melihat namaku memenuhi seluruh halaman. Tulisan seperti “teroris enam belas tahun” dan “siswa SMA gila” terpampang jelas.

Karena aku memang tidak pernah ke sekolah, citra sebagai orang yang mengurung diri di rumah dan membuat bom sudah terbentuk sempurna. 

“Madarame-senpai sepertinya masuk daftar buronan atas tuduhan ‘pengkhianatan terhadap negara’,” kata Hana.

“Itu artinya, dituduh bersekongkol dengan organisasi teroris asing untuk melakukan kudeta. Dan sepertinya, hukuman yang ditentukan dalam undang-undang cuma satu, hukuman mati.”

“Menyeramkan!”

“Sepertinya, jenis kejahatan seperti pengkhianatan terhadap negara atau makar memang dikenakan hukuman seperti itu.”

“Aku sampai takut sendiri sama skala kejahatan yang disangkakan padaku...”

“Dan katanya, belum pernah ada orang yang didakwa dengan tuduhan pengkhianatan terhadap negara sebelumnya. Jadi, Madarame-senpai adalah yang pertama di Jepang.”

“Itu sama sekali bukan sesuatu yang bisa dibanggakan!”

“Itu semua karena kamu nggak sekolah dengan benar. Maksudku, lagi pula...” 

Hana yang serius itu berkata dengan pipi memerah.

“Madarame-senpai, bukannya terlalu mesra sama Ellie?” 

Karena dikatakan begitu oleh Hana, aku hanya bisa mengangkat alis dan bertanya, “Di bagian mana?”

“Waktu tehnya Ellie habis, kamu langsung menuangkannya lagi… Terus waktu mulutnya kotor kena isian manis, kamu bersihkan... Dan suasananya, gimana ya... Terasa tenang dan mesra...”

“Itu cuma refleks biasa, aku terbiasa merawat Yang Mulia...”

“Dan juga, jarak kalian tuh dekat banget...”

Hana berkata sambil mengalihkan pandangan.

“A-Apa, kalian berdua sedang pacaran?”

“Eh, bentar, haaaah!?”

Hana melemparkan pertanyaan luar biasa dengan sudut serangan yang luar biasa juga! 

Namun Yang Mulia menanggapinya dengan wajah tenang.

“Kami tidak pacaran. Hubungan kami adalah antara Sang Ratu dan pengikutnya.” 

Mendengar itu, wajah Hana langsung memerah padam.

“Jadi, mesra-mesraan tanpa pacaran... Hubungan tanpa status tapi hanya tubuh...?”

“Kenapa kamu malah ambil kesimpulan begitu?”

“Itu berarti hubungan orang dewasa, kan? Madarame-senpai, kamu terlalu cabul!”

“Hana itu murid teladan, tapi isi kepalanya pink banget ya.” 

Aku mencoba menjelaskan tentang hubunganku dengan Yang Mulia padanya. Tapi memang, di Jepang modern, hubungan antara ratu dan pengikut jelas tidak masuk akal. Kecuali di kafe pelayan atau semacamnya, mana ada pria yang menyajikan teh seperti pelayan? 

“Kalau dilihat dari luar, kamu cuma kelihatan seperti cowok gagal yang naksir kakak cantik di tempat kerja, sampai-sampai bolos sekolah...”

Itulah kesimpulan Hana.

“Makanya, sebaiknya kamu tetap sekolah.”

“Yah, mungkin kamu benar, tapi aku kan sekarang buronan.” 

Karena tidak masuk sekolah dan bekerja paruh waktu, aku terseret dalam insiden dan sekarang diburu sebagai teroris. Serius, rasanya aku tidak punya tempat untuk kembali. Apa yang harus kulakukan sekarang? Hukuman mati itu berarti kalau tertangkap, selesai sudah. Satu-satunya pilihan tinggal melarikan diri. 

Tapi bagaimana caranya? Operasi plastik? Ubah wajah? Uang dari mana? Apa harus hidup sembunyi-sembunyi sampai mati?

“Aku cuma ingin hidup dengan bebas, tapi kenapa semuanya jadi ngaco begini?” 

Saat aku memegangi kepala, Yang Mulia berbicara dengan nada sangat biasa.

“Tidak sepenuhnya salah juga.”

“Kenapa bisa begitu?”

“Karena membangun negara bersamaku berarti menggulingkan pemerintahan Jepang.”

“Kegiatan kita itu lokal! Imut! Nggak sampai harus bikin pemerintah naik pitam begitu!”

“Kalau pemerintah sudah menandai kita, mungkin lebih baik kita segera menduduki gedung parlemen.” 

Yang Mulia mengeluarkan selembar peta besar dari saku dada, membentangkannya, dan mulai mencari rute menuju gedung parlemen. Aku memutuskan untuk membiarkannya begitu saja. 

“Maaf ya.”

Hana meminta maaf padaku.

“Itu karena aku yang minta tolong mengambilkan gantungan kunci.”

Ya, benar. Semalam aku berada di kantor pemerintah Tokyo demi mengambil kembali gantungan kunci, dan permintaan itu datang dari Hana.


* * *


Inilah latar belakang kejadian hingga sampai ke titik ini.

Beberapa hari yang lalu, saat Hana sedang naik kereta, seorang pria yang mengenakan tanda pengenal pegawai pemerintah di lehernya, mengambil gantungan kunci yang tergantung di tasnya. Meskipun Hana tidak melihat saat gantungan kunci itu dilepas, dia sempat melihat pria itu memasukkannya ke dalam saku.

Hana langsung menanyai pria itu di tempat, namun dia pura-pura tidak tahu dan lari kecil menjauh dari sana.

Gantungan kunci yang diambil itu adalah hadiah dari ayahnya yang tinggal jauh di luar kota.

Tentu saja, hal pertama yang dilakukan Hana adalah pergi ke kantor polisi.

Namun polisi tidak bergerak hanya karena masalah sebesar gantungan kunci. Bahkan, mereka mulai meragukan ceritanya, mempertanyakan apakah mungkin seorang pegawai resmi dari kantor pemerintah mau melakukan hal aneh seperti mencuri gantungan kunci.

Polisi yang menangani kasus itu sempat bertanya tentang karakter huruf yang ada di gantungan kunci, lalu memperhatikan bahwa tas Hana dipenuhi dengan barang-barang bertema karakter yang sama.

Karakter yang dimaksud adalah Kuromari, sebuah maskot imut berkepala dua dengan warna hitam sebagai simbol utamanya.

Kuromari sangat populer di kalangan para gadis, terutama disukai secara ekstrem oleh tipe-tipe gadis dengan emosi yang cenderung naik turun.

“Eh? Apa Bapak berpikir saya ini tipe gadis bermasalah atau semacamnya?”

Penampilan dan kepribadian Hana yang sopan dan rapi berubah seketika saat menyadari tatapan polisi itu, suaranya pun meninggi.

“Hanya karena saya punya banyak barang bertema karakter yang biasanya disukai oleh gadis-gadis bermasalah, apakah Bapak langsung menilai saya sebagai siswi SMA yang bermasalah juga? Dan kemudian menganggap saya ini membuat-buat cerita agar diperhatikan, supaya dilirik!? Tatapan Bapak tadi seperti itu, kan!”

Hana protes dengan tegas, emosinya naik turun saat berbicara.

“Hanya prasangka!! Apa salahnya? Di antara siswi SMA yang serius dan berperilaku baik pun ada yang suka Kuromari, lho!!”

Gantungan kunci yang diambil darinya adalah boneka gantungan Kuromari.

Karena tidak ditanggapi oleh polisi, Hana lalu mendengar rumor bahwa seorang kakak kelas di SMA-nya tidak lagi bersekolah dan kini menjalankan bisnis jasa misterius di distrik yang mencurigakan. Ia pun memutuskan untuk mendatangi Toko Inggris, menggantungkan harapan terakhirnya di sana.

Saat itu, aku bersama Yang Mulia sedang berada di ruang kerja Toko Inggris, mendengarkan cerita Hana. Aku berkata.

“Eh? Kamu marah-marah ke polisi? Itu sih benar-benar ciri khas gadis bermasalah...”

Namun aku langsung diam karena mendapat tatapan tajam yang menusuk.

Terlepas dari itu, seperti biasa, Yang Mulia menerima permintaan Hana dengan syarat ia harus menjadi warga negara kami.

Lalu, lewat jaringan warga negara Yang Mulia (tepatnya teman minum teh seorang ibu petugas kebersihan di kantor pemerintah), diketahui bahwa gantungan kunci itu berada di dalam laci samping meja pria tersebut, dan akulah yang ditugaskan menyusup.

Biasanya, di titik ini aku akan berhasil mengambil kembali gantungan kunci itu, Yang Mulia akan membusungkan dada dengan bangga karena berhasil menambah satu warga baru, dan aku akan menyela, “Yang benar saja, ini kan cuma tambah satu teman,” lalu hari-hari kami yang konyol pun berlanjut seperti biasa.

Namun kali ini, gedung pemerintah meledak, dan aku kini jadi buronan nasional.


* * *


Adegan kembali ke restoran Tiongkok, saat menikmati hidangan penutup di meja bundar besar.

“Maaf, sungguh-sungguh maaf.”

Hana meminta maaf sambil memasukkan bola wijen ke mulutnya.

“Karena aku, kamu jadi terlibat dengan para teroris...”

“Itu bukan salahmu,” kataku sambil menuangkan teh untuknya.

“Kamu hanya ingin mengambil kembali gantungan kuncinya.”

“Iya juga ya,” Hana mengangkat wajahnya.

“Itu bukan salahku, ya, kan?”

“Ah, iya. Tapi kamu cepat banget sadarnya.”

“Malah sebenarnya, ini salahmu, kan?”

“Eh, aku?”

“Ini semua karena kamu bercanda terus. Soalnya lihat ini...”

Hana mengarahkan ponselnya ke arahku. Di layar situs berita itu, diputar sebuah video yang disebut-sebut sebagai bukti bahwa akulah pelaku pengeboman kantor pemerintah. Itu adalah rekaman dari kamera pengawas di dalam gedung pemerintah, diambil tadi malam.

Dan di dalam video itu, aku...

Sedang menari.

Dengan gaya ceria khas anak SMA yang sedang main-main, aku tampak menari tarian buatan sendiri sambil menunjukkan pose dua jari ke arah kamera.

Menurut keterangan yang tertera di bawah video, itu adalah rekaman sesaat sebelum ledakan terjadi.

“Senpai, dari tadi sok tidak bersalah, tapi jangan-jangan sebenarnya memang kamu pelakunya? Atau malah, ini sih kelihatan jelas banget, kamu memang melakukannya, kan?”

“Bukan aku!”

“Ngomong-ngomong...”

Yang Mulia juga menyela.

“Madarame pernah bilang kalau dia hobi menari tarian ciptaan sendiri.”

“Aku cuma menari saat sendirian di rumah!”

Lebih penting dari itu, aku Yang Mulia dengan nada keras.

“Kali ini, jangan coba-coba mengelak! Itu bukan aku, kan? Yang Mulia pasti tahu sesuatu!”

Sudah jelas, aku tidak pernah menari di kantor pemerintah.

Kalau begitu, siapa sosok yang menari itu? Yang Mulia pasti tahu jawabannya.

Aku yang ada dalam video itu, tampak sedikit aneh.

Orang awam mungkin tidak akan merasa janggal.

Tapi aku tahu.

Pelayan perempuan di restoran ini dengan mata seperti kucing, orang-orang bermata hitam pekat. Dan Yang Mulia yang tetap hidup meski lehernya tertusuk kaca, dan bisa memaksa orang lain untuk menuruti perintahnya.

Di dunia ini, pasti ada banyak makhluk aneh yang belum kuketahui.

Dan di antara mereka, pasti ada yang bisa meniru wujud orang lain.

“Sudahlah, jangan pura-pura tidak tahu. Kali ini, aku akan pastikan Yang Mulia memberi penjelasan.”

Aku meraih bahu Yang Mulia dan mengguncang-guncangkannya.

“Makhluk yang berubah wujud jadi aku di video ini, apa itu sebenarnya? Ia pasti makhluk aneh juga, kan? Sama seperti Yang Mulia, pasti punya kekuatan aneh juga, kan?”

Setelah cukup lama mengguncangnya, aku melepaskan tangan dari bahunya.

Yang Mulia menunjukkan ekspresi lelah, lalu menyebut sebuah istilah yang menjadi sebutan umum bagi dirinya dan para makhluk misterius lain yang hidup di dunia ini.


“Immortal.”


* * *


Makhluk-makhluk yang disebut vampir ataupun manusia serigala kabarnya memang benar-benar ada.

Monster, makhluk buas, makhluk gaib, siluman, banyak istilah yang digunakan, namun semuanya merujuk pada makhluk-makhluk yang hidup jauh lebih lama dari manusia, dan tidak mati hanya karena leher mereka tertusuk pecahan kaca.

Mereka adalah makhluk yang telah menolak kematian.

Itulah sebabnya mereka disebut sebagai Immortal.

Yang Mulia hanya memberitahuku sebutan itu, sedangkan yang menjelaskan secara rinci adalah nyonya pemilik toko penjahit. Yang Mulia memanggilnya Lavi.

Lavi adalah wanita cantik yang selalu mengenakan pakaian pria, bertubuh pendek dan memakai kacamata berbingkai perak. Ia selalu terlihat memandangi kain-kain yang tergantung di dalam toko, dan saat pelanggan datang, ia akan mengelilingi mereka beberapa kali, menatap tajam bak seorang pengrajin sejati, lalu memilihkan desain kemeja atau setelan jas yang cocok untuk mereka.

Pekerjaan pengukuran dan penyesuaian dilakukan oleh Friday. Friday adalah gadis pendiam berpakaian pelayan yang selalu mengikuti Lavi ke mana pun.

Toko jahit milik Lavi bernama “Charles & Retriever”, yang dikenal sebagai butik pakaian khusus pesanan mewah. Para pelanggannya sebagian besar adalah para eksekutif dan manajer perusahaan besar, yang sengaja datang jauh-jauh ke distrik perbelanjaan kota Yomizaka ini hanya untuk memesan pakaian.

Yang Mulia pun selalu menjahit kemejanya di toko ini.

Sebuah toko tua yang ternama dan sudah berdiri lama di Yomizaka.

Namun tampaknya, Charles & Retriever memiliki wajah lain selain sebagai toko penjahit.


* * *


Setelah keluar dari restoran masakan Tiongkok, Hana kembali ke sekolah.

Yang Mulia dan aku menuju ke toko penjahit milik Lavi, “Charles & Retriever.”

Jendela etalase yang memancarkan kesan mewah, serta huruf-huruf berwarna emas.

Aku membuka pintu hitam yang berat itu, dan Yang Mulia pun melangkah masuk ke dalam toko.

Begitu melihat Lavi, Yang Mulia langsung berkata, tanpa basa-basi.

“Seorang Immortal rendahan telah mengusik bawahanku.”

“Bawahan sih bukan, lebih tepatnya pekerja paruh waktu. Aku ini cuma karyawan lepas.”

Begitu melihat wajahku yang kini jadi buronan, Lavi tampaknya langsung memahami situasinya.

“Begitu ya. Sepertinya yang kamu inginkan adalah usaha sampingan kami yang lain.”

Sambil berkata demikian, Lavi membuka salah satu pintu rak yang menempel di dinding. Di dalamnya terdapat barang-barang seperti ikat pinggang, namun Lavi menyelipkan tangannya ke bagian belakang dan melakukan sesuatu.

Dalam sekejap, rak berat itu bergeser ke samping, memperlihatkan sebuah pintu tersembunyi dari baja.

Ketika Lavi membuka pintu itu, tampaklah sebuah tangga yang menuju ke bawah tanah.

“Silakan lewat sini.” Lavi mengundang kami masuk. Kami pun menuruni tangga itu.

Di ruang bawah tanah toko penjahit itu, seluruh dinding dipenuhi dengan senapan dan pedang. Tapi bukan hanya itu.

Ada juga salib, pasak perak, dan kapak atau tombak yang tampaknya menyimpan cerita kelam.

“Keren!!”

Aku tak bisa menahan kekagumanku. Yang Mulia menaikkan sebelah alis.

“Sepertinya kamu lebih bersemangat dibanding waktu kita di Toko Inggris itu, bukan?”

“Memangnya kamu tak tahu? Anak laki-laki itu suka sekali tempat rahasia semacam ini!”

“...”

Yang Mulia terlihat tidak senang. Dia memang tipe orang yang harus selalu menjadi yang paling istimewa.

Lavi menunggu beberapa saat untuk membiarkan kesan dari ruang bawah tanahnya meresap, lalu berkata.

“Jika ada Immortal, maka ada pula pemburunya, Immortal Hunter.”

Sambil mendorong kacamatanya dengan jari telunjuk, Lavi melanjutkan.

“Toko ini, Charles & Retriever, menyediakan dua hal, yakni pakaian abadi yang melampaui zaman, dan senjata untuk memburu para Immortal.”

Pelayan pendiam bernama Friday, menarik kursi dan kami pun duduk. Setelah Friday menuangkan teh, Lavi kembali berbicara.

“Madarame, manusia bermata hitam yang kamu hadapi itu adalah salah satu Immortal tingkat tertinggi.”

“Itu maksudnya...”

“Tubuh aslinya berada di neraka. Ia mengambil alih tubuh manusia dan memakan jiwa mereka. Kadang, bahkan orang-orang di sekitarnya atau utusan Vatikan yang datang untuk mengusirnya, bisa dihancurkan olehnya.”

Lavi menyebut nama dari makhluk tak mati itu.

“Iblis.”

Aku langsung teringat pada adegan dalam film Exorcist, di mana ada gadis yang melayang di udara memutar-mutar kepalanya.

Ngomong-ngomong, orang-orang dari kantor pemerintahan juga gerak-geriknya aneh.

“Jadi selama ini aku berurusan dengan sesuatu yang seseram itu...”

“Dan iblis memiliki berbagai macam kemampuan. Seperti yang kamu tahu, mereka bisa mengendalikan manusia. Beberapa dari mereka bahkan bisa mengubah bentuk tubuhnya sesuka hati. Mereka bisa meniru penampilan orang yang pernah mereka lihat. Itulah yang disebut Shapeshifter.”

“Kalau begitu...”

“Orang yang terlihat seperti kamu dalam rekaman di kantor pemerintahan itu, kemungkinan besar adalah iblis yang punya kemampuan tersebut.”

Sambil berkata demikian, Lavi menyodorkan sebuah foto ke atas meja.

Dalam foto itu tampak seorang pria berkacamata dengan wajah serius.

“Kebetulan, ada satu orang seperti itu di Shinjuku. Namanya Abe, dia bekerja sebagai pegawai di sebuah pusat permainan.”

“Tapi apa yang bisa kulakukan terhadap iblis? Aku bukan pengusir setan, lho.”

“Iblis pun ada kelas-kelasnya. Kalau kamu berhadapan dengan iblis yang memiliki nama, bahkan Immortal Hunter pun takkan sanggup. Aku pun gemetar hanya membayangkannya. Tapi Abe ini hanya iblis kelas rendahan yang tidak punya nama. Dia cuma penipu kecil yang menyamar dan menipu orang.”

Saat itulah Lavi menepuk-nepuk meja dengan jarinya. Mendadak, pelayan pendiam Friday mengambil sebuah revolver dan beberapa butir peluru, lalu meletakkannya di atas meja.

“Bagaimana kalau ini?” Friday bertanya.

“Hmm, akan kuambil.” Yang Mulia berkata demikian, lalu mencoba meraih tangan Friday.

Friday langsung menepuk tangan Yang Mulia.

“Bukan kamu yang kumaksud.”

“Pelit.”

Yang Mulia menggerutu, dan Lavi hanya mengangkat bahu.

“Yang kamu inginkan sebenarnya cuma supir, kan?”

Friday memang tampak seperti gadis remaja, tapi katanya dia bisa mengendarai limusin. Bagi Yang Mulia yang harus berpindah-pindah dengan membaca peta dan naik kereta satu per satu, dia jelas merupakan sosok yang sangat diinginkan.

“Yang akan kuberikan padamu adalah ini.”

Friday melanjutkan, tak mempedulikan celetukan ringan Yang Mulia.

Dengan enggan, Yang Mulia mengambil satu peluru yang tergeletak di meja dengan dua jarinya.

“Peluru suci, ya.”

Peluru itu berwarna emas, dengan salib terukir di permukaannya.


“Satu tembakan saja sudah cukup untuk membuat iblis kesakitan. Kemampuan menyamar mereka pun akan lenyap,” jelas Lavi. 

“Lebih sederhana daripada mengikat mereka lalu melakukan pengusiran setan, bukan?” 

“Maukah kamu membantuku, Lavi?” tanya Yang Mulia. Lavi tersenyum dan menggeleng pelan. 

“Aku ini penjahit, tahu. Lagi pula, kamu sudah punya pasangan yang manis, kan”

Sambil berkata begitu, Lavi menyodorkan pistol ke arahku, menyuruhku untuk mengambilnya. 

“Aku belum pernah menggunakan pistol.” 

“Tidak apa-apa. Kalau kamu menggunakan kemampuan Ellie, Maklumat Raja: King’s Order, kamu pasti bisa mengendalikannya dengan baik." 

Aku teringat saat bertarung di kantor pemerintahan dan berhasil membongkar pistol milik polisi.

Kalau perasaanku benar, pasti aku juga bisa menembak pistol dengan mulus. 

“Jadi aku sekarang resmi jadi pasukan Immortal Hunter, ya...”

Aku membayangkan hari-hari di mana sebuah kasus aneh terjadi di kota, lalu permintaan bantuan datang ke Toko Inggris. Penyebabnya ternyata iblis atau vampir, dan aku menangani mereka dengan gaya keren. 

“Semangatnya naik!!” 

“Bodoh,” kata Yang Mulia sambil mengeluarkan koin tua dari saku jasnya dan melemparkannya. Lavi menangkapnya dengan tangan, menandakan bahwa transaksi telah selesai. 

Begitulah urusan kami di toko selesai, dan saat hendak pergi, Lavi menghampiriku. 

“Hati-hati, ya. Belakangan ini, perilaku para Immortal agak mencurigakan.”

Kabarnya, berbagai insiden terjadi terus-menerus di pusat kota, membuat para Immortal Hunter kewalahan. 

“Begitukah?”

Aku menjawab sambil sedikit berpikir, lalu berkata, “Tapi kenapa hanya aku yang diberi tahu soal ini?”

“Kamu ini sepertinya suka lupa, ya, Madarame...” kata Lavi dengan senyum yang diwarnai sedikit ketenangan. 

“Ellie itu juga seorang Immortal.” 

“Bukankah kamu berteman dengan Yang Mulia?” 

“Kami hanya mengenal satu sama lain untuk waktu yang lama.”

Meski Lavi tahu bahwa Ellie adalah Immortal, tampaknya dia tidak tahu pasti apa sebenarnya wujud Ellie.

Iblis kah, vampir, atau yang lainnya, masih belum jelas. 

Di hadapan Lavi, Yang Mulia sedang membelai kepala Friday sambil memujinya karena sopan. Dan kemudian, dia mengajaknya menjadi warga kerajaannya. 

“Immortal tetaplah Immortal. Mereka hidup dengan logika yang berbeda dari manusia, dan sejak dahulu kala selalu berseteru dengan manusia.”

Lavi menyipitkan mata, menatap ke arah Ellie. 

“Ellie mungkin adalah Immortal yang sangat tua. Dan Immortal yang tua, mereka semua penuh tipu muslihat.”


* * *


Setelah keluar dari toko penjahit, Yang Mulia berhenti di depan sebuah toko mainan di area pertokoan. 

“Apa yang sebaiknya kupilih, ya?” 

“Ini untuk permintaan dari taman kanak-kanak, ya?”

Taman kanak-kanak telah meminta Yang Mulia untuk berperan sebagai Sinterklas dalam pesta Natal mereka. 

“Kalau sekalian membagikan hadiah dan membuat anak-anak senang, rasanya tak ada salahnya juga.”

Sambil berkata demikian, Yang Mulia mengintip ke dalam etalase. Melihat itu, aku pun berpikir.

Tak mungkin orang sepertinya adalah Immortal yang jahat. 

“Kalau sudah tertarik dengan hadiah, mereka pasti akan tumbuh jadi warga negaraku yang patuh di masa depan.” 

“Itu logika yang sama seperti mafia yang membagikan permen pada anak-anak di lingkungan mereka, tahu.”

Mungkin beliau memang Immortal yang jahat. 

“Pemilihan hadiah bisa dilakukan nanti. Masih ada waktu.” 

“Kalau begitu, ayo kita ke Shinjuku! Untuk menaklukkan Shapeshifter Abe!”

Saat aku mengatakannya, Yang Mulia mengangguk dalam-dalam. 

“Kita harus merebut kembali gantungan kunci Kuromari milik Hana.” 

“Jadi tujuan utamanya itu, ya?” 

“Kuromari ada padanya.”

Dalam rekaman kamera pengawas di kantor pemerintah, terlihat diriku yang palsu menari sambil memegang Kuromari. 

Bagiku, menangkap Abe berarti membersihkan namaku dari tuduhan palsu, dan mengatasi status buronku. Sekarang pun aku masih menyembunyikan wajah dengan hoodie dan kacamata. Tapi bagi Yang Mulia, tujuan utamanya hanyalah Kuromari. 

“Setiap permintaan harus diselesaikan dengan sempurna. Itulah prinsip Toko Inggris,” kata Yang Mulia dengan penuh kebanggaan sambil menepuk dadanya. 

“Asistennya sedang jadi buronan, loh.”

“Ah, kamu belum tahu, ya.”

Lalu Yang Mulia menunjukkan wajah puas penuh percaya diri. 

“Selama kita berada di dalam wilayah negaraku sendiri, hukum pidana negara asing tidak berlaku.” 

“Tapi, pemerintah Jepang belum mengakui kemerdekaan negara Yang Mulia. Jadi aku tetap akan diadili menurut hukum Jepang.” 

Sambil bercakap seperti itu, Yang Mulia mulai menyusun rencana untuk menangkap Shapeshifter Abe. 

“Pertama-tama kita pergi ke game center di Shinjuku.” 

“Siap.” 

“Begitu kamu menemukannya, tembak kakinya.” 

“Dimengerti.” 

“Lalu aku akan menghajarnya dan merebut kembali gantungan Kuromari.” 

“Ini rencana yang sempurna. Yang Mulia benar-benar jenius.”

Sambil bertukar kata-kata seperti itu, kami melangkah menuju stasiun. Tapi...

“Kalau dia menggunakan kemampuan Shapeshifter-nya untuk berubah wujud dan bersembunyi atau melarikan diri, bagaimana?”

Jika dia tetap di game center dalam wujud aslinya, maka tinggal ditembak dengan peluru suci dari Lavi. Tapi kalau dia sudah menyamar jadi orang lain dan kabur jauh, kami bahkan tak bisa menemukannya. 

“Memang, kemungkinan itu ada.” 

“Aku coba pastikan dulu, ya.”

Aku menelepon game center yang disebutkan Lavi dan mengatakan, “Tolong hubungkan dengan Abe, aku temannya.” Jawaban dari staf adalah, Abe sudah beberapa hari tidak masuk tanpa pemberitahuan. 

“Sepertinya dia sudah kabur.” 

“Dia menyebalkan,” ucap Yang Mulia. 

“Berani-beraninya menghancurkan rencana jeniusku.” 

“Tak ada cara untuk membongkar penyamarannya?” 

“Katanya penyamaran Shapeshifter itu sempurna. Kecuali dia membuat kesalahan besar, akan sangat sulit menemukannya.” 

“Yah... Semoga saja dia kebetulan kabur ke Yomizaka dan melakukan kesalahan fatal di sana.” 

“Kalau ada orang seperti itu, dia benar-benar tolol. Tapi sudahlah, ayo makan es krim. Aku sangat menyukai es krim di musim dingin.” 

Ketika kami sedang bercanda seperti itu. 

“Ah!” Aku berseru. 

“Ada apa?” 

“Sepertinya aku menemukan si tolol itu.”

Beberapa siswi SMA sedang berjalan di jalanan, diam-diam mengarahkan kamera ponsel mereka ke sebuah kafe.

Arah pandangan mereka tertuju pada seorang pria berwajah tampan yang sedang duduk di teras, menikmati secangkir kopi. 

“Aku pernah lihat pria itu di TV,” kata Yang Mulia. 

“Memangnya kenapa?” 

“Lihat ke arah sana juga, lihat itu.”

Di etalase toko elektronik, beberapa televisi sedang menayangkan siaran langsung pertandingan bisbol profesional hari ini. Tepat saat upacara lemparan pertama, seorang aktor menarik lengannya dan melempar bola. Wajahnya sama persis dengan pria yang duduk di teras kafe. 

“Jadi dia memilih aktor tampan sebagai wujud penyamarannya.” 

Sebagai pukulan penentu, pria berwajah sama yang duduk di teras kafe itu mendadak tergelincir jatuh dari kursinya saat melihatku.

Dia pasti kaget karena orang yang dia fitnah sebagai teroris muncul tepat di hadapannya. 

Setelah bangkit, dia langsung berlari kabur. 

“Benar-benar tolol orang ini,” kata Yang Mulia, lalu menatapku. 

Tentu saja, yang bertugas mengejarnya adalah aku.


* * *


Aku berlari melintasi jalanan pusat perbelanjaan.

Aku mengejar Abe yang telah berubah wujud menjadi seorang aktor tampan.

Setelah kami menemukannya di kafe, Shapeshifter Abe langsung melarikan diri. Karena ia adalah iblis, kemampuan fisiknya lebih unggul dari manusia, dan ia sangat cepat. 

“Yang Mulia! Lakukan yang biasa kamu lakukan!”

Kupikir ini saatnya meminjam kekuatan dari perintah Yang Mulia, jadi aku berkata begitu di tempat.

“Aku sudah melakukannya.”

“Apa?”

“Frasa ‘Demi Yang Mulia Ratu’ itu hanya gaya saja. Selama aku, hmph, mengerahkan kekuatan, kamu akan menuruti perintahku dan dapat menggunakan sebagian dari kekuatanku.”

“Jadi itu cuma gaya-gayaan...”

“Bergaya itu penting, bukan?”

Cepat tangkap dia, kata Yang Mulia.

“Lakukan dengan elegan.”

Dengan pertukaran kata seperti itu, aku terus mengejar Abe. 

Abe masih dalam wujud aktor tampan, berlari menembus keramaian manusia. Aku harus tetap menjaga pandangan padanya sambil menghindari orang-orang. Pemuda berambut pirang mendekat, seorang nenek mendorong kereta belanja, siswi SMA, kurir yang berlari kecil, rasanya seperti sedang bermain game yang menguji refleks. Kiri, kanan, kiri, kanan, kanan, kanan. 

Tiba-tiba, Abe membelok tajam dan masuk ke dalam sebuah gedung tua. Aku segera mengejarnya. Abe menaiki tangga darurat, aku juga ikut memutar naik tangga luar gedung. Plang-plang toko berjejer, ada kursus bahasa Inggris, kari India, dan karaoke. Saat sampai di lantai empat, Abe melompat turun ke jalan.

Kulihat ke jalan, dan dia sudah mulai berlari. Tentu saja, aku pun melompat. Mendarat sambil berguling untuk meredam benturan, lalu bangkit dan kembali berlari. 

Abe menoleh ke belakang, tampak terkejut.

“Siapa sih kamu? Apa-apaan kamu?”

“Aku ini siswa SMA yang jadi buronan gara-gara kamu!!”

“Aku nggak akan menyerahkannya! Aku nggak akan pernah menyerahkannya!!”

“Haaa? Ngomong apa sih kamu?”

Saat itu aku mulai berpikir. Kalau dia bilang nggak akan menyerahkannya, pasti maksudnya gantungan boneka Kuromari. Dan Kuromari adalah karakter populer di kalangan cewek yang emosinya naik turun. Dengan kata lain, si iblis ini...

“Kamu ini jangan-jangan tipe cewek meledak-meledak ya!?”

“Kamu bodoh.” 

Abe masuk ke gang sempit. Aku mengikutinya dan terkejut. Ada dua wanita dengan wajah yang sama. Kakak-kakak berpenampilan seperti pekerja kantoran dengan rambut yang digulung longgar.

“Apa? Kenapa? Kenapa aku?”

“Doppelgänger!?”

Keduanya tampak kaget melihat orang dengan wajah mereka sendiri di depan mata.

“Bahkan suaranya bisa ditiru juga?” kataku. Sekarang aku tak bisa tahu mana yang Shapeshifter.

Tapi ternyata tidak sesulit itu. Aku langsung meninju wajah wanita yang ada di sebelah kiri.

“Kenapa kamu bisa tahu!?”

“Pakaiannya nggak berubah! Dan lagipula, sudah ketahuan masih juga pakai gaya bicara cewek!!”

“Sialan!” 

Abe membalikkan badan. Saat itu, dia sudah kembali menjadi aktor tampan, dan mulai berlari menyeberang jalan besar.

Lampu hijau mulai berkedip.

Seorang nenek sedang menyeberang jalan sambil mendorong kereta belanja, dan Abe menabrak kereta itu, kehilangan keseimbangan.

“Harusnya kamu baik sama nenek-nenek!”

Akhirnya aku berhasil menyusul Abe dan menangkap kerah bajunya dari belakang. Abe memutar lenganku, lalu melemparkanku ke tanah. Aku sempat terlempar, tapi sambil terbanting ke tanah, aku justru memanfaatkan momentum dan melemparnya balik dengan teknik lemparan judo.

Kami saling bergulat di tengah-tengah zebra cross. 

Begitu nenek itu selesai menyeberang, lampu berubah merah. Mobil mulai bergerak. Saat aku kehilangan fokus karena itu, Abe memanfaatkan celah dan menyeruduk kepalaku.

“Aduh!!”

Abe kembali lari. Tapi sesaat kemudian, sebelum sempat sampai ke trotoar, ia tertabrak mobil dengan sangat keras.

“A-Apa!?”

Abe berguling-guling di jalan. Aku terpaku.

Namun dalam hitungan detik, Abe bangkit kembali dan berlari menuju gedung stasiun.

Tampaknya tubuhnya sangat kuat. 

“Memang iblis beneran! Nggak perlu ditahan-tahan rupanya!!”

Tadinya aku masih agak menahan diri, tapi kalau lawannya seperti itu, aku langsung mengeluarkan pistol yang diberikan Lavi. Tapi saat itu juga, terdengar suara tembakan dan ada hentakan di tanganku.

Ternyata Abe juga punya pistol dan menembak. Bahkan pelurunya mengenai pistolku, membuatnya terlempar dan meluncur ke tengah jalan yang dipenuhi mobil. 

Haruskah aku mengambil pistolku, atau terus mengejar Abe yang berbalik dan kabur?

Dalam sepersekian detik, tubuhku mengambil keputusan sendiri...

“Tentu saja!”

Dan aku memilih untuk mengejarnya. 

Kalau aku pergi mengambil pistol, aku pasti kehilangan jejak Abe. Karena itu, tubuhku yang patuh pada perintah Yang Mulia memilih untuk mengejarnya.

Kalau begitu...

“Mulai sekarang semua harus dilakukan tanpa senjata!!”

Kabarnya, di antara para iblis pun Abe tergolong penjahat kelas teri, tapi tetap saja dia seorang Immortal dan jauh lebih kuat dari manusia.

“Setidaknya biarkan aku ambil pistol dulu!!” Aku berteriak, tapi tubuhku malah melompati kap mobil, dan terus mengejar Abe. 

Entah kenapa, Abe masuk ke dalam gedung stasiun. Aku mengejar punggungnya dengan kecepatan penuh.

Kami berlari melewati bagian kosmetik, menaiki eskalator, dan saat sampai di bagian peralatan dapur, Abe menoleh dan menembak. Piring-piring pecah, orang-orang menjerit karena suara tembakan mendadak.

Namun tubuhku tetap mengejar Abe lurus ke depan.

“Ini terlalu gila!!”

Saat aku mengeluh begitu, Abe mulai membidik dengan benar dan menembak ke arahku.

“Uwaaah!!”

Aku reflek menutup mata. Tapi setelah suara tembakan, tubuhku masih tetap berlari. Saat kulihat, tanganku sudah memegang wajan dan menangkis peluru itu.

“Aku yakin! Aku yakin dengan kekuatan Yang Mulia!” 

Aku dan Abe melanjutkan kejar-kejaran kacau balau di dalam pusat perbelanjaan. Setiap kali aku hampir menangkapnya, dia mengarahkan pistol, dan aku harus berlindung di balik tiang atau merunduk. 

Dan akhirnya, kami tiba di lantai yang seluruhnya merupakan toko pakaian besar.

Saat Abe tidak terlihat lagi, aku baru menyadari tujuannya.

Kalau dipikir-pikir, aneh dia terus kabur. Dia bisa bangkit meski ditabrak mobil, dan punya pistol, bahkan menembakkannya sembarangan di dalam gedung.

Kalau begitu, kenapa dia susah payah kabur?

Jawabannya adalah pakaian. 

Sebelumnya, aku bisa tahu langsung jika Abe menyamar sebagai wanita. Tak peduli seberapa banyak dia mengubah wajahnya, pakaiannya tetap sama.

Tapi di lantai ini ada pakaian. Untuk pria dan wanita, tua dan muda.

Di tempat ini, dia bisa melakukan penyamaran sempurna. 

Aku memandangi sekeliling.

Karena tembakan Abe yang sembarangan, lantai ini berantakan. Baju jatuh dari rak, manekin terguling ke lantai.

Sebagian pelanggan sudah kabur, tapi ada yang masih bersembunyi di bawah rak, atau terduduk karena takut. Pegawai toko juga bersembunyi di balik konter. 

Dan di antara mereka, pasti ada Abe yang menyamar sambil membawa pistol.

Tapi aku tidak punya cara membedakan mana orang biasa dan mana Abe.

Situasi ini jelas menguntungkan Abe. 

Secara naluriah, aku tahu. Aku harus segera keluar dari sini. Tidak perlu bertarung di medan yang menguntungkan lawan.

Namun... 

Seorang bocah lelaki menangis di tengah toko.

Ibunya yang bersembunyi di balik rak memanggilnya, tapi anak itu menangis kencang dan tidak bergerak.

Abe adalah penjahat yang menembak tanpa pandang bulu, dan anak sekecil itu bisa saja terkena peluru nyasar. Situasi yang terlalu berbahaya. Aku ingin mendekati anak itu...

“Bisa jadi itu juga penyamaran Abe.”

Tadi, waktu Abe berubah jadi wanita, bahkan suara dan tinggi badannya ikut berubah.

Pasti dia juga bisa menyamar jadi anak kecil.

Kalau aku mendekat dan ternyata itu Abe, dia bisa berkata “Sayang sekali” lalu menembakku. Tipikal penyergapan. Dan meski bocah itu asli, jika aku sibuk dengannya, aku pasti jadi sasaran empuk.

Secara logika, pilihan yang cerdas adalah mengabaikan bocah itu. 

Tapi...

Entah karena kekuatan Yang Mulia atau karena naluriku, tubuhku bergerak dengan sendirinya.

Tanpa sadar aku keluar dari balik konter dan memanggil bocah itu.

“Tidak apa-apa, semuanya baik-baik saja.”

Aku mengusap kepalanya, memegang pundaknya, dan mengarahkannya ke tempat ibunya.

“Tuh, ibumu ada di sana.”

Setelah menepuk bokongnya pelan, bocah itu berjalan sambil menangis ke arah ibunya. Ia langsung dipeluk erat, dan aku pun merasa lega. Tapi saat itu, seseorang menekan moncong pistol ke pelipisku. 

Kulihat, Abe telah melepaskan penyamarannya dan berdiri dengan wujud aslinya.

Penampilannya terlihat seperti pria serius.

Abe berkata, “Kamu ini munafik, ya?”

Aku menjawab, “Bergaya itu penting, tahu.”

“Matilah.”

Tanpa ragu, dia menarik pelatuk. 

Terdengar suara tembakan.

Namun...

Yang jatuh ke lantai bukan aku, melainkan Shapeshifter Abe.

Dan di balik tubuh Abe yang terjatuh, ada sosok yang berdiri di sana...

Yang Mulia.

Di tangannya tergenggam revolver yang sebelumnya terjatuh ke jalan. 

“Yang Mulia, kamu telat.”

“Kamu perlu belajar bertarung dengan lebih elegan.”

Yang Mulia berkata sambil memandangi toko yang porak-poranda.

“Meski begitu tidak buruk juga.”

Yang Mulia memandangi bocah yang sedang dipeluk ibunya tadi.

“Kamu punya semangat pria sejati.”


* * *


Sepertinya peluru yang diukir dengan salib bila ditembakkan, iblis akan mengalami rasa sakit yang luar biasa.

Abe berguling-guling di lantai, mengerang kesakitan. 

“Hei, kembalikan gantungan kuncinya. Kuromari itu,” Yang Mulia menyentil Abe dengan ujung sepatunya. 

“Siapa juga yang mau ngasih! Ini punyaku. Aku nggak akan pernah...”

Suara tembakan bergema. Yang Mulia menembak pantat Abe. Tanpa belas kasihan. 

“Cepat serahkan,” ucap Yang Mulia dengan ekspresi dingin. Abe tampak menangis sedikit. Tapi ia menyilangkan tangan di dada dan meski pura-pura tegar, jelas-jelas mempertahankan sikap keras kepala. 

“Ini semacam hadiah untukku.”

“Oh gitu,” kata Yang Mulia sambil menembakkan beberapa peluru lagi ke arah pantatnya. Rupanya, Yang Mulia adalah tipe yang murah hati memberi “hadiah”. 

Aku berjongkok dan menatap wajah Abe.

“Gara-gara kamu, aku jadi buronan sekarnag. Dituduh ngebom kantor pemerintah segala.”

Saat kukatakan itu, entah kenapa Abe malah tertawa. 

“Apa yang lucu, hah?”

“Mana mungkin aku nyamar jadi kamu cuma buat hal sepele kayak gitu.”

“Lalu, kenapa kamu nyamar jadi aku?”

“Soalnya kalau aku yang pegang ini, bakal dikejar-kejar seantero dunia. Tapi, kalau ada rekaman kayak tadi, orang-orang bakal kira kamu yang pegang. Jadi, mereka akan mengejarmu.”

“Apa?”

Aku memiringkan kepala, dan Abe menatapku seolah terkejut. 

“Kalian serius mau ngambil ini tanpa tahu apa-apa?”

“Udah, cepat serahkan.”

Yang Mulia kembali menembakkan pelurunya, dan Abe menjerit kesakitan sambil berkata, “Udah cukup! Akan kupakai! Terserah apa yang bakal terjadi nanti!”

Aku dan Yang Mulia saling pandang, lalu mengangkat bahu dengan ekspresi seolah-olah mengatakan “Ngomong apa dia ini?” 

“Akan kupanggil tubuh asliku dari neraka. Selama aku punya ini, aku bisa...”

Abe menyelipkan tangannya ke dalam saku dada. Tapi seketika, wajahnya berubah panik.

“Hah? Nggak ada? Ke mana!?”

Ia mulai melirik ke sekeliling. Sepertinya dia menjatuhkan Kuromari. 

Aku juga mengedarkan pandangan ke sekitar. Lalu...

Tak jauh dari sana, Kuromari sedang berjalan. 

Pemandangan yang sangat imut dan absurd.

Gantungan kuncinya telah terlepas, dan boneka itu berjalan sendiri. 

Dengan kaki pendek khas tubuh dua kepala, Kuromari melangkah kecil menyusuri lantai, lalu masuk ke lift yang kebetulan terbuka.

Tepat sebelum pintunya menutup, ia melambaikan tangan mungilnya ke arah kami. 

Melihat itu, aku teringat pada seorang gadis yang dulu sangat menyukai Kuromari saat aku masih SD.

Gadis itu selalu membawa boneka Kuromari kemana pun dan sering mengajaknya bicara.

Karena dia cukup manis, anak-anak lelaki sering mengganggunya, ingin diperhatikan. “Itu cuma boneka,” kata mereka. “Ngomong juga nggak bakal dibales,” goda mereka. 

Sambil menangis, gadis itu selalu membalas, “Bukan boneka... Kuromari itu, Kuromari itu...”


“Jadi, Kuromari memang benar-benar hidup, ya...”

Begitu aku berkata demikian, Yang Mulia mengetuk kepalaku dengan ringan. 

“Dasar bodoh.”

“Eh?”

“Sepertinya, boneka itu memang menyimpan sesuatu yang luar biasa,” ucap Yang Mulia sambil menatap pintu lift yang telah tertutup. 


“Itu adalah Cawan Suci.”


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close