NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Datenshi Heika no Oose no Mamani e [LN] Bahasa Indonesia Volume 1 Chapter 4

 Penerjemah: Chesky Aseka

Proffreader: Chesky Aseka

Chapter 4

Sempurna

Sepulang sekolah, aku meletakkan tas dan menuju Gerbang Sakurada.

Keluar dari gerbang tiket Metro, menaiki tangga ke permukaan, di sana berdiri gedung-gedung dari berbagai kementerian.

Salah satu dari gedung itu tidak memiliki papan nama apa pun, itulah kantor Biro Yin-Yang. 

Aku masuk melalui pintu utama, naik lift ke lantai tiga, tempat Divisi Penindakan Satu dan Dua berada.

Tidak ada seorang pun di meja kerja. Tapi saat aku berdiri di lorong, Kapten Hanayama, perempuan berambut merah muda itu, menyapaku. 

“Kapten Shirakawa sedang di luar,” kata Kapten Hanayama.

“Hari ini aku yang jaga. Yuk, kita main.” 

Aku berlatih bersama Kapten Hanayama di ruang pelatihan, melakukan latihan peningkatan kebugaran dasar dan teknik penangkapan. Setelah itu, kami mengikuti pelajaran teori, mempelajari berbagai ciri khas Immortal. Termasuk juga cara mengusir hantu, yaitu dengan mencari dan membakar jasadnya. 

“Aku agak takut sama hantu sih...”

“Kalau begitu, nanti kita bareng-bareng pergi mengusir arwah di kompleks apartemen terkutuk yang terbengkalai, ya.”

“Eh? Tapi barusan aku bilang takut, lho?” 

“Sudah malam, pulang saja sana. Kami harus berjaga malam ini.”

Setelah mendengar itu, aku meninggalkan kantor Biro Yin-Yang. Saat sampai di rumah, aku langsung terkapar di kasur dan tertidur. Lalu keesokan harinya, aku bangun seperti biasa dan pergi ke sekolah. 

Sudah sebulan sejak Yang Mulia ditusuk tombak.

Sehari-hari, aku sekolah dan sepulangnya bekerja paruh waktu sebagai trainee di Biro Yin-Yang. 

“Kamu telah dimanfaatkan oleh malaikat yang jatuh.”

Begitulah kata Kapten Shirakawa di depan stasiun yang diliputi cahaya senja pada hari Yang Mulia ditusuk tombak. 

“Dia menerima kekuatan dari perasaanmu.” 

Lucifer berarti “bintang kejora” dalam bahasa Latin, atau dia yang membawa cahaya.

Dia adalah malaikat tercantik, dihormati dan dicintai oleh semua makhluk.

Namun suatu hari, ia menentang Tuhan, diusir dari surga, dan menjadi malaikat yang jatuh. 

“Konon, sumber kekuatan Lucifer sebagai pemimpin malaikat adalah berkat.” 

Berkat artinya dihormati, dicintai, dan diberi perasaan positif.

Saat ia diusir dari surga, Tuhan mengambil berkat itu darinya.

Ia pun dilupakan oleh dunia dan kehilangan kekuatannya. 

“Perasaan yang kamu tujukan padanya berfungsi sama seperti berkat itu. Dengan bersamamu, ia mulai mendapatkan kembali sedikit kekuatannya.” 

Hubungan abadi antara aku dan Yang Mulia, yang saling memberi kekuatan.

Mungkin alasan Yang Mulia bekerja di Toko Inggris untuk membantu warga kota adalah untuk mendapatkan kembali kekuatannya melalui perasaan positif mereka.

Itu semua berdasarkan laporan dari tim investigasi Biro Yin-Yang. 

Mereka juga membuat laporan tentang Cawan Suci. 

“Tampaknya, Cawan Suci yang bikin heboh sekarang dulunya milik Lucifer.” 

Kekuatan dan energi yang dimilikinya sebelum diusir dari surga, itulah yang kini mengambil bentuk mahkota dan menempel di kepala Kuromari. 

Menurut penjelasan tim investigasi, semua tindakan Yang Mulia sejauh ini cukup masuk akal. Baik Toko Inggris maupun Cawan Suci, semuanya demi merebut kembali kekuatan yang dulu miliknya. 

“Lucifer, sang malaikat yang jatuh, pernah ingin menjadi Tuhan. Ia diusir dari surga, ditafsirkan sebagai Raja Iblis, bahkan disebut sebagai pemicu perang kiamat. Jadi ini semua sudah seharusnya terjadi.” 

Aku pun berada dalam pengawasan Biro Yin-Yang.

Karena pernah bersama Lucifer, dan karena kekuatannya masih tersisa dalam tubuhku. 

Namun, itu bukan berarti aku ditahan atau diawasi secara ketat. Aku dianggap sebagai korban yang telah dimanfaatkan oleh Immortal. Itu berkat pertimbangan dari Kapten Shirakawa. 

Lalu, karena aku sudah punya pengalaman di dunia yang berkaitan dengan Immortal, aku pun ditawari untuk jadi staf resmi Biro Yin-Yang. 

“Pekerjaan seperti di film-film, melindungi perdamaian kota untuk badan negara tak resmi,” ucap Kapten Shirakawa saat mengajakku. 

“Setelah tugas besar, kita pesta makan dari katering.”

“Itu... Kedengarannya cukup menggoda!” 

Begitulah aku memulai hidup sebagai trainee paruh waktu setelah sekolah di pagi hari. 

Setelah lulus SMA, rencananya aku mau langsung kerja. Meski kurasa seharusnya aku lebih memikirkannya, tapi begitu gaji pertama masuk, aku langsung merasa, “Ya udah, ini cukup oke!” 

Aku jadi siswa SMA yang beli ramen dengan topping berlimpah, dan di bioskop, bukan cuma beli popcorn, tapi juga churros dan paket mewah lainnya. 

Di sela-sela kehidupan seperti itu, aku sempat mampir sekali ke Toko Inggris. 

Ketika aku naik ke lantai dua Kinoshita Coffee, ternyata tempat itu sudah kosong. Segala barang diambil oleh Biro Yin-Yang. 

Tapi yang mereka anggap tak penting seperti tongkat baseball dan bidak catur, masih tergeletak di lantai. 

Tongkat itu dipakai saat main baseball amatir, dan bidak catur itu karena Yang Mulia pernah diminta oleh seorang kakek untuk main shogi, tapi karena beliau tak tahu aturan shogi, ia malah pakai bidak catur di papan shogi. Aksi sang Ratu yang memakan Hisha benar-benar memukau. 

Aku membawa pulang tongkat dan bidak itu. 

Adapun soal pertempuran Cawan Suci, itu selesai begitu saja.

Katanya, iblis hebat dari luar negeri, bernama Mammon atau entah siapa, datang dan mengambil Kuromari. Biro Yin-Yang tentu saja langsung merancang operasi perebutan kembali. Tapi lawannya terlalu kuat, iblis kelas kakap yang juga bos mafia di dunia manusia, dengan organisasi yang solid. 

Tetap saja, Kapten Shirakawa, meski ditentang oleh semua pihak, bahkan melanggar perintah, menyerbu sendirian, bertarung, dan merebut kembali Kuromari. 

Katanya ia menyusup ke gedung di mana ada pertunjukan opera, dan di dalam auditorium yang remang-remang, dia membunuh semua iblis yang duduk sebagai penonton. Setelahnya, dia sempat mendengarkan opera sebentar sebelum pergi dari gedung itu. 

Aku tidak ada di tempat karena sekolah, tapi saat kembali ke kantor, Kapten Shirakawa terlihat sangat berbahaya, sampai-sampai semua orang ketakutan hanya karena berada di dekatnya. Tapi ia tetap menggenggam erat Kuromari, dan mantel putihnya sama sekali tak terpercik darah, masih seputih salju. 

“Tempat penyimpanan Cawan Suci cuma diketahui oleh Direktur dan Kapten Shirakawa,” kata Kapten Hanayama di kantor Yin-Yang Bureau. 

“Katanya sih, disimpan di suatu tempat di Tokyo.”

“Apa yang akan dilakukan dengan Cawan Suci?”

“Mau dikirim ke Kyoto.” 

Sepertinya adatempat di bawah tanah di Istana Kekaisaran, dan mereka berencana untuk menempatkannya di sana. 

“Lucifer akan diserahkan ke Vatikan bersama tombak itu. Dan kasus ini pun selesai.” 

Yang Mulia juga katanya dikurung di suatu tempat di Tokyo, tapi keberadaannya hanya diketahui oleh Direktur dan Kapten Shirakawa. 

Kota jadi sangat tenang sekarang.

Hidup sebagai pelajar SMA yang juga trainee di Biro Yin-Yang ternyata tidak buruk. Bahkan bisa dibilang, cukup menyenangkan. Sehat, dan aku punya penghasilan. 

Yang paling penting, ada Kapten Shirakawa.


* * *


“Madarame, ayo pulang bareng.”

Pada malam akhir pekan, ketika aku sedang bertugas menjaga telepon di kantor Biro Yin-Yang, Kapten Shirakawa menyapaku.

Begitu kami keluar dari gedung bersama, Kapten Shirakawa yang berpakaian kasual berkata, “Sekalian aja, kita minum yuk.” 

Katanya dia tahu satu bar, jadi kami pergi ke sana dan duduk berdampingan di kursi bar. Kapten Shirakawa minum koktail yang terlihat stylish, sementara aku hanya menyeruput air soda perlahan.

Setiap kali ia minum, kulit Kapten Shirakawa berubah sedikit kemerahan, dan itu benar-benar mempesona. 

“Aku bilang kemungkinan buat pacaran sama kamu itu ada, tapi...”

Kapten Shirakawa sudah mabuk.

“Awalnya ya dari temenan dulu...” katanya sambil bersandar padaku.

“Soalnya, kamu kan punya adik kelas yang lumayan dekat, kan?”

“Hana ya.”

“Kalau soal kayak gitu gak diselesain duluan, aku gak bakal bisa jadi pacarmu, lho.”

Lalu dengan wajah merah, dia berkata, “Gimana kalau aku cium kamu?”

“Eh, waahh!”

Minuman keras itu luar biasa.

Saat aku berpikir begitu, orang-orang dari Biro Yin-Yang masuk ke bar.

“Shirakawa, kamu langsung pake bar yang aku kasih tahu, ya,” kata seseorang, membuat wajah Kapten Shirakawa makin merah padam.

“Aku lagi sok-sokan jadi kakak buat Madarame! Jangan bongkar rahasianya dong!”

Ternyata, Kapten Shirakawa yang baru saja berusia dua puluh tahun, tentu saja belum tahu tempat minum yang keren seperti itu. 

Akhirnya, kami semua minum bersama.

“Madarame, jangan resign ya.”

Banyak orang yang mengatakan itu sambil memegang pundakku. Memang tempat kerja ini punya tingkat turnover yang tinggi. 

Pemilik bar juga sempat mengambil foto kenang-kenangan dengan kamera. Sudah jelas, ini bakal jadi foto yang kita lihat lagi sepuluh tahun nanti, lalu kita tenggelam dalam kenangan bernuansa sepia dan terharu habis-habisan. 

Setelah acara selesai, aku menggendong Kapten Shirakawa yang mabuk pulang ke apartemennya.

Karena ia memberiku petunjuk arah yang ngawur, kami pun mengambil rute yang sangat memutar.

Apartemennya terletak di lantai paling atas menara. 

“Wow!”

Aku kagum di depan pintu masuk, lalu Kapten Shirakawa berkata, “Mau nginap nggak?”

“Eh, nggak lah, masa iya... Oke aku nginap!” 

Aku berendam di bak mandi setelah dia, lalu memakai kaus oversized yang biasa ia pakai, bersiap untuk tidur.

Karena aku sudah terbiasa tidur di sofa, aku pun langsung memilih sofa tanpa banyak mikir. 

Tapi...

“Aku nggak bisa tidur tanpa guling.” 

Tentu saja, aku pun jadi gulingnya.

Di kamar yang lampunya sudah dimatikan, di tengah ranjang yang luas, aku dipeluk dari kepala oleh Kapten Shirakawa. Ternyata, sama seperti Yang Mulia, Kapten Shirakawa juga tidur hanya dengan pakaian dalam. 

Aku dipeluk sebagai guling oleh Kapten Shirakawa yang hanya mengenakan pakaian dalam.

Kepalaku tepat berada di posisi dada. Dan tentu saja, ukurannya pun kelas kapten. Karena aku dijadikan guling, kakinya juga mengait ke tubuhku. 

Aku benar-benar gugup, tapi karena Kapten Shirakawa sedang mabuk, dia sangat santai dan terlihat akan langsung tertidur. Jadi aku pun berusaha menjadi guling yang baik. Tapi aku mengajukan satu permintaan. 

“Kapten Shirakawa.”

“Apa?”

“Boleh aku juga memelukmu?”

“Boleh.” 

Rasanya sangat seperti perempuan. Ini sentuhan ideal yang aku bayangkan terhadap seorang gadis. Dirinya yang lembut, kulitnya yang halus, wangi yang harum, dan jauh dari kesan kuat yang biasanya ia tunjukkan, dia terkesan begitu anggun hingga membuatku merasa harus melindunginya, meskipun ia jelas tidak membutuhkannya. 

Bagaimanapun juga, itu benar-benar membahagiakan.

Aku menutup mata mencoba tertidur, dan beberapa saat kemudian, dengan suara mengantuk, Kapten Shirakawa berkata, “Dalam waktu dekat, Cawan Suci akan dipindahkan ke Kyoto.” 

Katanya akan disegel di kedalaman bawah tanah Istana Kekaisaran Kyoto agar tidak bisa disentuh siapa pun.

“Semuanya akan bahagia. Jepang akan jadi Kerajaan Seribu Tahun.”

“Minyak bumi akan menyembur dan kita nggak perlu kerja lagi, ya.” 

“Kalau semuanya sudah selesai...”

Kapten Shirakawa memeluk kepalaku erat.

“Yuk, kita benar-benar pergi kencan, ya.” 

Dengan wajahku menempel di dadanya yang besar, aku menjawab, “Ya. Mari kita berkencan.”


* * *


Beberapa minggu setelah aku menginap di apartemen Kapten Shirakawa... 

“Kamu ternyata di sini.”

Hana duduk di kursi di sebelahku dan berkata begitu.

“Kamu nggak datang ke sekolah lagi, aku jadi khawatir, tahu nggak.”

“Aku pengen nonton film...”

Saat itu, aku berada di sebuah bioskop tua di Yomizaka yang hanya menayangkan film-film indie.

Aku membenamkan tubuh ke dalam kursi, malas dan lunglai. 

“Aku tanya ke petugas resepsionis, katanya kamu udah seminggu ini datang terus dari pagi sampai malam. Padahal filmnya cuma satu, kok nggak bosen?”

“Tempat ini bikin tenang,” jawabku.

“Nonton film di cineplex sambil taruh cemilan di pangkuan itu juga seru, tapi tetap aja, di sinilah aku paling tenang.” 

Di teater itu hanya ada aku dan Hana. Di layar diputar film hitam putih yang sudah tua. 

“Kamu masih kerja di tempat para malaikat?”

“Enggak.”

“Eh...”

“Aku cuma trainee, jadi disuruh standby.” 

Beberapa waktu lalu, Biro Yin-Yang mulai siaga penuh. Mereka memulai proses pemindahan Cawan Suci.

Begitu cawan itu disegel di tempat penyimpanan bawah tanah di Kyoto, tak ada satu orang pun yang bisa menyentuhnya lagi, bahkan yang menaruhnya pun tidak. Tempat itu seperti brankas super ketat, tanpa sistem pembuka. 

Dengan kata lain, ini adalah kesempatan terakhir bagi orang-orang yang menginginkan Cawan Suci.

Nyatanya, di perairan luar Teluk Tokyo, sekarang ada kapal perang asing yang berlabuh.

Kemungkinan besar, akan terjadi serangan terakhir. 

Karena momen itu sangat intens, trainee sepertiku hanya diperintahkan untuk menunggu.

Hari ini, Cawan Suci akan dikirim ke Kyoto dengan shinkansen dari Stasiun Tokyo. Semua penumpangnya adalah staf Biro Yin-Yang. Selain itu, akan ada banyak truk dan mobil umpan yang menuju Kyoto, serta petugas dengan koper mencurigakan yang terbang ke Bandara Haneda dan Narita menuju Kansai. 

Setelah tugas itu selesai, semua akan kembali seperti semula. 

“Bukannya ini bukan momen buat murung?” kata Hana.

“Lalu kenapa kamu kelihatan putus asa lagi?”

“Hari ini juga, Yang Mulia diserahkan ke Vatikan.”

“...Begitu, ya.” 

Aku tidak tahu di mana Yang Mulia sekarang atau di mana penyerahan akan dilakukan. Mungkin karena aku adalah orang yang pernah berada dalam pengaruhnya, maka batas pun dibuat. 

“Hei, Hana,” kataku.

“Aku ini punya reputasi yang cukup bagus di sekolah.”

“Sepertinya begitu.”

“Aku dipuji guru karena selalu rapi, nilai bahasa Inggrisku naik, jadi orang-orang anggap aku pintar.” 

Aku juga menepati janji dan waktu, dan mau melakukan pekerjaan yang tidak disukai orang lain. Noblesse oblige.

“Kalau ada cewek, aku bukain pintu. Kalau mereka bawa barang berat, aku bantuin. Karena itu, baru-baru ini, ada cewek di kelasku yang nembak aku.”

“Udah kudengar! Di kalangan anak-anak cewek kelas satu juga, kamu cukup populer. Cuma sedikit populer, ya!” 

Hana merengek seperti anak anjing.

“Hal-hal yang aku lakukan itu cuma bentuk formalitas, tapi dengan begitu aku bisa bergaul dengan orang lain, sekolah jadi lebih menyenangkan, rasanya aku bisa hidup di tengah masyarakat.” 

Tapi...

“Itu semua, berkat Yang Mulia.” 

Lalu aku bertanya pada Hana.

“Kamu pikir, Yang Mulia itu orang jahat?”

“Aku cuma tahu sisi konyolnya Ellie... Tapi, kalau benar dia memanfaatkan rasa hormatmu, maka aku nggak bisa maafin.” 

Dahulu, Lucifer adalah malaikat terindah dan dihormati oleh semua makhluk hidup. Itulah sumber kekuatannya, tapi ia kehilangan semua kekuatannya itu saat Tuhan merenggut berkah yang ia punya dan dia dilupakan oleh dunia. 

Karena itu, ia mungkin menggunakan aku, dan menyebar kebaikan di antara para pedagang agar mendapatkan kembali kekuatannya.

Begitulah analisis dari departemen investigasi Biro Yin-Yang. Tapi...

“Aku rasa, itu nggak benar.”

Aku berkata sambil menatap layar.

“Ada cerita kalau Yang Mulia pernah jadi aktris. Ternyata itu benar.”

“Eh?”

“Lihat saja.” 

Film hitam putih yang sedang diputar hampir mencapai akhir, masuk ke adegan terakhir sebelum ending. 

Adegan ini menampilkan tokoh utama, setelah memenangkan hati sang heroine dan berjasa untuk negara, menerima penghargaan dari sang Ratu.

Pahlawan itu memasuki istana.

Wajah sang Ratu diperbesar di layar. 

Saat itu, Hana berteriak, “Eh!?”

Sang Ratu, tanpa keraguan, adalah Yang Mulia. 

Tak ada dialog. Hanya adegan penyerahan medali. Tapi dalam layar itu, Yang Mulia tampak paling cantik dari siapa pun. Bahkan heroine-nya tidak ada apa-apanya. Tentu saja. Dia adalah makhluk terindah di dunia. 

“Yang Mulia pertama kali menyapaku tepat di depan bioskop ini. Film yang diputar saat itu juga film ini.”

“Madarame-senpai...”

“Aku suka banget adegan itu, jadi aku nonton berulang kali. Sendirian, di bioskop yang tak ada penontonnya.” 

Jadi...

“Aku yakin, Yang Mulia senang.”

Dia telah dilupakan oleh dunia.

Tapi aku tetap menonton film yang menampilkannya. 

Bukan suatu kebetulan dia menyapaku. Dan aku juga tidak asal ikut dengannya. 

“Aku rasa aku bisa sedikit memahami kenapa Yang Mulia membuka Toko Inggris.”

“Perasaan Ellie, ya...”

“Akhir-akhir ini, aku merasa sangat bahagia.” 

Aku punya uang agar aku bisa menikmati hal yang kuinginkan.

Bisa mesra-mesraan sama cewek cantik.

Nggak khawatir soal masa depan kerja.

Postur tubuh membaik, jadi sopan, dan aku jadi sedikit populer di sekolah.

Bahasa Inggrisku bagus, dan karenanya orang-orang bilang aku pintar. 

“Aku sering dengar kata-kata yang bikin senang. Apalagi ‘pintar’, itu keren banget. Sekolah adalah tempat belajar, untuk jadi pintar, jadi dibilang pintar tuh bikin senang banget. Kayak kecanduan. Bikin pengen dengar lagi, pengen terus bersikap seperti itu, pengen nilai segala hal berdasarkan itu.” 

Mungkin, pujian kayak “keren” atau “imut” juga masuk kategori yang sama. 

“Tapi kayaknya ada yang salah.”

“Ada yang salah?”

“Soalnya, itu semua tentang aku. Aku pintar, aku keren, aku imut, aku hebat, aku ini, aku itu, aku, subjeknya cuma diriku.” 

“Kalau begitu, kamu akan senang kalau orang bilang apa?”

“‘Terimakasih.’”

Saat aku benar-benar merasakan kebahagiaan, saat aku merasa paling bahagia. 

“Yang paling menyenangkan, ya, tetap waktu aku menjalankan Toko Inggris. Lebih dari dipuji pintar atau keren, lebih dari menonton film favorit sambil makan cemilan di bioskop, yang paling membahagiakan itu waktu aku diajak main baseball karena kurang orang, terus aku gagal total, tiga strike dari empat kali pukulan, itu benar-benar memalukan, tapi tetap dibilang, ‘Terima kasih sudah datang.’ Itu yang paling bikin senang.” 

Aku rasa, Yang Mulia sebenarnya kesepian. 

Bukan karena ingin mendapatkan kembali kekuatannya, lalu bekerja untuk orang lain sebagai pemilik Toko Inggris. 

“Pasti, Yang Mulia cuma ingin mendengar orang bilang ‘terima kasih’.” 

Aku berkata begitu pada Hana. 

“Yang Mulia itu, hanya mau duduk di meja bundar, lho.” 

Meja favorit di ruang tamu Toko Inggris juga berbentuk bundar, dan alasan Yang Mulia suka restoran Cina pun karena mejanya bundar. 

“Meja bundar maksudnya...?” 

“Meja bundar adalah simbol duduk sejajar dengan semua orang. Yang Mulia itu memang mengakui hanya sistem monarki absolut, tapi dia sebenarnya orang yang seperti itu.” 

Aku berdiri dari kursi. 

“Eh, Madarame-senpai, jangan bilang kalau...”

“Pagi tadi, aku meninggalkan surat pengunduran diri di kantor Biro Yin-Yang.” 

“Eh!?” 

“Aku akan menjalankan Toko Inggris.” 

“Itu... Bukankah akan berbenturan dengan para malaikat...”

“Mungkin saja begitu.” 

Mulai sekarang, aku akan melanjutkan apa yang hendak dilakukan oleh Yang Mulia. 

Itu berarti aku akan berseberangan dengan Biro Yin-Yang. 

Aku ini bukan siapa-siapa, hanya manusia biasa, dan mereka sangat kuat. 

Tapi...

“Tak apa, aku sudah mengingatnya kembali.” 

Hana bertanya, “Mengingat apa?” 

“Enam hal yang katanya dibutuhkan manusia untuk bisa hidup. Yang dikatakan Yang Mulia.” 

“Kamu juga bilang itu waktu kita kencan, kan?” 

Saat itu, aku tak bisa mengingat yang terakhir. Tapi sekarang, aku sudah ingat. 

Aku menyebutkan satu per satu enam hal yang dikatakan Yang Mulia. 

Hal-hal yang diperlukan agar manusia bisa menjalani hidup. Yaitu... 

Kesopanan.

Cinta kasih.

Tanggung jawab.

Rasa hormat.

Disiplin.

Dan... 

“Apa yang terakhir?” tanya Hana. 

Sambil membentuk simbol dua jari, aku menjawab. 

Itu adalah...

“Keberanian.”


* * *


Setelah keluar dari bioskop, hal pertama yang kulakukan adalah pergi ke barbershop paling bersejarah di Yomizaka. Barbershop, maksudnya ya tempat cukur rambut. Di sana aku memotong rambut, menatanya, lalu wajahku dilumuri busa untuk dicukur juga. Selanjutnya, aku pergi ke toko penjahit Lavi.


“Ellir bilang padaku untuk menyiapkan ini untukmu,” kata Lavi sambil mengeluarkan setelan jas bergaya Inggris. 

“Katanya, suatu saat kamu pasti akan memakainya.” 

Aku menyelipkan tangan ke lengan kemeja dan mengancingkan manset. Kupasang celana dan sabuknya kukencangkan. Lalu aku mengenakan jas, mengikat dasi, dan menyematkan penjepit dasi.


Aku menatap bayanganku sendiri di cermin dan berkata, “Bagaimana menurutmu, Yang Mulia?” 

Saat ini, aku benar-benar terlihat seperti seorang pria sejati.

Tapi tak ada Yang Mulia yang akan menjawabnya.

Karena itu, air mata nyaris menetes dari mataku. 

“Anak yang gampang kesepian, ya,” ucap Lavi. 

“Kamu mirip Ellie.” 

Lalu, Friday yang selalu tenang menyodorkan sebuah payung. 

Aku memiringkan kepala. Hari ini tidak tampak tanda-tanda akan turun hujan.

Tapi Lavi berkata, “Bawa saja. Untuk menghindari hujan peluru, payung akan berguna, bukan?”


* * *


Aku menuju Stasiun Tokyo lebih dulu.

Cawan Suci akan dibawa ke Kyoto dengan kereta Shinkansen. Sebenarnya, dengan kekuatan organisasi Biro Yin-Yang, mereka bisa saja menjalankannya setelah kereta terakhir beroperasi, tapi karena itu justru akan mencolok, mereka memilih strategi untuk menggunakan jadwal kereta biasa, dengan seluruh penumpangnya adalah staf mereka. 

Aku berencana menerobos ke sana sendirian dan melancarkan misi perebutan kembali.

Namun... 

Saat aku melangkah ke peron, tempat itu sudah penuh dengan tumpukan mayat.

Orang-orang dari Biro Yin-Yang yang menyamar sebagai warga biasa tergeletak tak bergerak. 

“Kenapa? Apa yang terjadi sebenarnya...”

Ketika aku melihat sekeliling, aku menemukan Kapten Hanayama berambut merah muda. Ia duduk bersandar di tiang. 

Saat aku berlari menghampirinya, Kapten Hanayama mengarahkan pistol dinasnya kepadaku.

“Kamu, pihak siapa?” 

“Eh?” 

“Pihak Shirakawa? Atau pihak Direktur?” 

Aku bingung dan tak tahu harus menjawab apa, lalu Kapten Hanayama menurunkan pistolnya.

“Direktur telah berkhianat. Atau mungkin dari awal dia memang seperti itu. Yang jelas, dia bersekongkol dengan kekuatan asing. Mereka ingin merebut Cawan Suci dan menggunakannya untuk diri mereka sendiri.” 

Tampaknya kapal perang yang menunggu di laut lepas adalah penjemput mereka. 

“Lebih dari setengah para kapten juga berpihak pada Direktur.” 

Direktur Biro adalah pria paruh baya yang selalu memakai setelan jas dan punya aura berwibawa. Sebelum kedatangan Kapten Shirakawa, dia yang dikenal sebagai orang terkuat. Dan di tengah percakapan kami itu, dari dalam gerbong Shinkansen terus terdengar suara tembakan berselang. 

“Hanya tinggal menunggu waktu sampai mereka berhasil menguasai kereta...”

“Cawan Suci ada di dalam gerbong itu?” 

“Iya, tapi...” 

“Aku akan mengambilnya sebentar.” 

Aku melepas jaketku dan menyampirkannya di bahu Kapten Hanayama yang terluka. 

“Kapten Hanayama, silakan istirahat di sini.” 

“Eh, Madarame, t-tunggu...”

Tak ada waktu tersisa. Aku berlari masuk ke dalam gerbong Shinkansen.Begitu memasuki gerbong pertama, seorang anggota Pasukan Malaikat berseragam mengarahkan pistol ke arahku. Dia dari pihak Direktur. Mereka sudah tak berniat lagi merahasiakan tindakan mereka, jadi tak peduli walau terlihat mencolok. 

Karena itu, dia langsung menembak tanpa ampun. 

Aku berhasil memelintir tangannya tepat sebelum dia menarik pelatuk. Lalu aku menendangnya hingga terjatuh, mencekiknya dari bawah dagu dengan lenganku, dan dalam sepuluh detik dia tak sadarkan diri. 

Di dalam gerbong pertama, para anggota Biro Yin-Yang dan mereka yang berpihak dengan Direktur tergeletak berlumuran darah. Pertempuran yang sangat sengit, rupanya. 

Namun Cawan Suci tidak ada di gerbong pertama, jadi aku segera bergerak ke gerbong kedua. 

Di sana pun, banyak anggota Pasukan Malaikat terkapar.

Namun, di sisi lain gerbong berdiri satu orang pria dengan Thompson Submachine Gun di tangan. 

Begitu dia melihatku, tanpa ragu dia mulai menembaki dengan gencar, aku segera bersembunyi di balik kursi. Suara berat yang menggema hingga ke perut terdengar berkali-kali. 

Jika saat ini aku masih menerima perintah dari Yang Mulia, mungkin aku bisa melakukan aksi nekat dan menyelesaikan ini seperti dalam film laga. Tapi, aku sudah tidak memiliki kekuatan seperti itu lagi. 

Namun, bukan berarti aku tak punya apa-apa. 

Di tanganku, ada sebuah payung.


* * *


Saat aku menerima payung itu, Lavi di toko penjahit berkata, “Itu bukan payung biasa, tahu.” 

Alasannya kenapa tidak biasa adalah...

“Soalnya poros payung itu dibuat dari bongkahan logam entah apa yang dibawa oleh Ellie.” 

“Bongkahan logam...?”

“Karena Ellie seorang Immortal yang sudah sangat tua, secara kasual dia membawa-bawa relik suci. Tongkatnya juga begitu.” 

Yang Mulia senang menggunakan tongkat yang ditemukan di tumpukan barang rongsokan di pojok kamar di Toko Inggris. 

“Tongkatnya terbuat dari kayu ash.” 

“Itu kan, pohon yang tumbuh di mana-mana, bukan?” 

“Kamu perlu belajar lebih banyak soal dunia Immortal.” 

Ternyata tongkat itu dibuat dari bahan yang luar biasa. 

“Pertarungan para Immortal adalah pertarungan kasta. Ditetapkan dari kasta ras mereka dan relik suci yang mereka miliki.” 

“Jadi, bahan poros payung ini juga punya kasta yang hebat, ya.” 

“Kemungkinan begitu. Ellie pernah bilang, itu barang yang cukup luar biasa, tapi karena disimpan sembarangan terlalu lama, akhirnya meleleh dan jadi bulat.” 

Dan itulah yang akhirnya, melalui tangan Lavi, berubah menjadi payung ini.


* * *


Di dalam kereta Shinkansen...

Aku mempercayai Yang Mulia dan membuka payung yang batangnya terbuat dari semacam logam, lalu maju menghadapi tembakan dari Thompson submachine gun.

Kainnya memang hanya kain bagus biasa, tapi mampu menahan peluru dengan sempurna.

Aku terus mendekat, menutup payung, dan menggunakannya untuk menghajar lawan. Aku memukulnya begitu keras hingga dia pingsan, namun payung itu sama sekali tidak bengkok. 

“Payung ini gila banget!!”

Dengan semangat seperti itu, aku menangkis peluru dengan payung dan terus maju dari gerbong kedua ke gerbong ketiga.

Entah kenapa, aku merasa payung ini sangat cocok denganku.

Lebih lembut daripada senjata api dan lebih tenang daripada pedang. 

Yang Mulia punya tongkat, dan aku akan bertarung dengan payung. Bersama-sama kami akan menjalankan Toko Inggris.

Sambil memikirkan hal itu, aku terus bergerak di dalam gerbong Shinkansen, hingga akhirnya tiba di gerbong kelas Green.

Tidak ada seorang pun yang berdiri di dalam gerbong itu. Tampaknya fraksi Shirakawa memberikan perlawanan yang cukup sengit. Lebih banyak orang tergeletak di sini dibanding gerbong lainnya. Dan semua itu karena Cawan Suci. 

Seorang pria yang memeluk koper hitam tampak telah tewas.

“Maaf, ya,” kataku sambil mengambil koper dari lengannya.

“Tapi ini bukan milik kita. Ini harus dikembalikan ke pemilik aslinya.” 

Namun, saat aku memeluk koper itu.

Tiba-tiba, ada hawa dingin menjalar di perutku. 

Itu terjadi begitu cepat.

Cahaya logam berkilau melintas di depan mataku, dan secara refleks aku mengangkat payung ke arah sana.

Dalam sekejap, tubuhku terhempas ke belakang dan menghantam dinding. 

Baru setelah itu aku memahami apa yang terjadi.

Di dalam gerbong yang seharusnya kosong, seseorang berhasil menyusup ke dekatku dan nyaris membelah tubuhku.

Aku sempat menangkisnya dengan payung, tapi kekuatannya sangat jauh berbeda, hingga aku terlempar. 

“Aduh!”

Rasa nyeri hebat menjalar dari pinggangku. Tanpa kekuatan Yang Mulia, tubuhku ini sebenarnya sangat rapuh. Tapi aku tak punya waktu untuk meringis, cahaya perak itu kembali melaju ke arahku. 

Aku langsung berguling ke samping. Saat berikutnya, bangku tempat aku tadi berada terbelah dua.

Tapi aku masih belum bisa melihat musuhnya. 

Beberapa detik berlalu. Kali ini dari bawah pandanganku, cahaya putih dari bilah pedang kembali menyala. Hampir bersamaan, aku melompat mundur dan lolos. Bahkan langit-langit gerbong kini retak. 

Serangan itu terus berdatangan dari segala arah.

Aku menangkisnya dengan payung atau menghindarinya semampuku. Hampir semuanya hanya berdasarkan insting. Cepat atau lambat, aku pasti akan kalah. Tapi... 

Suara langkah menghancurkan kaca di belakangku terdengar. Aku mengayunkan payung ke arah itu sekuat tenaga.

Lebih ringan, lebih cepat, dan lebih kuat dari sebelumnya. Payung itu menghancurkan bangku dan menembus ke arah musuh di belakang. Betapa hebatnya performa payung ini. 

Terdengar suara logam saling berbenturan dan kaca jendela gerbong pecah karena hentakan tersebut.

Aku merasa mengenainya. Tapi aku belum menang. Musuhnya berhasil menangkis payungku dengan pedangnya. 

“Apa-apaan payung itu?”

Akhirnya musuh memperlihatkan diri dan berbicara. 

“Bukan... Sekarang bukan waktunya ngomongin soal payung, kan?” jawabku padanya. 

“Timing-mu buat muncul emang keren banget, ya...”

“Wakil Kapten Yanagishita!”


* * *


Yang menyerangku dengan tebasan pedang adalah Wakil Kapten Yanagishita yang seharusnya sudah tewas ditembak oleh Yang Mulia. Wanita pendiam dengan tahi lalat air mata di pipinya. Sama seperti Kapten Shirakawa, ia diberkahi kekuatan luar biasa dari malaikat, dan memiliki kemampuan untuk menghapus kehadirannya. 

“Jadi, kamu ternyata orang jahat ya?”

“Bisa serahkan Cawan Sucinya?” 

Sambil saling bertahan dengan satu tangan, Wakil Kapten Yanagishita mencoba merebut koper dari tanganku. Saat aku tidak melepaskannya, ia langsung mengayunkan pedang yang digenggam tangan satunya tanpa ragu. 

Jelas aku kalah tenaga, jadi aku menangkisnya dengan kedua tangan memegang payung. 

Koper itu berhasil direbut dariku, tapi aku langsung menendangnya ke atas. Koper itu terlepas dari tangannya dan tergelincir di lantai. Kami berdua pun melompat melewati deretan kursi, saling berebut untuk sampai lebih dulu. 

Aku mencoba menghentikannya dengan meraih bahunya, tapi tanganku hampir dipelintir, jadi buru-buru aku menariknya kembali. Kami terus saling kejar sambil melompat melewati bangku menuju koper. Lalu, tiba-tiba sosok Yanagishita menghilang dari pandanganku. 

Dalam sekejap, dia sudah di punggungku yang sedang membungkuk. 

Ia menginjak kepalaku dan membanting wajahku keras-keras ke sudut kursi. Hidungku terasa perih, dan sesuatu yang panas mengalir. 

Saat aku mendongak, Yanagishita sudah menggenggam koper itu. 

Koper itu bergetar hebat. 

“Aku yakin Kuromari tidak suka itu!!”

Aku mengaitkan gagang payung ke koper dan menariknya kembali. 

“Berarti aku ini semacam Yurumari yang menyelamatkan Kuromari, ya?”

“Sudah kubilang, Yurumari dan Kuromari itu nggak punya hubungan kayak gitu!” 

Yanagishita menyerangku lagi dengan pedang. Aku mengangkat koper ke jalur ayunan pedangnya. Ujung pedang berhenti tepat di sana. Tapi kemudian sebuah tendangan dari bawah menghantam daguku dan kopernya berhasil direbut lagi. 

Kami saling rebutan begitu berkali-kali, merebut, direbut, merebut lagi, dan direbut lagi. Hingga akhirnya...

“Kamu meremehkanku, berpikir bahwa aku sekadar wanita biasa lebih lemah dari Shirakawa?” 

Tenaga mulai mengalir ke pedang Yanagishita. 

“Aku jadi wakil kapten unit Shirakawa cuma karena perintah Direktur!” 

Tak bisa menahannya, aku terlempar. Tapi tak ada serangan lanjutan. 

Karena akhirnya kopernya berhasil ia dapatkan. Dia melihat jam tangannya, lalu mengabaikanku, mengayunkan pedangnya ke dinding gerbong dan menciptakan lubang. Dari sana, dia turun ke rel. 

“Jangan culik Kuromari!”

Aku segera mengejarnya. 

Begitu keluar, kulihat dia melompat turun dari rel Shinkansen ke atap kereta reguler yang lebih rendah. 

“Serius?”

Aku juga ikut berlari ke tepi rel. Tapi untuk orang biasa sepertiku, itu jelas mustahil. Namun, kereta reguler terus bergerak, dan gerbong terakhir mulai terlihat. Kesempatan melompat tinggal beberapa detik. 

Di saat itu, aku pun berpikir. 

Selama ini aku selalu mengandalkan kekuatan Yang Mulia. Bahkan payung ini pun. Tapi hal yang benar-benar penting bukan itu. 

Bukan kekuatan seperti itu yang akan membuka jalan menuju masa depan. 

Aku bertanya pada diriku sendiri. 

Apakah aku punya keberanian? 

Itu kalimat khas dari film. Tapi aku punya jawabannya. 

Keberanian...

“Ada di dalam hatiku!” 

Aku melompat. Menuju atap kereta yang sedang berjalan. 

“Uwaaaaah! Kuromariiii!” 

Tentu saja aku tidak mendarat dengan mulus. Aku menggelinding ke belakang gerbong hampir terjatuh. Dan di detik terakhir, aku berhasil mencengkeram ujung gerbong. Dengan susah payah, aku naik ke atap. 

Diterpa angin, aku menjaga keseimbangan dan maju perlahan ke arah depan. 

Akhirnya aku sampai ke gerbong paling depan, dan mengejar Yanagishita. 

“Kamu bodoh, ya?” 

Ia menoleh dan berkata, “Segitu cintanya sama Shirakawa?” 

“Aku memang suka cewek cantik.”

“Kamu dan Shirakawa itu sama, masih anak-anak.” 

Yanagishita berkata, “Kalau kita bawa Cawan Suci ke Kyoto dan jadikan Jepang kerajaan seribu tahun, apa artinya? Negara makmur, terus orang-orang jadi bahagia? Pemerintahnya busuk. Yang senang cuma mereka.” 

“Kamu bekerja demi negara, kan?” 

“Itu cuma demi bertahan hidup. Sumpah setia pada organisasi atau negara itu udah ketinggalan zaman. Itu namanya totalitarian. Semua orang sudah lelah. Udah nggak laku pemikiran kayak gitu.” 

“Kalau bawa Cawan Suci ke luar negeri, kamu bisa bahagia?” 

“Setidaknya kami nggak bakal kesulitan uang, dan bisa pakai kekuatan malaikat untuk diri sendiri. Nggak perlu diperintah atau dikekang. Kebebasan sejati. Bukannya semua orang nyari itu? Mau bergabung dengan kami?” 

“Yang namanya dunia penuh kebaikan, mengejar hal yang disukai dalam kebebasan itu, memang lagi tren ya...”

Tapi...

Aku maju ke arah Yanagishita. 

“Kalau ditanya apakah melakukan hal yang disukai dalam kebebasan itu terasa pas, aku sih nggak terlalu merasa begitu!” 

Dia membalas dengan pedang, aku menangkisnya dengan payung. 

“Disukai atau tidak, bebas atau terikat, demokrasi atau monarki absolut, itu semua gak penting!” 

Yanagishita mencoba menyapu kakiku, aku melompat menghindar. Di atas kereta, lompatanku mendarat tepat di tempat semula, aku sempat bingung, kok bisa? 

“Yah, disukai atau bebas itu tetap lebih baik, kan?” 

“Kamu masih di situ, ya.” 

Aku menggenggam gagang koper. 

“Dengar ya, yang manusia butuhkan itu bukan itu semua.” 

Sambil tarik-menarik koper, kami bertarung dengan pedang dan payung di tangan masing-masing. 

“Tak peduli situasinya, tak peduli apa yang kamu punya.” 

Karena...

“Yang benar-benar penting adalah! Kesopanan, cinta kasih, tanggung jawab, rasa hormat, disiplin, dan keberanian! Dan, meski aku dapat Cawan Suci, aku tidak akan memberikannya ke Kapten Shirakawa. Aku akan mengembalikannya ke yang benar-benar pantas memilikinya.” 

“Kamu gila?” 

Wakil Kapten Yanagishita berkata dengan wajah marah. 

“Lucifer itu berusaha merebut posisi Tuhan.” 

“Itu sangat cocok dengan Yang Mulia.”

“Kamu mau bikin dunia jadi neraka?” 

“Siapa tahu malah jadi kerajaan ideal dengan libur tiga hari seminggu.”

“Aku nggak paham lagi denganmu!” 

Saat kereta melewati jembatan, Yanagishita menepis tanganku, membawa kopernya dan melompat ke atas jembatan. 

“Kuromari, aku akan menyelamatkanmu! Kuromariii!” 

Aku jelas tak bisa mendarat indah di pagar jembatan, tapi aku tetap melompat dari atas kereta, menggelinding, lalu bangkit. 

“Aku nggak suka orang sepertimu,” katanya sambil memandangiku dari atas. 

“Kalau mau bertarung, lakukan dengan serius!” 

Pedangnya menyabet ke bawah. Aku menangkisnya dengan payung. 

“Kamu dan tuanmu itu, gayanya sok santai bikin jengkel!” 

“Yanagishita, mukamu memang kalem dan pintar, tapi ternyata batinmu cuma cewek introvert yang sok keren, ya!” 

“Aku ini sebenarnya ditugaskan membunuh Shirakawa.” 

Dari awal, Direktur dan fraksinya memang berniat mengkhianati organisasi. Dan Kapten Shirakawa yang kuat dan tidak bisa mentolerir kejahatan adalah penghalang mereka. 

Karena itu, Yanagishita yang punya kemampuan dan cocok jadi pembunuh dikirim sebagai wakil. 

“Kapten Shirakawa bilang dia bisa mengenali orang yang berhati benar, loh.” 

“Dia cuma bisa melihat hal-hal yang indah. Orang biasa, pengkhianat, semuanya terlihat sama. Sangat mulia, ya.” 

Dan hari itu, Yanagishita memang hendak menjalankan tugasnya membunuh Shirakawa. Tapi ia disadari oleh Yang Mulia, yang berkata “jangan lakukan itu” di tepi sungai. 

“Perempuan itu tahu semuanya sejak awal.” 

“Yang Mulia memang nggak pernah banyak omong!”

Yanagishita yang takut rahasianya terbongkar, mencabut pedangnya untuk membungkamYang Mulia yang tahu segalanya. Tapi malah dia yang kalah. Meski begitu, Yang Mulia tidak membunuhnya. 

“Tahu kenapa?” 

Yanagishita bilang, “Katanya, ‘jangan lupa datang ke acara minum nanti.’”

“Itu baru Yang Mulia!” 

“Kamu meremehkannya!” 

Omong-omong, para anggota Pasukan Malaikat yang ditembak mati oleh Yang Mulia ternyata adalah orang-orang fraksi Direktur yang hendak membungkamnya. 

“Jadi mereka memang penjahat! Syukurlah, program pendidikan kemanusiaanku nggak perlu diterapkan. Yang Mulia itu tetap penuh rasa kemanusiaan ala Osaka!” 

“Berisik amat sih soal Yang Mulia!” 

Yanagishita kembali ke sisi lain jembatan, lalu melompat ke gerbong terakhir yang sedang melintas di bawahnya. Tentu saja, aku juga mengejarnya dan ikut melompat. 

“Yah, terserah sih. Berkat itu, Shirakawa jadi bergerak dan sekarang dia pergi jauh dari Cawan Suci bersama perempuan itu.” 

Kabarnya, saat ini Yang Mulia masih tertancap tombak dan berada di Okinawa. 

“Okinawa!!”

“Tidak mungkin dibiarkan berada dekat dengan Cawan Suci, kan.” 

Fakta bahwa Kapten Shirakawa berada di tempat yang jauh merupakan keuntungan besar bagi fraksi Direktur. 

“Duh duh, aku sampai terbawa emosi...”

Wakil Kapten Yanagishita tampaknya sudah tidak berniat melawanku lagi. 

“Aku ngerti kok. Kamu mau pergi ke suatu tempat, kan?” 

“Tajam juga instingmu.” 

Di saat berikutnya, sebuah helikopter muncul di belakang Wakil Kapten Yanagishita. Helikopter itu terbang rendah mendekati kereta, lalu perlahan naik. 

Pintu helikopter terbuka, dan dia pun melompat masuk. Dengan membawa Cawan Suci, dia berniat melarikan diri. 

Helikopternya mulai naik ke udara. 

Aku menerima terpaan angin dari baling-baling dan mulai berpikir. 

Kalau aku bertindak sesuai dengan imajinasi yang ada di kepalaku, apa yang akan kulakukan?

Sudah pasti... 

“Ini dia!” 

Aku mengaitkan gagang payung ke kaki helikopter yang bentuknya seperti papan ski, lalu bergelantungan. 

Helikopter itu terus naik ke ketinggian. Gedung-gedung dan bangunan kota perlahan mengecil di bawah. Anginnya sangat kencang, dan aku mulai merasa tindakan ini benar-benar nekat. Tapi karena aku tidak mau mati, aku tetap menggenggam payung sekuat tenaga. 

Tampaknya, helikopter itu mengarah ke laut. 

Helikopternya menuju kapal perang yang sedang bersandar di perairan internasional. 

Karena kami pergi dari sekitar Stasiun Tokyo, laut pun segera mendekat. Begitu helikopter sampai di atas laut, takkan ada lagi kesempatan untuk merebut kembali Cawan Suci. Maka dari itu, sambil bergelantungan, aku menggoyang-goyangkan tubuhku ke kanan dan kiri. 

Ternyata helikopter itu sangat sensitif, langsung mulai oleng. Saat itu juga, pintu di atasku terbuka dan Wakil Kapten Yanagishita menampakkan wajahnya. 

“Dasar keras kepala!” 

Dia mengayunkan pedang, tapi tentu saja tidak sampai. Tak lama kemudian, dia mengambil pistol dinas dan mulai menembak ke arahku. Aku mengecilkan tubuhku untuk menghindar. Helikopter semakin oleng. 

“Kalau jatuh, kamu juga mati, tahu!” 

“Siapa tahu aku buka payung dan melayang turun dengan selamat?” 

“Belajar fisika dulu di sekolah, sana!” 

Salah satu peluru yang ditembakkan mengenai kaki helikopter, memantul ke atas dan menghantam baling-baling, membuatnya rusak. Asap hitam mulai keluar dari helikopter yang kemudian kehilangan kendali dan ketinggiannya menurun. 

Heli itu tak sampai ke laut, dan malah menabrak atap sebuah pabrik besar. 

Tentu saja aku tak bisa mendarat perlahan dengan membuka payung, tapi begitu atap pabrik mendekat, aku langsung melompat ke arahnya. 

Namun, helikopter pun menabrak dan aku terseret dalam kecelakaan itu, jatuh ke dalam pabrik bersama atap yang runtuh. 

Saat aku sadar, aku sudah tergeletak di antara puing-puing dan pecahan genteng. 

Aku menengadah. 

Pabrik itu adalah pabrik baja besar di tepi laut. 

Sabuk konveyor berjalan ke segala arah, mengangkut tumpukan besi tua menuju beberapa tungku peleburan yang bergemuruh. 

Dari tungku-tungku itu, cairan besi merah membara seperti magma terlihat mengalir. 

Dan di tengah pabrik tersebut...

Wakil Kapten Yanagishita tertusuk batang besi besar yang mencuat dari lantai, menembus dadanya tepat di tengah. 

Dia tampak seperti sebuah instalasi seni yang tragis. 

Darahnya mengalir deras. 

Meski memiliki perlindungan dari malaikat, tampaknya kondisi seperti ini membuat mustahil untuk bertahan hidup. Dengan wajah hampa, dia mencoba menarik dirinya dari batang besi, tapi karena batang itu terlalu panjang, dia tidak bisa bergerak, hanya bergulat dalam kesakitan. Namun... 

Di tangannya, ia masih menggenggam Kuromari. 

“Tahu nggak? Cawan Suci itu nggak bisa dipakai oleh sembarang Immortal.” 

Dengan darah menetes dari mulutnya, Wakil Kapten Yanagishita berkata, “Kamu lihat sendiri di gedung pemerintah, kan? Immortal yang matanya terbakar dan mati.” 

Sambil berbicara, dia meraih mahkota di kepala Kuromari. 

“Tapi aku bisa menggunakannya. Ini dulunya adalah kekuatan Malaikat Agung Lucifer. Aku diberkahi oleh malaikat, aku yakin bisa menggunakan ini.” 

Lalu ia mulai mengucapkan sesuatu dalam bahasa yang bukan bahasa manusia. 

Seketika, mahkota Kuromari bersinar dan terlepas, berubah bentuk menjadi ukuran yang pas untuk dikenakan di kepala manusia. 

“Aku tadinya tidak berniat memakainya sendiri, tapi ya, tak ada pilihan lain.” 

Dia pun membuang Kuromari yang kini tak bergerak begitu saja, lalu mengangkat mahkota yang terlepas tadi ke kepalanya. 

Dan pada saat berikutnya, sebuah pilar cahaya raksasa menjulang tinggi.


* * *


Waktu aku melihat Wakil Kapten Yanagishita, yang pertama kali kurasakan adalah rasa takut. 

Bentuk tubuhnya sangat tidak jelas. Awalnya, aku melihat sosoknya seperti Wakil Kapten Yanagishita yang mengenakan mahkota dan bersayap. Tapi saat kulihat lebih saksama, ia tampak seperti patung malaikat putih. Lalu dalam sekejap, garis besarnya menjadi kabur, dan ia terlihat seperti sosok manusia berwarna hitam. Aneh, dari dalam tubuh itu, aku bisa melihat langit malam di baliknya. 

Dengan kata lain, wujudnya sangat tidak pasti tanpa bentuk yang tetap. 

Sesaat terlihat besar, lalu berikutnya tampak kecil. 

“Luar biasa,” sosok itu berbicara dengan suara Wakil Kapten Yanagishita. 

“Tubuh ini bersinar begitu indah. Inilah tubuh malaikat.” 

Tampaknya, Yanagishita bisa melihat tubuhnya sendiri dengan jelas. Mungkin hanya mata manusia yang tak mampu menangkapnya. 

Lavi pernah berkata bahwa malaikat adalah makhluk dari dimensi tinggi. Pastilah, dengan kekuatan Cawan Suci, tubuh asli malaikat dari surga muncul ke dunia ini. 

“Begitu, ya.” 

Begitu Wakil Kapten Yanagishita mengucapkan itu, bahkan garis kaburnya pun menghilang. 

Bukan karena kekuatan lamanya, melainkan mataku yang tidak bisa lagi melihatnya. Tak hanya dirinya, seluruh dunia di sekitarku menghilang. 

“Eh? Eh?” 

Aku panik dalam kegelapan mendadak itu. Lalu terdengar bisikan di telingaku, suaranya Yanagishita. 

“Hebat, kan? Aku bisa mengambil kelima indramu.” 

Aku mengayunkan payung ke arah suara. Tentu saja meleset. Aku pasti terlihat sangat konyol, bergerak tanpa bisa melihat. 

“Selanjutnya adalah penciuman dan pendengaran.” 

Segala suara menghilang. 

Kemudian, sepertinya rasa dan sentuhan pun diambil dariku. 

Aku sendiri...

Aku bahkan kehilangan seluruh rasa terhadap tubuhku. Aku tak tahu apakah aku masih punya tangan atau tidak, atau apakah aku sedang menggerakkannya. Semuanya gelap, sunyi, tanpa rasa. Aku bahkan tidak merasa keberadaanku sendiri. Seolah kesadaranku melayang sendirian dalam kekosongan alam semesta. 

Rasanya sangat menakutkan. 

Sama sekali tidak ada apa-apa. Aku bahkan tak bisa berteriak. 

Rasanya seolah aku telah lenyap. Tak bisa mengukur jarak dengan apa pun, atau merasakan sesuatu pun. 

Kesepian itu begitu dalam, dan aku tahu kalau aku terus seperti ini, dalam waktu kurang dari satu jam pikiranku pasti hancur. 

Namun, sebuah suara terdengar di telingaku. 

“Aku kembalikan pendengaranmu.” 

Itu suara Wakil Kapten Yanagishita. 

“Berikutnya, akan kukembalikan rasa tubuhmu.” 

Dan pada saat itu... 

Dengan sangat menyedihkan, aku menjerit. Rupanya, dalam keadaan tak merasakan apa-apa, tulang jari kelingking dan manisku di tangan kiri dipatahkan. Rasa sakitnya luar biasa, dan aku langsung merasakan sebagian tubuhku telah rusak. 

“Lumayan menyenangkan, ya.” 

Sementara aku mengerang kesakitan, Yanagishita berbicara sendiri. 

“Lihat, aku bisa bergerak secepat ini. Shirakawa bukan tandinganku.” 

Meski dia bilang begitu, aku tidak bisa melihatnya, jadi aku hanya mendengar suara seperti angin yang terbelah. 

“Aku bahkan merasa bisa terhubung dengan langit.” 

Terdengar suara petir menggema. 

Padahal sebelumnya cuaca cerah. Tapi kini aku merasakan hujan di wajahku. Mungkin air itu turun dari lubang di atap pabrik. 

“Rasanya aku bisa menghancurkan dunia. Walau nggak akan kulakukan, hahaha.” 

Sepertinya kekuatan Cawan Suci membuatnya mabuk euforia. 

“Nih, lihatlah! Nih!” 

Setelah itu, aku benar-benar disiksa. 

Saat aku tidak bisa merasakan apa pun, tubuhku dilukai. Rasa nyeri seperti terbakar menghantam lukaku. Kadang, aku merasa melayang, lalu tiba-tiba jatuh. 

Itu terjadi berulang-ulang, hingga tubuhku jadi seperti kain pel yang compang-camping. 

“Perasaan jadi maha kuasa ini baru pertama kali kualami.” Dia bicara sambil tertawa ringan. 

“Sejak dulu aku merasa manusia itu kemampuannya terbatas. Nggak bisa jadi spesial. Kamu pun pernah bilang hal serupa, kan? Bahwa manusia hidup dengan selalu menunduk pada orang lain.” 

Benar, aku pernah bicara begitu pada Kapten Shirakawa dan Wakil Kapten Yanagishita. 

“Itu benar. Aku menyadarinya sejak lebih muda darimu. Jadi, tiap kali aku melihat orang yang mengira dirinya spesial, aku memandang mereka dengan sinis.” 

Tapi kemudian, dia melanjutkan, “Tapi sekarang, aku benar-benar jadi istimewa. Aku berada di tempat yang tak bisa dijangkau siapa pun. Tak takut manusia, iblis, bahkan Shirakawa. Aku bisa melakukan apa pun. Ini bukan soal kaya, pintar, atau kreatif. Aku telah melampaui semua itu. Aku jadi eksistensi yang di luar segala batas, tak bisa diraih siapa pun.” 

Lalu dia memanggilku dari dimensi yang lebih tinggi itu. 

“Keren, kan? Menakutkan, kan? Kamu mau hormat padaku? Atau mau merayakannya?” 

Mendengar euforia itu, aku berkata, “...Norak, sih.” 

“Apa?” 

“Kamu norak banget.” 

“Kenapa? Kenapaa?” 

Dia masih penuh percaya diri. 

“Apa kamu cuma mau beralasan? Jangan bilang aku norak dong! Aku kan udah di tempat yang semua orang inginkan. Kenapa dibilang norak? Kenapa nggak bisa hormati aku dan merayakannya bersamaku?” 

“Mana bisa aku menghormatimu. Mana bisa aku merayakannya.” 

“Kenapa? Kenapa kenapa?” 

“Jawabannya jelas.” 

Bukan karena aku bersikap keren, atau karena aku iri, aku benar-benar berbicara dari dasar hatiku. 

“Karena kamu nggak berkelas.” 

Itulah nilai dari jiwaku. 

“Kamu pamer tentang sesuatu yang hebat, tapi pakai cara norak. Nggak berkelas. Sehebat apa pun kamu, kamu nggak akan pernah dihormati atau dirayakan. Hanya terlihat menyedihkan.” 

“Berani ya ngomong gitu.” 

Langkah kaki Yanagishita mendekat. Mataku masih belum bisa melihat. 

“Tadi aku hanya menyakitimu saat kamu tidak merasakan apa-apa. Sekarang, aku akan menyakitimu saat kamu bisa merasakan segalanya.” 

Begitu aku merasakan dingin di perutku, sesuatu menusuk kulitku dan masuk ke dalam. Pedangnya menancapku. Perlahan pedangnya masuk ke dalam perutku, dan aku tahu kapan ujungnya akan menembus ke punggungku. 

Aku tidak berteriak, tapi secara refleks mengerang pelan. 

“Yang lemah harus tahu diri. Tunduk dan takut pada yang kuat.” 

Pedang itu menancap lebih dalam. Tapi... 

“Berarti, dulu saat kamu masih lemah, kamu juga merasa rendah dan pengecut, ya?” 

Aku mencengkeram pedangnya dengan tangan kiriku. 

Meski aku belum bisa melihat, tapi kini aku bisa merasakan. Jadi aku bisa menggerakkan tubuhku. 

“Baik lemah atau kuat, nggak berkelas itu salah. Kamu mengkhianati orang lain, menyiksa mereka seperti ini. Itu aksi rendahan. Karena itu, kamu akan kalah. Kamu akan kalah karena nggak berkelas.” 

Masih memegang pedang itu, dengan tangan satunya, aku mengayunkan payung ke arah yang kurasa adalah wajahnya. 

Terdengar suara logam terbentur, lalu suara benda logam jatuh ke lantai. 

Dalam hitungan detik, penglihatanku kembali. 

Wakil Kapten Yanagishita menatapku dengan wajah terkejut. Wujudnya seperti manusia yang kukenal. Dengan wajah yang jelas. 

Dan aku menghantamkan payungku tepat ke wajah itu.


* * *


Aku sungguh tak bisa bergerak lagi. 

Saat Wakil Kapten Yanagishita mundur ke belakang, ia mencabut pedangnya dari perutku. 

Di tengah pabrik, darahku terus mengalir tanpa henti. 

Langit tampaknya sudah cerah kembali, dan cahaya yang menembus dari atap yang hancur menyinari puing-puing helikopter yang teronggok. Pemandangan itu seperti reruntuhan sebuah situs kuno. 

Andai malaikat datang menjemputku saat itu pun, rasanya tak akan aneh. Begitulah suasananya. 

Namun, rupanya tidak akan ada kredit akhir yang diputar untukku. 

“Kamu ini memang keras kepala, ya.” 

Sepertinya memukul wajahnya dengan payung tidak memberi banyak dampak. Yanagishita bangkit kembali dengan ekspresi biasa saja. Dan bukan hanya itu. 

Entah sejak kapan, di dalam pabrik itu telah berkumpul direktur biro serta tujuh orang kapten dari pihak Direktur. 

Mereka semua menatapku dari atas dengan wajah tanpa minat. 

Tatapan mereka seolah berkata, ayo cepat selesaikan ini dan lanjutkan ke langkah berikutnya. 

“Yah, begitulah,” ucap Wakil Kapten Yanagishita. 

“Semua usahamu itu nggak berarti. Kami yang menang.” 

Dia kembali menggenggam pedang dan mendekat. Aku sudah tak punya tenaga lagi untuk melawan. 

Namun...

“Aku yang menang.” 

“Iya, iya.” 

“Yanagishita, kamu tuh suka pura-pura keren, terus dengan cara aneh malah bikin suasana kayak kamu pemenangnya. Itu kebiasaan buruk, tahu nggak.” 

Aku berkata, “Aku paham. Kalian tidak akan pernah mencapai kemenangan sejati. Orang-orang yang bergantung pada Cawan Suci, yang berpikir ‘asal punya ini, semua beres,’ tak akan pernah dirangkul oleh Dewi Kemenangan. Karena kemenangan sejati hanya bisa diraih dengan hati dan tangan sendiri.” 

Aku yang tadi tergantung di helikopter, lalu ditusuk di perut, memang terlihat sangat menyedihkan. Tapi justru karena itu, aku merasa pantas, aku memperoleh kualifikasi untuk menang. 

“Pemenangnya adalah kami. Lihatlah...”

Mahkota yang jatuh dari kepala Wakil Kapten Yanagishita masih bergulir, dan kini mengarah ke pintu masuk pabrik. 

Di sana berdiri sesosok bayangan dengan sikap yang benar-benar jauh dari kata rendah hati, menunjukkan keangkuhan yang luar biasa. 

Aku tahu siapa itu. 

Karakter yang keluar di tengah cerita, selalu muncul kembali di momen paling penting. 

Meski begitu...

“Bukannya ini muncul di saat yang terlalu pas, ya?”


* * *


Okinawa.

Sebuah kapal mengapung di atas laut.

Di dalam kontainer yang tersegel ketat, terdapat seorang wanita yang tertusuk oleh sebuah tombak. Rambutnya tergerai menutupi wajah, sehingga ekspresinya tak terlihat. Kedua tangannya tergantung dengan rantai, dan posenya menyerupai sosok suci yang tertusuk oleh tombak yang sama dua ribu tahun lalu. 

Mulut wanita itu bergerak. 

“Sudah cukup...” 

Ia mengulanginya seperti orang mengigau. Namun nada suaranya perlahan berubah. 

“Sudah cukup, ini terlalu menyiksa!” 

Tanpa disadari, suaranya telah berubah menjadi suara pria. 

“Menanggung rasa sakit seperti ini, ini bukan bagian dari kesepakatan! Mana katanya dibayar dua ribu yen per jam, ini sama sekali nggak sepadan!” 

Wujudnya pun mulai berubah. 

“Cepat keluarkan aku dari sini!” 

Memang, awalnya itu adalah sosok seorang wanita. 

Namun kini, dia sudah tak lagi tampak seperti nyonya pemilik Toko Inggris. 

Wujud yang kini muncul adalah...

Penjahat kelas teri penipu yang suka mengubah bentuk. 

Shapeshifter Abe.


* * *


 “Kenapa kamu ada di sini?” 

Wajah Yanagishita menunjukkan keterkejutan. 

Itu karena Yang Mulia, yang seharusnya sedang ditahan di Okinawa, kini berdiri di hadapan mereka. 

Bahkan Direktur dan para kapten dari fraksi yang sama terkejutnya dengan kemunculan tiba-tiba Malaikat Jatuh Lucifer, dan segera menghunus senjata masing-masing. 

“Mengapa aku ada di sini? Bukankah kalian pun mengenal pepatah lama yang berlaku di dunia ini?” 

Sang Yang Mulia berkata dengan ekspresi tenang. 

“Immortal yang tua penuh tipu daya.” 

Cawan Suci yang telah berubah menjadi mahkota berguling perlahan menuju kaki Yang Mulia. Jari-jari putih dan ramping itu memungut mahkota itu. 

“Begitu rupanya.” 

Yang Mulia mengangkat mahkota itu ke kepalanya. 

“Memang, ini adalah kekuatanku dahulu. Sudah lama tak kulihat.” 

Penobatan Malaikat Jatuh Lucifer. 

Direktur biro dan para kapten dari fraksinya langsung bereaksi. Mereka mengangkat pedang dan senjata api, para prajurit berpengalaman dengan aura berat mengepung Yang Mulia, bersiap untuk menyerang. 

Namun...

“Kalian terlalu arogan.” 

Begitu kata Yang Mulia, salah satu kapten yang bertampang garang langsung berlutut. Wajahnya terlihat terkejut. 

Yang Mulia tak menghiraukannya dan mulai melangkah perlahan ke arahku. 

Para kapten yang hendak melancarkan serangan dihentikan hanya dengan kata-kata, “Berlutut.” 

“Tundukkan kepalamu.” 

“Merangkak.” 

“Berikan jalan.” 

Direktur biro, Wakil Kapten Yanagishita, dan yang lainnya, semuanya berlutut. 

Mereka membelah diri ke kanan dan kiri, menundukkan kepala, membiarkan Yang Mulia melangkah melewati tengah mereka. 

“Yang Mulia, kamu keren banget!” 

Begitu aku berceloteh, Direktur yang bergaya seperti paman keren mengerang keras dan berdiri. Seperti yang kuduga dari seseorang di posisi tinggi, tampaknya ia masih bisa bergerak meski dalam pengaruh perintah sang Yang Mulia. 

Dan dalam waktu singkat itu, ia mengayunkan pedangnya, memukul mahkota dari atas kepala Yang Mulia seperti yang kulakukan pada Yanagishita. 

“Aduh, aduh,” gumam Yang Mulia. 

Para kapten mulai bergerak. Direktur berteriak lantang, “Amankan Cawan Suci!!” 

Saat Direktur mulai berlari ke arah Cawan Suci, Yang Mulia menyelipkan tongkatnya ke kaki pria itu. 

Pembuluh darah di dahi Direktur tampak menonjol. 

Kini adalah klimaks terakhir, siapa pun yang mendapatkan Cawan Suci akan menguasai situasi ini. 

Yang Mulia memandangku, dan aku mengangguk. Lalu...

“Madarame, penuhi kewajibanmu.” 

Yang Mulia berbicara dengan suara penuh wibawa. 

“Demi Yang Mulia Ratu.” 

Yang Mulia mulai bertarung dengan para kapten menggunakan tongkatnya. Saat itu, salah satu kapten yang diam-diam mendekati Cawan Suci sudah hampir menggapainya di atas konveyor. Namun, Yang Mulia menarik tuas yang ada di tempat itu. Konveyor pun mulai bergerak, dan tangan sang kapten meleset dari cawan. 

Sementara itu, aku bergerak mendekati meja kerja di dalam pabrik, mengambil stapler industri ukuran jumbo. Aku menyingsingkan kemejaku. Di perutku masih menganga lubang yang disebabkan Yanagishita. 

“Eh, tunggu, jangan... Aaaarghhh!” 

Aku menjepit luka besar itu menggunakan stapler raksasa itu.


“Biarkan aku juga ikut keren!”

Sambil berteriak begitu, kulihat salah satu kapten sudah berhasil mengambil Cawan Suci yang berada di atas konveyor. Aku segera berlari ke arahnya dan memukul tangannya dengan payungku hingga Cawan itu terlepas. Lalu aku berpikir, cara tercepat untuk mengakhiri semua ini adalah tetap dengan meletakkan mahkota itu di kepala Yang Mulia. Maka, dengan ujung payungku, kugait mahkota itu dan melemparkannya ke arah kepala Yang Mulia. 

Namun, di tengah jalan, mahkota itu kembali ditangkap oleh salah satu kapten lain, dan Yang Mulia langsung memukulnya jatuh dengan tongkatnya. 

Cawan Suci pun menggelinding lagi. 

Saat aku hendak mengejarnya, Direktur berdiri menghalangiku. Dan seperti yang kuduga, dia memang sangat kuat. Sekali ayunan pedangnya, aku menahannya dengan payung, tapi tetap saja tubuhku terpental. 

Di dalam pabrik, terdapat banyak jalur konveyor yang membawa rongsokan besi menuju ke tungku peleburan yang menyala merah. Tubuhku jatuh tepat ke atas salah satunya, dan mulai dibawa perlahan menuju ke tungku itu. Tepat sebelum masuk ke dalam, aku berhasil bangkit dan melompat turun. 

Seseorang mengambil Cawan Suci, lalu dijatuhkan, lalu dikejar-kejar di tengah pertarungan sengit yang berulang-ulang. Jumlah kami kalah banyak, tetapi Yang Mulia sangatlah kuat. 

Dengan wajah tenang, ia terus menghajar para kapten hanya dengan tongkatnya. 

“Kenapa kamu bisa sekuat ini?”

“Sepertinya, ada satu orang yang terlalu menyukaiku.” 

Yang Mulia bertambah kuat karena emosi yang diarahkan padanya, penghormatan, restu, dan kesetiaan. Aku pun teringat, betapa aku begitu merindukannya saat duduk sendirian di bioskop. 

“Mengapa wajahmu jadi memerah begitu?” kata Yang Mulia. 

“Kamu punya sisi yang imut juga rupanya.” 

Kami berdua berdiri saling membelakangi, mengalahkan musuh dengan tongkat dan payung. Hingga akhirnya, hanya tersisa empat orang yang masih berdiri. Aku, Yang Mulia, Direktur, dan Wakil Kapten Yanagishita. 

Cawan Suci kembali berada di atas konveyor, perlahan dibawa menuju tungku peleburan. 

Yanagishita mulai berlari di atas konveyor itu, mengejar Cawan Suci. 

Aku berdiri menghadangnya, dengan payung teracung, berdiri membelakangi Cawan Suci. 

“Tak masalahkah bila Cawan Suci itu lenyap?” ujar Wakil Kapten Yanagishita. 

“Kalau kamu terus hidup dengan pikiran bahwa segala sesuatu akan beres selama ada Cawan Suci atau ada ‘sesuatu’, maka kamu tak akan pernah sampai pada kebenaran.” 

“Minggir.” 

Yanagishita menyorongkan pedangnya, dan aku membalasnya dengan dorongan payung. 

“Kamu tak cukup menjadi lawanku,” kata Wakil Kapten Yanagishita. 

“Yang menyingkirkan para kapten itu wanita itu, kamu hanya melindungi punggungnya.” 

Sementara itu, Yang Mulia sedang ditahan oleh Direktur. 

“Kalau satu lawan satu, aku jelas lebih unggul. Dan meski payungmu terlihat kokoh, itu tetap saja hanya payung. Sedangkan pedangku ini adalah pedang kesatria Perang Salib yang dulu melindungi Yerusalem.” 

Wakil Kapten Yanagishita kini menunjukkan niat membunuh yang jelas. 

“Kalau kamu menghalangi, akan kubunuh.” 

Namun...

“Tak masalah.” 

Yang Mulia berkata sambil bertarung melawan Direktur. 

“Madarame, kamu bisa menjadi kuat melalui imajinasi. Bayangkan dirimu yang lebih kuat. Bukan seperti film-film aksi Hong Kong, tapi bayangkan seorang pria sejati.” 

“Itu kan seleramu sendiri.” 

“Payung itu pun bukan masalah. Sebagai relik suci, kelasnya berada di atas pedang para kesatria Perang Salib.” 

“Serius?” 

“Selama kamu punya keberanian, kamu bisa menghunusnya dan mengendalikannya.” 

Yang Mulia dulunya pernah memiliki relik itu, tapi dibiarkan begitu saja hingga hanya menjadi bongkahan logam. Bongkahan itu kemudian dibawa ke penjahit Lavi dan dijadikan poros payung. 

“Nama asli dari payung itu adalah...”

Yang Mulia menyebut nama relik suci itu, sebelum ia menjadi bongkahan logam. 

“Excalibur.”


* * *


“Aku benar-benar muak,” kata Wakil Kapten Yanagishita dengan wajah yang berkedut di bawah matanya.

“Aku benci orang yang tidak bersungguh-sungguh. Aku ini selalu serius. Aku hidup dengan sikap rendah hati. Aku terus menundukkan kepala dan menahan rasa sakit. Kalau kalian juga mengejar Cawan Suci, setidaknya lakukan dengan kesungguhan yang sama, rasakan tekanan yang sama. Aku tidak bisa terima jika orang yang lebih santai dariku malah berhasil lebih dariku.” 

“Aku lumayan suka sisi kejujuran Yanagishita yang seperti itu, loh.”

Mungkin, aku dan Yanagishita memang punya pendekatan hidup yang berbeda.

Tapi, kami menghormati orang-orang yang berbeda.

Itulah yang kuanggap kesopanan yang aku tahu. Maka... 

“Marilah kita selesaikan ini secara jujur dan adil.”

Aku menyembunyikan tangan kiriku di belakang dan mengangkat payung dengan satu tangan. 

“Begitu ya, gaya fencing.”

Yanagishita pun mengambil posisi serupa.

“Dalam semua latihan kita, kamu belum pernah mengalahkanku.” 

“Hari ini aku beda dari biasanya.” 

Yanagishita melangkah maju dan menusukkan pedangnya. Aku menarik tubuh ke belakang, membusungkan dada, dan mengarahkan ujung payungku untuk menangkisnya. Lalu, aku balik maju dan mencoba menusuk dadanya dengan ujung payung. Dengan refleks yang luar biasa, dia mundur dengan sigap. 

Kami berduel di atas konveyor yang terus bergerak. 

Kalau perlu, aku bisa bertarung secara elegan.

Ada rahasia di mana aku menonton banyak film seperti The Mask of Zorro gara-gara disuruh Yang Mulia. 

Yanagishita mengayunkan pedangnya ke arah kepalaku, jadi aku menunduk dan menghindar. Lalu kuayunkan payung ke arah kakinya, tapi dia melompat dan menghindar. Setelah saling melompat dan bertukar posisi, kami akhirnya bertukar tempat.

Kini, dia berada di sisi yang lebih dekat dengan Cawan Suci yang semakin dekat dengan tungku peleburan.

Sadar akan hal itu, dia mencoba merebutnya, tapi aku menyapu kakinya hingga dia tersungkur. 

“Masih terlalu cepat untuk trofi.”

Aku kembali mengangkat payung dan berdiri di hadapannya. 

“Ayo, bangkitlah. Aku tidak akan menyerang dari belakang.” 

“Baiklah, kalau memang kita akan menyelesaikan ini secara adil.”

Yanagishita berdiri dan meningkatkan kecepatannya, menyerang dari kanan dan kiri secara terus-menerus. 

Tapi, bergerak tanpa henti begitu tentu akan menimbulkan celah. 

Aku menghindar dan akan menyerang balik.

Saat aku menyadarinya, dia menginjak kakiku.

“Kamu terlalu murah hati.” 

Dalam posisi itu, dia menusukkan pedangnya. Aku menahannya dengan payung, tapi dia masuk ke dalam jarak dekat, memutar tanganku yang di belakang dan memukul wajahku sekuat tenaga, lalu menanduk daguku. Setelah itu, dia menghilang, itulah kekuatan malaikatnya. 

Dan kemudian...

“Bertarung dengan adil?”

Dari belakang, bersama ujung pedang yang tajam, Yanagishita muncul kembali. 

“Hanya yang menang yang bisa melihat pemandangan di puncak kemenangan!” 

“Aku setuju!” 

Aku memutar tubuhku dan menghantamkan gagang payung ke arahnyayang baru saja jatuh.

Tapi darahku langsung menyembur dari tubuh.

Dari dada hingga pinggang, tubuhku ditebas. 

Yanagishita tersenyum menang. Tapi seketika, dia menatap dadanya. 

“Apa ini...?” 

Di dadanya tertancap bilah perak yang muncul dari gagang payung. 

“Itu pedang rahasia. Aku memang curiga, ada satu tombol tambahan di sini.” 

Bilah itu menembus dada Yanagishita secepat kilatan cahaya. 

“Sungguh... menjengkelkan...”

Dia terjatuh di tempatnya.

Aku juga berlutut.

Darahku mengucur deras. Rasanya, bwahh. 

Cawan Suci hampir masuk ke dalam tungku.

Kulihat Yang Mulia telah selesai menghajar Direktur.

Ya, pada akhirnya, bagian terbaik tetap milik Yang Mulia. 

“Yang Mulia!” 

“Ya.” 

Yang Mulia melompat, mendarat di konveyor, dan mengambil sesuatu sesaat sebelum masuk ke tungku. 

“Hei! Apa yang kamu lakukan!”

Teriakan itu datang dari Yanagishita yang nyaris kehabisan napas. 

“Cawan Suci! Cawan Suci!” 

Cawan berbentuk mahkota itu akhirnya masuk ke tungku peleburan dan meleleh merah menyala. Energinya tersebar dan akan kembali berbentuk, menurut Lavi, seribu tahun dari sekarang. 

“Apa yang kalian lakukan...”

Yanagishita terduduk tak percaya.

Tapi yang diambil Yang Mulia bukanlah Cawan Suci.

Ada benda lain yang juga terbawa oleh konveyor menuju tungku, dan itulah yang diambil Yang Mulia. 

Yang beliau selamatkan adalah...

Benda yang sebelumnya dibuang oleh Yanagishita karena dianggap tak berguna... 

Boneka Kuromari.

“Kita ini adalah Toko Inggris,” kata Yang Mulia dengan bangga. 

“Lakukan pekerjaan dengan sempurna.” Aku pun mengacungkan dua jari ke arah beliau. 

Sejak awal, kami tidak pernah mengejar Cawan Suci. 

Kami ini bekerja untuk membuat seorang gadis kecil yang kehilangan ayahnya tetap bisa tersenyum ceria. 

Itulah pekerjaan kami.


* * *


“Yah, kalau begitu, saatnya pulang,” ujar Yang Mulia. 

“Eh? Pulang dari sini gimana caranya?”

“Naik kereta, sudah jelas.”

“Eeeeh?” 

Aku yang compang-camping penuh darah bahkan nyaris tak bisa berjalan. 

“Tak ada pilihan lain. Toh tak ada sopirnya juga,” kata Yang Mulia sambil mendekat, menatapku yang sudah seperti lap bekas. 

“Itu jasnya lumayan bagus juga.”

“Menurutmu, gimana performaku?” 

“Seratus poin.”

Yang Mulia berjongkok, mendekatkan wajahnya padaku. 

“Akan kuberikan hadiah.” 

Jangan bilang-bilang ke Hana, ya.

Begitu katanya, sambil makin mendekat. 

Ini, pasti itu. Ciuman hadiah. 

Karena aku sudah berjuang keras, sebagai penutup ia akan memberiku ciuman lembut. 

Tapi gimana ya? Kalau ciuman, harus tutup mata nggak? Laki-laki biasanya tutup mata juga nggak sih? Aduh, bibirku lagi agak kering nih, kondisi kurang bagus. Bibir tipis Yang Mulia kian mendekat. 

Aku pasrah. Ya sudah. Ciuman tuh hal biasa. Anak SMP aja udah banyak yang ciuman. Aku ini anak SMA. Ciuman mah harusnya bisa dihadapi dengan tenang, siap mental.

Sambil berpikir begitu, akhirnya bibirku dan bibir Yang Mulia bersentuhan. 

Itu adalah. ciuman pertamaku yang sesungguhnya. 

Ciuman hadiah dari Yang Mulia itu...

Saking enaknya sampai kepala serasa kesetrum.

Ciuman lidah yang dewasa. 

“Yang Mulia...”

“Apa?”

“...Boleh satu kali lagi?”

“Kamu ini benar-benar...” 

Sambil berkata begitu, Yang Mulia mengangkat tubuhku yang hampir ambruk.

Sentuhannya benar-benar seperti wanita cantik sejati, harum pula.

Dan untuk pertama kalinya, ia tersenyum dan berkata, “Aku ini tipe Yang Mulia yang suka memberi banyak hadiah.”



Previous Chapter | ToC | Next Chapter

0

Post a Comment

close