NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Datenshi Heika no Oose no Mamani e [LN] Bahasa Indonesia Volume 1 Chapter 3

 Penerjemah: Chesky Aseka

Proffreader: Chesky Aseka


Chapter 3

Pasukan Malaikat 

Aku dirawat di rumah sakit selama beberapa hari, dan keluar pada akhir tahun. 

Pada malam tahun baru, kami mengeluarkan kotatsu di Toko Inggris, memakan jeruk sambil menonton acara Kōhaku bersama Yang Mulia. Di tengah acara, Hana juga datang. Bersama-sama kami mendengarkan dentang lonceng malam tahun baru, mengantre di kuil untuk hatsumōde, lalu setelah pulang kami menyantap soba tahun baru. 

Sejak hari pertama tahun baru, aku sudah disuruh ikut antrean penjualan awal tahun oleh perintah Yang Mulia. Karena sering pergi ke kafe, Yang Mulia sangat ingin mendapatkan fukubukuro dari berbagai toko yang berisi tumbler edisi terbatas atau kupon minuman spesial. Aku ikut antre di semua antrean yang panjang itu. 

Selain pergi belanja awal tahun, aku menghabiskan waktu dengan benar-benar malas di rumah. Kami berdua mengenakan hanten, masuk ke kotatsu, dan menonton acara spesial tahun baru sambil bermalas-malasan. 

Lalu, pada tanggal empat Januari, saat kotatsu sudah disimpan dan dunia mulai kembali bergerak, Yang Mulia, yang sudah kembali dari pakaian rumah ke pakaian formal biasanya, sedang duduk di sofa sambil memegang joran pancing. 

“Joran pancing?” 

Saat aku bertanya, Yang Mulia menjawab dengan wajah serius. 

“Aku pikir akan mencoba memancing boneka.” 

“Kuromari, ya?” 

Ada alasan di balik hal ini. 

Di hotel Roppongi, kami berhasil mengalahkan Kenji. 

Namun, kami gagal merebut kembali Cawan Suci. 

Tampaknya, kekuatan Cawan Suci bisa mengubah manusia dan para Immortal. Salah satu bawahan iblis yang diperintahkan Kenji untuk mengawasi benda itu mencoba memilikinya sendiri, dan diam-diam membawanya pergi saat kami sedang bertarung. 

Iblis itu sendiri tidak begitu kuat, dan akhirnya dibunuh oleh seorang Immortal Hunter yang kebetulan sedang berkeliaran di area itu. 

Masalahnya dimulai setelah itu. Immortal Hunter tersebut justru membawa Cawan Suci pulang dan mengurung dirinya sendiri. Bahkan saat tokoh-tokoh penting dari asosiasi Immortal Hunter datang, ia tetap menolak mengembalikannya dengan mengatakan bahwa itu miliknya. 

Akhirnya, banyak Immortal Hunter mengepung rumahnya, dan berhasil mengambil kembali Cawan Suci. Tapi kemudian, pertempuran baru pecah di antara para Immortal Hunter yang hadir di tempat itu. 

Semua ini aku dengar dari Lavi di toko penjahit. 

“Kalau ada uang satu miliar yen di depan mata, wajar sih orang bisa berubah.” 

Kelanjutannya, tidak ada satu pun dari para Immortal Hunter yang berhasil memegang Cawan Suci. 

Di tengah kekacauan pertarungan itu, Kuromari berjalan pelan dan melarikan diri. 

Sampai sekarang, Kuromari masih bebas berkeliaran di dalam kota tanpa tertangkap oleh siapa pun. 

Ia sering terlihat dan direkam di video, yang kemudian diunggah ke media sosial, dan sekarang memiliki popularitas kultus sebagai “Kuromari yang hidup”. 

Di kalangan gadis muda, bahkan sudah terbentuk “Tim Pencari Kuromari”. 

Artinya, kami harus menemukan dan menangkap Kuromari lebih cepat dari siapa pun. Dan metode yang dipilih Yang Mulia adalah...

“Memancing.” 

Yang Mulia mengayunkan joran pancing di ruang tamu Toko Inggris. 

“Memancing, ya?”

“Aku akan memancing Kuromari.” 

Di ujung tali pancing tergantung boneka lucu berwarna putih dan pink. 

Itu adalah...

“Yurumari,” kata Yang Mulia. 

“Aku dengar Kuromari awalnya dijual satu set dengan Yurumari, bukan?" 

“Benar, benar. Seingatku Yurumari itu posisinya sebagai tokoh utama.” 

Kuromari awalnya dijual bersamaYurumari. Yurumari dengan warna khas putih dan pink, dan Kuromari dengan warna khas hitam dan ungu. 

Seingatku, anime-nya juga sempat dibuat. 

“Kuromari yang berkeliaran sendirian di kota. Pasti ada malam di mana dia merasa kesepian. Dalam situasi seperti itu, kalau dia melihat Yurumari, apa yang akan dia lakukan?”

“Aku rasa, dia pasti langsung memeluknya.” 

“Dan saat itulah, aku akan memancingnya.” 

“Yang Mulia...”

Aku menatapnya sambil berkata, “Itu ide yang jenius.” 

“Benar kan?” 

Yang Mulia membusungkan dada dengan bangga. 

“Aku juga sudah siapkan satu untukmu.” 

Yang Mulia menyerahkan satu joran pancing kepadaku. 

“Katanya, pemancing yang andal itu selalu siapkan banyak joran untuk meningkatkan peluang dapat ikan, kan?” 

“Betul sekali.”


* * *


Maka begitu, kami pun segera berangkat dari Inggrisya sambil membawa joran pancing. Karena kalau memisahkan lokasi bisa meningkatkan kemungkinan mendapat hasil, Yang Mulia memutuskan sekalian melihat anjing laut dan pergi ke Shinagawa, tempat akuarium berada. 

Aku sendiri ingin makan taiyaki, jadi aku melangkahkan kaki ke Ningyocho. 

Hasilnya, aku duduk di bangku merah di bawah payung kertas di depan toko di Ningyocho, memakan taiyaki sambil menjulurkan Yurumari ke arah jalan dengan seutas kail, begitulah pemandangan diriku terbentuk. 

“Memancing itu soal kesabaran, ya...” 

Aku menempelkan lonceng kecil di joran dan menunggu mangsa menyambar. 

Karena terlalu bosan, aku juga memakan dango tusuk. Lalu minum teh. Satu cangkir jadi dua, dua jadi tiga, dan kira-kira satu jam telah berlalu. 

Lonceng pun berbunyi. 

“Dapat!” 

Aku meneguk habis tehnya, memasukkan dango ke mulut, dan menggenggam joran. Tarikannya luar biasa kuat. Ini pasti ikan besar. 

“Uoooooo! Dapat Kuromari!” 

Sambil berteriak, aku menarik joran. Tapi aku kemudian ingat kalau ini bukan laut, melainkan daratan. Aku menengok ke ujung tali pancing. Dan...

Seorang pria garang dengan banyak tindikan di kelopak mata dan hidung menggenggam Yurumari. 

“Serahkan Cawan Suci.”


Matanya hitam pekat, aku dengan jelas tahu kalau dia iblis. Rupanya aku malah memancing yang aneh-aneh. 

“Eh, info kamu tuh udah basi, tahu... Aku nggak bawa Cawan Suci kok... Dan soal video itu juga, itu iblis yang menyamar jadi aku yang bawa... Sekarang Yang Mulia juga nggak ada... Bisa balik lagi besok, ya...?” 

Iblis pria itu tak mendengarkan dan langsung mencoba menerkamku. 

“Eh, tunggu dulu! Serius, aku nggak bisa sekarang! Ini bukan waktu yang tepat!” 

Saat aku panik berusaha melarikan diri, bola mata pria itu tiba-tiba bergulir ke atas dan dia terjatuh ke tanah. 

Aku bertanya-tanya apa yang terjadi, dan melihat seorang wanita berdiri di belakangnya sambil memegang pedang. 

“Hai, Madarame.” 

Wanita itu melambaikan tangan. 

“Kamu sehat-sehat saja?” 

“Ya. Kapten Shirakawa juga kelihatan sehat.” 

Dia adalah orang yang menyelamatkan kami di lantai paling atas hotel waktu itu. 

Wanita seperti malaikat yang turun dengan menembus kaca patri. Dia juga yang memanggil ambulans untukku saat perutku berlubang, dan menjenguk beberapa kali selama aku dirawat di rumah sakit. 

Setelah aku menjelaskan bahwa ledakan di gedung pemerintah disebabkan oleh iblis yang bisa berubah bentuk, dia memverifikasi video itu dan mencabut status buronku. Keesokan harinya, video itu disiarkan sebagai hoaks di berita nasional, dan aku dinyatakan tak bersalah. 

Tampaknya reaksi masyarakat agak kecewa karena pelakunya bukan siswa SMA. 

“Sungguh, semua orang itu sembarangan,” ucap Kapten Shirakawa sambil tersenyum. 

Seorang kakak perempuan cantik dengan aura rapi dan wajah yang masih menyisakan kesan muda. 

Katanya, dia baru saja berusia dua puluh tahun. 

Siang hari itu, di Ningyocho, aku bertemu kembali dengan kakak cantik itu sambil membawa joran. 

“Ada urusan apa hari ini?” 

Aku bertanya, dan Kapten Shirakawa duduk di bangku dan memasukkan sisa dango-ku ke mulutnya. 

“Hari ini ya...”

Kapten Shirakawa berbicara sambil pipinya menggembung oleh dango, tampak nakal. 

“Aku datang untuk kencan denganmu, Madarame.” 

“Eh, sama aku!?” 

Aku benar-benar terkejut. 

Kalau Yang Mulia adalah tipe cantik misterius, maka Kapten Shirakawa adalah wanita cantik tanpa cela, terang dan menawan. 

Dengan kata lain, seorang kakak perempuan yang visualnya begitu memikat sampai rasanya kamu ingin menuruti apa pun yang dia minta. 

Tentu saja aku mau berkencan dengannya. Tapi kalau aku langsung menjawab “ya!” dengan semangat, entah kenapa aku merasa bersalah terhadap Yang Mulia. 

Ada kontras antara Yang Mulia dan Kapten Shirakawa. Yang Mulia sering memakai mantel hitam, sedangkan Kapten Shirakawa sesuai namanya, memakai mantel putih. 

Aku telah menyatakan kesetiaan pada Yang Mulia yang serba hitam, atau setidaknya Yang Mulia menganggapnya begitu, jadi kalau aku dengan ringan menerima ajakan kencan dari Shirakawa yang sangat bertolak belakang, bagaimana jadinya? 

Selain itu, ada juga soal Hana. 

Aku bukan orang yang begitu tumpul. Aku masih bingung bagaimana menanggapinya, jadi aku bersikap netral, tapi saat kencan Natal itu, aku bisa merasakan perasaan Hana. 

Aku berpasangan dengan Yang Mulia, dan juga dalam hubungan baik dengan Hana, jadi menerima ajakan kencan dari Kapten Shirakawa dengan riang jelas tidak benar. 

Aku selalu bersikap santai dan seakan tak peduli, tapi baik Yang Mulia maupun Hana, keduanya penting bagiku. Kalimat “kalau harus nurut, mending ke yang cantik” itu cuma omong kosong keren semata. Meski Kapten Shirakawa memang sempurna dan tidak serumit Yang Mulia atau Hana, tetap saja...

“Hei, Madarame.” 

Kapten Shirakawa mengerutkan alis tipisnya, tampak sedikit sedih. 

“Kamu tidak mau kencan denganku?” 

“Akan kulakukan.”


* * *


Saat dirawat di rumah sakit, aku mendengar banyak hal di ruang rawatku. 

Seperti yang pernah dikatakan Yang Mulia suatu hari, ternyata Jepang memang memiliki lembaga negara resmi yang bertugas menangani Immortal. Lembaga itu adalah Kementerian Pusat Biro Yin-Yang, nama yang diucapkan oleh Kapten Shirakawa saat di hotel. 

Kementerian Pusat Biro Yin-Yang adalah sebuah badan yang dibentuk pada zaman sistem hukum ritsuryo di era Heian, dan rupanya terus bertahan secara tidak resmi hingga sekarang. Orang yang memberitahuku tentang hal ini bukan Kapten Shirakawa, melainkan seorang perempuan bernama Yanagishita Haruka, wakil kapten yang termasuk dalam unit Kapten Shirakawa. 

Yanagishita memiliki tahi lalat di bawah matanya, memberi kesan sedikit murung. Mungkin karena posisinya sebagai wakil, dia tampak seperti seseorang yang mencoba berperan sebagai pendukung dari balik layar. 

Ketika Kapten Shirakawa datang menjengukku, Yanagishita ikut serta dan menjelaskan banyak hal padaku yang sama sekali belum paham situasi. 

“Kapten Shirakawa itu orang yang jenius. Dia tidak terpikir untuk menjelaskan hal-hal pada orang lain,” katanya. 

Setelah berkata akan membelikan es krim di kios rumah sakit, Kapten Shirakawa keluar, dan dalam kamar rawat yang kini hanya ada kami berdua, Yanagishita mulai bicara tentang organisasi tempat mereka bekerja. 

“Biro Yin-Yang dulu juga tempat Abe no Seimei pernah bekerja, lho.”

“Gila, keren banget.” 

Saat itu aku mengernyit. 

“Tapi bukankah Kapten Shirakawa sempat bilang ‘Atas nama Malaikat Agung Michael’?” 

“Itu hanya soal nama organisasi dan penerusan peran seperti yang pernah dilakukan Abe no Seimei. Pada kenyataannya, onmyodo sendiri sudah meredup,” katanya. 

Saat ini, semua anggota mendapat kekuatan khusus dari berkat para malaikat, dan mereka bertugas menangani Immortal. 

“Malaikat dan iblis memang berada di tingkat yang berbeda. Kalau mau menyebutnya secara netral, bisa dibilang keduanya adalah entitas berdimensi lebih tinggi.” 

Iblis memiliki tubuh asli di neraka, dan mengambil alih tubuh manusia untuk beraktivitas. 

Malaikat memiliki tubuh asli di surga, dan bekerja sama dengan manusia dalam tindakannya. 

Keduanya seperti sedang menjalankan perang proksi antara kebaikan dan kejahatan di dunia manusia. 

“Kekuatan malaikat yang bekerja sama dengan manusia luar biasa kuat. Memang, dibandingkan memaksa seseorang untuk patuh, lebih baik bergandengan tangan agar kekuatan yang muncul lebih besar.” 

Sebagai badan eksekutif negara, tentu mereka memilih kekuatan yang paling unggul. 

“Faktanya, karena seluruh unit berada di bawah berkat malaikat, mereka disebut Pasukan Malaikat. Nama resmi organisasinya sendiri setiap akhir tahun selalu diperdebatkan oleh para petinggi apakah perlu disesuaikan dengan realitas sekarang.” 

“Wah, kedengarannya seru juga, ya.” 

“Tapi sepertinya mereka tidak punya cukup keberanian untuk mengubah nama yang sudah ada sejak zaman Heian.” 

“Terasa banget nuansa birokrasinya. Aku juga pengen ikut debat itu, deh.” 

“Yah, bagaimanapun, kemampuan mereka itu nyata.” 

Kamu bisa merasa tenang sekarang, kata Yanagishita. 

“Perebutan Cawan Suci akan segera berakhir. Tidak ada iblis yang bisa menang melawan malaikat, dan kini semua kapten yang ditempatkan di seluruh Jepang sudah berkumpul di Tokyo.” 

Aku teringat pemandangan di lantai paling atas hotel, ketika orang-orang yang tampak kuat berkumpul. 

Seorang pria berambut pendek membawa dua pistol. 

Orang bertato di wajah yang memanggul senapan besar di bahu. 

Orang yang terlihat mengantuk, memeluk senapan musket sambil menguap. 

Orang yang berjongkok sambil bermain boneka. 

Dan beberapa orang lainnya yang juga tampak luar biasa. 

“Madarame, karena kamu mengamuk di hotel, sekarang kamu dibenci para iblis.” 

Tapi tak perlu khawatir, lanjut Yanagishita. 

“Bahkan iblis tidak bisa melukai malaikat. Biro Yin-Yang menjamin keselamatanmu.” 

Dengan cara seperti itulah Yanagishita menjelaskan situasiku saat itu.


* * *


Karena sebelumnya dikatakan bahwa keselamatanku akan dijamin, aku mengira ajakan Kapten Shirakawa untuk berkencan hanyalah bagian dari misi perlindungan, dan bukan karena dia sungguh-sungguh ingin kencan denganku. 

Tapi...

“Eh, uwahh!? 

Aku tanpa sadar mengeluarkan suara terkejut luar biasa. 

Kapten Shirakawa, dengan wajah sedikit malu, tiba-tiba menggenggam tanganku. 

Itu terjadi di dalam sebuah pusat perbelanjaan besar. 

Setelah kami sepakat untuk berkencan, Kapten Shirakawa berkata, “Aku ingin mencoba kencan seperti yang dilakukan anak-anak SMA.” 

Ia tampak agak malu saat mengatakannya.

“Aku belum pernah melakukan hal ini sebelumnya.”

“Kalau begitu...” 

Setelah berpikir sejenak, aku mengajaknya ke kompleks bioskop dalam mal, dan kami menonton film Jepang populer yang dibintangi banyak aktor terkenal bersama-sama. 

Kapten Shirakawa menikmati popcorn sambil terlihat sangat gembira. Saat kredit penutup mulai bergulir dan dia tersenyum sambil berkata, “Seru, ya,” aku merasa bahwa film apa pun pasti akan terasa menyenangkan jika menontonnya bersama orang seperti dia. 

Saat tidak sedang bertarung, Kapten Shirakawa tampak agak kekanak-kanakan. Meski aku tahu usianya dua puluh tahun, rasanya seperti sedang bersama teman sekelas. 

Setelah menonton film, ketika kami berjalan-jalan di dalam mal dan bertanya-tanya mau main apa selanjutnya, dia tiba-tiba menggenggam tanganku. 

“Aku mengerti sekarang,” ujarnya sambil mengangguk. “Jadi beginilah semua orang menikmati masa mudanya.” 

Tanganku penuh keringat, tapi Kapten Shirakawa tidak peduli sedikit pun dan tampak begitu polos. 

“Ngomong-ngomong, Madarame, kenapa kamu bawa joran pancing?” 

“Ini bagian dari strategi jenius.” 

Sambil memperlihatkan Yurumari, aku menjelaskan rencana cemerlangku untuk memancing Kuromari yang kepalanya menempel pada Cawan Suci. 

Mendengarnya, Kapten Shirakawa mendengus dan menampilkan ekspresi percaya diri. 

“Madarame, kamu masih kurang teliti. Yurumari dan Kuromari itu musuhan, tahu.” 

“Eh, serius?” 

Katanya, secara resmi mereka digambarkan sebagai rival. Tak hanya karakternya, tapi juga memiliki latar dunia cerita yang kuat. 

Anime yang pernah ditayangkan itu berjudul Tolong Aku, Yurumari.

“Kuromari menggunakan kekuatan bayangan untuk berbuat jahat di dunia manusia. Yurumari berjuang untuk melindungi manusia dari kekuatan itu.” 

“Aku terlalu fokus sama karakter lucunya, jadi nggak perhatiin ceritanya...”

“Karena penampilan imut memang mudah menyita perhatian.” 

“Shirakawa, kamu benar-benar pintar ya.”

Saat aku mengatakan itu, “Betul! Aku memang pintar!” 

Kapten Shirakawa tiba-tiba berseri-seri. 

“Madarame, kamu ngerti aku banget!” 

Dalam suasana hati yang ceria, dia mengayun-ayunkan tangan kami yang tergenggam. 

Ngomong-ngomong, Yanagishita pernah berkata bahwa Kapten Shirakawa direkrut ke Biro Yin-Yang saat usianya baru lima belas tahun. Karena bertempur sejak muda, dia kurang pengalaman sosial dan tetap polos. 

“Aku tahu banyak hal juga, lho. Soal Yurumari misalnya...”

Kapten Shirakawa ternyata sangat menyukai Tolong Aku, Yurumari, dan menunjukkan pengetahuannya yang luas padaku. 

Berdasarkan informasi dari Yanagishita, Kapten Shirakawa berasal dari Kepulauan Goto di Nagasaki. Saat ditanya soal kampung halamannya, dia selalu menjawab, “Kota daerah yang sedikit lebih kecil dari Tokyo,” menunjukkan bahwa dia sedikit suka menjaga gengsi. 

Bagaimanapun, tumbuh di lingkungan seperti itu dan langsung bekerja di Biro Yin-Yang membuatnya menjadi pribadi yang polos dan terlihat lebih muda dari usianya. 

Singkatnya, dia adalah gadis cantik yang luar biasa. 

“Ini seru banget!” 

Di pusat permainan dalam mal, Kapten Shirakawa terlihat sangat bersemangat. 

“Madarame, ambilin itu dong, yang itu!” 

Aku mengambil banyak hadiah dari mesin capit dan memberikannya padanya. 

“Hore! Hore!” 

Melihat dia melompat-lompat senang, aku berpikir.

Dia benar-benar lucu. Luar biasa. 

Saat kami terus bersenang-senang, hari mulai menjelang malam. Sebagai anak SMA, biasanya saat seperti itu adalah waktu untuk pulang karena jam malam. Tapi... 

“Hei, Madarame,” Kapten Shirakawa menempel di lenganku. 

“Mulai sekarang, kita lakukan hal yang lebih dewasa, yuk.” 

“Eh? Hal yang dewasa?” 

Aku berpikir sejenak lalu...

“Eh, haaahhh!?” 

...aku mengeluarkan suara itu lagi. 

Setelah melihat begitu banyak sisi kekanak-kanakan darinya, kalau dia tiba-tiba melakukan sesuatu yang dewasa dan menggoda, itu pasti terlalu menakjubkan. 

Tapi saat aku berpikir begitu, dia berkata, “Ta-da!” dan mengeluarkan sesuatu dari dompetnya. 

“Itu kartu kredit?” 

“Baru kubuat, lho.” 

Aku memperhatikan kartu mengilap itu dengan saksama. 

“Itu kartu emas?” 

“Iya. Soalnya gajiku lumayan besar.” 

“Keren banget!” 

Meski aku pernah dengar kalau orang benar-benar kaya pakai kartu hitam, tapi bagiku, kartu emas saja sudah bikin antusias. 

“Dengan ini, ayo kita makan yang enak!” 

Ternyata, yang dimaksud dengan “hal dewasa” oleh Kapten Shirakawa adalah makan di restoran mahal yang sudah lama ingin dia coba. 

“Aku bahkan bakal minum alkohol!” 

“Dewasa banget!”

Restoran itu tak mewajibkan dress code, tapi taplak mejanya putih bersih dan tampak eksklusif. 

Saat pelayan datang membawa botol wine dan menyebutkan nama wine berbahasa Katakana yang panjang, Kapten Shirakawa mengangguk berat dan berkata, “Oh gitu ya.” Setelah meminumnya, dia mengangguk lagi dan berkata hal yang sama. 

Kami makan malam bersama saat wajahnya sedikit memerah karena minuman. 

Di tengah makan, chef datang dan memarut keju besar langsung di meja sebagai sentuhan akhir masakan. Mata Kapten Shirakawa bersinar-sinar menunjukkan betapa polosnya dia. 

“Ini pengalaman yang luar biasa,” ucap Shirakawa sambil menyeruput kopi penutup setelah menikmati hidangan penutup. 

“Mungkin aku jadi terlalu dewasa hari ini.” 

“Aku kayaknya juga jadi lebih dewasa dari teman-temanku.” 

“Gawat ya.” 

“Parah banget.” 

Kapten Shirakawa meletakkan cangkirnya, lalu menatap wajahku. 

“Ada apa?” 

“Menurutku kamu itu luar biasa.” 

“Eh?” 

“Kamu bukain pintu, terus berdiri di sisi bawah eskalator.” 

“Yah, itu sih...” 

“Kamu seorang pria sejati, ya.” 

Mendengarnya, aku jadi malu. 

“Kalau begitu, yuk kita pergi.” 

Sebelum keluar restoran, aku membantunya mengenakan mantel. Kapten Shirakawa memandangku dengan senyum bermakna, lalu setelah mengenakan mantel, dia menempel lagi padaku sambil tertawa kecil, “Ehehe.” Saat ini...

Rasanya aku bisa berhasil! 

Kapten Shirakawa terlihat seperti pasangan ideal. Sepertinya kami bisa sangat bahagia bersama. Dan dia imut dengan cara yang sangat klasik. 

Sepertinya inilah awal dari masa mudaku. 

Dan perasaanku itu benar-benar tepat, karena begitu keluar dari restoran, Kapten Shirakawa berkata, “Madarame, aku punya hal penting untuk disampaikan.” 

“...Ya.” 

Aku menelan ludah. Inilah dia. 

Kapten Shirakawa berdiri di depanku dan menggenggam erat kedua tanganku. 

“...Aku punya permintaan.” 

“Apa itu?” 

Entah kenapa, aku yang jadi gugup. Haruskah aku kaget? Haruskah aku senang? Saat aku masih berpikir, dia dengan malu-malu berkata, “Aku ingin sekali bertarung di sisimu.” 

“Eh, ini terlalu mendadak sih, tapi, maksudku, tentu aku senang dan ingin juga, tapi aku punya junior yang lumayan dekat, dan Yang Mulia juga agak posesif, meskipun tidak kelihatan, jadi... yah, maksudku, mungkin kita mulai dari berteman dulu...”

Hah? 

“Shirakawa, barusan kamu bilang bertarung?” 

“Ya. Madarame, mau gabung ke Biro Yin-Yang?” 

Otakku berhenti bekerja. Dan pada detik berikutnya...

“Tempat kerja dengan kemudahan mengambil cuti tahunan!” 

Begitu terdengar suara itu, dari balik tiang listrik, Yanagishita muncul. Lalu...

“Teman-teman yang hangat seperti keluarga!” 

Dari gang di belakang, muncul seorang wanita bertubuh pendek dengan rambut merah muda. Dia adalah orang yang memegang boneka saat para kapten berkumpul di hotel. 

Setelah berbaris bertiga dengan Kapten Shirakawa di tengah, mereka berkata serempak, “Jadilah pegawai Biro Yin-Yang dan bekerja untuk menjaga keamanan Jepang! Penuh semangat dan kepuasan kerja!” 

Mendengar itu, aku berteriak dari lubuk hati. 

“Brengseeeekk!!” 

Aku berkata, “Ini jelas cara-cara tempat kerja yang super eksploitatif! Mengedepankan perempuan cantik untuk menjebak anak muda polos! Bahkan sampai bawa-bawa kakak berambut pink segala!” 

“Namanya Hanayama. Dia kapten Divisi Ketiga, dan sangat kuat,” ujar Kapten Shirakawa. 

Aku tak peduli soal itu! 

“Aku sudah curiga dari awal! Nggak mungkin orang secantik kamu tiba-tiba suka sama aku! Semuanya cuma buat ini, ya! Padahal aku hampir jatuh cinta tadi!” 

Dengan hati hancur, aku berusaha pergi dari situ. Tapi Kapten Shirakawa mengejarku dan menggenggam tanganku. 

“Tunggu, tunggu. Memang tujuanku merekrut kamu, tapi aku sungguh-sungguh tertarik sama kamu, Madarame.” 

“Aku nggak bakal ketipu lagi! Mana mungkin kakak cantik sepertimu suka cowok lebih muda kayak aku!” 

“Enggak begitu kok,” ujarnya. 

“Kalau mau pacaran, aku memang maunya sama cowok seperti kamu, Madarame.” 

“Bohong!” 

“Serius. Aku ini sama sekali belum punya pengalaman cinta, dan orang-orang di sekitarku kebanyakan pria dewasa. Makanya aku malah takut ditipu. Tapi kalau cowoknya lebih muda, aku yang jadi kakaknya, jadi rasanya aman. Terus kamu juga kelihatan orangnya bisa dipercaya.” 

“Alasannya realistis banget!” 

“Kenapa? Nggak boleh?” 

Dengan suara manja seperti itu, Kapten Shirakawa bertanya. Aku pun menghentikan langkah, berbalik, dan akhirnya berkata, “Aku rasa itu keputusan yang bijak!” 

Kapten Shirakawa menyentuhkan tangannya ke pipiku. 

“Udahlah, jangan ngambek terus.” 

“Soalnya...”

“Nggak bisa disalahin juga, sih.” 

Setelah mengatakan itu, Kapten Shirakawa menggenggam tanganku erat. 

“Kalau begitu, kita mulai dari jadi rekan kerja dulu, ya?” 

“Kamu masih mikirin itu...” 

“Soalnya kalau kita dekat, kita bisa lebih mengenal satu sama lain, kan? Kalau aku pacaran, aku mau yang serius.” 

Lalu, dengan wajah sedikit memerah, Kapten Shirakawa berkata, “Aku rasa tidak mustahil untuk kita berdua bisa pacaran!”


* * *


“Yang Mulia, bangun dong.”

Di kamar tidur Toko Inggris, aku menggoyang-goyangkan Yang Mulia dari atas futon. 

“Terlalu ngambek, deh.”

Aku sudah menceritakan soal ajakan dari Kapten Shirakawa untuk bergabung ke Biro Yin-Yang, tapi tampaknya Yang Mulia sangat tidak senang dengan itu. 

Dari sudut pandang Yang Mulia yang mengklaim Yomizaka sebagai wilayah kekuasaannya, Kapten Shirakawa dan rekan-rekannya yang merupakan pegawai negeri Jepang adalah kekuatan asing yang tidak sejalan, sehingga ia jelas tak menyukainya. Dia juga gadis nakal yang sering melotot ke arah polisi berseragam dan mobil patroli di kota. 

“Ayo dong, baikkan lagi.”

“Aku tidak sedang marah. Kapasitas hatiku itu ukuran raja. Aku tidak akan ngambek atau marah.” 

“Kalau begitu, kenapa nggak keluar dari futon?”

“Perutku cuma agak sakit saja.” 

Yang Mulia meringkuk di dalam selimut. 

“Aku kan sudah bilang dengan jelas kalau aku menolak ajakan itu. Alasanku, karena masih anak SMA.” 

Karena semalam aku pulang terlambat, aku menjelaskan situasinya ke Yang Mulia, dan dia mulai merajuk. 

Menurutnya, kalau aku ini benar-benar bawahan yang setia, lawan jenis pun tidak akan terpikir untuk mengajak. Tampaknya dia kesal karena aku memberi celah untuk didekati. 

Sebagaimana layaknya orang yang menyebut dirinya sebagai Yang Mulia, dia memiliki keinginan menguasai yang sangat kuat. 

“Yang Mulia, ayo cepat kita main seperti biasa, eh maksudnya, ya, ayo cari Kuromari!” 

“Kamu baru saja bilang ‘kita main’, ya!?” 

“Maksudku bukan itu...”

“Madarame, kamu ini kurang banget loyalitasnya! Kurang banget, tahu!” 

Saat kami sedang begitu, Hana masuk ke Toko Inggris. Akhir-akhir ini dia sering datang untuk membantu. Dia memasak untuk kami, membantu pekerjaan rumah Yang Mulia, dan juga sering bermain bersama. 

“Kalian berdua lagi ngapain sih?” 

“Nggak, ini Yang Mulia lagi ngambek.”

“Eeeeh!?”

Lalu, Yang Mulia mengintipkan wajahnya dari dalam selimut dan berkata pada Hana, “Dia ini mau mengunjungi cewek lain, lho.” 

“Eh? Senpai?” 

“Ceweknya umur dua puluh tahun. Dia kapten dari organisasi yang mengawasi para Immortal. Madarame diajak sama cewek itu, terus pulang-pulang mukanya senang banget. Katanya, ‘Ukuran dadanya juga selevel kapten. Gehehe. Mungkin aku bakal pindah ke sana.’” 

“Itu bohong banget, tahu.” 

“Senpai...” 

Hana memandangku. 

“Kejam! Jahat!” 

Sambil berkata begitu, dia memukuliku dengan kepalan lembut. 

“Memang sih, aku masih kelas satu SMA, jadi belum punya pesona dewasa... Tapi, b-beberapa tahun lagi aku juga akan... Aku akan...!”

Diundang oleh Kapten Shirakawa, membuat Yang Mulia ngambek, lalu dipukul cemburu oleh Hana. 

Dalam situasi ini, aku jadi berpikir. 

Entah kenapa...

Rasanya aku diidolakan orang-orang! 

Dan itu terasa luar biasa menyenangkan! 

Saat aku sedang larut dalam perasaan itu, Yang Mulia tiba-tiba keluar dari tempat tidur dan mulai mengenakan pakaiannya sendiri. 

“Jadi bisa pakai baju sendiri dong.” 

“Aku mau pergi mencari Cawan Suci,” kata Yang Mulia sambil mengancingkan blusnya. 

“Aku akan mendapatkan Cawan Suci sebelum si Shira siapalah itu.” 

“Aku yakin Yang Mulia tahu namanya.” 

“Aku akan bikin si Shira siapalah itu kesal.” 

“Bandel banget sih, astaga!” 

Dengan begitu, hari-hari kami diisi dengan membawa joran dan keluar menjelajahi kota. Meski memancing Kuromari dengan Yurumari sepertinya tidak berhasil, aku sengaja tidak membahasnya. Kalau aku bilang informasi dari Kapten Shirakawa itu benar, pasti akan melukai harga diri Yang Mulia. Lagipula, aku sudah cukup bahagia hanya dengan bermain bersama Yang Mulia. 

Berkat Pasukan Malaikat yang dipimpin Kapten Shirakawa, keamanan kota jadi sangat baik. Di berbagai sudut kota, aku sering melihat anggota Pasukan Malaikat mengenakan mantel putih. Berkat itu, aku tidak pernah lagi diserang oleh Immortal, dan tampaknya para iblis juga mulai lebih tenang. 

Beberapa kali aku melihat langsung pertarungan yang dipimpin oleh para kapten Pasukan Malaikat. 

Mereka menghajar para iblis dengan sangat mudah. 

Mereka tampaknya menggunakan pedang atau pistol. Mereka beraksi dengan seragam. 

“Karena mereka semua dilindungi oleh malaikat terkenal, dan memiliki kekuatan khusus,” kata Wakil Kapten Yanagishita. 

“Omong-omong, malaikat pelindungku adalah Sandalphon.” 

“Kekuatan apa yang ia punya?” 

“Saat kugunakan, tidak ada yang bisa mendeteksi kehadiranku.” 

“Keren banget!”

Saat aku dan Yang Mulia sedang berjalan-jalan mencari Kuromari, kami sering bertemu pasangan Divisi Satu, Kapten Shirakawa dan Wakil Kapten Yanagishita. Mungkin area patroli kami memang sama. 

Dan, sama seperti Kuromari dan Yurumari, hubungan antara Yang Mulia dan Kapten Shirakawa sangat buruk. 

Skenario yang paling sering terjadi adalah saat kami sedang istirahat dalam pencarian Cawan Suci. 

Aku dan Yang Mulia masuk ke restoran yang diperkenalkan dalam manga kuliner untuk makan siang. Dan tentu saja, karena dipengaruhi manga yang sama, Kapten Shirakawa masuk bersama Wakil Kapten Yanagishita. 

Begitu mata mereka bertemu, pertempuran pun dimulai. 

“Eh, eh, Madarame, kamu udah tertarik buat kerja sama aku? Aku bawa formulir pendaftarannya, lho.”

“Madarame nggak tertarik begituan. Shush pergi sana.” 

“Lho, aku ini lagi ngomong sama Madarame, tahu.”

“Madarame, wanita yang pakai mantel putih panjang itu biasanya berbahaya. Mending jangan dekat-dekat.” 

“Yang lebih berbahaya itu cewek gotik hitam yang ngaku-ngaku sebagai Yang Mulia.” 

“Grrrr...”

“Hrmmmmm.”

Begitulah kira-kira suasananya. 

Bagi Yang Mulia, Shirakawa adalah perwakilan kekuasaan negara asing yang tidak disukainya. Dari sudut pandang Shirakawa, Yang Mulia adalah Immortal yang seharusnya melapor ke Biro Yin-Yang, tapi tak pernah mendaftar, Immortal yang merepotkan. 

Jadi, ya, mereka memang tidak pernah akur. 

Saat ada info penampakan Kuromari yang bergerak di SNS, keadaannya pun jadi kacau. 

Kalau Yang Mulia dan Kapten Shirakawa kebetulan sedang bersama saat itu, dan mereka menemukan informasi itu lewat ponsel, maka sudah bisa ditebak. Mereka akan buru-buru berlari ke lokasi penampakan itu, bertekad untuk mendapatkan Cawan Suci sebelum lawannya.


Pertama-tama, Yang Mulia dengan santai menjulurkan kaki dan mengaitkan kaki Kapten Shirakawa. Kapten Shirakawa terjatuh, namun segera bangkit dan langsung menarik kerah jaket Yang Mulia dari belakang. Tampaknya, meskipun lengan Kapten Shirakawa tampak ramping, ia cukup kuat. Yang Mulia sampai tercekik dan terlihat kesakitan. 

Pada akhirnya, saat mereka tiba di lokasi kejadian, Kuromari sudah tidak ada di sana. 

Yang Mulia dan Kapten Shirakawa dalam keadaan compang-camping. 

“Kalau begini, memang tidak bisa dibilang sedang bekerja, ya.” Suatu hari, Yanagishita berkata demikian. 

Saat itu pun, Yang Mulia dan Kapten Shirakawa sedang bertengkar sambil saling melempar donat. 

Saat aku dan Yang Mulia sedang menikmati teh sore di toko donat, Kapten Shirakawa dan rombongannya masuk, dan jadilah seperti ini. 

“Punya atasan yang kekanak-kanakan di kedua sisi memang merepotkan, ya,” kata Yanagishita. 

“Yah, Kapten Shirakawa memang lebih muda dariku, jadi mau bagaimana lagi.” 

“Serius?” 

“Tahun ini aku menginjak dua puluh lima.” 

Yanagishita berkata sambil membentuk tanda damai dengan jarinya. 

“Jujur saja, aku sebenarnya punya kekuatan setingkat kapten.” 

“Langsung ngomong keren banget, ya.” 

“Kapten Shirakawa memang punya kekuatan tempur paling tinggi, tapi dia terlalu bergantung pada kekuatan itu, dan kurang pandai dalam pekerjaan administratif. Tugasku adalah membimbing dia sebagai calon kepala biro di masa depan.” 

“Artinya, bahkan di sini pun, kamu tetap jadi peran pendukungnya, ya.” 

“Betul. Karena kalau ingin berada di puncak organisasi, dia harus bisa menjalin hubungan baik dengan siapa pun.” 

Dengan kata lain, ini adalah operasi akur dengan Yang Mulia. 

“Aku tidak mau pekerjaan jadi berantakan lagi gara-gara pertengkaran aneh di antara mereka.” 

“Tapi gimana caranya?” 

“Cara tercepat agar orang dewasa bisa akrab adalah dengan minum bersama. Artinya, kita adakan minum-minum.” 

“Aku sering dengar itu sih... Tapi apa benar bisa berhasil?” 

“Kalau gagal pun, itu tetap menarik.” 

Aku membayangkan Yang Mulia dan Kapten Shirakawa yang mabuk berat dan ribut-ribut sambil tertawa. 

“Memang, itu bisa jadi sangat lucu.” 

“Aku rasa nanti kita berdua bakal harus gotong atasan kita masing-masing pulang.” 

“Aku masih di bawah umur, jadi nggak bisa minum.” 

“Aku juga nggak kuat minum. Kita dudukkan mereka berdua di konter, dan kita mengawasi dari meja di belakang.” 

Begitulah, aku dan Yanagishita merencanakan semuanya sambil menghindari donat yang beterbangan di atas kepala, dan memutuskan tempat serta tanggal. 

Saat aku dan Yanagishita dengan penuh semangat menyatakan, “Kita akan mengadakan pesta minum!”, Yang Mulia dan Kapten Shirakawa akhirnya mengangguk setengah hati dengan wajah belepotan gula. Rupanya, keduanya tipe atasan yang tidak bisa menolak jika bawahannya berbicara dengan tegas.


* * *


Hari pesta minum itu turun hujan. 

Malam itu, aku dan Yang Mulia berdiri di depan bar sambil memegang payung, menunggu Kapten Shirakawa dan yang lainnya. 

“Hei, mereka belum juga datang padahal tinggal lima menit lagi. Ini sudah kurang ajar, bukan?” 

“Mereka sedang bekerja, lho. Tidak seperti kita, mungkin mereka memang sibuk.” 

“...”

Kami menunggu beberapa saat lagi, tapi keduanya tak kunjung muncul. 

“Bagaimana kalau kita masuk duluan saja?” 

“Tidak, kita tunggu.” 

“Itu demi etika, ya?” 

“Masuk bersamaan akan lebih menyenangkan.” 

Karena Yang Mulia berkata begitu, aku dan beliau tetap menunggu di depan toko. 

Dalam cahaya malam yang kabur oleh hujan, di antara keramaian orang yang lalu-lalang dan suara tawa yang terdengar, kami tetap memegang payung. 

Begitu tiga puluh menit berlalu, aku akhirnya menyarankan agar Yang Mulia masuk ke dalam. 

Pundak Yang Mulia sudah basah. 

“Mungkin ada urusan mendadak yang masuk.” 

Aku membawa Yang Mulia masuk ke toko, menyuruhnya duduk di bangku bar, lalu memesan makanan ringan. 

“Berkat mereka, kota ini menjadi lebih aman.” 

Kapten Shirakawa dan rekan-rekannya adalah seperti polisi bagi para Immortal. Bila diperhatikan, mereka ada di mana-mana di kota dan dengan tegas menindak para makhluk abadi yang berbuat onar. 

“Memang, kekuatan negara itu luar biasa.” 

“Kekuatan malaikat sangat besar.” 

“Waktu di hotel pun mereka menghabisi banyak iblis dalam sekejap.” 

Aku belum pernah melihat Kapten Shirakawa kewalahan atau terluka. Karena dia sekuat itu, aku pikir dia akan menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat dan datang ke pesta. 

Sambil menunggu, aku dan Yang Mulia membunuh waktu dengan memutar musik dari jukebox di bar dan bermain pinball. 

Yang Mulia tidak menyentuh minuman keras. 

“Nanti saja, setelah si bodoh Shirakawa itu datang,” begitu katanya. 

Namun, tak peduli berapa lama kami menunggu, Kapten Shirakawa dan yang lainnya tidak juga muncul. 

Menjelang tengah malam, Yang Mulia mulai tertidur dengan bertopang siku di meja, lalu akhirnya benar-benar terlelap. 

Yang Mulia memang terbiasa tidur dan bangun lebih awal. 

“Sepertinya kamu sangat menantikannya,” aku berbicara pada Yang Mulia yang tertidur di atas meja bar. 

“Bukankah itu bagus? Sekarang kamu punya teman yang bisa melempar donat bersama.” 

Aku mengambil kartu kredit dari dompet Yang Mulia tanpa izin dan membayar tagihan di bar. 

“Kalau begitu, kita pulang saja untuk malam ini.” 

Aku menggoyang-goyangkan tubuh Yang Mulia yang tertidur untuk membangunkannya, lalu membawanya kembali ke Toko Inggris dalam keadaan setengah tertidur. 

Dan keesokan harinya, seperti biasa, kami kembali keluar ke kota membawa pancingan, tapi tidak bertemu Kapten Shirakawa maupun Wakil Kapten Yanagishita. 

Hari-hari seperti itu pun berlanjut selama beberapa hari. 

Karena sudah sangat lama tidak melihat mereka dan tidak mendapat kabar apa pun, aku pun menanyai seorang anggota Pasukan Malaikat yang berdiri di sudut jalan, tentang keadaan Kapten Shirakawa dan yang lainnya. 

Yang kudengar dari mulut pria itu adalah kabar duka bahwa Wakil Kapten Yanagishita telah meninggal.


* * *


Hari di mana kami berjanji untuk pesta minum. 

Informasi bahwa Kuromari terlihat naik bus kota sampai ke telinga Biro Yin-Yang. Wakil Kapten Yanagishita bersama anggota Divisi Satu langsung menuju lokasi. Mereka menghentikan bus, mengevakuasi semua penumpang, dan mulai menggeledah bagian dalam bus. Saat itulah bom yang dipasang di dalam bus meledak. 

Meski begitu, Yanagishita masih hidup dan sempat menghubungi Kapten Shirakawa untuk melaporkan apa yang terjadi. Namun, di tengah panggilan terdengar suara tembakan, lalu suara air yang deras, dan komunikasi pun terputus. 

Belakangan, ketika anggota Biro Yin-Yang lainnya datang ke lokasi, yang mereka temukan adalah bus yang terbakar di jalan tepi sungai, serta pagar pembatas yang berlumuran darah. Setelah dianalisis, darah itu dipastikan milik Yanagishita. 

Diduga, Yanagishita ditembak oleh seseorang saat sedang menelepon, lalu jatuh ke sungai. Karena lokasi kejadian dekat dengan muara, kemungkinan besar tubuhnya terbawa ke laut. Jenazahnya belum ditemukan. 

Yang menceritakan semua ini padaku adalah Kapten Shirakawa. 

“Aku selamat karena sedang menghadiri rapat. Andai saja aku pergi bersama mereka ke lokasi kejadian, aku mungkin bisa melindungi semuanya.” 

Beberapa hari setelah insiden itu, di jalan setapak di tepi sungai yang menjadi lokasi kejadian, Kapten Shirakawa memanggilku untuk bertemu. Katanya, dia baru kembali ke Tokyo. Bukan dengan mantel putih resminya seperti biasa, melainkan setelan jas hitam. Pakaian duka. 

“Aku baru saja bertemu keluarga para anggota tim.” 

Wajah Kapten Shirakawa terlihat sedikit lelah. 

“Pekerjaan seperti ini memang berat.” 

“Yanagishita belum bisa dipastikan meninggal, kan?” kataku padanya. 

“Sekutu yang hilang biasanya akan muncul di saat paling krusial dan mengambil alih semua sorotan. Aku tahu itu.” 

“Kamu baik, ya.” 

Kapten Shirakawa bilang dia juga telah mengunjungi rumah keluarga Yanagishita. 

“Sesuai cerita yang kudengar, keluarganya sangat biasa. Ada ayah, ibu, dan adik laki-laki.” 

Saat kuliah, Yanagishita tidak memilih jalur pekerjaan di perusahaan swasta, melainkan menjadi pegawai negeri. Kabarnya itu karena dia ingin mandiri dan menenangkan keluarganya. Dia lulus ujian tingkat dua nasional, masuk ke Badan Kepolisian, lalu saat pelatihan di akademi selama enam bulan, bakatnya ditemukan dan dia dialihkan ke Biro Yin-Yang. 

Di kamar lamanya, masih ada boneka karakter yang disukainya saat kecil, dan raket bulutangkis dari klub sekolah menengahnya. 

Kapten Shirakawa katanya mengambil satu per satu benda itu, bahkan melihat buku album kelulusan di rak buku. 

“Dia terlihat seperti gadis yang tomboy, tidak bisa dibayangkan dari dirinya sekarang.” 

Kapten Shirakawa menatap aliran sungai. 

Aku tak bisa berkata apa-apa. 

Beberapa saat kemudian, Kapten Shirakawa mendongak. 

“Perasaan seperti ini baru boleh dirasakan setelah kita mengamankan Cawan Suci. Aku tak pernah membayangkan ada pihak yang berani menyerang Pasukan Malaikat.” 

“Cawan Suci ternyata lebih bernilai daripada yang dibayangkan, ya...”

“Karena benda itu bisa menjamin kejayaan seribu tahun sebuah negara.” 

Ternyata, bukan hanya Immortal yang mengincar Cawan Suci. 

“Pemerintah negara lain juga pasti menginginkannya. Orang-orang dari luar sudah pasti masuk secara ilegal.” 

“Kalau jatuh ke tangan negara asing, itu bisa bahaya?” 

“Kalau negaranya sopan, mungkin tidak. Tapi kalau jatuh ke pihak yang ingin mendominasi, atau organisasi kriminal, atau kelompok ideologi ekstrem, bisa berbahaya. Karena Cawan Suci adalah kekuatan untuk menguasai segalanya.” 

“Skalanya terlalu besar, sampai sulit dibayangkan...”

“Kamu sudah mengalaminya sendiri, Madarame.” 

Kapten Shirakawa mengatakan bahwa insiden rudal di gedung pemerintah Tokyo bukanlah perbuatan lembaga resmi Jepang. 

“Itu dilakukan oleh kelompok manusia. Entah domestik atau asing, entah resmi atau bawah tanah, yang jelas mereka punya kekuatan untuk menembakkan rudal.” 

Itulah besarnya keinginan berbagai pihak atas Cawan Suci, dan adanya banyak fraksi yang saling memperebutkannya. 

“Tapi aku sempat berpikir semua ini akan baik-baik saja. Karena kami yang diberkati oleh malaikat bernama, bahkan ledakan tak akan bisa melukai kami. Termasuk rudal.” 

Yanagishita, yang dilindungi oleh malaikat pelindung Sandalphon, tidak tewas karena ledakan bus, bahkan sempat menelepon. Tapi setelah itu, dia ditembak, kehilangan banyak darah, lalu jatuh ke sungai. 

“Ini masalah yang sangat serius. Belum pernah ada catatan tentang luka yang diterima oleh orang yang dilindungi malaikat tingkat tinggi,” ujar Kapten Shirakawa. 

“Kalau tidak segera ditangani, tatanan yang telah dibangun antara manusia dan Immortal akan runtuh.” 

“Ada makhluk yang bisa melukai malaikat?” 

Saat kutanya, Kapten Shirakawa menyebut beberapa nama. 

Iblis tingkat tertinggi. Vampir darah murni. Penyihir yang telah hidup lebih dari seratus tahun. Keturunan Cain. Van Helsing. Golem milik Lavi. 

Tapi dia juga mempertimbangkan kemungkinan lain yang sama sekali berbeda. 

“Ngomong-ngomong, Madarame. Di dunia ini ada banyak Cawan Suci, tahu?” 

“Serius?” 

“Semua benda relik suci yang memiliki energi untuk mengubah hukum dunia disebut Cawan Suci.” 

Artinya, ada beberapa Cawan Suci di dunia, dan masing-masing punya asal-usulnya sendiri. 

“Cawan Suci yang sekarang berkeliaran di Tokyo ini, besar kemungkinan dulunya milik seorang Immortal.” 

Sejak keberadaan Kuromari terdeteksi, Biro Yin-Yang sudah mulai menyelidiki latar belakang cawan itu. 

“Immortal itu dulu sangat kuat. Tapi sekarang sudah kehilangan kekuatannya.” 

“Siapa dia?” 

“Aku tak bisa menyebutkan namanya,” kata Kapten Shirakawa. 

“Lebih baik Immortal itu tetap terlupakan. Karena dia kehilangan kekuatannya saat dilupakan dunia.” 

Dia adalah Immortal yang sangat berbahaya, dan tak boleh dibiarkan mendapatkan kembali kekuatannya. 

“Tapi sekarang, dia punya kesempatan untuk merebut kembali kekuatan itu.” 

“Lewat Cawan Suci yang dulu pernah dia miliki.” 

“Dia pasti sangat menginginkannya. Dan pasti tak mau diganggu oleh malaikat atau iblis.” 

Lalu, Kapten Shirakawa menyebut hal yang tidak ingin kudengar. 

“Di TKP di mana darah Yanagishita tercecer, ditemukan selongsong peluru dari revolver. Jenis senjatanya juga sudah teridentifikasi. Colt keluaran awal. Senjata yang sangat kuno dan tidak efisien, hanya dipakai oleh orang yang benar-benar menyukainya.” 

“Kenapa kamu bilang itu padaku?” 

“Karena kamu punya hati yang lurus. Aku bisa merasakannya.” 

Sejak kecil, katanya, dia sering pergi ke gereja di kota dan merasakan kehadiran malaikat. Dia adalah gadis yang sangat peka terhadap kebaikan dan keburukan dalam hati manusia. 

“Kamu suka bercanda itu hanya cara untuk menyembunyikan rasa malu, kan? Tapi saat benar-benar genting, kamu akan melakukan hal yang benar. Karena kamu sebenarnya adalah anak muda yang penuh mimpi.” 

Entah kenapa, aku tak merasa sedang dipuji. 

“Kalau Cawan Suci itu akan jatuh ke tangan Immortal itu, lebih baik dihancurkan saja.” 

“Itu bisa dilakukan?” 

“Cawan Suci adalah energi tak berbentuk. Bentuknya saat ini hanya sementara. Kalau bentuk itu dihancurkan, energinya tak bisa diamati lagi. Butuh waktu seribu tahun sebelum mendapatkan bentuk baru.” 

Aku tak terlalu peduli soal Cawan Suci itu sebenarnya.

Yang terus terngiang dalam pikiranku adalah selongsong peluru dari revolver yang katanya ditemukan di genangan darah milik Yanagishita. 

“Semua yang kubicarakan tadi, masih sebatas kemungkinan saja.” 

Begitu kata Kapten Shirakawa, namun... 

“Bagaimana kalau kemungkinan itu ternyata benar?” 

Saat aku bertanya seperti itu, Kapten Shirakawa menjawab dengan ekspresi yang sangat datar. 

“Aku akan memburu Immortal itu.” 

Dan kemudian, dari lengan rampingnya dan penampilan yang begitu mencerminkan kesucian serta kebenaran, meluncurlah kata-kata yang jauh dari kesan lembut. 

“Aku jago bertarung, lho.”


* * *


Aku sebenarnya tidak begitu mengenal siapa sebenarnya Yang Mulia.

Sejak aku bergabung dengan Toko Inggris, kami selalu bersama, tetapi Yang Mulia adalah Immortal yang telah menjalani waktu yang panjang yang tak kuketahui.

Kalaupun ternyata Yang Mulia sejatinya adalah Immortal yang sangat kejam dan jahat, itu masih merupakan kemungkinan yang masuk akal. 

“Immortal yang sudah lama hidup itu suka menipu.” Aku teringat ucapan Lavi. 

Namun, Yang Mulia yang berada di sisiku selalu seperti biasanya. Makan permen, bermain, dan sangat cerewet soal sopan santun.

Meski begitu, ada sedikit perubahan yang terlihat. 

“Aku tidak akan menerima permintaan dari pertokoan untuk sementara waktu,” ucapnya. Ketika kutanya alasannya, Yang Mulia menjawab, “Permintaan dari Hana terlalu memakan waktu.” 

Dengan kata lain, ia ingin memusatkan perhatian pada Cawan Suci. 

“Kalau Yang Mulia punya Cawan Suci, akan digunakan untuk apa?”

Suatu malam, saat kami menonton siaran sepak bola bersama, aku bertanya demikian. Yang Mulia juga suka sepak bola luar negeri. 

“Kalau aku punya Cawan Suci, aku bisa mendirikan negara,” kata Yang Mulia sambil terus menatap layar. 

“Kerajaan seribu tahunku sendiri.” 

“Negara seperti apa yang akan Yang Mulia dirikan?”

“Tiga hari libur dalam seminggu.” 

“Tanpa Cawan Suci pun, kalau ikut pemilu pasti pemerintahan Yang Mulia langsung berdiri.” 

“Aku ini Yang Mulia. Bukan Perdana Menteri.” 

Pada akhirnya, jawabannya terasa mengambang dan tidak jelas. 

Aku kembali memikirkan satu hal yang dulu sempat kutinggalkan, siapa sebenarnya Yang Mulia?

Awalnya aku merasa tak perlu tahu identitasnya. Memang aku punya kepribadian yang tidak terlalu penasaran pada asal-usul seseorang atau sesuatu.

Tapi, dalam situasi seperti ini, aku jadi mulai penasaran. 

“Siapa sebenarnya Yang Mulia, ya?”

Aku menanyakan itu pada Lavi di toko penjahit. Saat itu aku datang untuk mengambil mantel musim semi baru yang dipesan oleh Yang Mulia untuk menyambut musim semi. 

“Seperti yang sudah pernah kukatakan, aku juga tidak tahu siapa sebenarnya Ellie itu.”

Lavi tetap seperti biasa, memandangi potongan kain di mejanya. Katanya, kain itu baru datang dari Italia. 

“Yang bisa kukatakan adalah, Ellie baru bisa menggunakan kekuatan sebagai Immortal belakangan ini.” 

“Serius?”

“Sejak bertemu denganmu, Madarame. Sebelumnya, dia benar-benar tak punya kekuatan apa-apa. Satu-satunya keistimewaannya hanya tak bisa mati.” 

Aku langsung teringat sesuatu. 

“Yang Mulia pernah bilang, semakin besar sumpah setiaku padanya, semakin besar pula kekuatannya. Dan kekuatan yang diberikan padaku juga akan bertambah. Katanya, kami ini seperti mesin abadi.” 

“Itu jelas bukan mesin abadi,” bantah Lavi. 

“Jelas sekali, kamulah yang jadi titik awalnya. Segalanya dimulai darimu.” 

Dan seolah bisa membaca pikiranku, Lavi menambahkan, “Belakangan ini, katanya dua lagi kapten dari Pasukan Malaikat meninggal.” 

Itu jelas sesuatu yang tidak wajar. Para anggota Pasukan Malaikat yang dilindungi oleh berkat malaikat seharusnya tidak bisa disakiti.

Kabarnya, Biro Yin-Yang jadi sangat tegang karena hal itu. 

“Keduanya katanya ditembak dengan revolver. Karena toko ini menjual senjata semacam itu, divisi investigasi Biro Yin-Yang datang dan bertanya banyak hal.” 

Lavi lalu menyebutkan tanggal kejadian penembakan para kapten itu.

“Keduanya terjadi pada malam hari. Kamu sedang bersama Ellie saat itu?” 

“Ya. Kami tinggal bersama, dia kalah dalam permainan dan melempar kontrolernya.”

Sebenarnya aku berbohong.

Pada kedua malam itu, Yang Mulia keluar sendirian. Katanya mau beli es krim, atau ingin makan ramen tengah malam. Aku ingat karena itu jarang terjadi. Biasanya, Yang Mulia hanya menyuruhku sebagai Madarame Uber. 

“...Begitu ya, jadi kalian memang bersama.”

“Ya. Begitulah.” 

Aku pun membawa mantel dan meninggalkan toko. 

Meski begitu, aku tetap merasa Yang Mulia tidak mungkin melakukan hal seperti itu.

Aku ingin tetap menjadi duo pop yang ceria dan catchy bersama Yang Mulia.

Aku sangat menyukai hal seperti itu. 

Namun...

Suatu malam.

“Aku mau ke batting center. Tiba-tiba ingin mukul homerun,” kata Yang Mulia, lalu keluar sendirian lagi. 

Beberapa saat kemudian, aku pun mengejarnya.

Aku coba cari ke batting center yang ada di game center, tapi Yang Mulia jelas tidak ada di sana. 

Aku berlari keliling kota, dan akhirnya menemukan Yang Mulia sedang bertarung melawan empat orang berjubah putih, yaitu anggota Pasukan Malaikat.

Di tengah jalan raya besar yang sudah sepi kendaraan karena sudah larut malam, mereka bertarung dengan pedang dan senjata api. 

Cahaya bulan menyinari jalur tajam tebasan pedang, dan Yang Mulia menghindar dengan lincah.

Lampu merah terus berkedip. 

Gerakan para anggota pasukan terlihat berat, sementara Yang Mulia sendiri tidak terlalu banyak bergerak. 

Tiga kali suara tembakan terdengar, dan tiga orang langsung tumbang. 

Anggota keempat memanjat jembatan penyeberangan, lalu melompat dan menyerang Yang Mulia dari atas.

Tiga orang tadi rupanya hanya pengalih perhatian agar satu orang bisa menyerang dari titik buta. 

Namun, hal seperti itu tidak mempan pada Yang Mulia. 

Dengan tenang, Yang Mulia menembakkan pistol ke atas sebanyak tiga kali, lalu sedikit menggeserkan diri sambil memegang payung.

Anggota itu jatuh ke tanah tanpa sempat menahan diri, dan terdengar suara benturan yang berat. 

Darah yang terpental di udara menghantam payung Yang Mulia, menghasilkan bunyi khas.

Yang Mulia melipat payungnya, mengibaskan darah yang menempel, dan pergi begitu saja seolah tak terjadi apa-apa. 

Begitu Yang Mulia menghilang dari pandangan, aku mendekati tubuh para anggota pasukan yang tergeletak di aspal. 

Dan mereka benar-benar sudah tewas. 

Itu tanpa ragu adalah Yang Mulia. Bukan iblis yang menyamar.

Tak ada yang repot-repot menghindari darah dengan payung seperti Yang Mulia. 

“Gaya elegan yang mubazir dan terlalu dramatis banget, ya.” 

Aku berjongkok dan menatap wajah para anggota yang tak lagi bernyawa itu. 

Orang-orang ini... 

“Jangan-jangan mereka aslinya penjahat super jahat atau semacamnya, ya!”


* * *


Seperti biasa, Yang Mulia sedang sarapan di ruang tamu Toko Inggris. Mungkin merasa bosan hanya dengan makan, beliau pun menyalakan televisi. Karena tidak ada acara yang disukai, beliau memilih film lewat layanan on-demand dan menekan tombol putar. 

“Jangan nonton film seperti itu!”

Aku langsung merebut remote dari tangan Yang Mulia. 

“Film mafia itu buruk untuk pendidikan... Sungguh, kenapa sih orang-orang bikin film yang isinya cuma bunuh-bunuhan begini...”

“Hei, ada apa ini? Kenapa kamu jadi kayak ibu-ibu?” 

Kebetulan aku sedang mengenakan celemek karena baru saja menyiapkan sarapan. Dengan wajah heran, Yang Mulia merebut kembali remote, lalu hendak memilih film aksi kali ini. 

“Aku menentang kekerasan!”

Aku kembali merebut remote dari tangannya. 

“Yang Mulia! Harusnya nonton drama manusia yang menggambarkan betapa indahnya kehidupan!” 

Aku pun menekan tombol putar. Film yang kupilih adalah kisah mengharukan tentang anak lelaki nakal yang bersahabat dengan anak yang sakit, berlatar musim panas. 

“Tonton ini dan rasakan betapa indahnya hidup! Nikmati keajaiban kehidupan! My Friend Forever!” 

Aku memaksa Yang Mulia menonton film itu. Namun bahkan saat adegan klimaks yang membuat siapa pun menangis, wajah Yang Mulia tetap datar.

Mungkin memang benar kalau Yang Mulia adalah seorang penguasa berhati dingin. 

Saat aku berpikir begitu, Yang Mulia malah menyalakan konsol game. Game online yang mempertemukan tim untuk saling menembakkan tinta satu sama lain. 

Aku langsung menepiskan stik dari tangannya.

“Lihat tuh! Selalu saja ingin menembak!” 

Aku mengganti game-nya dengan judul lain.

“Yang Mulia! Daripada bertempur, lebih baik main game yang bisa saling kunjung-mengunjungi pulau dengan teman-teman!” 

“Kamu hari ini benar-benar merepotkan!”  

Sudah cukup kata Yang Mulia sambil bangkit dari tempat duduk. 

“Yang Mulia! Hari ini mari kita lakukan hal lain!”

Aku memegang pundaknya, mencegah beliau pergi mencari Cawan Suci. 

“Lalu, mau ngapain?”

“Kita pergi ke toko hewan peliharaan.”

“Kenapa?”

“Untuk pendidikan emosional Yang Mulia, sudah jelas alasannya!” 

Dengan ekspresi malas, Yang Mulia akhirnya kubawa secara paksa ke toko hewan.

Aku menunjuk seekor anak anjing jenis Bernese Mountain Dog dan berkata pada pegawainya, “Saya ambil yang ini.” 

Pembayaran dilakukan dengan kartu kredit.

“Hei, itu kan kartuku!”

“Yang Mulia, peliharalah anak ini dengan baik.” 

Aku menyodorkan anak anjing itu ke pelukan Yang Mulia. 

“Namanya adalah Life is Beautiful.”

“...”

Yang Mulia kemudian memberinya nama Johann III dan membawanya pulang ke Toko Inggris.

Sepertinya Yang Mulia cukup menyukai Johann, karena sering menggendong dan membelainya. 

Aku yakin, ketika Yohan tumbuh besar nanti, Yang Mulia akan belajar menghargai kehidupan. 

Sejak saat itu, aku terus menjalankan Proyek Menyentuh Hati Yang Mulia.

Setiap hari kuputarkan musik fusion yang menenangkan jiwa, dan menjauhkan makanan pedas yang bisa menimbulkan gairah berlebihan dari menu makan.

Sebagai bagian dari pikiran yang tenang, aku memasukkan meditasi ke dalam rutinitas harian kami.

Jika Yang Mulia menginginkan camilan, aku memberinya cokelat GABA yang dikabarkan dapat mengurangi stres. 

Tentu saja, film mafia dan game FPS juga masuk daftar larangan. 

Setelah sekitar seminggu menjalani ini semua... 

“Aku bosan setengah mati!” Yang Mulia akhirnya meledak. 

“Aku mau makan masakan Cina yang pedas penuh cabai! Aku muak dengan makanan hambar!”

Beliau mengenakan sepatu dan hendak pergi. 

“Tidak boleh! Capsaicin bisa memicu gairah dan emosi!” 

“Ini untuk jalan-jalan Johann,” kata Yang Mulia sambil melemparkan tali anjing ke arahku. 

“Eh, tunggu!”

Yang Mulia tidak mengindahkan laranganku dan keluar. Aku terpaksa membawa Johann dan mengejarnya. Aku mulai merasa ini bisa menjadi masalah. 

Karena hari ini, Pasukan Malaikat sedang menyebar di seluruh kota.

Bukan untuk mencari Cawan Suci. 

Tapi untuk memburu Immortal yang telah membunuh anggota mereka. 

Dengan kata lain, mereka sedang memburu Yang Mulia.


* * *


Sudah beberapa hari ini, aku berusaha keras seperti seorang ibu pendidik, ingin menjadikan Yang Mulia sebagai Immortal yang penuh nilai kemanusiaan. Tapi ternyata, itu memang sulit. 

Yang Mulia seperti kucing yang hidupnya bebas, sering pergi diam-diam tanpa sepengetahuanku. Kadang saat pulang, kemeja putihnya berlumur darah. 

Tentu, bisa jadi itu darah miliknya sendiri. 

Sebagai Immortal yang telah hidup lama, Yang Mulia memiliki kebiasaan aneh, dia senang mati dengan santai sebagai semacam lelucon khas. Karena tidak takut pada kematian, beliau kadang berdiri di pinggir trotoar yang ramai dilalui truk dan membiarkan wajahnya tertabrak, atau mudah terdorong jatuh di peron kereta saat bertubrukan dengan orang lain. Lalu ia akan mengeluh karena bajunya kotor oleh darah sendiri, atau karena Jepang terlalu padat penduduk. 

Tapi darah yang sekarang ini, pasti berasal dari orang lain. 

Sebab setiap kali pakaian Yang Mulia ternoda darah, anggota Pasukan Malaikat selalu ada yang terluka atau tewas. 

Dan hari ini, akhirnya diputuskan bahwa Yang Mulia adalah pelakunya, dan ia harus diburu dan dibinasakan. 

Bagaimana aku tahu? Karena Kapten Shirakawa sendiri yang memberitahuku. 

“Aku ingin kamu membawa dia ke alun-alun depan Museum Kota Yomizaka.” 

Kemarin, saat aku sedang belanja di supermarket, Kapten Shirakawa mendatangiku. 

“Apa yang akan kamu lakukan jika aku memberitahu ini pada Yang Mulia?” 

“Kamu tidak akan melakukan itu. Aku tahu.” 

Tanpa berkata-kata, aku menunjukkan ponselku pada Kapten Shirakawa. 

“Lihat ini. Foto Yang Mulia memeluk anak anjing sambil menonton film bertema kemanusiaan.” 

“Wajahnya sampai melotot saking bosannya.” 

“Buatlah pilihan yang tepat,” katanya lalu pergi. 

Dan hari ini...

Yang Mulia sedang berjalan menuju arah museum kota, katanya ingin makan masakan Sichuan. Aku mengikuti dari belakang sambil menuntun si anjing, Johann III, yang entah mirip siapa, terus menjulurkan lidah dan membuat wajah bodoh yang lucu. 

Kalau begini terus, Yang Mulia akan benar-benar dibunuh oleh Pasukan Malaikat. 

Saat aku masih berpikir apa yang harus kulakukan, Yang Mulia tiba-tiba berkata ingin topi, lalu masuk ke toko jahit milik Lavi. Aku menunggu di luar bersama Johann. 

Sedikit saja, waktu penentuanku tertunda. 

“Aku ini nggak pintar-pintar amat, tapi kurasa kurikulum nasional dan pendidikan moral sudah cukup tertanam di kepalaku,” kataku sambil menarik pipi Johann. 

“Menurutmu, Yang Mulia itu orang jahat nggak sih?” 

“Guk!” 

“Tapi manusia juga, kalau soal iblis, langsung dihajar habis-habisan, kan? Bukankah itu sama saja?” 

“Guk!” 

“Jadi sepertinya ini bukan soal baik atau buruk.” 

“Guk.” 

“Ujung-ujungnya, semua tergantung aku mau melakukan apa.” 

“Guk.” 

“Kamu bener-bener cuma bisa bilang ‘guk’, ya. Ayo dong, lebih usaha dikit.”

“!”

“Kamu barusan ngomong!? Gila, keren banget!” 

Saat kami bercanda begitu, Yang Mulia keluar dari toko jahit. Karena tidak mengenakan topi, tampaknya tidak ada yang cocok. 

Tanpa berkata apa pun, beliau kembali melangkah. 

Semakin dekat ke alun-alun kota Yomizaka, jumlah orang di sekitar pun makin menipis. Tapi Yang Mulia tidak memperdulikannya sama sekali. 

Aku berpikir. 

Yang Mulia itu Immortal, bukan manusia. Bahkan belum genap setahun sejak kami bertemu. Ia juga tak pernah menceritakan apa pun tentang dirinya padaku. 

Kalau dipikir-pikir, hubungan kami masih terlalu singkat. Tak ada ikatan darah, tak ada persahabatan masa kecil, kami seperti dua orang yang kebetulan berteduh di atap toko yang sama saat hujan. 

Aku yakin, kalau aku hilang, Yang Mulia takkan menangis. 

Dan mungkin, kalau Yang Mulia hilang, aku juga tidak akan menangis. 

Bahkan mungkin akan aneh kalau aku jadi melankolis sekarang. 

Aku tidak boleh membela Immortal yang menembak manusia tanpa ragu. 

Maka dari itu...

“Yang Mulia,” kataku.

“Untuk hari ini, kita batal makan masakan Sichuan. Aku lagi pengin makan makanan Italia. Kalau Yang Mulia mau yang pedas, ya makan aja peperoncino.” 

Yang Mulia menoleh, menatapku dengan sedikit kesal. Tapi lalu beliau berkata “baiklah” dan berbalik arah, meninggalkan alun-alun. 

Ya, aku tidak punya niat khusus. Aku cuma ingin makan pizza keju sepuasnya, bikin gula darah naik, terus pingsan bahagia. 

Tapi ketika kami berdua berjalan menuju restoran Italia dan melewati depan stasiun, “Sudah kuduga kamu akan memilih itu, Madarame.” 

Suara Kapten Shirakawa terdengar dari kejauhan. 

Aku menoleh dan melihatnya berdiri di atas menara jam dari bata merah yang berdiri di sebelah stasiun Kota Yomizaka. 

Ia memegang sebuah tombak. Tombak yang lebih panjang dari tinggi tubuhnya sendiri. Tombak itu terasa asing. Biasanya Kapten Shirakawa memakai pedang. Hanya dengan memegang tombak saja sudah terasa aneh. Apalagi, tombak itu seperti tak menyatu dengan dunia di sekitarnya. 

Kapten Shirakawa mengangkat tombak itu tinggi-tinggi, lalu melemparkannya. 

Udara pun bergetar. 

Dalam sekejap, tombak itu menembus punggung Yang Mulia yang sedang membelakang, dan menghujam tanah. Tanah membentuk kawah yang terlambat muncul, dan aku serta Johann terpental ke belakang. 

Saat aku mendongak, kulihat Yang Mulia tertusuk tombak, kepalanya tertunduk lemas, dan berlutut hingga setengah tubuhnya menyentuh tanah. Itu adalah kali pertama aku melihat Yang Mulia dalam kondisi seperti itu. 

Tombak yang menancap itu sangat panjang, penuh karat, dan memancarkan aura sial yang membuat perutku terasa tidak nyaman. 

“Itu tombak pinjaman dari Vatikan,” ujar Kapten Shirakawa.

Ia melompat dari menara dan mendarat ringan di tanah, lalu berjalan mendekat. 

“Itulah tombak yang dahulu menembus tubuh Yang Mulia di Bukit Golgotha. Bahkan kamu pun, pasti tak bisa bergerak di hadapan senjata ini.” 

Kapten Shirakawa mendekat ke Yang Mulia yang masih lemas dan mendekatkan wajahnya. 

“Dalam kehidupan panjangmu, kamu pasti pernah bertemu dengan orang itu, bukan?” 

Dan saat itu, Kapten Shirakawa menyebutkan identitas sejati Yang Mulia. 

“Lucifer, sang malaikat jatuh.”


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close