NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Guuzen Tasuketa Bishoujo ga Naze ka Ore ni Natsuite Shimatta ken ni Tsuite Volume 1 Chapter 6

 Penerjemah: Miru-chan

Proffreader: Miru-chan


Episode 6

Memaksakan Jalanku


Berkat "investasi peralatan" yang diawasi oleh Mikami-san—atau lebih tepatnya, aktivitas invasi—suasana rumahku berubah total.

Tapi, yah… perubahan itu hanya meningkatkan kenyamanan, jadi tidak ada masalah. Atau mungkin ada satu masalah… yaitu kenyamanan itu terlalu cocok untuk Mikami-san.


"Mikami-san, sudah lewat jam delapan. Sebaiknya kamu pulang, kan?"


"…Masih aman."


"Tetap saja… Walaupun cuma naik ke lantai atas, kalau pulang terlalu malam, orang tuamu bakal khawatir, kan?"


"Tidak masalah. Aku sudah minta izin."


Begitulah, begitu aku membiarkan Mikami-san masuk rumah, dia jadi sulit untuk disuruh pulang.


Memang, karena dia hanya perlu naik ke lantai atas, tidak ada risiko berjalan di jalanan malam yang berbahaya. Tapi, bagaimanapun juga, kami ini remaja SMA. Berduaan hingga larut malam rasanya kurang pantas.


Mikami-san, yang sudah sangat rileks, terutama semakin enggan pulang saat keesokan harinya adalah hari libur, seperti Jumat atau Sabtu.


"Ehehe… Ini rumahku. Nyaman sekali."


Akhirnya, dia bahkan mengklaim tempat ini sebagai rumahnya sendiri.

Mikami-san dengan santainya meregangkan tubuh di sofa, berguling-guling dengan postur yang sama sekali tidak waspada. Seragamnya tersingkap di sana-sini, perutnya terlihat… Setidaknya punya sedikit rasa malu, dong.


"Kirishima-san… kamu tidak suka bersamaku?"


"Bukan begitu. Kalau aku tidak suka, aku tidak akan mengizinkanmu masuk sejak awal."


Sambil memeluk bantal, Mikami-san menatapku dari posisi tidurnya.

Tatapan matanya yang tampak gelisah membuatku merasa seperti sedang melakukan sesuatu yang buruk.


Bukan karena aku tidak suka atau ingin mengusirnya.


Hanya saja, bagaimanapun juga, kami ini masih SMA. Berduaan hingga larut malam tetaplah sesuatu yang perlu dipertimbangkan. Aku senang karena Mikami-san merasa nyaman di ruangan yang dia tata sendiri, tapi tetap ada batas yang harus dijaga.


"Satu jam lagi."


"Tidak boleh."


"…Tiga jam lagi?"


"Tidak boleh."


"Aku akan pulang besok pagi, bagaimana?"


"Tetap tidak boleh."


"Kalau begitu… bagaimana kalau dua malam tiga hari?"


"Kamu sengaja pakai taktik reverse door-in-the-face, ya? Kalau mau nego, itu kebalikannya, tahu?"


Teknik door-in-the-face adalah strategi negosiasi di mana seseorang mengajukan permintaan yang pasti ditolak terlebih dahulu, lalu menurunkannya dengan permintaan yang lebih masuk akal agar lebih mudah disetujui.


Misalnya, kalau Mikami-san minta "tiga jam lagi" dan aku menolak, lalu dia menawar "satu jam lagi," mungkin aku akan tergoda untuk mengizinkannya.


Tapi… yang dia lakukan sekarang malah menaikkan tuntutannya terus-menerus. Ini sudah bukan negosiasi, tapi eskalasi sepihak.

Juga, jangan seenaknya mengajukan proposal menginap di rumah seorang cowok yang tinggal sendirian, dasar gadis SMA ini!


"Kalau begitu, aku akan mengaktifkan free time sekarang."


"Tolong jangan bawa-bawa sistem karaoke di sini. Rumahku bukan tempat rental waktu, tahu?"


"Kalau begitu, aku tambah delapan jam lagi."


"Kamu pikir ini ruang karaoke?"


"Ah, ngomong-ngomong soal itu, kita karaoke bareng yuk? Mau?"


"Kalau sudah selesai ujian, buat perayaan… Eh, tunggu! Bukan itu! Intinya, sekarang pulang dulu, ya? Toh, besok juga kamu bakal datang lagi, kan?"


"Kalau besok aku akan ke sini lagi, kenapa harus pulang dulu?"


"Karena harus!"


Mikami-san terus mengoceh tentang free time, perpanjangan waktu, dan lain sebagainya, seolah ini memang ruang karaoke. Bahkan dia menyelipkan ajakan karaoke dengan mulus… Itu sih aku tidak keberatan. Tapi masalahnya, gimana caranya aku bisa membujuk dia pulang?


"Mikami-san, kamu benar-benar tidak mau pulang?"


"Aku bisa pulang sebentar, ganti baju, lalu kembali lagi."


"Jangan!"


"Oh, jadi aku harus ganti baju di sini?"


"Bukan itu maksudku! Jangan buat kesimpulan aneh!"


Aku mulai takut dengan Mikami-san, karena aku tidak tahu apa lagi yang bakal dia lakukan. Seharusnya, perempuanlah yang lebih waspada dalam situasi ini, tapi entah kenapa, justru aku yang merasa dalam bahaya.


Dengan pipi menggembung, dia mencoba berbagai cara untuk membujukku agar mengizinkannya tetap tinggal. Biasanya, aku sudah akan menyerah. Tapi kali ini, aku tidak boleh menyerah. Ada batasan yang harus dijaga. Aku harus membuatnya mengerti… tapi dia terus menekanku.


"Baiklah, aku punya tawaran."


"…Silakan aku dengarkan."


"Kumohon, pulanglah. Tapi bukan yang 'pulang sebentar lalu balik lagi.' Aku ingin kamu benar-benar menghabiskan malam di rumahmu sendiri, lalu datang lagi besok."


"Besok itu maksudnya setelah pergantian hari, ya?"


"Bukan. Minimal setelah jam delapan pagi."


"…Negosiasi gagal."


"Kenapa langsung gagal?! Setidaknya dengarkan dulu penawaranku!"


Negosiasi gagal dalam waktu yang absurd. Bahkan isi penawaranku pun belum sempat dibahas. Tolong, ayo diskusi sedikit lagi. Aku yakin kita bisa mencapai kesepakatan.


"Mikami-san, memang sekarang kamu cukup bebas keluar malam, tapi kalau orang tuamu khawatir dan mulai menetapkan aturan ketat, misalnya jam malam yang lebih awal, bukankah itu akan merepotkanmu?"


"…Ugh, kamu menyerang titik lemahnya…"


Mikami-san memang super imut. Tapi bagaimanapun juga, dia masih anak SMA. Dari sudut pandang orang tuanya, dia tetap seorang anak yang perlu dijaga.


Sebelumnya, aku sudah beberapa kali bertanya apakah orang tuanya tidak khawatir, tapi jawaban yang selalu kudapat adalah, "Aku sudah mendapat izin." Namun, meskipun dia diizinkan, bukan berarti dia bisa pulang larut malam tanpa batas. Apalagi kalau sampai pulang pagi—itu benar-benar tidak bisa diterima.


"Baiklah, aku mengerti. Memang itu bukan sesuatu yang kuinginkan juga. Lalu... apa yang dimaksud dengan transaksi dari Kirishima-san?"


"Untuk sementara... bagaimana kalau aku memberimu satu 'hutang budi'?"


"…Baiklah. Itu tawaran yang sangat menarik."


Aku tidak tahu kenapa aku yang malah jadi berhutang padanya, tapi untuk saat ini, tidak masalah. Meskipun rasanya ada yang tidak adil, tapi... ini sudah cukup.


"Jadi, negosiasi ini...?"


"Disepakati. Untuk hari ini, aku akan pulang."


Syukurlah. Kalau dia masih terus ngotot, aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana lagi. Saat aku melihat Mikami-san akhirnya mulai bersiap untuk pulang, aku merasa sangat lega.


Aku pun pergi ke pintu masuk untuk mengantarnya.


"Sampai jumpa besok. Baiklah, aku berangkat."


"Oh, hati-hati di jalan...?"


Ada sesuatu yang terasa aneh dari kata-kata perpisahan itu... tapi aku terlalu malas untuk memikirkannya lebih jauh.


Kalau besok dia datang lagi, mungkin aku harus menyambutnya dengan kata "selamat datang kembali."



Keesokan paginya.


Meskipun hari ini adalah hari libur dan tidak ada sekolah, aku sudah terbiasa bangun pagi.


Sebenarnya, aku ingin tidur sampai siang setidaknya di hari libur, tapi berkat Mikami-san, aku jadi tetap menjalani gaya hidup yang cukup sehat.


Ketika aku melihat jam meja di atas meja, waktu sudah menunjukkan pukul 07:50. Seperti sedang bersiap untuk pergi ke sekolah, meskipun sedikit lebih santai. Sambil menggigit roti panggang dengan selai sebagai sarapan pagi yang agak terlambat, aku merebus air untuk menyeduh kopi.


Cangkirnya... dua.


Kalau aku menyeduhnya lebih awal, maka saat Mikami-san datang, suhunya akan pas untuk diminum.


Sebenarnya, kami sudah berjanji bahwa dia akan datang setelah pukul 08:00, tapi... ini Mikami-san yang kita bicarakan. Aku yakin dia sudah ada di sana. Aku bisa dengan mudah membayangkan dia berdiri di depan pintu apartemenku, jarinya siap menekan bel, hanya menunggu angka di jam berubah.


"Yup... ternyata benar."


Karena penasaran, aku menyalakan monitor interkom—dan benar saja, di sana ada Mikami-san. Mungkin karena ini bagian dari kesepakatan, dia dengan patuh menunggu waktu yang tepat sebelum menekan bel. Itu cukup terpuji...


Tapi tetap saja, berdiri di depan pintu apartemen orang sambil melihat ke sekeliling seperti itu—jujur saja, dia terlihat mencurigakan.


...Yah, mau bagaimana lagi. Aku akan 'mengumpulkan' dia sekarang.


"Oy."


"Uwah! K-Kirishima-san? Jangan mengejutkanku seperti itu..."


"Yang salah itu kamu. Berdiri gelisah di depan pintu apartemen orang itu kelihatan mencurigakan."


"Kasar sekali. Aku hanya merasa sedikit gelisah, itu saja."


Aku membuka pintu masuk dan menyambut Mikami-san. Saat pintu tiba-tiba terbuka, dia bereaksi berlebihan. "Uwah," katanya—lucu sekali.


"Berdiri di sana pasti melelahkan, kan? Masuklah."


"Masih ada beberapa menit sebelum pukul 08:00. Apakah ini benar-benar tidak masalah?"


Dia ini aneh sekali. Biasanya dia tidak pernah mendengarkan apa yang orang lain katakan, tapi dalam hal seperti ini, dia justru patuh?


"Oh, kalau begitu tidak boleh. Kita bertemu lagi beberapa menit lagi, ya?"


"...Eh? Ehh?"


Hanya untuk menggodanya, aku menutup pintu. Ekspresi bingungnya menghilang seiring dengan suara "klik" dari pintu yang tertutup, tapi segera setelah itu, terdengar suara ketukan berulang kali.


"Ada apa? Bukankah kamu tadi bilang tidak mau masuk?"


"…Aku tidak bilang begitu."


"Baiklah, kalau begitu boleh masuk... Eh, tunggu, kenapa kamu memegang tanganku?"


Saat aku mengundangnya masuk dan hendak kembali ke dalam, Mikami-san tiba-tiba menggenggam tanganku erat-erat dan menariknya.


Aku pikir dia akan mengajukan permintaan lagi, tapi dia tetap diam.

Namun, ketika aku mencoba menarik tanganku, dia justru semakin mengeratkan genggamannya.


Apa ini? Apa yang sebenarnya dia inginkan dariku?


"Hint."


"Aku pikir Kirishima-san punya sesuatu yang ingin dikatakan padaku."


"Sesuatu yang harus kukatakan? ...Selamat pagi?"


"Ya, selamat pagi."


Ini hanya buang-buang waktu. Aku sudah terbiasa tidak mengerti apa yang dipikirkan Mikami-san.


Saat seperti ini, aku tahu kalau aku tidak akan menemukan jawabannya, dan hanya akan terjebak dalam kebingungan.

Jadi, lebih baik aku menyerah dan meminta petunjuk. Petunjuknya adalah "sesuatu yang harus kukatakan." Dengan kata lain, ini adalah permainan menebak kata yang ingin dia dengar.


Karena ini pagi hari, aku coba memberi salam pagi. Mikami-san tersenyum dan membalas salamku, tapi... dia tetap tidak melepaskan tanganku. Berarti itu bukan jawabannya.


"Umm... selamat datang?"


"Ya, permisi."


"Uh... kamu potong rambut?"


"Tidak."


"…Kamu terlihat cantik hari ini."


"Ueh!? T-Terima kasih...?"


Hmm... sepertinya bukan itu jawabannya. Oh, dan yang terakhir tadi itu memang dari hatiku. Tangannya sempat sedikit mengendur, tapi dia segera menggenggamnya kembali. Jadi, itu bukan jawaban yang benar.


Tapi sepertinya itu berpengaruh padanya, karena dia sedikit gugup.

Aku menatapnya dalam-dalam sambil mencoba mencari jawabannya.


Kenapa Mikami-san tidak mau melepaskanku? Apa yang dia inginkan?

Tempat ini... di depan pintu. Jadi, mungkin kata yang harus kuucapkan adalah sesuatu yang berkaitan dengan tempat ini.


Ah.


"Selamat jalan."


"Selamat tinggal...?"


Kemarin, saat dia pulang, dia mengucapkan itu. Jadi, mungkin saja...


"Selamat datang...?"


"Ya, aku pulang."


Sepertinya itu jawaban yang benar. Setelah akhirnya melepaskan tanganku yang sejak tadi tak mau dilepaskannya, Mikami-san tampak sangat puas.


Selamat datang... ya? Ini rumahku, lho. Apa ini dianggap sebagai tempat pulang baginya? Yah, terserah. Sebenarnya sih, bukan sesuatu yang bisa dibiarkan begitu saja, tapi sudahlah.


Mikami-san yang sudah ‘diundang’, atau lebih tepatnya ‘pulang’, langsung melompat ke sofa yang dipenuhi bantal. Dengan memeluk salah satu bantal dan membenamkan tubuhnya, dia masuk ke mode santai dalam sekejap.


"Jadi, hari ini mau ngapain?"


"Kita belajar di pagi hari. Kirishima-san juga sudah berencana begitu, kan?"


"Ya, kalau sampai kalah dari Mikami-san, pasti bakal jadi masalah besar. Aku harus bersiap-siap dengan benar."


"Sebenarnya, berkat transaksi kemarin, aku sudah mendapatkan satu keuntungan, jadi aku tidak perlu terlalu peduli soal menang atau kalah di ujian ini... tapi aku juga tidak berniat mengalah, lho?"


"Aku juga nggak meminta itu. Kalau nggak berjuang dengan kemampuanku sendiri, nggak ada artinya."


Ujian tengah semester ini memang jadi ajang pertarungan antara aku dan Mikami-san, tapi esensi dari ujian itu sendiri tetaplah untuk mengukur seberapa baik kita mengingat materi yang sudah dipelajari. Jujur saja, aku nggak mau kalah, tapi aku juga nggak serendah itu sampai harus meminta dia mengalah.


"Lagipula, menurutku Kirishima-san pasti bisa melaluinya tanpa masalah. Dari cara belajarmu selama ini, aku yakin semua mata pelajaran bakal dapat nilai tinggi."


"Ya, makasih. Itu semua berkat Mikami-san yang ngajarin aku dengan baik."


Sejak mulai belajar bersama setelah sekolah dan di akhir pekan, aku jadi makin sadar betapa pintarnya anak ini. Aku juga mendapat manfaat dari itu, tapi kalau soal pertarungan nilai, ini pasti bakal jadi pertempuran yang sengit.


"Aku mulai duluan, ya."


"Oke, aku bakal nyusul setelah lima menit lagi memeluk bantal ini."


"Jangan ketiduran, ya?"


"Setelah kamu bilang begitu, aku malah jadi ngantuk. Kirishima-san, boleh aku tidur di pangkuanmu?"


"......Ada banyak bantal empuk di sana, pakai itu aja."


"Aku nggak dengar apa-apa."


"Hei."


"Ayolah, ini bukan sesuatu yang bakal berkurang, kan?"


"Jelas berkurang. Terutama sesuatu di dalam mental aku."


"Baiklah, kalau begitu aku pakai satu keuntungan dari transaksi kemarin."


Hah, dia mulai ngomong aneh lagi... Sampai segitunya mau tidur di pangkuanku? Paha cowok itu keras, lho. Pasti lebih nyaman tidur di bantal.


Tapi Mikami-san terus saja merengek tanpa henti. Kalau dengan ini aku bisa menghapus satu utang, mungkin nggak ada ruginya juga.


Aku meletakkan pena dan mengambil buku kosakata bahasa Inggris, lalu berjalan menuju sofa. Mikami-san sudah siap dengan kepalanya yang diangkat, menunggu dengan sabar.


Sampai segitunya dia ingin tidur di pangkuanku? Benar-benar nggak masuk akal.


"Nih, silakan."


"Permisi."


Kepalanya pun mendarat di pahaku, atau lebih tepatnya di pahaku bagian atas.


Aku berpura-pura tidak menyadari kehangatan yang samar-samar terasa, lalu membuka buku kosakata di depan wajahnya untuk menghalangi pandangannya—tapi dengan cepat dia merebutnya dariku. Kemudian, tanganku yang kosong ditangkap olehnya dan diarahkan ke atas kepalanya.


Dan... dia mulai menggerakkan tanganku, seakan menyuruhku mengusap kepalanya.


"Kirishima-san, tanganmu besar, ya... Begini saja... terus usap kepalaku..."


Dengan suara lembutnya, Mikami-san memejamkan mata. Tak lama, napasnya berubah tenang dan teratur—dia sudah tertidur. Aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi.


Terlalu ceroboh. Aku ingin membangunkannya dan menegurnya sekarang juga, tapi begitu melihat wajahnya yang tertidur dengan damai, niat itu pun lenyap begitu saja.


Buku kosakata sudah direbut, dan aku juga nggak bisa pergi mengambil yang lain. Dengan tanganku yang kosong, aku akhirnya pasrah dan mengikuti permintaannya.


"Anggap ini sebagai layanan spesial, ya."


Menyentuh seorang gadis yang sedang tidur rasanya seperti sesuatu yang tidak boleh dilakukan, tapi ini adalah permintaan Mikami-san, jadi tidak ada pilihan lain.


Dengan begitu, aku terus mengusap kepalanya dalam ritme yang konstan, sambil membenarkan tindakanku sendiri dalam hati. Namun... ini benar-benar harga yang mahal. Aku baru menyadari kalau tidak boleh sampai berhutang pada Mikami-san.


Tak lama kemudian, aku mulai merasakan tanda-tanda kaki kesemutan, jadi aku dengan hati-hati mengalihkan kepala Mikami-san ke bantal yang empuk, lalu meloloskan diri.


Setelah merebut kembali buku kosakata yang tadi disita, aku menyelimutinya dengan selimut tipis. Kekhawatiranku satu-satunya adalah kalau dia tiba-tiba bangun dan marah karena aku kabur. Tapi dia masih tertidur nyenyak.


(Hah... dia bahkan sampai datang ke rumahku meskipun jelas-jelas mengantuk...)


Aku berjalan ke dapur dengan langkah ringan, berusaha tidak menimbulkan suara. Tiba-tiba, aku menyadari betapa hausnya aku akibat ketegangan tadi.


(Aduh... aku juga mulai kehilangan rasa batasan. Mana ada cowok dan cewek yang tidak berpacaran tapi melakukan hal seperti ini...)


Sambil meneguk air dengan rakus, aku merenungkan kembali betapa absurdnya tindakanku tadi.


Tidur di pangkuan, mengusap kepala... Apa-apaan itu. Saat mulai berpikir dengan kepala dingin, wajahku langsung memanas. Selama ini aku selalu berpikir kalau Mikami-san punya masalah dalam memahami batasan, tapi ternyata aku sendiri juga mulai kehilangan batas itu.


Sejak kapan? Dari mana semuanya mulai berubah...? Tidak perlu berpikir keras untuk tahu jawabannya.


Sejak hari aku bertemu Mikami-san, semuanya mulai berubah.


Awalnya, aku hanya mengizinkannya untuk menghabiskan waktu di jam istirahat siang. Tapi, entah bagaimana, itu berkembang menjadi setelah sekolah, pagi hari, dan bahkan hari libur.


Saat mengingatnya kembali, semuanya terasa terjadi dalam sekejap. Begitu aku lengah, dia sudah merayap masuk ke dalam kehidupanku. Dan sebelum aku menyadarinya, keadaan seperti ini sudah menjadi sesuatu yang biasa.


Sungguh, seorang penyendiri sejati macam aku terdengar sangat konyol.


Entah kenapa, aku malah membiarkan gadis super cantik yang sudah begitu akrab denganku ini menyerbu kehidupanku sesuka hatinya. Ya, aku membiarkannya. Itu karena aku merasa nyaman menghabiskan waktu bersama Mikami-san, dan aku menilai tidak ada alasan untuk menolak pendekatan agresifnya.


… Yah, atau mungkin juga karena aku sudah menyerah, menyadari bahwa menolaknya pun tak ada gunanya.


(Kalau dipikir-pikir… kami melakukan hal-hal yang biasanya lebih dari sekadar teman, ya.)


Makan bersama di sekolah, berangkat dan pulang bersama, mampir dan bermain setelah jam sekolah. Jika hanya sebatas itu, masih bisa dibilang dalam batas pertemanan, meski semuanya dilakukan berdua saja.


Tapi, pergi kencan, menyuruhku mengelus kepalanya, bahkan mencoba menginap… Mikami-san dengan santainya melampaui batas itu.

Bahkan dia menganggap wajar menghabiskan waktu dari pagi hingga malam di rumahku yang kutinggali sendirian.


Saking alaminya, aku sama sekali tidak merasa aneh. Tapi jika kupikirkan lagi, ini memang tidak masuk akal.


(Apa yang sebenarnya dipikirkan Mikami-san?)


Begitu rasa hausku sedikit mereda, aku mendekati sofa tempat Mikami-san tertidur lelap. Aku duduk di lantai dan menatap wajah tidurnya yang polos.


Ini juga termasuk hal yang aneh. Seorang gadis yang tertidur begitu saja di rumah seorang pria tanpa rasa waspada… kalau dipikirkan, itu hal yang mustahil. Tapi kalau memang ini berarti Mikami-san merasa tempat ini—merasa aku—cukup aman hingga dia bisa tidur dengan tenang, maka tidak ada yang lebih membanggakan bagiku selain itu.

Yah, atau mungkin sesederhana dia tidak menganggapku sebagai seorang pria…


Jarak di antara kami… ya.


Mungkin sudah terlambat menyadari bahwa itu sudah berubah.

Aku sudah membiarkan Mikami-san masuk ke dalam hatiku, dan sekarang sudah tidak mungkin untuk menjauhinya. Dia selalu mendekat dengan agresif.


Kalau aku mencoba menjaga jarak, dia justru akan semakin mendekat.

Singkatnya… aku tidak punya jalan untuk melarikan diri. Begitulah rasanya.


Bahkan, rumah ini sudah disesuaikan agar Mikami-san bisa merasa nyaman di dalamnya. Dengan segala fasilitas yang dia berikan, mana mungkin aku bisa mengatakan, "Jangan datang lagi"? Oh, dan aku juga tahu bahwa akhir-akhir ini Mikami-san sering melihat katalog tempat tidur.


Mungkin tidak lama lagi dia akan mulai menginap di sini secara rutin… Aku akan mencoba menghentikannya, tapi kemungkinan besar aku akan kalah.


Kesimpulannya, aku tidak bisa lepas dari sang penyerbu. Bagaimanapun juga, Mikami-san tidak akan berhenti. Tapi, tindakannya selalu mengikuti kata hatinya. Dia melakukan semua itu karena menginginkannya. Selama aku memahami itu, pada akhirnya, yang perlu kulakukan hanyalah menyerah.


Jadi… buatlah aku tak menyadari keanehan ini. Gunakan cara khasmu untuk menginvasi, buat pikiranku kacau, dan hilangkan keraguanku.

Selama Mikami-san terus memaksakan jarak yang aneh ini, aku juga bisa tetap seperti ini.


Sekali terlanjur masuk, tak ada jalan keluar. Jika aku tetap berinteraksi dengan Mikami-san seperti biasa… itu mungkin yang terbaik.


"Mikami-san… kau memang sengaja mendekat padaku, kan?"


Mikami-san sering melakukan hal-hal yang membuatku salah paham.

Aku jadi… hampir saja berharap terlalu jauh.


"Tapi… hubungan kita tetap seperti ini, kan?"


Hubungan yang sulit didefinisikan ini, sekarang terasa begitu nyaman.

Mungkin itulah kenapa aku takut menghancurkannya.


Bagi seorang penyendiri yang gagal melakukan debut di SMA, dia adalah satu-satunya teman pertamaku. Satu-satunya teman yang juga merupakan seorang penyerbu yang mengancam seluruh duniaku.

Hubungan ini terlalu aneh untuk disebut pertemanan, tapi… untuk saat ini, biarlah tetap seperti ini.


Tidak perlu terburu-buru.


Aku meyakinkan diriku sendiri, lalu dengan tangan yang sedikit gemetar, aku perlahan mengusap pipi Mikami-san. Ketika aku melirik jam, ternyata waktu sudah melewati pukul dua belas. Mikami-san yang datang pukul delapan pagi masih tertidur, dan karena dia terlihat sangat nyenyak, aku mulai khawatir apakah dia benar-benar tidur dengan baik di rumahnya.


Tapi, sudah siang rupanya.


Meskipun aku sudah mencoba belajar, pikiranku terus dipenuhi oleh Mikami-san, membuatku kehilangan fokus. Begitu aku sadar, waktu terus berlalu tanpa hasil belajar yang berarti, tapi entah kenapa aku merasa sangat lelah.


Rasanya tidak ada gunanya melanjutkan belajar dalam keadaan ini, jadi aku berdiri untuk meregangkan tubuh dan mengambil jeda.


Saat itu, terdengar suara kain jatuh ke lantai. Selimut yang kukenakan pada Mikami-san terjatuh. Dia perlahan bangun dan duduk di sofa, masih dengan ekspresi linglung yang sedikit malas.

Aku mendekat, menyerahkan segelas teh dingin, lalu menyapanya.


"Kau sudah bangun? Tidurmu nyenyak sekali."


"Selamat pagi… Sekarang jam berapa?"


"Baru saja lewat tengah hari. Kau sudah merasa segar?"


"… Aku tidur selama itu…?"


Mikami-san melihat jam dan langsung berdiri dengan ekspresi tak percaya. Dia terlihat cukup panik. Apa yang sebenarnya dia pikirkan?


"Waktunya sia-sia… Kenapa kau tidak membangunkanku?"

"Yah… kau terlihat tidur nyenyak. Aku pikir kau pasti sangat lelah kalau sampai tertidur dari pagi, jadi aku tidak tega membangunkanmu."


"Gununu… Ini tidak terduga. Padahal aku sudah tidur lebih awal tadi malam…"


Yah, kadang ada hari-hari seperti itu. Hari di mana kita merasa mengantuk terus meskipun tidak merasa lelah.


Kalau itu hari sekolah, mungkin dia akan memaksakan diri, tapi karena ini hari libur, tidak ada salahnya memanjakan diri dengan tidur lebih lama.


Lagipula, Mikami-san sepertinya tidak perlu khawatir dengan ujian, jadi sedikit bersantai tidak akan jadi masalah.… Jujur saja, karena aku sendiri juga kesulitan berkonsentrasi belajar, aku tidak keberatan kalau dia tidur sedikit lebih lama.


"Aku harus menyiapkan makan siang… Kya!?"


Saat hendak menuju dapur, Mikami-san menginjak selimut yang tadi jatuh ke lantai. Akibatnya, ia kehilangan keseimbangan dan terjatuh ke arahku.


"Kau baik-baik saja?"


"Ya, terima kasih sudah menangkapku."


"Tidak masalah, tapi... kalau kau baik-baik saja, tolong lepaskan."


"Tak perlu repot-repot."


Justru aku merasa ini situasi yang harus diperhatikan...!? Aku sudah menangkapnya dan membantunya berdiri, tapi entah kenapa dia malah makin menempel padaku. Apa dia masih setengah sadar?


"Eh-hehe... hangat sekali."


Ah, sial. Baru saja aku kepikiran tentang Mikami-san terus-menerus, jadi rasanya suhu tubuhku mendadak naik. Hal-hal yang biasanya berusaha aku kesampingkan kini menyerang tanpa ampun. Dia lembut, wangi, dan aku mulai merasa pusing. Tolong jangan menggesekkan kepalamu padaku. Ini bisa berakhir fatal.


"...Kirishima-san, kau tidak merasa panas?"


"Hah...?"


Wajah Mikami-san, yang semula bersandar di dadaku, kini bergerak sedikit, dan ia menatapku dengan sorot mata penasaran. Panas? Tentu saja! Siapa yang tidak akan kepanasan kalau diserang dengan serangan tanpa sadar seperti ini?


Jujur saja, Mikami-san itu sangat imut.


Apalagi saat ini, aku dalam kondisi di mana aku sangat menyadarinya. Aku tidak bisa mengalihkan pandangan dari setiap gerakan kecilnya. Saat dia menggeliat usai bangun tidur, garis tubuhnya terlihat jelas, dan cara bicaranya yang sedikit masih berantakan terdengar sangat manis. Rasanya aku sudah di ambang batas.


"Kau benar-benar panas... Wajahmu juga merah. Jangan-jangan kau demam?"


"Ti-tidak! Aku baik-baik saja! Jadi tolong menjauh!"


Tangannya menggenggam tanganku, dan aku bisa merasakan hawa dinginnya. Itu terasa nyaman, tapi di saat yang sama, tubuhku justru terasa makin panas.


"Ayo kita ukur suhu tubuhmu."


"Ah, termometer ada di sana... Eh, Mikami-san?"


"Jangan bergerak."


"Cuma ingin memastikan, tapi... kau mau ngapain?"


"Aku mau mengukur suhu tubuhmu. Kalau kau banyak bergerak, aku jadi sulit menyesuaikan..."


Mikami-san mulai mendekatiku dengan perlahan, wajahnya makin dekat. Dia tidak menjelaskan secara eksplisit, tapi dari gerak-geriknya, jelas dia ingin menempelkan dahinya ke dahiku.


Aku mundur satu langkah. Lalu satu langkah lagi. Tapi karena Mikami-san terus menggenggam tanganku, dia ikut maju. Aku terus mundur tanpa melihat ke belakang, sampai akhirnya kakiku tersangkut di sofa dan aku jatuh terlentang. 


Sofa tempat Mikami-san tidur tadi... Begitu menyadari itu, kepalaku makin pusing. Dan di saat aku lengah, Mikami-san tiba-tiba duduk di atas perutku. Dia terlalu fokus untuk mengunci dahi kami hingga tidak menyadari situasi aneh ini. Hei, kau perempuan, kan? Ini benar-benar bahaya.


"Aku tidak akan membiarkanmu kabur. Diamlah."


Aku tak bisa berbuat apa-apa. Wajah Mikami-san mendekat, hidung kami bersentuhan, dan akhirnya dahinya menempel ke dahiku. Meskipun dia hanya mencoba mengukur suhu tubuhku, cara paksa seperti ini benar-benar khas Mikami-san.



Setelah itu, aku pun "didiagnosis" mengalami demam dan langsung diseret ke kamar tidur.


Mikami-san bilang dia akan merawatku. Aku pun didorong ke tempat tidur dan disuruh istirahat dengan tenang. Sebenarnya aku tidak merasa sakit, tapi aku memang merasa sangat kelelahan.


Mungkin sekarang suhu tubuhku sudah kembali normal karena sudah menjauh dari Mikami-san, tapi jika aku bergerak, dia pasti akan langsung muncul lagi dan membuatku kembali kepanasan. Ini seperti lingkaran setan.


Saat ini, Mikami-san sedang membuat bubur.


Dia menyuruhku tetap istirahat sampai dia kembali, tapi jujur saja, hanya diam di tempat tidur seperti ini terasa membosankan. Tapi percuma juga kalau aku mencoba kabur. Aku pasti akan tertangkap lagi, jadi lebih baik aku diam dan menghemat energi.


Tak lama kemudian, Mikami-san kembali dengan nampan berisi panci tanah liat.


"Kirishima-san, kau merasa lapar?"


"Yah... lumayan."


"Syukurlah. Makanlah yang banyak agar cepat sembuh, ya."


Aku tahu dia benar-benar mengkhawatirkanku.


Aku tidak merasa sakit sama sekali, jadi rasanya agak bersalah dirawat begini... tapi mungkin ini kesempatan untuk sedikit manja. Aku mencoba duduk dan mengambil nampan itu, tapi tanganku langsung ditepis. Tunggu... aku punya firasat buruk tentang ini.


"Fuu, fuu... Oke, sekarang buka mulutmu. Aaah—"


"Ehh, tidak, tidak. Aku bisa makan sendiri."


"Aaah—"


"Tidak perlu repot-repot sampai seperti itu."


“Aann-“


“Uhm.....apakah ada ruang untuk negosiasi?”


“Aaann”


Baiklah, sepertinya menyerah adalah pilihan terbaik. Kalau sudah sampai seperti ini, tidak ada cara untuk menghentikan Mikami-san. Lebih baik aku pasrah dan membuka mulut.


"Baiklah, aann, Bagaimana rasanya?”


“......Enak”


“Begitu ya? Syukurlah, Masih ada lagi, nih. Fuu fuu~. Ayo, buka mulut."


Mikami-san sama sekali tidak berniat melepaskan sendok. Yang bisa kulakukan hanyalah menahan rasa malu dan membuka mulut setiap kali dia menyuapiku.


Pada akhirnya, sampai buburnya habis, aku terus disuapi oleh Mikami-san. Aku sempat beberapa kali mengatakan bahwa aku bisa makan sendiri, tetapi dia sama sekali tidak menggubrisnya. Sudah bisa ditebak, sih.


"Fwaaah... perutku kenyang dan sekarang aku jadi mengantuk."


"Tidurlah dengan tenang."


"…Baiklah, kalau begitu aku tidur dulu."


Entah karena bubur yang dimakan atau karena dipaksa masuk ke tempat tidur, tubuhku terasa hangat. Semua sudah siap untuk mengantarku ke alam mimpi. Kelopak mataku terasa berat dan perlahan mulai tertutup. Sosok Mikami-san mulai memudar dalam pandanganku.


"Selamat malam. Semoga mimpi indah."


Dengan suara lembut Mikami-san, aku pun terhanyut dalam kantuk.

Sesaat setelah itu… sepertinya selimutku bergerak, tapi mungkin cuma perasaanku saja.



Halo, selamat siang.


Aku, Mikami Hina, dalam situasi darurat sekarang.


Awalnya, aku hanya berniat masuk ke tempat tidur Kirishima-san sebentar, tidur di sampingnya sebentar, lalu segera keluar. Tapi sekarang aku malah terjebak dan tidak bisa lepas.


Sebagai catatan, kalau ada yang mau bilang bahwa ini sudah jauh dari sekadar "sebentar saja", aku tidak menerima kritik semacam itu. Tolong, ada yang bisa menolongku?


"Mmhh..."


Aku sepenuhnya dijadikan guling peluk sekarang. Tidak terlalu kencang sih, tapi kalau mencoba bergerak, lengannya malah semakin erat, jadi sulit untuk keluar.


Dan ini adalah ranjang Kirishima-san. Artinya, ini wilayahnya.

Dipeluk seperti ini saja sudah cukup berbahaya, tapi ditambah dengan tempat tidur dan selimutnya... Aku bisa bilang sekarang aku sepenuhnya terbungkus oleh Kirishima-san.


Setiap kali menarik napas, aroma Kirishima-san memenuhi hidungku, membuat tubuhku melemas. Ini adalah situasi yang memaksa untuk mengambil napas dalam-dalam. Baiklah, aku hirup... dan hirup lagi...


Ah, entah kenapa sekarang aku mulai berpikir tidak apa-apa tetap seperti ini. Dipeluk oleh Kirishima-san, dikelilingi oleh aromanya...

Mungkin mulai sekarang, aku akan menganggap tempat ini sebagai rumahku. Aku akan pulang ke sini, dan dia akan menyambutku dengan "selamat datang kembali".


(...Eh, enggak, enggak! Itu mustahil, kan!?)


Tidak, tetap saja tidak mungkin. Jantungku tidak akan tahan. Sekarang saja sudah berdegup kencang seperti mau meledak.

Aku terlalu gugup dan rasanya bisa gila kalau terus begini.


Kalau aku tidak segera melarikan diri, aku bakal mengering karena panas dan gugup ini. Demi mencegah Kirishima-san menjadi seorang pembunuh, aku harus mencari cara untuk kabur.


"Mmhh... kuat sekali, ya..."


Aku mencoba mendorong dadanya untuk melepaskan diri, tapi lengannya tidak bergerak sedikit pun. Kupikir dia itu tipe yang ramping, tapi ternyata tenaganya cukup kuat. Dada dan lengannya juga lebih berotot dari kelihatannya... Eh, tunggu! Ini bukan saatnya menganalisis!


Kalau aku terlena oleh kenyamanan ini, keinginanku untuk kabur akan semakin melemah. Ini seperti perangkap, kalau sudah masuk, tidak bisa keluar lagi. Sungguh licik, Kirishima-san...


Baiklah, cukup menyalahkan orang lain. Sekarang, apa yang harus kulakukan? Sejujurnya, akan lebih mudah kalau aku bisa tertidur saja, tapi aku sudah tidur siang tadi, jadi mataku masih segar.

Justru kalau aku menutup mata, aku malah semakin menyadari kehangatan tubuh dan aroma Kirishima-san... Ini seperti obat yang terlalu kuat. Berbahaya, meskipun legal.


"Eh, auhh..."


Saat aku masih berusaha melepaskan diri, tiba-tiba aku ditarik lebih erat ke dalam pelukannya. Sekarang, kami sepenuhnya menempel satu sama lain. Dia menggumamkan sesuatu seperti sedang mengigau, tapi aku tidak bisa memperhatikannya.


Dipeluk sekuat ini... Aku merasa kepalaku meleleh. Coba dia seagresif ini di situasi lain, pasti lebih bagus...


Tapi... sekarang aku benar-benar tidak siap... Seseorang... tolong selamatkan aku...



Sepertinya aku baru saja bermimpi indah. Aku tidak ingat mimpinya tentang apa, tapi rasanya cukup menyenangkan.


Jam... baru pukul dua siang, ya? Aku terbangun lebih cepat dari perkiraanku.


Mikami-san sepertinya benar-benar mengira aku sakit atau terkena demam...Sayangnya, aku sehat-sehat saja. Jadi, bisa dibilang ini cuma tidur siang yang pas banget, kan?


Yah, sebenarnya aku agak merasa bersalah tidur ketika ada tamu di rumah. Tapi Mikami-san tadi tidur jauh lebih lama, jadi tidak masalah kalau aku juga tidur sebentar.


"Mikami-san... tidak ada, ya?"


Meskipun dia bilang ingin merawatku, bukan berarti dia akan terus berada di sini. Lagi pula, aku tidak benar-benar sakit. Setelah tidur siang ini, aku malah merasa lebih segar.


Di atas meja, ada botol minuman isotonik yang mungkin disiapkan oleh Mikami-san. Aku mengambilnya dan meneguk beberapa teguk untuk melepas dahaga. Seperti yang diharapkan, perhatian terhadap orang sakit juga diterapkan di sini. Aku cukup terkesan.


"…Oh, kau sudah bangun?"


"Oh, ya, terima kasih."


Saat itu, Mikami-san kembali. Sepertinya dia membawakan handuk basah untukku… tapi suaranya terdengar sedikit serak.


"Kenapa suaramu terdengar aneh?"


"Eh?! T-tidak, tidak ada yang aneh, kok!"


"Begitu ya? Tapi wajahmu juga terlihat agak merah…"


"U-uhm… mungkin aku tertular sakit dari Kirishima-san."


Ada sesuatu yang aneh dengan Mikami-san. Wajahnya merah, suaranya juga berbeda. Saat aku menatapnya dengan khawatir, dia malah mengalihkan pandangannya. Matanya bergerak ke sana kemari dengan gelagat yang mencurigakan. Selain itu… bagaimana mungkin dia bisa tertular penyakit dariku? Memang benar saat itu tubuhku terasa panas, tapi aku tidak benar-benar sakit.


"…Sakit, ya?"


"…Ya, aku yakin ini pasti tertular dari Kirishima-san."


"…Benarkah?"


"Tentu saja!"


Saat aku menatapnya penuh curiga, Mikami-san semakin menunjukkan gerak-gerik mencurigakan. Dia seperti sedang mencari-cari alasan, dan itu makin jelas dari ekspresinya.


"Untuk sekarang, mau periksa suhu badanmu?"


"A-ah! Ti-tidak perlu, terima kasih!!"


Aku masih ragu soal dia benar-benar sakit atau tidak, tapi kalau memang iya, itu bisa berbahaya. Jadi aku berpikir untuk menyuruhnya mengukur suhu badannya. Namun, Mikami-san langsung panik dan buru-buru keluar dari kamarku.


Setelah itu, terdengar suara gaduh dan teriakan kecil dari luar. Begitu keadaan mulai tenang, terdengar suara dari kejauhan, "Permisi, ya! Kirishima-san juga jaga diri baik-baik!"


Aku juga mendengar suara dari arah pintu masuk, jadi sepertinya dia benar-benar pulang. Cukup bertenaga juga untuk seseorang yang mengaku sedang sakit.


"Baiklah… hm?"


Aku berpikir untuk tidur lagi dan menarik selimut, tapi saat itu, aku mencium aroma samar yang familier. Ini bukan bau tubuhku. Tapi aku mengenalnya… aroma yang harum. Bukan hanya itu. Saat aku mengangkat selimut, aku menemukan sehelai rambut panjang yang jelas bukan milikku.


"Mikami-san… kau benar-benar melakukannya, ya. Atau, sebenarnya akulah yang melakukannya…?"


Bukti-bukti yang ada, ekspresi paniknya sebelum pulang, dan mimpi menyenangkan yang samar-samar kuingat—


Semuanya tampaknya mulai tersambung dalam pikiranku.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

0

Post a Comment

close