NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Guuzen Tasuketa Bishoujo ga Naze ka Ore ni Natsuite Shimatta ken ni Tsuite Volume 1 Chapter 2

 Penerjemah: Miru-chan

Proffreader: Miru-chan


Chapter 2 

Hubungan yang belum berakhir


Dengan demikian, satu-satunya titik kontak tipis antara aku dan Mikami Hina menghilang setelah aku menerima ucapan terima kasih darinya. Seharusnya begitu, tapi───.


"Kenapa kamu ada di sini!?"


"Tiba-tiba berteriak seperti itu, ada apa? Lagipula, aku tidak mengerti maksud pertanyaanmu."


Entah kenapa, hari ini pun dia muncul di hadapanku.


Aku tidak mengerti.


Sudah berkali-kali kupikirkan bagaimana ini bisa terjadi, tapi tetap saja aku tidak menemukan jawabannya. Namun, Mikami-san tampak seolah keberadaannya di sini adalah sesuatu yang wajar, dan dia menatapku dengan penasaran saat aku masih kebingungan menghadapi situasi yang tidak terduga ini.


"…Uhm, Mikami-san, kenapa kamu ada di sini…?"


"Aneh sekali pertanyaanmu. Tentu saja untuk makan."


"…Ah, begitu."


Ini adalah tempat favoritku, tapi sepertinya dia juga menyukainya. Kalau begitu, aku harus merelakannya. Aku harus mencari tempat lain…


"…Kau mau pergi ke mana?"


"Hm? Ah, kalau sudah ada orang di sini lebih dulu, aku pikir aku harus mencari tempat lain."


"Kenapa tidak makan bersama di sini?"


"…Ah—"


Harus bagaimana?


Awalnya, tempat ini adalah tempat yang kutemukan agar bisa makan siang sendirian dengan tenang. Tapi, gara-gara aku menolong seseorang, sekarang ada orang lain yang duduk bersamaku setiap hari.


Menghabiskan waktu istirahat siang bersama Mikami-san jelas membuatku tidak bisa tenang. Lagipula, bagaimana bisa tenang jika ada gadis cantik yang duduk di sampingku?


Tapi, aku juga tidak merasa tidak suka.


Yang jelas, saat bersamanya, aku tidak merasa sesak seperti saat berada di dalam kelas.


"Jadi, bagaimana?"


"Ah… Baiklah."


Aku merasa seperti sedang dimainkan di telapak tangan Mikami-san yang terus menatapku dengan intens, tapi aku tidak punya tempat lain untuk pergi. Pada akhirnya, aku menyerah untuk meninggalkan tempat ini dan hanya bisa duduk di sampingnya.


"Kirishima-san, itu saja? Kalau hanya makan roti, asupan nutrisimu tidak seimbang. Kalau mau, silakan ambil lauk dari bekalku."


"Ah, tidak perlu. Rasanya tidak enak kalau aku terus menerima darimu…"


"Jangan dipikirkan. Ambil saja yang kamu suka, tidak perlu sungkan."


Mikami-san menyodorkan kotak bekalnya kepadaku. Seperti biasa, isi bekalnya terlihat enak dan menggoda.


Pada akhirnya, aku tidak bisa menolak godaan iblis ini dan memutuskan untuk menerima kebaikannya.


"Kalau begitu… aku ambil satu tamagoyaki, ya."


"Silakan. Kamu suka tamagoyaki?"


"Bukan tamagoyaki-nya sih, tapi aku suka bumbu yang seperti ini. Yang manis."


"Oh, begitu. Fufu, kita sama, ya."


"Sama?"


"Aku juga suka bumbu manis seperti ini. Membuat bekal sendiri itu bagus karena bisa disesuaikan dengan selera, kan?"


Sama… Maksudnya, selera kami sama?


Bekal yang Mikami-san buat sesuai dengan seleranya sendiri, dan aku ternyata menyukainya juga. Mungkin selera makan kami memang mirip.


"Uhm, Mikami-san selalu membuat bekalnya sendiri?"


"Tidak selalu, tapi sejak masuk SMA, aku berusaha untuk membuat sendiri."


"Kau pikir aku tipe orang yang bisa memasak?"


"Tidak sama sekali. Sama sekali tidak terlihat begitu."


"…Kalau begitu, kenapa bertanya?"


"Cuma iseng saja."


Aku tidak mungkin bisa melakukannya. Aku tidak bisa memasak, dan aku juga tidak bisa bangun pagi.


Bangun pagi dan menyiapkan bekal? Itu misi yang mustahil bagiku.


Justru karena itu, aku benar-benar menghormati Mikami-san yang bisa bangun pagi dan memasak sendiri.


Dia menganggapnya sebagai hal yang biasa dan mengatakan bahwa dia hanya melakukan sesuatu yang sederhana. Tapi bagiku, itu adalah tugas yang sangat sulit.


"Tamagoyaki-nya enak. Terima kasih atas makanannya."


"Ya, maaf kalau rasanya kurang istimewa. Kamu sudah cukup?"


"Ya, kalau aku mengambil terlalu banyak, jatah makanmu jadi berkurang. Lagipula, aku juga sudah selesai makan."


Tamagoyaki yang kuambil dari kotak bekal Mikami-san sudah lama menghilang ke dalam perutku. Begitu juga dengan roti yakisoba yang kubawa sendiri, baru saja habis.


Sekarang, keduanya pasti sedang bercampur dengan baik di dalam perutku.


"Kamu benar-benar makan dengan cepat, seperti sebelumnya. Biasanya setelah selesai makan, kamu melakukan apa?"


"Entah tidur siang atau belajar. Hari ini, ada tes kosakata bahasa Inggris di pelajaran siang nanti, jadi aku mau mengulang sedikit."


Aku mengeluarkan kartu kosakata dari sakuku dan mulai membolak-balik halamannya. Di sana, ada kosakata yang sulit kuingat saat pelajaran serta beberapa catatan tentang tata bahasa yang kutulis sendiri.


Saat aku sedang fokus membaca, tiba-tiba aku merasa ada tatapan dari samping. Aku pun mengangkat wajah.


"…Kenapa menatapku seperti itu?"


"…Baru masuk sekolah belum lama, tapi kamu sudah begitu tekun belajar, ya."


"Oh, itu maksudmu? Sebenarnya bukan karena rajin. Aku hanya tidak punya teman, jadi tidak ada hal lain yang bisa kulakukan."


"…Itu terdengar sangat menyedihkan."


Ah… Ya. Aku sendiri merasa sedih setelah mengatakannya. Jadi, tolong jangan lihat aku dengan tatapan kasihan seperti itu. Rasanya aku hampir menangis.


"Kirishima-san termasuk orang yang pintar dalam belajar?"


"Entahlah? Kurasa aku biasa saja."


Itu pertanyaan yang sulit dijawab.


Pelajaran di SMA baru saja dimulai, dan sejauh ini aku masih bisa mengikutinya tanpa masalah. Tapi hanya dengan alasan itu, aku tidak bisa dengan percaya diri mengklaim bahwa aku pintar. Itu terlalu berlebihan, jadi aku hanya bisa menjawab seperti ini.


"Lagipula, ujian yang sebenarnya belum dimulai, dan kemampuan akademik tidak bisa diukur hanya dalam waktu singkat."


"…Benar juga."


"Untuk saat ini, tes yang ada hanyalah kuis kecil seperti ini. Atau mungkin nanti ada ujian dadakan, meskipun aku belum pernah mengalaminya."


"Oh, aku dengar dari teman di kelas sebelah kalau mereka pernah mendapat ujian dadakan di pelajaran matematika."


"Oh, serius?"


Informasi seperti ini sangat berguna.


Setiap guru punya cara mengajar dan pola ujian yang berbeda. Hanya dengan mengetahui bahwa ada kemungkinan ujian dadakan, itu sudah cukup untukku.


Aku memang tidak tahu guru mana yang mengajar di kelas lain, jadi sulit untuk menilai, tapi aku ingin mulai mengumpulkan informasi sedikit demi sedikit agar bisa bersiap.


Dari obrolan santai seputar kehidupan sekolah, pembicaraan kami semakin meluas. Tapi tiba-tiba, Mikami-san menghentikan pembicaraan, seolah menyadari sesuatu.


"Ngomong-ngomong… Mungkin ini salahku, tapi… tanganmu berhenti bergerak, ya?"


"…Oh."


Awalnya, aku memang menjawab sambil tetap membalik kartu kosakata. Tapi entah sejak kapan, tanganku benar-benar berhenti, dan aku hanya menikmati percakapan dengan Mikami-san…?


Aku yang biasanya sendiri…?


"Sepertinya aku juga berhenti makan tanpa sadar. Sebentar lagi bel peringatan akan berbunyi, jadi aku harus cepat menghabiskan makananku. Maaf ya, sudah mengganggu waktu belajarmu."


"Nggak apa-apa. Ini masih ringan, kok… Kurasa. Maaf juga, aku malah mengganggu waktu makanmu."


"Kalau begitu, mari kita anggap ini kesalahan kita berdua."


Mikami-san telah mengambil waktuku untuk belajar.


Aku telah mengambil waktunya untuk makan.


Sebelum kami terjebak dalam saling meminta maaf, aku menerima usul Mikami-san untuk menganggapnya impas, lalu menggunakan sisa waktu istirahat untuk menyelesaikan apa yang harus dilakukan.


Dan saat bel peringatan berbunyi, kami berpisah di depan pintu kelas.


"Terima kasih untuk hari ini. Sampai jumpa."


"Ah, sampai jumpa."


Tanpa merasa ada yang aneh dengan percakapan itu, kami pun berpisah dan kembali ke kelas masing-masing.


Ngomong-ngomong, dalam kuis kosakata bahasa Inggris, ada satu kata yang sempat lupa dan membuatku panik. Tapi, aku berhasil mengingatnya kembali dan mendapatkan nilai sempurna. Hampir saja gagal.


Bel penanda waktu pulang sekolah berbunyi.


Setelah homeroom selesai, para siswa mulai berhamburan ke luar kelas—ada yang langsung pulang, ada yang menuju klub, dan ada juga yang pergi ke kelas lain untuk menemui teman mereka. Akibatnya, lorong menjadi penuh sesak.


Aku selalu berusaha untuk segera pergi agar bisa pulang dengan tenang tanpa harus melewati kerumunan itu. Namun, hari ini, saat hendak berdiri dan keluar kelas, aku baru sadar kalau ada barang yang lupa kumasukkan ke dalam tas. Akibatnya, rencana pulang cepatku pun gagal total…


Setelah memasukkan barang yang tertinggal ke dalam tas, aku menatap lorong yang mulai ramai dan menghela napas kecil.


Karena terlambat satu langkah, lorong sudah mulai dipenuhi orang. Tapi kalau sudah begini, mau bagaimana lagi? Lebih baik aku menunggu di sini sampai keramaian sedikit reda. Dengan pikiran itu, aku pun menelungkupkan kepala di atas meja dan berpura-pura tidur. Saat berada dalam posisi ini, aku bisa mendengar suara langkah kaki siswa yang bergegas di lorong.


Ada yang menuju pintu masuk sekolah, ada juga yang ke arah lain.


Suara langkah-langkah itu bercampur menjadi nada yang terdengar sedikit berantakan, lalu perlahan mulai mereda. Di saat itu juga, aku mendengar percakapan yang berasal dari depan kelasku.


"Hei, kau tahu nggak? Mikami-san dari kelas 2, dia cantik banget, kan?"


"Iya, kan? Dia benar-benar cantik!"


"Aku kepikiran buat coba mendekatinya."


"Hah? Kau? Mending jangan. Kudengar sudah banyak laki-laki yang ditolak."


"Ya, aku juga dengar begitu. Temanku sendiri katanya pernah ditolak, jadi rumor itu sepertinya memang benar…"


Mikami yang mereka bicarakan… Itu pasti Mikami-san yang kukenal. Mereka menyebut kelas 2, jadi seharusnya benar. Tapi, ngomong-ngomong, bagaimana mereka bisa ngobrol santai seperti ini di tengah keramaian?


Namun yang jelas, Mikami-san memang populer. Aku sendiri pernah menyaksikan momen seseorang mengungkapkan perasaan padanya dan ditolak mentah-mentah.


Sepertinya rumor itu memang benar.


"Ngomong-ngomong soal rumor, aku dengar dari temanku di kelas 2, katanya Mikami-san mungkin punya seseorang yang dia suka."


"Hah, serius? Siapa?"


"Nah, itu yang belum jelas. Tapi katanya belakangan ini, setiap jam istirahat siang, dia selalu keluar dari kelas. Ada yang melihatnya membawa bekal, jadi kemungkinan dia makan siang dengan seseorang yang dia sukai… atau mungkin dengan pacarnya?"


"Hah? Serius?"


"Uhuk, uhuk…!"


Mendengar itu, aku tersedak. Apa? Ada rumor seperti itu? Serius?


"Anak kelas satu? Atau senior?"


"Nggak tahu. Tapi katanya, belum lama masuk sekolah saja dia sudah pernah ditaksir oleh beberapa senior. Jadi, mungkin saja."


"Benar-benar bunga di puncak tebing."


"Setuju banget. Oh iya, ngomong-ngomong soal game yang rilis minggu ini—"


Percakapan mereka pun berubah topik, dan suara mereka semakin menjauh.


Aku hanya diam dan mendengarkan, tapi entah kenapa, suara detak jantungku terasa sangat keras. Aku tidak menyangka ada rumor seperti itu yang beredar…


Sekarang setelah aku tahu, apa yang sebaiknya kulakukan…?


Keesokan harinya.


Aku menjalani hari seperti biasa, mengikuti pelajaran tanpa masalah berarti.


Kemudian, saat jam istirahat siang tiba, aku pergi ke tempat biasa… dan ternyata, seperti yang kuduga, dia ada di sana.


"Selamat siang, Kirishima-san. Hari ini cuacanya cerah, ya."


"…Ah, iya. Aku sudah tidak terkejut lagi sekarang."


"Apa ada sesuatu yang mengejutkan?"


"Tidak, bukan apa-apa."


Seolah itu adalah hal yang wajar, Mikami-san kembali datang ke tempat favoritku. Tapi kali ini, aku tidak lagi bereaksi berlebihan.


…Lagian, aku sendiri sudah mengatakan "sampai jumpa" kemarin. Aku duduk di sampingnya, mengambil makan siang dari kantong plastik konbini.


Tanpa banyak pikir, aku merobek bungkus roti yakisoba dan langsung menggigitnya. Rasa saus yakisoba pun menyebar di mulutku. Saat melirik ke arah Mikami-san, aku melihatnya membawa bekal yang lagi-lagi terlihat berwarna-warni dan menggugah selera.


Tapi kalau terus menatapnya, aku malah bisa tergoda. Maka, aku buru-buru mengalihkan pandangan dan kembali fokus pada rotiku.


Meski ini hanyalah waktu istirahat yang sama seperti biasanya, aku entah kenapa merasa tegang. Mungkin karena aku tidak bisa berhenti memikirkan rumor yang kudengar kemarin.


"Ada sesuatu yang terjadi?"


"Eh? Enggak… nggak ada apa-apa kok."


"Tapi sejak tadi, kau terus melihat ke arahku, kan? Apa ada sesuatu di wajahku?"


Karena terlalu sering mencuri pandang, dia malah jadi curiga.


"Serius, ini bukan apa-apa."


"Itu bohong. Katakan yang sebenarnya. Aku akan terus bertanya sampai kau mengatakannya."


"Eh…?"


Sebenarnya, ini hanya aku saja yang terlalu sadar setelah mendengar rumor itu. Tapi, meski sudah mencoba menghindari topik ini, Mikami-san justru semakin ngotot ingin tahu.


Melihat ekspresinya, sepertinya dia benar-benar serius.


…Ya sudahlah. Sepertinya aku harus mengaku.


"Jadi, kemarin aku dengar ada rumor tentangmu."


"Rumor tentangku?"


"Kau tahu kan… maksudku, Mikami-san itu cantik banget dan populer. Waktu aku menolongmu kemarin juga, kau sedang ditembak seseorang… Jadi, karena belakangan ini kau selalu keluar kelas saat jam makan siang sambil membawa bekal, orang-orang mulai berspekulasi kalau kau sedang makan siang bersama seseorang yang kau sukai… atau mungkin pacarmu."


"Itu…"


"Makanya, kupikir… mungkin kita sebaiknya nggak usah bertemu lagi. Maksudku, kau pasti nggak mau, kan, sampai dirumorkan berduaan dengan seorang penyendiri dan anak cupu sepertiku? Aku cuma bakal merepotkanmu."


Saat mengatakannya, aku bisa merasakan sesuatu di dalam hatiku perlahan mendingin.


Benar… seharusnya aku menyadari ini dari awal. Aku mungkin merasa nyaman dengan kebersamaan ini, tapi kenyataannya aku hanyalah seorang penyendiri yang gagal melakukan debut sosial di SMA. 


Sedangkan Mikami-san adalah bunga di puncak tebing—tinggi dan tak terjangkau.


Kami tidak seharusnya berpapasan sejak awal.


Dua garis yang bertemu hanya akan bersilangan di satu titik, lalu berjalan ke arah yang berbeda lagi.


"Itu… siapa yang memutuskan?"


"…Hah?"


"Siapa yang bilang kalau aku tidak mau bersamamu?"


"Itu… yah, orang-orang di sekitarmu…"


"Orang-orang di sekitar? Lalu, perasaanku tidak ada artinya?"


"Perasaan…mu?"


"Benar. Apa menurutmu aneh kalau aku ingin berteman dengan seseorang yang aku suka?"


Mikami-san menatapku dengan ekspresi sedikit marah.


Nada suaranya pun lebih rendah dari biasanya, membuatku tidak bisa membalas dan hanya bisa mengalihkan pandangan.


"Maaf… aku sedikit terbawa emosi. Tapi aku datang ke sini atas keinginanku sendiri… karena aku memang ingin ada di sini."


Begitu ya. Jadi begitu.


Itu… jujur saja, aku merasa senang. Tapi. Meskipun begitu. Bukankah tetap bertemu diam-diam seperti ini terlalu berisiko bagi kami berdua?


"Kirishima-san, tolong beritahu aku perasaanmu yang sebenarnya."


Perasaanku yang sebenarnya…?


"Jika kau benar-benar tidak ingin bertemu denganku lagi, jika kau merasa aku hanya merepotkanmu, maka aku akan berhenti datang ke sini. Tapi… jika bukan itu yang kau rasakan, kumohon katakan yang sebenarnya."


Hah… hahaha. Berhenti datang ke sini? Aku hanya perlu mengucapkan satu kata—"merepotkan"—dan aku bisa kembali sendirian? Seharusnya, aku tidak perlu ragu. Seharusnya…


Tapi kata itu tidak bisa keluar. Yang keluar dari tenggorokanku hanyalah udara yang serak, tanpa bentuk kata yang berarti.


Kenapa? Kenapa…? Aku sudah tahu jawabannya sejak lama.


“Bukan… aku tidak keberatan. Aku tidak pernah merasa kau merepotkanku.”


Karena aku telah merasa nyaman dengan hubungan ini. Dengan jarak ini. Hanya beberapa kali duduk berdampingan dan makan bersama. Itu saja. Tapi tetap saja, aku sudah merasakan hal ini.


Setelah mendengar jawabanku, wajah Mikami-san melunak dengan senyuman lega.


"Begitu ya. Kalau begitu, aku akan datang lagi ke sini. Tak peduli apa pun yang dikatakan orang-orang di sekitar."


“…Kau kuat sekali, ya, Mikami-san.”


Aku mencoba menjauhkan Mikami-san demi kepentinganku sendiri. Aku berasumsi bahwa dia pasti tidak ingin dikaitkan denganku dalam rumor, jadi aku berusaha menjaga jarak.


Tapi sebenarnya, akulah yang takut dengan rumor itu. Hanya itu alasannya.


Tapi… aku tidak akan membiarkan hal itu menggangguku lagi.


Mikami-san telah mengajarkanku bahwa yang terpenting adalah perasaan diri sendiri.


"Aku juga sudah mengambil keputusan."

"…Keputusan apa?"


Mikami-san menatapku dengan ekspresi bingung.


Dia terlihat sangat imut, tapi fakta bahwa dia bisa melakukan hal-hal seperti ini tanpa menyadarinya sungguh membuatnya sulit ditebak.


"Umm… Mikami-san? Kau sadar nggak sih kalau kau itu ada di puncak kasta sosial sekolah?"


"Kasta sosial? Apa maksudnya?"


"Orang-orang bilang kau itu bunga di puncak tebing, tak terjangkau."


"Oh, begitu. Ngomong-ngomong, tadi kau juga mengatakan aku sangat imut… itu menurut pandangan umum, atau… kau sendiri juga berpikir begitu?"


…Hah? Tunggu, kenapa tiba-tiba ada peluru nyasar? Apa-apaan ini? Ini seperti eksekusi di depan umum. Aku benar-benar harus menjawabnya?


“Eh… ah. Aku pikir… kau sangat imut.”


"Terima kasih. Aku senang mendengarnya."


Dengan wajah sedikit malu-malu, telinganya yang memerah hingga ke ujung, tapi tetap tersenyum seperti matahari bersinar terang—ini curang, kan…? Jujur saja, dia terlalu imut sampai aku tidak bisa menatapnya langsung.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close