Penerjemah: Miru-chan
Proffreader: Miru-chan
Chapter 1
Pertemuan Tidak Disengaja
Bel berbunyi, menandakan berakhirnya pelajaran keempat dan dimulainya waktu istirahat siang.
Orang-orang yang telah bertahan melawan rasa kantuk dan lapar sepanjang pelajaran mulai berkumpul dengan teman-teman mereka, menyiapkan makan siang, dan menikmati sejenak waktu istirahat yang berharga.
Di tengah suasana itu, aku merogoh tas sekolah yang tergantung di samping mejaku, mengeluarkan kantong plastik, lalu segera meninggalkan kelas menuju suatu tempat.
Tempat yang kutuju adalah bangku di belakang gedung sekolah. Di sanalah aku menikmati makan siang sendirian.
Meskipun aku baru sekitar dua minggu masuk SMA, ada alasan mengapa aku mulai menghabiskan waktu istirahat seperti ini. Alasannya adalah karena aku absen saat upacara masuk sekolah akibat flu, lalu harus libur selama tiga hari setelahnya.
Saat akhirnya aku masuk sekolah, aku langsung disambut tatapan penuh tanda tanya dari teman sekelas, seolah berkata, "Siapa, tuh?" Dan dalam waktu tiga hari itu, kelompok pertemanan baru sudah terbentuk.
Singkatnya, debut SMA-ku gagal total.
Jujur saja, ini bukan yang kuharapkan.
Aku memilih sekolah ini, yang agak jauh dari kampung halamanku, untuk melanjutkan pendidikan. Sayangnya, tidak ada teman dari SMP yang ikut ke sini, jadi aku harus mencari teman dari nol.
Aku berharap bisa menjalani kehidupan SMA yang menyenangkan, setidaknya lebih baik dari SMP, meskipun aku tak bermimpi menjadi anak gaul. Tapi, nyatanya, aku gagal total sejak awal.
Kesalahan ini sangat fatal untuk kehidupan SMA di tempat baru.
Kalau saja aku hadir sejak hari pertama, mungkin aku bisa mulai berbicara dengan orang lain secara alami, memperkenalkan diri, dan bergaul. Tapi kesempatan itu sudah lama berlalu.
Kalau saja aku cukup berani untuk memulai pembicaraan, mungkin aku bisa mengubah situasi ini. Tapi sifat pemaluku justru semakin parah, dan sebelum kusadari, waktu terus berlalu sampai akhirnya aku terbiasa seperti ini.
Aku tidak punya teman untuk makan siang bersama, tapi makan sendirian di kelas juga membuatku merasa tidak nyaman, seolah-olah ada yang memperhatikanku.
Aku tidak mau menghabiskan waktu istirahat dalam suasana canggung seperti itu, jadi lebih baik aku pergi ke tempat yang sepi seperti ini.
Tapi sejujurnya, aku mulai merasa bahwa makan siang sendirian ini tidak seburuk itu.
Rasanya lebih bebas, lebih santai.
Karena lokasinya di belakang gedung sekolah, hampir tidak ada orang yang datang. Ditambah lagi, tempatnya cukup mendapat sinar matahari, membuatnya nyaman untuk bersantai.
Aku mengganti sepatu di pintu masuk, lalu berjalan cepat menuju tempat makan siangku.
Saat berbelok di tikungan terakhir sebelum tujuan──
"Maaf memanggilmu ke tempat seperti ini."
"Tidak, tidak apa-apa. Jadi, ada apa?"
Aku refleks menghentikan langkah dan menempelkan tubuh ke dinding setelah mendengar percakapan itu.
Uwah, kaget. Kenapa ada orang di sini...? Ah, aku juga sama, sih. Tapi tetap saja, di tempat sepi begini, kalau ada dua orang lawan jenis berduaan, satu-satunya kemungkinan adalah──
“Aku sudah menyukaimu sejak pertama kali melihatmu. Kalau tidak keberatan, maukah kamu menjadi pacarku?”
Lihat, benar kan? Situasi seperti ini, pasti tentang itu.
...Eh? "Sejak pertama kali melihat"?
Aku penasaran, jadi tanpa ketahuan, aku mengintip mereka dari balik dinding. Penglihatanku cukup bagus untuk melihat warna lambang di seragam mereka.
Sama seperti milikku—biru.
Artinya, mereka juga siswa kelas satu.
Dari yang kulihat sekilas, si cowok tampak seperti tipe pemuda baik dan ramah. Bahkan dari sudut pandang laki-laki sepertiku, dia termasuk tampan.
Nah, bagaimana ini? Apa jawabannya?
"Maaf. Aku tidak mengenalmu dengan baik dan juga tidak tertarik."
Tolak. Langsung. Tanpa basa-basi.
Meskipun mereka sekelas, pertemanan mereka baru berjalan dua minggu. Jika bukan teman sekelas, maka hubungan mereka hanya sebatas "aku tahu dia, tapi dia tidak tahu aku."
Walaupun wajahnya tampan, wajar saja jika seorang gadis menolak pengakuan cinta dari seseorang yang bahkan belum dikenalnya dengan baik.
"Itu saja urusanmu? Waktu istirahat tidak lama, jadi aku permisi dulu."
"Tunggu, jangan pergi!"
"Ada apa lagi?"
"Ka-kalau begitu, ayo tukar kontak! Kita bisa mulai dari berteman dulu. Kalau alasanmu menolak karena tidak mengenalku, aku bisa membuatmu mengenalku sedikit demi sedikit sampai akhirnya kamu menyukaiku…!"
"Aku tidak mengerti maksudmu, dan aku juga tidak merasa perlu bertukar kontak dengan orang yang tidak menarik minatku."
Wah, ini benar-benar tidak memberi celah, ya…
Bagi gadis itu, cowok ini bukan teman atau kenalan, hanya orang asing.
Wajar saja kalau dia tidak ingin berbagi kontak dengan orang yang bahkan tidak dikenalnya. Apalagi, nada bicara si cowok seolah-olah mereka pasti akan berteman, jadi wajar jika dia semakin menolak.
Tapi… dia cukup gigih juga, ya.
Melihat reaksi gadis itu, jelas sekali dia tidak tertarik. Seharusnya, cowok itu tahu kapan harus mundur.
Aku juga ingin segera makan siang, nih.
"Sial, aku sudah bersikap baik-baik, malah kamu jadi besar kepala…! Aku bilang kita harus pacaran, jadi cukup menurut saja!"
"Kyaa! Sakit! Lepaskan tanganku!"
Aku yang awalnya hanya berharap mereka cepat pergi agar aku bisa makan siang dengan tenang, kini merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Ketika mengintip lagi dari balik dinding, aku melihat cowok itu tampak marah dan mencengkeram lengan gadis itu dengan kasar.
Sepertinya, cowok ini sama sekali tidak berpikir kemungkinan kalau dia akan ditolak. Dan sekarang setelah benar-benar ditolak mentah-mentah, bahkan usahanya untuk berkompromi pun langsung ditolak, dia malah berbuat kasar.
Tapi, hanya karena keadaan tidak berjalan sesuai keinginannya, bukan berarti dia boleh bertindak kekerasan.
Sial… Karena tempat ini sepi, tidak ada orang lain yang bisa menolong. Kalau dibiarkan, suasana makan siangku akan terasa buruk… Aku harus melakukan sesuatu.
"...Hatano-sensei, di sini! Cepat datang!"
Aku berteriak sekeras mungkin, sesuatu yang jarang kulakukan.
Nama yang kusebut adalah Hatano-sensei, guru bimbingan yang katanya sangat tegas. Sejujurnya, karena aku absen saat upacara masuk dan orientasi, aku sama sekali tidak tahu seperti apa guru itu.
Tapi, dari yang kudengar dari teman sekelas, guru bernama Hatano -sensei itu sangat disiplin dalam urusan tata tertib sekolah, bahkan sudah ada beberapa siswa yang pernah ditegurnya.
Jadi, aku hanya berpura-pura memanggilnya dan berharap itu berhasil.
"Apa?! Hatano? Guru bimbingan itu?! Sial!"
Seperti yang kuduga, usahaku berhasil. Cowok itu langsung panik dan kabur begitu saja.
Setelah memastikan dia sudah benar-benar pergi, aku berjalan mendekati gadis yang kini terduduk lemas dan mengulurkan tangan padanya.
Dia menatap tanganku dengan ekspresi terkejut, tetapi segera menyadari bahwa aku hanya ingin membantunya berdiri.
Dengan ragu, dia akhirnya menerima uluran tanganku dan bangkit. Sambil membersihkan rumput dan pasir yang menempel di roknya, dia menatapku dan bertanya.
"Kamu yang memanggil guru tadi…? Umm, lalu, di mana gurunya?"
"Oh, itu bohong. Aku hanya berteriak menyebut nama guru yang menurutku paling menakutkan."
Gadis itu mencoba bersikap seolah tidak terjadi apa-apa, tapi aku bisa melihat tangannya gemetar. Ada bekas air mata di sudut matanya. Pasti dia sangat ketakutan.
Seharusnya, aku mengatakan sesuatu untuk menenangkannya. Tapi, sayangnya, aku tidak punya keterampilan komunikasi sebaik itu. Kalau aku punya, aku tidak akan makan siang sendirian setiap hari, kan?
"Kamu juga sebaiknya segera kembali. Waktu makan siangmu bisa habis."
Setelah mengatakannya, aku berjalan melewatinya.
Dia tampak ingin mengatakan sesuatu, tapi aku pura-pura tidak melihat dan terus melangkah menuju tempat biasanya.
Meskipun ada kejadian tidak terduga seperti itu, kehidupanku tetap berjalan seperti biasa.
Setiap hari, aku pergi ke sekolah seperti biasa, mendengarkan pelajaran dengan serius, kadang tertidur di kelas. Saat istirahat siang, aku pergi ke tempat biasa dan menghabiskan waktu sendirian.
Ya, seharusnya begitu.
"Akhirnya aku bertemu denganmu. Aku sudah menunggumu, Kirishima Rei-san."
Tiga hari setelah kejadian itu, saat aku menuju tempat biasanya di jam istirahat siang, seseorang sudah ada di sana lebih dulu.
Gadis yang kucoba selamatkan waktu itu duduk di bangku favoritku dan menatap ke arahku.
"Kamu… gadis waktu itu, kan? Umm, kamu baik-baik saja?"
"Ya. Berkat kepandaianmu dalam mengambil keputusan, aku berhasil selamat."
"Oh, syukurlah. Kalau begitu, aku pergi dulu…"
"Tunggu! Aku sudah lama ingin mengucapkan terima kasih padamu. Aku bahkan bertanya ke guru tentang kelasmu, mencarimu saat istirahat, menunggumu sebelum kelas dimulai, dan setelah jam pelajaran selesai… Tapi aku tidak pernah menemukannya."
Ah… jadi begitu.
Aku memang selalu keluar kelas saat istirahat dan menghabiskan waktu di ruang kosong atau toilet. Saat istirahat siang, aku selalu ke tempat yang sama.
Saat pagi, aku berusaha datang sesingkat mungkin agar tidak perlu berlama-lama di kelas. Setelah sekolah selesai, karena tidak ikut klub, aku langsung pulang secepat mungkin.
Jadi wajar saja kalau dia tidak bisa menemukanku.
"Tapi kemudian aku teringat, waktu itu kamu berjalan ke arah sini. Aku penasaran apakah kamu sering ke sini, jadi aku mencobanya, dan ternyata benar!"
Oh, jadi begitu.
Aku memang tidak terlalu memikirkan apakah dia melihat ke mana aku pergi setelah itu, karena aku hanya ingin segera makan siang.
Aku tidak menyangka ini akan terjadi…
Tapi, sekarang semuanya masuk akal.
Belakangan ini, aku merasa seperti diperhatikan saat masuk kelas di pagi hari atau ketika kembali ke kelas setelah istirahat siang. Aku bahkan mendengar bisik-bisik orang-orang. Aku pikir itu hanya perasaanku saja, tapi ternyata, ini alasannya.
"Ah, aku lupa memperkenalkan diri. Aku dari kelas 1-2, namaku Mikami Hina. Sekali lagi, terima kasih banyak sudah menolongku waktu itu."
"Mikami-san, ya. Itu hanya kebetulan, tapi kalau memang bisa membantumu, aku senang. Nah, kalau begitu, aku pergi dulu…"
"Tunggu! Pembicaraan kita belum selesai. Aku ingin membalas kebaikanmu!"
Membalas kebaikanku? Bukankah dia baru saja melakukannya? Apa masih ada hal lain?
Saat aku mengatakannya, Mikami-san tampak sedikit merajuk dan menatapku dari bawah.
Aku berdiri, sementara dia duduk di bangku.
Dari sudut pandang itu, dia otomatis menggunakan tatapan "menatap ke atas," yang—jujur saja—punya efek luar biasa jika dilakukan oleh seorang gadis cantik.
Tatapan itu terlalu berbahaya, sampai aku tanpa sadar memalingkan wajahku.
"Kalau waktu itu kamu tidak segera bertindak, aku mungkin sudah mengalami sesuatu yang mengerikan. Dengan kata lain, bagiku, kamu adalah penyelamat! Hanya mengucapkan terima kasih saja tidak cukup untukku!"
Aku bisa mengerti perasaannya.
Bagiku, mungkin ini bukan hal besar. Tapi bagi Mikami-san, kejadian itu mungkin adalah momen yang benar-benar menyelamatkannya.
Aku agak merasa canggung dipanggil sebagai "penyelamat," tapi dari nada suaranya, aku tahu dia mengatakannya dengan tulus. Jika aku berada di posisi sebaliknya, aku mungkin juga tidak akan puas hanya dengan sekadar mengucapkan terima kasih. Dengan kata lain, itulah yang diinginkan Mikami-san dariku.
"Kau mengerti sekarang? Kalau begitu, apakah ada sesuatu yang ingin kau minta dariku...?"
"Oh, maaf. Aku lapar."
Tepat saat kata-kata itu keluar dari mulutnya, perutku berbunyi keras. Mikami-san menunjukkan ekspresi terkejut, lalu setelah menyadari sumber suara itu, ia terkikik pelan.
"Maaf, ngomong-ngomong, kita memang belum makan siang, Bagaimana kalau kita makan dulu?"
Ah, ide bagus. Mikami-san bisa kembali ke kelasnya—eh? Apa yang ia pegang di tangannya itu? Dan kenapa dia menepuk-nepuk bangku di sebelahnya?
"Aku juga lapar. Jadi, bagaimana kalau kita makan bersama?"
Apa? Apa-aaa!?!?!?
"Kirishima-san makan roti? Itu dari minimarket?"
"Ah, iya. Aku selalu beli roti di minimarket yang ada di rute perjalananku ke sekolah."
Terlalu dekat.
Mikami-san mencondongkan tubuhnya untuk melihat isi kantong plastik yang kubawa. Jaraknya sangat dekat, dan entah kenapa, ada aroma yang enak darinya.
Tanpa sadar, aku merasa terombang-ambing oleh sikap polosnya yang terkesan menggoda. Akhirnya, karena dorongannya, aku pun duduk di sebelahnya.
Tapi, sekarang setelah kulihat lagi, dia benar-benar cantik. Tak heran kalau ada orang yang jatuh cinta padanya pada pandangan pertama.
Rambut pendek hitam yang indah. Mata besar dan bulat. Hidung yang mancung dengan garis yang sempurna, serta bibirnya yang lembut dan tampak lembap.
Saat wajahnya tiba-tiba mendekat, aku tanpa sadar terpaku menatapnya.
"Apa yang kau lihat? Ah, jangan-jangan kau penasaran dengan bekalku?"
"Ah, iya. Sepertinya enak."
Sepertinya dia salah paham dengan tatapanku yang tertuju padanya, mengira kalau aku sedang memperhatikan bekalnya. Aku pun mengikuti alur pembicaraan dan mengangguk. Dari sekilas saja, bekal yang ada di pangkuan Mikami-san terlihat penuh warna dan lezat.
Berbeda dengan makan siangku yang hanya berupa roti, bekalnya tampak jauh lebih bernutrisi.
"Senang mendengarnya, tapi aku tidak akan memberikannya padamu."
"Tenang saja, aku tidak akan mengambilnya."
"Oh, begitu? Kalau begitu, baguslah."
Setelah aku meyakinkannya bahwa roti yang kumakan sudah cukup, dia pun terlihat lega dan mulai makan. Sementara itu, aku hanya bisa meliriknya dari sudut mata sambil membuka bungkus rotiku dan menggigitnya.
Makan siang bersama seseorang—apalagi seorang gadis—adalah pengalaman pertama dalam hidup sekolahku. Aku merasa tegang dan sulit menelan roti dengan nyaman. Keberadaan Mikami-san di sampingku adalah sesuatu yang tidak terduga. Karena itu, aku merasa tenggorokanku lebih kering dari biasanya.
Aku pun buru-buru meraih botol teh di kantong plastik. Namun, mungkin karena gugup, tanganku gemetar dan secara tidak sengaja menjatuhkan botol itu. Botolnya terguling ke bawah bangku karena kemiringannya.
Sial, memalukan. Aku harus segera mengambilnya.
Saat aku mengulurkan tangan kiriku, tiba-tiba ada bayangan yang menutupi pandanganku, diikuti dengan sentuhan lembut dan hangat.
"Hah?"
"Ah, maaf."
Sepertinya Mikami-san juga berusaha mengambil botol itu bersamaan denganku. Tanpa sengaja, tanganku menyentuh tangan kanannya. Begitu menyadari hal itu, wajahku langsung terasa panas. Pasti sekarang aku sudah semerah tomat rebus.
"Nggh... Gochisousama."
"Hah? Eh, tunggu, pembicaraan kita belum selesai!"
Dengan tergesa-gesa, aku memasukkan sisa roti ke mulut dan menelannya bersama teh. Lalu, aku buru-buru pergi dari tempat itu.
Aku bisa mendengar Mikami-san mengatakan sesuatu di belakangku, tapi kuputuskan untuk berpura-pura tidak mendengarnya. Begitu pula dengan panas di wajah ini… itu hanya karena sinar matahari yang terik. Aku mencoba meyakinkan diriku sendiri dan menekan gemetar di tangan kiriku dengan tangan kanan sambil berlari pergi.
Aku kembali ke kelas, seolah melarikan diri dari Mikami Hina yang tiba-tiba muncul di tempat favoritku. Tatapan heran pun tertuju padaku, baik karena aku kembali lebih awal dari biasanya maupun karena kesaksian Mikami-san, yang tampaknya membuat mereka merasa melihat sesuatu yang langka. Aku pun menelungkupkan kepala di meja, menghindari tatapan mereka, dan berpura-pura tidur selama sisa jam istirahat.
Begitu istirahat berlalu, sesi kedua pelajaran pun dimulai. Mungkin karena sudah kenyang, jumlah siswa yang mengantuk di jam pelajaran siang meningkat drastis.
Biasanya, aku cukup fokus saat belajar, tapi entah kenapa hari ini mataku terasa begitu segar. Meski begitu, bukan berarti aku benar-benar bisa berkonsentrasi. Aku hanya mengikuti pelajaran dengan perasaan melayang, mencatat tanpa benar-benar menyimaknya.
Tanpa terasa, pelajaran pun berakhir dan tiba waktu pulang sekolah.
Teman-teman sekelasku mulai bergegas pergi ke klub masing-masing atau mengobrol dengan teman-temannya sebelum pulang. Namun, aku meninggalkan kelas seperti biasa tanpa membuang waktu.
Hari ini sangat berbeda dari biasanya. Tapi, mulai besok semuanya akan kembali seperti semula. Aku akan menjalani hariku sendirian, tanpa gangguan apa pun. Meyakinkan diri dengan pikiran itu, aku mengganti sepatu di pintu masuk sekolah dan pulang.
Keesokan harinya, setelah serangan mendadak Mikami Hina.
Kemarin memang penuh kejadian di luar dugaan, tapi mulai hari ini, semuanya akan kembali normal. Seharusnya begitu.
“Kenapa kamu ada di sini?”
“Apa aku tidak boleh di sini?”
“Tidak, sama sekali tidak…”
“Pembicaraan kita kemarin belum selesai, tahu?”
Saat jam istirahat, aku pergi ke tempat biasanya, tapi di sana Mikami Hina sudah duduk dengan ekspresi agak cemberut. Kupikir dia pasti juga tidak mau berurusan dengan cowok penyendiri sepertiku, tapi rupanya dugaanku salah. Mungkin dia masih kesal karena aku kabur tanpa mendengarkan pembicaraan kemarin.
“Umm… soal ucapan terima kasih, ya? Aku benar-benar tidak melakukan sesuatu yang pantas untuk dibalas, kok.”
“Tidak, aku harus mengucapkan terima kasih bagaimanapun caranya.”
“Oh, begitu…”
“Ya. Kali ini aku tidak akan membiarkanmu kabur. Kita harus bicara dengan benar.”
Sambil berkata begitu, Mikami-san menepuk bangku di sebelahnya, sama seperti kemarin. Aku pun pasrah, menggaruk kepala, lalu duduk perlahan di sampingnya.
“Lihat! Hari ini aku bawa sandwich!”
“Oh, kebetulan sekali. Aku juga makan sandwich hari ini.”
Mikami-san dengan senang hati melaporkan menu makan siangnya.
Anehnya, itu sama persis dengan apa yang kupilih untuk makan siang hari ini.
“Jangan-jangan kamu sengaja memilih sandwich supaya bisa menyesuaikan denganku?”
“Tidak, bukan begitu. Kemarin aku membawa bekal dan memegang sumpit, jadi sulit untuk langsung berdiri, dan akhirnya gagal mengejarmu. Jadi, hari ini aku membawa sesuatu yang lebih praktis supaya bisa langsung mengejarmu kalau kamu kabur lagi.”
“…Aku tidak akan kabur lagi, mungkin.”
Sial, aku jadi terlalu percaya diri.
Aku sempat berpikir dia sengaja memilih menu yang sama denganku, dan sempat merasa senang karenanya? Seolah-olah aku ingin makan siang bersamanya.
Tidak, sama sekali tidak. Aku meyakinkan diriku sendiri, lalu membuka bungkus sandwich dengan kasar dan mulai melahapnya.
“Kemarin juga porsi makanmu segitu. Apa itu cukup?”
“Ya, cukup.”
“Kamu sengaja makan sedikit supaya tidak mengantuk saat pelajaran siang, ya?”
“Enggak, sama sekali. Aku bahkan tidak pernah berpikir tentang strategi supaya tetap terjaga di kelas.”
Tidak peduli seberapa kenyang atau laparnya aku, kalau mau tidur ya tinggal tidur, kalau harus bertahan ya tinggal bertahan. Jumlah makan siangku sama sekali tidak berpengaruh pada itu.
Sambil terus membicarakan hal yang tidak penting, aku pun menyelesaikan sandwichku. Biasanya, setelah makan siang, aku akan menghabiskan sisa waktu dengan melamun atau bahkan merebahkan diri di bangku panjang.
Tapi dengan adanya Mikami-san di sini, aku tidak bisa melakukan itu. Dia masih menikmati sandwichnya dengan lahap, mengunyah pelan sambil tampak puas.
“Nah, boleh aku pergi sekarang?”
“Tidak boleh. Aku belum mengucapkan terima kasih dengan benar.”
“Kalau begitu, jadikan saja ucapan terima kasih itu dengan membiarkanku pergi. Atau kalau tidak, bisakah kamu kembali ke kelas dan membiarkanku sendirian?”
“… Tidak mau. Kalau begitu, rasanya aku belum benar-benar berterima kasih.”
Mungkin karena aku sudah terlalu terbiasa sendirian, berada bersama seseorang terasa sangat tidak nyaman dan membuatku tidak bisa tenang.
Terlebih lagi, orang di sebelahku adalah seorang gadis—dan bukan sembarang gadis, tapi Mikami-san yang cantik.
Aku hanya ingin segera kembali sendirian.
Jika saja dia mau mengabulkan keinginanku yang sepele itu, itu sudah lebih dari cukup sebagai bentuk ucapan terima kasih. Namun, Mikami-san malah cemberut dan menggembungkan pipinya. Sepertinya permintaanku tidak akan dikabulkan.
“Kalau begitu, belikan aku roti untuk besok. Itu saja, dan kita anggap selesai.”
“Hanya itu? Tidak ada permintaan lain yang lebih… menarik?”
“Tidak ada. Ini sudah cukup menarik buatku.”
Setelah berkata begitu, aku bangkit dari bangku. Alasan Mikami-san menahanku adalah karena dia masih memikirkan bagaimana cara mengungkapkan rasa terima kasihnya. Tapi aku sudah menyebutkan apa yang kuinginkan.
Meskipun dia merasa itu terlalu sederhana, pada dasarnya aku juga tidak melakukan sesuatu yang besar. Aku hanya meneriakkan nama seorang guru yang kebetulan tidak ada di tempat. Itu saja. Jadi ini adalah pertukaran yang sepadan.
“Baiklah, aku serahkan padamu.”
Tanpa menunggu jawaban, aku langsung berjalan pergi.
Mikami-san tidak mengejarku.
Keesokan harinya, setelah aku meminta Mikami Hina membelikanku roti.
Aku berangkat dari rumah pada waktu yang sama seperti biasanya, tapi entah kenapa aku sampai di sekolah sedikit lebih awal. Mungkin karena aku tidak mampir ke minimarket seperti biasanya, mengingat Mikami-san sudah berjanji akan membelikanku roti.
Aku mengalihkan pandanganku dari jam besar yang tergantung di lorong pintu masuk dan mulai berjalan menuju kelas.
Pelajaran pertama hari ini adalah matematika—pasti membosankan.
Lalu, ada kemungkinan akan ada ulangan mendadak di pelajaran bahasa Inggris.
Sambil memikirkan hal-hal itu, aku mulai melihat kelas semakin dekat.
Biasanya, aku baru masuk kelas tepat sebelum homeroom dimulai, jadi lorong sudah kosong.
Tapi karena aku datang lebih awal, masih ada beberapa siswa yang berkeliaran.
Di antara mereka, ada wajah yang sudah sering kulihat beberapa hari terakhir.
“Selamat pagi, Kirishima-san.”
Dia menatapku lurus—Mikami Hina. Siapa yang sedang dia sapa?
Mungkin ada seseorang bernama Kirishima di kelas lain yang kebetulan berada di sekitar sini? Masih ada beberapa siswa di sekeliling kami, jadi itu bukan hal yang mustahil.
“Selamat pagi, Kirishima Rei-san.”
Aku mencoba mengabaikannya dan berjalan ke kelas, tapi kali ini dia memanggilku dengan nama lengkap. Kemungkinan ada siswa lain yang memiliki nama yang sama denganku pun langsung sirna. Tidak salah lagi, itu memang sapaan untukku.
Dan tentu saja, begitu seorang gadis secantik dia menyapaku, begini lah jadinya…Bukan hanya murid-murid di lorong, tapi juga mereka yang ada di dalam kelas mulai menatap ke arah kami.
Aku benar-benar jadi pusat perhatian.
“Kenapa? Aku tidak suka diperhatikan, jadi tolong cepat saja.”
“Diperhatikan…? Maksudmu apa?”
“Hanya dengan berbicara denganku saja, kau sudah membuatku jadi pusat perhatian. Jadi tolong cepatlah.”
“Benarkah begitu? …Baiklah, kalau begitu, saat istirahat siang di tempat biasa.”
Sepertinya dia tidak benar-benar mengerti, tapi mungkin dia bisa merasakan keputusasaanku. Setelah menyampaikan pesannya dengan suara pelan, Mikami-san pun kembali ke kelasnya.
Aku duduk di kursiku dengan tergesa-gesa setelah melihatnya pergi, tapi karena sudah terlanjur menarik perhatian, aku masih terus menjadi pusat sorotan. Pagi-pagi begini, nasibku sudah buruk.
Seperti biasa, aku membenamkan wajahku di meja dan menghabiskan waktu begitu saja.
Tapi entah kenapa, meskipun ini adalah kebiasaanku, rasanya lebih tidak nyaman dari biasanya. Pasti gara-gara Mikami Hina.
Saat jam istirahat di sela-sela pelajaran, sesekali aku merasakan tatapan orang-orang, tapi tidak ada yang berani langsung mengomentariku.
Kalau mereka memang punya waktu untuk memikirkan seorang penyendiri sepertiku, bukankah lebih baik mereka mengobrol dengan teman-temannya?
Aku sangat menyarankan itu.
…Meskipun rasanya menyedihkan karena aku sendiri tidak punya teman untuk diajak mengobrol.
Tersadar akan kenyataan itu, aku merasa seperti mendapatkan sedikit luka batin. Namun, aku segera berdiri dari kursi.
Sekarang sudah waktu istirahat siang—artinya, waktu yang dijanjikan. Aku meraih tasku, lalu teringat bahwa aku tidak mampir ke minimarket hari ini, jadi aku pun mengurungkan niat mengambilnya.
Hari ini, Mikami Hina berjanji akan mentraktirku roti sebagai bentuk terima kasih.
Setelah sedikit berbelok ke tempat lain, aku menuju lokasi yang sudah dijanjikan. Di sana, seperti kemarin dan sehari sebelumnya, Mikami Hina sudah duduk lebih dulu, menungguku.
“Selamat siang, Kirishima-san. Kau datang terlambat, aku sempat mengira kau tidak akan datang.”
“Aku tadi beli minuman. Karena tidak mampir ke minimarket, aku jadi lupa membelinya.”
“Begitu ya, ternyata itu alasannya.”
“Jadi… kau akan menepati janji, kan?”
Alasan utama kami bertemu di sini adalah karena dia bersikeras ingin berterima kasih padaku. Kalau bukan karena itu, tidak mungkin ada kejadian di mana seorang gadis cantik memanggilku untuk bertemu.
Dan kalau aku tidak menerima ucapan terima kasih itu, berarti aku harus melewatkan makan siang hari ini… tapi sepertinya aku tidak perlu khawatir soal itu.
“Ya, aku sudah menyiapkannya. Silakan.”
“Oh, terima kasih.”
“Fufu, yang seharusnya berterima kasih itu aku, tahu? Kau ini aneh.”
Benar juga. Seharusnya ini adalah ucapan terima kasih dari dirinya, tapi aku malah mengucapkan terima kasih lebih dulu. Mungkin karena itu dia merasa geli dan sedikit tersenyum.
Sekarang aku pikir-pikir, ini pertama kalinya aku melihatnya tersenyum.
Biasanya dia terlihat begitu tenang dan pendiam, jadi melihat ekspresi seperti itu cukup mengejutkan.
“Ayo, cepat makan. Sampai kapan kau mau berdiri?”
“Ah, iya… Tapi, kau juga makan di sini?”
“Ya, memangnya ada masalah?”
Tidak, tidak ada masalah. Hanya saja, aku sempat berharap bisa menikmati makan siang sendirian untuk pertama kalinya setelah sekian lama.
Namun, dibandingkan harus makan di kelas sambil meringkuk dikelilingi teman sekelas, ini masih jauh lebih baik.
Walaupun keberadaannya di sebelahku sedikit membuatku gelisah, itu bukan karena aku tidak suka. Hanya saja, dia terlalu cantik. Kalau aku bisa mengabaikannya, ini bukan masalah besar… seharusnya.
“Boleh aku buka ini?”
“Silakan, buka saja. Aku juga…”
Aku pun membuka kotak bekal yang diberikan Mikami-san. Aku sempat berpikir, mungkin isinya adalah sandwich.
Tapi saat membuka tutupnya, yang muncul di hadapanku adalah sesuatu berwarna putih.
“Hm?”
“Ada apa?”
“Ah, tidak… aku hanya salah lihat.”
Aku mencoba menghindari kenyataan, tapi di dalam kotak bekal itu, yang terlihat adalah nasi putih yang indah dan berkilau. Aku menatap isi kotak bekal itu, lalu melirik Mikami-san yang sudah mulai makan bekalnya sendiri dengan lahap.
Apa yang kukatakan kemarin?
“Umm… boleh aku tanya sesuatu?”
"Ng… ng… iya, ada apa?"
"Aku mau tanya sesuatu. Kemarin aku bilang mau minta apa sebagai ucapan terima kasih?"
"Kalau tidak salah, kau bilang ingin aku mentraktirmu roti. Masih terlalu pagi untuk mulai pikun, lho."
"Bukan, aku masih ingat kok. Baguslah kalau ingatanku benar. Lalu… ini apa?"
"Masa kau tidak bisa lihat sendiri? Ini nasi. Kirishima-san, jangan-jangan… kau tidak tahu apa itu nasi?"
"Tahu! Tahu, tapi bukan itu maksudku!"
Sebanyak apa pun aku suka makan roti untuk makan siang, aku tetap tahu apa itu nasi. Aku hanya tidak memakannya di waktu ini, tapi di rumah aku tetap makan nasi seperti biasa.
Mikami-san menatapku dengan kepala sedikit miring dan ekspresi polosnya bertanya apakah aku tidak tahu apa itu nasi. Tapi bukan itu intinya.
"Aku bilang mau ditraktir roti, kan?"
"Iya, kau memang bilang begitu."
"Lalu, ini apa?"
"Masa kau tidak bisa lihat sendiri? Ini nasi."
Tunggu, bukankah kami baru saja mengulang percakapan yang sama?
Kalau terus begini, pembicaraan ini hanya akan berputar-putar tanpa solusi. Lagipula, meski aku terus mempertanyakan ini, roti tidak akan tiba-tiba muncul, dan waktu hanya akan terbuang sia-sia.
Aku pun menyerah, mengambil sumpit yang terselip di bagian dalam tutup kotak bekal, dan mulai makan.
"…Enak."
Tanpa sadar, kata itu meluncur dari mulutku. Begitu aku mencicipinya sekali, sumpitku terus bergerak tanpa henti.
Tamagoyaki dengan rasa manis yang pas, karaage yang tetap renyah dan juicy meski sudah dingin, serta salad yang terdiri dari tomat ceri, selada, dan brokoli.
Semua yang aku makan rasanya benar-benar sesuai dengan seleraku.
"Kalau makan terlalu cepat, nanti tersedak, lho."
Tapi aku benar-benar tidak bisa berhenti.
"Fufu, melihatmu makan dengan lahap seperti itu, aku jadi ikut senang. Usahaku membuatnya tidak sia-sia."
"Jangan-jangan ini… semua buatanmu sendiri?"
"Yah, bisa dibilang begitu. Aku tidak tahu apa saja makanan favorit dan yang tidak kau suka, juga rasa yang cocok dengan seleramu, jadi aku sempat khawatir. Tapi aku lega kau menyukainya."
"Bukankah itu merepotkan…? Apa tidak sulit membuatnya?"
"Karena aku juga membuat bekal untuk diriku sendiri, menambah satu porsi lagi tidak terlalu merepotkan."
Sambil berkata begitu, Mikami-san sedikit memiringkan kotak bekalnya ke arahku agar aku bisa melihat isinya. Meskipun porsinya sedikit lebih kecil daripada milikku, jenis makanannya sama. Berarti yang dia katakan memang benar.
Tapi bagiku yang hampir tidak pernah memasak, menyiapkan bekal seperti ini terdengar seperti usaha yang besar.
"Padahal satu roti yang dibeli di toko sudah cukup… Jadi rasanya aku malah harus berterima kasih atas bekal ini."
"Tidak perlu. Lagipula, ini aku lakukan karena aku ingin kau makan sesuatu yang lebih bernutrisi, bukan hanya roti. Jadi, jangan dipikirkan."
Apa dia sampai mempertimbangkan keseimbangan nutrisiku juga?
Dia menggerutu pelan bahwa roti saja tidak cukup bergizi.
"Terima kasih atas makanannya. Serius, ini enak banget."
"Terima kasih kembali. Aku senang kau menyukainya."
Tanpa kusadari, aku sudah menghabiskan semuanya. Saat aku sedang berpikir harus bagaimana dengan kotak bekal yang kosong ini, Mikami-san seakan bisa membaca pikiranku.
Dia tersenyum dan berkata, "Tidak apa-apa," lalu mengambil kembali kotak bekal yang tidak tersisa sebutir nasi pun dan menyimpannya ke dalam tas.
"Rasanya kau terlalu banyak memberi, tapi… berarti aku sudah menerima ucapan terima kasihmu, kan?"
"…Iya, kurasa begitu."
"Kalau begitu, baguslah."
Ini adalah bentuk terima kasih. Bisa dibilang, ini adalah pelunasan utang budi. Meskipun rasanya balasannya agak berlebihan, jika dia sendiri bilang untuk tidak mempermasalahkannya, maka tidak ada salahnya aku menerimanya begitu saja.
Dan setelah jam istirahat siang ini berakhir, hubunganku dengan Mikami-san juga akan berakhir. Seorang penyendiri seperti aku dan seorang gadis cantik seperti dia, yang ibarat bunga di puncak gunung, tidak seharusnya pernah bersinggungan. Pertemuan ini hanyalah hasil dari sebuah kebetulan.
Sekarang, utang budi sudah lunas. Itu berarti, tidak ada lagi alasan bagi Mikami-san untuk berurusan denganku.
Seharusnya, kami memang tidak akan pernah berinteraksi. Namun, karena suatu kesalahan, kami sempat bersinggungan untuk sesaat.
Dan sesaat itu berakhir di sini.
Mulai besok, kehidupanku yang biasa akan kembali seperti semula.
Sambil memikirkan hal-hal yang tidak penting itu, aku menghabiskan sisa waktu istirahat siang dengan duduk diam, menatap langit biru, di samping Mikami Hina.




Post a Comment