NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Guuzen Tasuketa Bishoujo ga Naze ka Ore ni Natsuite Shimatta ken ni Tsuite Volume 2 Chapter 6

 Penerjemah: Miru-chan

Proffreader: Miru-chan


Chapter 6

Memberi Nama pada Hubungan Ini


Pagi, tanggal 5 Agustus.


Aku, Kirishima Rei, akhirnya merayakan ulang tahunku. Seharusnya begitu, tapi… entah kenapa sejak pagi gerak-gerik Mikami-san terasa aneh. Bukannya aku menuntut, tapi sampai sekarang ucapan selamat ulang tahun pun belum keluar darinya.


Bahkan setiap kali tatap mata denganku, ia buru-buru mengalihkan pandangan lalu lari kecil, dan wajahnya… sepertinya agak memerah. Mungkin karena aku baru bilang soal ulang tahunku mendadak, ia sampai harus begadang untuk menyiapkan sesuatu.


Mikami-san sudah berusaha keras, jadi aku agak khawatir juga.


"…Mikami-san? Kamu baik-baik saja?"


"Ti-tidak usah khawatir~"


Aku mencoba mendekat ke arah dapur dan bertanya, tapi bahunya langsung tersentak, lalu seperti biasa ia melontarkan kalimat andalannya sebelum berusaha kabur lagi. Rasanya seperti sengaja menghindariku… sedikit menyedihkan. Padahal sampai kemarin ia masih biasa saja. Ada apa sebenarnya? Apa mungkin dia sedang menutupi kondisi tubuh yang tidak enak?


Kalau itu benar, Mikami-san memang mungkin melakukannya. Ia sangat bersemangat menyiapkan semua ini, dan aku sangat senang dengan perhatiannya. Tapi kalau sampai memaksakan diri, itu jelas tidak baik.


"Tunggu sebentar."

"Hya!"


"Apa yang sedang kamu sembunyikan?"


"Be-begini… aku tidak menyembunyikan apa-apa kok!"


Aku menghadang langkahnya dengan tangan yang menahan di samping, membuatnya terjebak di antara tubuhku dan dinding. Gerak-geriknya terlalu mencurigakan, jelas sekali ia sedang panik.


Biasanya aku mungkin akan percaya dengan kata-katanya dan membiarkannya, tapi kali ini berbeda. Sikapnya terlalu aneh untuk diabaikan.


"A-aku sungguh tidak ada apa-apa, jadi jangan khawatir…"


"Tidak, aku tetap khawatir."


"Ja-jangan khawatir…"


"Aku tetap khawatir."


"Hiii… Ke-kenapa hari ini kamu keras kepala sekali…?"


Sepertinya dia mengira bisa lolos dengan cara biasanya. 


Maaf, kali ini aku juga tak mau mengalah. Kalau benar dia menyembunyikan kondisi tubuhnya demi memaksakan diri, aku tidak akan membiarkannya. Kalau perlu, aku akan menyeretnya ke tempat tidur agar dia istirahat.


Jadi, meski senyum dan kata-katanya sangat manis, ulang tahunku hari ini membuatku seolah naik satu level—aku tidak akan kalah. …Walau jujur saja, godaan "jangan khawatir" darinya cukup mengguncang, tapi aku akan bertahan.

Dengan tangan satunya, aku menggenggam pergelangan tangannya agar ia tidak bisa lari lagi. Dari dekat, aku bisa melihat jelas wajahnya yang memerah. Nafasnya pun agak berat.


"Wajahmu merah. Jadi benar… kamu menyembunyikan sesuatu, kan?"


Sepertinya akibat terlalu memaksakan diri belakangan ini. Aku sebenarnya sudah senang hanya dengan niatnya, jadi kuharap dia mengaku saja lalu istirahat.


"Y-ya… Jadi kamu sudah sadar?"


"Hm? Ya. Aku bisa menebak kalau lihat kamu. Kamu kan mudah terbaca dari wajahmu."


Sikapnya jelas berbeda dari biasanya, wajahnya pun begitu. Meski kesannya tenang, Mikami-san ekspresif dan gampang dimengerti.


"Jadi… sejak tadi kamu sudah tahu?"


"Bisa dibilang begitu."


"Kalau begitu… tidak ada pilihan lain."


"Akhirnya menyerah juga ya."


"Ya. Aku menyerah. Aku sudah siap, jadi tolong lepaskan tanganku. Soalnya… kalau terlalu lama di-wall slam begini, aku jadi malu."


"A-ah, maaf."


Bagus. Sepertinya dia akhirnya siap untuk benar-benar istirahat. Kupikir dia akan ngotot hanya karena ulang tahun cuma setahun sekali, tapi ternyata lebih cepat dari dugaanku.


Bagiku, tidak masalah kalau perayaan mundur. Lebih baik ia sehat dan bisa tersenyum.


Kalau dipikir-pikir, tadi itu ternyata disebut kabedon…? Padahal bukan maksudku, tapi mungkin aku membuatnya salah paham.


Aku pun melepas tangannya, memberi ruang di antara kami. Ia tampak sedikit lega.


"Kalau begitu… bisakah kamu memejamkan mata sebentar?"


"Eh? Untuk apa?"


"Ya… karena aku malu."


Malu? Istirahat itu bukan hal yang memalukan.


Banyak orang salah paham kalau memaksa diri itu baik, padahal tidak. Mikami-san seharusnya lebih menjaga dirinya. Atau… mungkin dia masih mencari celah untuk kabur.


Kalau aku lengah, bisa-bisa dia lari lagi. Jadi aku harus memastikan sendiri ia benar-benar istirahat.


"Tidak, aku tetap akan lihat. Kalau tidak, kamu bisa kabur."


"Apa!? Ja-jangan meremehkan aku. Bukankah aku bilang sudah siap? Aku tidak akan kabur lagi."


"Kalau begitu, tidak masalah kalau aku lihat, kan?"


"Uuuh… Baiklah, baiklah! Lihat saja!"


Dengan wajah memerah padam, ia menatapku kesal.


Rasanya memang seperti tidak percaya padanya, dan hatiku agak perih, tapi demi kebaikannya, aku harus tegas.


"Hh… baiklah… Aku lakukan…"


Ia menarik napas panjang, lalu mendongak menatapku.


Tiba-tiba, tangannya terangkat, menempel di wajahku, menahannya dengan lembut.


"Kirishima-san, selamat.....ulang tahun."


Sambil mendekat selangkah, ia berbisik penuh perasaan. Sesaat aku masih kaget, lalu—ia berdiri jinjit, mendekatkan wajahnya…


"Mmff!?"


Dan berikutnya, bibirku sudah direnggut olehnya—sebuah ciuman.



Ciuman pertama itu… sebenarnya kecelakaan. Aku hanya bermaksud menyentuh pipinya yang tertidur dengan ringan. Tapi karena Kirishima-san mendadak berbalik, bibir kami… tanpa sengaja bertemu.


Awalnya aku berniat merahasiakan itu selamanya. Tapi tiap kali melihat wajah Kirishima-san, aku jadi teringat kejadian itu, membuat wajahku panas. Karena itu, aku malah menghindar sepanjang pagi. Namun, akhirnya aku tertangkap dan bahkan di-kabedon, sampai pergelangan tanganku ditahan. Aku pun tidak bisa lagi lari.


Saat aku merasa berdebar dalam situasi itu, Kirishima-san menatapku dengan wajah yang sangat serius, seolah menyadari bahwa aku sedang menyembunyikan sesuatu. Aku benar-benar tak bisa menyembunyikan keterkejutanku. Aku yakin dia sudah tertidur pulas, tapi ternyata dia menyadarinya……


Setelah tahu begitu, rasanya sia-sia kalau aku terus berusaha menyembunyikan semuanya dengan mati-matian. Akhirnya aku pasrah, lalu sekali lagi, dengan tekad penuh, aku memutuskan untuk melakukannya bukan sebagai kecelakaan, melainkan dengan keinginanku sendiri. Namun, karena malu bila ditatap terus-menerus, aku ingin dia memejamkan mata…… tapi Kirishima-san menolak. 


Padahal sudah mengerti perasaanku, tetap saja dia tidak mau memejamkan mata. Aku merasa dia sungguh kejam, tapi kalau memang dia ingin melihatnya, aku tidak bisa menolak. Anggap saja ini bagian dari hadiah ulang tahunnya. Keinginannya harus aku penuhi sebisa mungkin. Selain itu…… kalau dia berpikir aku akan kabur begitu saja saat dia melepaskan pandangan, rasanya sakit hati sekali. 


Aku tidak ingin tekadku dianggap seringan itu. Meskipun ini sebenarnya sudah menjadi kali kedua, bagiku rasanya seperti menyerahkan ciuman pertamaku. Jadi…… tolong jangan meremehkanku.


Aku menarik napas dalam, meneguhkan tekad, lalu menatap wajah Kirishima-san. Dengan hati-hati membidik agar kali ini tidak meleset, aku menempelkan tanganku pada pipinya.


"Kirishima-san, selamat.......ulang tahun."


Kali ini aku mengucapkan kata-kata itu langsung di hadapannya. Dan kemudian…… aku berjinjit, mendekat, hingga jarak di antara kami──nol.


"Mmgh!?"


"Nh…… puhaa……"


Itulah ciumanku yang kedua. Aku melingkarkan tanganku ke kepalanya, lalu setelah ciuman dalam yang terasa singkat sekaligus panjang tanpa akhir itu, aku terpaksa mencari udara.


(Sungguh…… terasa begitu nikmat……)


Kepalaku serasa kesemutan, lalu perasaan nyaman yang lembut menyerbu seluruh tubuhku.


Yang pertama kali…… lebih didominasi rasa terkejut oleh situasi yang tak terduga, sehingga aku tidak benar-benar bisa merasakan ciumannya. Jadi, kali ini benar-benar yang pertama bagiku untuk merasakannya sepenuhnya. Rasanya aku hampir terdorong oleh keinginan untuk mengulanginya sekali lagi.


Bagaimana reaksi Kirishima-san, ya? Apakah dia merasakan hal yang sama denganku?


Aku sudah mengabulkan keinginannya untuk melihat, tanpa peduli pada rasa maluku. Tentu saja dia seharusnya menanggapi dengan sukacita. Dengan pikiran itu, aku mendongak…… hanya untuk melihat Kirishima-san menatapku dengan ekspresi kacau, membeku di tempat.


Hah? Ini bukanlah reaksi yang kuharapkan.


"Kirishima-san?"


"Ah, eh…… ke-kenapa. Tadi…… kau menciumku?"


"Kenapa, katamu……"


Rahasiaku…… tentang ciuman pertama yang kualami tengah malam itu, bukankah dia sudah tahu? 


Itulah sebabnya aku menyerah, lalu memberinya ciuman kedua sebagai hadiah ulang tahun. Jadi kenapa dia terlihat begitu bingung?


(Eh……?)


Jangan-jangan…… aku benar-benar salah paham?


Kalau kuingat lagi, meski ucapannya seolah menyinggung inti perasaanku, dia tidak pernah benar-benar menyinggung soal ciuman di bibir itu. Bahkan…… dari reaksinya barusan. Itu bukanlah reaksi seseorang yang sudah pernah dicium sebelumnya…… bukan begitu? Artinya. Artinya…… Bagi Kirishima-san, ciuman ini adalah sesuatu yang tak terduga. Dengan kata lain…… dia tidak tahu? Ciuman pertamaku itu…… Kirishima-san sama sekali tidak menyadarinya……?


"Eh…… a-apa……!?"


"Ke-kenapa sekarang Mikami-san yang malah panik……"


Semua titik mulai terhubung, dan wajahku terasa panas seperti hendak menyemburkan api. Rasanya seperti meledak.


Sepertinya aku sudah mengerti situasinya. Aku salah paham dengan perkataan Kirishima-san, lalu justru menjatuhkan diriku sendiri. Aku hampir yakin, tapi sebaiknya aku memastikan langsung.


"Kirishima-san…… menurutmu, ini ciuman keberapa antara kita?"


"Keberapa, ya…… jelas pertama kali."


"Sayang sekali, itu jawaban yang salah."


Ah, ternyata benar. Meskipun Kirishima-san tidak bermaksud begitu, aku benar-benar terjebak. Rahasiaku…… ternyata tidak pernah dimengerti olehnya. Namun, dengan kepandaian kata-katanya, aku malah terseret masuk begitu saja.


Entah apa yang sebenarnya kupikirkan waktu itu. Yang jelas, percakapan yang sempat nyambung itulah yang menjadi awal kejatuhanku. Benar-benar memalukan. Tapi…… tak apa.


Meskipun sedikit kesal karena harus membuka rahasia hanya karena terhasut kata-kata manisnya, ciuman penuh perasaan itu terasa sangat nikmat, jadi aku akan memaafkannya. Tapi tentu saja, tidak akan semudah itu. Walaupun bukan sengaja, dia sudah membuat seorang gadis merasa begitu dipermalukan. 


Untuk menebusnya, tentu harus ada imbalan yang sepadan. Wajar, bukan? Imbalan itu──


"Sekali lagi, tidak apa-apa kan?"


"Nh!?"


Dia harus membayar dengan ciuman ketiga. Seperti pepatah bilang, dua kali akan jadi tiga kali. Tentu saja, aku tidak berniat berhenti di tiga…… tapi untuk sekarang, setidaknya sekali lagi.



"……jadi begitu ceritanya."


"Begitu, ya…… jadi kita sama-sama salah paham."


"Itu karena Kirishima-san kurang jelas dalam berbicara. Tolong introspeksi diri."

Tak butuh waktu lama sampai akhirnya terungkap bahwa ciumanku dengan Mikami-san, yang kukira adalah ciuman kedua, ternyata justru ciuman ketiga.


Di satu sisi, Mikami-san tampak menyadari sesuatu lalu terlihat lega, sementara aku hanya bisa kebingungan. Tindakan mendadak Mikami-san, alasan yang melatarbelakanginya, kesalahpahaman yang muncul, serta perbedaan pemahaman antara kami berdua—semuanya bercampur aduk dalam pikiranku.


Setelah saling menjelaskan keadaan dan menyamakan persepsi, barulah aku bisa memahami situasinya.


Ciuman pertama yang terjadi saat aku tertidur—atau lebih tepatnya, tanpa sengaja diberikan kepadaku—disadari oleh Mikami-san, tetapi tidak olehku. Dari sanalah kesalahpahaman lahir.


Mikami-san yang terus menghindariku dan selalu berwajah merah, kukira karena sedang menyembunyikan kondisi tubuh yang kurang sehat. Maka aku pun menekannya, membuatnya semakin sadar padaku, dan kesalahpahaman itu makin membesar.


Perbedaan pemahaman terhadap rahasia yang ia simpan, ditambah percakapan yang entah bagaimana bisa nyambung meski berbeda arah, membuat Mikami-san salah paham bahwa aku sudah tahu tentang ciuman pertama itu.


Akhirnya, karena merasa terpojok oleh sikapku yang terus berusaha mengungkap rahasia tersebut, Mikami-san pasrah…… dan memberiku ciuman kedua sebagai hadiah ulang tahun. Begitulah. Aku bisa menerima penjelasannya, meski kepalaku masih kacau. Bagaimanapun juga, aku baru saja berciuman dengan Mikami-san…… dengan seorang gadis.


Dengan sedikit malu, namun wajah lega, Mikami-san berkata bahwa 

itu adalah hadiah ulang tahunnya untukku. Bahkan aku, yang selama ini lambat dalam memahami perasaan orang lain, mengerti betapa berharganya ciuman pertama seorang gadis. Itu sesuatu yang istimewa, bukan sesuatu yang bisa ia berikan begitu saja hanya karena hari itu adalah hari ulang tahunku.


"Bagaimana? Apa rasanya ciuman pertamaku?"


"……Aku tidak tahu soal ciuman pertamamu. Waktu itu aku sedang tidur."


"Fufu, benar juga. Kalau begitu, yang tadi bagaimana?"


"……Aku terlalu kaget, jadi tidak begitu paham."


"Perasaan itu aku mengerti. Aku pun begitu saat pertama kali."


Pipi Mikami-san merona samar, jemarinya menggulung ujung rambut, sementara ia tampak gelisah dengan malu-malu.


Tanpa kusadari, ciuman pertamaku sudah diambil. Tanpa kusadari pula, ciuman pertama Mikami-san sudah diberikan padaku. Mungkin ciuman pertamaku sebagai seorang laki-laki tidak terlalu berarti. Tetapi ciuman pertamanya…… jelas sangat berharga.


Sejak awal, Mikami-san sudah memberiku banyak hal yang istimewa. Entah bisa dibilang "normal" atau tidak, tapi Mikami-san selalu melakukan hal-hal yang pada umumnya tidak dilakukan oleh gadis kebanyakan.


Gadis biasa tidak akan dengan mudah masuk ke rumah seorang laki-laki, tidak akan dengan gampang menempel begitu dekat, dan tidak akan sembarangan memperlihatkan kulitnya.


Kalau dihitung, mungkin jari-jari kakiku pun tidak cukup untuk 

menghitung semua hal yang sudah dilakukannya. Dan kini…… sampai berciuman juga. Ini sudah……


"Kirishima-san."


"……Apa?"


Mikami-san yang duduk di sampingku meletakkan tangannya di atas tanganku, lalu menatapku dengan wajah tegang. Aku bisa merasakan tangannya bergetar. Pasti ia memikirkan hal yang sama denganku.


Sepertinya…… saatnya tiba untuk melakukan "jawaban terakhir." Sesuatu yang terus kutunda sampai sekarang.


"Haruskah aku yang mengatakannya?"


"Tidak, biar aku saja. Biarkan aku yang mengatakan."


Aku sudah membuatnya menunggu terlalu lama. Jika aku lari lagi di saat ini…… aku pasti akan menyesal.


Sejak awal Mikami-san sudah terus berusaha menyampaikan perasaannya. Akulah yang pura-pura tidak melihat, pura-pura tidak tahu. Padahal aku pun tidak pernah benar-benar menolak, hanya terus menerima semua yang ia berikan, sambil bersembunyi di balik alasan bahwa "karena itu Mikami-san, jadi tidak apa-apa."


Kenyataannya, akulah yang selalu bergantung padanya. Aku sudah tahu perasaanku sejak lama. Kalau tidak, aku tidak akan pernah memperlakukannya seistimewa ini. Aku orang yang cenderung menjaga jarak dengan orang lain. Pemalu, dan butuh waktu lama untuk bisa akrab. Masuk SMA pun, aku ingin berubah, tapi nyatanya tidak bisa.

Justru karena sifat itulah aku bisa punya hubungan dengan Mikami-san.


Hari itu, ketika aku kebetulan menolongnya, masih jelas terekam dalam ingatanku. Saat itu aku tidak tahu banyak tentang Mikami-san. Ia populer, hidup di dunia yang berbeda dariku. Aku tidak berniat menjalin hubungan lebih jauh dengannya. Jadi ketika ia dengan aktif mendekatiku, aku merasa aneh.


Semuanya bermula dari kebetulan. Aku kebetulan menolongnya, dia kebetulan kutolong. Aku kira setelah itu hubungan kami akan berakhir di situ. Namun, Mikami-san justru memilih untuk melanjutkannya.


──“Apakah aneh kalau aku berusaha akrab denganmu, hanya karena aku ingin begitu?”──


Tak ada yang menyuruhnya, ia sendiri yang memutuskan. Karena ia ingin, maka ia lakukan. Sesederhana itu.


Sikapnya yang teguh dengan keinginannya sendiri itu membuatnya begitu kuat, keren, dan mempesona. Sementara aku…… lebih memilih peduli pada reaksi sekitar, menyingkirkan perasaanku sendiri, mengabaikan perasaan Mikami-san. 


Aku sungguh terlihat buruk. Aku masih ingat jelas wajahnya waktu itu, saat dengan sedikit marah ia menuntutku berkata jujur. Benar…… tidak ada yang salah dengan berusaha akrab dengan seseorang yang ingin kita dekati. Karena itu…… aku pun ingin. Aku ingin lebih dekat lagi dengan Mikami-san. Lebih dari sekadar akrab. Aku ingin dia istimewa bagiku, aku pun ingin jadi istimewa baginya, dan terus menjadi istimewa satu sama lain.


Jadi, aku tidak akan lagi bersembunyi di balik alasan "tidak ada yang salah." Kami baru berkenalan dan dekat selama tiga bulan lebih sedikit, tapi hari-hari bersamanya sungguh menyenangkan, penuh rasa bahagia. Bersama Mikami-san itu bukan sekadar "tidak buruk." Aku ingin bersama Mikami-san. Aku menyukai Mikami-san. Kalau bukan Mikami-san, aku tidak mau. 

Sejak lama sebenarnya aku sudah merasa begitu. Namun…… yang membuatku tak bisa melangkah maju hanyalah kelemahanku sendiri. Selama kebersamaanku dengan Mikami-san, bahkan aku yang lamban sekalipun tahu bahwa perasaannya tertuju padaku, semakin lama semakin besar. Tetapi aku tidak sepenuhnya membalasnya, hanya membiarkan semuanya mengalir begitu saja, menjalani hubungan setengah hati…… karena aku tidak mengerti Mikami-san.


Aku tidak tahu mengapa ia bisa menujukan perasaan itu padaku, dan sampai sekarang pun aku belum sepenuhnya memahaminya. Kalau diibaratkan…… aku tahu jawabannya, tapi tidak tahu bagaimana proses untuk sampai pada jawaban itu.


Aku tidak percaya diri. Itu sebabnya aku tidak bisa memahami mengapa seorang gadis sempurna seperti Mikami-san bisa menyukaiku. Hal yang tidak kumengerti terasa menakutkan. Karena itu, aku ingin tahu. Ingin tahu agar bisa merasa tenang.


Mungkin sebenarnya keinginan untuk tahu itu hanyalah alasan agar aku bisa menghindari jawaban yang sebenarnya sudah ada di depan mata. Tapi, sekarang sudah cukup. Untuk menyukai seseorang tidak perlu alasan. Berapa lama waktu yang dibutuhkan pun tidak penting.


Yang terpenting──adalah perasaan "suka" ini, yang sudah tumbuh dan berkembang begitu besar. Aku percaya sepenuhnya pada Mikami-san, yang selalu jujur terhadap perasaannya sendiri. Masih ada banyak hal yang belum kupahami, tapi itu tidak masalah. Mulai sekarang, kita bisa perlahan-lahan saling mengenal lebih jauh seiring waktu. Karena itu, aku juga……akan jujur terhadap perasaanku ini.


Hal-hal yang tidak perlu…… biarlah, seperti yang Mikami-san ajarkan, tidak usah dipikirkan.


"Mikami-san."


"……Ya."


Mikami-san mengatupkan bibirnya rapat-rapat, menunggu jawabanku dengan wajah tegang. Aku sempat merasa cemas, bertanya-tanya apa yang akan terjadi saat aku benar-benar mengatakannya. Namun hatiku tenang. Pikiranku sudah tersusun. Aku bisa mengungkapkan semua perasaan yang ingin kusampaikan.


Cara untuk mengekspresikan isi hati lewat sikap dan kata-kata ──sesuatu yang terlihat sederhana tapi sebenarnya sulit──itu selalu diperlihatkan Mikami-san kepadaku.


"Aku menyukai Mikami-san."


"……!"


Jantungku berdegup kencang, seperti riak ombak yang terus memukul dada. Seluruh tubuhku terasa panas, seakan mendidih. Namun mataku tidak berpaling darinya. Pipi Mikami-san memerah samar. Ia menatap balik kepadaku, menunggu kata-kata berikutnya.


"Kau masih ingat hari pertama kita bertemu?"


"Ya. Hari saat Kirishima-san menolongku, bukan? Tentu saja aku mengingatnya."


"Hari itu, aku kebetulan menolongmu. Bagiku itu hanya sebuah pertemuan sesaat. Aku pikir setelah itu kita tidak akan pernah berhubungan lagi."


"Fufu, tapi ternyata tidak begitu, ya."


Ya, memang tidak begitu. Mikami-san sengaja mencariku, bersikeras ingin mengucapkan terima kasih. Bahkan setelah itu pun, meski sudah menyelesaikan rasa terima kasihnya, ia tetap mengusik kesendirianku.

Dan aku, terhadap Mikami-san yang seperti itu──


"Meskipun aku bingung dengan sikapmu yang begitu memaksa masuk dan mendekatiku…… aku merasa itu tidak buruk."


Aku meletakkan tanganku di bahunya, menatapnya lurus. Mikami-san tampak sedikit malu, namun tetap mendengarkan kata-kataku dengan sungguh-sungguh.


"Awalnya aku hanya kebetulan jadi penyendiri, tapi berada sendirian membuatku tidak perlu repot memperhatikan orang lain. Rasanya tenang, nyaman. Karena itu aku begitu terkejut ketika kau terus saja mengusikku. Tapi…… lebih dari itu, aku merasa itu tidak buruk."


"Itu bagus kalau begitu."


"Termasuk juga soal tindakan invasi ke rumahku. Aku sempat heran, kenapa gadis seperti Mikami-san bisa dengan mudah masuk begitu saja ke rumah seorang laki-laki. Tapi…… waktu yang kuhabiskan bersama Mikami-san terasa menyenangkan, dan aku merasa itu tidak buruk."


"Hehe, berarti usahaku tidak sia-sia, ya."


Mikami-san menatap ruang tamu seolah bernostalgia. Saat pertama kali ia kuizinkan masuk, ruangan ini terasa agak kosong dan gersang. Namun kini, semuanya sudah sepenuhnya dipenuhi dengan warna Mikami-san. Dan sejak keadaan itu membuatnya semakin sering menghabiskan waktu di rumahku…… invasi itu benar-benar deras bagaikan gelombang besar. Tapi…… tetap saja, aku merasa itu tidak buruk. Kalau aku tidak merasakannya begitu, pasti aku sudah lebih keras melawan invasi Mikami-san.


"Waktu bersama Mikami-san terasa menyenangkan, menenangkan, dan tidak buruk…… itu yang selalu kupikirkan."


Ya, dulu memang begitu aku berpikir. Namun entah sejak kapan, aku hanya meyakinkan diriku sendiri dengan anggapan itu.


"Tapi, lama-kelamaan semuanya berubah. Sebenarnya aku sudah tahu. Bersama Mikami-san itu bukan sekadar tidak buruk…… tapi aku ingin Mikami-san. Aku ingin bersamanya. Aku menginginkannya. Bukan lagi menerima paksaan Mikami-san, melainkan aku sendiri yang mendambakannya."


"……Kata-kata itu, membuatku sangat senang."


Mikami-san tersenyum dengan sedikit malu. Dengan reaksi seperti itu, rasa maluku sendiri ikut membuncah. Tapi aku belum selesai mengatakan hal yang harus kusampaikan, jadi aku tidak boleh mundur di sini.


"Aku ini orang yang pemalu dan punya batas ruang pribadi yang luas. Tapi Mikami-san dengan mudah menembus jarak itu. Dalam waktu singkat, aku jatuh hati padanya. Padahal sejak bertemu baru tiga bulan lebih sedikit. Kau boleh menertawakan aku yang mudah sekali jatuh begini, tahu?"


"Aku tidak akan menertawakannya. Karena kalau aku menertawakan, lalu bagaimana dengan aku sendiri yang bahkan lebih cepat jatuh hati pada Kirishima-san? Itu tidak akan cukup hanya ditertawakan. Aku pasti akan tertawa terlalu keras sampai perutku sakit."


Ya, benar. Itu memang akan membuat perut terguncang karena tertawa. Aku sebenarnya sudah menyadarinya. Tapi aku berpura-pura tidak tahu. Padahal Mikami-san sudah begitu banyak menunjukkan perasaannya padaku. Aku benar-benar merasa bersalah.


Bukan berarti ini semata penebusan dosa, tapi mulai sekarang aku akan membalasnya dengan sungguh-sungguh. Itulah tekadku, janjiku…… sekaligus isi hatiku yang sebenarnya.


"Aku ingin terus menghabiskan waktu bersamamu. Aku ingin kau selalu menjadi orang yang istimewa bagiku. Aku akan menjagamu dengan sepenuh hati. Karena itu──tolong, jadilah pacarku."


"……Ya, dengan senang hati!"


Mengatakan itu, Mikami-san langsung melompat ke pelukanku. Dorongan tubuhnya begitu kuat hingga aku hampir terjatuh, tapi aku berhasil menahan diri, lalu merangkul punggungnya, dan membalas dengan pelukan erat.


Kami berdua berdiam, hanya saling berpelukan tanpa kata. 

Perlahan kami berpisah, saling menatap dengan perasaan yang masih tertinggal. 


Di sudut mata Mikami-san, air mata mulai menggenang karena haru. Aku mengusapnya dengan jemariku, lalu ia menatapku dari bawah dengan mata berkaca-kaca.


"Maaf, aku sampai menangis sedikit."


"Maafkan aku."


"Ini air mata bahagia…… jadi tidak apa-apa."


Ia menunjukkan senyum yang begitu cerah, bagaikan sinar matahari yang menembus celah awan setelah hujan reda. Melihat itu, aku pun meneguhkan sumpahku.


Sumpah bahwa ia adalah orang yang istimewa bagiku. Aku tidak akan pernah melepaskannya. Aku ingin melindungi senyuman ini selamanya. Dengan sumpah itu, aku──kembali memeluknya dan menutup bibirnya dengan milikku.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

0

Post a Comment

close