Penerjemah: Flykitty
Proffreader: Flykitty
Chapter 11
Putri Salju dan Akhir dari Sang Adik
"Kita sudah pulang~!"
Setelah menikmati Hakone sebentar, Takashi kembali ke rumah bersama Himeno.
Perjalanan ini menjadi sesuatu yang tak tergantikan, dan bahkan sekarang pun dia masih merasa bahagia.
"Memang agak berat rasanya untuk langsung pulang, ya."
"Benar juga."
Karena itu adalah perjalanan yang akan menjadi kenangan seumur hidup, tak heran jika mereka berharap bisa tinggal lebih lama.
Mereka menaruh koper di sudut kamar, lalu duduk di atas ranjang sambil saling menempel.
Mereka memang sudah melewati pengalaman pertama, tapi karena baru saja mulai pacaran, rasanya masih sedikit canggung.
Saat di Hakone, mungkin mereka tak merasa begitu malu karena ada "sihir liburan" yang bekerja.
Meskipun, tetap saja ada rasa malu sedikit.
"Tapi kita masih bisa pergi lagi nanti, jadi aku menantikannya."
Dengan tawa kecil "ehehe", Himeno tampak senang memikirkan tentang liburan selanjutnya.
Memang, jalan-jalan itu menyenangkan, dan keinginan untuk mengulanginya adalah hal yang wajar. Takashi pun tentu ingin jalan-jalan lagi bersama Himeno.
"Walau tidak berdua saja, kita akan punya study tour sebagai siswa tahun kedua nanti."
Masih beberapa waktu lagi, tapi acara terbesar di masa SMA—study tour—sudah di depan mata. Itu adalah kegiatan yang dinantikan semua siswa.
"Benar. Sayangnya nanti kita tidak bisa sekamar berdua."
"Itu sih memang nggak mungkin untuk study tour."
Tidak ada sekolah yang membolehkan murid laki-laki dan perempuan tidur sekamar.
Meskipun di anime ada adegan cowok masuk ke kamar cewek, di dunia nyata itu hampir mustahil. Kalau sampai ketahuan guru, bisa-bisa diskors.
"Tapi setidaknya kita bisa jalan bareng, kan?"
"Iya."
Kalau tak salah, kelompok di study tour nanti bisa campur laki-laki dan perempuan. Jadi, mereka masih bisa jalan bersama.
Hanya saja, tentu tak semudah waktu liburan berdua. Karena mereka tidak sepenuhnya berdua, tidak bisa mesra-mesraan seperti sebelumnya.
"Kenangan dengan suamiku akan terus bertambah ya."
"Iya."
Semua baru saja dimulai. Mereka masih bisa membuat sebanyak mungkin kenangan ke depannya.
Mereka ingin terus bermesraan, sering pergi berkencan, dan menjalani hidup penuh kenangan. Selama bersama Himeno, itu pasti bisa terwujud.
"Imut banget."
"Ah…"
Suara manja keluar dari bibir Himeno saat dia dipeluk erat.
Dengan senyum bahagia, Himeno melingkarkan lengannya ke punggung Takashi. Lalu menggosok-gosokkan dahinya ke dada Takashi—terlihat sangat menggemaskan.
"Bersama suamiku selalu membuatku bahagia."
"Aku juga. Selalu bahagia saat bersama Himeno."
Rasanya tak mungkin hidup tanpa Himeno lagi. Tak banyak orang yang tak merasa bahagia saat punya kekasih, apalagi kalau itu cinta pertama.
"Aku terlalu bahagia karena suamiku juga bahagia."
"Aku juga bahagia karena Himeno bahagia."
Mereka memang terus mengulang kata-kata yang sama dari tadi, tapi karena memang tulus, itu bukan masalah.
"Ngomong-ngomong, Shikibu-san nggak kelihatan ya?"
"Mungkin dia lagi pergi sama keluarganya?"
Mereka sudah bilang kalau akan pulang malam ini, tapi karena pulang lebih cepat dari rencana, wajar kalau Marika belum ada. Tapi kemungkinan besar, dia akan pulang malam ini.
"Kalau begitu, sebelum dia datang kita harus banyak bermesraan dulu ya."
Sepertinya meskipun Himeno punya rasa posesif, dia tetap tak ingin merusak hubungan Takashi dengan Marika. Mungkin dia tidak keberatan selama tidak berlebihan.
"Iya."
"Nn…"
Dan mereka pun kembali bermesraan dalam waktu yang tersisa.
*
"Mauu ketemuuuuu! Takkuuun!"
Malam setelah pulang dari perjalanan, saat sedang santai di ranjang kamar, Takashi tiba-tiba dipeluk oleh Marika yang datang ke rumah.
Ia sudah menduga Marika akan merasa kesepian, tapi air mata yang menggantung di matanya menunjukkan bahwa dia jauh lebih kesepian dari yang dibayangkan.
Sebagai catatan, Himeno sudah pulang ke rumahnya karena terlihat sangat lelah.
Mengingat mereka baru saja melakukan perjalanan dan pengalaman pertama, wajar saja.
"Baru beberapa hari, lho."
"Beberapa hari itu pun terasa sepi."
Memang mereka tak pernah terpisah selama beberapa hari sebelumnya, jadi tak heran jika Marika merasa kehilangan. Marika benar-benar menyayangi Takashi seperti adik kandung.
Kalau bisa, Takashi ingin Marika berhenti terlalu lengket dengannya, tapi tampaknya itu cukup mustahil. Karena Marika sendiri selalu bilang ingin bersama selamanya.
"Sekarang gantian, ayo liburan bareng aku, ya?"
"Liburan bareng Marika?"
"Iya!"
Kalau hanya sekadar bersama, Himeno mungkin takkan marah. Tapi kalau sampai pergi liburan berdua, dia pasti cemburu.
Takashi tak ingin membuat Himeno cemburu, jadi liburan dengan Marika mungkin tak bisa dilakukan.
"Berdua aja?"
"Iya. Liburan khusus kakak-adik."
Marika pasti mengatakannya dengan sungguh-sungguh. Meski sebenarnya mereka bukan kakak-adik kandung, dia tetap mempercayai hal itu karena pengaruh kutukan masa lalu.
"Aku sekarang pacaran dengan Himeno, lho."
"Selamat, ya! Tapi nggak masalah, karena kita ini kakak-adik!"
Itu sama sekali bukan hal yang ‘nggak masalah’, dan mereka pun bukan kakak-adik sungguhan.
"Aku bakal utamakan Himeno sekarang, jadi nggak bisa."
"Yaaaah…"
Kalau mereka benar-benar kakak-adik kandung, mungkin masih bisa dimaklumi. Tapi Marika adalah teman masa kecil. Tak pantas rasanya pergi liburan berdua setelah resmi pacaran dengan orang lain.
Beberapa waktu lalu, mungkin Takashi akan pergi tanpa berpikir panjang. Tapi sekarang dia sudah punya kekasih yang sangat dicintainya.
"Jangan sedih gitu dong. Bukan berarti kita nggak bisa bareng-bareng lagi."
Untungnya, Himeno masih mengizinkan interaksi Takashi dengan Marika. Jadi Marika masih bisa berperan sebagai ‘kakak’ seperti biasa. Selama tidak kelewatan.
"Tumben banget, Marika manja kayak gini sama aku. Mulai sekarang aku yang jadi Onii-chan, gitu?"
Meskipun Marika lebih tua karena lahir lebih dulu, jaraknya tidak begitu jauh.
"Yang itu nggak bisa. Aku tetap mau jadi kakaknya Takkun."
Sepertinya dia benar-benar tidak mau melepaskan peran sebagai kakak.
"Seorang kakak pun ada kalanya ingin dimanja. Aku sedih karena nggak bisa bareng Takkun."
Marika menekan dahinya ke dada Takashi. Dulu, perlakuan seperti ini sangat menyenangkan. Tapi sekarang, perasaannya sudah berkurang separuh. Wajar saja—karena dia sudah punya pacar sekarang.
"Kakak-adik biasanya nempel-nempel kayak gini ya?"
"Orang lain ya biarin aja. Ini rumah kita, peraturan kita."
Rasanya seperti alasan ibu-ibu yang nggak mau membelikan mainan buat anaknya—"yang lain bukan urusan kita." Tapi Takashi menahan diri untuk tidak mengatakannya.
"Aku sangat berterima kasih ke Marika, tahu. Waktu aku down karena kakakku meninggal, kamu yang terus nemenin aku."
Takashi tahu bahwa Marika juga pasti kesulitan waktu itu, tapi berkat keberadaannya, Takashi bisa tetap hidup.
Kalau waktu itu Marika tidak ada, mungkin dia akan benar-benar menyusul sang kakak—sedalam itu rasa kehilangan yang dia alami.
Saking cintanya, dulu Takashi kecil benar-benar ingin menikahi kakaknya sendiri, Kana.
"Kalau begitu, tetaplah jadi adikku. Itu caramu membalas budi ke aku."
"Sepertinya aku benar-benar nggak bisa galak ke Marika, ya."
Takashi menghela napas kecil, tapi pada akhirnya dia tetap tidak bisa menolak permintaan Marika.
Dia terlalu berterima kasih padanya, sampai-sampai jadi terlalu lembek.
"Kurasa aku harus cerita ke Himeno deh. Tentang kenapa Marika bisa sampai seobsesif ini jadi kakak."
Kalau hanya interaksi biasa sih tak masalah, tapi kalau sampai sejauh ini, sebaiknya Himeno tahu alasan di baliknya.
"Aku sih nggak keberatan. Tapi kamu sendiri nggak apa-apa? Kalau kamu jadi ingat soal Kana-san?"
"Sekarang aku udah nggak papa."
Sudah bertahun-tahun berlalu, dan walaupun Takashi sebenarnya tidak ingin mengingat tubuh dingin Kana yang tak lagi bernyawa, dia tahu dia harus menjelaskan semuanya ke Himeno.
"Kalau sudah dijelaskan, aku bisa dengan bangga jadi kakaknya Takkun bahkan di depan Shirayuki-san!"
"Jangan keterlaluan aja, ya."
Takashi memang benar-benar terlalu lembut terhadap Marika.
*
"Sudah sampai nih~"
Pagi hari setelah pulang dari liburan, bel rumah berbunyi. Saat Takashi membukanya, Himeno muncul di depan pintu dalam seragam sekolah, tersenyum cerah.
Karena hari ini Senin dan ada sekolah, kemungkinan besar dia datang untuk berangkat bareng.
"Pagi. Datang pagi banget, ya."
Sekarang belum jam tujuh, jadi masih cukup awal untuk berangkat.
"Selamat pagi. Aku ingin membuat sarapan untuk suamiku, kekasihku tercinta."
Wajah Himeno memerah saat menekankan kata kekasih, membuatnya tampak begitu menggemaskan. Tapi Takashi masih sedikit mengantuk.
"Aku senang banget."
"Ah… nnn…"
Meski masih mengantuk, Takashi merasa bahagia, lalu menarik Himeno ke pelukannya dan mengecup bibirnya.
Meski sudah sering melakukannya, bibir Himeno tetap terasa lembut dan membuatnya ingin terus mencium.
"Rasanya bahagia banget karena suamiku membutuhkanku…"
Himeno memeluknya erat seolah ingin menyerap kebahagiaan itu sepenuhnya.
Sepertinya bagi Himeno, dicari dan dibutuhkan oleh orang yang dia cintai adalah hal yang membuatnya paling bahagia.
"Ayo ke ruang tamu dulu."
"Iya."
Meski menjawab begitu, Himeno tidak mau melepaskan pelukan—mungkin karena dia benar-benar tidak ingin berpisah.
Padahal semalam pun sebenarnya dia ingin tetap tinggal, tapi mungkin dia pulang karena memikirkan kelelahan mereka. Kalau tetap bersama, bisa jadi mereka tak bisa menahan diri dan kelelahan di hari Senin ini.
Malam tadi, karena Marika yang kesepian, Takashi juga sudah cukup kelelahan.
"Mau tetap peluk kayak gini sampai ruang tamu?"
"Iya. Aku mau terus nempel sama suamiku."
Akhirnya, meskipun terasa berlebihan, Takashi pun berjalan ke ruang tamu sambil memeluk Himeno.
"Aku ingin terus nempel, tapi karena harus masak, aku akan lepas sebentar ya."
Suara Himeno terdengar sedikit berat melepas pelukan, tapi dia benar. Kalau tak berpisah, dia tak bisa memasak.
Dia pun melepas pelukan, mengenakan celemek, lalu mulai menyiapkan sarapan di dapur.
"Aa~n"
Sarapan pagi itu berupa menu ala barat. Himeno menyodorkan roti panggang yang diolesi margarin ke mulut Takashi. Mereka duduk berdampingan, jadi mudah untuk menyuapi.
"Aa~n."
Takashi pun membuka mulut dan memakan roti yang disuapkan.
Sebagai catatan, Marika sempat mampir sebentar ke rumah, tapi setelah melihat Himeno, sepertinya dia merasa puas karena tahu bisa tetap jadi kakak, lalu memutuskan sarapan di rumah sendiri.
"Enak banget."
Meskipun sudah beberapa kali mencicipi masakan Himeno, rasanya tetap luar biasa, membuat wajah Takashi secara refleks tersenyum.
"Syukurlah."
Dengan tawa manisnya, Himeno terlihat bahagia melihat Takashi menikmati masakannya. Dia sangat imut—senyuman itu saja sudah membuat Takashi ingin melindunginya selamanya.
Tapi untuk melindungi senyum Himeno ini, Takashi tahu dia harus menyelesaikan masalah dengan Hinata. Kemungkinan besar, setelah ujian selesai, Hinata akan mulai mengganggu lagi.
"Makan yang banyak, ya. Nn…"
Sekarang, Himeno menggigit ujung sosis dan mengarahkannya ke Takashi.
Kelihatannya dia ingin memberi makan lewat mouth-to-mouth.
Setelah pengalaman pertama kemarin, melihat gadis menggigit benda panjang seperti itu terasa agak… sensual. Tapi Takashi menahan diri untuk tidak mengatakan itu.
"Nn…"
Takashi pun menggigit sosis yang Himeno suapkan langsung dari mulutnya.
Karena ini buatan pacarnya, tentu terasa lebih enak dari biasanya—"keajaiban cinta" mungkin memang nyata.
"Mulai sekarang, aku akan masak untuk suamiku setiap hari, ya."
Takashi yakin, Himeno benar-benar akan melakukan itu.
"Nn…"
Saking senangnya, Takashi kembali menciumnya, lalu melanjutkan sarapan penuh kasih sayang itu.
*
"Aku ingin terus bermesraan kayak gini…"
Saat waktu sekolah mulai mendekat, Himeno untuk pertama kalinya mulai merengek.
Dia tidak suka kalau waktu mesra mereka harus berkurang gara-gara sekolah.
Setelah resmi jadi pacar di Hakone, wajar kalau dia ingin terus nempel dan bermesraan.
"Kalau terus-terusan begini, kamu benar-benar jadi gadis manja, lho."
Akhir-akhir ini pun mereka sudah terlalu mesra—kalau sampai tidak mau sekolah, itu bisa jadi masalah.
"Iya… Aku juga sadar, sih. Harus sekolah."
Akhirnya, Himeno pun sadar bahwa sekolah tetap penting, dan memutuskan untuk tetap pergi.
Sementara itu, Marika sudah lebih dulu berangkat, jadi rumah hanya mereka berdua.
Mereka pun mengunci pintu dan berangkat ke sekolah sambil bergandengan tangan.
"Ngomong-ngomong, aku penasaran. Kenapa ibu Himeno kerja sih? Dan kenapa harus tinggal di penginapan segala?"
Begitu mereka keluar dari apartemen, Takashi bertanya pada Himeno.
Dulu ibunya tidak bisa bekerja karena sakit, tapi sekarang mereka menerima biaya hidup dari ayah Himeno, jadi sebenarnya tidak masalah meski ibunya tidak bekerja.
"Ibu mulai bekerja setelah ayah bilang kalau aku dan ibu tidak boleh tinggal bersama. Meski uang tunjangan masih diberikan oleh ayah, itu hanya sampai aku lulus SMA. Biaya kuliah sedang ibu tabung sendiri."
Meski alasannya karena sakit, pasti berat rasanya tidak bisa tinggal bersama anaknya. Itulah sebabnya setelah keluar dari rumah sakit, dia berusaha sebisa mungkin untuk terus bersama Himeno.
"Mungkin dengan bekerja, ibu bisa melupakan banyak hal. Lagi pula, kalau tinggal di tempat kerja, dia bisa ngobrol banyak dengan rekan kerja di luar jam kerja."
Kemungkinan besar alasan mereka tinggal terpisah adalah karena Hinata mengatakan sesuatu pada ayah mereka. Dari sudut pandang Hinata, sepupu yang selama ini dia anggap seperti kakak ternyata adalah kakak tiri dari hubungan berbeda ibu—itu pasti membuatnya sangat terkejut.
Itulah sebabnya dia melakukan semacam balas dendam dengan membuat mereka tinggal terpisah.
Perasaan Hinata mungkin bisa dimengerti, tapi tindakan itu sudah terlalu keterlaluan. Tak aneh kalau pada akhirnya Himeno dan Sofia jadi menderita secara mental, bahkan bisa saja sampai masuk rumah sakit karena gangguan psikologis.
Apalagi sebelumnya mereka sempat tidak bisa tinggal bersama sebagai ibu dan anak. Padahal sebenarnya mereka pasti sangat ingin tinggal bersama.
Mungkin itulah alasan Sofia mulai bekerja di penginapan yang sibuk. Karena ayah mereka pernah berselingkuh di masa lalu, bisa jadi dia tak berani melawan Hinata.
"Aku punya seseorang yang sangat penting dan bisa kupercaya sebagai pacarku, tapi ibu mungkin susah untuk mempercayai laki-laki."
Himeno terlihat sedih karena dia tidak ingin ibunya yang sangat berharga itu harus menanggung penderitaan.
Tak ada seorang pun yang ingin melihat ibunya menderita.
"Mungkin ibu akan tetap sendiri seumur hidup."
Padahal secara usia, Sofia sudah seharusnya bisa menikah dan membangun keluarga bahagia. Namun, kenyataannya dia adalah ibu tunggal dan sekarang bekerja keras sambil tinggal di tempat kerja.
Himeno pasti ingin ibunya bisa bahagia.
"Pasti sangat berat…"
Berbeda dengan Takashi yang berasal dari keluarga biasa—jika tak menghitung kematian kakaknya—Himeno dan Sofia menjalani hidup yang cukup berat.
"Suamiku tidak perlu merasa bersalah."
"Meski kau bilang begitu, tetap saja ini menyangkut Hinata."
Hinata memang tidak terlalu sering menghubungi, tapi kadang-kadang tetap mengirim pesan. Jadi dia tidak bisa dibilang benar-benar tidak terlibat.
"Itu benar. Meski suamiku kelihatannya lebih mengutamakan aku, masalahnya belum benar-benar selesai."
Kemungkinan besar Hinata tidak terlalu ikut campur belakangan ini karena sekolahnya juga sedang ada ujian, tapi mudah dibayangkan bahwa dia akan mulai ikut campur lagi dalam waktu dekat.
Meski diharapkan tidak ikut campur, sepertinya tidak mungkin dia sudah membuat pernyataan lalu tidak melakukan apa-apa. Ujiannya pasti sudah selesai sekarang, dan pesan-pesannya mungkin akan mulai bertambah.
"Untuk sementara, aku harus menyelesaikan semuanya saat bertemu Hinata nanti."
Karena terus menghindar tidak akan menyelesaikan masalah, Takashi memutuskan untuk segera menyelesaikan semuanya secara langsung.
*
"Pasangan suami istri yang baru pulang bulan madu datang, nih!"
Hari Senin yang terasa berat karena baru saja melewati akhir pekan. Saat Takashi datang ke kelas sambil bergandengan tangan dengan Himeno, Tsukasa menggoda mereka dengan kata-kata itu.
Meski hanya pura-pura seperti sedang bulan madu, mereka belum benar-benar melakukannya. Tapi kalau sudah menikah nanti, mereka memang berencana untuk pergi bulan madu sungguhan.
Sepertinya Tsukasa sudah benar-benar menganggap mereka sebagai pasangan suami istri. Beberapa gadis tampak mengangguk setuju mendengar ucapannya. Mereka semua merasa bahwa mereka sangat cocok satu sama lain. Itu benar-benar membuat bahagia.
"Ni, Ninomiya-san..."
Mungkin karena malu, Himeno memerah dan menggumam pelan. Sebelum pergi liburan, dia masih bisa mengatakan bahwa itu bulan madu meskipun malu, tapi sekarang setelah benar-benar menjadi pasangan, dia jadi sangat malu saat disebut begitu.
"Panggil saja Tsukasa. Kita kan sudah akrab."
Dengan manja, Tsukasa menyentuh pipi Himeno dengan jari telunjuknya.
Kalau Takashi tidak salah ingat, Himeno dan Tsukasa belum pernah pergi bermain bersama, hanya sekedar ngobrol saat istirahat. Tapi di mata Tsukasa, Himeno sudah dianggap sebagai sahabat dekat.
Tentu saja, bagi Himeno bisa punya teman perempuan itu hal yang sangat baik.
"Ts-Tsukasa-chan..."
Dengan pipi memerah dan suara pelan, Himeno memanggil nama Tsukasa. Sosoknya terlihat sangat polos dan imut.
"Himeno-chan imut banget~"
"Eh…!"
Karena Himeno yang malu-malu itu begitu imut, Tsukasa sepertinya tak bisa menahan diri dan langsung memeluknya.
"Ah, Himeno-chan nggak suka dipeluk orang selain suaminya, ya?"
"Auu…"
Sepertinya Himeno memang tidak biasa dipeluk orang lain selain Takashi, dan wajahnya terlihat benar-benar malu.
Saat Takashi pertama kali memeluknya juga, dia sangat malu, jadi ini memang tak bisa dihindari.
"Kalau Takahashi-kun nggak ada, aku mau banget menjadikan Himeno-chan sebagai istriku."
"Tidak akan kubiarkan."
Dengan sedikit agresif, Takashi merebut Himeno dari pelukan Tsukasa. Mungkin sedikit kasar, tapi Himeno tampak senang dan menyembunyikan wajahnya di dada Takashi.
Dia terlalu imut hingga Takashi tak tahan dan mengelus kepalanya.
"Kalian benar-benar seperti pasangan suami istri baru, ya. Nggak ada celah buat orang lain masuk."
Mungkin mereka sudah tampak seperti pasangan mesra yang sangat lengket.
"Aku nggak akan pernah melepaskan Himeno."
Takashi memeluk Himeno erat-erat karena benar-benar merasa bahwa dia sangat berharga. Dia tak ingin melepaskannya untuk selamanya.
Karena dipanggil suami istri oleh Tsukasa dan dipeluk di kelas, Himeno hanya bisa mengeluarkan suara malu, "Auu…". Wajahnya masih memerah seperti apel matang.
Tsukasa juga tampaknya berpikir, "Kenapa Himeno bisa seimut ini, sih?"
"Punya suami seperti Takahashi-kun, Himeno-chan pasti bahagia banget ya. Soalnya kelihatan disayang banget."
"Iya… aku sangat bahagia."
Himeno menyandarkan dahinya ke dada Takashi, seolah ingin terus merasakan kebahagiaan ini lebih lama lagi.
Sepertinya Himeno tidak berniat menyangkal bahwa Takashi adalah suaminya. Toh mereka akan menikah nanti, jadi tidak masalah.
"Kalau di depan orang aja bisa nempel terus begini, jangan-jangan kalau berdua, Himeno-chan sampai dibuat ‘a-an’ sama Takahashi-kun?"
Jangan lempar pertanyaan macam itu pagi-pagi begini, pikir Takashi, meski dia tak mengatakannya.
"Itu… masih rahasia…"
Dengan suara malu-malu tapi tahu maksudnya, Himeno menjawab begitu. Karena tidak menyangkal, itu sama saja seperti mengiyakan.
Memang, dia sudah membuat Himeno ‘mengeluarkan suara’ itu.
Karena malu, tubuh Himeno mulai terasa hangat.
"Yah, kalian udah kayak suami istri juga, jadi kalau pun sampai gitu juga nggak aneh. Tapi cowok-cowok sekarang lagi ngelihatin Takahashi-kun kayak mau bunuh."
Karena Takashi sudah berhasil memeluk (dan mungkin lebih) gadis secantik Himeno yang dijuluki Putri Salju, tatapan para pria kepadanya benar-benar seperti ingin membunuh.
Sebagian besar dari mereka mungkin dalam hati sudah mengutuk, "Takahashi meledak aja sana!"
Padahal kalau dipikir, seorang pacar memeluk pacarnya itu hal yang cukup wajar.
Lagipula, pasangan lain pun mungkin juga melakukan hal yang sama di luar sana.
"Pasangan bahagia meledak aja tuh kayaknya emang cocok banget buat kalian, ya."
Takashi ingin membalas, "Semua ini juga salahmu, tahu," tapi tepat saat itu bel berbunyi, jadi dia memilih untuk diam.
"Aku pengen lihat kalian makan siang sambil mesra-mesraan~"
Saat jam istirahat siang tiba dan Takashi hendak makan bersama Himeno, Tsukasa menghampiri mereka dan berkata begitu.
Melihat senyumnya yang penuh arti, tampaknya dia benar-benar ingin menikmati pemandangan dua sejoli yang sedang mesra.
Akhir-akhir ini Takashi dan Himeno memang memilih makan di tempat yang lebih sepi agar bisa berdua saja, jadi Tsukasa tampak tidak puas karena tidak bisa melihat mereka bermesraan.
Meski kemesraan bukan sesuatu yang biasanya dipamerkan ke orang lain, wajah Tsukasa jelas menunjukkan kalau dia sangat ingin melihat itu.
"Kenapa kamu pengin banget lihat sih?"
Takashi tahu bahwa ada orang yang suka melihat pasangan lain bermesraan, tapi dia tidak paham kenapa sampai segitunya.
"Cewek tuh makhluk yang senang melihat orang lain mesra-mesraan, tahu!"
"Itu baru pertama kali aku dengar, sih…"
Takashi agak ragu, mengira Tsukasa hanya mengarang. Memang laki-laki dan perempuan punya cara berpikir yang berbeda, tapi melihat orang lain pacaran di depan mata biasanya bikin orang yang jomblo merasa kesal dan ngomel, "Realita, meledaklah!" Takashi sendiri dulu pernah merasa kesal karena tidak bisa menyatakan perasaannya ke Marika saat melihat pasangan lain.
"Takashi-kun nggak bakalan ngerti, karena kamu dikelilingi cewek-cewek aneh kayak kakak posesif dan Himeno-chan. Mereka itu kasus khusus, tahu."
Benar juga. Marika selalu bersikeras tetap menjadi kakaknya dalam segala situasi, dan Himeno juga tidak pernah ingin berpisah darinya—keduanya memang luar biasa unik.
Tsukasa sepertinya tahu cukup banyak tentang Marika. Meski berbeda kelas di SMA, karena mereka sering pergi dan pulang sekolah bersama, tak aneh kalau kabar soal mereka menyebar.
"Aku ini orang spesial yang dicintai oleh suamiku~"
Melihat Himeno tersenyum bahagia seperti itu, Takashi hanya bisa berpikir, "Bukan begitu maksudnya."
"Bukan itu maksudku."
Tsukasa langsung mengibas-ngibaskan tangan ke kiri dan kanan, tampak agak heran dengan Himeno. Jelas sekali bahwa definisi ‘spesial’ menurut Tsukasa dan Himeno itu sangat berbeda.
Yang Tsukasa maksud adalah bahwa perempuan pada umumnya suka gosip dan cerita romantis orang lain, bukan berarti mereka punya hubungan cinta yang luar biasa unik.
"Padahal dulu waktu kelas satu, Himeno-chan itu dingin banget, lho. Tapi sekarang, kalau bareng Takashi-kun, jadi lembut banget ya."
"Jangan dipuji, dong."
"Aku nggak muji, kok."
Langsung kena serangan balik.
Dulu mereka tidak satu kelas jadi Takashi juga tak tahu banyak, tapi sepertinya Himeno memang bukan tipe yang dekat dengan orang lain.
"Dasar pasangan bodoh… pasangan pengantin bodoh, deh."
"Dibilang pasangan bodoh sama pengantin baru tuh kayaknya terlalu bagus, deh."
"Makanya aku tuh nggak lagi muji. Kamu cuma denger yang pengen kamu denger aja, ya?"
Meski merasa senang dibilang ‘pasangan bodoh’ atau ‘pengantin baru’, Tsukasa benar-benar tidak bermaksud memuji.
"Jangan-jangan kalian berdua jadi bodoh karena bulan madu, nih?"
"Hahaha, kami bukan kakek-nenek jadi nggak pikun, kok."
"Eh? Padahal aku nggak ngomong yang aneh-aneh, lho."
Sepertinya Tsukasa kesal dengan jawaban-jawaban Takashi.
"Suamiku, kamu terlalu banyak ngobrol sama Tsukasa-chan."
Dengan suara seolah cemburu, Himeno langsung memeluk Takashi. Wajar saja, melihat pacarnya terlalu akrab dengan cewek lain pasti bikin cemburu.
"Maaf ya. Ayo kita makan sambil mesra-mesraan nanti."
"Iya."
"Eh? Ayo dong makan bareng! Tunjukin mesranya ke aku juga!"
Saat mereka berdua hendak pergi, Tsukasa bersuara tak puas. Tampaknya dia benar-benar ingin melihat mereka mesra secara langsung.
"Kamu serius mau lihat?"
"Tentu aja!"
Karena dia tak terlihat akan menyerah meski dibujuk sekalipun, akhirnya Takashi dan Himeno pun membawa Tsukasa ikut keluar dari kelas.
*
"Kukira memang ada di sini bersama Onii-san."
Setelah pulang sekolah, saat Takashi sedang bersantai di rumah Himeno, tiba-tiba Hinata muncul.
Padahal ini waktu berharga untuk berdua dengan Himeno, jadi dia benar-benar tidak ingin diganggu. Tapi karena sudah datang, tak bisa dihindari lagi.
Tak terdengar bunyi bel, jadi kemungkinan besar Hinata masuk menggunakan kunci duplikat.
"Onii-san, katanya hari Sabtu-Minggu pergi liburan sama dia, ya? Miki-chan yang bilang, lho."
Tatapan Hinata sekarang terarah pada Himeno. Sepertinya Marika telah memberitahukan hal itu pada Miki, dan Miki menyampaikan info itu ke Hinata.
"Iya. Itu artinya aku memang dekat dengan Himeno, kan?"
Takashi sengaja menekankan kedekatannya dengan Himeno di depan Hinata, berharap Hinata bisa menyerah.
Bagaimanapun juga, Hinata sebenarnya tidak benar-benar mencintai Takashi, dia hanya tidak suka melihat Himeno punya pacar, makanya ingin merebutnya.
Mungkin dia memang menyukai Takashi dalam arti tertarik, tapi bukan cinta sejati.
"Itu sebabnya aku ingin Hinata menyerah."
Kalau perasaannya memang sungguh-sungguh, mungkin bisa dimengerti. Tapi kalau cuma sekadar ingin merebut, lebih baik dia menyerah. Karena kalaupun berhasil jadian, tak akan ada kebahagiaan di antara mereka.
"Kenapa aku harus menyerah? Bukankah bebas mencintai siapa pun yang kita mau?"
Seperti yang diduga, Hinata tidak mungkin menyerah begitu saja. Wajahnya kini tampak sedikit lebih serius. Kelihatannya dia ingin cepat-cepat merebutku dari Himeno.
"Apa Hinata benar-benar mencintaiku."
"Maksudnya apa, itu?"
Rasa tidak senang jelas terasa dari suaranya. Mungkin dia sudah tahu apa yang akan kukatakan.
Salah satu alasan dia kesal adalah karena pria yang ingin dia jadikan pacar malah sedang bersama orang yang paling dia benci.
"Soalnya, Hinata cuma ingin merebutku dari Himeno, kan? Kalau begitu, hubungan itu takkan bertahan lama."
Kalau sudah puas setelah merebut, semuanya akan berakhir. Itu sudah jelas seperti melihat api.
Karena itu, aku tahu aku takkan bahagia kalau berpacaran dengan Hinata, dan dia pun takkan bisa bahagia.
Makanya, menjalin hubungan dengan alasan seperti itu jelas bukan keputusan yang baik.
"Aku tidak pernah bilang begitu. Kalau kamu mau pacaran denganku, tentu aku berniat menikah juga."
Wajah Hinata tampak sedih, bukan marah.
Mungkin dia ingin mengatakan bahwa berkata seperti itu padahal dia serius ingin menikah itu terlalu kejam.
Kalau bisa, aku ingin dia menyerah begitu saja, tapi sepertinya itu tidak mungkin.
Mungkin dia berpikir kalau berhasil merebutku dari Himeno dan sampai menikah, itu akan jadi bentuk balas dendam terbaik.
Lagipula, bagi Himeno, kehilangan Takashi ke tangan orang lain mungkin adalah hal yang paling menyakitkan.
Alasan Himeno tidak mengatakan apa-apa pada Hinata mungkin karena dia percaya padaku. Dia yakin siapa pun yang mencoba menggoda, aku tidak akan goyah.
"Maaf, tapi aku tidak berniat pacaran dengan Hinata. Soalnya, aku sudah punya pacar tercinta, Himeno."
Pacaran dengan wanita lain padahal sudah punya pacar adalah tindakan yang tak bisa disebut selain paling rendah.
"Selain itu, Hinata sekarang jadi seperti ibunya Himeno. Seorang perempuan murahan yang menggoda pria yang sudah punya pacar."
Mungkin karena kata-kataku tepat sasaran, wajah Hinata kembali menjadi kaku.
Menggoda pria yang sudah punya pasangan—apalagi istilah yang lebih cocok selain "perempuan murahan"?
Dengan begitu, dia jadi sama seperti Sofia yang sangat dia benci. Tapi meskipun begitu, dia tetap mencoba menggoda. Itu menunjukkan betapa dia benar-benar ingin merebut Takashi dari Himeno.
Namun, saat terkena kata-kata yang menusuk, dia pun tak bisa membalas sepatah kata pun.
"Aku tak ingin putus dengan Himeno. Karena itu, tolong menyerahlah."
Dengan sepenuh hati dan ketulusan, Takashi membungkukkan kepala. Memang tidak sampai menyentuh lantai, tapi dia menundukkan kepala cukup dalam.
Dulu, setelah Kana meninggal, Marika pernah membungkukkan kepala, tapi ini pertama kalinya dia sendiri melakukannya sejauh ini.
Karena dia sungguh mencintai Himeno, dia tidak bisa menerima hubungan dengan Hinata. Dia melakukan yang terbaik yang bisa dia lakukan sekarang.
"Aku tidak menyangka kamu sampai segitunya."
Hinata menghela napas.
Setelah diserang ke titik lemah dan melihat Takashi menunduk, tentu saja dia akan merasa sesuatu.
"Kamu benar-benar pria yang setia, ya."
Seolah-olah dia sebelumnya mengira pria bisa dengan mudah tergoda hanya dengan sedikit rayuan.
Memang benar, banyak pria yang bisa tidur dengan wanita meski tanpa cinta. Jadi mungkin tidak aneh kalau dia berpikir seperti itu.
"Sekarang aku paham bahwa bagaimanapun juga aku tak bisa menggoda kamu."
"Hinata?"
Saat aku mengangkat kepala, kulihat ada sedikit air mata di mata Hinata. Apa pun alasannya, dia mencoba menjalin hubungan dengan serius tapi gagal. Tentu saja itu membuatnya sedih.
Meskipun dia ingin merebut, mungkin ada sisi dalam diriku yang benar-benar dia sukai.
"Kalau begitu, aku akan menyerah."
Sepertinya dia memang akan menyerah. Namun, dia menambahkan satu hal:
"Tapi... kalau kalian putus, aku takkan pernah memaafkan Onii-san. Kalau kalian putus, kamu harus selamanya menghiburku yang terluka."
Apa dia berencana tidak akan pacaran dengan siapa pun untuk sementara? Aku sempat berpikir begitu, tapi selama dia mau menyerah, itu urusan kecil.
Mulai sekarang, aku tak perlu khawatir digoda oleh Hinata lagi, dan waktuku bersama Himeno takkan terganggu.
"Dan satu lagi, kalau kamu tidak membahagiakan Onii-san, aku benar-benar tidak akan memaafkanmu."
Mata Hinata yang berkaca-kaca itu tertuju pada Himeno.
Kalau sampai mereka putus, dia pasti benar-benar takkan memaafkan.
"Kami pasti akan bahagia. Maaf, Hinata, tapi aku tidak akan pernah menyerahkan suamiku."
"Suamiku, ya... Kalian benar-benar saling cinta, ya."
Masalah dengan Hinata pun selesai dengan cukup cepat.
Meskipun mereka saudara tiri, hubungan mereka memang terlalu buruk. Tapi untuk hal seperti ini, berdamai dengan cepat memang mustahil.
Masih banyak waktu ke depan. Perlahan-lahan, semuanya akan membaik.
—Demi membahagiakan Himeno—




Post a Comment