NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Kokoroni Kizuwo Ottamonodoshi Bakkapuru Nintei V2 Chapter 9

 Penerjemah: Flykitty

Proffreader: Flykitty


Chapter 9

Putri Salju dan Bulan Madu


"Tes akhirnya selesai~"


Di hari terakhir ujian, Tsukasa meregangkan tubuhnya setelah menyelesaikan seluruh rangkaian tes. Sepertinya dia memang tidak terlalu suka belajar.


"Shirayuki-san, mau jalan bareng setelah ini?"


Tsukasa langsung menghampiri Himeno dan mengajaknya bermain sambil mencolek pipinya. Sepertinya dia sangat ingin bersenang-senang setelah ujian selesai. Dan dia juga sepertinya suka menyentuh pipi cewek.


"Umm... maaf, aku sudah ada rencana hari ini..."


Himeno menolaknya dengan nada menyesal.


Hari ini, setelah pulang ke rumah sebentar, mereka akan pergi ke Hakone, jadi tidak bisa membuat janji lain. Kebetulan hari terakhir ujian ini adalah hari Jumat dan sekolah hanya sampai siang, jadi mereka memutuskan pergi dari hari ini sekalian memanfaatkan akhir pekan.


"Apa mau kencan sama pacar tercinta? Iri banget deh."


Tsukasa kembali mencolek pipinya sambil bercanda.


"Bukan... ini, bulan madu..."


"...Hah?"


Himeno menjawab dengan malu-malu, membuat Tsukasa—yang biasanya selalu ceria—menatap heran, seakan tidak mengerti maksudnya.


Siapa pun pasti bingung kalau tiba-tiba mendengar kata "bulan madu".


"Kami akan pergi bulan madu... sekarang."


Ia menunduk malu-malu saat mengatakannya.


Memang, mereka sedang pura-pura jadi pasangan pengantin baru, jadi wajar jika menyebutnya sebagai bulan madu. Tapi sebaiknya Himeno menjelaskan itu dengan jelas.


"...A-APA KATAMUUUU!?"


Suaranya begitu keras sampai rasanya ingin menutup telinga.


Waktu mereka bilang ke Marika soal perjalanan ke Hakone pun reaksinya tidak jauh berbeda. Tapi karena sudah dijelaskan bahwa itu cuma "pura-pura pengantin baru" dan hasil undian dari jalan perbelanjaan, akhirnya bisa diredakan.


Tapi kalau di sekolah, rumor bisa berkembang ke mana-mana, dan Senin nanti mungkin akan tersebar macam-macam cerita.


Lagipula, mereka belum cukup umur untuk menikah, jadi kalau orang berpikir sedikit, pasti tahu bahwa itu cuma pura-pura.


"Jadi akhirnya kalian lebih dari sekadar pasangan bucin dan langsung nikah ya..."


Sepertinya Tsukasa belum sadar juga.


"Aku masih enam belas tahun, jadi nggak bisa nikah. Ini cuma hadiah perjalanan ke Hakone dari undian. Yah, kami cuma berpura-pura seolah bulan madu aja."


Aku menjelaskan dengan jujur supaya nggak salah paham dan menyebar aneh-aneh.


Apalagi kalau nggak dijelaskan, Tsukasa bisa-bisa benar-benar percaya kalau mereka sudah menikah.


"Begitu ya... kaget banget aku."


Setelah tahu yang sebenarnya, Tsukasa terlihat lega.


"Tapi kayaknya kalian memang sudah siap nikah di masa depan, ya."


Memang wajar kalau orang berpikir begitu—karena walaupun hanya pura-pura, tetap saja mereka pergi berdua untuk bulan madu.


"Auu~..."


Karena kata "nikah" disebut, Himeno langsung memerah dan menunduk malu.


Padahal dia sendiri yang bilang "bulan madu", tapi kalau kata "nikah" disebut, tetap saja bikin malu rupanya.


"D-danna-sama (Suamiku)..."


Seperti minta tolong, Himeno menggenggam tanganku.


Walaupun sekarang dia sudah punya teman sesama cewek, tampaknya dia tetap belum terbiasa dengan kata-kata seperti itu.


"Himeno itu pemalu, jadi cukup sampai situ aja ya."


Sebagai pacar—atau suami, tepatnya—Takashi memberikan dukungan.


Memang menyenangkan melihat Himeno yang malu-malu, tapi kalau dia sendiri meminta pertolongan, ya mau bagaimana lagi.


"Kelihatannya begitu. Imut banget sih."


Sepertinya Tsukasa setuju juga.


"Dan dipanggil 'danna-sama' pula... ini sih udah melampaui level bucin."


Tsukasa tersenyum nakal sambil menatap bergantian antara Takashi dan Himeno. Dia tampaknya ikut senang melihat Himeno yang meskipun malu-malu, tetap terlihat bahagia.


"Himeno..."


"Ah..."


Takashi memeluk Himeno yang menunduk malu dan membiarkannya bersandar di dadanya.


Melakukan ini di depan orang lain jelas sangat memalukan, tapi kalau mau disebut pasangan bucin, ya harus tahan.


"Benar-benar bucin kelas berat."


"Uuu, huu~"


Tsukasa pun menggoda sambil bersiul kecil.


Meski wajahnya semakin panas karena malu, Takashi tetap tak ingin melepaskan Himeno.


Karena nalurinya berteriak ingin terus menggenggam tangan Himeno selamanya.


"Himeno, ayo kita pergi bulan madu ke Hakone."


"Y-ya..."


Sambil digoda, mereka pun bergandengan tangan keluar dari kelas.


"Jadi akhirnya benar-benar berangkat ya..."


Setelah pulang sekolah, mereka kembali ke rumah masing-masing untuk berganti pakaian, dan sekarang Takashi berdiri di depan apartemen tempat tinggal Himeno.


Kalau menunggu di depan stasiun, Himeno yang secantik itu bisa saja didekati cowok lain, jadi lebih baik menjemput langsung ke rumah.


Menarik koper, Takashi masuk ke gedung apartemen dan menekan nomor kamar Himeno untuk memanggilnya.


[Aku segera turun, jadi tunggu sebentar ya]


Begitu suara Himeno terdengar dari interkom, panggilan langsung diputus. Tampaknya dia akan segera turun.


Sambil menunggu Himeno muncul beberapa menit lagi, Takashi merasa gugup luar biasa.


Memang mereka sudah pernah tidur bersama, tapi perjalanan kali ini bisa saja membuat rem pertahanan mereka lepas.


Dalam anime romcom, perjalanan seperti ini hampir selalu jadi titik balik hubungan antara si tokoh utama dan heroine.


Takashi sekarang tinggal selangkah lagi untuk benar-benar berpacaran dengan Himeno, jadi sangat mungkin kalau mereka akan resmi jadian selama perjalanan ini.


Apalagi Himeno sendiri pergi dengan perasaan seperti sedang bulan madu, jadi hampir pasti hubungan mereka akan menjadi sepasang kekasih.


Bukan cinta sepihak lagi, melainkan sudah saling suka.


Yang jadi masalah sekarang adalah, kapan waktu yang tepat untuk menyatakan cinta?


Haruskah di hari pertama? Atau di akhir perjalanan? Takashi benar-benar bingung.


Meskipun Himeno mungkin akan dengan sabar menunggu kapan pun, Takashi merasa bahwa jika ingin melakukannya, sebaiknya saat masih berada di Hakone.


Kalau tidak, rasanya perjalanan ke Hakone jadi sia-sia.


"Maaf menunggu."


Saat Takashi masih larut dalam pikirannya, Himeno muncul sambil menarik koper.


Dia mengenakan one-piece dua warna yang dulu dipilih Takashi saat mereka pergi bersama. Kakinya yang indah seperti biasa tertutup stoking.


"Bagaimana... kelihatan bagus?"


Mungkin karena belum terbiasa bepergian jauh dengan pakaian seperti itu, Himeno terlihat memerah saat bertanya dengan malu-malu.


"Ke-kelihatan bagus banget kok."


Takashi memang memilihnya karena merasa cocok, jadi tak mungkin tidak cocok. Tapi karena tadi masih memikirkan soal kapan harus mengaku cinta, dia jadi malu dan tak bisa menatap langsung.


"Aku ingin kamu melihat langsung dan bilang begitu."


Himeno menggenggam tangannya erat. Sepertinya dia ingin orang yang disukainya memperhatikan saat dirinya tampil cantik.


"Kamu benar-benar cocok. Sangat cantik."


Menahan rasa malu, Takashi menatap langsung ke arah Himeno dan menyampaikan perasaannya.


Bahkan dibandingkan saat karakter anime heroine memakainya, Himeno jauh lebih cocok.


"Terima kasih banyak ya."


Himeno memang selalu terlihat imut, tapi hari ini ia jauh lebih imut dari biasanya—mungkin berkali-kali lipat.


Itu pasti karena perjalanan ini terasa sangat spesial. Karena ini adalah perjalanan untuk benar-benar menjadi sepasang kekasih.


Menyadari hal itu, Himeno pun berdandan dengan sungguh-sungguh.


"Tapi… kamu terlalu imut sampai aku jadi khawatir."


"Khawatir, maksudnya?"


"Karena kamu terlalu imut… kayaknya bakal didekati cowok lain."


Himeno sekarang benar-benar terlihat luar biasa imut, sampai-sampai Takashi yakin orang akan mencoba menggodanya. Karena itu, wajar saja kalau dia merasa cemas.


"Kalau begitu… jangan jauh-jauh dari aku ya, Suamiku."


"Aku juga gak mau jauh darimu."


Alasan utamanya bukan hanya agar Himeno tidak didekati orang lain—tapi karena dia ingin selalu bersamanya.


Kalau terus bersama, tentu tak akan ada yang bisa mendekatinya. Dan yang terpenting, Takashi memang ingin selalu berada di dekat Himeno.


"Kalau begitu, ayo terus bersama ya."


Dengan senyum manisnya, Himeno menjawab seperti itu. Sepertinya dia memang tidak berniat untuk berpisah. Takashi pun tak punya niat sedikit pun untuk melepasnya.


"Kalau begitu, ayo kita berangkat. Kita ada jadwal kereta."


"Ya."


Mereka pun menuju stasiun sambil bergandengan tangan dengan erat.


"Jadi kursi sudah ditentukan, ya…"


Karena akan pergi ke Hakone, mereka naik kereta ekspres.


Karena sudah memesan sejak awal, mereka bisa duduk berdampingan, dan tangan mereka tetap saling menggenggam di sepanjang perjalanan.


Kereta semacam ini biasanya penuh saat akhir pekan karena banyak wisatawan.


"Mau makan bekal stasiun nggak?"


"Iya."


Karena mereka belum sempat makan siang, setidaknya Takashi sudah merasa lapar.


Ia pun mengeluarkan bekal yang dibeli di stasiun, menurunkan meja dari kursi di depannya, lalu meletakkannya.

Orang lain di kereta juga tampak menikmati bekal mereka.


"Wanginya enak…"


Begitu Takashi membuka tutup bekalnya, aroma lezat langsung menguar dari dalam.


Meski tidak berasal dari daerah ini, daging sapi dalam bento ini adalah produk khas dari prefektur yang sama.


"Benar. Makan bekal itu salah satu kesenangan saat naik kereta seperti ini."


Kalau di kereta biasa, makan bento mungkin bisa mengganggu, tapi di kereta ekspres seperti ini, makan bento adalah bagian dari keseruannya.


Sepertinya Himeno sudah beberapa kali naik kereta ekspres atau shinkansen dan menikmati bento di dalamnya.


Mungkin karena perut Takashi sudah sangat lapar, perutnya berbunyi keras, guuu~, yang membuat Himeno tertawa kecil.


"Himeno pakai bento sayuran pegunungan, ya?"


Untuk mengalihkan rasa malu, Takashi cepat-cepat mengubah topik.


"Iya. Tapi sepertinya suamiku sudah nggak sabar mau makan, jadi ayo mulai."


Sepertinya Himeno tahu persis maksudnya. Mereka pun bersama-sama mengucapkan, "selamar makan," dan mulai makan.


Bento sekarang sudah ada yang bisa menghangat sendiri dengan menarik tali, tapi karena terlalu lapar, mereka tak sempat menunggu.


Bento Himeno tidak termasuk tipe yang bisa menghangat, tapi sayuran pegunungan yang disusun rapi tetap terlihat lezat.


"Enak banget…"


Meski tidak panas, bento itu sangat enak—bahkan sepertinya Takashi bisa menghabiskan dua kotak sekaligus.


Meski biaya tiket dan penginapan ditanggung dari hadiah undian, mereka tetap tidak bisa membeli terlalu banyak bento.


"Benar. Sayurannya manis dan rasanya benar-benar terasa."


Meski bento sayuran lebih murah dari bento daging sapi, rasanya tetap sepadan dengan harganya.


Melihat senyum Himeno, bisa disimpulkan dia benar-benar menikmatinya.


Bento daging sapi milik Takashi juga luar biasa lezat, membuat pipinya tak sadar mengembang karena senang.


"Ah… a~n."


Seakan menyadari bahwa Takashi ingin mencoba bentonya juga, Himeno—dengan pipi yang memerah—menyorongkan sepotong jamur shiitake ke mulutnya.


Aromanya yang harum langsung menusuk hidung, seolah otaknya sendiri memerintah, cepat makan ini sekarang juga.


Sekarang mereka sudah cukup terbiasa bermesraan di depan orang, jadi rasa malu itu mulai berkurang—walaupun tetap saja masih ada.


"A-aku ingin menunjukkan bahwa aku milik suamiku…"


Kalau dilihat sekeliling, memang ada beberapa orang yang tampak terpesona pada Himeno.


Karena mereka sedang berpura-pura bulan madu, Himeno jelas tidak ingin digoda atau didekati siapa pun. Maka dengan menunjukkan bahwa ia sudah bersama Takashi, ia berharap orang lain mengurungkan niat.


Meski secara teknis mereka belum resmi berpacaran, setelah perjalanan ini, status mereka pasti akan berubah.


Dan memang, orang-orang yang tadinya memandangi Himeno mulai berhenti setelah melihat Takashi di sisinya. Mungkin ada beberapa yang berniat mendekati, tapi batal karena melihatnya bersama.


Di tempat wisata seperti ini, orang-orang memang cenderung lebih terbuka untuk menggoda atau diajak kenalan.


Bahkan ada yang sengaja datang ke Hakone untuk tujuan itu.


"A~n."


Walau malu, Takashi tetap membuka mulut dan menerima potongan jamur shiitake dari Himeno. Aroma dan rasa yang kaya langsung menyebar di dalam mulut.


"Enak banget…"


Mungkin karena suasana liburan, makanan jadi terasa jauh lebih enak dari biasanya. Tapi jelas juga jamur ini memang berkualitas, berbeda dengan yang dijual di supermarket.


"D-danna-sama juga… tolong a~n…"


Mungkin karena ingin mencicipi daging sapi, atau ingin menunjukkan kemesraan di depan orang lain, Himeno meminta gilirannya.


"Ba-baiklah. A~n…"


Meski malu, Takashi tak bisa menolak permintaan dari orang yang paling dicintainya, dan menyodorkan potongan daging sapi ke mulut Himeno.


"A~n…"


Himeno menerima daging itu dan langsung tersenyum puas.

Melihat senyum seperti itu dari orang yang dicintai, membuat hati Takashi dipenuhi rasa bahagia.


Rasanya seperti perjalanan ini benar-benar pilihan terbaik.


Tapi… kalau suatu saat nanti mereka bisa datang lagi setelah benar-benar menjadi pasangan suami istri, pasti akan terasa lebih membahagiakan.


"Aku benar-benar senang bisa melakukan perjalanan ini."


"Kita masih dalam perjalanan, lho."


Himeno tersenyum sambil tertawa kecil, tapi dari raut wajahnya, tampaknya dia juga merasakan hal yang sama.


Meski masih di tengah perjalanan, rasanya sudah tak bisa menahan perasaan kalau mereka sudah datang.



"Luasss banget…"


Begitu mereka sampai di penginapan dan check-in, lalu masuk ke kamar, mereka langsung disambut oleh ruang bergaya Jepang yang mewah.


Untuk berdua saja, kamar ini terasa sangat luas.


Di luar kamar, ada pemandian air panas terbuka—fasilitas mewah yang tidak umum untuk penginapan biasa.


Karena mereka cukup lelah setelah ujian pagi tadi, mereka memutuskan untuk menunda jalan-jalan sampai besok.


Hakone memang cukup jauh, jadi itu keputusan yang wajar. Tapi karena mereka menginap sampai lusa, hari esok bisa digunakan sepenuhnya untuk bersenang-senang menjelajahi tempat wisata.


"Benar juga…"


Himeno tersenyum senang, sepertinya dia juga sangat gembira bisa menginap di tempat sebagus ini.


Masih ada waktu sebelum makan malam, jadi mereka menaruh koper di pojok kamar lalu duduk di depan meja.


"Kalau begitu, permisi ya… suamiku."


Karena ini pura-pura bulan madu, Himeno memutuskan untuk memanggil Takashi dengan sebutan itu saat mereka berdua saja.


Wajahnya memerah saat perlahan duduk di pangkuan Takashi, menghadap ke arahnya.


Duduk seperti ini memang memalukan, tapi sekaligus membuat Takashi bisa merasakan sentuhan Himeno lebih dekat.


Tentu saja, bergandengan tangan atau bersentuhan manis lainnya juga menyenangkan—dan dia ingin terus merasakannya lebih banyak lagi.


Saat duduk saling berhadapan, tinggi pandangan mereka menjadi sejajar, dan mereka saling menempelkan dahi, seolah saling menegaskan cinta satu sama lain dengan tatapan mata.


Mereka sudah sama-sama menyadari perasaan masing-masing, jadi sesekali saling memastikan cinta seperti ini mungkin hal yang menyenangkan. Bahkan, ada keinginan untuk terus menatap seperti ini selamanya.


"Nn…"


Saat saling menatap, jarak di antara mereka semakin dekat dan bibir pun bersentuhan secara alami.


Ciuman yang terasa luar biasa setiap kali dilakukan, mustahil untuk dihentikan. Kalau bisa, ingin terus melakukannya sampai tiba waktunya makan malam.


"Suamiku…"


Namun tetap saja, terus berciuman tanpa henti itu mustahil, jadi mereka pun melepasnya sejenak untuk bernapas.


Takashi, seperti halnya orang lain yang mungkin juga begitu, selalu menahan napas saat berciuman.


Himeno pun sepertinya sama. Ketika berciuman agak lama, ia terlihat mencoba menormalkan napasnya.


Mungkin karena ini adalah hari yang spesial, yaitu perjalanan liburan mereka, wajah Himeno terlihat agak meleleh.


Bahkan ekspresinya tampak seperti ingin dicium lagi.


"Nn…"


Melihat wajah menginginkannya seperti itu, Takashi pun tak bisa menolaknya dan kembali mencium Himeno.


Meskipun mereka belum secara resmi pacaran, Takashi tetap tidak melakukan ciuman dalam yang terlalu vulgar, tapi bahkan dengan ciuman biasa saja, akal sehatnya perlahan terkikis.


Suara manis, napas yang lembut, dan lembutnya bibir Himeno mungkin menjadi penyebabnya.


Ditambah lagi dengan kelembutan tubuh Himeno yang dirasakannya, situasinya sekarang benar-benar terasa seperti bisa langsung mendorongnya ke ranjang.


Bahkan mungkin tidak ada satu pun pria yang bisa bertahan dengan kewarasannya dalam situasi seperti ini.


"Kalau terus ciuman kayak gini… aku jadi bahaya…"


Ekspresi Himeno yang terlihat meleleh pun menunjukkan bahwa akal sehatnya juga mulai tergerus sedikit demi sedikit.


Perempuan juga punya hasrat, dan bukan hal aneh jika merasa terangsang hanya karena ciuman.


Katanya, setelah ‘tombol’-nya terpencet, justru perempuanlah yang lebih sulit menahan diri. Tapi Takashi bisa dengan yakin bilang kalau Himeno tidak akan pernah menyerangnya duluan.


Karena dia belum punya pengalaman apa pun, dan kelihatannya lebih suka bermesraan begini daripada melakukan hal yang lebih dewasa.


Namun, kalau suatu saat nanti dia merasakan kebahagiaan dipeluk oleh orang yang dia cintai, mungkin saja semuanya akan berubah.


"Boleh kan… kalau kita jadi agak lebih ‘bahaya’? Ini kan, perjalanan bulan madu kita…"


Meskipun sebenarnya ini bukan bulan madu sungguhan, dalam perjalanan bulan madu sejati pun tak ada alasan untuk menahan diri.


Malah, Takashi ingin melihat lebih banyak ekspresi meleleh Himeno yang hanya diperlihatkan padanya.


"Itu juga berlaku untuk suamiku, lho."


"Untuk aku?"


"Iya. Jangan perlihatkan ekspresi meleleh itu ke Shikibu-san… hanya untuk aku saja."


Sepertinya Himeno punya pemikiran yang sama. Tapi karena terlalu malu, bahkan telinganya yang mengintip dari balik rambut pun sampai merah padam.


Ingin melihat ekspresi meleleh berarti ingin bermesraan dengan intens. Jadi, wajar saja kalau dia merasa malu.


"Nanti aku gak bisa nahan lho."


"Gak apa-apa. Soalnya ini kan perjalanan bulan madu."


Mereka pun saling melingkarkan tangan di punggung masing-masing, saling mendekat dan kembali berciuman erat.


"Ini luar biasa…"


Begitu jam menunjukkan pukul tujuh malam, berbagai hidangan mulai disajikan di atas meja—dengan bahan-bahan mewah seperti lobster dan abalon yang jarang bisa dinikmati dalam kehidupan biasa.


Karena ini adalah hasil undian di pusat perbelanjaan, awalnya mereka tidak menaruh harapan terlalu besar terhadap makanannya. Tapi nyatanya, makan malam ini jauh lebih mewah dari yang dibayangkan.


Kalau menginap di tempat seperti ini secara normal, pasti biayanya jutaan rupiah per malam.


"Iya, ya."


Bahkan bagi Himeno yang hidup cukup nyaman meski hanya dengan seorang ibu tunggal, makanan ini cukup mengejutkan.


Karena latar belakang keluarga, masakan Himeno biasanya bergaya rumahan—dan itu tentu saja enak—tapi makanan penginapan yang menggunakan bahan mewah seperti lobster dan abalon ini pun pasti luar biasa.


Bagi Takashi yang tumbuh di keluarga biasa-biasa saja, makan malam semewah ini adalah pengalaman langka.


Bisa merasakan makan malam seperti ini saja rasanya sudah cukup menjadi alasan bahwa mereka datang ke sini.


"Sebelum makan…"


"Ah… nn…"


Setelah makan malam yang mewah, Takashi merasa bahwa akan sulit untuk bermesraan seperti biasa sambil makan. Karena itu, ia menarik Himeno mendekat dan menciumnya.


Ciuman yang selalu membuatnya merasa bahagia itu terasa seolah bisa dilakukan selamanya, tapi makan juga termasuk salah satu dari tiga kebutuhan dasar manusia, jadi keinginan untuk segera menyantap makanan pun ada.


Namun, tampaknya Himeno lebih ingin berciuman daripada makan. Ia memegang kepala Takashi erat-erat, membuatnya tak bisa menjauh.


Tentu saja, kalau mau, Takashi bisa saja melepaskan diri. Tapi karena ciuman adalah kebahagiaan terbesar baginya, dia pun memilih ciuman daripada makan malam.


"Nn, nchuu…"


Dengan suara manis yang lolos dari bibirnya saat berciuman, Himeno terlihat benar-benar bahagia.


"Yuk, kita makan."


Setelah melepaskan ciuman untuk mengambil napas, Takashi yang perutnya sudah kosong pun mengusulkan untuk mulai makan.


Saat berciuman, mereka tidak bernapas, tapi sebelum dan sesudahnya, aroma makanan lezat itu langsung menyerang otak dan membuat air liur mengalir deras.


Siapa pun pasti sulit menahan diri kalau di depan mata ada aroma laut yang khas dari lobster Ise dan abalon.


"Iya."


Ekspresi wajah Himeno yang masih meleleh itu tampak ingin segera menyantap hidangan.


Mereka duduk berhadapan di seberang meja, lalu bersamaan mengucapkan "selamat makan" dan mulai menikmati makan malam yang mewah itu.


"Ini enaknya gila…"


Takashi mencicipi sashimi abalon dengan sedikit kecap. Tekstur yang kenyal dan aroma laut langsung memenuhi mulutnya.


Dia memang menyukai makanan laut, dan saat ulang tahun pernah dibawa ke restoran sushi. Sushi di sana pun enak, tapi makanan dari penginapan ini benar-benar berada di level yang tak bisa dibandingkan.


Meskipun abalon memang bukan sesuatu yang disajikan di restoran sushi, jadi mungkin tidak bisa dibandingkan secara langsung.


"Benar juga."


Himeno yang juga mencicipi abalon tampaknya setuju.


Namun karena duduk saling berjauhan, ia menggunakan kaki untuk menyentuh kaki Takashi secara perlahan.


"Lobster Ise-nya juga enak banget."


Lobster Ise yang dikukus itu dipotong memanjang menjadi dua. Begitu masuk ke dalam mulut, dagingnya yang kenyal langsung menyebarkan rasa manis dan kaya di seluruh lidah.


Meskipun Takashi sudah pernah makan lobster Ise sebelumnya dan tahu rasanya, yang disajikan di penginapan ini terasa berada di dimensi yang berbeda.


Mungkin rasanya berubah tergantung dari ukuran dan jenis masing-masing individu lobster, meskipun masih dalam spesies yang sama.


"Kau makan ini lebih lahap dari masakanku, ya."


Melihat Takashi menikmati makanan penginapan lebih daripada masakannya sendiri, Himeno tampak cemberut dan memonyongkan pipinya sambil menggerutu "Muu…"


Takashi tidak pernah membayangkan bahwa seseorang bisa cemburu pada masakan, tapi tampaknya Himeno ingin masakannya dimakan dengan lebih nikmat.


Sepertinya, dia ingin menjadi yang paling spesial di mata orang yang ia sukai.


"Masakan Himeno tetap yang paling kusuka."


Masakan penginapan memang lezat, tapi masakan Himeno yang penuh cinta jelas paling enak bagi Takashi.


Tentu saja, itu menurut Takashi pribadi. Kebanyakan orang mungkin akan bilang masakan profesional di penginapan ini lebih enak. Bagaimanapun juga, ini penginapan kelas atas, dan masakannya dibuat oleh koki profesional.


"Terima kasih…"


Mendengar bahwa masakannya adalah yang paling disukai, Himeno pun tersipu malu, pipinya memerah, dan dari mulutnya keluar suara kecil, "Auu…"


Wajar saja kalau senang, karena itu dikatakan oleh orang yang dia cintai.


"Aku akan terus masak makanan enak… ya."


"Makasih."


Saat Himeno berkata begitu dengan tatapan dari bawah, efeknya benar-benar mematikan. Takashi yang merasa malu pun menyamarkannya dengan memakan tempura matsutake.


Matsutake biasanya panen di musim gugur, tapi sekarang bisa dinikmati sepanjang tahun.


"Kalau kita udah dewasa nanti, pasti enak banget makan ini sambil minum sake, ya."


Karena makan malam kali ini bernuansa Jepang, maka minuman yang cocok tentu saja sake.


"Benar. Nanti kalau sudah dewasa, aku ingin ke sini lagi."


"Aku juga."


"Yuk, kita janji."


Himeno mengulurkan tangan kirinya yang tidak sedang memegang sumpit, dan mengangkat kelingkingnya.


Sepertinya ia mengajak janji kelingking.


"Oke."


Mereka pun berjanji dengan kelingking bahwa suatu hari nanti akan kembali bersama ke tempat ini, sambil terus menikmati makanan lezat.


"Gak nyangka kita akhirnya masuk onsen bareng juga…"


Setelah selesai makan malam dan beristirahat sejenak, Takashi akhirnya berendam di onsen terbuka bersama Himeno, hanya mereka berdua.


Sebenarnya, membalut tubuh dengan handuk di onsen itu dianggap kurang sopan, tapi karena tidak ada tamu lain yang datang, seharusnya tak ada masalah.


"Kan ini perjalanan bulan madu kita. Masuk bareng onsen itu hal yang wajar."


Meski Himeno mengatakan itu dengan santai, wajahnya juga tampak merah dan ia mengeluarkan suara pelan, "Auu…"


Memang, dalam perjalanan bulan madu wajar masuk onsen bersama. Tapi pada akhirnya mereka masih belum resmi pacaran dan sama-sama telanjang, jadi Takashi berharap Himeno bisa menahan diri sedikit.


Meskipun hubungan mereka sudah resmi dimulai dalam perjalanan ini, bagi Takashi yang belum terbiasa dengan hal-hal berbau erotis, semua ini terasa terlalu menggoda.


Kemungkinan besar mereka akan terus berpacaran dan akhirnya menikah, jadi Himeno ingin Takashi mulai terbiasa dengan hal-hal seperti itu sampai batas tertentu.


Karena ketika sudah menikah dan memiliki anak nanti, mereka pasti harus melakukan hal-hal yang intim.


Himeno memang terlihat tidak suka mendapat tatapan mesum, tapi kalau itu datang dari orang yang dicintainya, dia tampaknya tak keberatan.


Meski mereka pernah berpelukan saat Himeno hanya mengenakan pakaian dalam tak lama setelah mulai saling bicara, itu murni untuk menghangatkan tubuhnya yang basah dan kedinginan.


Tapi sekarang, Himeno mungkin ingin mereka mandi bersama karena dia ingin Takashi lebih sadar akan dirinya sebagai lawan jenis.


"Kurasa setelah ini suamiku akan menyampaikan perasaannya, jadi... mandi bersama ini bukan sekadar bentuk terima kasih karena kau sudah menghiburku tadi. Ini… bentuk tekadku sendiri."


"Tekad?"


"Ya. Suamiku orangnya rasional dan baik hati, tapi... dia punya satu kekurangan."


Meski wajahnya memerah, ekspresinya tetap serius.


"Karena dia terlalu menahan diri dengan logika sekuat baja, aku jadi merasa seperti aku tidak menarik baginya."


Memang wajar jika seseorang ingin terlihat menarik di mata orang yang disukai.


Rasa aman yang diberikan oleh kendali diri Takashi bisa jadi menyenangkan sebelumnya, tapi kini malah terasa menghalangi.


"Tidak, kamu itu menarik kok."


"Aku tahu itu dari cara suamiku memandangku. Tapi meskipun kamu mau menciumku, kamu tidak pernah melangkah lebih jauh. Padahal ini perjalanan bulan madu kita…"


Wajah Himeno tampak sedikit sedih.


Yang dia maksud dengan "tekad" mungkin adalah keberanian untuk memberikan "yang pertama"-nya.


Aku pernah dengar kalau itu menyakitkan bagi perempuan, jadi bahkan dengan orang yang dicintai, tetap saja butuh keberanian.


Hanya dengan membayangkan momen ketika tubuh kami menyatu, aku bisa merasakan tubuhku memanas.


Karena aku belum pernah mengalaminya, wajar saja jika aku merasa seperti ini.


"Memang, sisi rasional suamiku itu menarik. Gadis mana pun pasti merasa nyaman berada di dekatmu."


Memang benar, Himeno merasa nyaman, itulah kenapa dia bisa berada di sisiku. Tapi sekarang, hal itu juga menjadi sumber rasa tidak puas baginya.


"Meski begitu, kalau terlalu rasional juga rasanya tidak baik."


Himeno memelukku erat dalam balutan handuk mandi.


"Untuk sekarang, ayo kita masuk ke onsen bersama."


"Ah, iya."


Setelah membilas tubuhnya dengan air hangat, Takashi masuk ke onsen bersama Himeno yang memeluknya erat.


Air panas yang keruh keputihan itu mungkin baik untuk meredakan nyeri bahu dan semacamnya, tapi dengan tubuh Himeno yang menempel erat seperti ini, tak ada ruang untuk menikmati kehangatan air dengan santai.


"Hari ini aku akan membiarkan suamiku mengikuti nalurinya."


Suara lembut menggoda itu terdengar di telingaku, seolah menembus sisa-sisa kendali diri yang masih bertahan.


"Hubungan kita akan berubah lewat perjalanan ini. Tapi karena suamiku kadang suka ragu meskipun sudah tahu jawabannya, ini adalah jaminan."


Karena telah bersama setiap hari selama lebih dari sebulan, Himeno sepertinya sangat memahami kepribadian Takashi.


Meskipun hanya berbalut handuk, bersentuhan sedekat ini pasti membuatnya malu. Tapi Himeno tetap menginginkan perubahan dalam hubungan mereka.


Takashi tentu senang dengan perubahan ini, tapi tetap saja mengatakan "aku suka kamu" untuk pertama kalinya itu terasa sangat memalukan. Namun, jika sudah diucapkan sekali, mungkin rasa malu itu akan hilang di kesempatan berikutnya.


Meskipun jika terlalu sering diucapkan, rasanya jadi kurang spesial, tetap saja... ingin rasanya mengatakannya setidaknya sekali dalam sehari.


"Setelah keluar dari onsen, aku akan menantikannya ya."


Karena ucapan itu, Takashi tidak bisa menikmati onsen dengan santai karena terus merasa malu.


"Nn, nchuu…"


Setelah keluar dari onsen, Takashi mencium Himeno, orang yang paling dicintainya.


Karena ingin menyatakan perasaannya, dia ingin mengesampingkan rasionalitasnya sedikit.


Kalau terlalu rasional dan malu-malu, dia bisa-bisa gagal mengatakannya.


Jadi, dia mencium Himeno yang sedang memakai yukata, agar bisa menyingkirkan rem bernama ‘logika’.


"Ah… lebih agresif dari biasanya… nchuu…"


Karena Himeno sendiri tampaknya mengharapkan agar rasionalitas itu lenyap, Takashi memberinya banyak ciuman yang belum pernah ia lakukan sebelumnya.


"Suamiku... kamu sedang dalam kondisi bagus."


Saat berhenti berciuman untuk mengambil napas, Himeno yang tampak seperti meleleh menyandarkan wajahnya ke dadaku.


Dengan menggosokkan pipinya padaku, mungkin dia ingin membuatku benar-benar kehilangan kendali diri.


Beberapa waktu lalu aku pasti akan terlalu malu untuk melakukan apa pun, tapi hari ini aku harus mengungkapkan perasaanku, jadi aku tak bisa terus bersembunyi di balik rasa malu.


Aku harus menjadikan kami benar-benar sepasang kekasih. Setidaknya, itu yang kami berdua inginkan.


Selain itu, hari ini tidak ada orang-orang seperti Marika atau Hinata yang bisa mengganggu, jadi ini adalah hari yang sempurna untuk mengungkapkan perasaan.


Aku sempat berpikir untuk menunggu hingga hari terakhir liburan, tapi sepertinya Himeno takkan bisa menunggu selama itu. Kalau dia bisa, dia takkan bersikap seaktif tadi saat kami di pemandian terbuka.


Kalau aku tidak menyatakannya hari ini, pasti Himeno yang akan melakukannya duluan. Dan dia akan melakukannya dengan niat memberikan "yang pertama" miliknya.


"Himeno… meski baru sebulan lebih kita mulai saling bicara, rasanya kita sudah mengalami banyak hal bersama."


"Ya. Waktu yang terlalu berharga bagi diriku yang tak pantas ini."


Aku mengingat momen ketika kami menangis bersama di atap sekolah, seolah itu terjadi kemarin.


Saat itu aku baru saja ditolak oleh cinta pertamaku yang juga teman masa kecil, dan Himeno tengah terluka karena dirundung oleh teman-teman perempuannya.


Kami saling meminjamkan dada untuk saling menghibur, dan dari sanalah kedekatan kami tumbuh.


Luka hatiku karena ditolak perlahan sembuh, dan aku mulai menyukai Himeno. Himeno pun sembuh dari lukanya, dan mulai menyukaiku.


Kami menghabiskan lebih banyak waktu berdua, dan aku juga tahu bahwa ibunya Himeno adalah seorang ibu tunggal, tapi itu tak jadi masalah bagiku.


Yang aku pikirkan sekarang hanyalah bagaimana membuat Himeno bahagia.


"Aku juga merasakannya. Waktu yang kuhabiskan bersamamu adalah sesuatu yang tak tergantikan."


Awalnya hubungan kami hanya sebatas saling menghibur, tapi dari sanalah benih cinta itu tumbuh. Sampai-sampai aku tak ingin siapa pun ikut campur.


"Meski waktunya singkat, karena begitu intens, aku jadi…"


Kata "suka" sulit sekali keluar. Padahal aku sudah berusaha menyingkirkan kendali diri, tapi rasa malu tetap menjadi penghalang.


Hanya tiga huruf saja—tapi aku benar-benar kesulitan mengatakannya.


Waktu aku menyatakan cinta ke Marika, rasanya tak sesulit ini. Tapi kali ini... ini berbeda.


"Semangat ya."


Himeno mendukungku dengan pipi yang memerah.


Mendapat dukungan dari gadis yang ingin kau nyatakan cinta adalah hal yang sangat memalukan, tapi setidaknya itu membuatku merasa sedikit lebih baik.


"Terima kasih."


Aku menarik napas dalam-dalam, menenangkan diri, lalu perlahan membuka mulut untuk menyatakan perasaan yang telah kupendam.


"Padahal belum sampai satu bulan sejak aku ditolak Marika, tapi... aku yang terus bersama Himeno… jadi jatuh cinta padamu."


Akhirnya aku bisa mengatakan bahwa aku menyukainya.


Meski jawabannya sudah bisa ditebak, saat aku benar-benar mengatakannya, jantungku berdebar begitu kencang.


"Orang-orang mungkin bilang kita pasangan norak… tapi aku ingin kamu menjadi kekasihku yang sesungguhnya."


Tubuhku terasa panas melebihi sebelumnya, tapi aku berhasil menyatakan perasaanku.


"Aku… sudah lama menunggu… kata-kata itu…"


Air mata mengalir dari mata biru Himeno.


Baginya yang pernah berusaha mengungkapkan perasaan duluan, mungkin ini adalah momen yang sangat ia tunggu.


Tapi karena ia percaya aku pasti akan mengungkapkannya, Himeno memilih untuk tidak melakukannya lebih dulu setelah kejadian di pemandian tadi.


"Dulu… satu-satunya orang yang bisa kupercaya hanyalah ibuku."


Bukannya langsung membalas pernyataanku, Himeno malah mulai menceritakan tentang dirinya.


Tidak, mungkin cerita ini adalah bagian penting dari balasannya.


"Meski kami satu keluarga, ayah dan adikku membenciku. Aku jadi sulit mempercayai siapa pun."


Ayahnya adalah keluarga sedarah, dan meskipun adiknya hanya saudara tiri, mereka tetaplah keluarga. Jika dibenci oleh keluarga sendiri, tentu saja sulit untuk bisa percaya pada orang lain.


Aku memang belum pernah mengalaminya, tapi pasti sangat menyakitkan jika ditolak oleh keluarga sendiri.


"Lalu saat aku sedang sedih karena di-bully oleh anak-anak perempuan, Tak-kun datang."


Itu memang pertemuan yang kebetulan, tapi bagi kami, itu adalah takdir.


"Meskipun kamu sendiri sedang terluka, kamu tetap bersikap lembut padaku… Mungkin karena itulah aku jadi sangat merindukan kehangatan seseorang. Tanpa sadar, aku meminjam dadamu…"


"Begitu ya…"


Aku mengelus lembut kepalanya.


"Sejak saat itu, aku jadi merasa nyaman saat berada dalam pelukanmu… bahkan saat di pemandian pun aku ingin merasakan kehangatanmu…"


Alasan ia bilang akan mencuci punggungku sebagai bentuk terima kasih… rupanya juga karena ia ingin merasakan kehangatan tubuhku. Aku pikir itu murni sebagai ucapan terima kasih, jadi aku cukup terkejut.


"Dan selama terus bersamamu… aku juga… jadi menyukaimu, suamiku…"


Kata "suka" yang diucapkan Himeno sambil memerah hingga ke telinga membuat jantungku berdetak makin kencang.


Dinyatakan cinta oleh orang yang kamu sukai… rasanya jantung ini hampir meledak saking bahagianya.


"Itulah kenapa… jawabanku tentu saja, iya. Chu…"


Kami berciuman untuk pertama kalinya sebagai pasangan kekasih yang resmi.


Saat merasakan bibirnya yang hangat dan lembut, aku bersumpah dalam hati: aku akan membuat Himeno bahagia, apapun yang terjadi.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close