Penerjemah: Flykitty
Proffreader: Flykitty
Chapter 4
Masa Lalu Putri Salju
"Ada sesuatu yang ingin aku berikan pada Tak-kun."
Setelah pulang sekolah dan datang ke rumah keluarga Shirayuki, Himeno—yang sudah berganti pakaian santai—mengatakan itu.
Karena di rumah Takashi ada kemungkinan kalau Marika akan datang dan mengganggu, maka mereka memilih rumah Himeno.
Tampaknya ia benar-benar ingin memberikan sesuatu kali ini.
"Apa itu?"
Jantung Takashi berdetak lebih cepat karena tegang—ia tidak tahu apa yang akan diberikan. Namun, ia berusaha untuk tetap tenang dan bertanya. Kalau sampai dia terlihat terlalu berharap, justru bisa membuat Himeno menjauh.
"Kunci cadangan rumahku."
Himeno membawa kunci yang disimpan dalam kotak kecil dan menyerahkannya pada Takashi.
"Itu jenis kunci yang sulit dipalsukan, jadi butuh waktu untuk membuatnya. Tapi mulai sekarang kamu bisa masuk kapan pun kamu mau."
Bahkan telinganya yang terlihat dari sela-sela rambutnya memerah. Sepertinya hanya memberi kunci saja sudah cukup membuatnya sangat malu.
Menerima kunci cadangan berarti… boleh datang kapan saja ke rumah ini. Itu semacam izin diam-diam untuk masuk ke ruang pribadinya.
"Bolehkah aku memiliki ini?"
Takashi tetap bertanya sebagai konfirmasi.
"Iya. Karena Tak-kun adalah orang yang sangat penting bagiku."
Takashi menahan rasa senangnya dalam hati.
Mendapatkan kunci cadangan dari orang yang disukai itu benar-benar membahagiakan, sampai rasanya ingin melompat kegirangan. Tapi tentu saja, itu harus ditahan.
"Lagipula… Tak-kun tahu hal-hal yang tidak diketahui orang lain. Karena itu aku merasa tenang walau memberimu kunci."
Mereka sudah banyak menghabiskan waktu bersama selama sekitar sebulan, dan Takashi tetap di samping Himeno meski mengetahui kenyataan bahwa ia adalah anak dari selir.
Itu membuat Himeno merasa sangat tenang.
Ini adalah langkah besar menuju hubungan yang lebih dari sekadar ‘hubungan pura-pura’.
"Terima kasih. Aku senang kamu percaya padaku sejauh ini."
Takashi menyampaikan rasa terima kasihnya dan mengelus kepala Himeno. Melihat senyumnya yang berkata "ehehe," ia merasa ingin terus melindunginya.
Apalagi, kemungkinan besar Hinata akan berusaha melakukan sesuatu. Kalau Takashi sampai terbujuk oleh Hinata, kepercayaan Himeno bisa runtuh dalam sekejap.
Himeno percaya padanya bukan karena ada niat tersembunyi, tapi karena mereka berdua sama-sama terluka. Karena itulah Himeno merasa aman bersamanya.
"Karna itu Tak-kun… karena kamu… aku bisa begini, berdua saja denganmu."
"Guh…"
Himeno memeluk Takashi erat-erat.
Sudah berkali-kali ia merasakan kelembutan tubuh dan aroma manis dari Himeno, dan tiap kali itu pula logika dan naluri pria di dalam dirinya terkikis habis.
Namun ia tidak boleh kehilangan kendali. Kalau sampai itu terjadi, kepercayaan yang sudah diberikan bisa hancur.
Kehilangan orang yang dicintai… Takashi tahu betapa sakitnya itu karena dia sendiri pernah kehilangan kakaknya. Jadi sebisa mungkin, ia akan menjaga akal sehatnya dan tidak mengecewakan Himeno.
"Kalau aku bisa terus bersama Tak-kun… aku bisa tetap hidup."
Dia diperlakukan buruk di sekolah, dan mungkin juga tidak dianggap sebagai keluarga oleh ayah dan adiknya sendiri. Himeno pasti jauh lebih terluka dibandingkan Takashi yang hanya mengalami patah hati.
"Kamu hebat, Himeno. Aku rasa kalau aku di posisimu, aku nggak akan kuat."
Meski mereka sekarang dalam hubungan saling menghibur, Himeno tetap berusaha tegar. Itu membuat Takashi sangat menghargainya.
"Terima kasih. Tapi semua ini karena Tak-kun. Karena saat bersama kamu, aku bisa merasa tenang."
Himeno pun mendekat, meningkatkan tingkat keintiman mereka.
Dulu, saat pertama kali bertemu, dia bahkan tidak bisa sedekat ini. Tapi sekarang dia sudah terbiasa.
Walaupun mungkin masih malu, dia tetap ingin mendekat hanya untuk merasa nyaman.
Takashi juga sudah mulai terbiasa. Rasa malu memang masih ada, tapi sekarang lebih menjadi perjuangan menahan diri.
Dan dia ingin membalas pelukan itu.
"Nah, kalau begitu…"
"Aa…"
Takashi memeluk Himeno erat-erat.
Sebesar apa pun perjuangan untuk menahan diri, dia tidak ingin melepas Himeno.
Saat bersama Marika dulu pun dia bisa menjaga jarak, jadi pasti dia juga bisa melakukannya sekarang.
Kalau sampai tidak bisa menahan diri, mungkin dia sudah sejak tadi menyerah dan menyerang Himeno.
"Ke… kehangatan Tak-kun… luar biasa…"
Himeno tersenyum sambil berkata begitu, dan setiap kali dia tersenyum, Takashi merasakan dadanya berdebar kencang.
Senyum Marika dulu juga membuatnya bahagia, tapi senyum Himeno memiliki kekuatan yang berbeda—lebih mematikan. Bahkan setelah terbiasa pun, jantungnya tetap berdebar.
Perasaan suka itu tumbuh kuat seiring mereka bersama, hingga ia yakin perasaan itu tidak akan pudar.
Sambil berbagi luka, perlahan tapi pasti, mereka jatuh cinta.
Meskipun sudah mulai terbiasa, bukan berarti rasa malu itu hilang sepenuhnya.
Tapi, kenyataan bahwa yang mengajarinya adalah orang yang ia sukai, membuat Himeno bisa lebih semangat belajar. Dan yang terpenting, ini adalah pertama kalinya ia berada dalam situasi seperti ini, yang membuatnya merasa senang.
"Te-terima kasih…"
Wajah Himeno memerah dan ia menunduk sambil menggumam pelan.
Itu menunjukkan bahwa meskipun sudah mulai terbiasa, dia tetap merasa malu.
Karena mereka berdua belum pernah pacaran sebelumnya, rasa canggung dan malu seperti ini tidak bisa dihindari.
Di sekolah, Himeno bisa menahan ekspresinya agar tidak ketahuan. Tapi di rumah, karena suasananya lebih intim, kontak fisik pun jadi lebih dekat dan lebih sering.
"Ada bagian yang kamu nggak ngerti?"
Mungkin untuk menyembunyikan rasa malunya, Himeno langsung bertanya begitu.
"Sepertinya nggak, sih. Gimana ya… soalnya aku udah sering diajarin orang sebelumnya."
Selama tahun pertama, setiap kali ujian datang, Marika yang super protektif selalu mengajarinya dengan sangat telaten. Karena itu, sebagian besar soal sudah bisa dia pahami.
"Shikibu-san juga mengambil semua ‘pertama’-nya Tak-kun ya… padahal aku yang pengen…"
Ucapannya begitu kecil sampai hampir tak terdengar, tapi Takashi bisa menyadari bahwa Himeno sedang merasa cemburu.
Marika memang teman masa kecil dan seperti sosok kakak baginya, jadi sulit untuk dijelaskan. Tapi bagi Himeno, hal itu mungkin tetap terasa tidak menyenangkan.
Tapi rasa cemburu sampai sebegitunya hanya karena bukan orang pertama yang mengajarinya belajar… itu adalah sesuatu yang membahagiakan.
"Setidaknya… aku bisa memberikan ‘pertama kalinya’ dalam mengajar kepada Tak-kun, ya."
Himeno sepertinya berhasil mengubah suasana hatinya menjadi lebih positif.
Kehadiran seseorang yang bersedia untuk selalu di sisinya mungkin membuat Himeno lebih mudah berpikir positif—dan itu adalah hal yang benar-benar baik.
"Eh, ada yang aku nggak ngerti nih, boleh nanya?"
"Tentu saja. Bagian mana?"
Walaupun sudah diajari Marika, tetap saja ada bagian yang Takashi belum pahami. Ia segera bertanya pada Himeno.
"Yang ini, begini ya caranya."
Kalau soal pelajaran seperti Bahasa Inggris atau kanji, memang lebih ke hafalan. Tapi matematika butuh pemahaman konsep.
Takashi menanyakan rumus yang baru diajarkan baru-baru ini, dan Himeno menjelaskannya dengan sangat mudah dimengerti.
Padahal katanya belum pernah ngajarin orang lain. Tapi dari cara dia menjelaskan, jelas Himeno benar-benar memahami materi tersebut.
"Makasih. Penjelasanmu gampang banget dipahami."
Cara Himeno mengajar sangat membantu, dan Takashi merasa beruntung. Meskipun dia cukup bisa belajar sendiri, belajar bersama orang lain punya keuntungan: bisa saling bantu dan bertukar pemahaman.
Meski untuk sekarang, sepertinya hanya Takashi yang dibantu, bukan sebaliknya.
"Eii~"
"Himeno?"
Tiba-tiba Himeno menendang-nendang pelan kaki Takashi dengan kakinya sendiri.
"Memang sebaiknya nggak terlalu nempel pas belajar, tapi aku tetap pengen merasakan kehangatan Takakun…"
Tusuk-tusuk… Himeno kembali menendang ringan kakinya. Ia tampaknya ingin tetap merasakan keberadaan Takashi, walau hanya sedikit.
"Setidaknya, aku pengen kamu membuka bagian betisnya…"
Dengan jari-jari kakinya yang lincah, Himeno mulai menggulung celana Takashi.
Akhir-akhir ini Himeno memang semakin aktif dalam kontak fisik. Sepertinya dia sebenarnya ingin lebih dekat, tapi tetap sadar bahwa mereka sedang belajar. Makanya, ia memilih untuk sekadar bersentuhan lewat kaki.
Berbeda dengan Himeno yang mengenakan one-piece, Takashi masih memakai seragam, jadi wajar jika betisnya tertutup.
Sentuhan kaki Himeno yang tanpa kaus kaki langsung terasa pada kulitnya.
"Kalau bagian paha, boleh kamu sentuh juga, kok."
Sambil belajar, godaan itu jelas menggoyahkan. Pernyataan seperti itu bisa membuat siapa pun hilang fokus.
"Ah…"
Takashi akhirnya menyentuh betis Himeno dengan kakinya.
Dan suara manis pun langsung keluar dari mulutnya.
Mungkin karena tidak biasa disentuh di bagian itu, Himeno secara refleks mengeluarkan suara. Betisnya terasa ramping tapi lembut, membuat Takashi ingin terus menyentuhnya.
"Aku lebih suka disentuh sama Tak-kun daripada menyentuh lebih dulu, ternyata."
Dari caranya bicara, jelas dia ingin Takashi terus menyentuhnya.
Ia pernah bilang bahwa ia merasa tenang kalau bisa merasakan kehangatan Takashi, jadi ia ingin sebanyak mungkin melakukan kontak fisik.
"Kalau begitu, boleh aku lebih…"
"Hyaa…"
Karena tadi dia bilang paha boleh, Takashi dengan berani menyentuh pahanya.
Suara yang keluar kali ini lebih menggoda dibandingkan sebelumnya.
Sambil belajar, menyentuh paha gadis yang disukai jelas menguras semua fokus. Susah untuk tetap tenang.
Jantungnya berdegup kencang dan tubuhnya terasa panas. Meski begitu, rasa malu tetap ada.
"Kalau Tak-kun yang nyentuh… aku jadi nggak bisa nahan suara…"
Setiap disentuh, Himeno mengeluarkan suara manis yang membuat akal sehat Takashi terus digerogoti. Tapi karena mereka sedang belajar, ia harus menahan diri.
Hanya saja, karena gangguan-gangguan ini, pelajaran tidak benar-benar masuk ke kepala.
Mungkin Himeno tidak ingin siapapun mendengar suara manisnya, apalagi karena mereka belum pacaran secara resmi. Tapi meski wajahnya merah karena malu, Himeno tetap tersenyum.
Itu berarti meskipun malu, dia tetap ingin merasakan kehangatan Takashi.
Takashi pun sama. Walau malu, dia juga ingin terus merasakan kehadiran Himeno.
"Tapi aku jadi nggak bisa fokus belajar, nih…"
Sebisa apa pun dia mencoba fokus, sensasi sentuhan dan suara manis Himeno menguasai pikirannya.
"Jadi Tak-kun juga punya nafsu ya. Dulu pernah digoda lewat telinga juga, jadi seharusnya aku sudah sadar…"
Mungkin waktu itu Himeno terlalu gugup sampai tidak menyadari reaksi Takashi.
Namanya juga cowok remaja. Wajar kalau lebih tertarik pada hal-hal selain belajar.
"Kalau kamu nggak bisa belajar karena nafsu… berarti harus dihukum, ya. Eii~"
Sambil tetap belajar, Himeno menjulurkan kakinya dan menyentuh paha Takashi.
Takashi hampir saja mengeluarkan suara aneh, tapi berhasil menahannya karena tidak ingin terdengar.
Tapi kalau yang melakukan ini adalah orang yang disukai… Takashi malah ingin terus ‘dihukum’ seperti ini. Kalau yang melakukannya adalah Miki atau Hinata, dia pasti merasa sangat tidak nyaman.
"Himeno… kamu nggak malu, ya?"
Sampai sebulan lalu pun Himeno masih canggung kalau bersentuhan dengan lawan jenis. Tapi sekarang dia bisa dengan santai menyentuh dengan kaki, itu luar biasa.
"Malu sih… Tapi… meskipun sedang belajar, aku tetap ingin bersentuhan dengan Tak-kun…"
Dengan wajah semerah tomat dan mata yang serius, Himeno menjawab.
Alasannya mungkin ada kaitannya dengan Marika dan Hinata. Terutama karena akhir-akhir ini Hinata mulai mendekati Takashi dan menyebarkan rahasia Himeno—pasti ada rasa takut kehilangan, meskipun tidak ditunjukkan di wajah.
Setidaknya Takashi tidak berniat meninggalkan Himeno. Dan kalau nanti lukanya benar-benar sembuh, ia berharap Himeno pun merasa hal yang sama.
"Kalau Tak-kun… kamu boleh menyentuhku di mana saja. Aku ingin merasakan kehangatanmu sebanyak-banyaknya…"
Karena tahu soal kedekatan Hinata dan Takashi, Himeno tampak seperti sedang "lepas kendali" hari ini.
Mungkin kalau bukan karena keterlibatan Hinata, Himeno tidak akan berkata seperti itu.
Itu menunjukkan betapa besar trauma Hinata bagi Himeno—kalau bisa, ia benar-benar tidak ingin ada hubungannya lagi dengan gadis itu.
"Kesini sebentar, duduk di pangkuanku."
Takashi menepuk ringan pahanya sendiri dan memberi isyarat pada Himeno agar mendekat.
"Tapi... kita kan lagi belajar…"
"Udah, sini aja."
"...Baik."
Dengan nada yang seakan tak bisa ditolak, Takashi menyampaikannya.
Himeno sepertinya menangkap maksud hatinya, dan datang menghampiri. Meski wajahnya tampak sedikit cemas, Himeno perlahan duduk di atas pangkuan Takashi.
"Kenapa malah duduk menghadap aku?"
Sebenarnya Takashi ingin dia duduk membelakangi, tapi entah kenapa Himeno memilih duduk menghadapnya.
"Karena... sepertinya kamu ingin bicara sesuatu, kan? Kalau begitu, posisi seperti ini lebih cocok."
"Yah... memang begitu sih..."
Setelah menarik napas panjang, Takashi mulai bicara dengan nada hati-hati.
"Aku ngerasa belakangan ini kamu agak aneh, Himeno. Ada apa? Ini ada hubungannya sama Yukishita Hinata, ya?"
Kalau sampai bilang "kamu boleh menyentuhku di mana saja", berarti secara tidak langsung Himeno membuka kemungkinan untuk hal-hal yang jauh lebih mesra.
Meskipun sekarang sudah cukup terbiasa bersentuhan, Himeno bukanlah tipe yang akan berkata seperti itu kepada seseorang yang bahkan belum jadi pacarnya—kecuali ada alasan besar di baliknya.
Dan meski perubahan sikapnya sebagian karena pengaruh Marika, Takashi yakin ucapan barusan pasti berkaitan dengan Hinata.
"Iya… sepertinya begitu."
Himeno mengangguk perlahan. Matanya mulai berkaca-kaca. Seolah-olah, kalau ia tidak merasakan kehangatan Takashi, ia akan kembali teringat pada Hinata.
Kalau sampai ia bilang, "kalau kamu nggak memelukku, aku akan menjauh," mungkin Takashi benar-benar takkan bisa menolak. Begitu dalamnya Himeno menginginkan kehangatan itu.
"Aku nggak tahu dan nggak akan nanya soal apa yang terjadi antara kalian dulu. Tapi, apapun yang terjadi, aku nggak akan pernah meninggalkanmu, Himeno."
Takashi memeluknya erat, menumpahkan seluruh ketulusannya.
Menceritakan sesuatu yang menyakitkan pasti butuh keberanian besar, dan Takashi tidak ingin memaksanya.
Kalau mereka terus bersama, akan ada waktu Himeno merasa siap untuk bercerita sendiri—dan itu sudah cukup baginya.
"Aku tahu... kalau Tak-kun benar-benar memperlakukan aku dengan sangat baik dan tidak akan meninggalkanku."
Karena ia benar-benar berusaha menjaga Himeno, Takashi bisa menahan keinginan yang membara dalam dirinya. Ia ingin Himeno menyukainya, bukan karena nafsu sesaat.
"Itu sebabnya... aku akan cerita. Tentang masa laluku dengan Hinata... Dan aku percaya, meskipun kamu tahu semuanya, kamu tetap tidak akan meninggalkanku."
Butuh keberanian luar biasa untuk mengatakannya—berarti Himeno benar-benar mempercayai Takashi.
Hubungan mereka, saling mengobati luka masing-masing, begitu cepat dipenuhi rasa saling percaya.
"Aku dan Hinata dulu tinggal bersama waktu kecil. Waktu itu aku diberitahu bahwa kami adalah sepupu."
Himeno mulai berbicara tentang masa lalunya dengan suara tenang. Karena warna mata dan rambut mereka sangat berbeda, mungkin hubungan sepupu adalah alasan yang masuk akal waktu itu.
"Itu karena saat itu ibuku sedang sakit dan tidak bisa mengurus anak. Sekarang beliau sudah sembuh dan cukup sehat untuk bekerja lagi."
Sebenarnya, Himeno seharusnya dibesarkan oleh ibunya sendiri. Tapi karena keadaan saat itu, ia diasuh di rumah keluarga Yukishita.
"Bahkan ibu Hinata pun diberitahu bahwa aku ini sepupunya Hinata."
Tentu saja, mereka tidak bilang bahwa Himeno adalah anak dari selingkuhan suaminya.
"Kamu nggak bisa tinggal di rumah kerabat ibumu yang lain?"
Kalau itu terjadi, mungkin Himeno tak akan pernah bertemu Hinata. Tapi pasti ada alasannya.
"Sepertinya... karena aku adalah anak dari pria yang tidak bisa dinikahi... keluarga besar tidak bisa menerima anak dari hubungan seperti itu."
Mungkin ibu Himeno tak tahu bahwa pria itu sudah punya tunangan. Tapi pada akhirnya, keluarga besar tetap menolak menerima anak hasil perselingkuhan.
Perselingkuhan memang hal yang kebanyakan orang pandang rendah—Takashi pun bahkan tak pernah terpikir untuk melakukan itu.
"Kenapa ibu kamu bisa kenal sama orang kayak gitu?"
Meski paham bahwa tanpa pertemuan itu Himeno takkan lahir, Takashi tetap penasaran bagaimana mereka bisa saling mengenal.
Apakah seperti kata Hinata—ibunya sengaja menggoda? Atau memang ada alasan lain? Kini giliran Himeno yang menjelaskannya.
"Katanya... ibu diajak temannya ikut acara pertemuan kelompok... semacam ‘goukon’ gitu."
Takashi belum pernah ikut karena tidak minum alkohol, tapi dia tahu pertemuan seperti itu umum terjadi.
"Katanya, ayah juga ikut karena diajak teman dan nggak enak kalau nolak."
Waktu itu dia sudah punya tunangan, jadi sebenarnya ingin menolak, tapi tidak bisa.
"Awalnya mereka cuma ngobrol biasa karena nggak terlalu tertarik. Tapi... setelah mulai minum... semuanya berubah. Tak-kun juga tahu kan, pengaruh alkohol?"
Takashi tidak bisa menyangkal. Ia sendiri pernah mabuk berat hanya karena makan coklat beralkohol dan kehilangan kesadaran.
"Ibu itu kalau mabuk jadi manja... dan karena duduknya di samping ayah, dia jadi manja ke dia. Ibu memang cantik, dan kalau wanita cantik bersikap manja... ya begitulah."
"Jadi... walau punya tunangan, ayah tetap membawanya pulang malam itu, ya."
"Iya…"
Himeno mengangguk pelan.
Berarti Hinata tidak sepenuhnya salah saat bilang ibunya menggoda. Tapi lebih tepatnya... itu karena pengaruh alkohol.
Himeno cantik, jadi ibunya pun pasti sangat menarik secara fisik.
"Setelah itu, ibu hamil. Dia bilang ingin menikah, tapi... ditolak karena ayah sudah punya tunangan."
Kalau sudah bertunangan, tentu akan ditolak. Itu wajar.
"Setelah beberapa tahun melahirkan aku, ibu sakit... dan aku dibesarkan di rumah keluarga Yukishita."
Ibunya tidak memilih untuk menggugurkan kandungan. Ia memilih untuk melahirkan dan membesarkan anaknya, walau akhirnya harus dirawat lama di rumah sakit.
"Waktu kecil, aku dan Hinata benar-benar seperti saudara. Kami selalu bersama."
Kalau melihat hubungan mereka sekarang, sulit dipercaya. Tapi Himeno pasti jujur.
"Sampai akhirnya ibu sembuh dan datang menjemputku. Saat itulah kami tahu kalau sebenarnya kami adalah saudara tiri dari ayah yang sama. Ibu yang tanpa sadar bilang... mungkin karena stres dan kesepian setelah sakit lama."
Ibu yang telah melahirkan Himeno dan tidak bisa membesarkannya tentu merasa sangat sedih.
Bisa jadi, saat melihat anaknya akrab dengan ‘anak perempuan pria itu’, perasaannya jadi tak tertahankan dan akhirnya terbongkar.
"Setelah itu aku sempat hidup bareng ibu. Tapi waktu masuk SMP, kami dipisahkan lagi. Dulu aku bilang karena takut keluarga tahu soal perselingkuhan, tapi sebenarnya... karena dendam. Ibu ditendang keluar karena rahasianya terbongkar. Mungkin Hinata juga ikut membisikkan sesuatu..."
Karena sedang mengingat masa lalu yang menyakitkan, tubuh Himeno mulai gemetar. Takashi hanya bisa memeluknya erat dan memberinya rasa aman.
"Waktu SD, Hinata mulai melakukan hal-hal kejam. Menyembunyikan sepatuku, membuatku sendirian..."
Dengan kata lain, Hinata mulai membully Himeno. Himeno jelas tidak bersalah. Tapi dari sudut pandang Hinata, kehadiran Himeno mungkin sangat menyebalkan.
Ayahnya berselingkuh dan anak hasil hubungan itu kini tinggal bersamanya—tentu sulit diterima.
"Hinata benci aku. Aku takut, kalau aku terus bersamamu, Tak-kun juga bakal kena masalah. Tapi... tetapkah kamu mau bersamaku?"
Meski bilang percaya, Himeno pasti masih takut akan ditinggalkan. Apalagi ia tahu Hinata pasti akan bergerak lagi.
"Tentu saja. Aku akan tetap di sisimu."
Takashi memeluknya dengan erat. Cerita itu memang berat. Tapi tidak ada satu pun alasan baginya untuk meninggalkan orang yang ia sukai karena masa lalu itu.
"Terima... kasih."
Air mata jatuh dari mata birunya—air mata kebahagiaan karena tahu bahwa walau masa lalunya diketahui, Takashi tetap memilih bersamanya.
Tubuhnya tak lagi gemetar. Itu pertanda bahwa hatinya mulai tenang.
"Meski teman sekelas sudah tidak membully lagi... aku tetap ingin merasakan kehangatan Tak-kun..."
Itu hal yang wajar. Rasa aman adalah naluri alami. Dan manusia selalu condong pada hal yang membuat mereka merasa nyaman.
"Nggak apa-apa. Aku memilih untuk bersamamu, bukan mengejar Marika."
Kalau dia benar-benar ingin membuat Marika berpaling padanya, dia pasti sudah kembali mendekatinya, meski harus menahan rasa sakit karena ditolak.
Tapi Takashi memilih berada di sisi Himeno dan menyembuhkan lukanya.
"Sepertinya... luka Tak-kun sudah hampir sembuh, ya."
Setelah sebulan bersama gadis lain, wajar saja rasa sakit itu mulai pudar.
"Tapi... kamu tetap bersamaku. Itu karena kasihan? Atau..."
Himeno berkata dengan wajah memerah, tapi tak melanjutkan. Atau mungkin... dia tak sanggup mengucapkannya.
Dan Takashi, melihat Himeno seperti itu—hanya bisa terdiam.



Post a Comment