Penerjemah: Flykitty
Proffreader: Flykitty
Chapter 3
Rahasia Putri Salju dan Pertanyaan Blak-blakan dari Teman Sekelas
"Jadi hari ini kita ke kafe anjing, ya."
Sepulang sekolah di hari mereka berjanji untuk pergi bersama, Takashi dan Himeno datang ke kafe anjing.
Karena ia tidak punya kenangan menyenangkan saat sebelumnya pergi ke kafe kucing, ada sedikit keraguan dalam hatinya, tapi karena ini usulan dari Himeno, dia tetap datang.
Karena mungkin saja mereka akan bertemu orang dari sekolah yang sama, mereka saling menggenggam tangan dengan erat seperti pasangan sungguhan.
"Kucing sepertinya tidak cocok, jadi kupikir anjing yang lebih bersahabat akan lebih aman."
Memang sih, anjing terkesan lebih ramah daripada kucing.
"Benar juga. Tapi kamu pakai rok, jadi hati-hati, ya."
Biasanya tempat seperti ini ramai oleh pengunjung perempuan, tapi bukan berarti tidak ada pengunjung laki-laki sama sekali.
Takashi memperingatkan agar Himeno berhati-hati supaya tidak terlihat yang seharusnya tidak terlihat.
"Baik. Aku akan menjaga dari siapa pun kecuali Tak-kun."
Tolong jangan buat aku merasa spesial seperti itu lagi, pikir Takashi.
Memang sebelumnya Himeno pernah bilang kalau Takashi itu orang yang penting baginya, tapi tetap saja, hubungan mereka ini hanya hubungan pura-pura.
Walau begitu, belakangan ini mereka benar-benar mesra seperti pasangan sungguhan, dan mungkin karena sudah merasa nyaman, Himeno jadi makin blur batasannya terhadap Takashi.
Apalagi sekarang, dia bahkan menempel begitu dekat walaupun wajahnya masih sedikit malu-malu.
"Ayo masuk."
"Iya."
Setelah menarik napas dalam, mereka masuk ke kafe anjing.
"Selamat datang!"
Seorang pegawai perempuan muda dengan senyum cerah menyambut mereka.
Karena ini kunjungan pertama mereka, mereka diberi penjelasan singkat mengenai peraturan dan sistem pemesanan minuman wajib. Takashi memesan teh oolong dan Himeno memilih es cokelat. Setelah itu, mereka masuk ke ruangan tempat para anjing berada.
Karena ini hari kerja, pengunjungnya tidak terlalu ramai. Sebagian besar anjing terlihat sedang bersantai, bahkan ada yang menguap.
"Hari ini… aku harus berhasil…"
Karena saat di kafe kucing dulu dia tidak berhasil bermain dengan kucing sama sekali, kali ini dia bertekad untuk bisa akrab dengan anjing-anjingnya.
Biasanya anjing sudah terbiasa dengan manusia, jadi seharusnya mereka mau mendekat.
"Anjing~ ke sini, ayo."
Takashi duduk di lantai bersama Himeno dan perlahan mengulurkan tangannya ke arah anjing.
Yang mendekat adalah seekor anjing miniatur dachshund—jenis yang populer sebagai peliharaan karena penampilannya yang lucu.
"Eh? Kenapa?"
Anjing itu langsung berlari ke arah Himeno dan mulai manja-manjaan. Sementara Takashi sama sekali tidak disentuh.
Sama seperti waktu di kafe kucing. Lagi-lagi…
"Permisi, bisa minta cemilan anjing?"
Kalau begini, satu-satunya cara adalah menggunakan camilan sebagai umpan.
Meski mereka pasti sudah diberi makan, kalau mencium bau camilan enak pasti akan tergoda.
Toh anjing menilai makanan dari aromanya. Jadi harusnya naluri mereka terpancing.
"Ayo, sini… ini camilan enak, lho."
Setelah mendapat camilan dari pegawai, Takashi langsung mengarahkan camilan ke depan seekor anjing.
Anjing-anjing menoleh ke arahnya karena aroma camilan.
"Tunggu… kenapa lagi?"
Sekali lagi, anjing-anjing hanya melihat tanpa mau mendekat. Sebaliknya, Himeno yang tidak membawa apa-apa malah dikerumuni anjing-anjing.
Tampaknya Takashi benar-benar bukan tipe orang yang disukai anjing.
"Maaf… semua anjing ini sudah kenyang, ya?"
Dengan mata berkaca-kaca, Takashi bertanya pada pegawai toko.
"Kami memang sudah beri makan siang, tapi biasanya tetap ada beberapa yang mau makan camilan, kok…"
Pegawai menjelaskan bahwa tidak semua anjing makan dalam waktu yang sama, jadi mestinya masih ada yang mau ngemil. Tapi anjing-anjing malah tidak mau makan dari Takashi.
"Tak-kun, ke sini."
Melihat semua kejadian itu, Himeno memanggil Takashi mendekat. Ketika dia datang dengan camilan di tangan, anjing-anjing yang semula berkumpul di sekitar Himeno malah berpindah menjauh.
"Gimana kalau kita pegang camilan ini berdua?"
"Berdua?"
"Iya."
Sepertinya maksud Himeno, kalau sendirian tidak berhasil, coba saja bersama.
Camilannya berbentuk panjang, jadi bisa dipegang oleh dua orang sekaligus. Mungkin Himeno memang sudah merencanakan ini dari awal.
Mereka pun mendekati seekor anjing yang tidak lari, dan begitu camilan didekatkan, anjing itu menggonggong senang dan mulai makan.
"Whoa…"
Takashi spontan mengeluarkan suara kagum. Meski berkat bantuan Himeno, camilan darinya akhirnya dimakan juga. Itu cukup membuatnya senang.
"Ayo kasih satu lagi."
"Oke."
Mereka kembali menyuapi anjing yang sama, dan anjing itu terlihat sangat menikmati.
Karena bisa berbagi momen ini dengan Himeno, pengalaman di kafe anjing pun terasa menyenangkan.
*
"Aduh, kepencet."
Saat sedang bersantai di atas tempat tidur sambil memainkan ponsel, tiba-tiba muncul permintaan pertemanan dari seseorang bernama "Hinata".
Tanpa sengaja, Takashi menekan tombol 'terima', dan hampir bersamaan, panggilan masuk.
"Halo?"
Ragu sejenak, tapi akhirnya Takashi menjawab.
[Onii-san, tahu siapa aku?]
"Eh... Yukishita Hinata?"
[Eh, kok kamu bilang 'eh' sih? Tapi ya sudah lah, yang penting kamu masih ingat namaku.]
Apa yang bagus dari itu sih? pikir Takashi sambil mendesah. Dia baru saja mandi dan ingin segera tidur, tapi sekarang malah harus menghadapi obrolan panjang Hinata—sungguh merepotkan.
"Darimana kamu tahu kontakku?"
Seingatnya, dia tidak pernah memberitahu.
[Tentu saja aku tanya ke Miki-chan.]
Dasar cewek itu, ngasih-ngasih aja tanpa izin… gumam Takashi dalam hati. Mungkin nanti akan dia tegur, tapi untuk sekarang, dia tahan saja.
[Nggak banyak cowok yang punya kontakku, jadi kamu harus bersyukur, ya.]
"Yaaah…"
Jawaban Takashi terasa malas.
[Kayaknya kamu nggak tertarik, ya?]
"Memang nggak, sih."
Takashi tidak mungkin tertarik pada orang yang cuma basa-basi doang. Jadi dia hanya menjawab seadanya.
Semua itu hanya bayangan Takashi, tapi entah mengapa dia merasa tidak ingin terlalu terlibat dengan Hinata.
Naluri laki-lakinya memberitahu bahwa berurusan dengan Yukishita Hinata adalah hal yang berbahaya.
[Ngomong-ngomong, gadis berambut perak cantik yang pernah kamu sebut sebelumnya… itu Shirayuki Himeno, kan?]
"Apa?"
Begitu nama orang yang disukainya disebut, jantung Takashi langsung berdebar kencang. Di saat bersamaan ia juga bertanya-tanya, "Kok bisa dia tahu?"
[Itu pasti Shirayuki Himeno, kan? Di sekitar sini, satu-satunya gadis berambut perak secantik itu cuma dia.]
Nada bicaranya seolah-olah yakin seratus persen.
[Kamu lagi mikir ‘kenapa dia tahu?’ kan?]
"Iya…"
Memang tidak aneh kalau mereka kenalan meskipun beda sekolah, tapi entah kenapa Takashi membayangkan wajah Hinata yang menyeringai penuh arti.
[Soalnya aku dan Shirayuki Himeno itu… yah, kami ini saudara tiri.]
"Saudara…?"
Kalimat mengejutkan itu membuat jantung Takashi berdetak makin cepat.
Memang sempat terlintas kalau wajah mereka agak mirip, tapi karena nama belakangnya beda, dia tidak pernah mengira mereka saudara.
[Iya, betul. Tapi kami ini saudara tiri. Dia itu… anak dari simpanan, gitu.]
Yang dimaksud tentu saja adalah Himeno. Dan kalau dia anak dari simpanan, berarti ibunya tidak menikah secara sah.
Ditambah lagi, sejak tadi Hinata tidak pernah menyebut Himeno sebagai "kakak", mungkin karena latar belakang itu.
Bukan sekadar "mungkin", jelas-jelas Hinata tidak menyukai Himeno.
Istilah "anak dari simpanan" mungkin sering terdengar di anime atau manga, tapi sangat jarang ada orang sungguhan yang akan mengatakan hal seperti itu. Tapi sekarang bukan saatnya memikirkan soal benar atau tidak pantasnya.
"Aku ingat Himeno pernah cerita soal liburan keluarga waktu kecil…"
Waktu dia disuapi cokelat, Himeno memang pernah menyebut tentang pergi liburan keluarga.
[Pasti pergi sama si rubah licik itu, deh.]
"Rubah?"
[Maksudku ibunya Shirayuki Himeno. Dia itu perempuan murahan yang goda laki-laki yang sudah bertunangan, jadi cocok banget dipanggil rubah.]
Nada bicara Hinata tiba-tiba menjadi dingin dan penuh kebencian. Sepertinya itulah sisi asli dirinya.
"Nama keluarganya beda, ya?"
[Dia pakai nama keluarga ibunya. Kalau nggak nikah dan hak asuh jatuh ke ibu, ya biasanya begitu. Tapi sepertinya ayah kami tetap ngasih uang bulanan sih.]
Yah, masuk akal juga.
Tapi isi kepala Takashi sekarang sudah terlalu kacau. Dia terlalu terkejut mengetahui bahwa Himeno, si gadis tercantik di sekolah yang dijuluki "Putri Salju", ternyata adalah anak dari simpanan.
Meskipun begitu, dari nada bicara Hinata, ini sepertinya bukan kebohongan.
Alasan Himeno tidak tinggal bersama ibunya mungkin juga terkait dengan hal ini, walaupun Takashi tidak tahu detailnya.
"Aku nggak tahu soal ibunya, tapi… setidaknya Himeno itu bukan tipe cewek murahan."
Melihat seberapa pemalunya dia, semua orang pasti langsung yakin kalau Himeno bukan seperti itu.
[Iya sih. Dia emang orangnya serius banget.]
Itu memang kelihatan jelas dari sikapnya.
"Terus kenapa kamu cerita kayak gini ke aku?"
Kalau sampai tanya nomor dari Miki, lalu menelepon secara langsung seperti ini, pasti ada maksud di baliknya.
[Soalnya… pacaran sama anak dari simpanan itu mungkin akan berat, lho.]
Dari cerita Hinata, Himeno tampaknya memang tidak punya banyak hubungan dengan ayahnya.
Meski ayahnya memberi uang tunjangan, itu pun kemungkinan akan berhenti setelah dia dewasa nanti.
"Terus kenapa?"
[Aku jadi tertarik sama kamu, Onii-san. Jadi, gimana kalau kamu putusin dia dan… kita bersenang-senang bareng?]
Nada bicara Hinata berubah jadi manja dan menggoda, seolah sedang mencoba membius hati laki-laki.
"Kita aja belum pernah ngobrol beneran…"
[Tapi aku punya firasat kamu bakal baik ke aku. Aku juga belum pernah pacaran, jadi kamu bisa jadi yang pertama… dan semoga yang terakhir juga.]
Nada suaranya manis banget, sampai-sampai seolah bisa membuat siapa pun langsung jatuh hati.
Kalau Takashi tidak sedang menyukai seseorang, mungkin dia akan terjebak oleh ucapan Hinata.
"Maaf, aku tolak."
Kalau sudah punya orang yang disukai, dia tidak akan menerima ajakan dari gadis lain.
Fakta bahwa Himeno adalah anak dari simpanan memang mengejutkan, tapi buat Takashi, itu tidak penting.
[Yah, aku juga nggak berharap langsung diterima sih.]
"Begitu ya…"
Kalau cowok bisa seenaknya menerima siapa saja hanya karena cantik, itu bukan cinta, itu cuma nafsu.
[Aku udah tahu alamat rumah kamu dari Miki-chan, jadi nanti aku bakal mampir ya. Kalau kamu nggak ada, aku bakal asumsikan kamu lagi sama dia dan langsung nyamperin ke apartemen Himeno.]
Sepertinya Hinata benar-benar ingin merebut Takashi dari Himeno. Kalau dia memang tidak suka karena Himeno anak dari simpanan, wajar kalau dia punya motivasi seperti itu.
Mungkin saja Hinata punya kunci cadangan apartemen tempat Himeno tinggal sendiri.
Takashi ingin pasang pengaman rantai biar tidak bisa masuk, tapi itu malah bisa memicu masalah baru. Jelas-jelas Hinata bukan tipe yang akan menyerah begitu saja.
[Tenang aja, aku nggak bakal nyakitin dia kok. Takut kamu marah, soalnya. Tapi aku bakal nempel kamu di depan dia, biar dia cemburu.]
"Begitu ya…"
Cemburu nggak ya, dia? Takashi cuma bisa mengangguk pelan.
Harusnya cowok merasa senang bisa didekati gadis cantik, tapi kalau yang mendekat itu Hinata, entah kenapa tidak terasa menyenangkan. Mungkin karena dia sudah punya orang yang benar-benar dia suka.
[Kalau begitu, sampai ketemu ya ♪]
Setelah telepon ditutup, Takashi langsung mengirim pesan protes ke Miki.
*
"Tak-kun, selamat datang."
Hari Sabtu, sekitar pukul sepuluh pagi.
Takashi mengunjungi rumah Himeno.
Soal Himeno anak dari simpanan seperti yang dikatakan Hinata memang mengusik pikirannya, tapi alasan utama dia datang adalah karena dia ingin bertemu.
Menghabiskan waktu dengan orang yang disukai adalah kebahagiaan terbesar—itu sudah ia rasakan bersama Kana dan Marika. Sekarang, yang ingin dia temui hanya Himeno.
"Aku buatkan teh, ya."
Himeno memastikan Takashi sudah duduk di sofa ruang tamu, lalu pergi ke dapur.
Melihat punggungnya saja sudah terasa menenangkan.
(Jadi Himeno anak dari simpanan, ya…)
Takashi menatap Himeno yang sedang menyiapkan teh di dapur sambil merenung.
Sebagai anak dari ibu yang tidak menikah, Himeno pasti tidak diperlakukan baik oleh Hinata. Bisa jadi Hinata pernah berkata kasar padanya, bahkan mungkin pernah menyakitinya.
Mungkin alasan Himeno sangat peka terhadap perundungan adalah karena dia pernah mengalami hal seperti itu dari Hinata.
Tapi Hinata bilang tidak akan berbuat jahat lagi, jadi Takashi merasa tidak perlu terlalu khawatir.
Meski dia bilang ingin menempel hanya untuk membuat cemburu, rasanya itu bukan hal yang terlalu parah.
Karena bagaimanapun juga, hubungan mereka sekarang hanyalah sebatas saling menghibur.
Kalau Hinata benar-benar datang dan menempel padanya, Takashi hanya perlu menolaknya dengan tegas.
"Maaf ya, lama."
Saat ia sedang melamun, Himeno datang membawa teh yang sudah selesai disiapkan.
Yang dibawanya adalah es milk tea dalam gelas berisi es batu, kemungkinan besar dibeli dari supermarket.
"Enak."
Karena ini produk jadi, rasa manis dan aroma teh serta susu langsung terasa begitu diminum.
"Syukurlah."
Himeno tersenyum kecil sambil duduk di sebelahnya—terlihat sangat manis.
Sebenarnya, Takashi ingin juga mencoba teh yang dibuat sendiri oleh Himeno menggunakan kantong teh, tapi tidak sampai hati mengatakannya. Bagaimanapun, ini dibelikan oleh Himeno sendiri.
"Himeno… kau kenal Yukishita Hinata?"
Setelah meletakkan gelas ke atas meja, Takashi memberanikan diri bertanya.
Ia sudah beberapa hari ragu apakah harus menanyakannya atau tidak, tapi akhirnya memutuskan untuk menanyakan langsung tentang kebenaran bahwa Himeno adalah anak dari simpanan.
Karena walaupun benar, ia tetap ingin bersama dengannya.
"Kenapa kamu tahu nama itu…?"
Wajah Himeno yang tadinya tersenyum berubah seketika menjadi seperti seseorang yang sedang tenggelam dalam keputusasaan. Sepertinya memang ada sesuatu yang terjadi di masa lalunya.
"Kau ingat Kasugai Miki dari maid café waktu itu? Mereka kayaknya temenan, jadi aku tahu dari situ."
"Begitu… ya."
Himeno menunduk, dan dari situ Takashi tahu bahwa yang dikatakan Hinata tentang anak dari simpanan itu memang benar.
Mungkin Himeno sedang takut Takashi akan memutuskan hubungan mereka setelah tahu kenyataan itu.
"Himeno… kamu memang anak dari simpanan?"
Masih ada kemungkinan kecil kalau Hinata berbohong, jadi Takashi menggenggam tangan Himeno dengan lembut dan bertanya.
"I-iya…"
Air mata mulai memenuhi mata biru Himeno yang terlihat hampir kehilangan sinarnya.
Ini hanya firasat, tapi mungkin dia pernah kehilangan teman dekat gara-gara statusnya itu. Karena itu sekarang dia jadi sangat sensitif terhadap hal tersebut.
"Maaf karena aku menyembunyikannya. Kamu… benci berada bersama orang sepertiku?"
Air mata besar jatuh dari matanya.
Mungkin ia membayangkan kalau hubungan mereka tidak bisa dilanjutkan, lalu harus kembali jadi sasaran bullying. Itu pasti sangat menakutkan baginya.
Dan meskipun ia berusaha bergantung pada orang lain, Himeno hanya akan dicap cewek murahan yang gampang berpindah ke cowok lain. Itu justru akan memperburuk keadaannya.
"Aku nggak benci kok. Siapa pun kamu, Himeno tetaplah Himeno."
Bagi Takashi, status Himeno sebagai anak dari simpanan tidak ada artinya. Dia tetap ingin bersamanya, dan itu sudah cukup.
"Benarkah?"
"Tentu saja."
Sebagai bentuk janjinya, Takashi menggenggam jari Himeno dan menyatukannya dalam genggaman seperti sepasang kekasih.
"Terima kasih…"
Sedikit cahaya kembali ke mata Himeno, tapi sepertinya belum cukup untuk membuatnya benar-benar tenang.
"Aku rasa Ibu ingin menyembunyikan fakta kalau aku anak dari simpanan dari keluarganya. Makanya aku nggak diizinkan tinggal bersama. Kami cuma bisa bertemu saat liburan seperti musim semi atau musim panas."
"Begitu ya… pasti berat."
Takashi tahu betul seperti apa rasanya tidak bisa tinggal bersama keluarga.
Ia juga pernah kehilangan kakaknya dan tak bisa lagi tinggal bersamanya. Dulu, ia menangis hampir setiap hari.
Sekarang dia sudah bisa menahan air mata, tapi saat ziarah ke makam, air mata tetap terasa hangat di pelupuk mata.
"Orang yang aku punya sekarang cuma kamu, Tak-kun. Kalau kamu bersamaku, semua rasa sakit itu bisa hilang."
Kalau tidak bisa bergantung pada keluarga, maka satu-satunya harapan adalah pada orang yang bisa dipercaya. Dan bagi Himeno, orang itu adalah Takashi.
"Nggak apa-apa. Aku akan selalu bersamamu."
Bersamanya adalah hal yang membahagiakan.
"Kalau begitu… bisakah kamu tunjukkan buktinya?"
Himeno memejamkan mata. Sepertinya dia ingin Takashi menciumnya—mungkin di pipi atau di dahi.
"Baiklah."
Takashi mengangguk, meletakkan tangan di pundaknya, lalu perlahan mendekat.
"Ah…"
Dia mengecup pipi Himeno dengan lembut.
Tapi karena sepertinya itu belum cukup, Takashi melanjutkan dengan kecupan yang sedikit menempel, bahkan sedikit menggigit manja seperti menghisap pipi dengan lembut.
Tubuh Himeno sedikit gemetar, mungkin karena terkejut dengan jenis ciuman yang belum pernah dia alami sebelumnya, lalu ia mulai bersandar ke tubuh Takashi.
Karena hubungan mereka yang awalnya hanya pura-pura, lalu Himeno menyebut Takashi sebagai "orang penting" baginya, jarak di antara mereka jadi tidak terasa wajar lagi.
Takashi sudah cukup paham karena punya pengalaman panjang bersama Marika. Dan sekarang Himeno mulai menunjukkan cara bersandar yang hanya dilakukan pada orang yang benar-benar dia percayai.
Meskipun kepercayaan tidak selalu berarti cinta, tapi jelas… hubungan mereka sudah melangkah ke arah yang jauh lebih dalam.
"Perasaan Tak-kun… kalau kamu ingin selalu bersamaku, itu sangat terasa sekarang."
"Kalau begitu, baguslah."
"Ah…"
Karena terus dicium, mereka tidak bisa bicara, jadi Takashi akhirnya melepaskan bibirnya dari pipi Himeno.
Himeno sempat terlihat sedikit kecewa, tapi tentu saja mereka tidak bisa terus berciuman selamanya.
Namun Takashi sendiri masih ingin mengulanginya. Meskipun hanya di pipi, ciuman dengan orang yang dia suka adalah hal yang sangat membahagiakan.
"Kalau kamu yang mau… kamu bisa melakukannya kapan pun."
Ucapan Himeno yang membuat segalanya terasa begitu spesial membuat Takashi hanya bisa menggeliat dalam hati karena terlalu manis.
*
"Nee nee, Shirayuki-san, ayo ngobrol yuk?"
Hari Senin, saat mereka sampai di kelas, seorang gadis dari kelas mereka menghampiri dan mengajak Himeno bicara.
Seorang gadis dengan potongan rambut pendek berwarna hitam, tersisir ke telinga kanan, dan senyum yang sangat cocok di wajahnya.
Senyum itu terlihat tulus, berbeda sekali dengan kesan aneh yang dirasakannya saat pertama bertemu Hinata.
"Ada apa, Ninomiya-san?"
Himeno menoleh dan menjawab.
Takashi pun melihat ke arah gadis itu. Kalau tidak salah, namanya Ninomiya Tsukasa.
Dari penampilannya, dia termasuk gadis cantik dan karena kepribadiannya yang ramah, dia cukup populer di kalangan sesama perempuan. Sangat kontras dengan Himeno yang pernah dibully.
"Aku sudah lama pengen ngobrol, terutama sejak kamu mulai dekat sama Takahashi-kun."
Nada bicaranya mengandung makna tersembunyi, tapi sepertinya dia memang tulus ingin ngobrol. Mungkin karena sejak dekat dengan Takashi, ekspresi Himeno jadi jauh lebih lembut.
Waktu tahun pertama mereka beda kelas, jadi Tsukasa tidak terlalu mengenalnya. Tapi sejak tahun kedua dan sekelas dengan Himeno, dia tahu dulu Himeno sangat tertutup.
Sekarang, Himeno sudah bisa menunjukkan senyum yang benar-benar tulus. Makanya, Tsukasa memutuskan untuk mengajaknya bicara.
"Sudah deket banget sama si Putri Salju, sekarang sama Ninomiya-san juga… iri banget."
Tatapan cemburu langsung mengarah pada Takashi. Sudah sejak bulan April dia terbiasa dicemburui hanya karena duduk di kelas yang sama, tapi tetap saja itu tidak menyenangkan.
"Yah, ya sudahlah. Ngobrol sama pasangan bucin sih nggak bakal bikin orang salah paham. Tapi ngomong-ngomong, aku dulu pernah nembak Ninomiya-san dan ditolak mentah-mentah."
Ucapan temannya diakhiri dengan cerita menyedihkan.
Tidak seperti Himeno, Tsukasa sangat ramah, jadi banyak cowok kurang pengalaman yang salah sangka karena dia mudah berinteraksi.
Mungkin karena itu sekarang dia lebih memilih berteman dengan sesama perempuan. Dia suka ngobrol, tapi tidak ingin berpacaran—mungkin seperti itu.
"Shirayuki-san sekarang kelihatan bahagia banget. Apa itu karena Takahashi-kun?"
Pertanyaan super to the point langsung terlontar.
Dari cara bicaranya, Tsukasa sepertinya tipe orang yang langsung mengutarakan isi hatinya.
"Iya… mungkin karena aku bisa dekat dengan Tak-kun."
Dengan wajah sedikit memerah, Himeno menjawab sambil menggenggam tangan Takashi lebih erat.
"Kalian memang bucin banget sih. Wajar kalau dikatain begitu, kalian mesra banget bahkan di dalam kelas."
Karena hubungan mereka pura-pura, kemesraan di depan umum memang diperlukan. Meskipun masih sedikit malu, tapi itu tidak masalah.
"Kalau ciuman, kalian udah pernah ya? Gimana rasanya?"
Lagi-lagi pertanyaan to the point, dan penuh rasa ingin tahu.
Meskipun tidak ingin pacaran, dia sepertinya sangat suka cerita-cerita soal cinta.
Katanya gadis suka cerita cinta, dan sepertinya itu memang benar. Karena Tsukasa belum pernah pacaran, makanya dia penasaran.
Tapi Takashi juga belum pernah mencium bibir siapa pun, jadi tidak tahu harus jawab apa.
Himeno pun belum pernah berciuman di bibir, itu sudah pasti.
"Ciuman… itu benar-benar hal yang indah. Dada Tak-kun memang keras, tapi saat berciuman, kelembutan dan kehangatan terasa langsung lewat bibir. Rasanya enak…"
Sepertinya yang Himeno ceritakan adalah pengalaman ciuman di pipi saat di taman hiburan.
Cerita tentang dada Takashi mungkin untuk menggambarkan kontras dengan pipinya saat itu.
"Begitu ya~ Kalian kelihatan bahagia banget, sih. Omong-omong, Takahashi-kun…"
Tiba-tiba Tsukasa mengalihkan perhatian padanya, membuat Takashi agak terkejut.
"Dada Shirayuki-san gimana? Lembut nggak?"
Dengan senyum jahil di wajahnya, jelas Tsukasa menanyakan itu hanya untuk bersenang-senang.
Kalau dia sering menanyakan hal semacam ini ke cowok lain, bisa jadi banyak yang akan salah paham.
Sementara itu, Himeno hanya menggumam malu, "Auu…" dan pipinya semakin memerah.
"L-lembut banget."
Karena tubuhnya mulai terasa panas, pipi Takashi juga pasti memerah sekarang. Tapi ia tetap menjawab jujur karena memang benar—itu memang lembut.
"B-berarti… Putri Salju yang murni itu sudah menyerahkan segalanya ke Takahashi!"
Seorang cowok yang mendengar pembicaraan itu berseru putus asa. Karena mereka bicara di kelas, orang-orang bisa mendengar walau tidak sengaja menguping.
Merasakan dada yang lembut karena bersentuhan tidak berarti seseorang telah "menyerahkan segalanya."
Tapi meskipun salah paham, mereka mengira hubungan Takashi dan Himeno benar-benar seperti pasangan bucin. Kalau begitu, ya tidak apa-apa.
"Yah, dengan ukuran sebesar milik Shirayuki-san, mana ada cowok yang bisa tahan nggak menyentuh?"
Tsukasa melirik dada Himeno dengan tajam—sepertinya dia cukup suka dengan topik-topik mesum juga.
Walau begitu, dia tahu harus memilih lawan bicara, dan tampaknya Takashi masuk kategori yang "aman untuk diajak bicara seperti ini." Faktor Himeno juga berpengaruh.
"Kalau terlalu dilihat… aku malu…"
Himeno menutupi dadanya dengan tangan yang tidak sedang bergandengan dengan Takashi.
Kelihatannya dia tidak terbiasa dengan pembicaraan semacam ini, meskipun pelakunya sesama perempuan.
Karena awalnya saja dia bisa merah padam hanya karena sedikit bersentuhan, wajar kalau dia merasa malu seperti ini. Takashi sendiri juga tidak ingin tubuhnya terus-terusan dipandangi, bahkan oleh sesama pria.
"Maaf, ya. Tapi aku masih penasaran nih—kenapa tiba-tiba kalian jadi pasangan bucin? Soalnya pas tahun pertama kalian nggak sedekat itu, kan?"
Tsukasa benar-benar orang yang suka menanyakan segala sesuatu secara langsung. Memang, dari luar hubungan mereka terlihat berkembang secara tiba-tiba, jadi wajar kalau membuat orang penasaran.
"Yah, banyak hal terjadi. Jadi kami putuskan untuk tampil bucin sekalian aja."
Karena memang benar banyak hal yang terjadi, Takashi menjawab seadanya seperti itu. Mereka saling mendukung untuk menyembuhkan luka masing-masing, lalu akhirnya jadi dekat dan terlihat seperti pasangan bucin.
"Iya. Sebenarnya sebelumnya juga kami dekat, tapi karena aku takut Tak-kun bakal jadi bahan omongan, jadi aku menahan diri di sekolah."
Himeno langsung mengerti maksud ucapan Takashi dan menyesuaikan ceritanya.
Jadi, kesannya mereka memang sudah dekat dari dulu tapi baru sekarang berani menunjukkan di sekolah.
"Yah, kalau orang sepopuler Shirayuki-san ternyata punya cowok, ya wajar kalau cowok-cowok lain pada nyinyir ke Takahashi-kun."
Meskipun sudah jadi pasangan bucin, pasti masih banyak cowok yang cemburu. Tsukasa tampaknya paham dan menerima itu.
"Kalau kamu jawab ‘banyak hal terjadi’ gitu sih, ya aku nggak bakal maksa nanya lebih jauh. Kurang lebih aku bisa nebak."
Alasan mereka mulai dekat di sekolah tampaknya sudah dimengerti Tsukasa.
Dia mungkin sudah menyadari sejak dulu bahwa Himeno sering jadi bahan omongan buruk di kalangan cewek, dan menyimpulkan bahwa itu ada hubungannya.
Saat mereka sedang asyik berbicara seperti itu, bel masuk pun berbunyi.




Post a Comment