NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Koukouna kanojo to, Kanojo no Heya de shiteru koto [LN] Bahasa Indonesia Volume 1 Chapter 4

 Penerjemah: Flykitty

Proffreader: Flykitty


Chapter 4

Kesalahpahaman Tentang Piketan Harian Kotori


Sejak saat itu, begitu Kotori menemukan celah dan mendapatkan trik untuk memulai percakapan, setelah berhasil “membuka pencapaian” dengan menyapa, ia pun bisa bertukar salam dengan Toba tanpa masalah.


Hubungan mereka juga tampak berjalan baik.


Karena sudah saling bertukar kontak, beberapa kali Kotori menerima pesan ringan darinya, lengkap dengan gambar, seperti:


[Aku berhasil memotret matahari terbenam yang super indah!]

[Mampir ke restoran gyudon sepulang sekolah dan coba menu super pedas yang katanya terkenal, ternyata beneran pedes banget!]

[Aku minjem manga shoujo yang jadi sumber film yang lagi rame dibicarain dari adikku, ternyata bikin nangis banget!]


(Hanya saja, Kotori sering tidak tahu bagaimana harus membalas, jadi jawabannya hanya dingin seperti Heh atau Oh gitu, atau malah membiarkan pesan terbaca tanpa membalas sama sekali.)


Bahkan, meskipun hanya sekali, Kotori juga berhasil menyapa lebih dulu dengan “pagi”. Dan itu dilakukan tanpa persiapan rutinitas seperti biasanya. Bagi Kotori, itu adalah pencapaian luar biasa. 


Takumi yang melihat Kotori selangkah naik tangga kedewasaan di hadapannya, bersorak dalam hati sekaligus dilanda rasa cemas seolah sedang tertinggal.


Hari itu, meskipun di luar ia tetap menjaga penampilan sebagai “Putri Es” yang angkuh, Kotori diam-diam terus mengirim pesan ke Takumi saat pelajaran berlangsung, seperti:


[Aku tadi deg-degan banget!]

[Aku berhasil ngomong dengan lancar kan!?]

[Aku bisa nyapa lebih dulu!?]


Ia benar-benar sedang berbunga-bunga. Sepulang sekolah, mereka merayakannya bersama di kamar Kotori dengan cheesecake yang dibeli di Kingyo Mall.


Lalu tibalah pagi hari ketika giliran piket kelas tiba.


Karena orang tua Kotori sedang dinas luar kota sejak sehari sebelumnya, Takumi sudah datang ke kamarnya sejak pagi-pagi sekali. Tentu saja, untuk melakukan rutinitas persiapan dengan lebih matang.


Setelah rutinitas yang dilakukan lebih lama dari biasanya berakhir, suasana kamar dipenuhi udara tegang yang membuat kaku.


Sambil merapikan pakaian dalamnya, Kotori dengan nada ragu dan sedikit bingung, berkata berbeda dari biasanya.


"Takumi… hari ini, rasanya… enak nggak?"

"Eh?"


Takumi terbelalak mendengar pertanyaan tak terduga itu, memandang Kotori dengan mata bulat.


Kotori buru-buru mengalihkan pandangan, bulu matanya bergetar saat ia menjelaskan.


"Gerakanmu… kayak beda dari biasanya, maksudku…"


Memang benar. Kali ini Takumi sengaja mencoba sesuatu yang berbeda.


Melihat Kotori yang tampak bingung, Takumi merasa mungkin tujuannya gagal, lalu dengan hati-hati bertanya.


"Itu… sebenarnya aku cuma pengen coba cara lain kali ini. Tapi… apa malah jadi sakit doang, atau gimana…?"

"B-bukan! Bukan gitu… beda dari biasanya, malah rasanya enak banget, jadi aku… bingung…"

"…Oh, jadi enak ya? Syukurlah."


Kali ini, alih-alih hanya gerakan kasar dan monoton demi mengeluarkan hasil, ia mencoba memberi variasi tempo, menambahkan gerakan memutar, serta mengganti titik-titik stimulasi.


Semua itu memang cuma hasil belajar buru-buru dari internet, jadi ia agak khawatir. Tapi karena Kotori benar-benar merasa senang, Takumi bisa menghela napas lega dan sedikit merasa percaya diri.


Bagi Kotori, rutinitas hanya bertujuan membuat Takumi mengeluarkan sesuatu. Jadi selama ini reaksinya selalu datar, tanpa peduli apakah dirinya merasa enak atau tidak. Takumi pun tak pernah menanyakan hal itu.


Alasan ia ingin membuat Kotori merasa senang kali ini, berawal dari kejadian ketika Kotori memintanya melakukan rutinitas di sekolah, dan ia gagal merespons. Takumi ingin menghapus rasa malu itu.


Sementara itu, Kotori yang tanpa sadar mengucapkan kejujurannya, wajahnya langsung memerah, mendidih sampai ke telinga. Ia mengambil bantal yang biasa digunakan untuk rutinitas, lalu melemparnya ke arah Takumi sambil mengeluarkan suara setengah tercekik.


"~~~~~, Takumi bodoh~~!"

"Uwah, maaf, maaf!"


Wajah Kotori yang merah dan keringat yang menetes di dahinya menjadi bukti nyata bahwa ia menikmatinya. Melihat itu, bibir Takumi terangkat tanpa bisa ditahan.


Namun, karena sudah membuat Kotori kesal, ia pun menyerah, mengangkat kedua tangan, lalu buru-buru kabur dari kamarnya.


Keluar dari kamar Kotori, Takumi langsung pergi ke sekolah lebih dulu.


Meski lebih awal dari biasanya, kelas sudah terisi setengah. Beberapa kelompok teman sekelas tampak asyik mengobrol. Takumi dan Kotori biasanya datang mepet waktu karena kalau terlalu awal, mereka tak tahu harus bicara dengan siapa.


Setelah menaruh tas di mejanya, Takumi melirik sekeliling, dan ternyata Toba belum datang.


"………yo"


Tak lama, Kotori masuk kelas, melontarkan sesuatu yang mirip sapaan. Karena geng “gadis populer” belum datang, tak ada yang menyahutinya.


Mungkin ia lebih suka dibanding diserbu obrolan, tapi tanpa sapaan balik pun ada rasa sepi. Ekspresi Kotori jadi rumit. Saat ia menyapu pandangan ke sekeliling, ia sadar kalau Toba belum datang juga.


Padahal ia sudah menyiapkan mental untuk hari ini, tapi malah kena “angin kosong”. Kotori menarik napas kecil dengan kecewa.


Tentu saja ia tidak bisa berdiri bengong terus, jadi berjalan ke mejanya. Tapi saat itu terdengar suara riang bercampur panik dari koridor.


"Bahaya, aku hampir kesiangan!"


Dan yang berlari masuk kelas adalah Toba sendiri.


Begitu ia membuka tangan dan bergaya “selamat!”, teman-teman menyorakinya, “Ngapain aja kamu” dan “Jam segini mah biasa aja.” Toba hanya senyum canggung sambil menggaruk kepala.


Saat meletakkan tas, ia melihat Kotori. Dengan senyum lebar, ia mendekat.


"Yo, Nabata! Untung aja, kamu juga baru dateng kan?"

"…!"


Kotori hendak menjawab, tapi kata-katanya tercekat. Ia hanya mengangguk kecil.


"Kalau gitu, vas bunganya belum diganti airnya kan? Biar aku yang urus!"

"Eh!?"


Dengan senyum cerah, Toba menaruh tas sembarangan di mejanya, menggulung lengan baju, lalu berjalan ke belakang kelas.


Sepertinya ia ingin menunjukkan sisi baiknya pada Kotori. Tapi tujuan Kotori sebenarnya adalah mengerjakan piket bersama. Jadi tindakan tak terduga Toba malah membuatnya panik.


Takumi juga sempat melongo, sampai akhirnya bertukar pandang dengan Kotori yang jelas-jelas meminta pertolongan.


Sementara itu, Toba sudah memegang vas bunga. Tidak ada waktu untuk ragu.


Takumi cepat-cepat mengetikkan pesan di ponselnya: 

[Bilang: bareng!]


Kotori yang melihat pesan itu langsung terkejut, lalu menatap Takumi lagi. Ia mengangguk lebar memberi dorongan.


Setelah ragu sejenak, Kotori pun berteriak dengan suara yang bukan dirinya.


"Ba-bareng!"

"Eh?"


Toba berhenti, terkejut. Kotori pun maju mendekatinya, lalu melanjutkan dengan suara cepat.


"Bareng, kita lakuin sama-sama!"

"Ah, iya…"


Kotori yang sudah kewalahan buru-buru berjalan cepat keluar kelas menuju tempat cuci tangan.


Toba yang sempat terpaku, langsung tersadar dan menyusulnya.


Begitu keduanya menghilang dari pandangan, Takumi menghembuskan napas panjang.


Walau sempat ada kecelakaan kecil, sebagai permulaan bisa dibilang berhasil.


Tapi bukan hanya Takumi yang menghela napas. Dari berbagai sudut kelas juga terdengar bisik-bisik penuh rasa ingin tahu.


"Itu beneran sih."

"Udah pasti, kan."


(…Eh?)


Takumi melongo mendengarnya. Ia mencuri dengar, dan rupanya mereka sedang bergosip tentang Kotori dan Toba.


Lagi-lagi situasi yang tak terduga membuat wajah Takumi menegang.


Setelah itu pun Kotori bersama Toba mengerjakan tugas piket tanpa masalah berarti.


Seperti yang sudah direncanakan, Kotori menawarkan dengan kalimat standar, lalu mereka membagi tugas menghapus papan tulis ke kanan dan kiri, juga membuka-tutup kunci ruang fisika bersama. Kotori serius mengejar targetnya.


Bagi Takumi, kadang ada momen yang bikin tegang, tapi Kotori terlihat berusaha keras. Namun, bagi teman-teman sekelas lain, situasinya terlihat berbeda.


Setiap kali Kotori dan Toba mengerjakan piket bersama, terdengar komentar seperti:


“Lihat, barengan lagi.”

“Wah, nggak nyangka juga.”

“Akhir-akhir ini jelas banget sih.”


Sepertinya semua orang mengira Kotori menyukai Toba.


Kalau dipikir lagi, biasanya Kotori tidak pernah berusaha mendekati siapapun, tapi setelah hari itu, ia justru aktif mendekati Toba. Lagipula, mengganti air vas bunga, menghapus papan tulis, atau mengurus kunci kelas pindahan—semuanya bisa dikerjakan sendiri-sendiri. Tapi Kotori malah selalu mengusulkan untuk mengerjakan bersama.


Tak heran kalau semua orang menilainya sebagai “pendekatan”.


Kotori sendiri hanya fokus pada targetnya, tanpa sempat memikirkan bagaimana perasaan orang lain atau bahkan Toba.


Sedangkan Toba, jelas-jelas senang bukan main.


Kalau diperhatikan, ia sering menepuk pelan bahu atau lengan Kotori saat bicara. Bahkan kadang mencoba merangkul pinggangnya. Itu jelas jarak yang biasanya hanya dilakukan ke pasangan atau seseorang yang dianggap istimewa.


Dan Kotori tidak menunjukkan tanda-tanda menolak. Dengan wajah datarnya, ia tetap menjalankan tugas piket. Itu semakin membuat Toba percaya diri dan pamer ke sekeliling.


Takumi tahu Kotori hanya berusaha keras demi tujuannya. Tapi teman-teman lain pasti tidak berpikir begitu. Kini Takumi merasa khawatir dengan arti yang berbeda.


Toba itu orang yang ceroboh dan penuh inisiatif. Kalau ia salah paham, Takumi tidak tahu apa yang mungkin ia lakukan pada Kotori.


Lalu tibalah jam istirahat siang.


Tugas piket berikutnya adalah mengembalikan model peralatan kehidupan dan alat berburu zaman Jomon, yang tadi dipakai di pelajaran sejarah Jepang, ke ruang penyimpanan.


"Nabata-san, ayo cepet kita ke sana."

"Mm."


"Kalau begitu ayo, Nabata-san," ucap Toba sambil dengan ringan mengangkat kotak kayu berisi bahan pelajaran, lalu memberi isyarat pada Kotori. 


Kotori pun seperti biasa mengangguk kecil, lalu berjalan di samping Toba yang memasang senyum malas-malasan.


Waktu sudah masuk jam istirahat siang, jadi teman sekelas mereka lebih sibuk dengan makan siang masing-masing ketimbang memperhatikan gerak-gerik Kotori dan Toba. 


Justru karena tidak ada banyak pasang mata yang mengawasi, tak bisa ditebak apa yang akan terjadi. Takumi, yang tak tahan hanya diam, menyembunyikan kehadirannya dan diam-diam mengikuti mereka.


◇◆◇


Kotori berjalan di koridor dengan wajah tegang di samping Toba, melawan arus murid-murid lain yang menuju kantin atau koperasi sekolah.


Ia mengingat kembali pekerjaan-pekerjaan piket sejak pagi tadi.


Memang sempat tersandung sedikit saat mengganti air vas bunga, tapi selain itu—menghapus papan tulis, membuka dan mengunci pintu ruang pindahan kelas, hingga mengembalikan bahan pelajaran kali ini—semuanya berjalan cukup baik.


Biasanya, partner piket laki-lakinya bersikap buruk padanya, bahkan seringkali melempar semua pekerjaan ke Kotori sehingga ia harus menyelesaikannya seorang diri. Kalau dibandingkan dengan itu, sejauh ini dia berhasil melakukannya dengan baik.


"Ngomong-ngomong, video rekonstruksi rumah pit-dwelling di pelajaran tadi, lucu banget ya. Orang-orang bersetelan jas yang bikin, aku hampir ketawa, hahaha."

"Iya."


Walau pikirannya tegang sehingga isi percakapan tidak begitu masuk, Kotori tetap bisa menanggapi basa-basi ringan. Hanya itu saja sudah membuatnya sedikit merasa bangga, meski ia buru-buru kembali meneguhkan diri agar tidak terlalu senang.


Kotori dulu pernah bersumpah dalam hati—sejak insiden "pengakuan bohong" itu—bahwa ia akan berubah saat masuk SMA.


Dan meski jalannya berliku, ia merasa sudah mulai melihat hasilnya. Ia juga punya sosok yang ia jadikan panutan.


Seseorang yang dulu, meski dirinya dingin, canggung, dan kesepian, tetap menariknya masuk ke dalam lingkaran pertemanan dan menunjukkan dunia yang menyenangkan. Itu adalah Acchan.


Bagi Kotori, Acchan adalah penyelamat sekaligus tujuan yang ingin ia kejar.


Jika ia berhasil menyelesaikan "misi piket dengan lancar" ini, mungkin ia bisa melangkah sedikit lebih dekat ke Acchan.


Selain itu, ia juga bersyukur pada Takumi.


Memang, rutinitas mereka terdengar aneh, tapi Takumi tetap melakukannya bersamanya—meski Kotori hanyalah "siput perempuan" yang menyembunyikan diri di ruang peralatan kelas. 


Berkat rutinitas itu, ia bisa merasakan bahwa dirinya pun mampu membuat lawan jenis merasa senang. Bahwa dirinya masih berfungsi sebagai seorang perempuan. Itu memberinya kepercayaan diri.


(Tapi, pagi tadi agak… bikin bingung…)


Mengingat bagaimana dirinya sempat kewalahan oleh kenikmatan tadi pagi, wajahnya pun merona panas.


Padahal, tujuan rutinitas hanyalah membuat Takumi merasa nyaman.


Namun kali ini justru dirinya juga ikut terbawa oleh rasa nikmat itu. Anehnya, ia malah merasa bersalah.


Takumi sudah cukup repot harus menghadapi rutinitas konyol ini, jadi seharusnya dia bisa menikmati tanpa perlu memikirkan Kotori. Karena itu, ada sedikit perasaan kesal yang muncul di dalam hati Kotori.


"Ah, sampai juga."

"Iya."


Mereka tiba di ruang arsip. Wajah Kotori masih memerah ketika masuk bersama Toba.


Di dalam, rak-rak berjajar rapi di sepanjang dinding, berisi patung gips, binder, dan kotak kayu serupa dengan yang mereka bawa. Di pojok, ada pula easel untuk seni rupa, torso untuk pelajaran tata busana, dan beberapa kardus bertumpuk.


Rak diberi label berdasarkan mata pelajaran. Mereka pun membagi tugas mencari bagian bertuliskan "Sejarah Jepang", lalu menaruh kotak kayu itu di tempat kosong.


Selesailah tugas pengembalian arsip. Sekarang tinggal melewati jam pelajaran siang, dan misinya selesai.


Kotori berbalik hendak keluar untuk kembali ke kelas dan makan siang, tapi tiba-tiba lengannya ditangkap Toba.


"T-tunggu sebentar, Nabata-san."

"…?"


Tugas sudah selesai. Ada apa lagi? Kotori menatap bingung.


Wajah Toba memerah sekali. Wajah cerianya lenyap, digantikan ekspresi tegang. Pegangannya pada lengan Kotori pun terasa bergetar.


"…………"

"…………"


Toba yang biasanya banyak bicara, kini hanya diam. Hening mencanggung membungkus ruangan.


Kotori kebingungan. Apa dia melakukan kesalahan barusan?


Saat rasa cemas mulai menguasai dirinya, Toba akhirnya memberanikan diri. 


Dengan senyum canggung, ia berkata dengan nada seakan santai, tapi jelas tak bisa dianggap enteng:


"Hei… gimana kalau kita jadian?"

"…Eh?"


Kepala Kotori seketika kosong. Lalu, kenangan "pengakuan bohong" dulu menyerbu masuk.


“Pakai logikamu deh. Siapa juga yang bakal tertarik sama cewek kayak kamu?”


Senyum meremehkan, tatapan merendahkan, tawa mengejek—semua itu kembali nyata.


Mata Kotori terbuka lebar, menatap Toba.


Toba bukan dia. Tapi sama seperti dulu, ini terlalu mendadak. Jantungnya berdentum keras, hampir pecah.


──Apa dirinya akan dipermalukan lagi, seperti waktu itu?


Trauma lama mengoyak batinnya. Kotori hanya berdiri terpaku.


Toba kemudian meletakkan tangannya di pundak Kotori.


Kotori tersentak ketakutan, refleks menutup mata.


"……."

"Jadi, maksudku itu… ya, gitu…"


Gelap gulita di hadapan matanya, hanya terasa keberadaan Toba yang makin mendekat.


(Tidak… aku takut… tolong… ada yang tolong aku!)


Teriakannya hanya bergema di dalam hati, tanpa suara.


Tubuhnya kaku, tak bisa bergerak.


Apakah semua usahanya sia-sia? Apakah dirinya tidak berubah sama sekali?


Saat keputusasaan hampir menguasai, suara lantang seorang gadis terdengar.


"Hei! Dia ketakutan, kan!?"

"Eh—uakh!?"

"!?"


Sekejap kemudian, lengan dan pundaknya bebas. Disusul suara "dug" keras menghantam lantai.


Kotori membuka mata dengan hati-hati.


Seorang gadis mungil dengan wajah imut sedang menjatuhkan Toba—yang jauh lebih besar darinya—dan kini menginjaknya.


Kotori tak bisa memahami apa yang baru saja terjadi.


Saat ia masih terbelalak kebingungan, gadis itu berbalik padanya. Suaranya lembut, seperti denting lonceng.


"Kamu nggak apa-apa? Dia nggak ngelakuin hal aneh ke kamu, kan?"

"Kotori! Akira-senpai!"

"Hashio-kun, lama banget sih!"

"…ah."


Bersamaan itu, Takumi datang tergopoh-gopoh, membawa beberapa poster gulung di pelukannya.


Ia segera melihat keadaan Kotori dan Toba, lalu membelalakkan mata.


"Dia pingsan total… ini, Akira-senpai yang ngelakuin?"

"Ahaha, jangan bercanda. Mana mungkin gadis secantik aku bisa ngelakuin itu? Tadi kan dia maksa sama cewek, jadi mungkin kena batunya dan jatuh sendiri."

"H-hah…"

"Eh, apa-apaan tatapan itu!"

"…nggak, bukan apa-apa. Yang penting Kotori selamat."

"Hmm."


Kotori terpaku melihat interaksi mereka yang akrab.


Jadi, inilah "senpai yang bisa bicara normal" itu. Ternyata bukan sosok imajiner Takumi, tapi nyata adanya. Aneh sekali, ada orang yang tidak gentar menghadapi Takumi.


Dan lebih aneh lagi—mulut Kotori dengan sendirinya mengucapkan kata-kata syukur.


"Te-terima kasih sudah nolongin aku. Uhm…"

"Namaku Akira. Kelas dua, Ikoma Akira. Panggil aja Akira."

"Baik, Akira-senpai."

"Iya, iya. Bagus deh kamu nggak kenapa-kenapa. Kalau kamu siapa?"

"A-aku kelas satu, Nabata Kotori."

"Oh begitu~ senang kenal kamu, Kotori-chan."

"!?"


Akira tersenyum cerah penuh keakraban, lalu mengulurkan tangan.


Senyuman itu begitu familiar. Kotori terbelalak, seolah tak percaya. Ia menggenggam tangan itu, sementara dalam hatinya terdengar jeritan tanpa suara.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

0

Post a Comment

close