Penerjemah: Flykitty
Proffreader: Flykitty
Chapter 5
Akira dan Klub Relawan
Setelah itu, dipimpin oleh Akira, Toba yang dibawa ke ruang kesehatan kembali ke kelas menjelang akhir jam istirahat siang.
Wajahnya jelas memerah karena benturan, dengan bekas mimisan. Dari penampilannya saja sudah tampak jelas kalau ada sesuatu yang tidak wajar terjadi, membuat teman-teman sekelasnya jadi heboh.
Apalagi saat jam istirahat siang baru dimulai, Toba terlihat pergi bersama Kotori untuk mengembalikan bahan pelajaran. Maka mudah saja membayangkan kalau ada masalah terjadi waktu itu.
Namun, Toba sendiri sejak tadi terus menunjukkan wajah linglung dengan senyum bodoh, seolah sedang melayang di awan.
Teman-temannya yang curiga bertanya ada apa, tapi ia hanya menjawab dengan wajah mabuk kepayang, "Ikoma-senpai, bisa banget diidolakan…", "Cantik tapi keren banget…" dan tak lebih dari itu.
Sedangkan Kotori tampak melamun lesu sambil terus menatap keluar jendela.
Aura biasanya yang menolak didekati kini malah membuatnya terlihat seperti potret sebuah lukisan, sampai-sampai para gadis populer pun ragu untuk mengajaknya bicara.
Perbedaan sikap keduanya dari pagi hingga siang begitu mencolok, membuat orang-orang di sekitar hanya bisa menggeleng bingung.
Takumi, yang mengetahui semua kejadian sebenarnya, hanya bisa tersenyum kecut sambil mengamati keadaan itu.
Sepertinya Toba benar-benar terpikat pada Akira, yang meski lebih kecil darinya, berhasil melemparnya dengan begitu indah. Sesuatu yang benar-benar sulit dipahami oleh Takumi.
Setelah sadar kembali di ruang kesehatan, Toba bahkan memohon pada Akira agar melemparnya sekali lagi, bertanya bagaimana caranya ia bisa melakukannya, membuat Akira kebingungan.
Oh ya, mimisan itu bukan karena terlempar di ruang arsip, melainkan karena terlalu bersemangat saat memohon pada Akira.
Sementara itu, Kotori yang tampak linglung pasti karena kejadian bersama Toba tadi membangkitkan kembali trauma pengakuan palsu masa lalunya.
Mungkin untuk sementara lebih baik membiarkannya sendiri.
Takumi hanya bisa menertawakan dirinya sendiri karena di saat-saat seperti ini, ia bahkan tidak bisa mengucapkan sepatah kata penghiburan.
Ia sempat khawatir bagaimana kelanjutan tugas piket siang, namun ternyata tak perlu risau.
Kotori memang hanya bisa memberi instruksi singkat seperti "ini" atau "itu", tapi Toba tetap menjawab ringan "oke" atau "siap" dan menebak maksudnya untuk menyelesaikan pekerjaan. Bahkan Kotori terlihat lebih rileks daripada pagi tadi, interaksi mereka pun tampak alami.
Begitu jam pulang tiba, Kotori dengan cepat menulis laporan piket, lalu membawanya pada Toba untuk dicek.
Setelah memeriksa sepintas, Toba berkata, "Biar aku saja yang kembalikan ke ruang guru," lalu membawa tasnya dan meninggalkan kelas. Tanpa disangka, mereka berdua jadi bekerja sama.
Mengunci kelas adalah tugas orang yang terakhir pulang karena kegiatan ekstrakurikuler.
Dengan itu, semua pekerjaan piket selesai sudah.
Meskipun sempat ada insiden di siang hari, ketika akhirnya semua berakhir dengan selamat, rasanya malah jadi aneh betapa ringan hasilnya.
Meski begitu, Kotori masih terlihat tidak sepenuhnya sadar, pikirannya kacau. Perhatiannya mudah buyar.
Takumi pun memilih untuk tetap menjaga jarak sambil mengawasi Kotori sampai perjalanan pulang, takut ia celaka.
Sepanjang jalan, Kotori sempat tersandung tanpa alasan, hampir salah turun di stasiun kereta, tapi akhirnya mereka berhasil sampai ke dekat rumah, hanya tinggal sebentar menuju pintu rumahnya.
Sebentar lagi mereka akan berpisah di jalan yang memisahkan rumah Kotori.
──Apakah sekarang sudah aman?
Atau sebaiknya ia tetap mengantarnya sampai rumah?
Lagipula rumah Kotori tidak jauh dari jalur pulangnya.
Saat ia memikirkan itu, Kotori tiba-tiba berhenti melangkah.
Takumi juga berhenti, bingung apa yang terjadi, hingga Kotori berbicara dari arah punggungnya.
"Hei, ayo kita adakan rapat evaluasi hari ini. Mau mampir ke rumahku?"
Dari nada suaranya yang datar, tidak terlihat emosi apapun. Namun hari ini memang banyak hal terjadi soal piket.
Takumi tidak punya alasan untuk menolak, jadi ia hanya mengangguk dengan wajah serius.
"Ah."
◇◆◇
Takumi masuk bersama Kotori yang membuka kunci pintu rumah Nabata, lalu langsung menuju kamarnya.
Begitu mereka duduk saling berhadapan dengan meja rendah di antara mereka, Kotori membuka pembicaraan. Wajahnya agak menunduk, tapi suaranya jelas dan tegas.
"Untuk piket hari ini, pencapaian gagal."
"Benarkah? Kalau dari pandanganku, meski bagaimana pun jadinya, sepertinya berjalan cukup baik, kok."
"Hasil akhirnya memang selamat. Tapi kalau saja tidak ada Akira-senpai waktu itu…"
Kotori bergidik ngeri lalu memeluk dirinya sendiri.
Memang benar, saat itu Takumi hanya menunggu agak jauh sambil berjaga kalau-kalau ada apa-apa. Tapi yang benar-benar menolong Kotori adalah Akira yang kebetulan lewat dan langsung bertindak cepat.
Mengingat kejadian siang tadi, Takumi mengernyit dan mengangguk.
"Tak disangka Toba tiba-tiba bertindak nekat seperti itu."
"Iya, benar. Aku kaget banget. Kenapa dia begitu…?"
Kotori menggerutu dengan wajah kesal.
Takumi hanya bisa mengangkat bahu.
"Ya, itu karena dari sudut pandangnya, kau yang mendekatinya duluan."
"Eh!?"
"Hah?"
Kotori melongo dengan wajah tercengang, Takumi juga jadi ikut bingung dengan reaksi itu.
Keduanya sempat terdiam, lalu Kotori mengangkat tangan dengan ragu, menatap Takumi dengan mata besar.
"U-um, maksudnya gimana…?"
"Maksudku, kau biasanya jarang bicara sama cowok kan? Apalagi kau yang duluan ngajak bicara. Jadi mungkin Toba salah paham, mengira kau suka sama dia, makanya…"
"Jadi siang tadi dia bukan bermaksud jahat!? Ke-kenapa begitu!?"
"Itu karena kau manis, sudah jelas. Kalau kau tak bergerak, dia mungkin mengira kau tidak menolak."
"M-manis!? Manis… aku!?"
"Kalau bukan kau, siapa lagi?"
Kotori ternganga tak percaya, matanya berputar-putar.
Takumi hanya bisa tersenyum kecut.
"Jadi kau sendiri nggak sadar ya."
Masih kalut, Kotori buru-buru berbicara cepat.
"T-tapi aku ini aku, tahu!? Di kelas masih nggak bisa ngobrol lancar, masih terasing, sampai belum lama ini aku cuma cewek kampungan berkulit gelap yang kusut!"
"Tapi penampilanmu sekarang sudah berubah banyak, kan?"
"Ta-Takumi juga menganggap aku manis!?"
"…Y-ya, lumayanlah."
"S-serius…? Hehehe…"
Kotori tanpa sadar melontarkan pertanyaan itu, dan Takumi menjawab jujur. Seketika wajah keduanya memerah sampai telinga, jantung mereka berdebar keras.
Keduanya lalu menunduk dengan gugup, tak ada kata yang keluar. Suasana jadi sangat canggung.
Setelah beberapa saat, Kotori berdehem keras, berusaha memecah ketegangan.
"Pokoknya! Salam sapa sudah berhasil kulakukan. Tapi ngobrol santai berdua dengan cowok, masih terlalu sulit buatku."
Takumi mengangguk setuju.
Kurangnya pengalaman menjaga jarak dengan lawan jenis jelas jadi penyebab masalah hari ini. Kalau dipaksakan, bisa-bisa kejadian seperti Toba terulang lagi. Harus bertahap.
"Terus, langkah berikutnya apa?"
"Pertama, coba ngobrol di grup campuran cewek-cowok, mungkin."
"Hmm…"
Takumi bergumam rendah. Itu target yang lumayan bagus. Tapi di kelas, Kotori sudah terkenal sebagai "Putri Es" yang menjauhkan diri dari cowok.
Lagipula dia bergabung dengan kelompok cewek populer sejak awal masuk, agak sulit untuk mengajak cowok masuk ke lingkaran itu.
Takumi memikirkan semua kemungkinan. Saat ia makin pusing, Kotori bertanya ragu.
"G-gimana menurutmu?"
"Idenya bagus, tapi bikin grup campuran baru dari nol itu sulit, kan?"
"Ta-tapi aku ada ide bagus!"
"Oh?"
Takumi langsung mencondongkan tubuh ke depan, tertarik. Kotori tersenyum puas, lalu mengumumkan dengan percaya diri.
"Jawabannya: klub!"
"…Oh, begitu."
Takumi baru sadar akan ide itu.
Kebetulan, sekarang masih musim perekrutan anggota baru untuk klub. Di kelas juga masih sering terdengar obrolan soal mau masuk klub mana.
Kalau lewat klub, itu bisa jadi kesempatan bagus bagi Kotori untuk menghapus citra buruknya yang enggan bicara dengan cowok.
Selain itu, klub juga bisa jadi topik umum untuk membangun hubungan.
Kotori lalu duduk tegak, menegaskan maksud sebenarnya.
"Kalau bisa, aku ingin Takumi juga ikut klub yang sama denganku."
"Eh, aku juga? Itu agak…"
"Aku mohon ya!"
Kotori merunduk memohon.
Takumi menghela napas, wajahnya jelas gelisah.
Bukan berarti ia tak tertarik dengan klub. Tapi ia tidak percaya diri bisa berbaur dengan baik. Pengalaman sebelumnya membuatnya yakin kalau kehadirannya malah akan membuat orang lain sungkan, lalu menjauhinya.
Takumi masih mengingat jelas betapa sepinya kelompoknya saat study tour SMP, sampai akhirnya ia berjalan sendiri keliling tempat wisata.
Meski dulu ia memang anggota klub atletik sampai cedera tahun lalu, cabang yang ia tekuni hanyalah sprint dan middle distance—cabang individu. Ia hampir tak pernah berhubungan dengan orang lain.
Kotori tentu tahu semua itu. Tapi sepertinya ia tak asal bicara. Lalu Takumi sadar, ia belum menanyakan hal penting.
"Ngomong-ngomong, kau mau masuk klub apa?"
"Ah, tentu saja, klub yang sama dengan Akira-senpai!"
"…Ohhh!"
Dengan senyum lebar seakan sudah menunggu momen ini, Kotori menjawab. Takumi pun mengangguk setuju sambil menepuk lututnya.
Kotori yang bersemangat mengepalkan kedua tangan di depan dada dan mulai berbicara dengan penuh antusias.
"Takumi, kalau dengan Akira-senpai kan kau bisa berbicara dengan normal, kan? Kalau begitu, masuk ke klub yang sama juga pasti nggak masalah, kan? Terus aku juga, meski baru pertama bertemu Akira-senpai, aku bisa mengucapkan terima kasih dengan baik! Dengan cara yang benar-benar alami!"
"Ya, memang begitu. Lagipula kata-katamu juga nggak sampai terhenti di tengah jalan, kan?"
"Yup, aku sendiri kaget. Awalnya aku setengah percaya setengah ragu soal Akira-senpai. Tapi setelah ngobrol langsung, aku ngerti. Dia orang yang aneh tapi nggak ada tipu daya atau perhitungan. Makanya, aku pengen masuk klub yang sama supaya bisa berteman dengan Akira-senpai! Takumi, kamu gimana?"
"Aku juga pengen."
"Ehehe."
"Haha."
Lalu mereka tertawa bersama dengan polos.
Bersama Kotori yang bersikap alami, Akira memberi kesan bahwa kegiatan klub biasa pun bisa terasa menyenangkan.
Mungkin, dengan begitu, aku bisa kembali masuk ke lingkaran teman-teman, pikirnya.
Pikiran itu membuat dada Takumi berdebar penuh harapan. Namun tiba-tiba, Kotori menundukkan kepala dan dengan suara cemas mulai meratap.
"Tapi, aku tiba-tiba kepikiran… berteman dengan senior yang lebih tua, apa itu kesannya terlalu lancang atau sombong?"
"Itu…."
Takumi bingung harus menjawab apa. Baginya, bahkan hubungan horizontal saja hampir tidak ada, apalagi vertikal.
Dia pun panik, takut rencana yang sudah susah payah dibuat jadi gagal, dan mencari kata-kata yang tepat untuk menenangkan.
"Eh, nggak apa-apa kok! Jadi, begini… pertama-tama jangan langsung mikirin jadi teman, tapi ayo mulai dari hubungan senior-junior yang baik dulu!"
"Itu dia! Ya, duluan jadi senior dan junior!"
Kotori tampak lega dan Takumi pun menghela napas lega.
Dia berusaha berbicara dengan nada ceria, memberikan semangat.
"Makanya, pertama-tama kita harus masuk ke klub yang sama dulu."
Kotori mengangguk dengan mantap. Namun tak lama kemudian, pipinya mulai memerah dan dia menggambar 'の' di lantai dengan kaki sambil sedikit malu-malu meminta sesuatu.
"Masalahnya, untuk masuk klub aku harus ngomong sama Akira-senpai lagi… hari ini sih lancar, tapi bukan berarti nggak cemas…"
"Ah…"
Takumi paham apa yang Kotori minta dari sikapnya yang biasanya pemalu itu.
Kotori pun sepertinya menyadari permintaannya tersampaikan dengan benar.
Dia menuju tempat tidurnya, menaruh tubuh bagian atasnya di atas bantal seperti biasa.
Kotori kemudian dengan hati-hati memasukkan tangan ke sisi rok, menurunkan celana dalamnya, dan berbisik malu-malu.
"…Seperti biasa, tolong."
"Baik."
Takumi tersenyum kecut, mendekat ke Kotori, dan menggenggam pinggangnya yang ramping.
Keesokan paginya, Takumi dan Kotori langsung beraksi untuk masuk ke klub yang sama dengan Akira.
Mereka sudah tahu klubnya: klub relawan. Akira sendiri yang bilang.
Mereka kira bisa langsung mengisi formulir pendaftaran.
Namun, mereka tidak tahu di mana harus menyerahkannya.
Mencari di situs resmi sekolah pun tidak membuahkan hasil, membaca buku pelajar dari ujung ke ujung juga tidak ketemu. Mereka sempat berkeliling di gedung klub dan mencari satu per satu, tapi ruang klub relawan tidak ada.
Di sisi lain, dari percakapan dengan orang lain, mereka tahu Akira memang terlihat bergerak dari pagi.
Apa sebenarnya yang sedang terjadi?
Takumi yang kebingungan akhirnya memutuskan bertanya langsung ke guru wali kelas di ruang guru, dan mendapat jawaban yang tak disangka.
"Klub relawan? Tidak ada."
Takumi pun sulit langsung menerima kenyataan itu.
Jadi, klub relawan itu sebenarnya tidak ada.
Lalu, apa yang Akira lakukan?
Takumi segera mengirim pesan ke Kotori untuk memberitahukan bahwa klub relawan tidak ada.
Kotori membalas dengan nada seolah sudah menduga. Ternyata Kotori, meski sudah bertanya secara samar ke teman-teman utama, tidak ada yang tahu tentang klub relawan.
Dia bahkan sempat menulis bahwa berkat rutinitas kemarin, dia bisa bertanya. Takumi pun terkejut mengetahui Kotori berani bertanya soal Akira sendiri. Semangatnya untuk masuk ke klub yang sama dengan Akira benar-benar terlihat.
Namun, mereka tetap buntu. Saat itu, satu-satunya cara yang bisa ditempuh hanyalah:
"Beritahu langsung ke Akira-senpai tentang keinginan masuk klub."
Mereka saling menguatkan diri lewat pesan, dan saat jam istirahat siang tiba, mereka menuju kelas dua dengan Kotori untuk mencari Akira.
Namun, saat mengintip kelas dua-dua dari koridor, Akira tidak tampak.
Takumi dan Kotori yang tidak punya keberanian untuk mendekati senior, memutuskan mencari secara terpisah.
Sekolah saat istirahat siang penuh keramaian, seperti festival.
Takumi dengan wajah muram berkeliling mencari Akira.
Meskipun sering bertemu Akira belakangan ini, kenyataannya, hari ini dia tidak terlihat sama sekali.
Memikirkan bahwa tiap grade berjumlah lebih dari 200 orang, ditambah guru dan staf hampir 700 orang, menemukan satu orang tanpa petunjuk jelas tentu sulit.
Waktu pun berjalan.
Saat Takumi mengecek jam di ponsel, masih cukup waktu sampai istirahat selesai, tapi perutnya keroncongan.
Tidak makan siang dan langsung masuk kelas sore tentu berat.
Takumi memutuskan menghentikan pencarian dan menuju gedung kantin dan toko sekolah.
Kantin cukup sepi dibanding puncak jam makan, tapi masih ramai. Takumi berpikir sebentar di pintu masuk, lalu memutuskan menuju toko.
Berbeda dengan kantin, toko hampir kosong. Hanya ada sedikit roti, kebanyakan roti margarin yang kurang populer, dan masih sisa walau sudah setengah harga.
Takumi menghela napas, memutuskan membeli roti, lalu duduk di tangga luar menuju lapangan untuk makan sendiri.
Rasanya lebih lapar dari perkiraan, roti cepat habis.
Dia berpikir untuk beli lagi, tapi waktunya mepet, dan tanpa minum, mulut terasa kering.
Saat itu, terdengar teriakan mendesak dari belakang.
"Ah—!"
Takumi menoleh refleks. Seorang siswi memegang tiang panjang untuk olahraga hampir terjatuh di tangga—dan itu adalah Akira yang selama ini dicari Kotori.
Tubuh Takumi seakan terpental, bergerak cepat.
"Berbahaya!"
"Kya!"
Takumi segera menangkap lengan Akira dan jatuh ke belakang bersamanya.
Mereka mendarat dengan keras, suara tiang berguling di lapangan terdengar di telinga.
Untungnya, semuanya aman.
Saat menyadari lengan yang memeluknya terasa kecil dan lembut, Takumi segera berdiri dan cepat-cepat berkata malu-malu:
"Kamu baik-baik saja, Akira-senpai?"
"Hashio-kun… ah iya, terima kasih."
"Aku bantu ngumpulin ini ya."
Tanpa menunggu jawaban, Takumi mulai turun tangga dan mengumpulkan tiang-tiang yang berserakan.
Akira datang sedikit terlambat, mulai ikut mengambil.
Setelah semua terkumpul, Akira berkata dengan wajah sedikit malu:
"Terima kasih. Aduh, ketahuan juga ya kalau aku canggung."
"Tidak… sekalian aku bawa ke tempatnya, di mana?"
"Di sana, gudang olahraga."
Pandangan mereka tertuju ke gudang olahraga di luar, yang berada di pojok lapangan.
Melihat Akira mulai berjalan memimpin, Takumi dengan cekatan mengeluarkan ponselnya dan mengirim pesan kepada Kotori, "Ketemu. Di luar, gudang olahraga", lalu buru-buru mengejar punggungnya.
Takumi berusaha sekuat tenaga memutar otak agar tidak menyia-nyiakan kesempatan ini.
"Eh, ini… mau bantu lagi, ya? Nggak capek?"
"Ya, gitu deh—tapi ini kan klub."
"Tapi, eh, biasanya kelihatan sibuk terus, kan?"
"Hmm, kebetulan aja. Sekarang kan, lihat, kamu lagi bantu aku juga."
Akira tersenyum ramah dengan santai. Takumi pun ikut tersenyum, dan suasana menjadi hangat dan nyaman.
Sekarang pembicaraan seolah sudah menemukan ujungnya.
Ada rasa seperti terbawa arus, atau mungkin diabaikan.
Namun saat gudang olahraga mulai mendekat, dan Takumi menyadari waktu bersama mereka hampir habis, dia memaksa mengubah arah pembicaraan dan mendekati Akira.
"Tapi, begitulah… kelihatan sibuk terus, kan? Kurasa kekurangan orang, ya?"
"Hahaha, nggak juga. Aku juga menikmatinya kok."
"Tapi kalau aku lihat dari luar, begitu kelihatannya… Makanya aku mau masuk klub relawan, tapi ternyata klub itu nggak ada, kan?"
"…!"
Saat Takumi mengatakannya, Akira menahan napas dan tiba-tiba berhenti.
Takumi pun kebingungan dan ikut berhenti.
Lalu Akira menghela napas panjang "Haaa~~~", suasana sekelilingnya berubah drastis, dan dia bahkan mengecap lidah dengan nada yang dingin dan berkata dengan suara yang hampir menusuk tulang:
"Kau… sebenarnya apa tujuanmu?"
"…!"
Nada bicaranya tetap sama, tapi terasa sangat dingin. Perbedaan suhu itu membuat punggung Takumi merinding.
Tatapan Akira tajam, penuh kewibawaan. Wajahnya yang rapi dan proporsional membuatnya terlihat menakutkan.
Meskipun tekanan yang diberikan tak terbayangkan dari Akira biasa membuatnya terintimidasi, Takumi juga merasa anehnya rindu dan tertarik, sehingga sulit untuk melepaskan pandangan.
Hati Takumi campur aduk dengan berbagai perasaan.
Saat Takumi menatap Akira dengan bingung, akhirnya Akira menyipitkan matanya dan bertanya:
"Hashio… hmm, terdengar asing. Kau sebenarnya berasal dari mana?"
"A-a, kelas 1-3."
"Bukan itu maksudku… haaah."
Akira menempelkan tangan ke dahi dan menghela napas panjang. Lalu menggeram sedikit, dan ketegangan yang semula terasa mencair, kembali menjadi Akira yang biasa.
Sepertinya pembicaraan sudah selesai.
Akira kembali berjalan menuju gudang olahraga tanpa berkata apa-apa, dan Takumi buru-buru mengikutinya.
Suasana tidak memungkinkan untuk berbicara. Aura Akira yang jelas-jelas "jangan ganggu" mudah dimengerti Takumi, meski kemampuan sosialnya terbatas.
Takumi memang ahli membuat situasi canggung, tapi dia tetap tidak tahu apa yang membuat Akira kesal.
Akhirnya, Akira meletakkan tiang di salah satu sudut gudang.
Takumi pun menirunya dengan cemas.
Dengan begitu, pekerjaan awal mereka selesai.
Sekarang hanya tinggal kembali. Bel tanda pergantian pelajaran pun sebentar lagi berbunyi.
Namun, saat Akira berhenti di pintu masuk gudang dan menoleh dengan ekspresi sulit dibaca, seketika seseorang meluncur ke arahnya.
"Akira, Senpai—!"
"Whoa!?"
Itu Kotori. Kotori tidak membaca suasana, atau mungkin memang tidak bisa, dan langsung melontarkan semua kata-katanya.
"Ah, akhirnya ketemu! Aku mau masuk klub! Pertama, jadi junior Senpai dulu!"
"E-eh…?"
"Kalau mau jadi junior Senpai, pertama harus masuk klub! Jadi mulai dari junior dulu, kemudian teman, dan nanti… lebih dari itu!"
"Lebih dari itu itu apa!?"
Kecepatan bicara Kotori yang tidak biasa di luar kelas membuat Takumi terkejut.
Dia hanya bicara berdasarkan emosi dan apa yang ingin diungkapkan.
Takori matanya berputar-putar, jelas panik.
Di sisi lain, Akira yang tiba-tiba didekati secara fisik dan dibombardir emosi besar juga bingung.
Dia menatap Takumi seolah meminta penjelasan atau bantuan, tapi Takumi hanya menggeleng kecil.
Kotori terus meledak-ledak:
"Kalau perlu, aku bayar biaya junior! Aku… aku bisa kerja paruh waktu!"
"Ng-nggak, nggak perlu begitu!"
Kotori mengucapkan hal-hal yang agak berisiko.
Akira menatapnya dengan mata meminta bantuan lagi, tapi Takumi hanya bisa tersenyum kecut dan menggeleng malu-malu.
Akira tersedak kata-kata, sedikit menahan air mata dan mencoba memberi alasan:
"Jadi, klub relawan itu sebenarnya bukan klub, tapi kelompok hobi. Makanya…"
"Kalau begitu kita ikut, berarti lebih dekat dengan dunia klub!"
"Kelompok hobi ini cukup berat, hampir semua habis setelah jam pelajaran…"
"Berarti, waktu bersama Akira-senpai akan bertambah!"
"Tidak, ada pekerjaan yang kadang harus dibagi…"
"Berarti, aku bisa lebih banyak membantu Akira-senpai!"
"Ugh!"
Meskipun Akira mencoba menolak perlahan, mata Kotori tetap berbinar-binar, membuat Akira semakin bingung.
Dia mengirimkan tatapan ke Takumi lagi, tapi Takumi tetap cemberut dan kaku.
Melihat reaksi Akira, Kotori panik sebentar, lalu tiba-tiba mendekat ke telinga Akira dan berbisik sesuatu.
"Um—"
"…!"
Takumi tidak tahu apa yang Kotori katakan.
Namun perubahan Akira luar biasa. Dia menatap Kotori seolah menantang, tapi kemudian tersenyum malu-malu. Akira menahan kekesalan dan berbisik dengan ekspresi campur aduk:
"…Haa, oke. Kalau begitu akan ada tes. Ada beberapa yang tertunda karena kekurangan orang. Kalau berhasil, aku akan pertimbangkan untuk diterima."
"Waa!"
"Woah!"
Kotori dan Takumi bersorak, meski Akira tampak enggan.
"Ini bantu festival di toko-toko dekat sekolah, jadi nanti setelah jam pelajaran kita langsung bertemu."
Dua orang yang kurang percaya diri ini kaget mendengar kegiatan sampai ke luar sekolah, lalu saling menatap dan mengangguk, menjawab bersamaan:
""Butuh persiapan mental dulu, jadi mulai besok saja!""
"…!"
Akira menahan senyum dan sedikit cemberut mendengar jawaban semangat dari Takumi dan Kotori.



Post a Comment