NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Ore no linazuke ni Natta Jimiko, Ie de wa Kawaii Shika nai Volume 3 Chapter 16 - 20

 Penerjemah: Miru-chan

Proffreader: Miru-chan


Chapter 16

【Kabar Buruk】

Saudara Ipar, tingkat keposesifannya terhadap sang kakak luar biasa


“Halo~ Aku main ke sini~”


“Waa~ selamat datang, Momo-chan!”


Seperti anak anjing yang berlari menyambut majikannya, Yuuka berlari ke arah Nihara-san yang berdiri di depan pintu masuk. Pakaian kasual Nihara-san hari ini adalah blus dan celana pendek, dipadukan dengan long cardigan berwarna kuning. Yang mencolok adalah bros berbentuk bunga matahari yang bergoyang di dada.


Eh… rasanya aku pernah lihat gaya ini.


“Ah, Momo-chan! Jangan-jangan ini… kostum pra-transformasi dari Mankai Himawari di Hanami Gundan Mankaijer!?”


“Wah, Yuu-chan makin tajam aja mata tokusatsu-nya! Betul!! Bros bunga matahari ini cocok banget dengan citra Mankai Himawari yang ceria dan polos. Benar-benar terbaik!”


Tunanganku makin tenggelam ke dalam dunia tokusatsu karena ulah seorang gyaru…


Ya, meski begitu, nggak masalah juga sih. Toh mereka jadi akrab satu sama lain.


“Pokoknya, mulai sekarang kita bertiga bahas bareng soal acara kelas ya? Syukurlah aku merekomendasikan kalian berdua jadi wakil ketua kelas. Bisa rapat sambil main bareng… eh, maksudnya rapat dengan orang yang nggak bikin canggung di hari libur tuh, rasanya terbaik kan?”


Tadi barusan dia hampir bilang “main” kan?


Aku jadi curiga kalau alasan Nihara-san menunjuk aku dan Yuuka sebagai wakil ketua kelas, sebenarnya cuma karena dia pengin main bareng Yuuka…


──Tiba-tiba, bel rumah berbunyi lagi.


“Halo, Yuuka. Juga Yuu nii-san. Sudah lama tidak berjumpa.”


Orang berikutnya yang muncul setelah Nihara-san adalah… seorang “butler” dengan penampilan elegan. Rambut hitam panjangnya diikat ke belakang. Kemeja putih, setelan jas hitam, dasi hitam yang dijepit dengan pin. Sepasang mata biru terang (kontak lensa) menatap lurus ke Yuuka, lalu──Isami tersenyum segar dan berkata:


“Seperti biasa, kamu gadis paling imut sedunia… kucing kecilku?”


“Berisik! Kalau ngomong aneh-aneh gitu, mending pulang aja! Waaah!!”


Gaya khas Isami: langsung menginjak ranjau emosi Yuuka sejak pembukaan.


Seperti yang kuduga dari Watanae Isami… terlalu sering berperan sebagai “pria tampan penyamar,” sampai-sampai dia nggak tahu harus bersikap bagaimana ke kakaknya sendiri. Melihat interaksi kakak-beradik itu, Nihara-san tertawa terpingkal-pingkal.


“Ahahaha! Parah banget, Isami-kun… sama sekali nggak kena di hati Yuuka-chan~”


“Ugh…”

Tepat sasaran. Isami sedikit berkaca-kaca, tapi tetap mencoba menjaga wibawanya dan menjawab dengan gaya sok keren.


“Me-memang begitu, tapi… bukankah berhasil kena di hati Momono-san? Waktu Comiket kan, Momono-san terpesona padaku, karena itulah aku dapat tawaran ini, benar?”


“Eh? Sama sekali bukan kok.”


Meski disodori senyum menawan yang bisa meluluhkan sebagian gadis, Nihara-san malah menjawab dengan enteng.


“Kalau dibandingin butler tampan dengan Mankaijer, aku jelas-jelas pilih Mankaijer! Soalnya, dengan Hanasaka Bazooka, bahkan pohon kering bisa berbunga lagi, tahu!?”


“Aku… nggak ngerti maksudmu… Tapi kalau dibandingkan orang tua ala dongeng Hanazaka Jiisan dengan aku, jelas lebih enak dilihat aku, kan!?”


“Nggak ah. Aku kan tokusatsu garis keras. Jadi bukannya baju rapi ala pria tampan, aku lebih klepek-klepek lihat baju tempur para aktor di balik layar!”


Pertarungan tak berujung antara “cosplayer tampan” dan “tokusatsu mania sejati.”


Benar-benar perdebatan sia-sia, dan entah kenapa aku jadi merasa kasihan sama Isami.


“Ehm, kalau boleh, kita luruskan dulu ya?”


Karena pembicaraan makin kusut, aku mencoba mengembalikan fokus.


“Isami repot-repot datang ke Tokyo akhir pekan ini karena dipanggil 

Nihara-san, kan? Untuk jadi penasihat cosplay di kafe cosplay acara budaya sekolah.”


“Be-benar sekali, Yuu nii-san! Momono-san memohon dengan sangat, katanya hanya aku yang bisa melakukannya. Demi Yuuka juga, aku langsung menerima tanpa ragu.”


“Ya begini. Kalau aku yang ngatur sendiri, pasti semua anak bakal kupaksa pakai baju tempur. Itu kan agak kebangetan. Jadi aku pikir lebih baik minta masukan dari Isami-kun yang katanya paham banget dunia cosplay.”


Yah, memang orang yang kepikiran “bikin semua orang pakai baju tempur” itu udah kelewatan. Dan memang Isami cosplayer terkenal. Dari segi selera, mungkin bisa dipercaya…tapi yang paling bikin khawatir adalah apakah dia bakal bikin ulah lagi ke Yuuka. 


Sepertinya Yuuka juga kepikiran hal sama, karena dia menatap Isami dengan wajah rumit.


“Kalau begitu, mari kita coba beberapa pilihan.”


Dengan senyum segar, Isami mulai mengeluarkan kostum dari koper yang ia bawa.


“Untuk pilihan aman, jelas kostum maid. Soalnya kalau orang awam dengar ‘kafe cosplay’, biasanya yang langsung terbayang pasti ‘maid café’.”


“Oke! Kalau gitu, ayo coba pake dulu!!”


Nihara-san menerima kostum maid dari Isami dan pergi keluar ruang tamu. Beberapa saat kemudian──dia masuk lagi dengan penampilan baru.


“Selamat datang, Goshujin-sama~ Bagaimana pelayanan di toko kami? Bagus kan? Aku kasih banyak sekali layanan spesial ya~? …Gimana, Sakata?”


“Ehm… maaf, tapi aura gyaru-mu sama kostum maid itu rasanya aneh banget. Aku jadi merasa kayak dibawa ke toko ilegal yang ujung-ujungnya bakal nipu habis-habisan.”


“Kejaaam!”


Nihara-san menatapku tajam, jelas-jelas tersinggung. Tapi serius, gaya maid gyaru itu bener-bener berasa “dark.” Yah, mungkin cocok untuk orang dengan selera super khusus.


“Kalau gitu, gimana kalau Yuuka-chan coba? Dengan kepribadian Yuuka-chan di sekolah, pakai kostum maid pasti kelihatan kayak maid yang sangat bisa diandalkan. Cocok banget, kan?”


“Ah… i-iya. Ba-baiklah, aku akan coba──”


“Aah, Yuuka nggak apa-apa, kok. Oke, kalau begitu lanjut ke berikutnya.”


Dengan sekali potong, alur yang sudah terbentuk dipatahkan. Isami lalu dengan tenang memperlihatkan kostum lain.


“Kalau yang ini bagaimana? Kostum cheerleader. Bajunya imut, dan dengan konsep ‘mendukung pelanggan’, bisa jadi daya tarik untuk kafe.”


“Ohh, cheer ya~ Oke, kalau gitu aku coba pakai dulu!!”


Dan sekali lagi──Nihara-san selesai berganti pakaian.


“Selamat datang~! Hei, Tuan pelanggan~ Kelihatannya capek, ya? 

Untuk Anda yang lelah itu… aku bakal dukung habis-habisan, tahu~”


Dengan rok mini yang panjangnya hanya beberapa sentimeter di atas lutut, ia mengibaskan pom-pom merah muda sambil melangkah ringan.

Isami menatapnya dengan wajah serius.


“Ya, memang. Karakter energik seperti ini lebih cocok untuk Momono-san. Selain itu… hmm, sepertinya Momono-san juga lumayan cocok kalau pakai kostum cross-dress. Kalau bagian dada disamarkan sedikit saja, akan pas sekali.”


“Eh? Serius? Kalau begitu, mungkin aku coba juga ah.”


“……Hei! Hei!! Ada yang angkat tangan di sini, tahu!?”


Yuuka melompat-lompat sambil mengangkat tangan. Namun Isami──dengan sengaja mengabaikannya.


“Hei, jangan diabaikan begitu dong, Isami! Memang aku kurang semangat kalau harus cosplay di depan orang… tapi bagaimanapun juga aku ikut tampil di festival budaya! Jadi jangan cuma ke Momo-chan, aku juga mau dapat saran darimu!!”


“Fufu. Tapi Yuuka, kamu apa adanya sudah yang paling imut.”


“Bukan itu maksudku!!”


Yuuka jelas-jelas marah, tapi Isami tetap menoleh ke arahku.


“Oh iya, Yuu nii-san juga harus coba berbagai macam, deh. Kalau standar seperti butler atau tuksedo, tentu cocok. Tapi sebaliknya ──bagaimana kalau coba kostum perempuan?”


“Eh, kenapa!? Kok mendadak langsung dibalik gitu!?”


“Hoo… cosplay perempuan ya. Itu pasti seru banget──eh, nggak. Malah bisa jadi ada peminatnya juga, kan?”


“Tunggu dulu, Nihara-san. Kamu barusan bilang itu cuma karena ‘seru’, kan!? Itu udah nggak ada hubungannya sama festival budaya, tahu!?”


Ini bahaya. Kalau Isami dan Nihara-san sudah mulai kelewat semangat, pasti bakal berakhir kacau. Tolong aku, Yuuka. Satu-satunya harapan sekarang cuma kamu…!!


“……Ehehe. Yuu-kun pakai baju perempuan… pasti imut banget… duh jadi penasaran~”


Yuuka, seriusan…!?


──Akhirnya. Setelah itu, aku pun dipaksa mengalami penghinaan yang tak terlukiskan dengan kata-kata.



“…………”


“Udah deh jangan ngambek, Yuu-kun. Ehehe… tapi jujur, kamu tadi imut banget, tahu?”


“Bener-bener terbaik sih, Sakata… pfft.”


Itu sama sekali bukan bentuk pembelaan.


Aku, di depan tiga gadis, dipaksa mengenakan ini-itu──benar-benar memalukan.


“Wahh, cosplay itu memang dalam ya. Untunglah aku minta bantuan Isami-kun.”


“Kalau begitu, sebagai cosplayer, aku merasa sangat terhormat.”

“────Hei, Isami.”


Saat Nihara-san dan Isami saling bicara, Yuuka tiba-tiba mengeraskan ekspresinya dan berucap lirih.


“Momo-chan dan Yuu-kun aja yang dipilihkan baju. Tapi pada akhirnya, aku sendiri nggak ditawarin apapun, kan? Isami… kenapa?”


Nada serius Yuuka itu jarang sekali kulihat. Sebaliknya, Isami malah terdiam, mulutnya terbuka.


“Eh… Yuuka, kamu serius mau cosplay juga? Bukankah kamu biasanya nggak nyaman kalau harus tampil di acara sekolah? Aku pikir kamu bakal ambil peran di belakang panggung saja…”


Ya, seperti dugaan. Sebagai adik kandung, dia paham betul karakter Yuuka.


“Nggak kok. Waktu nelpon kan aku udah bilang? Semua anak harus cosplay.”


“Memang, Momono-san waktu itu bilang begitu… tapi kupikir Yuuka pasti pengecualian.”


“Jadi… aku ini kamu anggap apa, Isami? Kalau sudah diputuskan semua harus ikut, maka aku juga sudah mantap tekadnya!!”


Memotong percakapan, Yuuka menjawab dengan tegas.


Isami pun──alih-alih senyum segar biasanya──kali ini menunjukkan ekspresi getir.


“…Yuuka, kamu serius?”


“…Apa maksudnya itu?”

Suasana tegang seketika tercipta di antara mereka.


“Aku tahu, Yuuka sekarang berusaha keras sebagai pengisi suara. Aku tulus menganggap itu hebat. Aku juga sadar, sejak tinggal bersama Yuu nii-san, kamu lebih sering tertawa bahagia dibanding dulu.”


“…Iya.”


“Tapi, festival budaya──acara sekolah──itu hal yang berbeda. Maaf kalau terdengar kasar… tapi aku jujur merasa, sekalipun Yuuka berusaha di acara sekolah, hasilnya tidak akan bagus.”


Untuk ukuran Isami, kata-katanya dipilih dengan sangat hati-hati. Tapi tetap saja, isi ucapannya keras sekali.


Yuuka menarik napas panjang, lalu menatap balik Isami lurus-lurus.


“Karena aku payah dalam berkomunikasi. Karena aku gampang panik, bicara kebanyakan lalu berakhir gagal… itu yang kamu khawatirkan, kan?”


“…Ya. Aku takut kalau kamu gagal lagi, kamu nggak bisa tertawa seperti sekarang. Kalau begitu, mending dari awal jangan coba sama sekali… itulah yang kupikirkan.”


“Kamu terlalu protektif, Isami. Padahal aku ini kakakmu.”


“…Kalau cuma soal umur, iya.”


──‘Aku ini kakakmu!’


Biasanya Yuuka akan bilang itu sambil menggembungkan pipinya. Tapi kali ini, dia hanya… menerima kata-kata Isami dalam diam.


──Aku jadi berpikir. Sepertinya Yuuka pun, sama seperti Nii-san 

dulu, menyimpan luka yang cukup dalam.


Kata-kata yang pernah diucapkan Nayu terlintas begitu saja di benakku. Aku yang pura-pura jadi anak gaul, besar kepala, lalu ditolak oleh gadis yang kusukai, sampai akhirnya gosip itu menyebar ke seluruh kelas──syok begitu berat hingga aku sempat tidak masuk sekolah untuk waktu yang cukup lama ketika kelas tiga SMP.


Tentu saja, situasinya sangat berbeda denganku, tetapi... Yuuka juga punya masa lalu di mana ia tidak bersekolah saat SMP.


Luka Yuuka pada masa itu. Kesulitan yang dialami Isami saat menyaksikan itu dari dekat. Sejujurnya... aku bisa memahami perasaan keduanya. Karena aku masih ingat jelas wajah Nayu yang terlihat begitu menderita ketika aku mengurung diri di rumah. Aku tahu betul, hingga kini pun Nayu masih menyimpan amarah pada mimpi buruk itu, karena betapa perihnya ia saat itu.


────Tapi. Belakangan ini, dia... semakin sering menunjukkan wajah yang tenang. Sejak aku dan Yuuka mulai hidup bersama dengan akur. Aku rasa, sejak Nayu juga mulai menganggap Yuuka sebagai "kakak ipar."


"Yang memutuskan itu... bukan kamu, Isami."


Karena itu... aku menatap Isami dan berkata dengan tegas. Isami, Nihara-san, dan Yuuka serentak menoleh padaku.


"Isami. Kau tahu kalau aku juga pernah mengalami masa tidak masuk sekolah, bukan? Saat itu, aku bertemu dengan Yuuna-chan,bersumpah hanya akan mencintai dunia dua dimensi... dan entah bagaimana bisa bangkit lagi. Tapi jujur, aku tahu aku membuat Nayu khawatir. Jadi ──aku bisa mengerti alasanmu mengkhawatirkan Yuuka."


Sambil berbicara, aku mengepalkan tanganku erat-erat.

"Tapi, sejak aku berhenti memalingkan wajah dari dunia nyata dan memilih untuk hidup bersama Yuuka... aku rasa, setidaknya aku sudah bisa sedikit membuatnya merasa lebih tenang. Itu yang kupikirkan."


"…Apa maksudmu, Yuu nii-san?"


Suara Isami terdengar sedikit bergetar. Aku menatapnya lekat-lekat... dan melanjutkan.


"Yuuka memilih sendiri jalan untuk menjadi 'seiyuu.' Memang, soal 'tunangan'... awalnya itu hanyalah keputusan sepihak orang tua kami. Tapi, kami berdua memilih untuk berusaha akur dan menjalani hari-hari bersama seperti ini. Karena itu──soal sekolah juga, bukankah sebaiknya kita membiarkan Yuuka sendiri yang memilih jalannya? Aku yakin... kalau begitu, pada akhirnya, Isami pun bisa merasa tenang."


"……"


Isami menggigit bibirnya, menundukkan wajahnya. Ia mengepalkan tangannya begitu keras hingga seolah darah akan keluar dari telapak tangannya.


"…Terima kasih, Isami. Dan... maafkan aku, kakak perempuanmu yang payah ini."


Begitu suara lembut itu terdengar. Yuuka perlahan menaruh tangannya di atas kepalan Isami. Lalu, dengan lembut──menepuk-nepuk punggung tangannya, seakan menenangkan seorang anak kecil.


"Aku juga, jujur saja... sebenarnya merasa tidak nyaman dengan ide cosplay di festival sekolah. Sebagai Izumi Yuuna, aku tidak masalah tampil di acara-acara. Tapi sebagai diriku sendiri, aku sangat buruk berinteraksi dengan orang, dan aku pun merasa cemas."


"Ya... itu wajar. Karena... waktu SMP dulu, kau begitu menderita..."

Suara Isami semakin parau. Tetes demi tetes air mata jatuh membasahi karpet. Yuuka mengusap kepala Isami dengan lembut.


"Tapi... aku ingin mencoba berusaha. Mungkin aku tidak akan bisa melakukannya dengan baik. Mungkin aku akan gagal. Tapi tetap saja... aku ingin memilih untuk berusaha. Jadi... Isami? Aku agak malu mengatakannya secara resmi begini, tapi... kalau boleh, datanglah menonton festival sekolah nanti."


Bagaikan seorang kakak yang membacakan dongeng untuk anaknya. Yuuka hanya terus-menerus membisikkan kata-kata penuh kelembutan pada Isami.


"…Sepertinya, ini sudah tidak mungkin lagi dilakukan dengan setengah hati, ya, Sakata?"


Nihara-san berkata begitu, namun entah mengapa terlihat seperti sedang diliputi adrenalin.


Tapi yah... aku juga sama. Aku sependapat sepenuhnya dengan Nihara-san. Festival budaya di kelas dua SMA ini──akan jadi yang paling aku jalani dengan sepenuh hati sepanjang hidupku.




Chapter 17

 Saat Mendengar Masa Lalu Tunanganku, Aku Merasa Harus Lebih Menjaganya


"Sakata-kun. Itu miring."


Saat aku berdiri di atas tangga lipat, memasang papan nama di pintu masuk kelas, dari bawah, dengan nada datar──Watanae Yuuka berkata begitu.


"Eh, miring ke arah mana?"


"Ke kiri. Kurai-kun, coba turunkan sedikit ke arah itu."


"O-oke."


Masa yang memegang sisi papan yang lain tampak agak gentar terhadap Yuuka, sambil menyesuaikan posisinya. Setelah papan itu diperbaiki, Yuuka menatapnya sejenak.


"…Ya. Sekarang sudah lurus."


Hanya mengatakan itu, lalu Yuuka masuk ke dalam kelas. Setelah mengantarnya dengan pandangan, Masa berbisik di telingaku.


"Seperti biasa, menakutkan ya, Watanae-san."


"Begitu? Barusan kan percakapan biasa saja."


"Kalau dari isi ucapannya, iya. Tapi cara bicaranya itu loh… entah kenapa terasa menakutkan. Terlalu dingin, gitu."


"Idolamu, Ranmu-chan, juga kan tipe seperti itu? Keren, bicara tegas, jelas."

"Ranmu-sama beda! Beliau itu punya aura ratu agung yang tak terjamah siapa pun. Bikin merinding! Tetap saja, Ranmu-sama memang yang terbaik!!"


Percakapan ini agak tidak nyambung, tapi… ya sudahlah.


Aku turun dari tangga lipat, lalu masuk ke kelas untuk memeriksa apakah ada kekurangan pada dekorasi. Tak terasa, besok sudah ──hari festival budaya. Karena ini sehari sebelum acara, tiap kelas dan klub sibuk menyelesaikan persiapan terakhir. Suasana seluruh sekolah terasa begitu riuh.


Bagi diriku, yang sejak masuk SMA berusaha menghindari interaksi dengan orang lain, suasana ini sejujurnya──cukup melelahkan. Tapi…… …… aku sudah memutuskan untuk memberikan yang terbaik.


"Heii!! Bagus juga, bagus! Meja biasa saja kalau ditutup taplak jadi kelihatan beda ya! Oh iya, soal kostum jumlahnya cukup nggak? Ada yang kurang?"


Di tengah kelas, ketua kelas festival budaya, Nihara-san, memberi instruksi ke segala arah. Seperti biasanya, Nihara-san yang ceria dan selalu jadi penghibur suasana, dengan kemampuan komunikasinya bisa berhubungan baik dengan hampir semua teman kelas.


Benar-benar seperti seorang gyaru. meskipun hobinya yang tersembunyi adalah maniak tokusatsu, pada dasarnya dia memang tipe ceria.


"Momono… kamu beneran mau pakai kostum itu? Kamu kan udah cantik, pakai baju pelayan kafe aja sudah cukup."


"Nggak, nggak. Sebagai ketua, aku harus ikut meramaikan kafe cosplay kelas 2-A ini dong. Jadi untuk menarik perhatian, kupilih kostum yang paling mencolok."

Sambil berkata begitu, Nihara-san──masuk ke dalam kostum monster.


Seluruh tubuh berwarna hitam, bentuknya mirip perpaduan serangga dan dinosaurus, sosok monster humanoid yang kuat. Aku bahkan mengenalnya. Itu musuh terkenal dalam Cosmo Miracle Man.


"Purururururu…"


"M-Momono!? Astaga, suara apa barusan?"


"Hehe, kupikir kalau bikin suara monster bakal lebih menghibur. Purururururu…"


"Nggak, nggak! Malah jadi serem! Bikin kaget!!"


Bagi orang lain, mungkin terlihat seperti Nihara-san berusaha menghidupkan suasana dengan mengorbankan dirinya. Tapi sebenarnya, aku yakin dia hanya ingin sekali saja memakai kostum monster di depan umum──semacam penyalahgunaan jabatan, kurasa.


"Sakata-kun. Bisa bantu sebentar?"


Saat aku masih menatap si monster penyalahguna jabatan, Yuuka menepuk bahuku. Lewat kacamata berbingkai tipis, Yuuka menatapku lekat-lekat dengan wajah tanpa ekspresi.


"Di belakang, tempat minuman. Perlu diatur."


"O-oh, baik."


Mengikuti instruksi Yuuka, aku berjalan ke area minuman yang dipisahkan tirai. Yuuka ikut masuk dari belakang, lalu dengan cepat menutup tirai. Kemudian──masih dengan kacamata, ia mendekatkan wajahnya padaku.

Dan tersenyum lebar──seperti ketika kami berdua saja di rumah.


"Ehehe! Sekarang cuma berdua dengan Yuu-kun."


"Eh… terus, soal bantuannya?"


"Fufufu… nggak ada kok! Aku cuma ingin memanfaatkan kesempatan sah ini buat berdua denganmu!!"


"Dengan bangga ngomong apa sih!? Kan nanti di rumah kita tetap berdua, jadi jangan sengaja bikin risiko aneh kayak gini!!"


"Aku nggak main-main kok~. Aku cuma mau isi ulang energi Yuu-kun~."


Ia menjulurkan lidah manja, lalu──dengan pakaian sekolahnya, Yuuka langsung memelukku erat. Sekitar lima detik kemudian, ia melepas pelukannya.


"Ya! Energi Yuu-kun terisi penuh! Oke, semangat lagi!!"


"Apa-apaan ini, semacam ritual? Aku ini semacam sumber energi atau apa?"


"Hm~. Bagiku, kau adalah sumber kekuatan… dan penunjuk jalan."


Dengan cepat Yuuka membalikkan badan, lalu bergumam pelan.


"Aku memang bilang pada Isami kalau aku akan berusaha. Tapi tetap saja, aku bukan tipe yang pandai dalam hal begini… jadi sering merasa capek atau cemas. Karena itu… maaf ya, Yuu-kun. Aku selalu manja padamu."


Lalu ia menoleh lagi padaku──dan tersenyum polos.


"Baiklah, waktunya tersisa kita manfaatkan. Yuu-kun… mari kita buat 

festival ini jadi sesuatu yang indah."


"…Ya. Benar. Ayo kita berusaha bersama."


Setelah itu, kami keluar lagi dari balik tirai dengan sedikit jeda. 


Kembali ke kesibukan persiapan, Yuuka kembali memasang wajah serius dan kaku seperti biasa. Melihat betapa cepatnya ia bisa berganti sikap, aku hanya bisa tersenyum.



Ketika aku selesai membantu pemasangan dan pulang ke rumah, waktu sudah menunjukkan lewat jam tujuh malam. Badanku terasa lelah, tapi lebih dari itu, aku merasa sangat terkuras secara mental. Tanpa berganti pakaian, aku langsung merebahkan diri di sofa ruang tamu.


『Udah sampai bandara. Kayaknya sekitar satu jam lagi aku sampai di sana. 』


Pesan dari Nayu masuk saat aku menyalakan ponsel. Menghubungi dulu sebelum pulang, itu hal yang jarang dia lakukan. Kelakuannya selama ini terlalu buruk, sampai-sampai hal sepele seperti itu saja terasa mengejutkan. Tapi serius, dia itu pulang ke Jepang terlalu sering, kan? Dompet ayahnya masih aman nggak, ya…


“Yuuka. Katanya Nayu bakal sampai sekitar sejam lagi.”


“Iya. Dari Isami juga udah ada kabar, dia juga kayaknya bakal sampai sekitar jam segitu.”


Sambil menjawab, Yuuka meletakkan kacamatanya di meja dan melepas ikat rambutnya. Supaya bisa menonton festival budaya dari pagi, Nayu dan Isami akan menginap di rumah mulai malam ini.


Rasanya sudah lama juga sejak kami berempat berkumpul, terakhir kali itu saat sebelum Comiket.


Semoga saja Nayu dan Isami nggak ribut lagi… pikirku dalam hati, sebelum menyadari sesuatu. Entah sejak kapan, Yuuka sudah tidak ada lagi di ruang tamu.


“Eh? Yuuka?”


Aku duduk tegak, menoleh ke sekeliling, lalu tiba-tiba pintu ruang tamu terbuka.


“Jajaaaan!!”


Dengan suara efek buatan sendiri, Yuuka masuk ke ruangan—memakai kostum maid.


Gaun hitam model one-piece itu mengembang manis di sekitar lutut. Bagian paha yang terekspos di antara kaus kaki over-knee dan rok menciptakan apa yang disebut sebagai “zona terlarang.” Apron putih berenda membuat penampilannya semakin imut. Rambut hitam panjangnya yang dibiarkan tergerai lurus dihiasi hiasan kepala putih sederhana. Warna rambutnya, warna matanya, bahkan posturnya sama sekali berbeda…tapi di mataku, ia terlihat persis seperti Yuuna-chan dalam balutan kostum pelayan.


“...Gimana? Cocok nggak? Go-goshujinsama ♪”


Dengan senyum malu-malu, Yuuka melempar kalimat yang bisa bikin jantung berhenti berdetak.


“Ah, tapi besok aslinya aku bakal pakai kostum pelayan rok panjang, kok! Soalnya kalau kaki telanjangku dilihat orang lain… rasanya malu banget.”


Belum ditanya, dia sudah buru-buru memberi alasan.


Setelah itu, Yuuka mengambil nampan yang memang dibeli untuk festival budaya, lalu mengulurkan tangan satunya ke arahku.


“Yuuka selalu ingin membuat suamiku senang… jadi aku akan berusaha sebaik mungkin! Karena itu… mulai sekarang, aku… boleh tetap berada di sisimu, kan?”


Apa-apaan ini? Dia sengaja berusaha bikin aku pingsan, ya? Rangkaian situasi ini terlalu mematikan bagi otak seorang laki-laki SMA.


“...Nggak boleh, ya?”


Saat aku masih berjuang keras menahan diri, Yuuka berbisik dengan suara kecil penuh keraguan. Nada suaranya itu… benar-benar tidak seperti biasanya. Mungkin karena tersentuh oleh sisi rapuh Yuuka yang jarang terlihat, tanpa sadar aku menggenggam erat tangannya.


“Mana mungkin nggak boleh. Cuma… panggilan ‘tuan’ itu tolong jangan, ya. Tapi kalau sebagai ‘istri’... aku ingin kamu selalu berada di sisiku.”


“...Makasih, Yuu-kun.”


Begitu ucapnya, Yuuka melepas tanganku, lalu tiba-tiba—fwaah.


Dia memelukku erat, sangat erat. Aku kaget karena gerakannya mendadak, tapi segera membalas pelukannya dengan merangkul punggungnya.


“...Boleh aku cerita soal masa lalu?”


“...Iya.”


“Dulu, waktu SMP, aku juga pernah… jadi anak yang nggak mau 

sekolah, kayak Yuu-kun.”


Sambil terus memelukku, Yuuka mulai menceritakan luka masa lalunya.


“Isami pernah bilang kan? Kalau waktu kecil aku itu lumayan nakal.”


“Oh iya, pernah. Katanya kamu dulu tipe anak ‘aku yang paling hebat!’ gitu, kan?”


Aku teringat foto masa kecil Yuuka yang kulihat saat liburan musim panas.


“Yah, nakalnya sih lama-lama berkurang, tapi aku tetap suka banget ngobrol, nggak pernah berubah. Waktu SD sampai masuk SMP pun, aku selalu asyik ngobrol sama teman dekatku. Pokoknya aku itu ‘otaku cerewet’ deh.”


“Jadi Yuuka udah otaku sejak dulu, ya.”


“Yuu-kun juga bilang dulu kamu otaku banget, kan? Sama aja. Aku suka anime dan manga, seneng banget bahas cerita yang seru, atau kadang aku sampai heboh cerita soal ‘alur ideal versiku sendiri’.”


Alur ideal versiku sendiri!?


Sepertinya aku barusan mendengar sebuah informasi hitam dari masa lalunya… tapi aku tahan diri buat nggak komentar.


“Yah, aku juga waktu SMP hobi banget ngobrol soal hobi otaku, sok asik sama teman, jadi kebayang sih suasananya.”


“Beda, aku nggak sok asik kayak gitu! Aku cuma seneng ngobrol bareng teman yang sehobi, biasanya di pojokan kelas, tiap hari ramai banget. Tapi ya… mungkin karena terlalu ribut, aku jadi lumayan menonjol.”

Saat ia berkata begitu, aku merasakan pelukannya sedikit menguat.


“Kayaknya mulai sekitar musim panas kelas dua SMP. Ada kelompok perempuan lain yang tiba-tiba mulai gangguin aku. Mereka bisik-bisik di dekatku, atau jelas-jelas menghindariku. Padahal sebelumnya hampir nggak pernah berinteraksi sama aku. Mungkin karena mereka sebel aja sama aku. Ya, aku rasa cuma gitu alasannya.”


“...Itu berarti—”


Aku hampir tak bisa menahan diri untuk berteriak. 


Yuuka menyebutnya “diganggu,” tapi jelas itu bukan hal sepele. Hanya karena alasan sepele seperti “nggak suka aja,” Yuuka… menerima perlakuan menyakitkan dari teman-teman sekelasnya.


“Awalnya aku berusaha sabar, tahu? Tapi lama-lama… teman dekatku juga mulai menjauh, supaya nggak ikut terseret. Mereka berhenti ngajak aku ngobrol. Waktu itu rasanya kayak… putus. Benang yang nahan aku tiba-tiba terputus gitu aja.”


“...Begitu, ya.”


Dalam situasi seperti ini… aku benar-benar nggak tahu harus berkata apa. Rasanya menyedihkan, karena aku nggak bisa menemukan kata-kata yang tepat.


Kalau Isami yang ada di posisiku, mungkin dia bisa melontarkan kalimat manis ala pahlawan yang terdengar keren, walaupun jujur aku juga nggak yakin itu benar-benar membantu. Tapi yang jelas, aku nggak mau bikin Yuuka semakin cemas.


Jadi, tanpa berkata apa pun, aku hanya memeluknya erat dan perlahan mengusap kepalanya yang mungil.


“...Ehehe. Makasih, Yuu-kun.”


“Bukan, aku nggak melakukan apa pun yang pantas kamu ucapkan terima kasih.”


“Itu salah. Yuu-kun selalu… membawa aku ke dunia yang berkilauan.”


Setelah itu, Yuuka mulai menceritakan masa-masa saat ia tidak mau sekolah. Karena dijauhi teman-teman, Yuuka jadi terisolasi dan makin takut pergi ke sekolah, akhirnya memilih berdiam diri di rumah. Membaca light novel, manga, atau menonton anime bisa sedikit mengalihkan perhatiannya. Tapi malam tiba-tiba membuatnya menangis tanpa alasan. Pagi datang malah membuat perutnya sakit entah kenapa. Dalam kondisi seberat itu, Yuuka sampai hampir setahun penuh menjadi seorang hikikomori.


Aku sendiri dulu, gara-gara ditolak Raimu, cuma seminggu aja mengurung diri. Dan itu pun aku sudah merasa dunia ini hancur.


Kalau dipikir sekarang, betapa memalukan diriku saat itu. Karena dibandingkan luka masa lalu Yuuka, masalahku jelas… tak ada apa-apanya.


“Karena waktu itu aku begitu parah… makanya aku bisa mengerti kenapa Isami jadi terlalu protektif. Dia melihat langsung betapa buruknya keadaanku saat itu.”


“Meski begitu, aku rasa sikap Isami yang sekarang sok keren ala laki-laki ganteng itu juga agak berlebihan sih.”


“Ahaha, iya juga sih. Sebagai kakak, aku pengin dia berhenti main hati dengan para perempuan seperti itu, jujur aja.”


Aku mencoba bercanda, dan sepertinya Yuuka pun sedikit lega, sampai bisa mengeluh sambil tertawa. 

Kemudian ia menarik napas dalam-dalam… lalu memelukku lebih erat lagi.


“...Waktu kelas tiga SMP, musim dingin, aku ikut audisi Arisute. Bayangin aja, aku yang sudah hampir setahun nggak sekolah, tiba-tiba ikut audisi. Orang tuaku dan Isami sampai terkejut. Tapi aku benar-benar ingin melakukannya. Karena di masa tersulitku, manga dan anime—‘dunia cerita’—lah yang memberiku semangat. Aku ingin bisa membuat dunia seperti itu juga. Jadi aku nekat daftar!”


Setelah itu, Yuuka memberanikan diri kembali ke sekolah untuk beberapa bulan terakhir sebelum lulus.


Ia menata hatinya, lalu pindah ke Tokyo. Menjalani hidup sendiri, sambil membagi waktu antara sekolah dan pekerjaan sebagai pengisi suara. Dan kemudian, saat kelas dua SMA, datanglah kabar tiba-tiba tentang perjodohan… hingga sampailah ia ke titik sekarang.


“...Oke! Segitu aja deh ceritanya. Maaf kalau agak suram. Dan… makasih udah mau dengerin, Yuu-kun.”


“Bukan, aku yang harus berterima kasih… karena kamu mau cerita, Yuuka.”


Entah siapa duluan, kami perlahan melepaskan pelukan. Dan di hadapanku, meski baru saja membicarakan hal kelam, Yuuka tersenyum cerah—seperti bintang pertama yang bersinar di langit.


“Kenapa sih bisa senyum selebar itu, Yuuka?”


“Hmm~ aku cuma kepikiran lagi, betapa aku sayang banget sama Yuu-kun! Bener-bener terasa, gitu loh!”


“Dari cerita barusan, memang ada hal yang bikin kamu merasa begitu?”

“Tentu aja ada! Waktu awal-awal aku jadi seiyuu dan banyak gagal, yang memberiku semangat adalah ‘Shinigami yang jatuh cinta’. Dan sekarang, yang memberiku hari-hari bahagia adalah Yuu-kun. Kalau dipikir lagi, ya wajar banget aku jadi makin sayang sama kamu.”


“Enggak, kebalik justru. Yang bikin aku bisa punya harapan hidup itu Yuuna-chan dari Shinigami-san yang jatuh cinta. Dan sekarang, yang bikin hari-hariku berisik tapi menyenangkan, itu Yuuka. Jadi, aku justru—”


“—Justru apa!?”


Yuuka langsung menatapku dengan mata berbinar, mendesak jawaban.

Mendadak aku jadi malu, suaraku tercekat.


“Aku juuustru…?”


“Ya? Justru?”


“Ti- tidak… nggak ada apa-apa. Serius.”


“Ehh, nggak bisa gitu! Sampai kamu jawab dengan jelas, aku nggak bakal pergi!”


“Mau pergi ke mana coba? Ini kan rumah kita.”


“Detail nggak penting! Pokoknya jawab! Aku justru… apa? Yuuka…? …su? …ki?”


“Itu cara ngajaknya gimana sih!? Dan lagi, Yuuka sendiri yang ucapin duluan—”


“Tolong deh. Kalau masih malu-malu, mendingan cepet ke Futon aja, terus tidur. Serius.”


Suara menyebalkan itu datang tiba-tiba dari arah lorong. Aku dan Yuuka saling menatap, lalu perlahan menoleh.


Di sana, berdiri Nayu dengan wajah masam, dan Isami dengan senyum andalannya.


“Nayu-chan, tahu nggak, momen kayak gitu tuh butuh suasana. Mulai dari bermanja ria, lalu makin malam makin hangat membara… itu alurnya. Tapi ya wajar sih, Nayu-chan masih anak kecil, belum ngerti.”


“Ha? Dasar sok puitis. Nyebelin banget.”


“...Sok puitis? Hei, itu penghinaan serius, tahu.”


Keduanya mulai adu mulut. Bisa nggak nanti aja ributnya?


“Kalian berdua… udah dari kapan berdiri di situ?”


“Ha? Dari tadi banget, jelas lah. Asik banget, ya, dunia kalian berdua. Pelukan mesra segala, cih.”


“Seperti yang kuduga, Yuu nii-san memang luar biasa. Bisa bikin Yuuka sampai ngomong manja gitu… ‘Sampai kamu jawab, aku nggak bakal pergi~’. Hahaha… Yuuka imut banget sih.”


“Isami! Kamu jelas-jelas lagi ngeledek, kan!? Dasar idiot, Baka! Ughh! Kalian berdua kalau udah sampai rumah, setidaknya kasih kabar dulu dong! Malu banget jadinya, ihhh!”


──Begitulah. Malam sebelum festival budaya pun berlalu dengan keributan yang lebih heboh dari biasanya. Dan besok… akhirnya hari festival budaya tiba.


Bagiku, dan juga Yuuka… semoga benar-benar jadi festival terbaik.




Chapter 18

【Pembukaan】

 Kekhawatiran pada Tunangan di Festival Budaya


“Kalau begitu, kami berangkat duluan. Nayu, Isami, tolong kunci rumah ya.”


“...Baik. Hati-hati, ya.”


Wajah Isami saat mengucapkannya terlihat sangat muram. Padahal tadi malam ia masih tampak biasa saja… mungkin itu hanya semangat palsu darinya.


Festival budaya dimulai pukul sembilan. Karena ada persiapan terakhir, para siswa dijadwalkan berkumpul pukul tujuh.


“Kalau begitu, ayo berangkat, Yuu-kun.”


Ucap Yuuka—berkacamata dengan rambut dikuncir kuda—sambil mengibaskan rok seragamnya.


Yuuka pun terlihat agak murung… mungkin karena gugup. Memang, ia sudah bilang pada Isami bahwa ia ingin berusaha ikut serta dalam kegiatan sekolah. Tapi trauma yang dialaminya di masa SMP… bukanlah hal kecil. Kalau dia merasa cemas, itu hal yang wajar.


“Yuuka.”


Sepertinya merasakan kegugupan kakaknya, Isami memanggilnya dengan nada cemas. Setelah mengenakan sepatu dan mengambil tas, Yuuka menoleh padanya.


“Yuuka… kamu benar-benar baik-baik saja?”


“Sudahlah… Isami itu protektif sekali.”


“Ya wajar aku khawatir. Karena waktu SMP, kamu itu…”


Ucapannya terhenti, ditelan kembali oleh keraguannya.


Aku bisa memahami kekhawatiran Isami. Aku sendiri kemarin, saat mendengar cerita masa lalu Yuuka, rasanya seperti dadaku diremas. Bagaimana kalau dia kembali merasakan hal buruk di sekolah, lalu patah semangat lagi? Bagaimana kalau senyumnya hilang lagi? Pikiran semacam itu pasti terlintas lebih dulu.


“Tapi Watanae Yuuka yang waktu SMP itu, sudah tidak ada lagi.”


Dengan tegas Yuuka mengucapkannya, lalu tersenyum. Aku yang tadinya ikut terbawa rasa khawatir, tersadar oleh kata-katanya.


“Tentu saja, aku tetaplah aku. Tapi lihat, tubuhku saja sudah sebesar ini, kan? Sama halnya dengan hati. Lewat berbagai pertemuan dan pengalaman, aku pun sudah banyak berubah. Jadi— Watanae Yuuka yang dulu selalu menangis waktu SMP, sudah tidak ada lagi.”


“...Yuuka.”


Isami masih terlihat murung, hingga Yuuka menepuk bahunya pelan.


“Sudah kubilang, aku akan berusaha. Jadi… lihat saja nanti, Isami. Biar kamu tahu, kakakmu ini juga sudah tumbuh dewasa!”


“Jangan cengeng begitu, dasar sok keren.”


“Aduh!?”


Tiba-tiba Nayu, yang sama sekali tidak ada hubungannya, menghantam punggung Isami tanpa ampun.


Hei… bukannya kalau menegur, cukup ditepuk ringan? Kenapa malah dipukul pakai tinju?


“Kalau mau komentar, tunggu lihat hasilnya dulu. Sok keren tapi nggak ada wibawanya sama sekali. Lebih baik kirimkan dia dengan tenang seperti biasa.”


“Baiklah… kamu kasar sekali, Nayu-chan.”


Setelah sedikit beradu mulut antaradik itu, Isami kembali menatap Yuuka dengan wajah penuh kekhawatiran.


“Kalau ada kesulitan, minta bantuan pada Yuu nii-san, ya? Kalau takut, segera minta tolong. Mengerti, Yuuka?”


“...Astaga. Isami, kamu ini benar-benar…”


“Menjijikkan.”


Dan akhirnya, aku dan Yuuka pun berangkat berdua. Langit cerah tanpa awan membentang luas.


Baiklah, demi festival budaya yang sukses—aku harus kembali menyemangati diriku.



“Baik, ayo semangat, kelas 2-A!”


Nihara-san, perwakilan kelas di festival budaya, sejak pagi sudah berapi-api. Ia berkeliling ke sana kemari, mengatur jadwal piket, memeriksa menu makanan dan minuman kafe, sambil terus menyemangati teman-teman sekelas.

“Yo, Sakata! Gimana, siap?”


“Biasa aja. Cuma agak gugup.”


“Kalau begitu bagus! Gugup tandanya serius!”


“Apanya yang bagus coba…”


“Soalnya lihat deh, wajahmu kelihatan lebih hidup. Seperti waktu SMP dulu, ekspresimu lebih alami. Sebagai kakak, aku jadi senang.”


Ekspresi alami? Kalau dipikir-pikir, mungkin benar juga.


Karena banyak hal yang kupikirkan tentang festival budaya kali ini, rasanya aku bisa lebih mudah ngobrol dengan teman-teman kelas dibanding biasanya. 


Menyadari itu, aku jadi penasaran lalu bertanya pada Nihara-san.


“Nihara-san, jangan-jangan… kamu memang sudah memperhitungkan hal ini saat memilih aku dan Yuuka jadi wakil kelas?”


Sejak masuk SMA, Nihara-san jadi sering berinteraksi denganku. Padahal waktu SMP hampir tidak pernah. Aku sempat bertanya-tanya alasannya. 


Setelah lebih dekat, baru kutahu, ternyata sejak aku ditolak Raimu dan kehilangan semangat, ia ingin aku bisa kembali ceria. Bisa dibilang itu sifat usil, atau mungkin pemikiran ala pahlawan karena hobinya menonton tokusatsu. Makanya aku curiga, jangan-jangan ia memang sengaja menunjuk kami jadi wakil kelas dengan tujuan itu.


“Ahaha, nggak lah. Aku bukan tipe perencana sejenius itu. Kebetulan aja! Aku pikir bakal seru kalau bareng kamu dan Yuu-chan, eh ternyata hasilnya lebih bagus dari dugaan!”

Sama sekali berbeda. Sungguh memalukan, salah paham seperti ini. Tanpa menyadari rasa maluku, Nihara-san melanjutkan.


"Begini ya, aku itu tidak sekeren pahlawan seperti yang Sakata bayangkan. Kali ini juga hanya karena aku ingin membuat kenangan menyenangkan bersama kalian berdua… cuma keegoisan belaka."


Tapi, begini. Sambil menggaruk pipinya dengan canggung, Nihara-san tersenyum lalu berkata:


"Yah, bisa dibilang kebetulan juga sih… tapi aku berpikir, mungkin Sakata dan Yuu-chan juga mendapatkan sedikit pengaruh baik dari ini. Pahlawan juga begitu kan? Terkadang terjadi keajaiban yang tak terduga, lalu dunia terselamatkan, bukan?"


Memang teori yang asal-asalan khas Nihara-san. Tapi, ya… meskipun jadi wakil kelas untuk festival budaya itu benar-benar merepotkan, aku jadi bisa berpikir kalau mungkin ini tidak buruk juga. Benar begitu.


"Kalau begitu, Sakata. Mumpung festival budaya ini sudah sejauh ini… ayo kita usahakan sampai berhasil besar!"


"Iya. Pokoknya… sudah sejauh ini, aku akan menuntaskannya sampai akhir."


Nihara-san mengacungkan jempol dengan ceria dan tertawa lepas. Melihatnya seperti itu—entah kenapa aku pun jadi ikut tersenyum secara alami.



"…Selamat datang."


Dengan wajah tanpa ekspresi, gadis pelayan itu menjatuhkan buku menu di atas meja.

Rambut hitam berkilau yang diikat ekor kuda bergoyang pelan. Ia membetulkan kacamata berbingkai tipisnya dengan bunyi kacha. Dengan balutan gaun pelayan hitam panjang ditambah apron putih klasik—gadis pelayan klasik itu, yakni Watanae Yuuka, menatap para pelanggan dengan mata sipit yang agak tajam.


"…Pesanannya apa?"


"Ah, eh, e-ehm… kopi saja."


"Panas?"


"Ah, iya…"


Setelah mencatat pesanan, Yuuka berjalan kikuk menuju dapur sementara.


"Kopi. Panas."


Ia memberitahu dengan datar tanpa ekspresi, lalu segera beranjak menuju pelanggan berikutnya. Melihat sikap Yuuka itu… aku yang sedang bertugas di dapur merasa cemas bukan main.


Ya, bagaimana tidak? Lihat saja teman-teman sekelas yang lain. Teman perempuan Nihara-san yang bergaya gyaru memakai kostum pemandu sorak sambil mengobrol riang dengan pelanggan. Siswi klub voli—aku bahkan lupa namanya—berdandan ala penyihir rok mini khas Halloween dan berhasil menarik perhatian pengunjung.


Sedangkan Nihara-san sendiri—berdiri di luar kelas dengan kostum monster raksasa, menyedot perhatian semua orang, tapi itu pengecualian lah. Pokoknya… semua orang memanfaatkan kostum cosplay mereka untuk melayani pelanggan dengan cara menyenangkan.  


Tapi Yuuka, dengan kostum pelayannya…

"Ah, permisi. Nona pelayan di sana."


"……Apa?"


Ia menanggapi panggilan pelanggan dengan nada yang sama sekali tidak ramah.


"Kombinasi kacamata dengan kostum pelayan… inilah wujud pelayan klasik yang sebenarnya! Sangat cocok sekali denganmu!!"


"Biasa saja."


Walau pelanggan memujinya dengan penuh semangat, ia hanya menanggapi dingin dan berlalu begitu saja.


…Ya, sudah jelas. Yang muncul adalah versi Yuuka di sekolah—sikap dingin khasnya sedang aktif sepenuhnya.



"Uuuuhh… sama sekali gagal total… Yuu-kun…"


Saat aku dan Yuuka tidak sedang bertugas, kami pindah ke belakang gedung sekolah yang sepi. Yuuka tampak sangat murung.


Yah, memang harus kuakui… suasana saat dia melayani pelanggan tadi benar-benar aneh.


"Haa… bagaimana ini? Padahal aku sempat sok-sokan menasihati Isami…"


"'Watanae Yuuka yang dulu di SMP sudah tidak ada lagi'—gitu, ya?"


"Gyyaaah!? Kenapa harus kau ulangi lagi!? Dasar Yuu-kun, bodoh!"


Dia murung lalu marah, sibuk sekali dengan emosinya.

Andai ekspresi seperti itu juga bisa ia tampilkan saat melayani pelanggan, mungkin hasilnya berbeda… tapi aku tahu persis, karena aku juga tipe yang mirip. Itu bukan sesuatu yang bisa dilakukan hanya dengan kesadaran diri.


Saat kami sedang berbicara begitu—ponsel di sakuku bergetar.

Kulihat layarnya, panggilan RINE dari Nayu.


"Halo, Nayu?"


『Harusnya kamu angkat di dering pertama. Kamu pikir dunia ini apa sih? …Haaah.』


"Kau sendiri yang aneh. Aku sedang di festival budaya, jelas aku tidak bisa selalu angkat secepat itu."


『Hah? Apa-apaan alasan itu? Kalau kamu politisi, barusan pasti sudah mengundurkan diri.』


"Itu berlebihan!? Aku bahkan tidak bikin kesalahan fatal begitu!"


Seperti biasa, Nayu langsung menyerang sejak awal percakapan.

Entah sampai kapan kebiasaan buruknya ini bisa berubah… benar-benar menyebalkan.


“Lalu, kalian sudah di sekolah? Isami ada di sana?”


『Ada kok. Nih, Isami. Bilang sesuatu.』


『Ah… ehm. Ahaha…』


Terdengar tawa canggung dari samping Nayu. Biasanya, di situasi seperti ini, Isami pasti melontarkan rayuan keren pada para siswi penjaga stan… tapi sekarang sepertinya pikirannya cuma tertuju pada Yuuka, jadi tidak sempat melakukan itu.

『Yah, begitulah keadaan Isami. Jadi? Nii-san dan Yuuka-chan masuk shift jam berapa?』


"Hm? Ehm… jam dua belas. Aku dan Yuuka dijadwalkan melayani pelanggan di jam itu."


『Jam dua belas ya, sebentar lagi. Ayo, Isami, kita pergi—jangan kabur!』


『Gueeeh!? N… Nayu-chan, leherku! Leherku… dicekik…!!』


『Karena kamu mau kabur ketakutan. Dengar ya, Yuuka-chan bilang dia akan berusaha keras. Kalau adiknya sendiri kabur tanpa memastikan itu, bukankah itu bodoh?』


"……Uuh."


Yuuka mengeluarkan erangan lirih, pelan sekali hingga tidak terdengar dari seberang telepon, sambil menekan perutnya.


Nayu… yang kau lakukan itu sebenarnya memberi tekanan lebih besar, tahu?


『Yuu nii-san… apakah Yuuka benar-benar bisa melakukannya dengan baik?』


Suara Isami terdengar dari seberang telepon, berbeda dari biasanya, kali ini lemah sekali.


『Aku tahu kok kalau Yuuka sedang lebih serius dari biasanya.. Tapi setelah mencobanya,bukankah dia malah gagal total,lalu jadi membenci dirinya sendiri dan terpuruk?Aku khawatir begitu…』


Ya, tepat sekali. Memang sudah seharusnya, adik kandung paling tahu sifat kakaknya.

Bahkan Yuuka yang mendengarkan di sampingku langsung semakin terpuruk karena tebakan itu terlalu tepat.


『Terlalu sayang kakak. Lucu. Kau kira Yuuka-chan itu milik pribadimu apa?』


Nayu melontarkan kata-kata mengejek dengan sengit pada Isami.


『Daripada bertele-tele, lihat sendiri saja dengan matamu. Pasti berhasil kok. Dan kalau ternyata tidak berhasil… Nii-san akan dihukum mati.』


"Kenapa aku yang kena!?"


『Banyak bicara. Pokoknya, Nii-san harus benar-benar mendukung Yuuka-chan. Aku percaya Nii-san bisa melakukan itu… sungguh.』


Hanya itu yang ia katakan, lalu—tut.


Nayu memutuskan sambungan secara sepihak. Benar-benar, selalu seenaknya sendiri, adik yang satu itu.


"Yuu-kun."


Setelah memasukkan ponsel ke saku, aku mendongak. Di hadapanku, Yuuka dengan kacamata dan rambut kuncir kuda gaya sekolah, menatap lurus ke arahku. Biasanya kalau di sekolah, dengan kacamata, matanya terlihat sipit tajam. 


Kalau di rumah tanpa kacamata, terlihat sayu menurun. Tapi kali ini, tidak seperti keduanya. Mata itu—seperti nyala api. Ada tekad kuat dalam sorot mata Yuuka saat itu.


"Festival budaya masih belum selesai… ini bukan waktunya untuk 

mengeluh. Aku harus menunjukkan pada Isami, kalau ‘Watanae Yuuka yang dulu di SMP sudah tidak ada lagi’!"


"…Iya, benar. Mari kita berjuang bersama sampai akhir, Yuuka."


Seperti ketika ia memilih untuk menjadi seorang pengisi suara.

Seperti ketika ia memilih, terlepas dari bagaimana awalnya, untuk tetap melangkah bersama sebagai pasangan tunangan.


Yuuka memutuskan untuk meninggalkan masa lalunya… dan melangkah maju di sekolah. Dan ia ingin menunjukkan dirinya yang baru itu pada Isami—itulah yang ia harapkan. Karena itu, aku akan mendukungnya sepenuh hati.


Aku akan memastikan ia tidak goyah, dengan segenap kemampuanku.

Kalau tidak begitu… bagaimana mungkin aku bisa menyebut diriku ‘suami’?



"Oooh! Bagus sekali, Sakata. Cocok banget sama kamu!!"


Di ruang belakang tempatku berganti pakaian, Nihara-san menatapku sambil menyeringai. Jelas sekali dia sedang menggodaku. 


Yang kupakai—adalah tuksedo. Tuxedo putih bersih. Rambutku diberi wax lalu disisir ke belakang… jadi terlihat seperti host dari klub malam. Sejujurnya, aku sama sekali merasa tidak cocok.


"Hei, Watanae-san. Sini, kemari!"


"…Ada apa?"


Dipanggil oleh Nihara-san, Yuuka masuk ke ruang belakang.


Pakaiannya masih sama seperti tadi, gaun pelayan klasik. Lengan panjang dan rok panjang, gaya sederhana dengan nuansa bersih dan sopan. Tapi—dengan kuncir kuda dan kacamata ala Yuuka di sekolah, entah bagaimana ia terlihat seperti pelayan sungguhan. Sangat cocok sekali.


"Nih, Watanae-san. Menurutmu, Sakata cocok dengan pakaiannya, kan?"


"…Biasa saja."


"Yuu-chan, coba lihat baik-baik. Sekarang, di ruang belakang… hanya ada kita saja kan? Oke. Jujur, menurutmu, Sakata cocok dengan pakaiannya?"


"…Aku sukaa!! Aah, terlalu keren sampai mataku buta!! Kyaa kyaa!!"


Tiba-tiba tirai terbuka, dan Masa masuk ke ruang belakang.


"Apa!? Barusan aku dengar suara aneh, Yuichi!?"


"Yang aneh itu kau sendiri, Kurai-kun."


Yuuka menanggapinya dengan datar, mengucapkan hal yang benar-benar kejam.


Ngomong-ngomong, bagaimana kau bisa langsung beralih ke mode sekolah hanya dalam sekejap barusan?


“Ahaha! Kurai, apa-apaan itu? Kocak banget!!”


“Seperti sendirian saja di rumah hantu, mungkin.”


Dan penampilan Masa—adalah seorang drakula.


Di atas kemeja merah terang dengan renda berumbai, ia mengenakan mantel hitam dengan kerah besar. Bahkan sampai memasang taring tiruan di mulutnya.


“Heh… kalian berdua sama sekali tidak paham, Nihara-san, Watanae-san.”


Entah kenapa, Masa yang berdandan sebagai drakula itu menampilkan ekspresi puas diri.


“Idolaku, Ranmu-sama, sering memadukan desain horor seperti salib dan kelelawar di panggung konsernya, agar sesuai dengan citra cool beauty miliknya. Karena itu aku memilih menjadi drakula! Aku merasakan kesatuan yang mendalam… semacam ikatan panas yang belum pernah kurasakan sebelumnya…!!”


Serius saja, aku cukup respek padamu sebagai seorang otaku, Masa.


“Kalau begitu, sudah waktunya juga untukku… bersemangat dengan selain kostum maskot ini!”


Entah terbawa suasana, Nihara-san yang makin bersemangat, langsung—basa!—melepaskan seragam sekolahnya.


“Eh… Nihara-san!?”


Meski begitu, mataku otomatis meluncur secepat kilat ke arah dadanya. Pakaian yang dikenakan Nihara-san di balik kemejanya adalah—leotard pink. Model ketat yang menutupi hingga lengan penuh.


Di bagian paha ada kain berumbai sebagai pengganti rok… dan dari balik bahan lateks di bagian dada, lekuk tubuhnya menonjol dengan sangat jelas.


Aku dan Masa sama-sama tak kuasa menahan diri, lalu bergumam, “Hooo…” dengan suara aneh.


“Bagaimana? Keren, kan?”


“K-keren…? Yah, mungkin. Benar begitu, Masa?”


“Y-ya. Maksudku, seksi—eh, tidak, tidak! Menurutku bagus! Sangat bagus!!”


Bagi Nihara-san, jelas sekali ini seperti baju tempur ala pasukan sentai, dan ia benar-benar merasa itu keren. Dasar penggemar tokusatsu garis keras.


Ya, menurutku juga bagus. Hanya saja… maksud “bagus” yang kupikirkan berbeda dari yang ia maksud.


“…………Sampai kapan kalian mau main-main? Jangan bercanda, dasar lelaki.”


Dengan suara dingin yang penuh tekanan, Yuuka membuka tirai ruang belakang dengan shaa! 


Mungkin karena takut pada Yuuka, Masa buru-buru menyelinap keluar melewati tirai. Nihara-san dengan leotard ketatnya pun segera menyusul. Dan—tinggallah aku seorang diri. Yuuka berbalik menatapku dengan tajam.

“…Dasar. Yuu-kun yang mesum.”


“Maafkan aku.”


“…Nanti setelah pulang, bersiaplah. A-aku akan mengenakan pakaian berani dan membuatmu berdebar, jadi jangan menyesal.”


Aku tidak tahu apakah itu sebuah teguran atau justru janji hadiah.

Bagaimanapun, aku dan Yuuka pun—bersama-sama melangkah keluar dari ruang belakang.



Waktu menunjukkan tepat pukul dua belas. Nayu dan Isami mungkin sebentar lagi akan datang. Semoga saja, Yuuka bisa menunjukkan pada Isami kalau ia benar-benar mampu berjuang. Itulah yang kupanjatkan dalam hati…


Namun entah kenapa—dadaku terasa gelisah, seperti ada firasat buruk yang tidak mau hilang.




Chapter 19

Hasil dari tantangan terbesar kami sepanjang masa di festival budaya…


Sudah sekitar sepuluh menit berlalu sejak aku dan Yuuka masuk shift.


Karena jam dua belas siang adalah waktu paling ramai, jumlah staf yang bertugas di kafe sengaja ditambah. Kalau di jam-jam lain hanya ada dua atau tiga orang, maka di satu setengah jam ini ada empat orang. Yang laki-laki adalah aku dan Masa. Yang perempuan adalah Yuuka dan Nihara-san.


Justru karena ini jam tersibuk, aku rasa ketegangan Yuuka pasti lebih besar daripada pagi tadi.


"Selamat datang—eh? Hah? Jangan-jangan, Nayu-chan?"


"Hah? Iih, jijik. Ada drakula yang lagi nyoba godain aku… Isami, telepon polisi."


"Tunggu, tunggu! Nayu-chan, ini aku! Kurai Masaharu!! Waktu di Jepang, saat main ke rumah Yuuichi, kita pernah ketemu, kan!?"


"Waduh, gila… bukannya ini modus penipuan? Isami, tetap telepon polisi deh."


Padahal ini jam sibuk, tapi entah kenapa ada pengunjung aneh yang ribut sama Masa. Dengan perasaan agak kesal, aku menyampaikan pesanan ke sisi dapur lalu mendekat untuk membantu Masa.


"Nayu… kalau mau bikin onar, mending pulang aja."


"Wah!? Sekarang si tukang pamer pakai setelan aneh malah nakut-

nakutin! Apa-apaan sih tempat ini, serem banget."


"Nayu-chan, cara kamu bercandanya terlalu keterlaluan… Maaf ya, jadi ribut begini."


"Heh. langsung aja, ya? Jadi kesannya aku kayak pelanggan nyebelin gitu."


Memang nyebelin, sih. Kalau bukan di depan umum, aku pasti sudah langsung kasih ceramah panjang.


"Haa… ya sudah deh. Semangat ya, Kuramasa si drakula."


"Eh!? Jadi kamu masih ingat, Nayu-chan!?"


"Kalau begitu, Yuu nii-sa… maksudku, Yuuichi-san. Tolong antarkan kami ke tempat duduk."


"Ah, iya… silakan, mari ke meja ini."


Isami peka dengan situasi, jadi dia menahan diri untuk tidak memanggil "Yuu nii-san," lalu duduk berdua dengan Nayu di meja.


Seperti biasa, Nayu mengenakan T-shirt pendek sampai pusar yang ditumpuk dengan jaket jeans, menyilangkan kaki jenjangnya dari celana pendek, lalu bertopang dagu dengan kepala miring sampai rambut pendeknya jatuh ke samping. Benar-benar sikap yang sangat buruk. Sementara itu, Isami dengan kemeja putih, jas hitam, dan dasi hitam yang dijepit dengan pin, tampil seperti seorang pelayan bangsawan. Rambut panjangnya diikat satu dan ditambah lensa kontak biru, membuatnya tampak lebih seperti cosplay daripada siapa pun di ruangan ini.


"Heh, Yuuichi… laki-laki tampan yang Nayu-chan bawa itu pacarnya, ya?"

"Bukan. Lagian kalau kamu ngomong gitu langsung, bisa-bisa Nayu bunuh kamu."


Wajar kalau Masa salah paham, tapi biar tidak menimbulkan masalah, aku jelaskan sedikit.


Dia sebenarnya teman yang sama-sama kami kenal dengan Nayu. Kebetulan Nihara-san memintanya jadi penasihat cosplay kafe kali ini. Sederhananya, dia perempuan yang sedang berdandan ala laki-laki.


"Oh begitu… padahal aku kira dia laki-laki beneran. Tapi aneh deh, anak itu kelihatan gelisah banget, gerak-geriknya mencurigakan."


Iya. Aku juga sadar kalau hari ini Isami memang bertingkah mencurigakan. Alasannya tidak bisa aku jelaskan… maaf, Masa.


"Yahhoo! Nayu-cchi, Isami-kun!!"


Tiba-tiba, ke meja mereka datang Nihara-san dengan kostum leotard pink ketat. Baik Nayu maupun Isami sama-sama terdiam sejenak, jelas kaget dengan penampilannya.


"…Nihara-chan. Hmm, apa ini kebetulan tempat khusus dewasa?"


"Apa sih yang kamu omongin, Nayu-chan! Oh iya, aku suka banget kamu manggil aku Nihara-chan! Panggil begitu terus ya, oke?"


"…Momono-san. Setelah mendengar semua saran dariku, kenapa akhirnya kamu memilih pakai kostum seperti itu?"


"Soalnya kan para perempuan lain udah pakai seragam lucu kayak maid, cheerleader, penyihir kecil… Jadi aku mikir, biar rame, ada satu orang yang pakai gaya keren-kerenan gitu!"


"Keren…?"

"Apa-apaan sih, dasar anak gaul aneh. Serem."


Suasana di meja Nayu & Isami jadi makin dingin. Lalu, seorang gadis berkostum maid datang dengan diam-diam membawa air minum.


"Selamat datang."


"…Terima kasih banyak."


Isami sempat hendak berkata sesuatu, tapi setelah menerima gelas, dia menundukkan pandangan. Sementara itu Nayu hanya memperhatikan Yuuka dan Isami dengan tatapan kosong.


"…Ingin memesan apa?"


"Kalau begitu, aku pesan café au lait. Isami?"


"Ah, iya… kopi hitam saja."


"Keduanya, disajikan panas, benar begitu?"


Nada bicaranya memang agak formal, tapi dibanding kekakuan pagi tadi, jelas Yuuka berusaha keras melayani. Mungkin juga karena Isami ada di depannya.


Setelah mencatat pesanan, Yuuka menyampaikan ke dapur.


"Heii, ayo kita lihat toko sebelah juga!"


Tepat saat itu—seorang wanita berambut pirang panjang dan seorang lagi berambut hitam bergelombang masuk bersama.


"Selamat datang."


Yuuka membungkuk dalam-dalam, lalu mengantar mereka ke meja.

Keduanya memakai riasan tebal, kukunya penuh hiasan, dan perhiasan mencolok. Benar-benar aura pesta. Melihat penampilan begitu, aku agak khawatir. Buat Yuuka, melayani tamu model begini mungkin agak sulit.


"…Ingin memesan apa?"


Tiba-tiba kursi di belakangku terdengar bergeser.


"Isami, duduk."


Disusul suara meja tergeser keras.


Saat aku menoleh ke belakang—kulihat Nayu mendorong meja hingga mengenai Isami yang baru saja berdiri. Isami memegangi perutnya yang terkena hantaman, wajahnya meringis menahan sakit, lalu dengan susah payah kembali duduk.


"…Nayu-chan. Yang barusan itu keterlaluan, tahu?"


"Hah? Itu karena Isami mencoba melakukan sesuatu yang tidak perlu. Pasti barusan dia kepikiran mau menolong Yuuka-chan, kan? Terlalu protektif, sumpah."


Apa yang mereka lakukan sih… begitu pikirku sambil melamun.


"Eh, bajunya lucu ya. Hei, hei, kamu suka pakai itu juga di depan pacarmu?"


Perempuan berambut pirang itu melemparkan candaan sambil mengejek ke arah Yuuka yang sedang mencatat pesanan. Seakan menyetujui, perempuan berambut hitam pun ikut mulai menggoda Yuuka.


"Hei, tahu nggak, kami ini lulusan sekolah ini lho. Maid imut-imut, 

kasih kami sedikit servis dong~"


"…Maksudnya bagaimana?"


"Hahaha! Bercanda kok. Nggak usah segitu seriusnya, coba senyum dong. Kamu keliatan terlalu kaku, tahu."


Mendengar itu, ekspresi Yuuka—aku bisa merasakan jelas—langsung mengeras.


"Ah, tapi dulu juga ada anak kayak gini kan, di zaman kita? Kalau nggak salah waktu kelas dua? Yang sama sekali nggak pernah senyum… siapa namanya, ya?"


"Eh, aku nggak tahu. Ada ya? Ingatanku jelek banget sih. Bahasa Inggris aja susah kuingat, apalagi teman sekelas yang jarang berinteraksi."


Aku bisa benar-benar merasakan betapa perihnya hati Yuuka. Karena sikap dua orang perempuan 'pesta' itu pasti… mengingatkannya pada masa SMP, ketika ia sampai tidak mau sekolah.


Aku harus segera menolongnya. Begitu niatku, aku pun hendak bergegas mendekat.


────Namun aku terhenti, bertanya pada diriku sendiri, apa benar itu pilihan yang tepat? 


Menyelamatkan Yuuka sekarang memang mudah. Aku bisa saja menggantikan perannya, melayani tamu itu, lalu menjauhkannya dari mereka. Tapi… Yuuka sendiri yang memutuskan ingin melangkah maju di sekolah ini. Apakah dengan cara itu, aku benar-benar bisa disebut sudah mendukungnya?


"Tunggu!? Isami, makanya jangan berdiri!"

"Mana mungkin aku bisa diam saja!!"


Dengan suara keras yang sampai menggema di dalam kelas, Isami berteriak pada Nayu.


Saat aku menoleh, kulihat Isami sudah melepaskan genggaman Nayu di ujung bajunya, tampak siap meloncat ke depan kapan saja. Dua perempuan heboh itu pun ikut ribut, bertanya-tanya ada apa.


Melihat keadaan itu… aku pun mantap mengambil langkah.


"Apakah ada yang bisa saya bantu, Tuan pelanggan?"


Aku membalikkan jas tuxedo putihku, lalu berdiri tepat di depan Isami—dan menunduk hormat dengan anggun.



Saat aku muncul di hadapannya… Isami sempat menatapku tajam. Namun, dengan wajah enggan, ia akhirnya duduk kembali.


"Eh, apa barusan? Serem banget."


"Maid-san, jangan galak gitu dong, coba kasih senyuman biar suasananya cair."


"Ah… eh, i-itu…"


Melihat mereka kembali menggoda Yuuka, Isami menatap kesal.


"…Tidak. Tolong izinkan aku yang maju. Aku akan menyelamatkan Yuuka."


Begitu ia kembali hendak berdiri, aku menahan bahunya kuat-kuat.


"…Apa yang kamu lakukan? Lepaskan. Kalau tidak, tolong Yuu nii-san 

sendiri yang menyelamatkan Yuuka."


Wajah Isami dipenuhi rasa panik, marah, dan campur aduk emosi lainnya. Ia memang sebegitu menyayangi kakaknya… Namun────


"Tidak. Aku… tidak akan menyelamatkan Yuuka."


"…Apa? Kamu bercanda? Bukankah Kamu ini calon 'suami' Yuuka? Kalau tidak menolong Yuuka saat dia kesulitan, di mana letaknya 'suami-istri' itu!?"


"Memberi pertolongan setiap saat… bukan itu saja makna dari 'suami-istri', kan?"


Sekejap, Isami terdiam.


Aku melanjutkan dengan tenang.


"Sejujurnya, aku pun ingin segera menolong. Aku tidak mau melihat Yuuka dengan wajah sedih seperti itu. Tapi—Yuuka bilang, dia ingin menunjukkan pada Isami dirinya yang berusaha. Dirinya yang bukan lagi Watanae Yuuka masa SMP. Karena itu—yang harus kulakukan sekarang adalah, bersamamu… melihat dan mengawasi Yuuka dari sini."


"…Meskipun Yuuka bisa saja gagal?"


"Kalau dia gagal, aku akan menghiburnya sekuat tenaga. Kalau dia berhasil, aku akan ikut merayakannya dengan sepenuh hati. Dengan begitu, aku akan mendukung istriku yang selalu berusaha keras—sebagai seorang 'suami'."


"…Yuu nii-san…"


Isami terdiam, kehilangan kata-kata. Namun pandangannya kini 

tertuju lurus ke arah kakak yang sangat ia sayangi.


"Maid-san, lagi dong."


"Senyum dong, biar lebih manis gitu!"


Dua perempuan pesta itu kembali ribut, seakan lupa dengan Isami. Sementara itu, teman-teman sekelas kami mulai berbisik, "Kayaknya ini harus dihentikan, deh?"


"…………Saya!!"


────Saat itu juga. Suara jernih nan indah bergema di dadaku.


"Saya… memang buruk dalam berkomunikasi. Dari dulu selalu seperti ini… jarang bisa memenuhi permintaan orang lain. Maafkan saya. Tapi —kafe ini adalah tempat yang penting, yang sudah kami persiapkan bersama seluruh kelas. Karena itu…"


Meski sempat terbata-bata. Dengan nada yang tenang, Yuuka menuntaskan ucapannya. Lalu, dari balik lensa kacamatanya—ia tersenyum lembut.


"…Silakan, nikmati waktu Anda di sini ya? Ojou-sama."


"…Ah, i-itu…"


"…Eh, imut banget…"


Melihat sikap Yuuka, dua perempuan itu pun kehilangan kata-kata.


"──Oh! Bukankah itu Okada dan Yamada!! Lama sekali sejak lulus!"


Suara keras tiba-tiba memecah keheningan. Guru wali kelas kami—Gousaki Atsuko—masuk ke kelas.

Di belakangnya, ada Nihara-san yang sepertinya memanggil beliau ke sini.


"…Eh, itu Gousaki-sensei!"


"Uwaa! Benar-benar Gousaki-sensei!! Gila, sama sekali nggak berubah!"


Ternyata kedua perempuan itu mengenal Gousaki-sensei, dan langsung berseru gembira. Lalu, Gousaki-sensei merangkul mereka erat-erat.


"…Tidak berat, kan, masa-masa mengulang ujian masuk universitas? Maafkan aku. Kalau saja dulu aku bisa lebih banyak membantu kalian…"


"B-bukan begitu. Soalnya… waktu SMA, kami yang nggak belajar sungguh-sungguh untuk ujian masuk…"


"Kami ini memang bodoh. Tapi kami berjuang sekuat tenaga… Pasti akan dapat hasil yang baik. Jadi tolong, awasi kami terus ya, Sensei!"


Tak kusangka, dua perempuan ‘pesta’ itu justru begitu terbuka pada Gousaki-sensei. Mungkin memang tipe murid seperti mereka yang lebih cocok dengan gaya beliau.


"…Syukurlah kelihatannya sudah bisa diselesaikan dengan baik."


Nihara-san berbisik pelan di telingaku.


"Tadi aku merasa kayaknya pernah lihat wajah kakak kelas itu. Jadi kupikir, kalau Gousaki-sensei yang dulu wali kelas tiga tahun lalu, pasti beliau kenal. Makanya aku sempat memanggilnya, kalau-kalau terjadi sesuatu… Tapi ternyata kekhawatiran itu nggak perlu, ya?"


"…Tidak. Justru aku bersyukur, punya teman yang siap bergerak untuk berjaga-jaga saat keadaan mendesak."


Diam-diam sudah menyiapkan langkah antisipasi… sikap itu benar-benar mirip pahlawan, Nihara-san.


"Hebat sekali, Watanae-san! Kamu benar-benar seperti maid sungguhan!!"


"Watanae-san, ternyata bisa tersenyum begitu, ya! Sampai bikin jantungku berdebar!"


"…Biasa saja."


Yuuka menanggapi riuh teman sekelas dengan sikap dingin seperti biasanya. Namun, setelah itu ia berdiri di samping meja tempat Isami duduk, lalu menatapku lama. Dan kemudian—ia menunduk dalam-dalam, seperti seorang maid sungguhan.


"Terima kasih, Sakata-kun… karena kamu tidak menolongku."


"Tidak apa-apa. Karena aku percaya, Watanae-san pasti bisa berjuang sendiri."


"…Aku sudah memutuskan untuk berjuang dengan kemampuanku sendiri. Untuk orang-orang yang datang melihat, dan juga untuk orang-orang yang selalu mendukungku—aku ingin menunjukkan bahwa aku sudah berubah. Jadi… membiarkan aku berjuang sendiri itu… benar-benar hal yang terbaik."


Setelah mengucapkan itu, Yuuka membungkuk sedikit, lalu dengan suara pelan bertanya pada gadis di depannya.


"…Isami. Bagaimana menurutmu? Aku… sedikit banyak sudah bisa berubah, kan?"


Mendengar pertanyaan itu, Isami hanya mengangguk kecil. Lalu, dengan suara nyaris bergetar menahan tangis, ia menjawab:


"Maaf ya, Yuuka. Padahal kamu… sudah bisa berdiri dengan kakimu sendiri. Tapi aku… sama sekali tidak mau menyadarinya…"


"Bukan begitu. Justru aku yang minta maaf… karena jadi kakak yang tidak bisa diandalkan."


Meski menjaga jarak karena ada banyak orang di sekitar, aku yakin sebenarnya Yuuka ingin sekali memeluk Isami saat itu—karena rasa sayangnya begitu besar.


"Isami. Sekarang aku sudah sedikit lebih kuat dari dulu. Dan aku juga sudah dipertemukan dengan calon suami yang luar biasa, yang selalu mendukungku. Jadi, kakak sudah baik-baik saja. Karena itu… aku tidak ingin lagi Isami yang berjuang hanya demi melindungi kakaknya. Aku ingin Isami menjadi Isami yang menikmati hidupmu sendiri. 

Itulah permintaan seorang Onee-chan."


"…………Iya. Aku sayang banget sama Onee-chan."


Isami mengusap kasar air mata yang mulai menetes di matanya. 


Kemudian ia berdiri, merapikan pakaian pelayan yang agak berantakan, dan membungkuk dalam-dalam.


"Tolong terus jaga Yuuka… jaga Onee-chan… mulai sekarang juga, Yuu nii-san."


────Begitulah.


Meski sempat terjadi insiden besar, festival budaya yang sudah kami persiapkan dengan penuh kerja sama ini, bagi aku dan Yuuka, terasa menjadi yang paling—terbaik sepanjang hidup kami.




Chapter 20 

【Kabar Super Bahagia】

Tunanganku Menunjukkan Senyum Terindahnya di Kelas Saat Malam


Begitu persiapan untuk membereskan acara hampir selesai, penampilan penutup dari klub brass band pun dimulai.


Sambil melirik teman-teman yang ramai berkumpul di lapangan, aku membiarkan pikiranku melayang pada festival budaya yang terasa panjang sekaligus begitu singkat.


"Sakata-kun."


Saat menoleh ke samping, di sana berdiri Yuuka yang tetap dengan wajah tanpa ekspresi seperti biasa. Namun, sepasang matanya di balik kacamata tampak sedikit berkaca-kaca. Lalu, Yuuka perlahan menengadah menatap bangunan sekolah.


"Menyenangkan ya… sangat menyenangkan."


"…Iya. Memang menyenangkan, serius."


Kami bertukar kata sesingkat itu. Aku dan Yuuka berdiri berdampingan, lalu hanya diam mendengarkan alunan musik brass band. Dan begitu lagu berakhir—


"…Kalian berdua! Terima kasih banyak, yaa!! Aku… benar-benar senang sekali!!"


Tiba-tiba saja Nihara-san memeluk pundak kami berdua dari belakang. Dia… benar-benar menangis tersedu-sedu.


Yah, wajar juga. Dari semua teman sekelas, yang paling banyak berusaha untuk acara ini memang Nihara-san.


"Nih, Nihara-san. Aku pinjamkan saputanganku, biar kamu bisa menghapus air matamu."


"Uuhh… makasih… Yuu-chan, aku sayaaang banget sama kamu!!"


"Jangan seenaknya memanggilku Yuu-chan."


Padahal biasanya dipanggil begitu, dia diam-diam malah senang. Walau sudah melalui banyak hal, ternyata di sekolah Yuuka tetap keras kepala seperti biasanya. Aku pun hanya bisa tersenyum kecut.


Lalu, aku mengeluarkan ponsel dari saku dan membuka layar percakapan RINE.


『Nii-san, selamat ya. Isami ribut banget nangis, jadi cepatlah pulang.』


『Yuu-nii-san. Terima kasih banyak untuk hari ini! Kumohon, teruslah jaga Yuuka mulai sekarang.』


Aku menekan layar dan mematikan ponsel. Tanpa kusadari, jumlah siswa di lapangan sudah makin berkurang. Matahari pun sudah tenggelam sepenuhnya. Tidak enak juga kalau membuat mereka menunggu terlalu lama, jadi sebaiknya aku dan Yuuka juga segera pulang.


Saat aku berpikir begitu—tap, Yuuka menepuk pundakku.


"…Watanae-san? Ada apa?"


"Ah… bukan, maksudku… Sakata-kun. Maaf sekali, sebenarnya…"


Dengan wajah yang agak merona—sungguh jarang terjadi di sekolah—Yuuka berkata dengan sedikit ragu, lalu akhirnya seakan mantap mengambil keputusan.


"Ada barang yang tertinggal di kelas. Bisakah… kamu menemaniku ke sana?"



Kelas yang tadi dipakai untuk kafe cosplay, kini sudah rapi kembali dengan meja dan kursi tertata seperti biasa. Sampai rasanya festival budaya barusan hanya mimpi semata.


"…Yuu-kun. Maaf menunggu."


Saat aku melamun menatap sekeliling kelas, suara Yuuka membuatku buru-buru menoleh.


────Dan yang kulihat adalah sosok Yuuka yang berbeda. Rambutnya dilepas, kacamatanya sudah dilepaskan juga. Dengan senyum lembut seperti ketika di rumah, ia duduk manis di kursinya.


"Eh… kenapa kamu berdandan begitu? Terus, mana barang yang tertinggal itu?"


"Ehehe. Sebenarnya, aku tidak benar-benar meninggalkan barang, sih."


"…Hah? Jadi tadi bohong?"


"Bukan bohong juga, sebenarnya."


Apa-apaan ini, teka-teki Zen? 


Saat aku kebingungan, Yuuka melambaikan tangan memanggilku. Aku pun duduk di kursi sebelahnya sesuai isyarat. Lalu, Yuuka perlahan 

menatap ke atas, ke arah langit-langit kelas.


"…Barang yang tertinggal itu, sebenarnya ada di kelas waktu SMP dulu."


Suaranya terdengar jernih, nyaris tembus pandang, seperti suara Yuuna-chan. Senyumnya lembut, tenang, seakan danau yang hening. Semua sisi dari diri Yuuka seakan bercampur menjadi satu.


"Dulu… pergi ke sekolah rasanya sangat menakutkan. Aku selalu ketakutan, hampir setiap hari menangis, lalu mengurung diri di rumah. Dan… kenangan-kenangan yang seharusnya bisa kubuat banyak sekali di SMP, sepertinya kutinggalkan begitu saja di ruang kelas itu."


Lalu, ia menarik napas panjang sambil meregangkan tubuh, sebelum kembali menatapku.


“Festival budaya hari ini benar-benar menyenangkan… rasanya aku bisa sedikit melangkah maju. Karena itu, aku merasa… tak apa kalau tetap membiarkan kenangan itu tertinggal. Mulai sekarang aku akan menciptakan lebih banyak kenangan baru, jadi biarkan saja yang dulu terlupakan…”


“Begitu ya. Kalau begitu, mulai sekarang kita harus menikmatinya sepuas-puasnya.”


“Iya! Bersama Yuu-kun… ya!”


──── chu.


“………Hah!?”


Karena ciuman tiba-tiba itu, aku kaget dan sampai terjungkal jatuh dari kursi. Melihatku begitu, Yuuka malah tertawa, “Ahaha!” dengan wajah jahil, seperti biasanya—persis seperti Yuuna-chan yang polos dan ceria.


“Mulai sekarang, ayo kita buat banyak kenangan indah bersama. Dengan orang yang paling aku cintai di dunia ini… Yuu-kun!”




☆Informasi Pekerjaan Izumi Yuuna☆


Haa~… seru sekali ya, festival budaya tadi!


Sambil memeluk bantal erat-erat, aku tenggelam dalam suasana hangatnya suasana, lalu rebah begitu saja di sofa ruang tamu. Yuu-kun sedang mandi ♪ Begitu dia selesai, giliranku ♪


"Sudahlah, Yuuka. Kalau kamu berpenampilan berantakan begitu, nanti Yuu nii-san jadi ilfeel, lho?"


──Menyebalkan.


"Yuu-kun tidak akan membenciku hanya karena hal sepele begitu! Isami, kamu itu mirip sekali dengan ‘adik ipar cerewet’!!"


"Adik ipar cerewet! Lucu sekali, adik ipar cerewet!! Benar-benar cerewet!!"


"Maaf, Nayu-chan… bisa diam sebentar tidak? Kalau terus begitu, aku benar-benar marah."


Terpancing oleh provokasi Nayu-chan, Isami menaikkan sudut matanya di balik kacamata.


Pakaian santai yang dikenakannya berupa one-piece putih dan pink dengan renda. Kalau aku pribadi, aku lebih suka Isami yang imut begini, daripada Isami versi cross-dress sebagai laki-laki.


"Ngomong-ngomong, Isami. Bagaimana kabar Ayah dan Ibu?"


Aku bertanya sambil berguling malas di sofa.


"Ibu tidak berubah. Masih saja berkata, ‘Yuuka, jangan-jangan 

tunanganmu melakukan hal-hal yang melanggar hukum padamu!?’ … pokoknya masih terlalu protektif. Ahaha."


Ya ampun… Ibu itu. Dan kamu ketawa begitu, Isami, padahal sifat overprotektif itu jelas-jelas menurun darinya!


"Hmm… kalau Ayah? Oh iya, waktu pertama kali kamu bilang akan datang bersama keluarga untuk berkenalan, Yuu-kun sampai tegang sekali, lho?"


"Ahaha. Ayah sibuk sekali dengan pekerjaan, jadi sulit meluangkan waktu. Tapi sepertinya beliau tetap ingin sekali bertemu."


"Hmm, begitu. Tapi toh pada akhirnya, Ayahmulah yang memutuskan pernikahanmu dengan Yuu-kun, kan? Jadi, drama macam ‘Aku tidak akan menyerahkan putriku padamu!’ seperti di sinetron, jelas tidak mungkin terjadi. Yuu-kun sebenarnya tidak perlu khawatir."


"Ah… iya, benar juga sih."


Kami terus bercakap-cakap santai begitu, sampai…


──── Piriririririri♪


Tiba-tiba terdengar nada panggilan RINE dari ponselku.


"Hah? Siapa ya… eh, Ranmu-senpai!?"


Aku segera berlari ke lorong sambil membawa ponsel, lalu merapikan sikap tubuh sebelum menerima panggilan.


"Selamat malam, saya Izumi Yuuna!!"


『Maaf mengganggu di malam hari. Yuuna, apakah kamu punya waktu sebentar?』

"Y-ya! Tentu saja!!"


Hiii… deg-degan sekali.


Shinomiya Ranmu-senpai, dari agensi seiyuu yang sama denganku. Umurnya sebaya, bahkan debutnya hanya terpaut setengah tahun dariku… tapi auranya sangat berwibawa.


Aku sangat menghormati beliau. Tapi tetap saja, setiap kali berbicara lewat telepon, aku refleks merasa tertekan.


『Pertama-tama, selamat ya. Semoga ini bisa jadi langkah besar untukmu.Tapi…jangan sampai menghambatku.Aku harus menekankan bahwa kau harus benar-benar serius. Jangan sampai karena terlalu sibuk dengan “adikmu”, pekerjaan seiyuu-mu jadi terabaikan──』


"Eh? M-maksudnya… Ranmu-senpai, ini tentang apa ya?"


──── Hening. Suara Ranmu-senpai di seberang tiba-tiba terputus.

Beberapa saat kemudian, ia kembali bicara.


『…Yuuna. Kamu belum dengar soal acara yang akan datang dari manajermu?』


"S-sepertinya belum. Mungkin… karena tadi seharian ada acara, jadi ponselku mati. Bisa jadi manajer sudah coba hubungi saat itu."


『Begitu.Kalau begitu, nanti dengar langsung saja dari manajer.』


"Eh!? Tapi… setelah sejauh ini Senpai bicara, saya jadi penasaran! Tolong ceritakan, Ranmu-senpai!!"


『…Tidak. Hal-hal seperti ini harus disampaikan lewat jalur yang benar. Mengikuti prosedur itu penting. Tapi… yah, setidaknya aku 

bisa bilang, aku sangat menantikannya.』


──── tutup.


Aduh… memang Ranmu-senpai tidak mau membocorkannya, ya…


Kira-kira apa ya? Katanya tentang acara… mungkin pekerjaan baru? Aku tidak tahu pasti. Tapi──aku sudah mendapat kata-kata dari Ranmu-senpai: “Aku sangat menantikannya.”


Baiklah! Hari ini aku sudah berjuang di sekolah, jadi kali ini… aku juga akan berjuang di dunia seiyuu!!


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

0

Post a Comment

close