NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Ore no linazuke ni Natta Jimiko, Ie de wa Kawaii Shika nai Volume 5 Chapter 4

 Penerjemah: Miru-chan

Proffreader: Miru-chan


Chapter 4

Izinkan Aku Bercerita Tentang Natal di Keluargaku


“Entah kenapa, hari ini Nayu-chan terasa agak berbeda.”


Yuuka yang sudah masuk ke futon yang digelar di sampingku, bergumam pelan.


“Biasanya, dia selalu usil menjahilimu. Tapi tadi, Nayu-chan malah terlihat menahan diri terus. Sampai aku kaget, lho.”


“Iya, benar juga. Mengingat rekam jejaknya sudah selevel hukuman penjara seumur hidup. Kalau sampai berpura-pura menahan diri, rasanya malah seperti lagi merencanakan kejahatan besar, ya kan? ...Mau tidak mau, aku jadi curiga begitu.”


“Bukan begitu maksudku, lho!? Sebenarnya Yuu-kun itu menganggap Nayu-chan sebagai apa sih!?”


Bukan, aku rasa penggambaranku tidak salah.


Dia pernah bilang hal aneh seperti menyuruh kami bikin anak, lalu berusaha memaksakan situasi aneh. Atau menyusupkan pikiran aneh ke Yuuka, yang ujung-ujungnya bikin otakku mau meledak.


...Kalau dipikir lagi, benar-benar tidak ada hal berguna yang pernah dia lakukan. Penasaran deh dengan wajah orang tuanya. Aku yakin sekali, ayah macam itu pasti punya muka khas orang yang demi jabatan bisa menikahkan anak lelakinya dengan putri langganannya.


“Aduh, Yuu-kun ini. Memang betul sih, Nayu-chan agak suka menjahili dengan cara yang merepotkan, tapi... dia itu kan sebenarnya tsundere imut-imut yang sayang banget sama kakaknya.”

“...? Ahh. Jangan-jangan, kamu lagi ngomongin Nayu yang ada di fanfiksi?”


“Bukan! Ini tentang Nayu-chan yang asli!! Dia suka mengusik Yuu-kun itu karena dia benar-benar sayang sama Yuu-kun, kan!”


“Itu pendapatmu sendiri, kan?”


“Duh, keras kepala banget sih!!”


Entah kenapa aku malah dimarahi. Padahal kan Yuuka sendiri yang bilang aneh-aneh soal tsundere.


Bagiku, unsur dere dalam diri Nayu itu sama sekali tidak ada. Selamanya nol. 100% murni hasil ekstrak tsun.


Saat aku sedang berpikir begitu, Yuuka tiba-tiba memasang wajah serius. Dia lalu menyelubungkan seluruh tubuhnya sampai kepala ke dalam futon. Tapi tidak lama kemudian, ia mengintip lagi hingga mata dan berkata──


“...Aku adalah Tuhan.”


“Tiba-tiba kok jadi lawakan begini?”


“Ini bukan lawakan. Tuhan sedang bertanya padamu... saat telepon dengan Nayu-chan tadi, tidakkah menurutmu Yuuka-chan itu terlalu manja dan egois?”


“Ha? Waktu telepon dengan Nayu... oh, maksudmu saat kamu bilang mau tetap melakukan semuanya? Live, kencan dengan aku, plus pesta Natal dengan Nayu?”


“Betul... apakah kamu tidak jenuh dengan sikap manja Yuuka-chan? Tuhan khawatir akan hal itu.”

“Kenapa sih pakai pengaturan aneh begitu!? Dengar saja secara normal! Aku tidak pernah merasa begitu kok!”


“Ehehe... kalau begitu, Tuhan kembali dulu.”


Sosok yang mengaku Tuhan itu, alias Yuuka, kembali meringkuk dalam futon. Lalu kali ini, ia kembali muncul sampai sebatas leher.


“Eh? Seperti ada suara Tuhan yang terdengar...”


“Masih dilanjutkan toh perannya!? Aduh... pokoknya aku sama sekali tidak jenuh denganmu, jadi tenanglah.”


“Baiklah. Maaf yaa.”


Seolah lega mendengar jawabanku, Yuuka menjulurkan lidah kecil lalu tersenyum nakal. Setelah itu, kukira drama “Tuhan” sudah selesai──


“Tapi tahu tidak, aku merasa bukan hanya Nayu-chan yang berbeda hari ini... entah kenapa Yuu-kun juga terasa sedikit berbeda.”


Ucapan Yuuka yang tiba-tiba tepat mengenai inti, membuatku kehilangan kata sejenak.


“Se-selain itu?”


“Iya. Waktu tadi ada pembicaraan bahwa Nayu-chan mungkin tidak akan pulang, aku merasa sedikit saja... tapi Yuu-kun seperti menunjukkan wajah kesepian. Kalau aku salah, maaf ya.”


“...Tidak. Hmm... mungkin, memang benar begitu.”


Tatapan jernih Yuuka membuatku entah kenapa merasa ingin bicara lebih banyak. Tentang apa arti Natal bagi keluarga Sakata.


“Natal itu hari yang istimewa. Baik untuk Nayu... maupun untukku.”



──Hingga kelas empat SD, Nayu punya karakter yang sama sekali berbeda dari sekarang.


“Nee, Onii-chan! Lihat, lihat!! Aku sudah bisa menari Koi Koi Dance, tahu!”


“Ah, iya. Banyak anak perempuan di kelasku juga sering melakukannya di koridor, itu Koi Koi Dance kan.”


Waktu itu aku sudah kelas satu SMP. Benar-benar masa kelam... masa di mana aku sedang sangat besar kepala. Aku suka manga dan anime, tapi karena bisa ngobrol akrab dengan laki-laki maupun perempuan, aku merasa diriku ini──seorang otaku tapi sekaligus populer. 


Singkatnya, “manusia keren”. Kalau ingat, rasanya pengin mati saja.


“Anak-anak perempuan lain? Aku tidak suka! Aku kan lebih imut, kan? O~nii~cha~n!!”


“Jangan tarik bajuku, Nayu! Nanti melar! Gini ya, aku ini sudah SMP, tahu. Anak-anak perempuan SMP itu... sudah punya yang namanya aura dewasa, tahu!”


“Hmmph! Tapi tetap saja, tidak bisa mengalahkan yang muda, kan! Nih, kulitku lebih halus, tahu!?”


...Kalau kuingat sekarang, aku sendiri sampai berpikir, “Ini siapa sebenarnya?”


Cerewet. Manja. Suka sentuhan fisik. Dia selalu menunjukkan sikap “Aku imut, kan?” baik ke keluarga maupun teman-temannya. Kalau rambutnya waktu itu, panjangnya kira-kira sama dengan rambut Yuuka sekarang. Poni dan dua sisi rambutnya dipotong rata──gaya yang disebut hime cut. Bajunya juga beda dengan sekarang, waktu itu dia sering mengenakan pakaian serba pink penuh rumbai. Dengan karakter seperti itu, Nayu waktu kelas rendah SD benar-benar populer. 


Tapi... ketika memasuki kelas tinggi SD──perlahan-lahan, sikap seperti itu mulai dianggap... “menyebalkan”. Anak laki-laki yang berisik mulai mengejeknya dengan sebutan “berlagak imut”. Sementara sebagian kelompok anak perempuan menuduhnya “menjilat anak laki-laki.” Hal-hal semacam itu... mulai semakin sering terjadi.


"Hoi, Nayu. Makan malam sudah siap," kataku sambil mengetuk pintu kamar Nayu.


"…Mama sudah pulang?"


"Katanya hari ini juga pulang terlambat karena kerja. Jadi, makan malamnya mi instan."


"…Tidak mau. Aku sedang diet."


Setelah itu, Nayu tidak menjawab lagi.


Saat aku hendak menyerah dan turun tangga, terdengar suara ayah dari bawah, sepertinya sedang menelepon.


"…Apa? Tidak bisa pulang? Aku tahu kamu sibuk, tapi… bukan begitu maksudku…"


Ah… lagi-lagi orang tua ribut, ya.


Mendadak aku merasa hambar, jadi kupikir aku juga tidak usah makan malam, lalu kembali ke lantai dua. Aku berhenti di depan kamar Nayu, 

lalu berkata:


"Hei, Nayu. Keluarlah sebentar… tarian Koi Koi Dance itu? Ayo tunjukkan lagi. Kamu kan sudah semakin jago."


"…Aku tidak akan menari lagi."


Dengan suara yang hampir menangis, Nayu berbisik pelan. Sejak semakin sering diejek di sekolah, ia mulai lebih sering mengurung diri di kamar. 


Kebetulan pada waktu itu, hubungan ayah dan ibu juga sedang kacau. Bagi Nayu, baik rumah maupun sekolah… tidak ada lagi tempat yang bisa memberinya rasa aman. Dan akhirnya, tepat sebelum libur musim dingin—Nayu berhenti berangkat ke sekolah.



"Nayu-chan juga… pernah tidak masuk sekolah?" tanya Yuuka, matanya mulai basah di ujungnya.


"Memang tidak terlalu lama. Aku bahkan lebih sebentar. Kalau dibandingkan dengan luka yang Yuuka alami… masalahku dan Nayu itu tidak seberapa—"


"Tidak ada yang namanya luka hati besar atau kecil!" ucap Yuuka tegas.


"Lagipula, bukan hanya Nayu-chan saja… Yuu-kun juga pasti merasa berat, kan? Kalau Nayu-chan murung dan suasana rumah juga kacau… pasti kamu merasa kesepian, kan?"


"Ah… yah, mungkin… iya."


Aku ingin terlihat kuat, tapi tidak bisa. Karena Yuuka, seakan-akan menggantikanku, hampir menangis mendengar ceritaku.


Sejak Nayu berhenti sekolah, ia semakin jarang keluar kamar. Yang dulu ceria dan banyak bicara, sekarang menjadi diam.


Ayah dan Ibu juga sering tegang.


Benar juga… seperti yang Yuuka bilang, mungkin aku sendiri juga merasa sepi. Karena itu, aku berusaha melakukan sesuatu dengan caraku sendiri. Saat itu aku masih kelas satu SMP—dan aku nekat mengambil tindakan.


"Nayu. Aku masuk ya."


"Hah? Eh, tunggu… Onii-chan, jangan asal masuk gitu aja!"


Tanpa izin aku membuka pintu, lalu masuk ke kamarnya. Dengan panik, Nayu yang masih memakai piyama langsung melompat ke dalam selimut, menggulung diri seperti kepompong.


"…Rambutmu berantakan sekali."


"Sudahlah… percuma menatanya rapi, toh ujung-ujungnya cuma diejek lagi."


"Kalau begitu, bagaimana kalau coba bergaya keren? Siapa tahu malah cocok."


"…Mau pakai gaya apa pun, tetap saja percuma. Tidak akan ada gunanya."


Tanpa menampakkan wajah, Nayu menjawab lirih. Lalu—suaranya pecah, terdengar hampir menangis.


"Aku ini dibenci. Jadi meski aku berubah jadi 'Nayu' yang seperti apa 

pun… tidak akan ada yang mau menyukaiku!"


"──Omong kosong itu!"


Kata-katanya membuatku tersulut emosi. Aku pun menarik selimut yang menutupi tubuhnya. Di sana, Nayu menggigil, wajahnya basah oleh air mata.


"B-bodoh! Jangan lihat aku! Jangan lihat aku seperti ini…!"


"Apa maksudmu tidak ada yang akan menyukaimu? Lalu bagaimana dengan aku? Apa menurutmu aku akan membencimu, bagaimanapun dirimu!? Tidak mungkin!"


Mataku memanas, tapi aku tahan sambil bersuara parau:


"Nayu tetaplah Nayu. Baik sekarang maupun nanti… bagiku, kamu selalu adik yang berharga. Itu tidak akan pernah berubah, sama sekali tidak."


"…Onii-chan…"


Aku lalu menaruh tanganku di kepalanya. Sama seperti saat ia masih kecil, aku mengusapnya pelan sambil berkata:


"Ngomong-ngomong, sebentar lagi Natal, kan? Tahun ini akan kubuat semeriah mungkin, jadi tunggu saja. Tahun ini, tahun depan, dan seterusnya… setidaknya Natal harus kita rayakan bersama keluarga, oke?"


──Dan setelah tahun berganti, saat semester baru dimulai.


"…Kalau begitu, Nii-san, aku berangkat."


Nayu yang saat libur memotong pendek rambutnya, dengan suara 

lugas berkata begitu—lalu kembali berangkat sekolah.



"Sejak saat itulah, Nayu mulai jadi gadis yang suka bicara ketus, dan penampilannya jadi boyish."


Padahal dulu sering bilang, 'Aku mau menikah dengan Onii-chan!'—benar-benar perubahan yang ekstrem.


Aku sih tidak masalah dengan Nayu yang seperti apa pun, hanya saja… semoga setidaknya dia tidak usil dengan cara yang bikin repot.


"Ya, jadi karena waktu itu aku janji, sejak itu kami selalu menganggap Natal sebagai 'acara keluarga'. Apalagi tak lama setelah itu, ayah dan ibu bercerai, jadi semakin terasa penting… Natal setidaknya harus dirayakan bersama. Baik aku maupun Nayu sama-sama berpikir begitu."


Tapi, tetap saja, anak itu… bilang tidak akan pulang saat Natal. Entah apa yang dipikirkannya.


──Saat aku memikirkan itu, tiba-tiba Yuuka menyusup ke dalam selimutku dan memelukku erat.


"Heh!? Yuuka, kamu kenapa──"


"Yuu-kun juga… Nayu-chan juga… pasti sudah banyak menderita ya… kalian sudah berusaha keras sekali…!"


Sambil menangis deras, Yuuka memelukku erat-erat. Lalu, seperti yang kulakukan pada Nayu saat SMP, Yuuka pun mengelus kepalaku dengan lembut.


"Semoga Yuu-kun dan Nayu-chan bisa tersenyum, dan merayakan Natal bersama lagi tahun ini…"

Awalnya aku ingin menjauh karena malu. Tapi tubuh Yuuka hangat, lembut, dan aroma yang menenangkan terasa begitu akrab.


Entah kenapa… aku jadi tidak ingin berpisah.


Akhirnya aku pasrah, membiarkan tubuhku dalam pelukannya. Dan dengan hati yang lebih tenang dari biasanya—aku pun tertidur.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close