Penerjemah: Chesky Aseka
Proffreader: Chesky Aseka
Chapter 1
Perkumpulan yang Gugur
Di hadapan kami terbentang dataran luas dan kering sejauh mata memandang. Matahari senja telah mewarnai lanskap dengan semburat jingga di lantai lima belas dungeon. Kano dan aku berada di sini untuk melakukan penyerbuan.
Berbeda dengan lantai sepuluh hingga empat belas yang terdiri dari lorong-lorong berliku dan terowongan yang sempit, lantai lima belas merupakan area terbuka tanpa halangan apa pun yang mengganggu pandangan kami. Meskipun begitu, tempat ini jelas bukan lokasi yang nyaman untuk duduk dan menikmati pemandangan. Dari kejauhan, kami bisa melihat monster undead yang merayap di antara bukit-bukit kecil dan batu nisan yang mulai runtuh. Mayat para penjahat yang digantung bergoyang perlahan di bawah pepohonan tanpa daun yang berjajar di sepanjang jalan, berlatar langit senja berwarna merah darah—pemandangan yang benar-benar meresahkan.
Kano mengamati sekitar dan mengernyit, tampak tidak nyaman. “Aku... um, tidak yakin ingin datang ke sini sendirian...”
“Kamu akan baik-baik saja di levelmu, tapi aku mengerti maksudmu,” sahutku.
Menghabiskan waktu di antara gerombolan monster undead jelas bukan pengalaman yang menyenangkan. Namun, ada tempat berburu yang menguntungkan di lantai ini, lengkap dengan gerbang, jadi kami akan sering datang ke sini. Dia hanya perlu membiasakan diri.
“Kak, wraith-nya menuju ke arah kita!” seru Kano.
“Itu sebenarnya hantu, satu tingkat di atas wraith,” jelasku. “Hantu punya ketahanan sihir lebih tinggi daripada wraith biasa, tapi tetap bukan tandingan kita.”
Makhluk yang mendekat itu berwujud sosok transparan berwarna putih menyerupai manusia. Serangan utamanya adalah Drain Touch, kemampuan yang menyedot energi kehidupan jika berhasil menyentuhmu. Serangan fisik akan menembus tubuhnya tanpa menimbulkan dampak apa pun. Namun, mereka masih cukup mudah dikalahkan dengan serangan sihir karena gerakan mereka yang lamban.
“Kita akan mengalahkannya dengan sihir, seperti rencana kita!” seruku.
“Oke!”
Kano baru mempelajari Fire Arrow, jadi kami menggunakan kesempatan ini untuk melatih dasar-dasar sihirnya. Karena kecepatan proyektilnya yang lambat, musuh bisa dengan mudah menghindari Fire Arrow jika ditembakkan dari posisi diam dalam jarak jauh. Oleh karena itu, diperlukan cara untuk meningkatkan kecepatannya, seperti berlari agar proyektil terdorong oleh momentum tubuh, atau melancarkannya dengan gerakan melempar.
Namun, menembakkan proyektil dengan cepat tidak serta-merta meningkatkan kekuatannya. Entah mengapa, dalam sihir, tidak ada hubungan antara kecepatan dan energi kinetik, bahkan ketika sihir tersebut melibatkan objek yang memiliki massa. Fenomena sihir tidak bisa dilihat dari sudut pandang fisika biasa. Menyalurkan lebih banyak mana ke dalam panah bisa meningkatkan daya serangnya. Menambahkan mana lebih banyak bukanlah cara yang paling efisien untuk menggunakannya, walau panah itu bisa menjadi alat yang kuat di saat yang tepat. Kamu harus mempertimbangkan statistik kecerdasanmu saat ini, total mana yang tersedia, serta tingkat ketahanan lawan untuk menentukan jumlah mana yang optimal. Satu-satunya cara untuk menguasainya adalah dengan latihan.
Menggunakan Automatic Activation, Kano melancarkan Fire Arrow. Sekumpulan api sebesar bola pingpong muncul di tangannya, lalu ia melemparkannya ke arah hantu itu. Proyektil itu melesat di udara dengan kecepatan lebih dari dua ratus kilometer per jam, menghantam salah satu kaki hantu tersebut.
“Aku mengenainya!” seru Kano senang. “Oh, tapi dia belum mati. Atau, yah, tidak lebih mati dari sebelumnya, kurasa.”
“Kamu membuatnya terhuyung,” kataku. “Gunakan pedang itu untuk menghabisinya.”
Kano menebas hantu itu dengan The Sword of Volgemurt di tangan kanannya. Pedang satu tangan spesial yang dijatuhkan oleh bos lantai tujuh, Volgemurt, memiliki kemampuan menyerap HP dari targetnya, tetap bisa melukai lawan yang kebal terhadap serangan fisik. Walaupun tidak sekuat senjata elemental, pedang ini masih cukup efektif jika digunakan berkali-kali untuk memberikan jumlah kerusakan yang sama.
Setelah tebasan keempat Kano, hantu itu menjerit nyaring sebelum menghilang menjadi butiran cahaya di udara. Sebuah permata sihir sebesar beberapa sentimeter jatuh ke tanah.
“Ooh, yang ini besar,” gumam Kano. “Warnanya juga cantik. Berapa harganya? Berapa nilainya?!”
“Di guild, harga pasarnya enam ribu yen per biji,” jawabku.
“Enam ribu sekali jual?! Hoho, kita bakal pesta daging sapi mahal di hot pot malam ini!”
Begitu menyadari betapa berharganya permata sihir itu, adikku yang selalu perhitungan soal uang langsung pulih dari ketakutannya terhadap monster menyeramkan. Bahkan, kini dia tampak bersemangat untuk melanjutkan penyerbuan. Permata sihir yang dijatuhkan monster di lantai lima belas jauh lebih mahal dibandingkan lantai sebelumnya. Keuntungan tetap besar meskipun harus dibagi dalam tim penyerbuan yang besar.
“Jadi, kita akan menyerbu di mana sekarang?” tanya Kano.
“Sebuah tempat eksekusi bernama ‘Perkumpulan yang Gugur’.”
“Tempat ekse— Serius, kita harus ke sana...?”
Dahulu, seorang baron beserta semua kesatrianya dieksekusi di tempat itu atas tuduhan palsu. Bahkan setelah kematian, baron tersebut masih menyimpan dendam terhadap tuduhan yang tidak adil, hingga akhirnya ia bangkit kembali sebagai monster undead.
Pengembang DEC menambahkan tempat eksekusi ini dalam sebuah DLC, sehingga kemungkinan besar sebagian besar orang di dunia ini tidak mengetahuinya. Dengan kata lain, tempat itu bisa sepenuhnya menjadi milik kami. Selain itu, ada beberapa alasan lain mengapa Perkumpulan yang Gugur merupakan lokasi penyerbuan yang bagus.
“Monster hanya akan muncul di beberapa titik tertentu,” jelasku. “Saat mereka muncul, mereka perlahan merayap keluar dari tanah. Itu membuat kita mudah mendapatkan serangan pertama. Beberapa orang menyebutnya sebagai permainan pukul tikus.”
“Pukul tikus?” ulang Kano. “Mereka muncul dan menghilang seperti di permainan itu?”
Dua jenis monster akan muncul di sana, keduanya level 16. Ada para kesatria tengkorak yang membawa perisai besar dan pedang satu tangan, serta prajurit mayat hidup yang mengayunkan pedang dua tangan. Mereka satu level lebih tinggi dibandingkan rata-rata monster di lantai lima belas, tapi tetap bukan tandingan bagi Kano dan aku yang sudah mencapai level 19.
Jika kami bisa mengumpulkan dua belas salinan dari barang tertentu yang dijatuhkan monster-monster itu, kami bisa meletakkannya di tengah Perkumpulan yang Gugur untuk memanggil monster spesial bernama Bloody Baron, yang membuat segalanya jadi lebih menarik.
“Bloody Baron... Aku menebak dia itu baron yang dieksekusi?” gumam Kano.
“Tepat,” jawabku. “Dia menjatuhkan barang yang bisa kita tukarkan dengan dua puluh lir di Toko Nenek. Para kesatria yang muncul bersamanya juga menjatuhkan perlengkapan dari paduan mithril, meskipun biasanya dalam kondisi rusak.”
“Rusak? Terus, buat apa kita mengumpulkan barang rongsokan?”
Para kesatria itu memang menjatuhkan zirah penyok dan senjata bengkok dengan bilah tumpul. Tak satu pun yang cukup bagus untuk langsung digunakan, tapi kandungan mithrilnya yang tinggi bisa dilebur kembali untuk menempa perlengkapan paduan mithril berkualitas tinggi. Tujuan utama penyerbuan kali ini adalah mengumpulkan koin dungeon dan mithril dari lokasi eksekusi, agar kami bisa mendapatkan perlengkapan yang bisa dipakai di lantai dua puluh dan seterusnya.
Saat kami berjalan melewati perbukitan landai, menghabisi setiap hantu yang mendekat dengan sihir, langit senja tiba-tiba menggelap. Awan hitam pekat berputar membentuk pusaran raksasa di atas kami. Kami telah memasuki zona DLC, tempat segala sesuatu terasa lebih suram. Angin kencang melolong di antara pepohonan mati dan tumbuhan layu. Dari kejauhan, aku bisa melihat sesuatu yang tampak seperti lahan pertanian yang dikelilingi pagar setinggi lima puluh meter. Dan di sanalah tujuan kami berada—tempat eksekusi yang disebut Perkumpulan yang Gugur.
Aku dan Kano mendekati pagar untuk mengamati apa yang ada di dalamnya. Tak ada bangunan atau struktur apa pun di sana, hanya beberapa gundukan tanah kecil yang tampak menonjol.
“Aku tidak melihat petualang lain,” ujarku. “Jadi sepertinya tempat ini bisa jadi milik kita sepenuhnya.”
“Untuk tempat yang disebut Perkumpulan yang Gugur, daftar tamunya kelihatan cukup sepi,” kata Kano. Mungkin dia mengira akan ada lebih banyak monster di dalamnya, bukan hanya dua undead yang terlihat mondar-mandir.
Intuisinya setengah benar. Monster di tempat eksekusi ini akan muncul dengan cara tertentu—selalu ada dua monster aktif dalam satu waktu. Begitu salah satu terbunuh, yang lain akan muncul menggantikannya. Namun, monster-monster itu akan perlahan menggali jalan keluar dari dalam tanah. Selama kami bisa mengatasi monster yang sudah aktif lebih dulu, membunuh mereka dalam keadaan tak berdaya akan jadi tugas yang mudah.
Di DEC, para pemain telah menemukan cara sederhana untuk menyerbu area ini: setiap pemain akan berkemah di salah satu dari dua belas titik tetap tempat monster bisa muncul, lalu langsung membunuh mereka begitu mereka merangkak keluar. Karena hanya ada dua orang, aku dan Kano akan sedikit lebih kesulitan. Kami harus berlari ke arah monster begitu mereka muncul. Namun, selama kami mengambil jeda secara berkala untuk menghemat stamina, seharusnya kami baik-baik saja.
“Yang paling dekat dengan kita, yang membawa perisai itu, adalah skeleton knight,” jelasku pada Kano. “Yang lebih berdaging di belakangnya adalah corpse warrior.”
“Dan kamu bilang skeleton knight bisa menggunakan salah satu kemampuan Knight, kan?” tanyanya.
“Benar, mereka akan menggunakan Shield Bash padamu. Itu serangan yang harus kamu waspadai. Jika terkena saat kemampuan itu aktif, kamu tidak akan bisa bergerak selama beberapa detik.”
“Baiklah.”
Kami meletakkan barang bawaan dan bersiap untuk bertarung, mengenakan ransel berisi senjata khusus yang telah kami bawa untuk kesempatan ini. Penyerbuan kali ini hanya uji coba untuk melihat bagaimana hasilnya, jadi aku tidak terlalu khawatir untuk tampil sempurna.
“Aku akan menghadapi corpse warrior, kamu hadapi skeleton.”
“Oke,” jawab Kano.
Aku memberi isyarat, dan kami melesat ke arah monster. Kano berlari lebih cepat dariku, tiba di targetnya satu detik lebih dulu. Skeleton-nya mencoba menangkis serangan awalnya dengan perisai, tetapi Kano dengan gesit bergerak ke titik butanya dan melepaskan tebasan. Perbedaan level di antara mereka terlalu besar, jadi Kano bisa mengalahkannya tanpa kesulitan.
Lawan yang aku hadapi adalah corpse warrior, yang menyeret pedang panjangnya di atas tanah saat berjalan. Pedang itu lebih lebar dan berat dibanding pedang satu tangan, tetapi monster level 16 cukup kuat untuk mengayunkannya hanya dengan satu tangan.
Corpse warrior itu menyadari keberadaanku dari jarak tiga puluh meter, lalu menggeram dan berlari ke arahku. Dalam sekejap, ia telah mendekat hingga lima meter dariku, lalu mengayunkan pedangnya ke atas, menyeretnya di tanah hingga pasir dan debu berhamburan di udara. Dengan menilai arah serangan dengan tepat, aku menghindar dan melemparkan Fire Arrow dengan gerakan samping. Meskipun postur pelemparanku tidak biasa, Fire Arrow tetap melesat jauh lebih cepat dibanding lemparan manusia biasa. Seranganku menghantam sisi tubuh corpse warrior, cukup untuk membuatnya lebih dari sekadar terhuyung. Itu sudah cukup bagiku. Sekarang, giliranku.
Aku langsung mendekat sebelum monster itu bisa memulihkan diri dan mengaktifkan kemampuan senjataku. Corpse warrior itu berusaha mati-matian menangkis dengan pedangnya, tetapi sudah terlambat.
“Biarkan ini membelahmu menjadi dua! Slash!”
Aku menggunakan Slash, kemampuan senjata pertama yang dipelajari oleh seorang Fighter. Kariya juga pernah menggunakan ini dalam duel. Karena dia menggunakan Slash dengan pedang panjang, jangkauannya lebih jauh dan serangannya lebih kuat, tetapi waktu aktivasinya lebih lama. Sedangkan aku menggunakan Slash dengan pedang tipis dan ringan di tangan kananku, memungkinkan waktu aktivasi kemampuan menjadi hampir seketika.
Monster itu terlalu lambat untuk melindungi dirinya sepenuhnya, dan Slash-ku menembus sisi kirinya yang tak terlindungi. Aku membelah tubuh corpse warrior itu tepat di bagian pusar. Kedua belahannya jatuh ke tanah sebelum berubah menjadi permata sihir.
Aku melirik ke belakang dan melihat skeleton knight juga telah berubah menjadi permata sihir. Kano sudah menghabisinya dalam sekejap.
“Bagus. Monster berikutnya akan muncul dalam tiga puluh detik, jadi bersiaplah untuk menebas mereka lagi,” ujarku.
“Aku mengerti kenapa kamu menyebutnya pukul tikus! Kita hanya perlu menghantam mereka dengan senjata besar ini, kan?” seru Kano.
Kano mengeluarkan gada sepanjang satu meter dari ranselnya. Gada itu adalah Morning Star, sejenis gada dengan bola berduri berat yang terpasang pada gagangnya. Orang biasa akan kesulitan membawa senjata seberat dua puluh kilogram ini. Namun, adikku cukup kuat untuk mengayunkannya dengan satu tangan, meskipun membuat tubuhnya sedikit terhuyung. Gada itu begitu besar hingga bisa bertahan meskipun diperlakukan dengan kasar, meskipun baja yang digunakan tidak terlalu kuat.
Tempat eksekusi ini adalah lokasi penyerbuan yang luar biasa karena kita bisa menyerang musuh saat mereka benar-benar tak berdaya, masih merangkak keluar dari tanah. Namun, jika mereka berhasil keluar, kita harus bertarung dengan benar, jadi serangan kita harus memastikan mereka tewas sebelum sempat bangkit. Senjata tumpul berat lebih efektif daripada pedang untuk menghabisi musuh yang mengenakan zirah dengan cepat.
Aku mengambil Morning Star milikku dan mencoba mengayunkannya dengan satu tangan. Aku lebih dari cukup kuat untuk membawa senjata berat ini, tapi aku harus mencengkeram tanah setiap kali mengayunkannya, atau tubuhku akan ikut terangkat. Aku perlu sedikit latihan untuk menguasai tekniknya.
Sementara aku memikirkan hal itu, aku melihat sebuah tangan berbalut tulang mencuat dari tanah di kananku. Kemungkinan besar itu adalah skeleton knight.
“Ia muncul, Kak!”
“Perhatikan baik-baik, Kano. Begini caranya.”
Tangan tengkorak itu mencakar tanah saat monsternya berusaha keluar. Monster-monster ini membutuhkan sepuluh detik untuk muncul sepenuhnya, persis seperti di dalam permainan. Aku mengangkat gadaku tinggi-tinggi dan menghantam musuh tak berdaya itu sekuat tenaga.
“Terima ini!!!”
Sebuah awan debu besar mengepul saat senjataku mendarat dengan dentuman keras. Tulang-tulang kesatria itu terpencar di tanah sebelum perlahan menghilang, meninggalkan permata sihir sebagai satu-satunya sisa keberadaannya.
Serangan itu tidak memberikan tekanan sebesar yang kuperkirakan pada tanganku, mungkin karena tanahnya lunak atau peningkatan fisikku lebih kuat dari yang kuduga. Berkat ini, aku tahu bahwa aku bisa memberikan lebih banyak tenaga pada seranganku dengan gada jika memang diperlukan. Tapi sepertinya itu tidak perlu. Seranganku yang pertama saja sudah cukup untuk membunuhnya dalam satu pukulan.
Monster-monster ini memiliki kemungkinan kecil untuk menjatuhkan usus terkutuk, barang pencarian yang diperlukan untuk memanggil Bloody Baron. Namun, monster yang baru saja kami bunuh tidak menjatuhkan apa pun. Tentu saja, kami tidak akan seberuntung itu dalam sekali percobaan.
“Wow, itu luar biasa! Oh, lihat, ada satu yang muncul di sana!”
“Ayo terus habisi mereka dan lihat bagaimana hasilnya. Oh, ada satu lagi yang muncul di hadapanku juga.”
Dentuman serangan kami bergema di sepanjang lokasi eksekusi yang suram saat kami berlari ke sana kemari selama beberapa jam berikutnya, menebas setiap monster yang muncul dari dalam tanah.



Post a Comment