Penerjemah: Noire
Proffreader: Noire
Chapter 6
Ketenangan Sebelum Badai
Kamis.
Aku perlahan membuka mataku, diterangi sinar matahari dari balik tirai.
Aku menguap, lalu mengenakan kemeja yang sudah terlipat di atas meja.
"Selamat pagi, Senpai. Sudah jam delapan lebih, lho."
"Pagi. Rinka-chan cepat sekali. Padahal kemarin kita tidur larut."
"Aku beda dari Senpai. Aku sudah terbiasa bangun jam tujuh."
"Enaknya..."
Pagi adalah musuhku.
Meskipun aku pasang alarm, aku punya kebiasaan mematikannya tanpa sadar. Aku tidak bisa mengubahnya.
"Mau sarapan? Kalau mau, aku buatkan yang gampang saja."
"Hmm... Aku tidak terlalu lapar. Lagian sudah tidak ada waktu."
Aku mencuci muka, lalu merapikan rambutku yang berantakan.
Rinka mengeluarkan parfum dari tasnya dan menyemprotkannya ke pergelangan tangannya.
"Senpai mau pakai parfum juga? Kemarin cuma sekali itu, kan?"
"Aku tidak usah. Rasanya aku sudah pakai sesuatu yang lebih dari parfum."
"Ayo, jangan malu. Nih!"
"Hei, hei."
Tangan Rinka yang agak dingin menyentuh leherku.
Aku terlonjak dan wajahku menegang. Sepertinya aku harus memberinya sedikit ceramah.
"Rinka. Apa kamu sadar kita sedang melakukan hal yang 'abu-abu'? Kehidupan kita sekarang bisa hancur karena hal kecil. Kita tidak perlu mengambil risiko yang tidak perlu."
"Ini tidak seberapa kok. Lagian, bukankah ini salah Senpai yang melakukan hal yang tidak bisa diceritakan pada orang lain? Apalagi yang kemarin—"
Uhuk! Aku batuk keras untuk menghentikan Rinka.
Setelah selesai merapikan rambut, aku mulai berganti seragam.
"Eh? Kamu tahu kardiganku di mana?"
"Iya, ini dia."
Rinka melepas sebagian blazernya, memperlihatkan kardigan abu-abu gelap.
Itu kardigan yang biasa kupakai di atas kemeja.
"Kenapa kamu pakai?"
"Aku ingin memakai barang pacarku... Tapi sebenarnya,"
Senyum ramah Rinka berubah datar. Dia menunjuk ke belakangku.
"Ini karena sweaterku kusut gara-gara seseorang. Aku tidak punya setrika. Senpai tidak akan menyuruhku melepasnya, kan?"
"T-tolong, ambil saja kardigan itu."
Aku menunduk hormat, seperti saat berdoa di kuil. Wajahku terasa panas.
"Kemarin aku sudah menuruti perkataan Senpai, jadi sekarang Senpai yang harus menuruti perkataanku."
"Apapun yang kau perintahkan."
"Oke. Kalau begitu, sepulang sekolah hari ini, kita beli ini."
"...Kalung?"
Aku mengerutkan kening saat melihat layar HP Rinka.
Sebuah kalung dengan dua pilihan warna, emas dan perak. Ada cincin kecil di liontinnya.
"Akhir-akhir ini, ini lagi tren di sekolah. Katanya kalau sepasang kekasih pakai ini, mereka akan bersama selamanya."
"Oh, oke. Ayo kita beli."
"Apa Senpai tidak bersemangat...? Harganya tidak murah, lho."
"Tidak kok. Aku memang ingin punya sesuatu yang sama dengan Rinka. Bukan karena jimat, tapi aku memang ingin bersamamu selamanya."
Aku mengatakannya dengan santai, dan wajah Rinka memerah.
"I-itu curang. Senpai ini. Aku sayang banget sama Senpai!"
Aku tidak bermaksud apa-apa, tapi sepertinya kata-kataku menyentuh hatinya.
Rinka yang malu-malu itu sangat menggemaskan, jadi aku memeluknya.
"Aku juga sayang kamu, Rinka."
"Aku lebih sayang Senpai."
Rinka membalas pelukanku dan membantah dengan suara pelan. Karena kami bermesraan, kami hampir terlambat.
※
Jam pelajaran pertama dimulai.
Ada seseorang yang mendekatiku.
"Toshiya. Kamu menggunakan cara yang sangat keras."
Shintarou menghela napas dengan suara lemah.
Dia tidak masuk sekolah hari Selasa dan Rabu, tapi hari ini dia datang.
Aku tidak tahu apa yang Rinka katakan, tapi dia pasti tahu apa yang sudah dia lakukan.
"Aku sudah membantu Toshiya. Kenapa kamu melakukan ini?"
"Airi tidak masuk sekolah. Dia sudah 'lumpuh'."
"Apa kamu harus menceritakan semuanya ke ibuku juga?"
"Aku rasa tidak baik kalau informasi orang tua berbeda."
"Apa cuma itu alasannya?"
"Kalau ada alasan lain, mungkin karena aku rasa itu adalah hal yang paling tidak ingin kamu alami."
Setelah putus dengan Airi, aku tidak mau berhubungan lagi dengan mereka berdua.
Aku tidak ingin menyakiti atau mengganggu mereka.
Tapi mereka mengancamku. Aku bukan orang baik yang bisa diam saja.
Kami sudah berteman lama. Aku tahu apa yang membuatnya senang dan tidak senang.
"Apa untungnya membuatku kesal? Aku bisa saja melaporkanmu pada sensei, kalau kamu dan Rinka tinggal bersama."
"Kamu tidak kapok? Apa kamu juga mau tidak punya tempat di sekolah?"
Aku langsung membalasnya.
Aku sudah menduga Shintarou akan mengancamku. Makanya, aku juga punya senjata. Airi sudah putus asa, tapi Shintarou belum. Dia tidak mau reputasinya buruk di sekolah.
"...Aku seharusnya tidak membantumu."
Dia bergumam dan kembali ke tempat duduknya.
Mungkin dia tidak akan menggangguku lagi. Airi yang tidak masuk sekolah juga.
Takuya-san pasti akan mengarahkan anaknya ke jalan yang benar.
※
Setelah pulang sekolah.
Kami selesai belanja di mal dekat rumah, lalu berjalan di area perumahan.
Rinka memainkan kalung yang kami beli dan tersenyum bahagia.
"Senpai. Jangan pernah selingkuh ya."
"Tidak akan. Kenapa tiba-tiba?"
Rinka melingkarkan tangannya di lengan kiriku dan menatapku.
"Aku sangat bahagia sekarang. Aku tidak ingin kehilangan ini. Jadi tolong jangan lakukan hal yang bisa menghancurkan hubungan ini."
"Aku juga. Lagian, mana mungkin aku selingkuh kalau pacarku semanis Rinka."
"Senpai tidak tahu. Orang yang biasa makan makanan mewah tiba-tiba ingin makan makanan cepat saji."
"Jadi kamu mengaku kalau kamu makanan mewah?"
Aku tersenyum masam, dan Rinka mendengus bangga.
"Iya. Aku sadar aku manis. Aku berusaha untuk itu. Apa Senpai lebih suka yang merendah diri, 'Aku tidak cantik'?"
"Ada maksud tersembunyi, Rinka."
Aku tahu betapa sakitnya diselingkuhi.
Aku tidak akan pernah membiarkan Rinka merasakan hal itu. Karena aku sudah pernah mengalaminya, aku bisa mengatakannya dengan yakin.
"Kalau begitu, aku yang khawatir. Aku tidak tampan, tidak punya bakat..."
"Mungkin benar."
"Kenapa tidak bohong saja?"
"Tapi, aku... aku tidak akan pernah mengkhianati Senpai. Aku sangat, sangat mencintai Senpai. Aku tidak akan pernah melepaskanmu."
Melihat senyum tulusnya, wajahku memerah.
Cintanya terlalu besar. Itu membuatku bertanya-tanya.
"Wajah Senpai menunjukkan kalau kamu bingung kenapa aku sangat mencintaimu."
"Apa wajahku terlihat jelas? Menakutkan sekali kamu bisa membaca pikiranku."
"Hehe. Kamu pikir seberapa sering aku memperhatikanmu? Ini mudah."
"Serius?"
"Serius."
Benar juga, Rinka selalu tahu kalau aku sedang sedih.
Aku senang dia peduli, tapi kadang terlalu tahu juga membuatku malu.
"Karena kita di sini, aku akan beritahu kenapa aku suka Senpai. Kebetulan, ini taman tempat kita pertama kali bertemu."
"Hah? Oh, iya."
Sebuah taman sederhana di tengah perumahan. Hanya ada perosotan dan bangku.
Aku dan Rinka duduk di bangku tua.
"Aku harus mulai dari mana... hmm."
Rinka menaruh jarinya di dagunya, lalu mulai menceritakan masa laluku.
※
(POV Rinka)
Aku tahu aku bukan anak kandung ibuku saat hari kelulusan SD.
Saat makan bersama keluarga, ibuku mengalami kecelakaan saat melindungiku, dan dibawa ke rumah sakit.
Petugas medis bertanya golongan darah ibuku, dan ayahku bilang 'O'.
Sejak kecil, ibuku dan aku diberitahu bahwa golongan darah kami 'A', jadi aku tidak bisa memahaminya. Anak golongan darah 'A' tidak bisa lahir dari ibu dan ayah golongan darah 'O'. Aku bertanya pada ayah, dan dia menjelaskan bahwa bukan hanya ibuku, tapi kakakku juga bukan saudaraku.
Rasanya seperti dibohongi, aku sangat kaget, dan tidak bisa menerimanya.
Aku tidak pernah menjenguk ibuku di rumah sakit. Aku tidak tahu harus bagaimana saat bertemu dengannya.
Dan pada saat yang sama, kami pindah rumah.
Bukan karena kecelakaan. Ayahku sudah dipindahkan ke Kanagawa.
Di sekolah baru, aku tidak punya teman. Aku tidak bisa membuat teman baru karena mentalku tidak stabil.
Tapi aku juga tidak mau terus di kamar, jadi aku selalu duduk di bangku di taman ini.
"Kamu, Rinka-chan?"
Suatu hari, dia tiba-tiba muncul.
Dia tidak terlihat mencolok. Wajahnya lumayan tampan, tapi tidak menarik perhatian.
"Siapa?"
"Toshiya Naeki. Aku teman sekelas Shintarou... kakakmu."
Dia duduk di depanku, menyamakan pandangannya denganku.
Aku tidak suka orang asing, tapi anehnya aku tidak takut. Sensor bahayaku sepertinya tidak berfungsi.
"Ada urusan denganku? Onii-chan tidak ada di sini."
Ada alasan kenapa aku memanggilnya 'Onii-chan' dengan canggung.
Setelah aku tahu kami tidak sedarah, aku sadar tatapan kakakku padaku berbeda dari tatapan ke keluarga.
Mungkin kakakku yang sensitif sudah tahu ini sejak lama.
Tapi aku tidak suka padanya. Aku memutuskan untuk bersikap seperti orang asing, setidaknya sampai dia tidak siscon lagi.
"Shintarou mengkhawatirkanmu. Dia bilang kamu selalu sendirian."
"Begitu. Katakan padanya jangan khawatir."
"Kalau kamu ada masalah, kamu bisa cerita padaku."
"Tidak usah."
"Oke."
"Hah? Kenapa kamu duduk di sebelahku?!"
Dia duduk di sebelahku seolah aku tidak menolaknya.
"Sebenarnya, aku suka seorang gadis. Aku bingung mau nembak dia atau tidak."
"Hah? Katanya mau bantu aku, kenapa malah curhat padaku?"
"Tidak boleh?"
"Aku jadi bingung. Apa kamu bisa bayar?"
"Kalau dengan kue tradisional?"
"Kue?"
"Orang tuaku punya toko kue tradisional, dan lumayan terkenal. Bagaimana?"
"Aku benci karena seperti disogok, tapi ya sudahlah. Sepertinya Senpai tidak punya banyak teman curhat."
"Kenapa kamu berprasangka buruk? Tapi ada benarnya juga..."
Senpai terlihat sedih.
Meskipun ini pertemuan pertama kami, aku merasa nyaman berbicara dengannya.
Mungkin waktunya pas.
Aku bosan sendirian. Tapi aku juga tidak ingin bertemu keluargaku. Senpai, yang bukan teman sekelasku, mengisi kekosongan di hatiku.
※
Dua bulan berlalu.
Senpai tidak datang setiap hari karena harus membantu di toko kue. Tapi dia selalu datang kapan pun dia bisa.
Dia datang, tapi malah dia yang curhat padaku.
Curhatnya soal cinta.
Dia curhat soal bagaimana cara agar dia bisa pacaran dengan gadis yang dia sukai. Lebih tepatnya, dia melaporkan perkembangannya.
"Belum ditembak juga?"
"Kalau ditolak, semuanya selesai. ...Andai saja dia yang nembak aku."
"Senpai ini pengecut. Ya, wajar sih kalau pengecut sepertimu nembak dia, pasti merepotkan."
"Kejam sekali. Mentalku tidak kuat. Jangan terlalu sadis."
"Ini sudah tidak sadis. Kalau aku sebut kekurangan Senpai, pasti ada tiga ratus enam puluh lima."
"Bisa buat kalender, ya..."
Tidak ada perubahan di hidupku. Aku masih tidak punya teman.
Aku bersyukur Senpai mau menemaniku, tapi aku malah jahat padanya.
Aku tahu ini cara yang salah... tapi aku tidak mau obrolan kami selesai, jadi aku menggunakan cara yang tidak jujur.
Suatu hari.
"Senpai. Apa kamu bisa bantu aku?"
"Hah? Ah, iya. Tentu saja."
Untuk pertama kalinya, aku curhat padanya.
Itu bukti aku sudah terbuka padanya, dan aku merasa bodoh... tapi anehnya, aku tidak keberatan.
Aku tahu aku tidak bisa terus kabur.
Tapi aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Jadi aku meminta pendapat Senpai.
"—Begitulah, aku bukan anak kandung ibuku. Sejak itu, aku tidak tahu harus bagaimana, sampai sekarang."
Aku menceritakan semuanya, tanpa menyembunyikan apa pun.
Mungkin dia sudah tahu dari kakakku.
Tapi Senpai mendengarkan sampai selesai.
"Ibumu ada di mana?"
"Sepertinya butuh waktu untuk sembuh. Dia dipindahkan ke rumah sakit umum di sana."
"Ayo kita jenguk dia sekarang."
"Hah? Kenapa sekarang?!"
Senpai tersenyum, lalu berdiri.
"Ternyata Rinka-chan penakut, ya."
"A-apa maksudmu? Kamu mengejekku?"
"Hubungan orang tua dan anak tidak ditentukan dari darah."
"T-tapi... itu..."
"Jangan banyak bicara. Ayo pergi."
Senpai memegang tanganku tanpa izin.
Tangannya sedikit besar dan kasar.
Itu terasa baru. Punggungnya yang menuntunku terasa bisa diandalkan. Aku menggenggam tangannya.
Sebenarnya, aku hanya ingin alasan untuk bertemu ibuku. Itu saja.
Tapi aku terlalu takut. Makanya, aku bersembunyi. Aku sangat bersyukur Senpai memaksaku.
Pada akhirnya, ketakutanku tidak terbukti.
Tidak perlu ragu seberapa besar ibuku mencintaiku.
Dia mengalami kecelakaan karena melindungiku. Meskipun yang paling salah adalah mobil yang menerobos lampu merah.
Pokoknya, aku menceritakan semuanya, dan hubunganku dengan ibuku kembali seperti semula.
Hubungan keluarga tidak ditentukan dari darah. Akhirnya aku mengerti.
Ngomong-ngomong, Senpai menemaniku sampai depan pintu kamar, tapi dia tidak masuk.
Aku tahu itu bentuk perhatiannya, tapi aku ingin dia masuk. Aku masih takut...
Jadi, setelah aku selesai bicara dengan ibuku dan keluar dari kamar. Aku mengeluh pada Senpai yang duduk di sofa.
"Ah, aku mencarimu, Senpai. Wajahmu lebih sakit daripada orang sakit, aku kira kamu pasien."
"Aku tidak seburuk itu. Kamu baik-baik saja?"
"Ya. Aku bodoh. Mengambil keputusan karena hubungan darah."
"Benar."
"Nee, seharusnya kamu menyemangatiku..."
"Bagaimana kalau kita perbaiki saja? Kamu bisa menjenguknya secara rutin."
"Iya, benar!"
Senpai terlihat sangat dewasa.
"Ah, kalau mau bawa oleh-oleh, kue dari toko kami bagus. Aku akan berikan diskon untuk adik temanku."
Senpai berdiri dari bangku dan tersenyum lembut.
Adik temanku—kata-kata yang diucapkannya membuatku ragu.
Benar, bagi Senpai, aku hanya adik temannya. Aku tidak keberatan, dan aku pikir begitu. Tapi aku benci panggilan itu, jadi aku tanpa sadar memegang lengan seragamnya.
"Hm? Kenapa?"
"Tidak. Bukan apa-apa. Sungguh... bukan apa-apa."
Mengatakan 'bukan apa-apa' ternyata sedikit melegakan.
※
Masalah yang menyiksaku akhirnya hilang begitu saja.
Seharusnya aku hanya perlu bicara, tapi aku malah mengurung diri karena salah paham.
Tapi, berkat Senpai, aku terbebas dari masalah itu.
Namun, aku masih duduk di bangku taman. Di sebelahku, ada Senpai.
"Jadi, Senpai. Aku tidak punya teman. Jadi, aku akan curhat soal cinta Senpai, dan Senpai curhat soal bagaimana aku bisa punya teman."
"Boleh saja, tapi kamu tidak akan menjenguk ibumu?"
"Aku akan pergi setelah curhat dengan Senpai."
Setelah masalahku dengan ibuku selesai, aku merasa Senpai tidak akan lagi menemaniku.
Jadi aku ingin alasan agar kami bisa terus bersama. Aku ingin mempertahankan hubungan kami.
Akhirnya, aku memaksanya untuk jadi teman curhatku, dan kami berkumpul di taman setiap sepulang sekolah.
Hari-hari berlalu... Sampai suatu hari.
Aku mau pergi ke toko kuenya, lalu aku melihatnya.
Senpai berjalan dengan seorang wanita.
Rambut hitam panjang. Dari jauh pun, aku bisa lihat dia cantik dan langsing.
Dan Senpai menunjukkan ekspresi yang tidak pernah kulihat. ...Dadaku terasa sakit.
Aku tahu Senpai menyukai seseorang.
Dia sudah bilang sejak pertama kali bertemu.
Aku sudah tahu. Tapi, entah kenapa dadaku sakit.
Tidak... Aku tidak mau lihat. Aku tidak mau tahu. Aku harus bagaimana.
Ada perasaan baru di hatiku. Aku tidak perlu berpikir untuk tahu apa itu.
Aku mencoba untuk tidak menyadarinya, tapi... aku tidak bisa membohongi diriku lagi.
Saat itu, untuk pertama kalinya, aku sadar aku mencintai Senpai.
Keesokan harinya. Aku melakukan sesuatu.
"Senpai, apa kamu tipe yang pacaran dengan siapa saja kalau ada yang nembak?"
"Tidak."
"Kalau ada gadis yang lumayan imut nembak, kamu akan pacaran?"
"Apa maksudmu..."
"Jawab saja!"
"Sepertinya tidak."
"Meskipun kalau ditolak, hubungan kalian jadi canggung?"
"Iya. Itu tidak adil untuk dia."
"Itu cara pikir Senpai. Cara pikir orang yang tidak pernah pacaran."
"Kenapa kamu jahat..."
Senpai tersenyum malu.
Tapi aku harus kuat sekarang, kalau tidak, aku tidak bisa tenang.
Kalau aku nembak sekarang, aku pasti akan ditolak. Perasaanku ini akan membuat hubungan kami rusak.
Jadi aku memutuskan untuk menyembunyikan perasaanku.
Selama aku menyembunyikannya, hubungan kami tidak akan putus.
※
(POV Toshiya)
"Ah, sepertinya ceritanya jadi melenceng. Tapi begitulah, aku sudah mencintai Senpai sejak saat itu."
Setelah menceritakan masa lalunya, Rinka menyatakan perasaannya lagi.
Aku menggaruk pipiku dan memalingkan muka karena malu.
"Aku tidak merasa melakukan hal yang hebat."
"Tidak. Karena Senpai, aku tidak bisa menyerah dan semakin menyukaimu. Dan setiap kali aku tahu sisi baru Senpai, aku jadi bahagia. Senpai harus bertanggung jawab."
Rinka tersenyum nakal, lalu menyentuh pipiku dengan jarinya.
Aku mengulurkan tangan ke kepalanya, lalu menariknya ke bahuku.
"Terima kasih, sudah mencintaiku. Dan maaf, aku tidak menyadarinya."
Aku benar-benar berpikir, apa yang akan terjadi padaku tanpa Rinka.
Aku dikhianati oleh pacar dan sahabatku, dan aku merasa ingin menghilang. Aku ada di sini sekarang, berkat Rinka.
"Aku akan bertanggung jawab. Jadi Rinka jangan tinggalkan aku."
"Tidak akan. Aku janji."
Kami diam, merasakan hembusan angin.
Dua minggu ini, adalah waktu terindah di hidupku.
Aku merasakan hal yang pahit dan manis, dan mengalami banyak hal baru.
Kalau aku pikirkan lagi, itu terasa cepat. Tapi setiap momennya jelas di ingatanku. Mungkin aku tidak akan melupakannya...
Aku hanya ingin mengingat Rinka, tapi itu tidak akan semudah itu.
"Bagaimana kalau kita pergi ke tempat yang jauh akhir pekan ini?"
"Aku setuju. Ke taman hiburan?"
"Jangan ke taman hiburan. Aku dengar di internet, sulit untuk mengobrol saat menunggu."
"Itu berlaku untuk pasangan baru, atau yang hubungannya belum dalam."
Aku melihat ke sana kemari, dan Rinka tersenyum.
"Ah, jangan-jangan Senpai takut naik roller coaster?"
"Hah? Tidak. Sangat berani kok."
"Oh, begitu? Kalau begitu, ayo ke taman hiburan, Senpai?"
"Aku sih tidak apa-apa. Kamu tidak apa-apa?"
"Sangat berani. Tenang saja, aku akan genggam tangan Senpai."
"Aku tidak butuh, tapi kalau kamu memaksa."
Aku mencoba bersikap tegar, dan Rinka menutupi mulutnya, tertawa.
"Senpai suka sekali pamer."
"Tidak. Aku tidak pamer... eh."
Saat aku mau membantah, HP-ku bergetar.
Ada telepon.
"Dari siapa?"
"Nomor tidak dikenal."
Setelah tiga puluh detik, teleponnya mati.
"Mungkin iklan. Sering terjadi, kan."
"Iya, mungkin—"
Aku merinding, dan terdiam.
Aku merasakan tatapan tajam, lalu aku melihat ke seberang jalan.
"Senpai?"
"Aku merasa seperti ada yang menatapku..."
"Hah? Tidak ada siapa-siapa kok. Di sini juga sepi."
"Semoga saja perasaanku saja..."
Aku punya firasat buruk.
Nomor tidak dikenal. Dan tatapan yang kurasakan.
Aku mengeluarkan HP-ku, lalu menelepon Takuya-san.
"Kamu telepon siapa?"
"Ayah Airi. Rasanya tidak baik kalau hanya aku abaikan."
Rinka mengangguk, lalu diam.
Setelah beberapa deringan, Takuya-san menjawab.
"Toshiya-kun?"
"Ah, maaf mengganggu. Anu, bagaimana kabar Airi?"
"Aku menempatkannya di rumah orang tuaku di Shizuoka. Aku ingin dia tenang. Jangan-jangan, dia mengganggumu?"
"Ah, tidak. Aku hanya ingin memastikan."
"Maaf, Toshiya-kun. Aku sedang sibuk kerja. Sudah dulu, ya?"
"Iya. Tidak apa-apa."
"Kalau ada apa-apa, telepon aku."
Panggilan dengan Takuya-san terputus. Aku merasa lega. Sepertinya cuma perasaanku saja.
"Tidak ada masalah?"
"Iya. Mungkin aku terlalu paranoid..."
"Minggu depan kita bersenang-senang, dan lupakan semua yang buruk."
"Iya. Hari sudah gelap, ayo pulang."
Aku berdiri dari bangku, dan Rinka mengikutiku.
Di bawah langit senja. Kami berjalan berdekatan, kedinginan.
※
Jumat.
Minggu lalu kami sekolah di hari Sabtu, jadi Sabtu ini libur.
Untuk persiapan liburan, aku menyusun rencana kencan dengan Rinka.
"Toshiya. Bisakah kita bicara sebentar?"
Saat aku sedang mencari di HP, ada bayangan hitam yang muncul.
Aku mengangkat bahu, lalu menoleh.
"Ada pesan untukmu. Aku sudah menolak, tapi dia memaksa."
Meskipun rasanya sudah lama, aku menganggap Shintarou sebagai sahabatku.
Kami selalu bersama, dan sering main.
Kalau tidak tahu kejadian baru-baru ini, wajar saja kalau seseorang menitipkan pesan lewat Shintarou.
"Dari siapa?"
"Dari seorang siswi yang punya perasaan padamu."
"Apa maksudnya... Apa bukan Airi?"
"Bukan. Tapi sesuai perkataanku. Seorang siswi yang punya perasaan padamu. Dia tahu kamu sudah pacaran dengan Rinka. Tapi dia ingin mengungkapkan perasaannya."
Aku bingung.
Siswi yang menyukaiku? Aku tidak tahu.
"Setelah pulang sekolah hari ini, dia ingin bertemu di gudang olahraga. Aku sudah sampaikan."
"T-tunggu, Shintarou. Gudang olahraga?"
"Di gimnasium bawah tanah, kan? Di belakang mesin penjual otomatis."
"Aku tahu tempatnya. Kenapa di tempat sepi?"
"Wajar kalau mau nembak, dia menghindari keramaian."
"Memang... tapi aku curiga."
Kalau orang lain yang bilang, aku tidak akan curiga.
Tapi ini Shintarou.
"Terserah kamu mau curiga atau tidak, tapi aku tidak akan melakukan hal bodoh. Lagipula, apa untungnya aku berbohong? Hanya membuang-buang waktumu."
"Itu... aku tidak tahu..."
"Ah, satu hal lagi, yang menyuruhku adalah teman sekelas Rinka. Jadi dia tidak ingin Rinka tahu."
"Teman sekelas Rinka? Tunggu, itu aneh. Aku tidak punya teman sekelas Rinka selain dia."
Tidak ada alasan bagiku untuk disukai.
Tapi Shintarou menggerakkan kaki kanannya dan menaikkan kacamatanya.
"Toshiya. Kamu pacar Rinka. Semua orang tahu Rinka memilihmu. Jadi kamu punya 'nilai' di mata orang. Sama seperti lukisan. Kalau pelukis terkenal yang melukis, harganya jadi mahal, kan?"
"Meskipun begitu..."
"Lagipula, apa kamu tidak punya teman sekelasnya? Saat kamu ke kelas Rinka?"
"...Ada. Tapi kami hanya bicara sebentar."
Teman Rinka yang dipanggil 'A-chan'. Dia selalu menyapaku dan menggoda kami.
"Ternyata kamu tahu. Kamu juga tahu kenapa dia tidak ingin Rinka tahu, kan?"
Kalau memang dia yang menitipkan pesan, masuk akal.
Dia pasti tidak ingin Rinka tahu.
"Tapi... aku tidak percaya—"
"Aku sudah sampaikan. Lakukan apa yang kamu mau."
Shintarou menghela napas, lalu kembali ke tempat duduknya. Wajar kalau aku curiga ini jebakan. Aku yakin itu.
Tapi kalau ternyata... ada yang benar-benar menyukaiku, aku akan sangat tidak sopan.
Aku tidak bisa membalas perasaannya, tapi aku wajib mendengarkannya.
※
Ding dong ding dong
Pelajaran sore terasa sangat lama, dan akhirnya selesai.
Maaf. Aku ada urusan sebentar. Kamu pulang duluan ya.
Oke!
Balasan cepat dari Rinka membuatku merasa bersalah.
Seharusnya aku memberitahunya. Tapi kalau dugaanku benar, itu akan merusak hubungan Rinka dengan temannya.
Aku tidak mau itu.
Aku pergi ke gudang olahraga bawah tanah.
Ujian akhir semester sudah dekat, jadi tidak ada kegiatan klub. Tempatnya sepi.
"Hah..."
Aku menghela napas, menatap kosong.
Aku menunggu dua puluh menit. Tapi tidak ada siapa-siapa.
"Apa aku dibohongi?"
Anehnya, aku tidak kesal.
Aku malah lega. Kalau ada yang datang, aku tidak bisa memberikan jawaban yang dia mau.
Aku menyandarkan punggungku di pintu gudang olahraga. Lalu, aku sadar sesuatu.
"...Terbuka?"
Gemboknya tidak terkunci.
Oh iya, dia bilang suruh ke gudang olahraga, kan?
Jangan-jangan, ada di dalam—
Aku menelan ludah, lalu membuka pintu besi yang berat itu.
"A-anu... ada orang di dalam?"
Aku melangkah masuk dengan hati-hati.
Di dalam ada papan skor, bola voli, dan matras senam.
Ini pertama kalinya aku masuk ke sini.
"Sepertinya tidak ada siapa-siapa."
Brak!
Tiba-tiba, suara keras terdengar.
Aku baru sadar itu suara kepalaku yang terkena sesuatu, saat aku sudah terjatuh.
Eh, kenapa aku jatuh... Gawat, pandanganku kabur... kepalaku...
"Hei! Itu terlalu keras...!"
"Tidak apa-apa kok. Ayo cepat tutup pintunya. Bagaimana kalau ada yang lihat?"
"O-oke. Nyalakan lampunya?"
"Tentu saja. Pakai otak sedikit."
Suara itu tidak asing.
Suara yang sering kudengar.
Hanya beberapa hari tidak bertemu, tapi rasanya sudah lama sekali.
Pikiranku kabur. Aku membuka kelopak mataku yang berat, lalu mencoba menoleh.
"A-Airi...?"
"Iya, ini Airi. Akhirnya kamu panggil namaku. Aku senang."
Airi tersenyum mempesona, lalu jongkok dan mengelus kepalaku.
"Aku yakin Toshi-kun akan masuk."
Aku sudah tidak punya tenaga untuk bicara.
Saat kesadaranku mulai hilang, Airi berbisik di telingaku.
"Aku cinta Toshi-kun."




Post a Comment