NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

[WN] Shinki Itten⁉ ~Tsuma ni Uwaki Sarete Suterareta Ossan no Shi ni Modori Doryoku no Seishun Ribenji~ Chapter 1 - 10

 Chapter 1 – Pengkhianatan dan Kembali dari Kematian


― Garis Dunia α – 24 Desember 2033 ―

Suatu hari, istriku, Miyabi, menghilang.

Namaku Yaguchi Michitaka, 36 tahun, pengusaha kecil.

Aku menunggu istriku hingga larut malam bersama putriku yang berusia 10 tahun, cemas karena ia tak kunjung pulang.

Namun, ia tidak pernah kembali.

Dan kemudian...

Keesokan paginya, sebuah USB ditemukan di kotak surat rumahku.

Dengan firasat buruk, aku membukanya di komputer lamaku.

Di dalamnya hanya ada satu file video berjudul “Untukmu”.

Satu-satunya hal yang bisa disebut keberuntungan adalah, putriku sudah berangkat ke sekolah.

Dengan tangan gemetar, aku menekan tombol play.

Di layar, Miyabi muncul—tersenyum dalam gaun favoritnya.

Tempat pengambilan videonya adalah ruang tamu rumah kami sendiri.

“Untukmu. Maaf karena aku menghilang begitu saja. Tapi jangan khawatir, aku baik-baik saja.”

Suaranya terdengar dingin, meskipun wajahnya tersenyum.

Keringat dingin mulai mengalir di punggungku.

“Aku ingin bercerai denganmu. Sebenarnya, selama ini aku punya pria lain yang kusukai.

Kau terlalu bodoh untuk menyadarinya, kan? Aku sudah berselingkuh dengannya… sejak awal pernikahan kita.”

Terlalu kaget, aku menekan tombol pause.

Kepalaku terasa berat, nyeri menusuk, dan aku menahan muntah dengan susah payah untuk melanjutkan video.

“Orangnya, kau pasti tahu. Sebenarnya, alasan aku kembali padamu setelah kau kehilangan orang yang kau cintai itu… hanyalah atas perintah dia. Kau memang pria yang terlalu baik. Dulu di SMA, aku berselingkuh dan meninggalkanmu, tapi kau malah memaafkanku. Kau benar-benar bodoh. Bahkan kau percaya kebohongan bahwa ‘aku ditinggalkan oleh senior’, ya?”

Aku jatuh dari kursi dan tergeletak di lantai.

Napas terasa sesak, hampir hiperventilasi.

“Sekarang pasti kau tahu siapa orangnya, kan? Ya, seniorku di SMA, yang jadi pacarku sejak dulu. Istrinya akhirnya menceraikannya, jadi sekarang dia bisa menikah denganku. Jadi, ayo kita bercerai. Oh ya, dia bilang kesal padamu. Kau tahu kan, dia presiden perusahaan besar—katanya dia akan menekan perusahaan rekananmu. Kalau itu terjadi, semua urusanmu akan berakhir.

Aku tidak peduli, tapi semoga kau bisa bertahan hidup. Dan… aku akan mengambil anak kita.

Kau pasti tahu alasannya tanpa perlu aku jelaskan. Bye-bye.”

Ia melambaikan tangan, lalu pria itu—selingkuhannya—muncul di layar dan mencium Miyabi di depan kamera.

Mereka seolah sengaja memperlihatkannya padaku sebelum video berakhir.

Pandangan mataku berputar, dan aku kehilangan kesadaran.

Ketika aku terbangun, jam sudah menunjukkan lewat tengah hari.

Sepertinya aku pingsan selama tiga jam.

Untung aku sudah menghubungi kantor dan izin tidak masuk hari itu.

Aku membuka laci meja yang terkunci dan mengambil surat lama yang pernah aku terima.

Dalam udara musim dingin bulan Desember, aku berlari ke arah orang yang menulis surat itu.

***

“Aku… sudah kehilangan segalanya. Benar-benar bodoh, ya…”

Aku menaruh teh susu panas—minuman favoritnya—dan bunga camelia (sazanka) di makamnya.

Sambil meneguk botol teh susu satunya lagi, aku menatap nisan kekasihku yang meninggal di usia 22 tahun.

Aku dan Miyabi dulu berpacaran sejak SMP, tapi putus saat SMA.

Penyebabnya: perselingkuhan Miyabi di hari Natal kelas dua SMA, dengan senior basket yang merupakan pewaris perusahaan besar.

Ternyata, ia sudah berselingkuh sejak awal masuk SMA.

Saat aku terpuruk dan berhenti sekolah, satu-satunya yang menolongku adalah Takatsukasa Rika, adik kelasku sekaligus teman masa kecil.

Dialah yang terus menyemangatiku hingga aku bisa bangkit dan lolos kuliah.

Setelah ujian masuk universitas, aku menyatakan cinta, dan kami resmi berpacaran.

Kami kuliah di universitas yang sama, dan hari-hari kami penuh kebahagiaan—masa paling indah dalam hidupku.

Namun, saat aku mulai bekerja dan ia akan lulus kuliah, penyakit mematikan ditemukan padanya—kanker yang sudah terlambat ditangani.

Karena masih muda, penyakitnya berkembang cepat. Sebelum sempat kami siap menghadapi kenyataan, ia meninggal dunia.

Dan mungkin saat aku kehilangan dirinya, Miyabi dan senior itu mulai mendekatiku.

Yang kubawa dari rumah hanyalah surat cinta terakhir Rika.

Sambil membaca surat itu di makamnya dan meminum teh susu, aku bersumpah akan memulai hidup dari awal, meski sudah kehilangan segalanya.

Namun…

Tiba-tiba, rasa sakit luar biasa menyerang dadaku.

Apakah ini akibat stres tadi? Atau…

Napas tersengal, tubuh terasa seperti disobek-sobek.

“Aku… belum bisa mati di sini.”

Aku masih punya perusahaan yang harus kulindungi, meski hancur oleh mereka.

Aku masih punya janji dengan Rika.

Aku tak mau mati.

Hidupku memang penuh penyesalan, tapi aku ingin memperbaikinya.

Setidaknya, sekali lagi...

Aku ingin mengulang segalanya bersama orang-orang yang kucintai.

“Michitaka-kun, tahu nggak arti bunga camelia? Cinta abadi dan kekuatan untuk mengalahkan kesulitan.”

Kenangan terindah di hidupku muncul seperti kilas balik.

Aku tahu—aku tak akan selamat kali ini.

Saking sakitnya, bahkan mengoperasikan ponsel pun tak bisa lagi.

Kesadaranku perlahan menghilang.

Begitulah cara hidupku di dunia ini berakhir.

***

Untuk Michitaka-kun

Maaf karena menulis surat seperti ini.

Dan maaf juga karena meninggalkanmu sendirian di saat kau sedang berduka atas kepergian ibumu.

Aku selalu menyukaimu.

Saat tahu kau punya pacar bernama Miyabi, rasanya duniaku hancur.

Tapi waktu kau menyatakan cinta padaku di hari wisuda, aku benar-benar bahagia. Malam itu aku menangis karena terlalu bahagia.

Sejak itu, sampai sekarang ketika aku sakit pun, aku tetap merasa bahagia.

Karena aku punya kenangan indah bersamamu, aku tak takut lagi.

Jadi…

Kalau aku meninggal nanti, lupakan aku, ya.

Aku ingin kau menemukan kebahagiaanmu sendiri.

Kenangan memang penting, tapi aku tidak ingin kau terikat oleh masa lalu.

Jujur, aku takut.

Tapi setiap kali bisa bicara denganmu, rasa takut itu hilang entah ke mana.

Karena itu saja aku sudah bahagia.

Semua ini berkat dirimu. Terima kasih banyak.

Aku mencintaimu, Michitaka-kun.

Jadi… tolong, jadilah bahagia.

Salam hangat,

Rika

***

― Garis Dunia βeta – 10 April 2014 ―

Aku terbangun dengan keringat dingin membasahi wajah.

Di mana ini? Apakah aku diselamatkan dan dibawa ke rumah sakit?

Tapi… langit-langit ini terasa sangat familiar.

Malah terasa nostalgis.

Kamar ini jauh lebih kecil dari kamar rumahku sekarang—lebih mirip kamar anak SMA.

Di pojok ruangan ada Nintendo WiiU dan PlayStation 4.

Di rak buku, berjajar light novel lama yang sudah dianggap klasik di masa kini.

Seolah-olah… aku kembali ke masa SMA.

Aku terlonjak bangun, berlari keluar kamar, menuruni tangga, menuju dapur.

Dan di sana—orang yang paling ingin kutemui sedang menyiapkan sarapan.

Ibu tiriku yang lembut, yang dulu meninggal sebelum sempat kupanggil “Ibu”, kini sedang tersenyum bahagia sambil membuat sup.


Chapter 2 – Pertemuan Kembali dengan Ibu Tiri

Ibu tiriku segera menyadari kehadiranku dan tersenyum padaku.

“Oh, Michitaka. Hari ini kau pulang lebih awal ya? Sarapannya sebentar lagi siap, tunggu sebentar ya.”

“...Kaede Kanade-san?”

Dia adalah orang yang membesarkanku sendirian setelah ayah kandungku meninggal.

Meski tidak memiliki hubungan darah, dia bekerja keras membiayai sekolahku hingga aku lulus SMA dan universitas.

Kaede-san, ibu tiriku yang menganggapku seperti anak kandung sendiri, meninggal ketika aku di tahun keempat kuliah—dan sekarang dia berdiri di hadapanku.

Aku sangat menyayanginya, tapi karena rasa canggung khas remaja, aku tidak pernah sekali pun memanggilnya “Ibu”.

Padahal, aku berniat membalas budi setelah bekerja, namun belum sempat melakukannya.

Bahkan, belum sempat mengucapkan terima kasih padanya.

“Kaede-san, ini... tahun berapa sekarang?”

“Lho, kenapa bicara aneh begitu? Seperti tokoh film perjalanan waktu saja. Sekarang tahun 2014, bulan April. Libur musim semi baru berakhir, kan? Kau harus berangkat ke sekolah hari ini.”

Dan seperti itulah, kisah remajaku yang kedua pun dimulai.

***

“Aku... benar-benar kembali? Kembali ke musim semi saat kelas dua SMA?”

Aku tanpa sadar menggumam.

“Ada apa sih, Michitaka? Jangan bicara aneh seperti film time-travel. Cepat ganti pakaianmu, nanti terlambat ke sekolah!”

Aku tak bisa membuatnya curiga, jadi aku menuruti saja dan mencuci muka di wastafel. Tanganku gemetar.

Mungkin rasa sakit di dadaku tadi adalah serangan jantung, dan ini hanya mimpi menjelang kematian—semacam kilas balik kehidupan.

Namun, ketika aku mencubit pipiku, terasa sakitnya. Aku bisa bergerak bebas, berpikir jernih.

Baiklah.

Kalau ini memang mimpi, aku akan menjalaninya seolah hidupku dipertaruhkan.

Aku akan mengulang hidupku, dan kali ini membuat keluarga serta orang-orang yang kucintai benar-benar bahagia.

Mungkin itulah alasan aku kembali ke masa ini.

Pada masa SMA inilah perselingkuhan Miyabi terungkap, membuatku trauma dan berhenti sekolah sementara.

Meski Rika menolongku kembali ke sekolah, aku tetap tertinggal dan gagal masuk universitas impian.

Aku juga gagal menyadari penyakit Kaede-san dan Rika lebih awal, sehingga tak bisa menyelamatkan mereka.

Mungkin aku tak bisa mengubah takdir, tapi aku bisa membuat mereka bahagia selama hidup mereka.

Aku ingin menebus semua penyesalan.

Sambil mencuci muka, aku berusaha menyembunyikan air mata yang menetes.

Tapi kali ini aku punya keunggulan — pengalaman 18 tahun hidup sebagai orang dewasa.

Empat tahun kuliah dan empat belas tahun bekerja memberiku kemampuan dan pengetahuan yang tak akan bisa dirampas siapa pun, bahkan Miyabi sekalipun.

Dengan itu, aku bisa menjalani masa sekolah yang jauh lebih baik.

Langkah pertama:

Temukan bukti perselingkuhan Miyabi dan segera putus dengannya.

Aku tak akan buang waktu berharga untuk orang seperti itu.

Cukup abaikan.

Lawan dari cinta adalah ketidakpedulian — jadi biarlah mereka lenyap dari hidupku.

Setelah menangis sepuasnya dan menenangkan diri, aku duduk dan menyantap sarapan buatan Kaede-san.

Rasanya begitu nostalgia—sup kaldu sayur yang hangat dengan rasa lembut, bacon panggang renyah, dan telur mata sapi setengah matang.

Rasa yang begitu kurindukan selama 14 tahun membuat mataku kembali basah.

“Selamat pagi! Eh, Kak, hari ini cepat banget bangunnya!”

Itu suara adikku, Misato, yang akan menjadi adik kelasku tahun depan.

Dia dua tahun lebih muda, anak kandung dari ayah dan Kaede-san—berarti adik tiriku dari ibu berbeda.

Kaede-san dulunya sahabat ibu kandungku.

Katanya, setelah ibu kandung meninggal karena kecelakaan sesaat setelah melahirkanku,

Kaede-san merawatku seperti anak kandung sendiri karena janji kepada sahabatnya itu.

Namun, mungkin karena menghormati perasaan sahabatnya, dia selalu memanggilku “Michitaka-san”, bukan “anak.”

Setelah Kaede-san meninggal, aku tetap membiayai kuliah Misato sampai lulus.

Hubungan kami sangat baik, dan aku berharap di kehidupan kedua ini pun akan tetap begitu.

“Aku cuma nggak sabar makan sarapan lezat buatan Kaede-san.”

“Apaan sih, Kak? Agak creepy, deh.”

“Jangan bilang creepy ke kakakmu sendiri, dong. Sakit hati, tahu! Lagian, kamu nggak ada latihan pagi hari ini?”

“Maaf, maaf. Nggak ada kok. Hari ini libur. Soalnya latihan terus-menerus kemarin bikin semua orang capek, jadi pelatih kasih istirahat.”

“Oh, begitu ya.”

Momen sederhana seperti ini—sarapan bersama keluarga—dulu hilang begitu saja dalam sekejap pada masa laluku.

Andai saja aku bisa kembali ke masa ketika ayah masih hidup… tapi, sudahlah.

Sekarang pun aku akan melakukan yang terbaik.

“Nah, Michitaka-san, ini bekalnya ya. Aku berangkat kerja dulu. Kalian hati-hati di jalan, ya.”

Saat melihat kotak bekal yang sama seperti dulu, mataku hampir berkaca-kaca.

Dari isi yang tadi kulihat, sepertinya menunya shogayaki (daging babi tumis jahe)—makananku yang paling kusukai.

Pasti dia menyiapkannya untuk menyemangatiku di hari pertama sekolah.

Sebagai orang dewasa, aku tahu betapa besar pengorbanannya—bangun pagi, menyiapkan sarapan, merencanakan menu, memasak… semua demi kami.

Bagaimana mungkin dulu aku bisa mengabaikan kasih sayang sebesar ini?

Tidak.

Aku tak akan menyesal lagi.

Sekarang, aku akan hidup sepenuh hati.

“Hei, Misato.”

“Hm? Kenapa?”

“Nanti malam biar aku yang masak, ya. Kaede-san kan baru pindah ke divisi baru, pasti pulangnya lebih telat dan capek.”

“Eh, Kak bisa masak? Aku belum pernah lihat, lho.”

“Ya, setidaknya pernah ikut pelajaran praktek masak di sekolah. Kalau cuma kari, nggak mungkin gagal, kan?”

Potong sayuran, rebus bersama daging, lalu tambahkan bumbu kari instan.

Untuk salad, cukup sobek daun selada dan tambahkan tuna kaleng. Sederhana tapi nikmat.

Bahkan, kalau bahannya sama, bisa sekalian buat nikujaga (rebusan daging dan kentang) dengan saus tsuyu.

“Hmmm, nggak kebayang sih Kak bisa motong sayur.”

Memang benar, tapi setelah Kaede-san meninggal, aku sempat belajar masak sedikit demi Misato.

“Kalau begitu, nanti aku beli sayur potong saja.”

Sekarang di supermarket sudah banyak sayuran siap pakai—untuk salad, sup, tumisan, dan sebagainya.

Murah, praktis, cocok untuk uang saku anak SMA.

“Yah, baiklah. Aku tunggu kari buatan Kak, ya.”

Nada suaranya seperti mengejek, tapi justru membuatku ingin membuktikan diri.

“Tunggu saja hasilnya nanti.”

Dan begitu saja, pagi yang sederhana namun paling berharga pun berakhir.

***

Aku memastikan pintu rumah terkunci dan mulai berjalan menuju sekolah.

Jalan yang dulu terasa biasa saja, kini dipenuhi kenangan dan rasa haru.

Saat sedang tenggelam dalam nostalgia, aku melihat punggung seseorang yang sangat kukenal di depanku.

Sosok itu adalah Rika—adik kelasku, sahabat kecil, dan cinta pertamaku.

Sudah 14 tahun berlalu sejak terakhir kali aku melihatnya.


Chapter 3 – Sang Adik Kelas yang Terkasih

Orang yang selama ini ingin kutemui akhirnya terlihat di depan mata. Hanya dengan melihatnya saja, aku hampir menangis saking bahagianya.

Kata-kata tak keluar. Aku tak tahu harus menyapanya seperti apa. Dia berjalan pelan ke depan, dan aku sadar waktu ini terbatas. Aku harus menggunakan waktuku untuknya—itulah keputusanku.

“Rika!!”

Suaraku keluar lebih keras dari yang kukira. Rika menoleh dengan ekspresi terkejut, tapi segera tersenyum saat tahu siapa yang memanggilnya. Beberapa siswa lain ikut menatap kami, dan aku merasa sedikit tidak enak. Tapi aku tak peduli. Aku tak ingin mengurangi waktu bersama orang terpenting hanya karena khawatir pada pandangan orang lain.

“Yaguchi-senpai, ada apa?”

Oh, benar. Kami belum berpacaran di masa ini, jadi dia masih memanggilku “senpai”. Padahal dulu, waktu SD, dia memanggilku “Yaguchi”. Tapi saat SMP, karena mulai sadar pandangan sekitar, dia mengubah panggilannya.

“Aku sangat ingin bertemu denganmu.”

“Eh? Tapi kan kita sudah beberapa kali bertemu selama liburan musim semi? Ada hal lain yang ingin Senpai katakan? Aku sengaja jalan pelan supaya bisa ketemu, tapi karena Senpai lama banget datang, aku sempat khawatir loh.”

Kelopak bunga sakura jatuh perlahan di antara kami.

Kecantikannya tak kalah dengan keindahan bunga sakura itu. Seragam sekolah barunya masih tampak segar—ya, tentu saja, karena tahun ini dia baru masuk sekolah.

“Seragam sekolah kita benar-benar cocok banget sama kamu.”

“Kalau Senpai bilang begitu lebih cepat, nilainya bisa sempurna, loh.”

Sambil berkata begitu, dia berputar sekali, dan rok seragamnya terangkat ringan oleh angin.

“Aku sungguh berpikir begitu,” jawabku jujur.

Tapi entah kenapa, perasaanku meluap-luap sampai sulit mengungkapkannya dengan kata-kata.

“……nggak… ada lagi…” gumamnya pelan, tapi aku tak bisa mendengar jelas. Saat kutanya, dia hanya menggeleng dan tidak mengulanginya.

Kami pun berjalan perlahan di jalan yang dihiasi hujan bunga sakura.

***

“Ngomong-ngomong, Senpai ikut klub apa?” tanya Rika.

Di kehidupan sebelumnya, aku adalah anggota “klub pulang ke rumah”—tidak ikut kegiatan apa pun. Tapi itu sedikit kusesali. Aku ingin punya teman untuk berjuang bersama dan merasakan momen penuh semangat. Memang agak terlambat untuk bergabung di kelas dua SMA, tapi lebih baik terlambat daripada menyesal lagi.

“Belum ikut, tapi hari ini aku baru nemu ide klub yang ingin kudirikan.”

“Apa? Kenapa mendadak begitu?” tanya Rika sambil memiringkan kepala.

“Soalnya, hari ini aku sedang ada di titik paling muda dalam hidupku! Aku gak bisa jadi lebih muda dari ini, jadi rugi kalau disia-siakan. Aku mau hidup tanpa penyesalan mulai sekarang!”

“Kenapa mendadak ngomong kayak bapak-bapak separuh baya gitu!? Apa Senpai abis baca buku motivasi?”

Ya, isinya memang bapak-bapak separuh baya. Terima kasih sudah menyadari.

“Yah, kira-kira begitu lah,” jawabku sambil menutupi kebenaran. Siapa juga yang bakal percaya kalau aku bilang aku hidup kembali dari masa depan?

“Jadi, klub seperti apa yang mau Senpai buat?”

“Klub… membuat game.”

“Ha? Nggak mungkin! Itu cuma alasan buat main game kan? Kalau cuma main, sekolah pasti nggak bakal ngizinin!”

Yah, kalau dipikir wajar juga sih.

“Bukan itu maksudku. Aku ingin membuat game-nya, bukan memainkannya. Bikin bareng teman-teman, terus dikirim ke lomba atau situs komunitas game.”

Mungkin butuh waktu buat ngumpulin anggota, tapi aku bisa memanfaatkan skill dari pengalaman kerjaku dulu. Untuk bagian gambar, musik, atau cerita, kami bisa kerja sama dengan klub lain. Tentu saja, nama mereka tetap dicantumkan di kredit, jadi semua merasa terlibat.

Dengan begitu, kami bisa punya “karya nyata” bahkan sebagai siswa SMA.

Sekarang zaman game indie mulai naik daun. Game buatan kecil bisa bersaing dengan proyek besar lewat ide yang brilian. Dunia digital memberi kesempatan bagi siapa saja untuk bersinar.

Kesempatannya tak terbatas. Kalaupun gagal, pasti jadi kenangan berharga.

Saat aku menjelaskan dengan penuh semangat, Rika tersenyum.

“Kelihatannya seru ya! Aku ikut juga deh!”

Itu lebih dari cukup—teman pertama sudah bergabung. Mulai sekarang, aku akan banyak mencoba, banyak gagal, dan menciptakan banyak kenangan. Setelah jadi orang dewasa, aku tahu: kegagalan itu bukan sesuatu yang sia-sia.

Di kehidupan sebelumnya, aku takut gagal, jadi tidak banyak mencoba. Akibatnya, kenangan masa SMA-ku pun sedikit. Tapi kali ini, aku ingin menikmati setiap kesempatan, memperbaiki setiap penyesalan, dan membalas semuanya dengan masa muda yang sesungguhnya.

Aku akan mengabaikan orang-orang yang tidak tulus, dan merebut kembali hidupku yang dulu dihancurkan. Itulah pembalasan terbaik—menjadi bahagia.

Dan sekarang, aku bisa berjalan lagi ke sekolah bersama gadis yang paling ingin kulindungi.

Hanya itu saja sudah membuat hidupku terasa berubah sepenuhnya.

“Senpai, sudah kepikiran mau lanjut ke universitas mana? Aku agak khawatir, takut nggak bisa ngikutin pelajaran SMA.”

“Aku mau masuk ke Universitas Tsukuba.”

“Karena dekat dari rumah?”

“Bukan cuma itu. Di sana banyak mahasiswa yang bikin usaha rintisan. Aku pengin belajar di lingkungan yang mendukung ide-ide baru.”

Memang benar, Universitas Tsukuba terkenal dengan kegiatan startup mahasiswa, bahkan selalu masuk lima besar secara nasional. Lingkungan seperti itu akan membuatku bertemu banyak orang baru—mungkin orang-orang yang tak pernah kutemui di kehidupan sebelumnya.

“Hebat banget, udah sejauh itu mikirnya,” kata Rika kagum.

Ah, kalau dia tahu, dulu aku cuma buang-buang waktu dan malas belajar, mungkin dia bakal ketawa. Tapi sekarang, aku ingin terlihat keren di matanya.

Tak lama kemudian, kami tiba di gerbang sekolah. Semua terasa begitu nostalgik—bangunan, halaman, aroma udara pagi—semuanya sama persis seperti dulu.

“Kalau gitu, sampai sini dulu ya. Nanti setelah pelajaran selesai, aku hubungi Senpai.”

“Eh?”

“Kan kita mau bikin klub bareng, masa lupa?” katanya sambil tersenyum manis.

Aku hanya bisa melihat punggungnya yang menjauh dengan rasa hangat di dada. Beginilah langkah pertama dari kehidupanku yang baru.

***

—Garis Dunia Alfa—

Pemakaman Michitaka telah usai. Aku, sahabatnya sekaligus wakil direktur perusahaannya, berdiri tak tahu arah. 

Kami sudah berteman sejak SMA, mendirikan perusahaan bersama, berjuang berdampingan… dan sekarang semuanya hancur karena satu perempuan pengkhianat itu.

Aku sudah berkali-kali memperingatkannya agar tidak menikahi perempuan itu. Sekali berkhianat, selamanya tak bisa dipercaya. Tapi Michitaka terlalu baik hati.

Dan sekarang, wanita itu bahkan mengandalkan pria selingkuhannya untuk mengambil alih perusahaan kami.

Bawahan kami menangis di pemakamannya, penuh kemarahan dan kesedihan.

“Perempuan itu nggak bisa dimaafkan.”

“Dia penyebab kematian bos!”

“Kenapa dia malah jadi tuan rumah upacara, sok-sokan jadi janda suci segala!”

“Kasihan banget putrinya, Airi-chan…”

Aku memahami perasaan mereka. Tapi seseorang harus melanjutkan semangat Michitaka. Dan orang itu adalah aku. Maka, aku memilih langkah berani.

“Teman-teman, sepertinya kita nggak bisa mencegah akuisisi ini. Modal mereka terlalu besar.”

Suara protes dan keputusasaan terdengar di ruangan. Tapi aku melanjutkan dengan tenang.

“Makanya, ayo kita buat perusahaan baru. Semangat Michitaka bukan pada nama atau bangunan perusahaan itu. Semangatnya ada di dalam diri kita. Kalau kita teruskan cita-citanya, tempatnya bukan masalah.”

Benar. Perusahaan bisa dijual, aset bisa diambil, tapi pengalaman dan kemampuan kami tak akan pernah bisa dirampas.

“Setuju!”

“Bagus tuh!”

“Perusahaan bisa direbut, tapi ide dan kerja keras kita nggak akan bisa mereka ambil!”

Semua orang setuju. Aku bisa merasakan tekad mereka.

Michitaka, lihatlah dari sana.

Kami akan melanjutkan cita-citamu—dan memastikan semangatmu tidak akan pernah mati.


Chapter 4 – Kehidupan Baru

Saat pelajaran berlangsung, aku diam-diam memeriksa buku panduan siswa dan membaca aturan sekolah. Membaca kalimat yang mirip dengan dokumen hukum seperti ini bukan hal baru bagiku—aku sudah terbiasa melakukannya saat masih bekerja sebagai orang kantoran. Di halaman yang relevan tertulis bahwa untuk membuat klub baru, perlu mengumpulkan minimal lima anggota dan juga menentukan guru pembimbing. Hmm, kalau mengingat betapa beratnya beban kerja para guru, mungkin mencari guru pembimbing justru lebih sulit daripada mencari anggota. Mungkin aku harus menargetkan guru yang baru dipindahkan ke sini. Selain itu, aku juga penasaran dengan keberadaan klub komputer. Kalau mau membuat game, aku butuh komputer dengan performa tinggi. Dan untuk siswa SMA, satu-satunya cara untuk mendapatkannya tentu dengan menggunakan fasilitas sekolah.

Tapi kalau klub komputer punya banyak anggota, komputer yang bisa digunakan pasti terbatas. Hmm, mungkin daripada membuat klub baru dari nol, aku bisa mencoba bergabung ke dalam klub yang sudah ada sebagai divisi baru. Sekarang kan masa penerimaan anggota baru, dan sebagian besar klub sedang mencari anggota. Apalagi kalau ada gadis secantik Rika yang bergabung, para siswa pasti senang bukan main. Ya, ini ide yang tidak buruk sama sekali.

“Yo, Michitaka! Jadi hari ini kau berangkat sekolah bareng adik kelahiran masa kecilmu, ya? Populer banget, bro! Tapi hati-hati, nanti pacar aslimu cemburu, lho.”

Katsuya Takahashi masuk ke kelas baru dengan semangat tinggi. Sepertinya takdir memang tak berubah—aku dan dia tetap sekelas dari tahun pertama hingga tahun ketiga SMA di kehidupanku yang dulu.

“Hei, Katsuya. Sebelum apa pun, ayo kita rayakan karena sekelas lagi! Bagaimana kalau nanti kita minum sedikit untuk merayakannya?”

“Aduh, Michitaka, kau mulai lagi. Apa kau lagi terobsesi sama film barat jadul? Dasar om-om banget.”

Aduh, kebiasaan lamaku keluar lagi. Tapi ya, tidak bisa disalahkan juga—itu bukan masa lalu yang jauh, cuma “beberapa waktu lalu” versi diriku sendiri. Aku hampir meneteskan air mata menyadari betapa ‘kotor’-nya pikiranku yang sekarang sambil berusaha menutupi rasa malu itu.

Ngomong-ngomong, aku dan Katsuya ini sudah seperti dua sisi mata uang. Di kehidupan sebelumnya, dia bahkan menjadi wakil direktur di perusahaanku. Dulu, dia mulai bermain gitar hanya karena ingin populer di kalangan cewek. Tapi tanpa disangka, dia benar-benar jadi terkenal di klub band sekolah, bahkan sampai ada siswa yang menangis saat dia tampil di festival budaya. Saat kuliah, dia malah bilang, “Seniman sejati tidak dibatasi bidang,” lalu mulai menulis novel. Salah satunya sampai memenangkan penghargaan sastra daerah. Sambil bekerja di perusahaanku, dia menerbitkan beberapa buku setiap tahun, dan di sisi lain, punya kanal YouTube tempat dia mengunggah video penampilannya dengan jumlah subscriber mencapai ratusan ribu. Ia benar-benar sosok serba bisa—dari musik, sastra, hingga media digital—dan menjadi tangan kananku yang paling bisa diandalkan. Walau jabatan resminya wakil direktur, dia lebih suka menyebut dirinya “seniman multimedia.”

Ya, benar juga. Kalau aku minta bantuan Katsuya, dia pasti bisa membuat musik dan cerita untuk game yang ingin kukembangkan. Ide bagus. Kami sudah saling kenal hampir dua puluh tahun, dan tidak seperti Miyabi, aku benar-benar mempercayainya. Memang, kami pernah bertengkar, tapi setelah tidur semalam, semuanya selesai.

Ngomong-ngomong, saat kami dulu ngobrol tentang film atau buku sambil makan gyoza dan karaage ditemani bir atau highball, rasanya benar-benar luar biasa. Butuh sekitar tiga tahun lagi sampai aku bisa mengulang masa itu, tapi kalau kami bisa membuat sesuatu bersama sekarang, pasti akan lebih menyenangkan dari sebelumnya. Oh, dan setelah umur tiga puluh, kami juga mulai menambahkan salad ke menu minum-minum… yah, bagian itu biarlah kulupakan.

Bagaimana ya cara membujuknya nanti? Tapi sepertinya lebih baik aku tidak langsung bicara sekarang. Lebih baik aku membuat sesuatu dulu, lalu menunjukkan hasilnya. Pengalaman kerja mengajarkanku bahwa orang lebih mudah percaya jika ada bukti konkret. Lagipula, siapa sih yang mau diberi janji kosong dibandingkan semangkuk ozoni (sup tahun baru) yang benar-benar bisa dinikmati?

Baiklah, sudah kuputuskan! Malam ini aku akan langsung mulai!

Lebih baik bertindak dulu daripada kebanyakan mikir. Biasanya, kalau kita sudah mulai bergerak, hasilnya malah lebih baik dari yang diduga. Lagipula, kalau ada bagian yang tidak dimengerti, akan lebih mudah bertanya kalau sudah punya contoh nyata. Aneh, ya. Kenapa dulu waktu SMA aku begitu takut gagal? Padahal banyak hal baru bisa dipahami justru setelah kita mencoba.

“Tidak ada yang tahu jawabannya? Kalau begitu, Yaguchi! Coba terjemahkan kalimat bahasa Inggris ini!”

Sial, gara-gara melamun, aku malah dipanggil guru tua itu.

Aku menjerit dalam hati, andai saja ada situs penerjemah! sambil berusaha mengulur waktu dengan berkata, “Eee... jadi begini...”

“‘Hiduplah seolah kau akan mati besok, dan belajarlah seolah kau akan hidup selamanya,’ kata Gandhi dari India... begitu, ya?”

Untungnya aku mengenali kutipan itu. Ada gambar Gandhi di buku teks, jadi aku langsung teringat.

“Bagus. Ini bentuk khusus yang menggunakan as if sebagai kalimat pengandaian. Ingat baik-baik, ya. Akan keluar di ujian.”

Kelas langsung bergema dengan suara kagum. “Wah!” Semua orang tampak terkesan. Ya, wajar saja—nilai-nilaiku dulu biasa saja, jadi mereka kaget aku bisa menerjemahkan kalimat sesulit itu dengan lancar.

Katsuya malah nyeletuk, “Jangan-jangan kau ikut kursus musim semi gara-gara nilaimu jelek?”

Dasar mulut besar! Aku ingin menjawab, hei, kami sudah belajar jauh lebih lama dari sekadar kursus singkat, tahu!

Begitulah, pelajaran pertamaku di kehidupan yang diulang ini berakhir dengan sukses besar.


Chapter 5 – Istri Selingkuh yang Ditinggalkan oleh Putrinya dan Keluarga yang Sebenarnya

— Garis Waktu Alfa (Sudut Pandang Miyabi) —

“Kenapa!?”

Putriku, Airi, berteriak padaku dengan suara yang belum pernah kudengar sebelumnya. Selama ini, dia selalu menjadi anak yang baik dan penurut—selalu bersamaku, selalu berkata bahwa dia mencintaiku. Tapi sekarang, dia menatapku dengan penolakan seolah-olah aku orang asing baginya.

“Karena ayahku adalah Yaguchi Michitaka! Aku tidak kenal orang ini. Aku tidak bisa tiba-tiba memanggilnya ayah!”

Mungkin aku salah langkah. Setelah Michitaka meninggal, aku terlalu cepat menjelaskan semuanya kepada Airi yang masih terguncang. Aku seharusnya menunggu lebih lama… sekarang aku menyesal, dan penyesalan itu menusuk hatiku.

Orang-orang dari perusahaan Michitaka, juga adik perempuannya, memaki-maki aku seolah aku ini sampah. Bahkan adiknya sempat menamparku. Aku takut jika ada tetangga yang akan membocorkan semuanya, jadi aku buru-buru berusaha memperbaiki keadaan — ingin segera hidup bersama kekasihku dan memperkenalkan dia kepada Airi. Tapi, Airi menolak dengan keras, menunjukkan kebencian yang tak pernah kulihat darinya, apalagi untuk anak SD kelas atas.

“Airi-chan, aku tahu kamu khawatir. Tapi tidak apa-apa, ya? Aku akan menjadi ayah barumu. Paman ini lebih kaya dari ayah lamamu, jadi kamu bisa minta apa pun yang kamu mau.”

Mendengar kata-kata itu, Airi menatapnya tajam dengan ekspresi putus asa, lalu meledak marah.

“Jangan bercanda! Kamu tidak berhak ngomong soal ayahku! Satu-satunya ayahku di dunia ini cuma dia! Aku tidak butuh uang. Aku ingin tetap tinggal di rumah ini. Aku tidak mau pindah!”

Pria itu terlihat mulai kesal, tapi aku tidak menyangka dia akan sampai sejauh itu. Kalimat berikutnya menjatuhkan hatiku ke jurang keputusasaan.

“Yaguchi Michitaka bukan ayah kandungmu. Aku ayahmu yang sebenarnya.”

Tidak—tidak seharusnya dia mengatakannya! Kami sudah berjanji untuk menyembunyikan hal itu selamanya! Kenapa dia melanggarnya!?

Airi terdiam, lalu tubuhnya bergetar hebat sebelum ia menjerit penuh penderitaan.

“Itu bohong! Ayahku cuma satu!”

Tangisnya begitu memilukan, seolah penolakan itu satu-satunya hal yang membuatnya tetap bisa bertahan. Tapi pria itu malah menekan lebih jauh.

“Itu bukan bohong! Dengarkan kata-kata ayahmu! Kau harus nurut!”

Darahku seolah berhenti mengalir. Tolong, hentikan… jangan hancurkan lagi hubungan ibu dan anak kami…

Airi menatapku dengan mata penuh kebencian—lebih dalam dari sekadar marah atau kecewa.

“Ibu, Ibu itu yang paling buruk!”

Dia sudah cukup besar untuk memahami posisinya sendiri. Dan karena Airi anak yang pintar, ia tahu betul apa yang terjadi.

“Berani-beraninya kau bicara seperti itu kepada orang tuamu!”

Pria itu membentak menggantikanku. Tapi aku tahu… dia benar. Aku tidak punya keberanian untuk membantah, karena dalam hati aku tahu aku memang bersalah.

“Orang tua? Hanya karena ada hubungan darah, itu sudah membuatmu orang tua? Itu bukan arti keluarga! Keluarga itu orang yang membesarkanku dengan cinta sejak kecil! Aku harus menghormati orang yang mengkhianati ayahku dan orang asing yang baru kulihat hari ini? Tidak masuk akal!”

Kata-kata Airi menembus hatiku seperti pisau. Karena aku tahu dia benar. Tapi pria itu malah semakin tersulut amarah.

“Berisik, dasar anak kurang ajar! Kalau tidak mau dipukul, nurut! Takut, kan? Ayo, panggil aku ayah!”

Dia mengangkat tangannya tinggi-tinggi, mengancam dengan keras.

“Tidak mau! Tidak mau! Tidak mau! Ayahku tidak pernah memukul siapa pun! Kembalikan Ayahku! Aku tidak peduli berapa banyak uangmu, aku benci orang miskin hati yang memaksa anak dengan kekerasan!”

Melihat anak yang kulahirkan berjuang untuk kebenaran sementara aku hanya bisa tunduk, membuatku dipenuhi rasa iri dan malu.

Aku merasa Airi sedang menghukumku—dan itu terasa menyakitkan.

“Cukup, Airi! Sudah! Cepat bilang saja! Kau akan melupakannya nanti!”

Aku menjerit, menampar punggung tangannya berkali-kali.

“Tidak akan pernah!”

Airi menatapku dengan tatapan jijik dan kecewa, lalu pria itu kehilangan kendali.

“Kalau begitu, akan aku ajarkan, dasar bocah!”

Tangannya melayang ke arah Airi—

Namun tiba-tiba, suara pintu depan terbuka. Seorang wanita berlari masuk dan memeluk Airi, melindunginya dari tamparan itu. Tapi pukulan tetap mendarat di wajah wanita itu.

Suara benturan keras terdengar. Meskipun dipukul, wanita itu tidak melepaskan Airi dari pelukannya.

Pria itu membeku ketika sadar tindakannya disaksikan orang lain.

Wanita itu menatapnya dengan penuh amarah. Aku mengenal wajah itu—Misato-san, adik perempuan Michitaka, yang rumahnya tak jauh dari sini.

“Airi-chan, kamu tidak apa-apa!? Apa yang kalian lakukan!? Aku dengar dari tetangga ada suara teriakan gadis kecil dari rumah ini! Tanganmu bengkak begini… apa kalian yang melakukannya!?”

Pria itu kaku tak bisa bicara. Aku pun tak sanggup menjawab.

Suara sirene polisi mulai terdengar dari luar.

***

Beberapa saat kemudian, kami berdua dibawa ke kantor polisi tanpa perlawanan berarti. Para tetangga yang mendengar jeritan Airi segera melapor. Tak lama, ambulans datang, dan aku ikut menemani Airi serta Misato ke rumah sakit. Syukurlah, hasil pemeriksaan menunjukkan mereka tidak mengalami luka serius.

Namun Airi harus dirawat inap sementara untuk pengawasan.

Polisi kemudian datang ke ruang rawat untuk meminta keterangan. Aku ikut mendampingi Airi selama proses itu.

“...Dari ini, kalian akan mengerti semuanya.”

Airi memutar rekaman suara dari ponselnya. Rupanya, saat kejadian, dia sudah menyalakan aplikasi perekam. Ponsel itu adalah hadiah ulang tahun dari ayahnya, Michitaka. Semua kata-kata dan kekerasan tadi terekam jelas—sebuah bukti yang menyayat hati.

***

Dari rekan-rekan Michitaka, aku akhirnya tahu bahwa Miyabi berselingkuh, dan kematian Michitaka disebabkan oleh rasa stres berat akibat pengkhianatan itu. Wakil direktur perusahaannya memaksa pengakuan darinya.

Mendengar hal itu di pemakaman, Misato menampar Miyabi dan memutus semua hubungan.

Setelah kejadian ini, petugas dari dinas sosial datang menemui Misato.

“Situasinya sangat rumit, tapi kami harus memberi tahu—hak asuh ibu kandung akan dicabut. Karena kekerasan seberat itu tidak bisa dibiarkan.”

“Lalu bagaimana dengan Airi-chan?”

“Jika tidak ada keluarga yang bisa menampung, kami akan menempatkannya di panti asuhan. Untung laporan warga cepat, kalau tidak mungkin sudah terlambat.”

Mendengar itu, Misato hampir menangis.

“Kalau sampai tidak terungkap…”

Petugas itu menjelaskan betapa sulitnya menyelamatkan anak dalam kasus kekerasan domestik tanpa bukti atau laporan. Ia menatap Misato serius.

“Anda satu-satunya keluarga dekat yang bisa menampungnya. Kami tahu ini keputusan berat. Tapi tolong pertimbangkan.”

Misato sadar—Airi sekarang kehilangan kedua orang tuanya.

Namun dia tidak bisa memutuskan sendiri. Ia harus berdiskusi dengan suaminya.

***

Di rumah, Misato menjelaskan segalanya kepada suaminya.

“Aku ingin mengasuh Airi-chan. Kalau kamu tidak setuju, kita bisa bercerai. Aku akan bayar semua biaya. Kakakku—setelah ibu meninggal—meminjam uang demi kuliahku dan selalu menolongku. Aku tidak bisa membiarkan anaknya menderita seperti ini.”

Ia berkata sambil menahan tangis.

“Dia memang bukan anak kandungnya, tapi tetap keponakanku. Aku tahu dari rekaman itu betapa dia mencintai ayahnya.”

Suaminya terdiam sejenak, lalu berteriak:

“Kenapa ngomong aneh-aneh! Tentu saja boleh kok!”

Lalu dengan lembut, ia melanjutkan:

“Sudah jelas. Aku pun ingin mengatakannya lebih dulu. Airi-chan itu anak yang baik. Dia cuma anak yang tersesat—lahir dari ibu yang salah, itu saja.”

Misato pun menangis sambil menggenggam tangan suaminya.

***

Beberapa hari kemudian, Airi resmi keluar dari panti dan kembali ke rumah Misato.

Saat dijemput, ia menangis tersedu-sedu.

“Maaf… aku cuma akan jadi beban, ya? Aku bukan anak kandung paman, jadi tidak apa kalau kalian tidak mau repot. Aku suka Tante Misato, tapi aku tidak mau menyusahkan kalian lagi…”

Misato memeluknya erat.

“Tidak apa-apa, Airi-chan. Ayahmu yang sebenarnya tetap Michitaka. Keluarga itu tidak ditentukan oleh darah. Ibu kami dulu juga bukan ibu kandung Kakakku, tapi mereka lebih dekat daripada aku sendiri. Kalau kita sudah pulang nanti, ayo kita masak kari resep Ayahmu, ya? Aku adiknya, jadi aku tahu cara buatnya.”

Suaminya menimpali sambil tersenyum:

“Benar, panggil kami seperti biasa saja. Ayahmu tetap Michitaka. Tapi mulai sekarang, kita keluarga, ya? Biar agak aneh, tapi aku senang kalau kamu mau tinggal di sini.”

Misato merasa bersyukur dalam hati.

Dan Airi, sambil menangis, berkata pelan:

“...Iya.”


Chapter 6 – Akhir Tragis Istri Selingkuh dan Kehidupan Kedua yang Penuh Kebahagiaan

― Garis Waktu α (Alpha) (Sudut Pandang Miyabi) ―

Aku telah kehilangan segalanya.

Berkat kekuasaan dan uangnya, pemberitaan tentang penangkapan kami bisa dihentikan di detik terakhir. Namun karena dia adalah putra dari keluarga besar perusahaan dan kini menjabat sebagai presiden anak perusahaan, bila skandal seperti ini sampai terungkap, kami pasti akan menjadi santapan empuk media.

Kami hidup dalam ketakutan yang tiada akhir.

Andai Michitaka tidak mati, mungkin kami bisa lebih bahagia...

Kenapa kami harus menderita sejauh ini?

Hak asuh Airi telah dicabut dariku. Kudengar Misato-san, adik perempuan Michitaka, yang mengambil alih pengasuhannya. Aku ingin bertemu... ingin melihat putriku lagi. Hari itu adalah satu-satunya saat aku mengangkat tangan padanya. Aku hanya ingin menghentikannya, bukan melukainya.

Tapi kenapa... kenapa semuanya harus berakhir seperti ini?

Bahkan kalau aku menyesal dan memohon agar hak asuh dikembalikan, aku tetap tak akan menang. Misato-san dan Airi sudah melaporkanku, dan aku kini tengah menjalani proses persidangan.

Sekalipun waktu berlalu dan aku berusaha menuntut hak asuh lagi, Misato-san pasti tak akan memaafkanku. Bila dia membongkar rekaman suara dan hubungan rahasia kami di pengadilan, semuanya akan berakhir.

Mereka mungkin akan mengunggah rekaman itu ke internet demi melindungi diri. Jika itu terjadi... hidupku benar-benar hancur.

Saat aku terkurung sendirian di rumah, pikiranku hanya dipenuhi hal-hal buruk.

Bel pintu berbunyi. Suara itu membuatku gemetar — aku membencinya. Karena itu mengingatkanku pada hari ketika polisi masuk ke rumah.

Sejak hari penangkapan itu, aku belum pernah bertemu putriku lagi.

“...Aku pulang,”

Dia kembali.

Tubuhnya yang dulu berotot kini terlihat kurus dan lemah karena stres. Dia juga mulai minum lebih banyak.

Sepertinya dia tertekan berat karena berusaha menutupi skandal ini, dan kini takut terdepak dari perebutan posisi pewaris keluarga besar.

“Selamat datang,”

Percakapan kami semakin sedikit dibanding dulu, saat kami tinggal di rumah terpisah.

Hubungan kami sudah benar-benar dingin.

Semua ini karena peristiwa itu.

Padahal... bukankah kami seharusnya bisa bahagia sekarang?

“Dengar, soal perusahaan Michitaka... sepertinya kami akan bisa membeli seluruh sahamnya sebentar lagi. Kalau itu terjadi, aku bisa kembali menjadi kandidat utama penerus keluarga.”

“Begitu ya... syukurlah.”

Tapi aku tahu, soal perebutan posisi pewaris itu pasti bohong. Dia sudah seperti orang mati hidup. Kalau itu benar, dia pasti akan lebih gembira.

Mungkin itu hanya keinginannya semata.

Lagipula, strategi mereka untuk menekan perusahaan Michitaka adalah dengan memanfaatkan daftar klien yang dulu aku curi dan menakut-nakuti mereka agar menyerah.

Akhirnya, Katsuya-san benar-benar menyerah. Tapi jujur saja, sekarang aku bahkan tidak peduli lagi.

“Kalau bukan karena Michitaka, aku takkan jadi seperti ini. Jadi, aku akan merebut semuanya darinya. Perusahaannya, segalanya.”

Semakin dia terobsesi pada Michitaka, semakin banyak hal yang hilang dari hidup kami.

Aku pun ikut jatuh bersamanya.

Sampai sejauh mana kami akan terperosok ke bawah?

Bahkan jika aku bertanya pada jurang tempat kami jatuh, tak ada suara yang kembali.

Dari jendela, kulihat bunga sasanqua putih bergoyang tertiup angin.

Makna bunga sasanqua putih adalah balas dendam.

Seolah-olah bunga itu sedang menatapku penuh kebencian.

***

― Garis Waktu βeta (Beta) ―

Sekolah berakhir tanpa masalah.

Aku dan Rika berkumpul.

Entah nanti kami akan menjadi saingan atau rekan, untuk saat ini kami sepakat untuk melihat situasi klub komputer terlebih dahulu. Tapi ketika kami sampai di ruang komputer, ternyata tidak ada siapa pun.

Yah, sepertinya hari ini libur.

Akhirnya kami memutuskan untuk pulang bersama.

Sebelum itu, kami mampir ke ruang guru untuk menanyakan siapa pembina klub komputer.

Kebetulan wali kelasku, guru bahasa Jepang bernama Ishihara Kaori, sedang di sana. Saat kutanya, dia tersenyum dan berkata,

“Ah, itu aku. Aku suka komputer, tahu?”

Guru Ishihara adalah guru muda yang baru mengajar tiga tahun. Ceria, ramah, dan populer di kalangan siswa laki-laki maupun perempuan.

Seorang guru bahasa Jepang yang ahli komputer — itu cukup tidak biasa.

“Yaguchi-kun tertarik dengan komputer, ya?”

“Iya, jadi saya ingin tahu keadaan klub komputer.”

“Begitu, bagus sekali. Kami sangat senang dengan anggota baru! Sekarang, klub itu hanya punya satu anggota — ketua klub. Dia memang jago komputer, tapi kurang pandai berinteraksi, jadi sulit merekrut orang. Hari ini dia izin sakit, jadi coba datang lagi besok, ya.”

Ternyata tujuan kami sejalan dengan klub komputer.

Bagus, berarti negosiasinya nanti lebih mudah.

Setidaknya aku sudah berbicara baik-baik dengan guru pembinanya. Kalau beruntung, mungkin beliau juga akan memperkenalkanku pada ketua klub itu nanti.

Kalau guru menganggapku siswa yang kompeten di bidang komputer, mereka juga akan lebih mempercayai klub itu.

Setelah berpamitan dengan guru Ishihara, aku dan Rika memutuskan mampir ke supermarket sebelum pulang.

“Hari ini Senpai yang masak, ya?”

Dia tampak terkejut, mungkin tidak bisa membayangkan aku bisa memasak.

“Iya. Tapi cuma kari, sih.”

Sayur-sayuran masih banyak di rumah, jadi aku hanya perlu membeli daging dan bumbu.

Dagingnya, kupilih ayam atau babi saja — daging sapi terlalu mahal untuk uang saku seorang siswa SMA.

Saat kami berjalan di supermarket, berbelanja bersama seperti ini rasanya... seperti pasangan baru menikah.

Di depan kami, kulihat seorang gadis kecil meminta ayahnya membeli permen.

Tanpa sadar, aku teringat pada Airi.

Mataku terasa panas.

Tapi Airi anak yang kuat dan cerdas.

Aku yakin dia akan hidup bahagia.

Dalam hati, aku terus meminta maaf karena telah membuatnya sedih.

“Senpai, tidak apa-apa?”

Rika menatapku cemas karena aku tiba-tiba terdiam.

Kami duduk sebentar di bangku taman.

“Tadi pagi, aku mimpi buruk. Dan entah kenapa aku teringat lagi.”

“Mimpi?”

“Iya. Mimpi tentang masa depan. Dalam mimpi itu, semua orang yang penting bagiku mati satu per satu. Aku berusaha keras, tapi pada akhirnya aku dikhianati oleh orang yang paling kupercaya... dan aku juga mati.”

Setidaknya... andai aku bisa berpamitan dengan Airi dan Misato di dunia itu.

“Senpai hebat. Bisa terus berjuang meski mengalami hal seberat itu. Itu luar biasa.”

“Eh, itu cuma mimpi, tahu.”

“Ah iya... maaf. Soalnya kedengarannya sangat nyata, aku sampai percaya.”

Ia tertawa kecil, tapi ada sedikit kesedihan di matanya.

“Wajahku terlihat sesedih itu, ya?”

“Iya. Tapi, Senpai... aku percaya. Suatu hari nanti, semua usahamu akan terbalas. Aku yakin itu.”

Ia tersenyum lembut, penuh kasih.

“Benar juga. Untuk sekarang, aku akan menjalani hidup ini sepenuhnya. Oh ya, mau ikut makan kari?”

“Tidak, aku tidak mau mengganggu suasana keluarga. Tapi kirimkan fotonya nanti, ya.”

Dia tersenyum lagi, dengan nada bicara yang lebih santai — seperti dulu.


Chapter 7 – Membuat Kari

Aku pulang ke rumah dan langsung mulai memasak.

Sayuran kupotong sembarangan saja, lalu sayuran akar yang sulit matang seperti kentang dan wortel kupanaskan dulu di microwave. Dengan begitu, waktu merebus bisa dipersingkat, dan aku bisa menghindari kesalahan klasik dalam membuat kari—sayuran yang masih setengah mentah.

Sebenarnya, kalau mau hasil yang benar-benar enak, sebaiknya bawang bombai ditumis sampai jadi kecokelatan seperti karamel, tapi karena aku takut gosong, kali ini cukup kupotong kasar saja. Lalu, aku menumis daging babi bersama jahe dan bawang putih dari tube.

Setelah itu, sayuran akar yang sudah dipanaskan kumasukkan ke dalam panci bersama tumisan daging dan bawang bombai. Lalu kutambahkan air sesuai petunjuk di kemasan roux kari, dan tinggal direbus saja.

Sambil menunggu rebusan kari matang, aku mencabik-cabik daun selada dan menatanya di piring, lalu menambahkan isi kaleng tuna dan jagung. Selesai—salad tuna jagung siap disajikan.

Nanti sebelum makan, tinggal diberi saus atau mayones.

Selain itu, agar Kaede-san bisa bersantai di pagi hari besok, aku juga sekalian membuat nikujaga (rebusan daging dan kentang).

Bahan-bahannya sama seperti kari, jadi sebagian sayur dan daging tadi kusisihkan untuk ini.

Lalu kutambahkan mentsuyu (saus mi Jepang) yang sudah diencerkan untuk kuahnya, serta dua sendok makan gula. Setelah itu, tinggal dijaga supaya tidak gosong. Karena kentang dan wortel sudah dipanaskan sebelumnya, asal tidak gosong, pasti berhasil. Aku akan makan sedikit malam ini, dan sisanya bisa jadi lauk bekal besok. Nikujaga yang didiamkan semalaman akan lebih lezat karena bumbunya meresap. Yah, mungkin sekalian kubuatkan juga untuk Rika—aku bisa modifikasi sedikit jadi seperti gyudon agar kuahnya tidak bocor dari kotak bekal.

Kali ini aku beruntung karena daging babi sedang diskon, jadi membeli banyak tadi memang keputusan yang tepat.

Lagipula, daripada cuma menunjukkan foto, akan lebih baik kalau dia benar-benar bisa mencicipinya—itu pasti menaikkan nilai diriku di matanya.

Kari dan nikujaga ini dulu adalah hidangan favorit putriku, Airi.

Keinginan untuk bertemu dengannya lagi masih tak tertahankan. Tapi aku merasa kalau aku terus berusaha di sini, dia pasti akan senang di suatu tempat di luar sana.

Dia selalu berkata betapa enaknya masakanku, jadi aku cukup percaya diri dengan dua menu ini.

***

“Tadaima! Eh? Harumnya enak banget! Kamu beneran masak malam ini!?” Misato, yang baru pulang dari kegiatan klub dengan perut lapar, langsung berseru.

“Selamat datang. Aku masak kari dan nikujaga. Mau coba rasanya sedikit?”

Sudah lama aku tidak menghabiskan waktu bersama adikku. Rasanya nostalgia sekali.

“Ya! Aku lapar banget, jadi mau makan!”

Melihat wajah Misato yang berseri-seri menatap masakan, aku tersenyum dan berkata, “Kalau begitu, ganti baju dulu ya, nanti aku siapkan.”

Sambil menunggu, aku menyiapkan piring kecil berisi sedikit kari dan nikujaga untuk dicicipinya.

Nasi masih ada sisa dari pagi, jadi tinggal kugunakan saja.

“Aku udah ganti! Itadakimasu~! Enak banget!”

Tanpa menunggu jawabanku, Misato langsung melahapnya dengan wajah bahagia. Kalau begini terus, sebelum makan malam dimulai, semua makanan bisa habis. Aku harus menyelamatkannya. Untungnya, aku sudah membeli sekantong besar camilan favoritnya di supermarket tadi—bisa kupakai sebagai pengalih perhatian supaya kari tetap aman.

“Kari ini enak banget, sayurannya empuk, rasanya gurih banget. Nikujaganya juga lembut dan manis!”

Syukurlah, dia senang.

Saat dia minta tambah, aku mengalihkan perhatiannya dengan membuka camilan dan menyalakan TV. Kami pun makan sambil menonton acara.

Sekarang sudah pukul setengah tujuh. Kaede-san biasanya pulang lewat jam delapan. Sambil menyesuaikan agar Misato tidak kebanyakan ngemil, kami menonton acara varietas favoritnya.

Aku juga sambil memeriksa laptop lamaku—hadiah waktu aku masuk SMA—dan ternyata isinya masih sama seperti yang kuingat. Semua software yang kubutuhkan masih ada, jadi aku bisa mulai bekerja dari sini juga.

***

“Tadaima~! Kalian pasti lapar, ya? Ibu masak dulu, ya.” Kaede-san akhirnya pulang.

“Ibu! Ini gawat! Kakak yang masak makan malam!”

“Eh!?”

Seperti yang kuduga, semua orang kaget. Sepertinya mereka tidak pernah menyangka aku bisa masak.

“Cuma yang sederhana, kok. Kari, salad tuna, dan nikujaga. Aku buat nikujaga agak banyak, jadi kupikir bisa sekalian buat bekal makan siang besok. Kubuat seperti babi-don gitu.” Sambil menahan malu, aku tetap menatap matanya dan berkata dengan tulus.

“Benarkah, Michitaka-san yang masak sendiri?”

“Karinya pakai roux instan, dan nikujaganya pakai mentsuyu. Aku lihat resep sederhana di internet.”

Misato yang sedari tadi senyam-senyum langsung ikut menimpali, dengan nada senang, “Ibu kan akhir-akhir ini sibuk banget di kantor karena rotasi jabatan, jadi Kakak mau kasih kejutan. Aku sih nggak bantu apa-apa, tapi kalau nanti ada kesempatan lagi, aku mau bantu juga.”

Kaede-san tampak hampir menangis mendengarnya.

“Kalau begitu, ayo makan. Kaede-san, duduk saja ya. Aku dan Misato yang siapin semuanya.”

“Okeee~,” jawab Misato dengan ceria.

Kami pun berdiri di dapur bersama. Saat aku memanaskan kembali kari, Misato tersenyum bahagia.

“Ibu pasti senang banget. Kejutan ini sukses besar. Makan malam seenak ini bisa bikin Ibu nangis, loh.”

“Aku jadi deg-degan. Semoga rasanya beneran enak.”

“Kakak masak demi Ibu, jadi nggak mungkin nggak enak! Lagipula aku udah coba tadi, dan enak banget kok.”

Meski aku agak ragu—karena bisa jadi rasa enaknya cuma karena dia lapar—aku tidak ingin merusak suasana, jadi aku diam saja.

Dan akhirnya, tibalah momen yang menentukan itu.


Chapter 8 – Kare Masing-Masing

— Garis Waktu Alpha (Sudut Pandang Misato) —

Kare buatan kakakku selalu mengutamakan efisiensi. Karena dia sadar kalau dirinya tidak terlalu pandai memasak, dia mencari cara agar tidak gagal—misalnya dengan memanaskan sayuran akar di microwave agar lebih cepat matang dan mengurangi risiko setengah matang. 

Benar-benar, kenapa sih dia selalu hidup dengan cara yang begitu hati-hati, tapi kadang justru melakukan hal-hal yang mengejutkan?

“Bibi Misato, mau aku bantu?”

Ketika Airi-chan menawarkan diri, aku menjawab, “Ya, tolong ya.”

Mumpung ada kesempatan, mungkin aku akan mengajarkan resep kare buatan kakakku padanya. Meski begitu, selain penggunaan microwave, cara membuatnya sangat sederhana. 

Jadi kalau menggunakan merek roux yang sama, rasa kare-nya bisa direplikasi dengan mudah.

Meski masih anak SD, sepertinya dia sudah pernah memakai pisau saat pelajaran praktik memasak di sekolah. Saat aku memintanya mengupas wortel dengan peeler, Airi-chan melakukannya dengan sangat cekatan. Aku sampai tertawa kecil karena berpikir, “Dia lebih mahir daripada kakakku dulu.”

“Ada apa?” tanyanya.

“Ah, tidak apa-apa. Aku cuma ingat waktu kakakku pertama kali membuat kare—dia mengupas wortel sampai hampir habis kulit dan dagingnya. Lucu sekali. Tapi Airi-chan, kamu hebat, ya.”

Mendengar pujian itu, dia tersenyum lebar. Matanya berkaca-kaca—ya, karena aku sedang memotong bawang di sebelahnya.

“Bawang bikin mata perih, ya.”

“Iya, sampai keluar air mata,” jawabnya.

Kami berdua berhenti sebentar, dan menangis sepuasnya—mengingat seseorang yang sama-sama kami cintai: kakakku.

***

Aku ingin Airi-chan mengingat kakakku sebagai kenangan yang menyenangkan. Itulah harapanku sekarang. Setelah menangis bersama, kami pun memasak sambil saling berbagi kenangan lucu tentangnya. Airi-chan bilang, kenangan paling berkesan adalah ketika ayahnya mengajaknya ke Disneyland.

Suamiku berkata, “Kalau begitu, bagaimana kalau kita pergi juga lain kali? Tiketnya bisa dapat harga murah lewat tunjangan kantor.”

Aku bahkan tidak tahu soal itu. Aku berbisik kesal, “Kenapa baru bilang sekarang?”

Dia tertawa dan menjawab, “Soalnya, kalau cuma kita berdua, rasanya kurang seru. Lebih menyenangkan kalau pergi bersama Airi-chan. Aduh, jangan cubit!”

Benar-benar, biasanya dia cuma pakai tunjangan kantor buat beli tiket film murah lalu makan shabu-shabu. Tapi sesekali aku juga ingin ke tempat impian seperti Disneyland.

Meski begitu, aku tetap menantikan jalan-jalan bertiga nanti.

Kare-nya pun selesai dimasak. Karena aku membuat banyak, besok mungkin aku akan menambahkan sedikit saus putih dan membuat kare doria (nasi panggang dengan kare dan saus keju).

“Selamat makan!”

Makan malam pertama bersama keluarga baru kami pun dimulai.

“Bibi Misato!”

Begitu menyuap kare pertama, Airi-chan berseru gembira sambil tersenyum lebar.

“Ada apa?”

“Kare ini rasanya sama persis seperti buatan Ayah! Enak banget! Terima kasih!”

Mendengar itu, aku merasa mendapatkan hadiah terbaik. Kami berdua tersenyum bahagia.

***

— Garis Waktu Beta —

“Selamat makan.”

Kami mulai makan malam bersama. Aku menatap Kaede-san dengan cemas, ingin tahu bagaimana reaksinya dulu sebelum menilai rasanya sendiri.

Sementara itu, adik perempuannya yang sedang tumbuh besar dengan cepat menghabiskan salad—katanya itu vege first—lalu melahap nikujaga (semur daging dan kentang) dengan penuh selera. Sudah lama aku tidak mendengar istilah vege first itu.

Setelah mencicipi kare, Misato mengacungkan jempol dan berkata singkat, “Bagus!”

Dia memang tipe yang selalu lapar, jadi aku sempat ragu apakah itu penilaian objektif, tapi tetap saja aku senang dia menyukainya. Di kehidupan sebelumnya pun, Misato sering bilang kare ini enak sekali.

Airi juga selalu minta tambah, dulu.

Melihat mereka, aku tiba-tiba menambahkan satu tujuan hidup lagi: memperlihatkan wajah cucu kami kepada Kaede-san suatu hari nanti.

Kaede-san menatap Misato yang makan dengan bahagia, lalu mencicipi kare itu sendiri. Setelah satu suapan, wajahnya langsung berseri, seolah semua lelahnya hilang. Ia lalu mencicipi nikujaga dan mengangguk puas.

“Michitaka-san, kare ini enak sekali. Sayurannya lembut dan rasanya pas. Terima kasih sudah memasak.”

Mendengar itu, aku benar-benar merasa lega.

“Syukurlah. Nanti aku buat lagi, ya.”

“Iya, tolong ya.”

Kaede-san tertawa kecil. Di matanya tampak kilauan air mata.

Baru kusadari—di kehidupan sebelumnya, aku baru mulai memasak setelah Kaede-san meninggal. Ini pertama kalinya, dari dua kehidupan, aku bisa memasak untuk ibu.

Rasanya seperti menuntaskan sesuatu dalam hidup.

Dan inilah langkah pertama.

Aku akan membuat semua orang bahagia, terus maju, dan mensyukuri kenyataan bahwa aku bisa mendapatkan kembali waktu bahagia kami bertiga yang dulu hilang.

Kalau masih ada sisa sampai besok, aku akan membuat kare doria.

Kare di hari kedua adalah bahan dasar terbaik untuk hidangan itu—aroma dan kekayaannya semakin keluar.

***

— Sudut Pandang Kaede —

“Nee, Hirotaka, Michiru... hari ini Michitaka-san membuatkan aku kare, loh. Juga salad dan nikujaga. Katanya nikujaga itu juga akan jadi lauk bekal untuk besok. Rasanya seperti mimpi, dia memasak khusus untukku.”

Kedua anakku sudah kembali ke kamar masing-masing, jadi sebelum mandi, aku melakukan rutinitas harianku: berbicara di depan altar rumah.

Nama Michitaka ternyata berasal dari gabungan nama mereka—“Michi” dari Michiru dan “Taka” dari Hirotaka.

Kanji 「隆」 (taka) berarti “tangga yang digunakan dewa untuk turun-naik antara langit dan bumi”. Artinya berkembang, meninggi, dan makmur—sebuah gambaran tentang jalan menuju masa depan yang bertumbuh bersama orang-orang di sekitarnya.

Nama yang indah sekali. Benar-benar seperti kedua orang yang aku cintai itu.

“Sedangkan nama Misato,” lanjutku pelan, “kami berikan supaya dia bisa membuat tempat di mana pun menjadi cerah dan nyaman, seperti oase yang menenangkan bagi orang-orang di sekitarnya. Dan... bisa memeluk orang-orang penting baginya dengan hangat.”

Dalam arti tertentu, Misato adalah kebalikan dari Michitaka.

Kalau Michitaka melangkah maju dan membahagiakan orang lain, Misato adalah tempat beristirahat bagi mereka yang lelah berjalan.

Dan kalau kakaknya lelah atau kesulitan, aku harap Misato bisa menolongnya meski dia seorang adik.

Heh, aku ngomong apa sih...

“Michitaka-san, kare-mu benar-benar enak. Karena kalian berdua adalah orang tuanya, rasanya tidak adil kalau cuma aku yang mencicipinya, jadi aku bawakan sedikit ke sini. Cicipilah bersama, ya.”

Mungkin Michitaka sengaja tidak membawa sepiring untuk altar karena sungkan padaku.

Padahal tidak perlu segan begitu—aku sayang mereka bertiga.

“Kalian tahu, aku benar-benar menganggap Michitaka sebagai anak kandungku sendiri. Aku bisa melihat jelas bagaimana dia mewarisi sisi terbaik dari kalian berdua. Dan akhir-akhir ini, dia seperti terlahir kembali—penuh semangat. Dia bahkan khawatir karena aku dipindahkan ke divisi baru yang cukup sulit di tempat kerja. Benar-benar anak yang baik... kebanggaan kita bertiga.”

Aku lalu mengambil sebotol sake spesial dan tiga gelas.

“Kalau begitu, mari kita bersulang untuk pertumbuhan anak tercinta kita.”

Aku yakin kalian berdua di sana sedang minum sake dan makan kare yang sama. Aku ikut berbagi kebahagiaan ini dengan kalian.

***

Setelah selesai mengatur komputer, kini aku bisa melakukan pekerjaan dasar di rumah.

Kami memang bilang akan membuat game, tapi kami hanyalah siswa SMA—tidak mungkin membuat engine sendiri. Jadi aku berpikir untuk mencari cara agar siapa pun, bahkan yang tidak paham komputer, bisa ikut membuat game bersama.

Akhirnya aku memutuskan menggunakan game-maker software.

Seperti RPG Tsukūru (RPG Maker) yang sering dipakai banyak orang, atau software pembuat novel visual. Dengan alat seperti ini, siapa pun bisa berpartisipasi tanpa harus paham bahasa pemrograman.

Dan dengan ide yang bagus, bahkan game buatan software seperti ini bisa menjadi luar biasa.

Sekarang zamannya, game gratis buatan individu bisa terkenal hanya karena dimainkan oleh streamer terkenal.

Ponselku bergetar—pesan dari Rika.

Aku tadi menawarinya makan siang bareng, bilang aku akan membuat bekal lebih untuknya.

Bagi kebanyakan anak SMA laki-laki, hanya mengirim pesan seperti itu saja bisa bikin gugup luar biasa. Menyusun kalimatnya bisa makan waktu berjam-jam, lalu cemas kalau tidak segera dibalas.

Aku paham, aku juga pernah begitu.

Tapi sayangnya, sekarang jiwaku ini milik pria paruh baya. Mengirim pesan begitu sudah bukan hal besar lagi.

…Kecuali kalau Rika menjawab, “Eh, jangan GR ya. Aku cuma baik karena rumah kita dekat, bukan karena kamu pacarku.” Kalau begitu aku pasti mental jatuh lagi.

Dengan jantung berdebar, aku membaca pesannya.

“Aku senang sekali! Aku tunggu, ya.”

Disertai stiker kelinci lucu bertuliskan “Terima kasih.”

Yes, misi berhasil!

Karena terlalu senang, aku langsung menjatuhkan diri ke kasur.

Tunggu… ini bukan kelakuan pria berjiwa empat puluhan, kan? Tapi sudahlah. Haus, jadi aku turun ke bawah untuk mengambil air.

Di ruang tatami, Kaede-san sedang berbicara dengan altar, seperti biasa—mungkin sedang melapor pada Ayah dan Ibu.

“Benar-benar anak kebanggaan kita bertiga. Kalau begitu, mari kita bersulang untuk pertumbuhannya.”

Aku mendengar kata-kata yang seharusnya tidak kudengar. Tapi anehnya, justru aku bahagia mendengarnya.

Air mata menetes tanpa bisa kutahan. Tidak boleh... belum saatnya menangis.

“Tapi... aku benar-benar bersyukur bisa bertemu denganmu lagi, Kaede-san.”

Aku mengambil botol air dengan hati-hati agar tak menimbulkan suara, lalu naik ke lantai dua, dan membiarkan semua perasaanku tumpah.


Chapter 9 – Takdir yang Mulai Bergerak

Ya, aku akan membuat orang-orang yang mencintaiku bahagia. Itulah tekadku.

Untuk itu, ada satu hal yang harus kutuntaskan. Setelah menangis lama, aku akhirnya mulai bergerak.

Aku menatap ponselku, mencari nama yang selama ini sengaja kuhindari. Baba Miyabi. Itu adalah nama gadis dari istriku di kehidupan sebelumnya.

Belakangan aku tahu, di masa ini Miyabi sering diam-diam bertemu dengan pria itu hampir setiap malam. Jadi mungkin saat ini pun…

Kalau hanya akan membuatku merasa serumit ini, lebih baik kutuntaskan saja semuanya. Tak ada gunanya terus berlarut dalam kebimbangan.

Aku dengan cepat mengetik sebuah pesan. Aku menulis bahwa aku ingin bicara penting besok sepulang sekolah, dan memintanya meluangkan waktu.

Besok, aku akan memutuskan Miyabi untuk pertama kalinya.

Padahal dulu aku terus-menerus dikhianati, tapi baru di kehidupan kedua ini aku benar-benar tersadar. Padahal Katsuya sudah berulang kali memperingatkanku. Aku benar-benar bodoh.

Aku meneguk air yang tadi kubawa, lalu memejamkan mata. Hari pertama setelah reinkarnasi ini terasa sangat melelahkan. Karena terlalu memaksakan diri, aku jadi cepat mengantuk. Sambil terkantuk-kantuk, aku sempat khawatir — kalau aku tertidur, mungkinkah aku akan kembali lagi ke depan makam itu? Namun kesadaranku perlahan tenggelam ke dalam kegelapan.

***

Aku bermimpi. Tentang dunia setelah aku mati.

Semua rekan kerjaku menangis di depan makamku. Katsuya menangis paling keras. Bahkan, demi melawan mereka, dia sampai berencana keluar dari perusahaan dan mendirikan bisnis sendiri. Tidak perlu sejauh itu, Katsuya… Tidak perlu menanggung risiko sebesar itu demi seseorang yang sudah mati sepertiku…

Air mataku tak bisa berhenti mengalir.

Adegan berganti.

Aku mendengar tangisan Airi. Seketika dadaku terasa sesak.

Ketika pandanganku semakin jelas, aku menyadari sedang melihat tiga orang dari langit-langit: Miyabi, Airi, dan pria itu.

Dan yang lebih parah — pria itu menyerang Airi dengan kata-kata yang menyakitkan.

“Karena ayahku itu Yaguchi Michitaka! Aku tidak kenal orang seperti kamu. Aku tidak bisa tiba-tiba memanggilmu ayah.”

“Airi-chan, aku tahu kamu cemas, tapi tak apa. Aku akan menjadi ayah barumu. Paman ini lebih kaya dari ayah lamamu, jadi kamu boleh minta apa saja yang kamu mau.”

“Jangan bercanda! Kamu tidak berhak bicara tentang ayahku seperti itu! Ayahku cuma satu di dunia ini! Aku tidak butuh uangmu! Aku ingin tetap tinggal di rumah ini! Aku tidak mau pindah!”

Hanya dengan mendengar teriakan itu saja, dadaku terasa sesak. Airi, jadi selama ini kamu mencintaiku sedalam itu… Terima kasih.

Mungkin karena kesal pada Airi, pria itu kemudian melontarkan kata-kata yang benar-benar keji.

“Yaguchi Michitaka itu bukan ayah kandungmu. Akulah ayah kandungmu yang sebenarnya.”

Aku sudah tahu dari video Miyabi. Tapi mendengar kata-kata itu secara langsung tetap membuatku semakin hancur.

Namun yang paling tak bisa kuterima—kenapa mereka harus memberitahukan hal sekejam itu pada Airi? Dia masih anak kecil! Tak bisakah mereka mengerti bagaimana hancurnya hati seorang anak kecil mendengar itu? Bahkan Miyabi… aku tak menyangka dia bisa sebodoh dan setega itu. Apakah ini kehidupan bahagia yang dulu kau dambakan bersama pria itu?

Kalau kau benar-benar ibu kandungnya, pikirkan dulu kebahagiaan anakmu!

Kalau tidak bisa, kembalikan Airi padaku!

Rasanya aku ingin memukul mereka berdua sampai mati.

“Itu bohong! Ayahku cuma satu!”

Airi menjerit dengan suara yang menyayat hati tepat di depan mataku. Sudah cukup, Airi… jangan lagi. Kalau kamu terus bicara seperti itu, justru kamu yang akan disakiti…

Di kepalaku, berulang kali terlintas berita tentang anak-anak yang kehilangan nyawa karena kekerasan orang tuanya.

“Ibu, kamu paling buruk!”

Kata-kata itu membuat pria itu marah besar.

“Berani sekali bicara begitu pada orang tuamu!”

“Orang tua? Cuma karena punya hubungan darah, bukan berarti kalian pantas disebut keluarga! Keluarga itu bukan tentang darah! Orang yang mencintaiku sejak kecil dan selalu memberiku kasih sayang—dialah ayahku! Kenapa aku harus menghormati orang yang mengkhianatinya, atau orang asing yang belum pernah kutemui seumur hidupku?”

Airi… kenapa aku cuma bisa menonton? Aku ingin segera memelukmu dan melindungimu. Tapi aku tidak bisa.

“Airi, cukup! Suatu hari nanti kamu akan lupa tentang dia juga!”

Miyabi berteriak histeris, lalu menampar punggung tangan Airi berkali-kali. Saat itu, aku merasa baru benar-benar melihat sisi asli dari mantan istriku. Sudahlah… aku tak ingin semakin membencimu.

“Anak kurang ajar…”

Dengan kata-kata kotor itu, pria itu mengangkat tangannya hendak memukul putriku.

Seseorang, tolong hentikan dia! Aku berteriak sekuat tenaga. Dan yang menyelamatkan Airi adalah Misato.

Sejak saat itu, Misato mengurus semuanya.

Dia meminta bantuan suaminya, Hiroto, dan mereka berdua menerima Airi untuk tinggal bersama mereka. Berkat mereka, hak asuh Airi berpindah kepada pasangan itu, dan aku bisa mempercayakan putriku kepada orang dewasa yang bisa diandalkan.

Misato bahkan membuatkan kari kesukaanku untuk menghibur Airi.

Beberapa hari kemudian, mereka bertiga datang berziarah ke makamku.

“Ayah, aku sekarang tinggal di rumah Bibi Misato, dan aku baik-baik saja. Aku juga sudah bisa kembali sekolah. Mereka baik sekali. Minggu depan, kami akan ke Disneyland bersama!”

Airi yang dulu menangis sedih kini sudah bisa tersenyum lagi berkat mereka.

“Pak Michitaka, aku memang tidak akan pernah bisa menggantikanmu sebagai ayah, tapi aku akan berusaha membuatmu tenang di alam sana. Jangan khawatir, aku akan jaga Airi baik-baik supaya tidak ada pria jahat yang mendekatinya.”

Ia masih sempat bercanda seperti biasa, membuat Misato memelototinya. Tapi aku tahu semuanya akan baik-baik saja. Karena Misato memilihnya dengan hati.

“Kak, biarkan aku menjaga Airi seperti dulu kakak menjaga aku… Aku akan membangun keluarga yang hangat seperti yang kakak dan ibu ciptakan dulu. Jadi tolong, awasi kami dari sana, ya.”

Aku tak bisa lagi berkata apa-apa. Aku sangat bersyukur. Terima kasih, Misato. Terima kasih sudah melindungi putriku.

“Datanglah sesekali menemuiku, ya. Andai saja aku bisa makan bersama kalian lagi… Andai aku bisa bilang langsung kalau aku mencintai kalian. Misato, Hiroto, tolong jaga Airi baik-baik. Airi, semoga kamu hidup bahagia.”

Kata-kata yang takkan pernah tersampaikan itu perlahan menghilang tertiup angin.

Dan aku pun terbangun dari mimpi.


Chapter 10 – Pembicaraan Perpisahan

Aku bangun sedikit lebih awal hari ini untuk membuat tamagoyaki (telur gulung Jepang). Setelah itu, aku memanaskan selada dan brokoli beku, lalu menatanya bersama nikujaga (semur daging dan kentang) ke dalam kotak bekal. Selesai.

Misato sempat berkata kalau dia juga ingin mencicipinya, tapi aku bilang, “Kamu kan punya makan siang di sekolah,” dan membuatnya menyerah. Sebagai gantinya, hari ini aku akan memasakkan kari doria terbaik untuknya. Aku masih belum yakin apakah mimpi semalam benar-benar menggambarkan dunia setelah aku mati di kehidupan sebelumnya. Tapi rasanya sangat nyata. Karena itulah, aku merasa aku berutang budi besar pada Misato—utang yang tak akan bisa kubalas. Dalam kehidupan kali ini, aku bertekad untuk memperlakukannya dengan sebaik mungkin.

Saat jam istirahat siang tiba, aku dan teman-teman makan bersama di ruang kelas kosong. Rika tampak terkejut.

“Ini benar-benar buatan Senpai!?” katanya dengan mata berbinar.

“Lumayan berwarna, kan?” jawabku sambil tersenyum.

Nikujaga berwarna cokelat, telur gulung kuning, selada dan brokoli hijau, plus tomat ceri merah. Aku memang sengaja memilih warna agar tampak menarik—terutama demi Kae-san dan Rika.

Tapi tentu saja aku tidak akan mengakuinya.

“Wah, luar biasa,” katanya kagum.

“Coba saja. Kae-san dan Misato bilang rasanya enak, semoga kamu juga suka.”

Nikujaga hari kedua sedikit hancur karena kentangnya meleleh, tapi rasanya jadi lebih kaya.

Memang, masakan rebus selalu mencapai puncak rasanya di hari kedua.

Untuk pria seperti aku, masakan rebus itu pilihan yang cocok. Misalnya, lobak rebus dengan saus tsuyu, sederhana tapi enak. Kadang aku menambahkan sayap ayam, dan jadilah hidangan istimewa.

“Rasanya enak sekali… bumbunya meresap banget.”

“Syukurlah, aku senang kamu suka.”

“Benar-benar enak, aku sampai kaget.”

Rupanya ini pertama kalinya Rika mencicipi masakanku di kehidupan kedua ini. Aku benar-benar senang. Tak ada yang lebih membahagiakan daripada melihat orang yang kau sayangi tersenyum karena masakanmu.

“Padahal tadi kamu sempat curiga, kan?” tanyaku bercanda.

Rika tersenyum malu. “Iya, sebenarnya begitu,” katanya sambil tertawa kecil. Kami berdua tertawa bersama.

“Senpai, nanti sepulang sekolah mau ke klub komputer?” tanyanya semangat.

Sepertinya dia bersemangat lagi hari ini. Aku senang, tapi…

“Sepertinya ketua klub sakit lagi hari ini. Aku sudah cek. Jadi bagaimana kalau hari ini kita kerjakan di rumahku saja?”

“Senpai benar-benar siap banget, ya. Boleh, aku senang banget bisa main ke rumah lagi. Tapi…” Rika menunduk, wajahnya sedikit ragu.

“Kalau aku terlalu dekat dengan Senpai, bagaimana dengan pacar Senpai? Bukannya tidak sopan kalau kita berdua saja? Walau kita teman kecil, tapi tetap saja, bukan?”

Dia benar juga, tapi aku hanya tersenyum.

“Tidak apa-apa. Aku memang berniat putus dengannya. Sebenarnya, Miyabi selingkuh, dan aku cuma dijadikan permainan olehnya.”

Wajah Rika seketika berubah dingin. “Apa…?” katanya pelan, terkejut. Aku sedikit menyesal karena suasana yang tadinya ceria jadi berat.

“Tidak apa-apa. Justru karena itu aku sadar. Balas dendamku pada dia adalah dengan cara menjadi bahagia. Jadi aku akan melangkah maju, tanpa lagi memikirkan orang yang tak pernah menghargai aku.”

“Senpai… keren banget,” katanya pelan.

“Tidak juga. Aku cuma baru sadar saja. Jadi, nanti sore datang ke rumah, ya. Aku akan sampai duluan, tapi kamu bisa menyusul santai.”

“Iya, Senpai.”

Kami berjanji untuk bertemu lagi setelah semuanya selesai.

***

Sore hari.

Aku menunggu Miyabi di belakang gedung olahraga. Tak lama kemudian, dia datang.

“Ada apa? Katanya mau bicara?” tanyanya. Wajahnya tampak pucat. Mungkin sedang tidak enak badan. Tapi aku tak akan berbelas kasihan. Karena gadis ini… sudah berselingkuh dengan pria lain hanya sebulan setelah kami mulai pacaran. Aku tahu karena dia sendiri mengakuinya di kehidupan sebelumnya.

Sekarang sudah enam bulan kami berpacaran—artinya dia sudah selingkuh selama lima bulan penuh.

“Miyabi, apa kau menyembunyikan sesuatu dariku?”

“Eh? Nggak kok… kamu bicara apa sih?” 

Ekspresinya sedikit goyah, tapi aku melihatnya dengan jelas.

“Aku tahu, Miyabi. Kamu selingkuh dengan senior kelas tiga. Kalian sering ke kafe di kota sebelah, kan? Setelah itu… ke hotel.”

Wajah Miyabi pucat. Matanya melebar, lalu dia terjatuh ke tanah.

“Tidak… bagaimana kamu tahu… tidak boleh, tidak boleh tahu… Kalau kamu meninggalkanku, aku… aku akan hancur… Jangan tinggalkan aku, kumohon. Maaf, aku salah. Aku akan segera putus dengan dia. Jadi tolong, jangan tinggalkan aku!”

“Kenapa aku harus memaafkan gadis yang sudah mengkhianatiku? Pergilah, minta perlindungan dari pria itu.”

Tangisannya terdengar putus asa. Aneh, di kehidupan sebelumnya pun dia juga memohon seperti ini saat aku memaafkannya. Tapi kali ini berbeda.

“Tidak! Tolong, aku mohon! Aku akan menuruti apa pun yang kamu mau! Asal jangan tinggalkan aku!!”

Aku melepaskan tangannya yang mencengkeram bajuku dan berkata dengan tenang, “Maaf. Aku tidak bisa. Aku tidak akan pernah bisa mempercayai seseorang yang telah mengkhianatiku. Jadi tolong, jangan pernah bicara padaku lagi. Aku tak punya waktu untukmu. Selamat tinggal… dan terima kasih, setidaknya untuk yang dulu.”

Miyabi mencoba mengejarku, tapi tersandung dan jatuh. Biasanya aku akan menolongnya, tapi kali ini… aku bahkan tak mau menyentuhnya. Aku hanya melangkah pergi tanpa menoleh.

“Tungguuu!” teriaknya.

Omong-omong, aku sudah merekam seluruh percakapan tadi—sebagai bentuk perlindungan diri.

Aku tahu betapa liciknya mereka; di kehidupan sebelumnya mereka bahkan mencuri data klien dari perusahaanku demi menghancurkannya.

Sekarang aku punya bukti bahwa dia mengaku berselingkuh. Jika mereka mencoba menjebakku, aku tinggal memakai rekaman ini. Aku langsung mengirim salinannya ke komputer di rumah lewat email, dan nanti akan aku simpan juga di USB. Dengan tiga salinan di tempat berbeda, mereka tak akan bisa menghapus semuanya.

“Bagaimana sekarang… Kalau aku kehilangan dia… aku…”

***

Aku berhasil meninggalkan Miyabi yang terus mengejar. Aku tak mengerti kenapa dia begitu terobsesi padaku. Apa karena harga dirinya terluka? Atau karena dia kaget diputuskan oleh pria yang dulu dianggapnya rendah? Atau mungkin… pria itu memerintahkannya untuk tetap bersamaku?

“Ya sudahlah, tidak penting lagi.”

Aku tak mau lagi terlibat dengan mereka. Buang-buang waktu saja.

Sekarang yang penting adalah pulang cepat dan berdiskusi dengan Rika soal rencana ke depan.

Tadi malam aku sudah menyiapkan beberapa konsep di laptop dan mencetaknya. Aku ingin mendengar pendapatnya, lalu mungkin malam ini langsung mulai mengerjakannya.

Aku mampir ke supermarket untuk membeli camilan—juga keju untuk membuat doria.

“Mungkin Rika mau makan malam di sini juga,” pikirku.

Aku punya cukup banyak kari untuk empat porsi. Kalau kurang, tinggal tambahkan saus putih (white sauce) lebih banyak agar porsinya cukup.

Membuat doria cukup mudah: taruh nasi di wadah tahan panas, tambahkan kari dan saus putih, taburi keju, lalu panggang. Saus putihnya juga cepat—sekitar 10 menit saja.

“Senpai! Selamat sore!”

Aku terkejut dan berbalik. Ternyata Rika.

“Kamu ngagetin aja. Sudah selesai urusannya?”

“Iya! Oh ya, aku beli jajanan nih—kamu suka Jagaliko, kan?”

“Wah, aku suka banget!” katanya sambil tersenyum.

Aku juga beli Choco Pie kesukaanku. Menurutku, kue itu adalah kombinasi terbaik di dunia—cokelat dan krim, tak terkalahkan.

“Oh iya, kamu mau makan malam di sini, kan? Hari ini aku bikin doria dari kari sisa kemarin.”

“Boleh!? Serius!?”

“Iya. Aku bahkan beli keju ekstra buat kamu.”

“Yaaay!” serunya riang. Ia langsung mengeluarkan ponsel dan mengetik cepat ke orang tuanya untuk izin. Aku tertawa kecil melihatnya.

“Kenapa Senpai malah senyum-senyum?” tanyanya sambil cemberut manja. “Waktu kita muda itu terbatas, lho. Kalau kita lengah, masa muda bakal berlalu begitu saja!”

“Wah, kamu kayak aku kemarin aja. Jangan-jangan kamu baca buku motivasi, ya?”

Angin sore yang hangat berhembus di antara kami.

“Enggak, aku cuma… terinspirasi dari Senpai,” katanya sambil tersenyum lembut. “Jadi, apa yang kita kerjakan hari ini?”

“Aku udah siapkan beberapa ide proyek, dan juga kumpulan video orang yang main game buatan sendiri. Kita bisa nonton yang pendek-pendek dulu biar kamu punya gambaran.”

“Terima kasih! Aku juga udah coba cari info, tapi jujur… pusing banget!”

“Hahaha, ya wajar. Awalnya memang membingungkan. Tapi mulai saja dengan yang seru dulu. Jangan langsung merasa susah.”

Game itu dibuat untuk dinikmati. Kalau pembuatnya sendiri tidak menikmati prosesnya, hasilnya tidak akan bagus. Tidak ada yang sempurna sejak awal—yang penting mulai dulu.

“Syukurlah, aku kira kamu bakal langsung kasih tugas berat. Oh ya, Misato-chan udah pulang?”

“Oh, iya…” aku baru ingat.

“Dia bilang pulang agak telat, ada kegiatan klub.”

“Begitu, ya…” Rika tampak sedikit gugup. Wajar sih—sendirian berdua di rumah dengan lawan jenis, sementara adikku pulang malam.

Tapi aku benar-benar mengundangnya untuk belajar dan berkarya, tidak lebih. Aku tahu, di kehidupan sebelumnya, aku adalah pacar pertamanya. Karena itu aku ingin menjaga perasaan dan batasan.

Meski sempat terpancing oleh gumamnya sendiri seperti, “Harusnya aku pastikan warna pakaian dalamku serasi, ya…,” aku menahan diri dengan sekuat tenaga.

Kupikir, malam ini akan jadi sesi klub yang menyenangkan. Dengan harapan itu, kami berjalan pulang sedikit lebih cepat dari biasanya.


Previous Chapter | Next Chapter

1

1 comment

  • Achmad Maulana
    Achmad Maulana
    27/10/25 22:27
    Buat yang Gak tau, ini adalah Novel karya dari Author Jinseigyakuten jadi ceritanya kurang lebih sama tapi ini sedikit nyesek banget ceritanya
    Reply
close