NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Kaji Daiko no Arubaito o Hajimetara Gakuen Ichi no Bishojo no Kazoku ni Kiniira re Chaimashita V1 Chapter 2

 Penerjemah: Ramdhian

Proffreader: Ramdhian


Chapter 2

Pelanggan Pertama


Hari ketiga liburan musim panas.


Haruto berdiri di depan sebuah rumah mewah.


“Uwaah... pekerjaan pertamaku langsung dengan orang sekelas seleb, ya...”


Ia bergumam dengan wajah lesu.


Hari ini adalah hari pertamanya sebagai penyedia jasa asisten rumah tangga. Setelah memastikan penampilannya rapi dan tak ada yang salah, Haruto menekan tombol interkom dengan jari yang sedikit gemetar karena gugup.


‘...Ya?’


“Ah, saya dari jasa asisten rumah tangga.”


Dari interkom terdengar suara perempuan muda, jauh lebih muda dari yang ia bayangkan.


Haruto segera merapatkan ekspresinya, berusaha agar suaranya tak bergetar karena tegang, lalu berbicara dengan nada sopan.


‘Baik, saya bukakan pintunya, mohon tunggu sebentar,’ kata si pemilik rumah.


Dari balik pintu, Haruto bisa mendengar samar-samar langkah kaki mendekat. Ia menarik napas kecil, berusaha menenangkan jantungnya yang berdebar kencang.


Akhirnya, pintu depan terbuka, dan pemilik rumah yang menjadi pelanggan pertamanya muncul di hadapannya.


“Terima kasih telah menggunakan layanan kami. Saya Ootsuki, yang akan bertugas hari—”


Namun begitu ia mengangkat kepalanya setelah mengucapkan salam sesuai prosedur, kata-katanya terputus, menyebabkan jeda yang aneh di akhir salamnya.


“Eh...? Toujou-san?”


Pelanggan pertamanya ternyata adalah Toujou Ayaka, idol sekolah mereka sendiri.


Saking kagetnya, Haruto tanpa sadar menyebutkan namanya.


Mendengar itu, Toujou pun tertegun. Ia menatap wajah Haruto dengan curiga, lalu membuka mulut seolah ingin memastikan sesuatu.


“Jangan-jangan... Ootsuki-kun... dari kelas yang sama?”


“Eh... iya, benar.”


“Hah...? Kenapa?”


Sambil melontarkan pertanyaan itu, dia mengarahkan pandangan waspada pada Haruto.


Mungkin dia berpikir Haruto sengaja bekerja sebagai asisten rumah tangga agar bisa mendekatinya.


Kalau yang di depannya gadis lain, Haruto mungkin akan berpikir “Apaan sih, GR amat?”


Namun, yang berdiri di hadapannya adalah idol sekolah.


Bagi gadis seperti dia, yang bahkan sampai dipanggil lewat siaran sekolah, reaksi seperti itu bisa dimaklumi.


“Ah... kalau Anda tidak berkenan dengan saya, Anda bisa minta ganti petugas, kok.”


Haruto, yang menyadari kewaspadaan Toujou, mengusulkan alternatif.


“Kalau diganti, perlu sedikit waktu untuk prosesnya, jadi durasi layanan yang Anda minta mungkin akan sedikit berkurang dari rencana awal.”


Toujou memesan paket tiga jam, meliputi pembersihan dapur dan persiapan makan malam.


“Kirain yang datang perempuan...”


“Ahaha, maaf...”


Mendengar gumaman kecil Toujou, Haruto hanya bisa tertawa kaku sambil meminta maaf.


Memang, sebagian besar staf di agensi tempat ia bekerja adalah perempuan. Namun, meski sedikit, ada juga beberapa staf laki-laki.


Sebenarnya, di situs resmi agensinya tercantum daftar staf lengkap dengan foto wajah, dan pelanggan bisa meminta staf perempuan jika mau. Sepertinya Toujou melewatkan bagian itu.


“Jadi, apakah Anda ingin ganti petugas?”


Ketika Haruto bertanya lagi, Toujou sempat menunduk ragu beberapa saat, lalu menggeleng pelan.


“Enggak, nggak usah. Kerjakan saja sesuai rencana.”


“Eh? Serius nggak mau ganti?”


Haruto, yang mengira dia pasti akan minta ganti, sedikit bingung dengan jawaban tak terduga itu.


“Ootsuki-kun, kamu... bukan mengincarku... ‘kan?”


“Tentu saja tidak.”


“Kalau gitu, nggak masalah. Masuklah.”


Toujou membuka pintu lebih lebar, mempersilakan Haruto masuk ke dalam rumah.


“Baik... kalau begitu, mohon kerja samanya.”


Masih agak bingung dengan situasi tak terduga ini, Haruto melangkah masuk ke rumah Toujou.


“Permisi.”


Sambil sedikit menunduk, ia mengenakan sandal rumah yang dibawanya.


“Dapur ada di sebelah sini. Ikut aku.”


Toujou berjalan cepat menyusuri lorong, dan Haruto mengikuti di belakang sambil melihat sekeliling dengan takjub.


‘Lorongnya panjang banget! Lebar lagi! Benar-benar rumah mewah.’


Sambil memikirkan hal itu, mereka sampai di ujung lorong. Toujou membuka pintu di sana dan masuk.


“Ehm, ini ruang tamu. Dapurnya ada di sebelah sana.”


Melihat interior rumah mewah untuk pertama kalinya, Haruto ternganga bengong.


Ruang tamunya saja mungkin dua... tidak, tiga kali lipat lebih besar dari ruang tamunya sendiri. Setiap furnitur tampak mewah dan tertata indah. Di dinding terpasang televisi besar, dan di bagian dalam terdapat ruang makan serta island kitchen, lengkap dengan jajaran peralatan masak elektronik terbaru di raknya.


“Keren...”


Pemandangan ruang makan dan ruang tamu semewah dan sekeren ini hanya pernah ia lihat di acara realitas romantis di TV.


“...Ootsuki-kun?”


Melihat Haruto yang berdiri melongo, Toujou memandangnya dengan ekspresi bingung. Haruto buru-buru menegakkan tubuh dan kembali bersikap profesional.


“Terima kasih telah menggunakan layanan kami. Sekali lagi, saya Ootsuki yang akan bertugas hari ini. Mohon kerja samanya.”


Sambil berbicara dengan nada sopan sesuai panduan, ia membungkuk dan menyerahkan kartu nama.


“Wah, ternyata kamu punya kartu nama juga.”


Sambil menerima kartu nama dari Haruto, Toujou menatapnya dengan kagum.


“Untuk konfirmasi saja, pesanan dari Toujou-sama adalah paket tiga jam, betul?”


“Eh? Ah, iya. Betul. Tapi rasanya aneh juga dipanggil ‘sama’ gitu... kita kan sekelas.”


“Meskipun kita sekelas, saat ini Toujou-sama adalah pelanggan penting saya.”


Jawaban Haruto tegas.


Bagi Haruto, gadis yang berdiri di hadapannya bukan lagi teman sekelas atau idol sekolah, tapi pelanggan yang membayar jasanya. Karena itu, ia harus membuat batasan yang jelas.


Lagi pula, bagi Toujou sendiri, pasti lebih nyaman begitu.


Bagi dia yang selama ini terus-menerus didekati oleh cowok-cowok di sekolah, pasti lebih melegakan jika diperlakukan secara profesional sebagai pelanggan, ketimbang terus waspada kalau-kalau Haruto mendekatinya dengan dalih pekerjaan.


Haruto melanjutkan pembicaraan tanpa mengubah nada bicaranya yang profesional.


“Baik, kalau begitu saya akan mulai bekerja. Sebelum itu, apakah ada permintaan khusus?”


“Hmm... bukan permintaan sih, tapi, anu... bisa lihat dulu kondisi dapurnya?”


Sambil agak malu, Toujou menuntunnya ke depan dapur.


“Ini, bukan aku sih, tapi adikku yang melakukannya. Apa tidak apa-apa membersihkan kondisi separah ini?”


Dengan nada sedikit ragu, Toujou menatap ke arah dapur yang benar-benar berantakan.


Sepertinya, adiknya mencoba membuat sesuatu seperti pancake. Serbuk putih berserakan di wastafel dan lantai di sekitarnya. Di sekitar kompor, adonan pancake berceceran dan sudah mengering jadi kerak. Dan yang paling parah, di atas wajan terdapat sisa pancake yang sudah setengah hangus jadi arang.


Selain itu, di dalam wastafel terlihat mangkuk dan piring berserakan, sementara cangkang telur tersangkut di saringan saluran pembuangan.


Haruto menatap sekilas dapur yang sangat kacau itu, lalu langsung menampilkan senyum profesionalnya.


“Tidak masalah. Saya akan membersihkan semuanya sampai kinclong.”


“Benarkah? Terima kasih, itu sangat membantu.”


Toujou terlihat sedikit lega.


“Kalau begitu, aku akan bersih-bersih di ruang tamu dulu, ya. Kalau ada apa-apa, panggil saja.”


Ketika Toujou hendak meninggalkan dapur, Haruto menyahut sambil tetap mempertahankan senyum profesionalnya.


“Kalau berkenan, saya juga bisa sekalian membersihkan ruang tamunya.”


“Eh? Aku jadi merasa nggak enak kalau minta tolong sejauh itu…”


“Tidak, itu sudah bagian dari pekerjaan saya, jadi jangan sungkan.”


“Begitu, ya… kalau begitu, boleh aku minta tolong bersihkan ruang tamu juga?”


“Siap, laksanakan.”


Meski sempat ragu, Toujou akhirnya mempercayakan Haruto untuk membersihkan dapur dan ruang tamu.


“Oh iya, vacuum cleaner-nya ada di lemari penyimpanan itu.”


Toujou menunjuk ke arah pintu panjang dan sempit di sebelah pintu masuk ruang tamu. Seperti yang diharapkan dari rumah besar, bahkan ruang penyimpanannya pun banyak.


“Kalau begitu, aku akan ada di kamarku. Kalau ada apa-apa, ketuk saja pintunya, ya. Kamarku ada di lantai atas, tepat di sebelah kiri setelah naik tangga.”


Setelah meninggalkan pesan itu, Toujou sedikit menunduk sambil berkata pelan, “Kalau begitu, tolong ya,” lalu bergegas keluar dari ruang tamu.


Begitu suara sosoknya menghilang dan terdengar suara langkah kaki menaiki tangga, Haruto akhirnya mengembuskan napas panjang, seolah baru muncul ke permukaan air.


“Haaah… tegang banget…”


Ia menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri.


‘Kenapa Toujou-san sampai menyewa jasa asisten rumah tangga? Dan… dia ternyata anak orang kaya? Aku baru tahu. Tapi serius, baru kali ini aku lihat Toujou-san dari dekat, tapi dia cantik banget, gila.’


Begitu terbebas dari ketegangan, berbagai pertanyaan dan pikiran membanjiri kepala Haruto.


Selama ini, Haruto memang tidak pernah memiliki ketertarikan terhadap gadis bernama Toujou Ayaka. Tapi bukan karena dia tidak tertarik pada perempuan.


Dia adalah anak SMA laki-laki yang cukup normal, yang tanpa sadar akan memperlambat laju membalik halaman ketika menemukan gravure di majalah manga.


Lalu, kenapa Haruto selama ini tidak tertarik pada idol sekolah itu?


Lasannya mungkin karena kepribadiannya sedikit lebih matang daripada kebanyakan siswa laki-laki lainnya. Tapi alasan terbesarnya adalah karena dia punya tujuan yang jelas dalam hidupnya. Demi mencapai itu, dia tidak boleh membuang waktu hanya karena tergila-gila pada bunga tinggi di puncak tebing.


“Siapa sangka Toujou-san ternyata nona muda setajir ini…”


Sambil bergumam, Haruto mengamati dapur dan ruang tamu yang akan ia bersihkan.


Sekilas, area dapur memang kacau, tapi ruang tamu tidak separah itu. Di lantai kayu dan karpet tampak sedikit debu dan rambut rontok, serta lapisan debu tipis di atas rak. Tapi dengan sedikit penyedotan dan lap basah, sepertinya akan bersih lagi.


“Aku sempat kaget gara-gara Toujou-san, tapi dia pelanggan pertamaku yang berharga. Pokoknya harus semangat.”


Sambil menggulung lengan bajunya, Haruto menguatkan tekadnya.


Ketika ia melirik jam dinding, waktu menunjukkan tepat pukul tiga sore. 

Ia harus menyelesaikan bersih-bersih dan memasak makan malam tiga jam dari sekarang.


“Tapi, adik Toujou-san ini parah banget ya ngotorin dapurnya.”


Sambil menatap isi wajan yang mengenaskan, Haruto tersenyum miris.


Bisa membuat dapur jadi separah ini, apakah adik Toujou benar-benar payah dalam urusan rumah tangga, atau dia masih anak kecil?


Saat Toujou memperlihatkan kekacauan ini pada Haruto, dia juga tampak malu.


“Toujou-san yang malu-malu... manis juga, ya.”


Melihat ekspresi Toujou yang tidak pernah terlihat di sekolah, Haruto hampir saja menyeringai.


Dan kalau bicara soal hal yang jarang terlihat, penampilan Toujou dengan pakaian kasualnya juga terasa menyegarkan bagi Haruto.


Bagi Haruto, seorang siswa SMA laki-laki normal yang akan menatap lekat-lekat (sambil curi-curi pandang) pose gravure yang menonjolkan dada, pakaian Toujou barusan—kaus panjang longgar berwarna lembut yang dipadukan dengan celana pendek putih—benar-benar membuatnya terkesima


“Toujou-san… bodinya bagus banget, ya…”


Karena biasanya ia hanya melihat Toujou dari jauh dengan seragam sekolah, jadi tidak begitu sadar sebelumnya. Tak heran kalau bayangan Toujou barusan terus menempel di benaknya.


“Enggak boleh! Dia itu klien penting. Kerja yang benar, woi, diriku!”


Ia mengatakannya dengan lantang untuk mengusir pikiran-pikiran aneh.


Meski harus bertarung melawan godaan, dia mulai membersihkan area dapur dan ruang tamu sesuai permintaan Toujou, memanfaatkan teknik bersih-bersih yang diajarkan neneknya.


Satu jam berlalu. Ketika jam dinding menunjukkan pukul empat sore, berkat usahanya berkonsentrasi penuh untuk mengenyahkan pikiran-pikiran aneh, area dapur kini sudah bersih total dari kotoran. Wastafelnya begitu kinclong sampai seolah memancarkan cahaya. Ruang tamu pun sudah bebas debu.


“Fuuuh… bersih-bersih selesai.”


Dengan wajah puas, Haruto memandangi ruangan yang sudah rapi.


Tiba-tiba, terdengar suara pintu dibuka dari arah depan, disusul suara anak laki-laki yang ceria.


“Aku pulaaang!”


Menyusul salam pulang itu, suara langkah kaki gedebak-gedebuk terdengar dari lorong.


Sebelum Haruto sempat berpikir atau bereaksi, pintu ruang tamu terbuka lebar dengan hentakan. Dari sana muncul anak laki-laki seumuran anak TK B.


Anak itu langsung membeku melihat Haruto yang berdiri mematung di dekat dapur.


“……”


“……”


Mereka saling menatap tanpa suara.


Setelah hening selama beberapa detik, Haruto membuka mulut, mencoba menjelaskan bahwa dia bukan orang yang mencurigakan.


“Anu, saya dari jasa asisten—”


“ONEE-CHAAANNN!! ADA MALING DI RUMAH!!”


Suara Haruto tertelan teriakan super kencang bocah itu.


Bocah itu langsung berbalik dan lari sekencang mungkin sambil berteriak di lorong.


“Maling! Kakak! Ada maling!”


“Bukan! Tunggu! Aku bukan maling!!”


Haruto buru-buru mengejar anak itu sambil berusaha mati-matian menjelaskan.


Namun, sepertinya suaranya tidak mencapai anak itu, yang terus berlari menaiki tangga sambil berteriak “Pencuri!” berulang-ulang.


“Ryota, ada apa ribut-ribut?”


Ketika anak itu menapakkan kaki di anak tangga pertama, Toujou muncul di bagian atas tangga karena mendengar keributan itu.


“Onee-chan, gawat! Ada maling di rumah!!”


“Hah, hah… maaf, Toujou-san. Anak ini salah sangka mengira aku maling…”


Anak laki-laki itu menunjuk Haruto yang baru saja menyusulnya, berusaha menjelaskan kepada Toujou. Sementara Haruto, yang baru saja berlari sekuat tenaga agar tidak dituduh sebagai kriminal, menjelaskan situasi sambil terengah-engah


“Pffft—”


Melihat keduanya, Toujou menahan tawa sambil menutup mulut dengan tangan, merasa geli sendiri.


“Onee-chan?”


Bocah itu menatap kakaknya bingung. Toujou menuruni tangga dan meletakkan tangannya di bahu adiknya dengan lembut.


“Begini ya, Ryota. Orang ini bukan maling, kok.”


“Eh? Bukan maling? Terus siapa? Pacarnya Onee-chan?”


“Bufh!”


Haruto tanpa sadar tertawa mendengar ucapan bocah itu. Berbanding terbalik dengannya, Toujou tetap tenang dan segera meluruskan kesalahpahaman adiknya.


“Bukan pacar juga. Orang ini petugas jasa asisten rumah tangga.”


“Jasa asisten?”


Bocah itu memiringkan kepalanya mendengar penjelasan kakaknya.


“Dia orang yang membantu kita bersih-bersih dan memasak. Paham?”


Mendengar penjelasan sang kakak, bocah itu mengangguk paham.


“Maaf ya, Ootsuki-kun. Ini adikku, Ryota. Dia masih anak TK, jadi belum paham hal-hal rumit.”


“Ah, tidak. Selama kesalahpahamannya sudah beres, saya tidak keberatan kok.”


Haruto menjawab begitu pada Toujou yang menundukkan kepala, dan berjongkok untuk menyejajarkan pandangannya dengan adik Toujou—Ryota.


“Ryota-kun, maaf ya kalau tadi udah bikin kaget. Aku Ootsuki Haruto, salam kenal.”


Haruto mengulurkan tangan dengan senyum hangat. Ryota sempat menatapnya ragu, tapi akhirnya menggenggam tangan itu dengan ekspresi yang lebih tenang.


“Maaf tadi sudah ngomong maling.”


Haruto sedikit terkejut melihat Ryota menundukkan kepala meminta maaf.


“Ryota-kun benar-benar anak yang baik, ya.”


Haruto menoleh ke arah Toujou yang berdiri di sampingnya.


Di usia sekecil itu, menyadari kesalahan sendiri dan meminta maaf tanpa disuruh bukan hal yang gampang.


Mendengar pujian itu, Toujou sedikit tersenyum, lalu memasang wajah agak masam untuk menutupi rasa malunya.


“Tapi dia juga nakal banget loh, suka berantakin mainan.”


“Artinya dia aktif, ‘kan bagus.”


Toujou tetap tersenyum sambil mengelus kepala adiknya.


Melihat itu, Haruto tersenyum. ‘Kakak-adik yang akur,’ pikirnya. Sebagai anak tunggal, ia sedikit mendambakan punya saudara.


“Oh iya, ngomong-ngomong, bersih-bersihnya sudah selesai. Bisa tolong diperiksa dulu?”


Gara-gara kemunculan Ryota, adiknya Toujou, membuat Haruto lupa bahwa ia sedang bekerja.


“Udah? Cepat juga.”


Toujou berjalan ke ruang tamu dan begitu melihat hasilnya, matanya langsung terbelalak.


“Eh? Luar biasa... Kinclong banget.”


Ruang tamu tanpa sebutir pun debu, meja dan wastafel yang berkilau seolah dilapisi cermin. Ruang makan dan ruang tamu itu sudah seperti show unit di pameran. Toujou ternganga kecil, merasa kagum.


“Kalau ada bagian yang kurang memuaskan atau masih ada permintaan tambahan, tolong beri tahu saya.”


Haruto merespons sesuai panduan, meskipun di wajahnya tersirat rasa bangga. Toujou menjawab sambil menggelengkan kepala.


“Enggak, ini udah perfect banget. Nggak ada keluhan sedikit pun.”


Toujou hanya bisa terkagum-kagum menatap dapur yang tadinya kacau balau kini kembali rapi, serta rak dan meja yang bebas debu.


“Wah, Ootsuki-kun ternyata jago bersih-bersih, ya.”


“Ya, begitulah. Kalau tidak, saya tidak akan memilih pekerjaan ini.”


“Ah, iya juga.”


“Kereeen! Ruangannya jadi kinclong! Dapurnya juga udah kayak semula! Onee-chan, ini keren ya!?”


Ryota tampak sangat bersemangat melihat ruang tamu yang sudah bersih. Ia mulai berlari kecil mengelilingi ruangan.


Melihat tingkah Ryota, Haruto dalam hati berpikir, ‘Padahal baru dibersihin, nanti debunya terbang lagi...’ Tapi dia merasa tidak tega saat melihat wajah bahagia bocah polos itu, jadi dia hanya menatap sambil tersenyum.


“Hei, Ryota, nanti debunya naik lagi. Padahal Ootsuki-kun udah capek-capek bersihin.”


Sebagai kakak yang bertanggung jawab, Toujou menegur adiknya.


Ryota yang ditegur pun langsung patuh menjawab, “Iyaaa,” dan berhenti berlari.


Melihat pemandangan itu, Haruto tanpa sadar bergumam.


“Toujou-san kakak yang baik, ya.”


“Eh? Masa, sih?”


“Iya, kelihatannya begitu.”


“B-Begitu? Makasih…”


Mungkin karena malu dipuji, Toujou berterima kasih sambil sedikit menunduk, matanya menatap ke atas dengan pandangan lembut. Melihat sosoknya yang seperti itu, Haruto merasakan jantungnya berdetak sedikit lebih cepat.


“Onee-chan tuh emang baik banget, loh!”


Ucapan Ryota memecah lamunan Haruto yang sejenak kehilangan fokus karena terpesona oleh keimutan Toujou.


“Iya, benar. Kakak Ryota-kun memang kakak yang baik. Tapi Ryota-kun juga adik yang baik, loh.”


Haruto kembali berjongkok dan mengusap kepala Ryota.


“Beneran? Aku adik yang baik?”


“Iya, Ryota-kun adik yang baik karena mau dengerin kakakmu.”


Mendengar itu, wajah Ryota langsung bersinar cerah.


“Onee-chan! Katanya aku adik yang baik!!”


“Iya, Ryota anak baik kok.”


“Ehehe.”


Dipuji oleh keduanya, Ryota menyeringai lebar, dan senyum polosnya membuat Haruto dan Toujou ikut tersenyum tanpa sadar.


“Ah, iya. Mengenai menu makan malam, permintaannya adalah membuatkan empat porsi dengan bahan yang tersedia di kulkas, ya?”


Haruto, yang sempat teralihkan oleh adik Toujou yang mirip bidadari, tersadar dan kembali ke mode kerja.


“Boleh saya lihat isi kulkasnya dulu?”


Berkat didikan neneknya, Haruto bisa memasak berbagai hidangan mulai dari masakan Jepang, Barat, hingga Tiongkok. Tapi, dia tidak bisa berbuat apa-apa jika tidak ada bahan. Kalau bahannya tidak cukup, ia mungkin harus pergi belanja, dan itu pun bagian dari pekerjaannya.


“Ah, ehm… walau agak berantakan, tapi silakan.”


“Baik, permisi.”


Haruto merasa agak sungkan pada Toujou yang mengizinkannya dengan malu-malu, tapi dia meyakinkan diri bahwa ini pekerjaan dan membuka pintu kulkas.


“Hmm... Telur, susu, bawang bombai, wortel, kol… oh, ada daging cincang juga. Campuran sapi dan babi, ya.”


Sambil mengecek isi kulkas, Haruto memikirkan beberapa kandidat masakan yang bisa dibuat dari bahan-bahan yang ada.


“Permisi. Boleh saya lihat bumbu dan rempahnya juga?”


“Oh. Itu ada di laci ini.”


Toujou membuka laci di bawah meja dapur.


“Wah, lengkap banget!”


Di dalam laci itu, ada lebih banyak bumbu dan rempah daripada yang Haruto kira.


“Lada hitam kasar, merica Sichuan, pekak, kapulaga, cengkeh, oh, ada daun salam juga, jahe bubuk, batang kayu manis! Ini… pala, ya.”


Sebagai seseorang yang hobi masak, Haruto tak bisa menahan rasa antusiasnya melihat koleksi rempah yang lengkap itu.


Dengan bahan di kulkas dan rempah yang baru saja dia lihat, dia memikirkan satu hidangan.


“Kalau begitu… bagaimana kalau makan malamnya saya buat hamburger?”


“!! Aku mau hamburger!!”


Sebelum Toujou sempat menjawab, Ryota langsung bersorak kegirangan.


“Onee-chan, malam ini makan malamnya hamburger, ya!?”


Dengan wajah penuh harapan yang diarahkan padanya oleh sang adik, Toujou menatapnya sambil tersenyum kecut, lalu berkata kepada Haruto:


“Untuk makan malam hari ini, tolong buat hamburger, ya.”


“Siap, laksanakan.”


Menanggapi kata-kata Toujou, Haruto membalas dengan sedikit berlebihan sambil menunduk hormat. Melihat itu, Ryota yang duduk di dekatnya mengangkat kedua tinjunya tinggi-tinggi ke udara dan meledakkan kegembiraannya.


Melihat reaksi Ryota yang menggemaskan, Haruto tersenyum kecil dan segera mulai menyiapkan makan malam.


Hamburger adalah salah satu makanan kesukaannya, yang baru beberapa hari lalu ia buat bersama neneknya. Karena itulah, ini adalah salah satu masakan yang paling ia kuasai, karena sudah berlatih sejak kecil agar bisa meniru hamburger lezat buatan neneknya.


Haruto pun mulai membuat hamburger dengan cekatan.


Toujou bersaudara duduk di meja makan sambil mengamati gerakannya yang efisien. ‘Toujou-san kali ini nggak balik ke kamarnya, ya,’ pikir Haruto sambil memegang pisau untuk memotong bawang bombai. Saat itulah, ia merasa ada yang memperhatikan. Ketika mendongak, ia mendapati Ryota menatapnya lekat-lekat dengan mata penuh rasa ingin tahu.


Haruto tersenyum kecil, lalu memperlihatkan gaya mencincang bawang super cepat dengan gerakan pisau yang sedikit berlebihan. Seketika terdengar sorakan kagum Ryota, “Wahhh...!”


“Ootsuki-kun ternyata cowok yang jago masak, ya.”


Di sebelah adiknya yang matanya berbinar-binar, Toujou juga berkata dengan nada kagum.


“Bisa bersih-bersih dengan sempurna, masak juga bisa. Keterampilan rumah tangga Ootsuki-kun tinggi banget, ya.”


“Zaman sekarang, saya rasa lebih jarang laki-laki yang tidak bisa masuk dapur.”


“Apa iya? Meski begitu, level Ootsuki-kun ketinggian, tahu?”


“Terima kasih atas pujiannya.”


Bukan hanya Ryota, Toujou pun terus menatap penuh minat ke arah tangan Haruto yang cekatan.


Meski merasakan tatapan dua pasang mata, Haruto tetap melanjutkan prosesnya. Saat sampai di tahap mengulen adonan, ia menyiapkan semangkuk air es dan mencelupkan kedua tangannya ke dalamnya.


“...? Lagi ngapain?”


Ryota memiringkan kepala bingung melihat aksi aneh Haruto.


“Ini supaya lemak dagingnya tidak meleleh karena suhu tubuh.”


“Lemak bisa meleleh?”


“Iya. Kalau lemaknya meleleh, hamburger-nya jadi nggak enak.”


Penjelasan Haruto tampaknya belum sepenuhnya dipahami Ryota, yang hanya memiringkan kepalanya. Sementara itu, Toujou mengangguk kecil sambil bergumam, “Hee...”


Setelah selesai, Haruto mengeluarkan tangannya dari air es, mengelapnya hingga kering, lalu mulai mengulen adonan dengan cepat. Karena baru saja dicelupkan ke air sedingin es, tangannya menjadi merah padam.


“Tangannya nggak sakit?” tanya Ryota khawatir.


“Terima kasih, Ryota-kun. Tapi nggak apa-apa, kok. Soalnya aku ingin Ryota-kun bisa makan hamburger yang enak.”


Merasa hangat oleh kepedulian Ryota, Haruto terus mengulen adonan. Setelah adonan kalis, ia membaginya menjadi empat bagian dan membentuknya menjadi bulat pipih.


Saat tinggal dipanggang, Haruto bertanya pada Toujou.


“Hmm, hamburger-nya mau saya panggang keempatnya sekaligus, atau dua dulu?”


Sebelumnya, Toujou memesan porsi untuk empat orang. Tapi sekarang hanya Ayaka dan Ryota yang ada di rumah.


Dua porsi sisanya mungkin untuk orang tuanya, tapi sampai sekarang belum ada tanda-tanda mereka akan pulang. Sebagai juru masak, Haruto tentu ingin mereka menyantapnya saat baru matang, jadi dia ingin orang tua Toujou juga menikmatinya selagi hangat.


“Hmm... ah, iya juga. Dua dulu aja, deh. Tapi...”


Toujou melirik ke arah jam dinding di ruang tamu dengan sedikit cemas.


Waktu sudah lewat pukul setengah enam. Karena waktu kerja Haruto berakhir pukul enam, kalau orang tuanya belum pulang, berarti ia tidak akan sempat memanggang dua porsi sisanya.


“Saya akan tinggalkan catatan cara memanggangnya. Kalau diikuti, hasilnya akan sama, kok.”


Kata-kata Haruto yang menenangkan itu membuat Ayaka mengangguk lega.


“Benarkah? Kalau begitu, tolong panggang porsi kami saja.”


“Baik.”


Haruto pun mulai memanggang dua adonan hamburger di wajan.


Sambil menunggu hamburger matang, ia menyiapkan sup consommé dan sayur pendamping di piring saji. Begitu hamburger matang dan nasi sudah tertata di mangkuk, ia menata semua hidangan di meja makan. Di saat yang bersamaan, jarum jam menunjukkan pukul enam, menandai berakhirnya waktu kontraknya.


“Kalau begitu, karena waktu kontraknya sudah habis, saya izin pamit.”


Haruto berkata demikian setelah selesai mencuci alat masak yang digunakan.


“Iya, makasih. Kamu sangat membantu.”


Melihat masakan yang tersaji rapi di meja, Toujou menatap kagum.


“Serius, keterampilan rumah tangga Ootsuki-kun tinggi banget.”


“Terima kasih. Saya yakin hamburger-nya juga dibuat dengan baik, jadi tolong dimakan selagi masih hangat.”


Setelah mengatakan itu kepada Ayaka, Haruto mulai berkemas untuk pulang.


Tiba-tiba, Ryota, yang sedari tadi menatap hamburger di meja dengan wajah berbinar, menghampiri Haruto.


“Hmm? Ada apa, Ryota-kun?”


“...Dadah, Onii-chan. Sampai ketemu lagi.”


Dengan sedikit malu-malu, Ryota melambaikan tangan pada Haruto, mengucapkan salam perpisahan. Pemandangan itu terlihat amat menggemaskan di mata Haruto. Ia tersenyum lembut dan membalas lambaiannya.


“Ya, sampai ketemu lagi, Ryota-kun.”


Meskipun ia berpikir ‘Mungkin kita nggak akan ketemu lagi,’ Haruto secara refleks menjawab begitu.


Kali ini, kebetulan saja ia ditugaskan ke rumah Toujou. Tapi lain kali, belum tentu dia yang akan dikirim. Malah, kemungkinan besar Toujou akan meminta staf lain begitu tahu bahwa yang datang adalah teman sekelasnya sendiri. Lagipula, pasti terasa canggung meminta teman sekelas untuk mengurus pekerjaan rumah.


“Ootsuki-kun, aku antar sampai depan, ya.”


“Terima kasih.”


Masih merasa sedikit enggan berpisah dengan Ryota yang melambai penuh semangat, Haruto menerima tawaran Toujou dengan senang hati.


“Ootsuki-kun, hari ini makasih banyak, ya.”


Setibanya di pintu masuk, Toujou membungkuk pada Haruto.


“Tidak, justru saya yang berterima kasih karena sudah menggunakan layanan kami.”


Mendengar itu, Haruto seolah teringat sesuatu, lalu mengeluarkan selembar brosur dari tasnya dan menyerahkannya pada Toujou.


“Anu, kalau Anda berencana menggunakan jasa kami lagi, kami juga punya paket kontrak langganan.”


Haruto menjelaskan sambil menunjuk brosur yang diberikannya pada Toujou.


“Kalau Anda mengambil kontrak langganan, harganya akan lebih murah daripada kontrak eceran seperti hari ini. Jadi mohon dipertimbangkan.”


Ayaka tersenyum geli mendengar Haruto yang melakukan promosi sesuai panduan.


“Rasanya, Ootsuki-kun jadi kayak sales, ya.”


“Yah, ini juga bagian dari pekerjaan.”


“Rasanya aneh diajak ngomong pakai bahasa formal ala orang dewasa sama teman sekelas. Emang nggak boleh ngomong biasa aja?”


“Bukannya tidak boleh, tapi kan Toujou-sama itu pelanggan.”


Mendengar jawabannya, Toujou hanya bisa tersenyum kecut.


“Begitu, ya... pelanggan, ya.”


“Iya. Ah, sebaiknya lekas kembali, nanti hamburger-nya keburu dingin.”


“Ah, iya juga. Kalau begitu, hari ini makasih banyak ya, Ootsuki-kun.”


“Baik. Kami tunggu pemesanan berikutnya.”


Haruto sekali lagi membungkuk dalam-dalam sebelum meninggalkan kediaman Toujou.


Saat mendongak, ia sempat melihat wajah Toujou, yang tampak sedikit kecewa—mungkin hanya salah lihat, pikirnya.


Meyakinkan diri begitu, Haruto pulang ke rumah setelah menyelesaikan hari pertama kerja sambilannya.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close