Penerjemah: Ramdhian
Proffreader: Ramdhian
Chapter 1
Aku Mulai Kerja Sambilan Sebagai Asisten Rumah Tangga
Langit biru membentang luas, dan di kejauhan menjulang awan cumulonimbus.
Nyanyian sahut-sahut serangga musim panas tak henti-hentinya menerobos masuk jendela ruang kelas yang terbuka lebar, seakan memperkuat panasnya musim ini.
“Mulai besok libur musim panas. Jangan kelewat bersemangat sampai ceroboh dan kena musibah, ya.”
Wali kelas meninggalkan pesan itu dan beranjak dari ruangan.
Begitu wali kelas pergi dan jam pelajaran usai, obrolan para siswa menjadi lebih riuh daripada nyanyian serangga. Suara-suara itu penuh semangat, seolah tak mau kalah dengan teriknya musim panas, dan terdengar meledak-ledak.
Para siswa bangkit dari tempat duduk mereka, berpindah ke meja teman-teman akrab, saling bercakap riang tentang rencana liburan yang akan datang.
Di tengah keramaian itu, seorang siswa laki-laki duduk di atas meja di barisan paling belakang dekat jendela.
“Haruu, kamu ada rencana liburan nggak?”
Siswa yang duduk di atas meja itu bertanya pada orang yang duduk di kursi.
“Hm? Yah, paling belajar.”
“Oi, oi! Serius kau ngomong gitu!?”
“Kau pikir aku bakal bohong sama sahabat sendiri?”
Siswa yang dipanggil Haru bersandar pada sandaran kursinya dan menatap sahabatnya yang duduk di meja dengan wajah serius.
“Kemarin waktu aku minta liat PR, kau bilang belum ngerjain. Terus, dua hari lalu kau bilang menu di kantin itu daging, padahal ikan. Terus hari Kamis minggu lalu…”
“Oke, aku ngaku. Aku emang sering membohongimu.”
Siswa yang dipanggil Haru itu mengangkat kedua tangan tanda menyerah.
“Jadi? Apa Anda punya rencana liburan, Tuan Ootsuki Haruto?”
“Sudah kubilang belajar, ‘kan? Wahai sahabatku Akagi Tomoya.”
Siswa pemilik meja, Ootsuki Haruto, mengulang kata-katanya dengan tenang.
Menanggapi itu, siswa yang duduk di meja, Akagi Tomoya, diam sejenak, lalu memasang ekspresi kaget setelah menyadari bahwa Haruto benar-benar serius.
“Hah!? Haaah!? Tunggu! Kau... serius!? Kita udah kelas dua SMA, tahu!”
“Ya, emang.”
“Berarti kamu tau dong harusnya ngapain?”
“Belajar.”
“Bukan itu, woi!!”
Tomoya berteriak lebay sambil menirukan gaya komedian. Haruto hanya bisa tersenyum kecil melihat tingkah sahabatnya.
“Kau juga tau, ‘kan? Aku punya target.”
“Yah... iya sih, tapi kan…”
Meskipun Tomoya mengangguk pada kata-kata Haruto, dia tampaknya masih belum puas dan mencoba membujuk lagi.
“Kalau kamu belajar terus-terusan juga bikin capek dan nggak efisien, ‘kan? Sekali-sekali harus istirahat juga. Misalnya…”
Ia berhenti di tengah kalimatnya, lalu mengarahkan pandangan ke seluruh kelas yang bising. Sampai akhirnya matanya berhenti di satu titik.
“Kayak ngajak cewek sekelas buat ke kolam renang atau ke pantai, gitu.”
“Kalau kau mau ngajak Toujou-san, usaha sendiri aja. Aku nggak ikut.”
Haruto melirik sekilas siswi yang dilihat sahabatnya, lalu menjawab dengan datar.
“Kamu kejam banget, bro! Masa ninggalin sahabat gitu aja!?”
“Tenang aja. Kalau kau ditolak mentah-mentah dan mentalmu hancur berkeping-keping, aku akan menghiburmu sebagai sahabat.”
“Jangan ngomong seolah-olah bakal ditolak, dong!!”
Sambil mengabaikan protes sahabatnya, Haruto kembali menatap gadis yang tadi dibicarakan.
Toujou Ayaka. Itulah nama gadis itu.
Dia bisa dibilang adalah idol sekolah. Rambut indahnya berkilau seperti linen saat terkena sinar matahari, lurus tanpa cela dan tergerai hingga ke tengah punggungnya, layaknya untaian sutra yang indah. Setiap kali ia menggerakkan kepala, rambutnya bergerak lembut seolah menentang gravitasi.
Parasnya begitu rupawan, sampai-sampai orang sering menduga dia sebenarnya artis atau idol sungguhan. Kadang beredar rumor kalau dia tergabung di agensi hiburan, dan kalaupun rumor itu benar, tak seorang pun akan kaget.
Tubuhnya juga sempurna. Proporsinya yang luar biasa tak hanya memikat kaum pria, tetapi juga wanita—membuat siapa pun tak bisa melepaskan pandangan darinya.
“Ayolah, Haruu. Kamu aja yang ajak Toujou-san.”
“Kenapa harus aku yang ngajak? Kau aja sana. Terus ditolak.”
“Berhenti bilang bakal ditolak, dong! Tapi ya… aku akui, kalau aku yang ajak pasti ditolak, sih.”
“Kalau kau aja ditolak, apalagi aku.”
“Enggak! Haru masih punya peluang!”
Tomoya menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Haruto menyipitkan mata dan menatapnya dengan curiga.
“Aku benci mengakuinya, tapi kau itu tampan. Jadi kalau kau gagal, aku udah pasti nggak ada harapan. Mending nyerah aja.”
“Memang sih, aku ini tampan dan kamu biasa aja... Auch! Woi, Haru, jangan main fisik dong!”
“Maaf. Aku nggak bisa nahan dorongan dari hatiku.”
“Wahai Tuan Haru, gaya chuunibyou gitu nggak disukai cewek, loh… oke oke, aku salah, jadi tolong turunin kepalan tanganmu itu.”
Haruto dengan malas menurunkan tinjunya yang tadi mau dia arahkan ke perut Tomoya, lalu menopang dagunya dengan telapak tangan sambil menatap Tomoya dengan jengkel.
Didesak tatapan itu, Tomoya kembali bicara.
“Denger ya! Selama ini, udah banyak cowok keren yang nembak Toujou-san.”
Memang, sejak awal masuk sekolah sampai sekarang, Toujou Ayaka sudah berkali-kali ditembak para pria.
Mulai dari bintang klub olahraga, cowok-cowok keren yang populer di kalangan siswi, ketua OSIS, sampai ketua komite disiplin. Bahkan ada juga siswa sekolah lain yang berdatangan ke gerbang hanya untuk menembaknya.
Tapi, tak ada satu pun yang diterima.
Semua orang yang menyatakan cinta padanya selalu berakhir sama: menunduk lesu, bahunya terkulai, dan pergi dengan aura kesedihan yang kentara.
“Melihat Toujou-san yang telah ‘menebas’ berbagai tipe cowok keren itu bikin aku sadar.”
“Menebas, katamu?”
Haruto menatap sahabatnya dengan wajah jengah, yang menyamakan idol sekolah dengan pembunuh jalanan.
“Jangan-jangan, Toujou-san itu nggak suka cowok ganteng?”
“Enggak, nggak. Di antara yang nembak dia selama ini, ada juga kok yang nggak ganteng.”
Tidak semua penantang pemberani yang mendekatinya adalah pria tampan. Ada juga siswa laki-laki yang nekat maju bermodalkan perasaan cinta yang membara pada Toujou, dan mereka pun berakhir ditolak.
“Iya juga, sih. Tapi, kau punya satu hal yang nggak dipunyai cowok-cowok yang telah gugur! Yaitu…”
Tomoya berhenti sebentar, lalu menunjuk Haruto dengan dramatis.
“Kau adalah pemilik nilai tertinggi di angkatan kita!!”
“Hmm.”
Haruto hanya menyandarkan pipinya ke tangan dan menjawab seadanya.
“Toujou-san itu pasti tipe yang lebih mementingkan isi kepala daripada tampang. Makanya, kamu yang nggak ganteng-ganteng amat masih punya peluang!”
“Mana ada.”
Haruto menyangkal mentah-mentah ucapan Tomoya sambil meninju perut sahabatnya.
Sambil melihat sahabatnya menggeliat kesakitan, Haruto kembali menatap Toujou Ayaka.
Di sekelilingnya hanya ada siswi-siswi perempuan. Sementara siswa laki-laki hanya melirik dari jauh, tanpa ada yang berani mendekat.
“Bisa jadi juga Toujou-san emang nggak tertarik sama cowok, ‘kan?”
Meskipun dia sangat cantik dan didekati oleh banyak pria, tidak pernah ada satu pun gosip asmara tentangnya, jadi kemungkinan itu tidak nol.
“Yah, masa, sih... tapi kalaupun begitu, boleh juga.”
Haruto menatap jengah sahabatnya, yang mengangguk-angguk dengan wajah serius sambil mengelus dagunya. Haruto, sama sekali tidak paham apa yang dimaksud Tomoya “boleh juga.” Ia pun mengambil tas yang tergantung di meja dan bersiap pulang.
“Eh, Haru. Udah mau pulang?”
“Ya. Di sini juga udah nggak ada yang mau dilakuin.”
“Yakin? Kalau kamu pulang sekarang, kamu baru bisa liat wajah suci Toujou-san lagi pas upacara pembukaan semester nanti, loh.”
“Wajah suci apaan, emangnya Toujou-san dewi?”
“Ya, hampir bisa dibilang begitu.”
Haruto mengabaikan wajah serius sahabatnya dan berdiri dari kursi.
“Beneran mau pulang? Nggak mau nyapa Toujou-san dulu?”
“Hari ini ada diskon di supermarket. Bagiku, bahan makanan murah lebih penting daripada dewi yang tak tergapai.”
“Apa coba. Emangnya kamu emak-emak?”
Melihat sahabatnya tertawa sambil nyeletuk, Haruto tiba-tiba teringat sesuatu.
“Oh iya, ternyata ada satu hal lagi yang mau kulakuin pas liburan nanti selain belajar.”
Mendengar ucapan Haruto sambil berjalan keluar kelas, Tomoya merespons, “Oh?”
“Walah? Akhirnya kamu mau main juga?”
“Enggak. Kerja sambilan jangka pendek.”
“Hee... Kerja apa?”
“Asisten rumah tangga.”
“Emang ada kerja sambilan jangka pendek kayak gitu?”
“Kebetulan nemu pas lagi lihat-lihat situs lowongan kerja.”
Sambil ngobrol, mereka berdua keluar kelas dan berjalan berdampingan di koridor.
“Asisten rumah tangga itu kayak nyiapin makan malam gitu?”
“Iya, terus bersih-bersih sama belanja juga, kalau diminta.”
Sambil menuruni tangga di ujung koridor, Haruto menjelaskan tentang kerja sambilan jangka pendek yang akan dilakukannya selama liburan.
“Oh, masih buka lowongan nggak tuh? Aku mau ikut.”
“Kamu tuh lebih cocok jadi pelanggannya ketimbang yang kerja.”
“Ahaha, benar juga.”
Mendengar Tomoya, Haruto ikut tertawa kecil.
Ia sudah sering main ke kamar Tomoya, tapi tak pernah sekalipun melihat kamar itu dalam keadaan rapi. Malah tiap kali ia datang, kekacauannya makin parah. Haruto, yang sudah tidak tahan, akhirnya membersihkan kamar itu untuknya. Itu bukan hanya sekali atau dua kali, sampai-sampai ia curiga kalau Tomoya mengundangnya cuma biar kamarnya dibersihkan.
“Yah, oleh karena itu, liburan kali ini aku akan fokus belajar dan kerja. Aku harus kumpulin banyak uang di musim panas ini buat biaya kuliah.”
Sambil bilang begitu, Haruto mengambil sepatu luarnya dari loker dan mengganti sandal sekolahnya.
“Liburan musim panas kayak gitu ngebosenin banget.”
Tomoya mengeluh sambil menepuk ujung sepatunya ke lantai.
“Gimana kalau kita balik aja ke kelas dan ajakin Toujou-san?”
“Udah kubilang, nyerah aja. Kalau kelamaan, aku bisa telat obral di supermarket.”
Mendengar ucapan Haruto sambil berjalan keluar gedung sekolah, Tomoya menghela napas panjang.
“Tahun depan kita udah sibuk ujian masuk universitas, loh. Berarti tahun ini tuh liburan musim panas terakhir yang bisa kita nikmatin. Kamu yakin mau ngabisinnya gitu aja?”
Melihat sahabatnya yang belum rela melepaskan idol sekolah, Haruto menyeringai sambil melewati gerbang sekolah.
“Udahlah, sahabatku. Kau juga harus menghabiskan musim panas ini bersamaku dengan kerja keras dan giat belajar.”
Melihat Haruto yang mengacungkan jempol, Tomoya tak tahan lagi, dan menengadah ke langit sambil berteriak.
“Aku nggak mau punya masa muda kayak gituuu!!”
※
Panas musim panas itu tak menunjukkan tanda-tanda mereda bahkan ketika sore menjelang, dan suara bising para serangga bergema di kawasan perumahan. Haruto mencubit bagian dada kemeja seragamnya yang lembap dan lengket karena keringat, lalu mengibaskannya berulang kali sambil membuka pintu rumah.
“Aku pulang...”
Sambil memberi salam, ia melepas sepatunya dan melangkah masuk. Dari ujung lorong, seseorang perlahan mendekat.
“Selamat datang, Haruto.”
“Aku pulang, Nek. Nih, hasil perburuan diskon hari ini.”
Haruto sedikit mengangkat kantong di tangannya dengan ekspresi bangga. Di dalam kantong itu ada daging cincang campuran dan bawang bombai—hasil buruannya hari ini.
“Dagingnya 118 yen per 100 gram. Bawang bombainya lima buah seharga 298 yen.”
“Aduh, aduh... pasti ramai sekali, ya?”
Sang nenek berkata dengan nada khawatir sambil menerima kantong itu.
“Aku jadi sadar betapa kuatnya kaum emak-emak.”
Kaum emak-emak di dunia ini, yang terbakar semangat demi mengamankan bahan makanan murah, memiliki potensi yang tak kalah, atau bahkan melampaui, remaja laki-laki SMA yang masih penuh tenaga.
Haruto kembali teringat pengalamannya dalam perjalanan pulang sekolah, saat ia harus berdesak-desakan dengan spesies terkuat yang disebut “emak-emak” di tengah teriknya musim panas. Wajahnya pun berubah masam
“Pasti berat, ya. Kalau begitu, malam ini kita makan hamburger saja, ya.”
Mendengar usul nenek yang berusaha menghargai perjuangan cucunya, wajah Haruto langsung berseri.
“Kalau bisa makan hamburger buatan Nenek, aku rela bertarung melawan emak-emak setiap hari!”
“Begitu, ya. Sekarang cuci tangan dan berkumur dulu sana.”
“Baik...”
Haruto menjawab singkat lalu berjalan ke wastafel. Setelah mencuci tangan dan berkumur, ia menuju ke ruang tatami. Di sisi dinding ruangan itu terdapat altar dengan tiga foto mendiang yang terpajang.
“Ayah, Ibu, dan Kakek... aku pulang. Mulai hari ini aku libur musim panas.”
Sambil menangkupkan tangan di depan altar, Haruto berbicara dengan suara lembut.
“Musim panas ini, aku berencana mulai kerja sambilan.”
Masih dengan tangan tertangkup, Haruto terus berbicara kepada foto-foto itu.
“Ah, tapi aku tak berniat menelantarkan pelajaran, kok. Aku juga akan tetap datang ke dojo. Jadi, tenang saja ya, Kek.”
Kini, di keluarga Ootsuki hanya ada Haruto dan neneknya.
Saat masih kecil, Haruto pernah mengalami kecelakaan lalu lintas. Dalam kecelakaan itu, kedua orang tuanya tewas, dan hanya dirinya yang selamat. Setelah itu, ia diasuh oleh kakek dan nenek dari pihak ibu.
Agar Haruto, yang telah kehilangan orang tua di usia muda, tak kesulitan hidup di masa depan, kakek-neneknya mendidiknya dengan tegas tanpa memanjakannya.
Ketika Haruto sempat menjadi murung dan tertutup akibat kehilangan itu, kakeknya menyuruhnya berlatih di dojo karate untuk melatih fisik sekaligus mentalnya.
Namun, sang kakek meninggal dunia ketika Haruto naik ke jenjang SMP.
Haruto sangat yakin, alasan ia sekarang bisa percaya diri dan tak mudah menutup diri adalah berkat kakeknya yang dulu membawanya ke dojo.
Sementara neneknya mengajarinya pekerjaan rumah tangga seperti bersih-bersih, mencuci, sampai memasak, agar Haruto tidak kesulitan kelak ketika harus hidup sendiri.
Berkat itu, Haruto kini sudah bisa melakukan hampir segala hal sendirian, bahkan sampai ke level di mana ia bisa kerja sambilan sebagai asisten rumah tangga.
“Sip, waktunya bantu Nenek di dapur.”
Sambil melepaskan tangkupannya dan berjalan menuju dapur.
Meskipun Haruto bangga bahwa kemampuan memasaknya telah meningkat pesat berkat bimbingan neneknya selama ini, ia sadar rasanya masih jauh di bawah sang guru, yakni neneknya.
Untuk mendekati cita rasa itu, Haruto selalu berdiri di dapur bersama neneknya setiap hari, berusaha mencuri teknik dan intuisinya.
“Hamburger buatan Nenek memang tiada duanya, sih...”
Membayangkan jus daging yang keluar dari hamburger yang penuh umami memenuhi mulut saat gigitan pertama, Haruto buru-buru menelan ludahnya yang hampir menetes sambil melangkah ke dapur.
※
Usai makan malam, Haruto kembali ke meja belajarnya dan membuka buku referensi.
“Haah... hamburger buatan Nenek memang tiada tanding...”
Meski postur tubuhnya menunjukkan sedang belajar, pikirannya masih terhanyut dalam sisa rasa makan malamnya, dan penanya tidak menunjukkan tanda-tanda akan bergerak.
Setelah bengong sejenak, Haruto tersadar dan menggeleng ringan. “Nggak boleh, nggak boleh,” gumamnya, dan kembali menatap serius ke buku referensinya.
Setelah itu, Haruto berkonsentrasi belajar selama sekitar satu jam. Begitu sampai di bagian yang pas untuk berhenti, ia meletakkan penanya dan meregangkan badan.
“Uuuh... sudah waktunya mandi, kali ya.”
Karena akhir-akhir ini pinggang neneknya sering sakit, tugas membersihkan kamar mandi sudah menjadi tanggung jawabnya.
“Kalau kelamaan nanti malah jadi males.”
Saat ia memutuskan untuk menyudahi belajarnya dan hendak ke kamar mandi, ponsel yang tergeletak di meja bergetar.
“Hmm? Dari Tomoya?”
Melihat nama Akagi Tomoya di layar, Haruto mengangkat ponsel dan menekan ikon telepon merah di tengah layar.
“Halo? Ada apa?”
‘Yo! Entah kenapa, tiba-tiba pengin dengar suaranya Haru.’
“Oh gitu. Kalau gitu, aku tutup ya, jijik soalnya.”
Begitu Haruto bersiap menutup panggilan, suara panik terdengar dari seberang.
‘T-Tunggu! Bercanda, bercanda! Aku beneran mau ngomong sesuatu!’
“Kalau gitu bilang dari awal. Tiba-tiba ngomong ngawur gitu, kupikir kupingku mau copot.”
‘Wah, parah banget! Padahal setengahnya serius, loh.’
“Ya udah, sampai ketemu pas masuk sekolah nanti.”
‘Maaf! Aku janji nggak bakal bercanda lagi!’
Mendengar suara panik sahabatnya, Haruto tersenyum tipis sambil menyandarkan pipi di tangan.
‘Ada kejadian menarik di sekolah abis kita pulang tadi. Pasti pengin tahu, ‘kan?’
“Kejadian menarik? Emang ada apa?”
Tomoya dikenal punya pergaulan yang luas. Informasi soal kejadian dan rumor di sekolah biasanya cepat sampai ke telinganya, dan dia sering berbagi cerita seperti ini kepada Haruto.
‘Jadi gini. Kau tau kakak kelas tahun ketiga, yang bernama Kaidou-senpai, ‘kan?’
“Aah... yang di klub tenis itu, ya?”
Haruto butuh waktu sebentar untuk mengingat siapa yang dimaksud.
Dalam ingatannya yang samar, Kaidou-senpai adalah jagoan klub tenis, konon punya kemampuan selevel pemain profesional. Ada juga rumor bahwa setelah lulus, dia akan dikontrak oleh merek besar. Beberapa cewek di kelas Haruto bahkan sempat heboh—katanya, kalau bisa jadi pacarnya sekarang, kemungkinan besar bisa hidup makmur di masa depan.
‘Nah, iya, Kaidou-senpai itu katanya nembak Toujou-san, loh!’
“Heeh... Terus?”
Haruto, yang sudah agak kehilangan minat, tetap menyuruh Tomoya lanjut bercerita.
Pernyataan cinta pada Toujou Ayaka.
Itu sudah seperti agenda rutin di sekolah mereka, bukan hal yang aneh. Dan hasilnya selalu bisa ditebak.
‘Ditebas habis dengan satu kalimat: “Aku nggak tertarik.”’
“Sudah kuduga.”
Sesuai dengan tebakannya, Haruto menjawab tanpa minat.
Toujou Ayaka tak pernah mengiyakan siapa pun yang menembaknya. Itulah citra dirinya di benak Haruto.
‘Ya, bagian itunya sih biasa. Tapi masalahnya, cara nembaknya kali ini yang gila.’
“Situasinya dibikin ribet gitu?”
Para pria yang pernah menantang Toujou selalu mencoba berbagai cara demi memenangkan hatinya, dan beberapa di antaranya cukup nyeleneh hingga jadi bahan gosip satu sekolah.
‘Bukan ribet, sih, tapi lebih ke... nekat.’
“Semacam nembak di depan umum, di depan seluruh siswa?”
‘Katanya sih gitu! Tapi sebelum itu, dia panggil Toujou-san ke lapangan sekolah lewat siaran sekolah!’
“Uwaah...?”
Haruto refleks bersuara ngeri. Dia merasa kasihan pada Toujou yang dipanggil untuk ditembak lewat siaran sekolah.
‘Dan yang lebih gila, Kaidou-senpai bukan bilang ‘maukah kau jadi pacarku’, tapi ‘maukah kau bertunangan denganku’!’
“Tunangan...? Kaidou-senpai itu otaknya ‘dah geser, ya?”
‘Iya, ‘kan! Dia bahkan bawa cincin tunangan, loh.’
“Uwaah...”
Ini kedua kalinya Haruto merasa ngeri hari ini.
Masih SMA tapi sudah bicara soal tunangan saja sudah tidak wajar. Apalagi sampai menyiapkan cincin, itu sudah di luar nalar.
Entah Kaidou-senpai memang sudah nyeleneh dari sananya, atau daya tarik Toujou Ayaka memang sudah setingkat ‘dosa’ hingga membuat seorang siswa SMA nekat melamarnya? Haruto sendiri bingung menilainya.
‘Katanya setelah ditolak, Kaidou-senpai nggak bergerak 1 cm pun dari tempatnya selama setengah jam.’
“Yah, bisa dimaklum, sih. Kalau aku jadi Kaidou-senpai, aku bakal langsung ganti ke pakaian putih dan melakukan seppuku di tempat.”
Memanggil lewat siaran sekolah, lalu melamar dengan cincin tunangan di depan semua siswa. Kemudian ditolak mentah-mentah. Membayangkannya saja sudah membuat Haruto merinding.
‘Kayaknya, emang cuma kamu deh yang bisa meluluhkan hati Toujou-san.’
“Sudah kubilang, nggak mungkin. Lagian, setelah denger cerita kayak gitu, aku nggak bakal berani lagi ngajak ngobrol Toujou-san.”
‘Apaan sih, cemen amat. Tapi ya, kita juga nggak bakal ketemu Toujou-san sampai masuk sekolah lagi, sih. Aku tunggu aksimu setelah liburan, ya!’
“Jangan ngarep yang aneh-aneh.”
‘Penerus Kaidou-senpai cuma kamu, bro!’
“Itu kan artinya gagal juga!”
Sambil nyeletuk pada sahabatnya, Haruto mengakhiri panggilan.
Tak lama, Tomoya mengirim stiker kucing berwajah tegas sedang memberi hormat. Haruto membalasnya dengan stiker kelinci berotot yang menonjok dagu lawannya, lalu bangkit dari meja untuk menyiapkan air panas di kamar mandi.
Bagi Haruto, Toujou Ayaka hanyalah salah satu gadis di sekolah yang sesekali jadi bahan obrolan dengan sahabatnya, tidak lebih dari itu.
Setidaknya, itulah yang Haruto pikirkan pada awal liburan musim panas.
Sampai hari ketika ia memulai pekerjaannya sebagai asisten rumah tangga.




Post a Comment