NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Kaji Daiko no Arubaito o Hajimetara Gakuen Ichi no Bishojo no Kazoku ni Kiniira re Chaimashita V1 Chapter 4

 Penerjemah: Ramdhian

Proffreader: Ramdhian


Chapter 4

Perasaan Pertama, Membuat Hati Galau


Sehari setelah menyepakati kontrak langganan jasa asisten rumah tangga dengan keluarga Toujou.


Pagi buta di pertengahan musim panas, ketika langit baru mulai memucat. Haruto membuka buku referensi di meja belajarnya, diterpa angin lembut yang masuk dari jendela, dan menggoreskan pena di atas buku catatan.


Meskipun matahari bersinar terik tanpa ampun di siang hari, udara di waktu fajar masih terasa cukup sejuk. Karena pendingin udara di kamarnya rusak, Haruto biasanya belajar pada jam-jam seperti ini.


Di bawah langit fajar yang sunyi, ia sedang tekun belajar dengan tatapan serius. Namun, seekor burung berkicau di luar jendela membuatnya sejenak mengalihkan pandangan.


“Aku benar-benar sudah menyepakati kontrak langganan, ya..”


Yang terlintas di kepalanya adalah kejadian kemarin di rumah keluarga Toujou.


Ikue yang tampak gembira melihat rumahnya rapi setelah selesai dibersihkan. Shuuichi dan Ryota yang makan dengan lahap. Dan Ayaka yang berkata, “Mohon kerja samanya ya, Ootsuki-kun,” dengan malu-malu namun terlihat senang.


Mengingat ekspresi puas keluarga Toujou atas hasil kerjanya, Haruto tanpa sadar tersenyum.


“Pekerjaan asisten rumah tangga… ternyata cukup memuaskan, ya.”


Sambil memandang langit yang perlahan berubah warna ketika kegelapan malam tersapu cahaya di ufuk timur, Haruto bergumam sendiri.


Setelah itu, Haruto kembali fokus belajar sampai akhirnya merasakan ada pergerakan dari lantai bawah. Ia pun meletakkan pena, dan menutup buku referensinya.


“Sepertinya nenek sudah bangun. Waktunya menyiapkan sarapan.”


Haruto meregangkan tubuh, lalu keluar dari kamar menuju dapur di lantai satu.


“Selamat pagi, Haruto.”


“Selamat pagi, Nek.”


Di dapur, neneknya sudah membuat tamagoyaki. Haruto berdiri di sebelahnya dan menyalakan api di bawah kaldu yang ia siapkan semalam.


“Pagi ini belajar lagi?”


Tanya neneknya sambil memindahkan tamagoyaki yang baru matang ke piring.


“Iya, itu kan kewajiban utama pelajar.”


“Jangan terlalu memaksakan diri, ya.”


“Aku baik-baik saja, kok.”


Sambil menjawab, Haruto menambahkan irisan daun bawang ke dalam kaldu, lalu membuka laci sayuran di kulkas.


“Nenek, bayam ini boleh kupakai?”


“Boleh.”


Setelah mendapat izin, Haruto mengambil dua ikat bayam sekalian mengeluarkan tahu. Sambil menunggu air di ketel listrik mendidih, ia memotong tahu dan memasukkannya ke dalam kaldu. Begitu mulai mendidih, api dimatikan, dan ia melarutkan miso di dalamnya.


“Ngomong-ngomong, Haruto, bagaimana kerja sambilanmu? Lancar?”


“Lancar banget. Semua berkat ajaran nenek selama ini.”


“Begitu, ya. Syukurlah.”


Neneknya tersenyum, lalu menuangkan air panas dari ketel ke dalam panci dan merebus bayam sebentar di atas kompor.


“Di hari pertama kerja, aku buat hamburger pakai resep rahasia nenek. Mereka bilang rasanya seperti masakan restoran mahal.”


Haruto berkata dengan nada sedikit bangga sambil menyendok nasi hangat dari rice cooker ke mangkuk.


“Wah, baguslah kalau begitu.”


“Ini semua berkat Nenek. Terima kasih, Nek. Oh, bayamnya biar aku saja yang dinginkan.”


Haruto memindahkan bayam yang warnanya sudah bagus dari panci ke saringan dan membilasnya dengan air dingin. Sementara itu, neneknya menuangkan sup miso ke mangkuk dan menata nasi serta lauk di nampan, lalu membawanya ke ruang makan. Haruto memeras air dari bayam, memotongnya, menambahkan sedikit shirodashi, dan menaburkan katsuobushi serta wijen giling di atasnya.


“Baik, sarapannya selesai.”


Ia memindahkan bayam rebus ke piring kecil, membawanya ke meja, lalu duduk.


“Kalau begitu, ayo makan.”


“Iya, selamat makan.”


Keduanya menangkupkan tangan dan mulai sarapan. Haruto pertama-tama mengambil sepotong tamagoyaki buatan neneknya dengan sumpit.


“Enak banget, tamagoyaki Nenek. Kenapa, ya, bisa seenak ini? Apa bedanya sama buatanku?”


“Tamagoyakimu juga sudah enak, kok.”


“Nggak, tamagoyakiku masih jauh dari level Nenek…”


Sambil menatap tamagoyaki yang baru digigitnya, Haruto termenung serius. Melihat tingkah cucunya, neneknya tersenyum lembut.


“Ngomong-ngomong, Haruto, kamu belum punya pacar?”


“Eh!? Ah, iya… belum.”


Pertanyaan tiba-tiba itu membuat Haruto hampir menjatuhkan tamagoyaki yang ada di sumpitnya.


“Begitu… Padahal Haruto sudah kelas dua SMA, ‘kan? Biasanya anak seusiamu sudah punya pacar, bukan?”


“Enggak, nggak, nggak! Nggak gitu kok! Di sekolahku malah lebih banyak yang nggak punya pacar ketimbang yang punya!”


“Begitu, ya?”


Neneknya tampak sedikit khawatir, dan melihat wajahnya seperti itu membuat Haruto merasa sesak di dada.


Belakangan ini, neneknya mulai sering sakit pinggang. Haruto tahu alasan di balik pertanyaannya bukan sekadar rasa penasaran, tapi karena neneknya mulai memikirkan masa depan cucunya jika suatu saat ia tiada. Ia menahan rasa sedih di dadanya dan tersenyum lembut.


“Begitulah! Zaman Nenek dan zaman sekarang tuh udah beda jauh.”


Haruto berusaha berbicara dengan nada ceria.


“Lagipula, kalaupun aku punya pacar sekarang, belum tentu juga aku akan menikahinya. Aku kan masih tujuh belas tahun.”


“Yah, ada benarnya, sih…”


“Tuh, ‘kan! ...Makanya Nenek tenang aja. Suatu hari nanti, aku pasti akan kenalkan pacar yang super imut!”


Dengan semangat penuh keyakinan, Haruto menyatakan janji itu kepada satu-satunya keluarganya yang tersisa.


“Oh, ya? Kalau begitu, Nenek tunggu, ya.”


Neneknya tersenyum hangat mendengar janji cucunya.



Matahari mulai naik, menandakan hari yang terik akan datang lagi, tapi udara pagi masih cukup sejuk. Beberapa orang tampak berlari pagi demi menjaga kebugaran, sementara Haruto berjalan santai menyusuri kawasan perumahan yang tenang.


“Pacar, ya…”


Ia teringat kembali obrolannya dengan neneknya saat sarapan.


Mengingat usia neneknya dan sisa hidupnya, wajar saja jika ia mengkhawatirkan banyak hal tentang cucu yang akan ditinggalkannya. Memikirkan itu, Haruto menghela napas pendek.


Kalau ia bisa memperkenalkan seorang pacar, neneknya pasti akan sangat senang. Ia sendiri pun ingin melihat neneknya bahagia dan membuatnya tenang.


“Tapi ya…”


Haruto tidak bisa membayangkan kehidupan di mana ia punya pacar. Lagi pula, ia saat ini cukup sibuk dan menjalani hari-harinya dengan belajar, kerja sambilan, dan pergi ke dojo karate.


“Enggak ada waktu buat pacaran…”


Ia berbisik pada diri sendiri, namun tiba-tiba wajah seorang gadis melintas di benaknya. Senyum gadis yang disebut-sebut paling manis di sekolahnya.


“Enggak, nggak, enggak mungkin! Aku nggak mau bernasib kayak Kaidou-senpai dan cowok-cowok lain yang sudah gugur.”


Haruto cepat-cepat menggeleng, berusaha mengusir bayangan gadis itu dari pikirannya.


Tanpa sadar, ia sudah sampai di tujuan. Di hadapannya berdiri sebuah gerbang dengan papan kayu tebal mengilap bertuliskan “Dojo Doujima – Kyokushin Karate”.


Haruto melangkah masuk melewati gerbang bergaya Jepang itu.


Lantainya terbuat dari papan kayu, dan di dinding tergantung gulungan bertuliskan “Semangat, Teknik, Tubuh” serta “Mulai dengan salam, berakhir dengan salam.” Saat ia menarik napas dalam-dalam, tercium aroma kayu bercampur sedikit bau keringat. Haruto pun tersenyum.


Karena didikan kakeknya, ia sudah berlatih di dojo ini sejak kecil. Bagi Haruto, dojo ini sudah seperti rumah keduanya.


“Selamat pagi!”


Ia memberi salam sambil saat memasuki dojo. Seorang pria besar menyapanya.


“Oh, Haruto, selamat pagi! Tumben hari ini datang! Kalau kamu nggak datang, nggak ada lawan sparing yang seru!”


“Selamat pagi, Kazu-senpai.”


Pria yang disapanya itu tingginya hampir dua meter, bertubuh besar, rambutnya dipotong cepak dengan tiga garis cukuran di sampingnya.


Tatapannya tajam, dan alisnya yang tipis membuat wajahnya semakin terlihat garang. Puncaknya, ada bekas luka gores dari pelipis sampai sudut mulutnya. Siapa pun yang tidak mengenalnya pasti akan mengira dia orang dunia bawah. Apalagi, melihat bekas luka di wajahnya, mereka pasti akan ngeri, mengira ia adalah petarung tangguh yang telah melewati banyak pertarungan sengit, dan spontan mengecek apakah jari kelingkingnya masih utuh.


Tapi Haruto tahu.


Hobinya adalah membuat kue, dan luka seram di wajahnya sebenarnya didapat saat bermain dengan kucing liar. Dan masalah terbesarnya akhir-akhir ini adalah anak kecil selalu menangis histeris begitu bertatapan dengannya. Padahal ia suka anak kecil.


Haruto bahkan pernah menghabiskan waktu satu jam untuk menenangkannya saat ia depresi karena hal itu.


“Setiap kali mau sparing, semua orang selalu menghindariku.”


“Yah, reputasi buruk Ishigura Kazuaki sudah terkenal di seluruh kota.”


“Woi, brengsek! Jangan seenaknya bikin reputasi orang jadi buruk!”


Kazuaki langsung memiting kepala Haruto. Haruto pun buru-buru berkata, “Maaf, maaf!” meski senyum tersungging di bibirnya. Ishigura, yang memitingnya, juga tampak senang sambil menggosok-gosokkan kepalan tangannya ke kepala Haruto.


Mereka berdua sudah berlatih bersama di dojo ini sejak kecil. Ishigura, yang setahun lebih tua, adalah sosok kakak bagi Haruto, dan bagi Ishigura, Haruto adalah adik kesayangan. Kini keduanya sama-sama menjadi asisten pelatih dojo, rival seimbang yang saling memotivasi untuk tumbuh.


Saat keduanya bersenda gurau di depan pintu masuk dojo, terdengar suara datar dari belakang mereka.


“Kazu-senpai, Haru-senpai. Tolong jangan mesra-mesraan di depan pintu. Kalian menghalangi jalan.”


Mereka menoleh, dan melihat seorang gadis bermuka datar berdiri tengah di pintu masuk.


“Wah, ada apa, Shizuku? Cemburu karena Haru-senpai kesayanganmu direbut, ya?”


Kata Kazuaki dengan nada menggoda, memprovokasi gadis itu.


“Iya, aku cemburu. Jadi tolong cepat lepaskan.”


Gadis itu tetap tanpa ekspresi dan melontarkan kata-kata itu dengan nada datar sambil menatap tajam ke arah Ishigura. Begitu dipelototi, Ishigura langsung menjauh dari Haruto, mengangkat kedua tangannya, lalu pura-pura menggigil ketakutan.


“Uhh, serem. Seperti yang diharapkan dari putri tunggal Dojo Doujima. Berwibawa banget, ya.”


“Aku nggak suka dibilang berwibawa, kedengarannya kayak orang tua. Aku ini cewek SMA yang muda dan ceria, tahu?”


Melihat gadis yang berbicara konyol dengan wajah serius (tanpa ekspresi), Haruto mendesah keheranan.


“Muda dan ceria kok bilang sendiri?”


Haruto tanpa sadar menimpali. Gadis itu lalu menoleh ke arahnya.


“Kalau begitu, Haru-senpai mau menggambarkan kecantikan sempurnaku ini kayak gimana?”


“Yah, sempurna kok bilang sendiri, tapi… yah, kalau dipikir-pikir, pesona Shizuku itu kan tipe Jepang, jadi mungkin kayak Yamato Nadeshiko, kali, ya?”


Haruto memandangi gadis itu sejenak sebelum menjawab.


Gadis yang sejak tadi berbicara konyol dengan wajah datar itu bernama Doujima Shizuku, putri tunggal salah satu guru besar dojo ini.


Ishigura, Haruto, dan Shizuku adalah teman dojo sejak kecil. Selain itu, Shizuku juga adik kelas Haruto di sekolah.


Di sekolah Haruto, gadis yang paling populer di kalangan siswa laki-laki tentu saja Toujou Ayaka, teman sekelas Haruto yang belakangan ini sering berinteraksi dengannya lewat pekerjaan. Namun, gadis di depannya ini, Doujima Shizuku, juga tak kalah populer, terutama di antara teman-teman seangkatannya di kelas satu.


Mendengar kata ‘Yamato Nadeshiko’ dari Haruto, gadis cantik berambut pendek hitam itu, sedikit mengangkat alisnya.


“Ngomong gitu, apa Haru-senpai sedang mencoba merayuku? Haa… apa boleh buat. Aku terpaksa membiarkan diriku dirayu. Berterima kasihlah.”


“Enggak, aku nggak merayumu sedikit pun. Lagipula, kalau mau bercanda begitu, setidaknya jangan pakai wajah datar.”


Haruto menghela napas pada adik kelasnya yang terus bercanda dengan wajah tanpa ekspresi. Shizuku lalu memajukan bibirnya sedikit dengan wajah datar.


“Haru-senpai jahat deh...”


“Sudah kubilang, berhenti pakai wajah datar!”


“Hahaha! Shizuku, ekspresimu barusan gokil banget!”


Haruto memegangi kepala melihat tingkah adik kelasnya, sementara Ishigura tertawa terbahak-bahak melihat interaksi keduanya.


Melihat hubungan mereka yang tidak berubah sejak dulu membuat rasa suram yang sempat menggelayuti hati Haruto sejak pagi lenyap seketika.


Menjelang siang, setelah berlatih cukup lama di dojo, Haruto berganti pakaian untuk pulang. Saat itu, Ishigura, yang juga sudah selesai berganti pakaian, memanggilnya.


“Haruto, aku mau minta tolong sesuatu.”


Di tangannya, ada sebuah kotak kardus putih tebal, mirip kotak kue.


“Hm? Ada apa, Senpai?”


“Soal ini… Ah, Shizuku! Kamu juga sini.”


Ishigura juga memanggil Shizuku yang kebetulan lewat.


“Ada apa, Kazu-senpai? Mau nembak, ya? Maaf, hatiku cuma untuk Haru-senpai seorang.”


Haruto tersenyum kecut pada adik kelasnya yang berkata santai dengan wajah datar.


“Kalau kamu ngomongnya sambil malu-malu sedikit, mungkin aku bakal terpikat, tapi kalau wajahmu datar gitu...”


Haruto mendesah. Shizuku lalu memutar pinggulnya, mencondongkan kepala, dan menatapnya dari bawah dengan gaya manja.


“Gimana? Terpesona? Udah klepek-klepek?”


“…Shizuku, sebelum belajar gaya manja, kamu mending latihan otot wajah dulu sana.”


“Haru-senpai ini tipe yang nggak puas kalau belum mewarnai wanita dengan warna kesukaannya, ya. Ribet.”


“Oi, kalian berdua! Bisa nggak berhenti bercanda dan dengarkan aku dulu?”


Ishigura memotong dengan wajah lelah. Haruto menatapnya serius.


“Kalau permintaan Kazu-senpai, aku siap bantu. Jadi, kali ini kita habisi geng mana?”


“Apa pun perintahmu, Wakagashira.”


Shizuku ikut-ikutan menimpali lelucon Haruto.


Gadis itu memang sering disalahpahami karena wajahnya yang datar, tapi sebenarnya ia punya kepribadian yang cukup ceria dan mudah ikut bergurau seperti ini.


“Kalian berdua… bisa tolong hentikan ini?”


Ishigura menatap mereka garang. Kalau orang asing melihatnya, bukan hanya anak kecil, orang dewasa pun mungkin akan menangis ketakutan. Tapi bagi Haruto dan Shizuku yang sudah kenal lama, menanggapinya dengan santai. Malah, Shizuku semakin mengusilinnya.


“Yo, Kazu-senpai, si tampang seram nomor satu di Jepang!”


“Siapa yang seram! Ah, sudahlah. Pokoknya, aku mau kalian cicipi ini.”


Ishigura membuka kotak di tangannya dan mengeluarkan tart buah berukuran mini.


“Hah? Kita boleh makan?”


“Kazu-senpai, aku bukan gadis murahan yang bisa dipancing dengan hal beginian, tahu?”


“Coba aja dulu. Loh, Shizuku, kamu udah makan duluan, ‘kan!? Dasar gadis murahan!”


Sambil melihat Shizuku yang sedang melahap tart buah dengan mata berbinar, Haruto ikut mengambil satu dan mencicipinya.


“Wah!? Ini enak banget! Ini beli di mana?”


Haruto terbelalak merasakan enaknya kue itu.


Krim custard-nya terasa manis, dan begitu masuk mulut, aroma telur yang kaya langsung menyebar di hidung. Setelah itu, rasa asam segar dari buah-buahan menyeimbangkan manisnya dan memberi sensasi ringan. Tekstur tart-nya yang renyah juga menjadi kombinasi yang pas. Dalam sekejap, Haruto sudah menghabiskan satu potong.


Saat menoleh, Shizuku sudah hampir menghabiskan potongan keduanya.


“Setahuku, nggak ada toko kue yang jual tart buah seenak ini di sekitar sini.”


“Ah, sebenarnya ini… aku yang buat.”


“Eh?”


“Kugh!”


Pernyataan mengejutkan itu membuat Haruto melongo dan Shizuku tersedak tart buah ketiganya.


“Eh!? Serius!? Kazu-senpai yang buat!?”


“Bisa-bisanya Kazu-senpai, yang wajah seramnya saja bisa bikin gula berubah jadi garam, membuat sesuatu seperti ini...”


“Aku nggak seram! Dan aku nggak punya kemampuan super kayak gitu!!!”


Ishigura naik pitam mendengar reaksi kurang ajar adik-adik kelasnya.


“Tapi beneran, Kazu-senpai, ini enak banget, loh. Kualitasnya udah kayak yang dijual di toko.”


“O-Oh. Masa?”


Begitu Haruto memuji, amarah Ishigura langsung padam.


“Memang, ini levelnya sudah bisa buka toko. Nama tokonya ‘Gap of Lightning 893’.”


“Oke, Shizuku, ayo kita sparring sekarang.”


“Ah, aku harus bantu-bantu di rumah!”


Menghindari Ishigura yang mendengus, Shizuku buru-buru kabur ke rumahnya yang menempel dengan dojo.


“Bener-bener tuh anak, padahal kalau diam dia cantik. Sayang banget.”


“Yah, tapi itulah Shizuku. Kalau dia tiba-tiba jadi pendiam dan nggak bercanda, justru bikin ngeri.”


“Bener juga.”


Ishigura mengangguk setuju.


“Tapi, serius, tart buah Kazu-senpai enak banget. Kapan Senpai jadi sejago itu bikin kue?”


Haruto tahu kalau Ishigura memang hobi membuat kue, tapi yang dimakannya hari ini rasanya jauh lebih berkualitas daripada sebelumnya.


“Yah, zaman sekarang kan resep apa aja tinggal cari di internet, video tutorialnya juga ada, ‘kan? Jadi aku belajar lebih serius sedikit.”


“Hebat, tuh. Kapan-kapan ajari aku bikin kue, dong. Aku nggak terlalu punya pengalaman bikin manisan ala Barat.”


“Oh, boleh. Kapan-kapan kita bikin kue bareng, ya?”


“Boleh juga. Ah, aku juga harus pulang. Ada jadwal kerja soalnya.”


Haruto melirik jam dinding di dojo.


Mulai hari ini, ia harus pergi ke rumah keluarga Toujou sesuai kontrak langganan yang baru disepakati.


“Oh iya, Haruto mulai kerja sambilan, ya, liburan ini.”


“Betul. Kalau begitu, sampai jumpa lagi, Kazu-senpai.”


“Oke, semangat kerjanya.”


Setelah berpamitan, Haruto pun meninggalkan dojo.


Sesampainya di rumah, ia bersiap-siap dan berangkat ke rumah keluarga Toujou. Dalam perjalanan, ia teringat kembali tart buah buatan Ishigura yang tadi dimakannya.


“Kalau aku buat tart kayak gitu, Ryota-kun pasti bakal senang.”


Membayangkan senyum polosnya, Haruto tersenyum kecil.


“Kalau bikin chawanmushi atau ohagi sih aku pede, tapi kalau manisan barat masih agak susah...”


Meski paham dasar-dasar membuat kue, Haruto tahu betul bahwa menghasilkan rasa sweets yang tepat bukanlah hal yang mudah.


“Padahal rasanya manis banget.”


Haruto menggumamkan hal sepele seperti itu sambil berjalan menuju rumah keluarga Toujou.



Sesampainya di depan rumah keluarga Toujou, Haruto menarik napas dalam-dalam sebelum menekan bel interkom. Ini adalah kali ketiga ia berkunjung sebagai asisten rumah tangga, namun tetap saja, awal pertemuan selalu membuatnya sedikit gugup.


Tapi kegugupan itu seketika tersapu jauh oleh suara penuh semangat yang terdengar dari interkom.


‘Onii-chan!?’


Setelah suara riang Ryota terdengar, terdengar pula teguran dari kakaknya, Ayaka.


‘Woi, Ryota! Kalau ternyata orang lain, gimana? Pertama-tama tanya ‘Siapa ya?’ baru setelah itu ‘Ada keperluan apa?’ begitu caranya!’


“Tapi di layar kelihatan kok kalau itu Onii-chan.”


‘Meskipun tahu, tetap harus begitu.’


“Iyaaa.”


Mendengar percakapan kakak beradik Toujou dari interkom, Haruto yang berdiri di depan pintu tak kuasa menahan tawa kecil. Tak lama kemudian, suara Ryota kembali terdengar, mengikuti instruksi kakaknya dengan polos.


‘Onii-chan, siapa di sana?’


“Fufu… ehem... Ini Ootsuki.”


Nada polos Ryota begitu menggelitik sampai-sampai Haruto berdeham untuk menyembunyikan tawanya.


‘Keperluan Onii-chan... apa... jasa asisten rumah tangga?’


“Pff... iya, saya datang hari ini untuk jadi asisten rumah tangga seperti biasa.”


Haruto berusaha keras menahan tawa mendengar bahasa Jepangnya Ryota jadi aneh gara-gara mengikuti arahan Ayaka.


‘Maaf, ya, Ootsuki-kun, aku akan suruh Ryota buka pintu.’


Dari nada suaranya, terdengar jelas bahwa Ayaka juga berusaha menahan tawa.


Tak lama, dari balik pintu terdengar suara langkah kecil yang berlari kencang, lalu ‘bam!’ pintu terbuka lebar.


“Onii-chan!!”


“Yo, Ryota-kun. Halo.”


Disambut senyum cerah Ryota, Haruto membalas dengan senyum lembut.


Tampaknya Ryota benar-benar menantikan kedatangannya. Ia meraih lengan Haruto dan menariknya kuat-kuat ke dalam rumah.


“Onii-chan itu ‘ko-ntrak lang-gan’, ‘kan? Jadi mulai sekarang bakal terus datang ke rumah, ‘kan?”


“Hmm, bukan selamanya, sih. Tapi selama libur musim panas, kita bakal sering ketemu.”


“‘Ko-ntrak lang-gan’ itu selama liburan musim panas?”


“Ahaha, iya.”


Ryota sepertinya sudah sedikit mengerti soal kontrak langganan. Ia terus mengulang-ulang kata “ko-ntrak lang-gan” dengan gembira.


Kontrak langganan yang disepakati Haruto dengan keluarga Toujou adalah tiga kali seminggu, masing-masing tiga jam kerja per hari.


Masih digandeng Ryota, Haruto masuk ke ruang tamu. Di sana, di meja makan bagian dalam, terlihat Ikue sedang bekerja di depan laptop, sementara Ayaka duduk di sofa.


“Selamat datang, Ootsuki-kun. Hari ini juga tolong bantu, ya.”


Ikue menoleh dari laptop dan menyapanya.


“Baik, mohon kerjasamanya.”


Haruto membungkuk sopan, lalu berdiri tegak kembali.


“Terima kasih banyak atas kesepakatannya kemarin. Mulai sekarang, saya akan berusaha memberikan pelayanan terbaik agar keluarga Toujou puas dengan hasil kerja saya. Jadi, mohon kerja samanya ke depannya.”


Melihat Haruto yang kembali membungkuk dalam-dalam, Ikue menunjukkan ekspresi geli.


“Aduh, kamu boleh lebih santai, tahu? Kami juga lebih nyaman begitu. Iya, ‘kan, Ayaka?”


“Eh? Ah, iya. Kalau Ootsuki-kun terlalu sopan gitu, malah bikin sungkan.”


“Nah, ‘kan! Ayaka juga bilang begitu.”


Ikue, yang mendapat persetujuan putrinya, tersenyum cerah pada Haruto.


“Itu... akan saya usahakan.”


Haruto tersenyum kaku menanggapi permintaan Ikue.


Haruto datang ke rumah keluarga Toujou murni untuk bekerja. Setidaknya, ia berusaha menanamkan kesadaran itu pada dirinya. Karena itu, permintaan untuk bersikap lebih santai terasa cukup berat baginya.


Alasannya, jika ia berada di rumah ‘Idol Sekolah’ Toujou Ayaka, dan terlebih lagi disukai oleh keluarganya, Haruto, sebagai remaja laki-laki, merasa ia bisa salah paham.


Untuk mencegah itu, ia ingin memperjelas hubungan antara klien dan staf jasa.


Namun, sepertinya keluarga Toujou justru ingin lebih akrab dengannya.


Terutama Ryota, yang kembali menarik lengannya.


“Hei, hei, Onii-chan. Hari ini bersih-bersih jendela lagi?”


“Itu kan udah dikerjain kemarin, jadi hari ini nggak, ya.”


Tatapan penuh harapan Ryota membuat Haruto sedikit kebingungan, hingga ia memandang ke arah Ikue.


Melihat anaknya yang menempel terus pada Haruto, Ikue terkekeh kecil “Ufufu”, lalu memberi instruksi.


“Hari ini, aku mau kamu bantu beresin gudang di luar. Setelah itu, sampai waktu makan malam, bisa tolong temani Ryota main?”


“Baik, saya mengerti.”


Haruto membungkuk menerima instruksi, lalu menurunkan posisi tubuhnya agar sejajar dengan mata Ryota.


“Ryota-kun, setelah bersih-bersihnya selesai, kita main bareng, ya.”


“Beneran!?”


Mendengar itu, Ryota melompat kegirangan di tempat. Melihat tingkah adiknya, Ayaka hanya bisa tersenyum lelah.


“Ryota, selama Ootsuki-kun bersih-bersih, kamu main sama aku dulu, ya.”


“Oke...!”


Ayaka menggandeng tangan Ryota dan menuntunnya menjauh dari Haruto.


“Ikue-san, gudangnya ada di mana?”


Tanya Haruto, dan Ikue segera menutup laptopnya sambil berdiri.


“Aku antar. Ayo ikut.”


Ikue berjalan menuju pintu depan, lalu keluar rumah.


Kediaman Toujou adalah rumah mewah, jadi pekarangannya pun cukup luas.


Di salah satu sudut halaman, berdiri sebuah gudang berukuran lumayan besar.


“Aku ingin kamu beresin gudang ini. Sebenarnya aku sudah lama mau minta Shuuichi-san, tapi dia sibuk terus dengan kerjaan.”


Ikue berkata sambil membuka pintu gudang.


“Wah, isinya lumayan penuh juga ya.”


Ujar Haruto sambil melongok dari belakang Ikue.


“Iya. Aku terus-terusan memasukan barang yang sudah tak terpakai ke sini, tahu-tahu sudah penuh.”


Ikue menatap bingung sambil menopang dagu.


Di dalam gudang ada kereta dorong bayi yang sudah yak terpakai, mainan seperti sepeda roda satu usang yang mungkin dulu dipakai Ayaka. Dan di dinding, ada tumpukan kotak pakaian yang menjulang hampir menyentuh langit-langit.


“Bagaimana sebaiknya saya menata gudang ini?”


“Hmm, untuk sekarang tolong keluarkan dulu semua barang di dalamnya, ya? Nanti akan kupilah mana yang masih dipakai dan mana yang tidak.”


“Baik. Kalau begitu, saya akan keluarkan dulu semua barang di gudang dan menatanya di depan.”


“Oke, tolong ya, Ootsuki-kun.”


Ikue tersenyum lembut, lalu menyerahkan urusan gudang pada Haruto dan kembali masuk ke rumah. Setelah melihat punggungnya menghilang, Haruto menyingsingkan lengan bajunya dengan tekad.


“Sip, mari mulai.”


Ia mulai mengeluarkan barang-barang dari dalam gudang satu per satu mulai dari yang paling depan, lalu menatanya di luar sambil mengelompokkan berdasarkan jenis agar nanti mudah dipilah.


Sambil membawa keluar rice cooker tua, Haruto bergumam sendiri.


“Mereka masih menyimpan barang seperti ini? Mungkinkah keluarga Toujou tipe yang hemat?”


Baik Shuuichi maupun Ikue sama-sama pemilik perusahaan, dan Haruto yakin mereka termasuk kalangan berada. Tapi, ia tak merasakan kesan sombong dari keduanya. Begitu pula dengan anak-anak mereka, Ayaka dan Ryota, juga sama sekali tidak menunjukkan sikap manja, egois, atau arogan.


Faktanya, sebelum Haruto mulai bekerja sebagai asisten rumah tangga di sini, ia sama sekali tidak tahu kalau Ayaka sebenarnya seorang nona muda kaya raya.


“Padahal aku pengin lihat Toujou-san dalam mode ‘Nona Muda Kaya’.”


Haruto terkekeh sendiri, membayangkan Ayaka tertawa dengan gaya “Ohohohoho!” di dalam kepalanya.


Tiba-tiba, sebuah suara memanggil dari belakangnya.


“Ootsuki-kun.”


“Eh!? T-Toujou-san, a-anu, ada apa ya?”


Ayaka tiba-tiba muncul di belakangnya. Haruto, yang baru saja membayangkan karakter Ayaka sontak panik dan menjawab dengan nada gugup.


“Ah, maaf. Aku nggak bermaksud mengejutkanmu.”


“Tidak, tidak apa-apa kok.”


Melihat Ayaka yang meminta maaf dengan raut bersalah, Haruto buru-buru melambaikan tangan, seolah berkata tidak ada masalah.


“Anu... Mama bilang kalau terlalu berat untuk membereskan semuanya hari ini, cukup setengahnya saja dulu juga nggak apa-apa.”


“Ah, tapi kalau hanya mengeluarkan barangnya, takkan lama, kok. Saya akan selesaikan semuanya hari ini.”


Mendengar jawaban itu, Ayaka sedikit terkesan.


“Ootsuki-kun itu selain kuat, fisiknya juga bagus, ya. Apa kamu latihan beban atau semacamnya?”


“Enggak, kok. Cowok biasa juga bakal bisa kalau segini doang, mah.”


“Masa, sih?”


Ayaka sedikit memiringkan kepala sambil menatapnya. Haruto merasa agak malu dan menjawab pelan, “Iya,” sambil memalingkan wajah.


“Ah! Jadi sepeda roda satu itu disimpan di sini, ya.”


Ayaka melewati Haruto dan masuk ke dalam gudang, lalu menyentuh sepeda roda satu yang teronggok di sana dengan senyum nostalgia.


“Dulu sering main ini?”


“Iya. Kalau nggak salah, ini hadiah ulang tahun dari Papa waktu aku kelas satu atau dua SD.”


Ayaka mengelus sepeda roda satu itu sambil bergumam, “Jadi nostalgia, ya…”


“Kira-kira aku masih bisa naik nggak, ya? Hei, Ootsuki-kun, boleh aku coba?”


Ayaka menatap Haruto dengan wajah antusias. Ia hanya bisa tersenyum dan mengangguk pelan. Setelah mendapat izin, Ayaka segera mengeluarkan sepeda roda satu itu dari gudang dan menaikinya.


“Wah, jadi begini, ya, rasanya naik sepeda roda satu?”


“Nggak apa-apa nih? Nggak bakal jatuh?”


“Ah! Ootsuki-kun lagi ngeledek, ya?”


Ayaka menggembungkan pipinya mendengar perkataan Haruto. Melihat reaksinya yang menggemaskan, Haruto tertawa dan berkata, “Maaf.”


“Padahal aku lumayan jago loh waktu itu. Nih, liat aja.”


Ayaka mulai mengayuh sepeda roda satu itu. Ia merentangkan kedua tangannya untuk menyeimbangkan tubuhnya, lalu berputar-putar di sekeliling Haruto.


“Oh, beneran jago, ya.”


“Fufun, iya, ‘kan?”


Dengan wajah puas, Ayaka terus berputar mengelilinginya. Tiba-tiba, laher di roda sepeda itu macet, mungkin karena sudah bertahun-tahun tidak dipakai. Terdengar bunyi ‘Ngik’ dan gerakan rodanya tiba-tiba menjadi seret.


“Kyah!?”


“Awas!!”


Dalam sekejap, Ayaka kehilangan keseimbangan gara-gara sepedanya mendadak mengerem dan nyaris jatuh. Tapi sebelum tubuhnya sempat menghantam tanah, Haruto dengan refleks mengulurkan tangan dan menangkapnya dari samping.


“Nggak apa-apa!?”


Haruto bertanya cemas sambil menarik napas lega, bersyukur karena ia sempat menangkapnya tepat waktu. Ayaka, yang masih syok, mendongak menatap Haruto yang sedang memeluknya.


“I-Iya. Hah... kaget banget. Makasih, Ootsuki-ku...eh!?”


Kata-kata Ayaka terhenti di tengah jalan. Bersamaan dengan itu, ia membeku, dan menatap lekat-lekat wajah Haruto.


“Ada apa? Ada yang luka?”


“……Nggak,. Nggak apa-apa...”


“Umm... Ah, maaf!”


Ayaka menjawab dengan agak linglung. Haruto memiringkan kepalanya bingung, tapi dia segera sadar bahwa dia sedang memeluk Ayaka erat-erat, dan buru-buru melepaskannya.


“Maaf, tiba-tiba meluk.”


“O-Ootsuki-kun nggak perlu minta maaf! Kalau kamu nggak menangkapku, aku mungkin sudah terluka. Itu... makasih, Ootsuki-kun.”


“Tidak, anu... sama-sama.”


“Iya…”


Suasana tiba-tiba menjadi canggung. Setelah hening beberapa saat, Ayaka mulai angkat bicara dengan nada terbata-bata.


“Umm... A-Aku ke sini cuma mau nyampein pesan Mama! Jadi... s-semangat kerjanya, ya!”


Ayaka memaksa menutup percakapan, lalu berbalik dan masuk ke dalam rumah dengan cukup tergesa-gesa.


Melihat punggungnya yang menjauh, Haruto bergumam pelan.


“Lembut banget, ya…”


Butuh waktu beberapa menit baginya untuk bisa kembali merapikan gudang.



Aku menyandarkan punggung ke pintu masuk rumah, menekan dada dengan satu tangan, berusaha menenangkan detak jantung yang sejak tadi berisik.


K–Kenapa? Kenapa jantungku berdetak sekencang ini!?


Sebelumnya, Ootsuki-kun menangkap tubuhku dan menolongku waktu aku hampir jatuh dari sepeda roda satu. Kekuatan yang terasa dari lengannya yang kokoh… dan wajahnya yang menatapku dengan ekspresi cemas dari jarak dekat. Hanya dengan mengingatnya saja, dadaku terasa sesak seolah ada sesuatu yang mengaduk-aduknya.


Sambil mencoba menenangkan diri, aku menarik napas dalam-dalam beberapa kali di depan pintu. Lalu, terdengar suara Mama dari arah ruang tamu.


“Ayaka? Sudah kamu sampaikan pada Ootsuki-kun?”


“Ah, iya.”


Setelah menarik napas panjang sekali lagi, aku berjalan menuju ruang tamu.


Tidak apa-apa, detak jantungku sudah agak tenang. Pasti tadi cuma kaget karena hampir jatuh, makanya jadi berdebar begitu. Iya, pasti begitu. Nggak salah lagi.


“Ootsuki-kun bilang apa?”


Begitu aku masuk ruang tamu, Mama yang sedang bekerja di depan komputer bertanya.


“Katanya nggak bakal makan waktu lama, jadi dia mau selesaikan semuanya hari ini.”


“Oh ya? Sudah kuduga, anak laki-laki muda memang punya tenaga besar, ya.”


Mama memuji Ootsuki-kun dengan nada kagum.


Kayaknya Mama benar-benar sudah jatuh hati sama Ootsuki-kun. Dia mempercayai sepenuhnya kemampuan Ootsuki-kun yang bisa melakukan pekerjaan rumah dan masak dengan sempurna.


Padahal Mama baru ketemu dua kali dengannya, tapi sudah sesuka itu…


Sebagai pemilik perusahaan, Mama sudah bertemu dan berurusan dengan banyak orang, dan punya standar penilaian orang yang cukup tinggi. Tapi kalau orang seketat Mama saja mengakui Ootsuki-kun…


Berarti Ootsuki-kun memang orang yang sangat hebat, dong? Tapi iya juga, dia kan peringkat satu di angkatannya. Ditambah lagi, dia ahli dalam pekerjaan rumah, disukai anak kecil seperti Ryota, dan baik hati... Hah? Tunggu, apa spek Ootsuki-kun nggak ketinggian?


“Ayaka?”


“Apa, Ma?”


“Kok wajahmu merah? Jangan-jangan terjadi sesuatu sama Ootsuki-kun? Hmm?”


“Hah!? Nggak ada apa-apa!!”


Tatapan menyelidik Mama terasa menakutkan, jadi aku buru-buru memalingkan muka. Mama sebelumnya juga pernah menggodaku soal Ootsuki-kun, tapi kumohon jangan sekarang. Kalau dia menggoda lagi sekarang, hatiku bisa-bisa bakal amburadul.


“Hei hei, Onee-chan! Onii-chan belum selesai bersih-bersih, ya?”


“Eh? Iya, kayaknya masih butuh waktu sedikit lagi.”


“Aku mau cepat-cepat main sama Onii-chan...”


Ryota benar-benar sudah terpikat dengan Ootsuki-kun. Sejak mereka bersih-bersih bareng kemarin, Ryota langsung terbuka dan nempel terus padanya.


Yah, memang sih. Ootsuki-kun tuh lembut, tenang, dan ramah. Jadi wajar kalau Ryota suka padanya. Waktu dia main sama Ryota, entah kenapa kesannya seperti kakak laki-laki yang baik, dan itu... cukup keren juga...


..Kok kalau diingat-ingat wajahku jadi panas, ya. Kenapa, sih?


Kenapa, ya... Setiap kali aku kepikiran Ootsuki-kun, dadaku jadi sesak dan wajahku panas.


Eh? Jangan-jangan, aku... pada Ootsuki-kun...


“Enggak, nggak, nggak! Enggak mungkin! Enggak mungkin banget!!”


Aku langsung menolak habis-habisan pikiran yang muncul di kepalaku.


“Onee-chan? Kenapa?”


“N-Nggak apa-apa! Ah! Benar! Aku kan hari ini mau ngerjain banyak PR liburan musim panas, jadi aku harus balik ke kamar! Boleh, ‘kan, Ma?”


“Oh, begitu? Kalau begitu, Ryota main sama Mama aja, yuk.”


“Iya!”


Aku menyerahkan Ryota ke Mama, lalu buru-buru keluar dari ruang tamu, naik ke lantai dua, dan langsung menjatuhkan diri ke atas kasur.


“Uuuuh…”


Aku menenggelamkan wajah ke bantal dan mengerang tanpa alasan.


Kenapa aku deg-degan begini?


Nggak mungkin, ‘kan? Nggak mungkin, ‘kan? Aku... suka sama Ootsuki-kun?


“Tunggu! Tunggu dulu! Tenang, Ayaka. Tenang dulu!”


Aku menarik napas dalam-dalam di atas tempat tidur, berusaha menenangkan diri.


“Pikir dengan kepala dingin, Ayaka.”


Ya, aku harus memikirkannya dengan tenang.


Ootsuki-kun tuh memang punya banyak sisi yang menarik. Dia tenang, sopan, nggak agresif, nggak menilai orang dari penampilan, disukai Ryota, bisa diandalkan dan baik hati, pandai masak, bersih-bersihnya sempurna, badannya terlatih, dan cukup berotot, ah, Mama dan Papa juga suka padanya… Eh? Tunggu? Jadi bukan cuma menarik… tapi paket lengkap, dong?


“Stop! Stoooop!! Jangan buru-buru! Iya, tenang, harus dipikirkan dengan hati-hati!”


Iya, aku akui, Ootsuki-kun memang punya banyak pesona. Tapi masalahnya, apa aku benar-benar suka sama dia?


Aku meletakkan tangan di dada dan mencoba merenung.


Gimana, ya... Soal Ootsuki-kun... Aku masih belum bisa dibilang suka, ‘kan?


Habisnya, waktunya terlalu singkat untuk bisa dibilang suka, ‘kan? Kalau begini, jadinya sama saja dengan “cinta pada pandangan pertama” yang selama ini tidak kumengerti.


Aku jatuh cinta pada pandangan pertama ke Ootsuki-kun? Nggak, nggak, itu nggak mungkin! Sama sekali nggak mungkin!!


“…nggak mungkin… ‘kan?”


Aah! Sudahlah!! Nggak tahu! Aku nggak paham perasaanku sendiri! Rasanya galau!!


Kenapa? Kenapa sih aku bisa begini? Apa ini gara-gara insiden sepeda roda satu tadi? Karena dia memelukku, aku jadi suka?


“Masa iya sih!? ‘Kan cuma dipeluk sebentar? Lagian Ootsuki-kun cuma berniat menolongku.”


Dalam bayanganku, cinta itu sesuatu yang dimulai dari saling sapa, pelan-pelan jadi akrab, jadi teman, saling mengenal, baru setelah itu mulai saling sadar.


Tapi ini, jatuh cinta gara-gara ditolong dan dipeluk waktu hampir jatuh dari sepeda roda satu? Itu mah kayak ketabrak cinta mendadak!


“Kalau aku mau suka sama Ootsuki-kun, aku harus mulai dari jadi teman dulu. Terus akrab, baru pacaran. Ya, ini baru namanya cinta yang sehat!”


Aku menyilangkan tangan dan mengangguk-angguk sendirian.


Eh, tunggu? Kenapa aku mikirnya seolah-olah kami sudah pasti bakal pacaran?


Berarti… aku memang... sama Ootsuki-kun...


“Uwaaaahhh!! Bukan! Bukan begituuu!”


Belum! Masih belum!


Masih terlalu cepat buat suka sama Ootsuki-kun! Aku bahkan belum tahu banyak soal dia! Iya, aku masih belum tahu apa-apa! Jadi nggak mungkin suka! Nggak mungkin!


Habisnya, kalau suka sama Ootsuki-kun, itu artinya aku ingin jadi pacarnya, ‘kan?


Ootsuki-kun jadi pacarku…


“…Keluargaku juga suka sama dia… mungkin… boleh juga?”


Membayangkannya saja sudah membuat wajahku panas.


Aku malu, kututup wajahku dengan kedua tangan dan menggeleng-gelengkan kepala untuk mengalihkan pikiran. Saat itu, terdengar tawa ceria Ryota dari ruang tamu.


Berarti Ootsuki-kun sudah selesai beres-beres di gudang. Sekarang dia pasti lagi main bareng Ryota.


Ryota enak ya, bisa sejujur itu sama perasaannya. Bisa bilang “Aku suka Onii-chan!” Eh!? Aku mikir apa sih!? B-Bukan berarti aku juga mau bilang “Aku suka Ootsuki-kun!” meskipun aku jujur! Lagian aku kan belum suka sama dia! ...Mungkin...


Aarghh, ini semua gara-gara Saki bilang “Menurutku, Ootsuki-kun cocok sama Ayaka.” Dan Mama bilang “Kamu terpesona, ya, lihat Ootsuki-kun?”!


Makanya aku jadi kepikiran Ootsuki-kun terus!


Saat aku sedang memikirkan itu, mataku tertuju pada rak buku yang penuh dengan manga romance. Seketika, sebuah ide terlintas di kepalaku.


“Aku tahu! Aku tinggal pastiin aja perasaanku sendiri!”


Dalam cerita romantis, protagonis cewek yang jatuh cinta bakal deg-degan cuma karena bertatapan dengan cowok yang disukainya, dan dia akan merasa melayang cuma dengan ngobrol bareng.


Kalau aku sekarang bertatapan atau ngobrol dengan Ootsuki-kun, apa aku bakal deg-degan atau merasa melayang kayak tokoh di manga?


Kalau hatiku nggak merasakan apa-apa, itu artinya aku belum suka sama Ootsuki-kun, ‘kan?


Sebaliknya, kalau aku jadi kelepek-kelepek, itu artinya... yah... begitulah.


“Kalau begitu… aku harus gimana…”


Aku belum pernah jatuh cinta sama siapa pun sebelumnya, jadi aku benar-benar nggak tahu harus ngapain.


“…Yah, itu bisa dipikirkan nanti. Yang penting, aku harus memastikan perasaanku dulu.”


Aku harus tahu apa yang sebenarnya kurasakan pada Ootsuki-kun. Saat aku memutuskan itu, suara Mama terdengar dari bawah tangga.


“Ayakaaa! Ryota merengek pengin ikut belanja sama Ootsuki-kun lagi, jadi tolong temani, ya!”


“Iya, baik! Aku turun sekarang!”


Pas banget, aku dapat alasan untuk pergi keluar dengan Ootsuki-kun. Di sanalah aku akan bertatap mata dengannya dan memastikan perasaanku!


Dengan tekad bulat, aku bersiap-siap dan keluar kamar menuju pintu masuk. Di sana, Ootsuki-kun dan Ryota sudah menungguku.


“Onee-chan lama banget!”


“Kamunya aja yang nggak sabaran.”


Aku menanggapi adikku yang mengatakan hal yang sama seperti kemarin ala kadarnya, sambil mengganti sepatuku.


“Onii-chan, ‘nggak sabaran’ itu apa?”


“Nggak sabaran itu artinya orang yang mau melakukan semuanya buru-buru.”


Ootsuki-kun menjawab pertanyaan Ryota dengan lembut sambil tersenyum ramah. Pandanganku tertuju pada tangan mereka berdua.


Hari ini mereka sudah bergandengan tangan bahkan sebelum keluar rumah.


Ootsuki-kun pasti menggandengnya hanya agar Ryota tidak lari tiba-tiba dan tertabrak mobil. Tapi, entah kenapa... hatiku terasa sedikit... gundah.


“Kalau begitu, ayo kita berangkat.”


Ucap Ootsuki-kun sambil menuntun Ryota keluar. Aku mengikuti dari belakang.


Aku menatap lekat-lekat punggung Ootsuki-kun yang berjalan di samping Ryota, merasakan cemas, harap, takut, tapi juga sedikit bersemangat, untuk memastikan perasaanku sendiri.



Dalam perjalanan menuju supermarket, aku bertanya pada Ootsuki-kun tentang makan malam hari ini.


“Ootsuki-kun, kamu mau masak apa untuk makan malam hari ini?”


“Hari ini aku kepikiran untuk membuat oden dingin.”


Aku terkejut mendengar jawaban Ootsuki-kun, yang sedang menggendong Ryota di pundaknya.


“Emangnya oden bisa dimakan dengan cara seperti itu?”


Kukira oden itu makanan yang dimakan panas-panas saat cuaca dingin. Aku tidak bisa membayangkan memakannya dingin-dingin di tengah musim panas begini.


“Aku yakin rasanya enak, kamu pasti akan puas.”


Ootsuki-kun tersenyum padaku.


Dalam senyum lembutnya yang penuh ketenangan itu, ada sedikit rasa percaya diri, seperti seseorang yang tahu dirinya akan berhasil. Tatapan kami bertemu, dan jantungku tiba-tiba berdetak keras.


Tu-Tunggu!? Sebentar!? Apakah ini yang dinamakan kelepek-kelepek!?


Itu artinya, aku... sama Ootsuki-kun...


Nggak, nggak, nggak! Tunggu, belum tentu!


Tadi aku bukan kelepek-kelepek karena ekspresi Ootsuki-kun, tapi mungkin aku cuma deg-degan sama nama masakan yang tak terduga, ‘Oden dingin’! Iya, pasti begitu. Debaran ini untuk ‘Oden dingin’. Fiuuh... Hampir saja aku salah paham.


“Onii-chan, di oden-nya nanti ada telurnya?”


“Ada, dong. Ryota suka telur?”


“Iya! Aku suka telur!”


Ryota berkata dengan riang di atas kepala Ootsuki-kun. Melihat keakraban mereka berdua, entah kenapa, aku membayangkan sesuatu.


Ootsuki-kun... kayaknya bakal jadi ayah yang baik...


“Onee-chan? Kenapa mukamu aneh?”


“Hah!? E-Enggak kok! Mukaku biasa aja!”


“Nggak tuh! Onee-chan mukanya aneh banget! Kayak ‘dehehe...’ gitu!”


“‘Dehehe...’ itu emang kayak gimana? Ryota, kalau ngomong aneh-aneh terus, nanti Onee-chan marah, loh.”


“Aku nggak aneh! Yang aneh tuh Onee-chan! Onii-chan juga lihat ‘kan? Waktu Onee-chan pasang muka ‘dehehe...’ itu?”


Woi! Jangan seret Ootsuki-kun ke pembicaraan ini!


“Wah, kayaknya aku nggak lihat, deh. Lagipula, kita sudah hampir sampai supermarket, jadi turun dulu, ya, Ryota.”


Ootsuki-kun mengalihkan pembicaraan dengan halus sambil menurunkan Ryota dari pundaknya.


Syukurlah, Ootsuki-kun nggak lihat... T-Tapi, aku harus pastikan dulu.


“Ootsuki-kun, tadi aku nggak pasang wajah aneh, ‘kan?”


“Iya. Wajah Toujou-san kan rupawan, jadi aku tak bisa membayangkanmu memasang muka aneh.”


“Eh—!?”


Itu tadi… serangan mendadak banget!? Ngomong-ngomong, kemarin Ootsuki-kun juga santai banget pas bilang aku manis. Apa jangan-jangan Ootsuki-kun ini tipe polos yang tanpa sadar bisa bikin orang salah paham!? Bahaya, aku harus hati-hati nih!


“Jadi, hari ini kamu mau beli bahan apa, Ootsuki-kun?”


Berusaha keras menutupi kegugupanku, aku bertanya dengan nada senormal mungkin.


“Hmm… telur masih ada di kulkas, jadi yang perlu dibeli itu lobak, tomat... labu kemarin sudah beli satu utuh... terus mungkin beli satsuma-age dan olahan ikan lainnya.”


[TLN: Satsuma-age adalah perkedel ikan goreng yang berasal dari Prefektur Kagoshima]


“Oden pakai tomat?”


“Iya, mungkin pakai jagung juga enak.”


Bahan-bahan yang disebutkan Ootsuki-kun terlalu di luar dugaan. Aku sama sekali tidak bisa membayangkan seperti apa bentuk oden dingin itu.


“Itu resep ciptaanmu sendiri, Ootsuki-kun?”


“Bukan, kok. Kalau dicari di internet juga banyak kok resepnya.”


Aku langsung membuka ponsel dan mencarinya. Benar saja, beberapa resep oden dingin langsung bermunculan.


“Beneran ada. Di daftar bahannya juga ada tomatnya.”


“Nah, ‘kan. Sebenarnya, rasa tomat cukup cocok dengan kuah oden, loh.”


“...!! O-Oh, begitu, ya”


Ootsuki-kun kembali tersenyum padaku. Aku entah kenapa tak bisa menatap wajahnya langsung dan buru-buru memalingkan muka.


Kenapa aku malah menghindar!? Aku harus menatap matanya dan memastikan perasaanku sendiri, ‘kan!?


“Onii-chan! Ini ada lobak!”


“Hari ini harganya 158 yen, ya…”


“Itu murah atau mahal?”


“Hmm… untuk musim ini sih termasuk murah, tapi kadang bisa lebih murah lagi.”


Ootsuki-kun menatap label harga lobak dengan serius. Mumpung dia sedang fokus pada lobak, aku memberanikan diri memandangi wajahnya, mencoba memastikan apa yang kurasakan sebenarnya.


Hmm… gimana ya? Apakah jantungku berdebar?


Aku menempelkan tangan di dada, mencoba merasakan degupnya.


Sedikit lebih cepat dari biasanya... mungkin? Tapi... rasanya belum seperti jatuh cinta...


Aku belum tahu. Mungkin harus melihat lebih dekat lagi.


Saat aku sedang berpikir begitu, tiba-tiba Ootsuki-kun menoleh padaku. Aku, yang sedang menatapnya lekat-lekat, langsung bertatap mata dengannya.


“—!!”


Begitu mata kami bertemu, jantungku berdebar DEG!! Keras banget, rasanya seperti mau berhenti.


“Toujou-san?”


“Hyaai!”


Aduh! Kenapa aku jawabnya kayak gitu!? Malu banget, rasanya mau mati...


“Menurutmu, lobak ini sebaiknya dibeli?”


“Ah, um… iya, aku pikir sebaiknya dibeli. Oden kan nggak lengkap tanpa lobak…”


“Benar juga.”


Ootsuki-kun mengangguk, lalu mengambil sebatang lobak dan menaruhnya di keranjang belanja.


Haaah… Kaget banget. Lagian jawaban tadi... “Hyaai!” itu apa, sih... Rasanya aku pengin cepet-cepet pulang dan merebahkan diri di kasur.


Eh? Tunggu dulu? Tadi, pas mataku bertemu dengan Ootsuki-kun, jantungku berdebar DEG, ‘kan? Aku jadi kayak protagonis di manga?


Apa artinya… aku benar-benar jatuh cinta…?


Tunggu, tunggu, tunggu! Belum tentu!


Mungkin aku cuma kaget karena tiba-tiba saling tatap mata! Iya, pasti begitu. Cuma kaget makanya berdebar. Cuma itu.


Nanti, kalau aku bertatap mata dan jantungku berdebar lagi, saat itulah... saat itulah aku akan benar-benar menilai perasaanku. Iya, begitu saja.


Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Saat itu, aku merasakan sebuah tatapan. Aku menoleh, dan Ryota yang berdiri di sebelah Ootsuki-kun sedang menatapku lekat-lekat.


“A-Ada apa, Ryota?”


“Enggak. Nggak ada apa-apa...”


Dia memalingkan wajah dengan cepat.


A-Apa tingkahku aneh, ya? Jangan-jangan dia sadar aku bertingkah aneh!? Aduh, semoga aja dia nggak ngomong macam-macam ke Ootsuki-kun…


“Toujou-san, selanjutnya kita lihat olahan ikan, yuk.”


“Ah, i-iya.”


Ootsuki-kun yang baru saja memasukkan tomat ke keranjang menatapku dan memanggilku. Aku buru-buru menghindari tatapannya.


Nyaris... Hampir saja aku bertatap mata dengan Ootsuki-kun. Aku belum siap, jadi aku tidak boleh bertatapan mata dengannya sekarang.


Habisnya, aku tidak bisa mengambil keputusan kalau hati dan perasaanku sedang kacau begini. Aku harus menenangkan detak jantungku yang berisik ini dulu.


Sambil berpikir begitu, aku mengikuti Ootsuki-kun berbelanja. Tapi, selama bersamanya, jantungku tak pernah berhenti berdebar. Sampai kami tiba di rumah pun, aku tidak bisa memastikan perasaanku.


“Kalau begitu, saya segera mulai menyiapkan makan malam.”


“Ah… iya, tolong ya.”


Ootsuki-kun membawa bahan-bahan ke dapur.


Aduh, kalau begini terus, aku nggak bakal pernah bisa memastikan perasaanku.


Aku menekan dadaku yang berdebar kencang sejak tadi. Di meja makan, Mama yang sedang bekerja berterima kasih.


“Makasih, ya, Ayaka. Udah dua hari ini kamu bantuin belanja.”


“Nggak apa-apa, kok. Santai saja.”


“Oh iya, bukannya kamu mau ngerjain banyak PR hari ini? Ryota biar Mama yang temani, kamu boleh balik ke kamar.”


“Eh? Ah... PR-nya tadi udah lumayan banyak yang kelar, jadi hari ini cukup deh.”


“Oh, begitu.”


Kalau aku ke kamar sekarang, aku takkan bisa menyelesaikan misi pentingku: memastikan perasaanku dengan menatap mata Ootsuki-kun. Kalau malam nanti aku masih belum tahu, aku nggak bakal bisa tidur!


Benar, aku harus memberanikan diri dan bertatap mata dengan Ootsuki-kun. S-Sip! Ayo!


Aku perlahan-lahan mendekati Ootsuki-kun yang sedang berdiri di dapur. Setiap langkah yang kuambil membuat degup jantungku semakin cepat.


Kalau aku mundur sekarang, aku nggak akan pernah tahu! Semangat, Ayaka! Jangan kabur!


Sambil menyemangati diri, akhirnya aku sampai di sebelah Ootsuki-kun. Saat ini, Ootsuki-kun sedang memegang pisau dan pandangannya tertuju ke talenan.


Ah, sosoknya yang sedang memasak dengan tatapan serius itu... keren juga... Eh, jangan salah paham! Keren itu beda dengan suka, ‘kan? Aku harus menilainya dengan hati-hati.


Lalu, seolah menyadari kehadiranku, Ootsuki-kun menoleh. Tatapan kami kembali bertemu.


“…”


“Hmm? Ada apa?”


“Ah, umm... kupikir, mungkin aku bisa bantu sesuatu…”


“Tidak usah, ini pekerjaan saya. Ayaka-san istirahat saja.”


Ootsuki-kun menolak tawaranku dengan lembut. Tapi, demi memastikan perasaanku, aku tidak boleh mundur.


“Anu... aku penasaran cara membuat Oden dingin. Nggak apa-apa ‘kan kalau aku lihat-lihat di sini?”


“Oh, begitu. Nggak apa-apa kok. Kalau begitu, bisa tolong bantu rebus tomat sebentar biar kulitnya gampang dikupas?”


“Iya!”


Yes! Aku dapat alasan untuk tetap berada di sampingnya! Aku juga bisa bicara sambil menatap matanya!


Dan, detak jantungku sekarang... Agak deg-degan, ya? T-Tapi, rasanya nggak sampai DUG!! Kayak di manga. Berarti aku belum jatuh cinta, ‘kan? Iya, ‘kan?


Aku merasa sedikit lega karena sudah bisa memastikan perasaanku.


Sesuai instruksi Ootsuki-kun, aku merebus tomat yang permukaannya sudah digores tipis, sambil menghela napas untuk menenangkan diri. Saat itu, aku tidak sengaja mengangkat wajah dan melihat Mama, yang sedang menemani Ryota bermain di ruang tamu, menatapku sambil nyengir.


Aku merasa Mama salah paham dan hendak menjelaskan, tapi Mama sudah keburu berpaling kembali ke Ryota.


Aah, pasti aku bakal digoda nanti.


Saat aku berpikir begitu, aku mendengar suara dari arah pintu masuk.


“Aku pulang...”


Sepertinya Papa baru pulang kerja. Tak lama, pintu ruang tamu terbuka dan ia muncul.


“Wah, begitu ingat masakan Ootsuki-kun di rumah, Papa jadi cepat-cepat pulang kerja!”


Sambil berkata begitu, Papa menoleh ke arah kami. Dan, begitu melihatku dan Ootsuki-kun berdiri berdampingan di dapur, Papa tersenyum senang.


“Kalian berdua kelihatan kayak pengantin baru, ya! Hahaha!”


“Tung!! Papa, jangan ngomong yang aneh-aneh!!”


Gara-gara ucapan Papa, jantungku langsung nggak karuan, berdetak sekencang guntur, dan wajahku terasa panas membara.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close