Penerjemah: Ramdhian
Proffreader: Ramdhian
Chapter 5
Cinta Pertama
Di tengah liburan musim panas, meskipun masih pagi, panas yang menyengat sudah menyerang. Haruto, seperti biasa, sedang belajar di kamar sahabatnya yang dilengkapi AC, menguasai meja si pemilik kamar dan membuka buku referensinya di sana.
“Hei, Haru. Kalau belajar terus-terusan begitu, nanti kamu jadi dungu, loh.”
Ucap Tomoya, yang meja dan kursinya telah diinvasi Haruto, sambil duduk di kasur dan berlatih gitar.
“Kamu sendiri, kalau latihan gitar terus-menerus, nanti malah jadi payah, loh.”
Tomoya tertawa mendengar balasan Haruto, yang diucapkan tanpa mengalihkan pandangan dari buku referensinya.
“Ngomong konyol apa, sih. Aku kan latihan biar jago, mana mungkin jadi payah?”
Haruto menghentikan penanya dan menatap sahabatnya dengan jengah, yang berbicara seolah itu adalah hal yang sangat wajar.
“...Tomoya, gimana kalau kamu juga belajar sedikit? Soal hukum alam.”
“Aku tolak mentah-mentah! Mana mungkin aku disuruh belajar. Aku sibuk mendalami gitar.”
Setelah berkata tegas, Tomoya mulai menggenjreng gitarnya. Haruto juga mengangkat bahu mendengar ucapan sahabatnya dan kembali belajar.
Setelah itu, mereka berdua fokus pada kegiatan masing-masing tanpa saling mengganggu. Namun, beberapa saat kemudian, Tomoya menghentikan latihan gitarnya dan bertanya pada Haruto.
“Hei, Haru? Ngomong-ngomong, gimana kerja sambilanmu sebagai asisten rumah tangga?”
“Dibilang gimana juga, aku cuma bisa bilang biasa aja.”
“Sama Toujou-san... nggak ada apa-apa lagi setelah itu? Cuma sekali itu aja?”
“...”
Haruto tanpa sadar menghentikan belajarnya saat mendengar pertanyaan Tomoya. Tomoya, yang jeli melihat perubahan itu, nyengir.
“Oi, oi! Jangan-jangan... kamu jadi sering ke rumah Toujou-san setelah itu?”
“...Ini kerjaan. Aku ke rumah Toujou-san murni sebagai asisten rumah tangga.”
Mendengar gumaman Haruto, Tomoya malah bersemangat seolah itu urusannya sendiri.
“Serius!? Kamu beneran jadi sering ke rumah Toujou!?”
“Enggak sering, sih... Yah, aku dapat kontrak langganan.”
“Hah? Itu keren banget, ‘kan? Itu artinya Haru disukai sama keluarganya Toujou, ‘kan?”
“Itu artinya mereka suka hasil kerjaku.”
Haruto menjawab dengan sangat tenang, kontras dengan sahabatnya yang bersemangat.
“Iya, tapi tetap aja keren, ‘kan? Ini kesempatanmu buat makin akrab sama Toujou-san! Terus kalau lancar, bisa jadian, deh.”
“Itu sih nggak mungkin. Nggak bakal pernah.”
Haruto menyangkal ucapan Tomoya mentah-mentah.
“Kenapa kamu bisa seyakin itu? Kalau ketemu berkali-kali, ‘kan, bisa jadi akrab?”
“Yah, mungkin kami akan sedikit lebih akrab, tapi nggak lebih dari itu.”
Selama dia berkunjung sebagai staf jasa asisten rumah tangga, mungkin dia akan menjadi lebih akrab dengan Ayaka dibanding sebelum liburan. Mungkin sebatas saling sapa ringan saat bertemu di pagi hari. Namun, harapan untuk menjadi lebih akrab dari itu, apalagi sampai pacaran, sama sekali tak terlintas di benak Haruto.
“Toujou-san, yang selama ini menolak semua cowok, mana mungkin naksir aku.”
“Masa? Haru kan jago masak, mungkin kamu bisa menaklukkan perutnya dan dia jadi naksir?”
“Kalau Toujou-san segampang itu naksir orang, harusnya dia udah punya pacar dari dulu, ‘kan?”
Sambil berkata begitu, Haruto kembali menghadap mejanya dan lanjut belajar.
“Lagian, seandainya pun aku dan Toujou-san ada ‘apa-apa’, pacaran itu nggak mungkin.”
“Kenapa?”
Tomoya memiringkan kepalanya, benar-benar bingung. Haruto menjawab sambil tetap menatap buku referensinya.
“Kenapa kau bilang? Dia tuh Toujou-san, tahu? Idol sekolah. Coba bayangkan kalau kami pacaran terus berangkat sekolah sambil gandengan tangan. Aku bakal dikeroyok semua cowok di sekolah dan nggak bisa pulang hidup-hidup.”
Haruto teringat tatapan iri yang diarahkan padanya saat ia berbelanja di supermarket bersama Ayaka dan Ryouta. Wajahnya langsung muram.
“Kamu kan bisa karate, hajar balik aja semuanya. Gunanya karate kan itu?”
“Bukan! Aku karate untuk melatih kedisiplinan dan mentalitas. Kekerasan itu nggak dibenarkan, apa pun alasannya.”
“Kaku banget.”
“Normal, lah.”
Haruto menjawab singkat sambil terus menulis di buku catatannya.
“Jadi, Haru bakal diem aja, gitu, meskipun Toujou-san naksir kamu?”
“Aku mau kehidupan SMA yang damai. Kewajiban utama pelajar itu belajar.”
“Pengecut.”
“Bodo amat.”
Seolah obrolan selesai, Haruto mulai fokus belajar. Melihat sahabatnya, Tomoya bergumam, “Sayang banget,” lalu kembali berlatih gitar.
Setelah itu, Haruto terus belajar hingga menjelang siang. Dia melihat jam dinding, lalu meregangkan badan.
“Sip. Aku pulang dulu.”
“Oh? Sudah siang, ya.”
Tomoya juga menghentikan latihan gitarnya dan melihat jam.
“Makasih, ya, udah boleh pakai mejanya.”
“Oke, biaya sewanya sepuluh juta.”
“Oh gitu. Kalau gitu, biaya bersih-bersihku di kamarmu seratus juta sekali.”
Ucap Haruto santai sambil membereskan alat belajarnya.
“Baik. Silakan gunakan meja ini kapan pun Anda mau.”
“Hah, makasih.”
Haruto tertawa kecil dan mengangkat sebelah tangannya menanggapi Tomoya yang membungkuk hormat.
“Habis ini Haru kerja?”
“Iya, mau belanja dulu sebentar, terus berangkat jam tiga.”
“Ke rumah Toujou-san?”
“Iya.”
Haruto menjawab singkat pertanyaan Tomoya sambil memasukkan buku referensi dan alat tulisnya ke tas.
“Bikin iri aja, woi.”
“Aku ke sana buat kerja. Nggak banyak interaksi sama Toujou-san kayak yang kamu bayangin.”
“Tapi kan kamu bisa ‘memuja’ wajahnya?”
“Memuja apanya...”
Haruto memasang ekspresi bete dan bersiap keluar dari kamar sahabatnya. Ternyata Tomoya juga ikut menyusul.
“Hm? Kamu juga mau keluar?”
“Oh, hari ini aku mau latihan bareng anak band di studio.”
Jawab Tomoya sambil menepuk-nepuk kotak gitar yang disandangnya.
“Oh gitu, semangat latihannya.”
“Kamu juga, semangat biar disukai Toujou-san.”
“Itu bukan sesuatu yang perlu disemangati.”
“Nggak, justru harus semangat.”
Mendengar ucapan sahabatnya yang sambil tersenyum kecil, Haruto menggaruk kepalanya dengan sebelah tangan.
“Iya, iya, paham. Dah.”
Haruto menjawab ala kadarnya, lalu berpisah dengan Tomoya.
※
Setelah berpisah dengan Tomoya, Haruto menuju supermarket sebelum kerja sambilan.
Tadi pagi, waktu membuat sarapan dengan neneknya, miso mereka hampir habis, jadi ia mau membelinya.
“Oh iya, natto juga tinggal sedikit, sekalian beli, ah.”
Sinar matahari musim panas yang tak kenal ampun masih terus menyengat dari atas kepala Haruto, yang sedang berjalan sambil mengingat-ingat isi kulkasnya.
Setibanya di supermarket, ia sudah basah kuyup oleh keringat. Ia mengambil keranjang belanja di pintu masuk dan melangkah masuk. Udara dingin langsung menyelimutinya, dan Haruto menghela napas.
“Hm? Tumben ramai.”
Setahu Haruto, supermarket lewat jam makan siang seharusnya sepi. Tapi mungkin karena sedang liburan musim panas, pengunjungnya cukup banyak.
Haruto berjalan masuk untuk membeli miso. Tiba-tiba, matanya menangkap sebuah iklan yang tertempel.
“Oh? Ada Time Sale. Makanya ramai.”
Mungkin ini strategi supermarket untuk menarik pelanggan di jam-jam sepi.
“Mari kita lihat, ada yang bagus, nggak?”
Haruto mendekati iklan itu untuk memeriksanya. Sepertinya menu utama time sale kali ini adalah daging.
“Potongan iga sapi 128 yen per 100 gram... Hmm... Murah, sih, tapi nggak sampai bikin kalap juga.”
Haruto tidak terlalu tertarik dengan produk di iklan itu. Mungkin karena cuaca panas dalam perjalanan tadi membuat selera makannya jadi turun, ia tidak tertarik pada daging.
“Yang lain... Hah, bumbu juga diskon. Harusnya tadi aku cek sisa bumbu di rumah... Hm? Hah!?”
Di tengah kalimatnya, mata Haruto terbelalak. Ia menatap lekat-lekat satu titik di iklan itu.
“Minyak wijen 78 yen... katanya?”
Murah. Murah banget.
Bagi Haruto, minyak wijen termasuk barang mewah. Merek supermarket yang murah saja harganya 200 sampai 300 yen. Kalau mau membeli merek terkenal, uang 500 yen bisa langsung lenyap dalam sekejap.
Padahal, minyak wijen itu kegunaannya ada banyak.
Aromanya yang wangi bisa membangkitkan paksa selera makan di musim panas. Menambahkan sedikit saja di tumis sayur atau nasi goreng bisa membuatnya berkali-kali lipat lebih enak. Ditambah bawang putih, rasanya jadi tiada tanding. Di malam yang gerah, dimakan dengan hiyayakko dan kimchi di atasnya juga mantap.
“Aku harus beli!!”
Haruto bergegas menuju tempat minyak wijen.
Dengan napas terengah-engah, Haruto berdiri di depan rak minyak wijen. Di matanya, terpantul angka besar yang tertulis di kertas kuning. Tidak salah lagi, 78.
“Apa... ada apa dengan dunia ini?”
Haruto panik melihat harga yang mengejutkan itu.
“Minyak wijen bisa semurah ini... Ha! Ini dunia lain! Aku bereinkarnasi ke dunia lain!!”
Sambil bergumam konyol, Haruto mengulurkan tangan ke produk, tapi tiba-tiba berhenti. Matanya tertuju pada satu kalimat yang tertulis di bawah label harga.
“Satu orang satu barang... Kkh, kau lagi!”
Haruto memelototi kalimat itu dengan tatapan penuh kebencian, bagaikan seorang pahlawan di depan Raja Iblis.
Kalimat ‘Satu orang satu barang’ adalah musuh semua emak-emak. Untuk mengalahkan musuh kuat ini, emak-emak akan “summon“ teman dan kerabat untuk menghadapinya.
Haruto juga buru-buru mengeluarkan ponselnya dari saku, menekannya secepat kilat, mencoba “summon“ bala bantuan. Terdengar nada sambung santai dari ponselnya, sangat kontras dengan perasaan Haruto.
Saat ini, para rival (emak-emak) pasti sedang sibuk dengan menu utama, potongan daging sapi. Selagi mereka sibuk, ia harus mengamankan minyak wijen ini.
Haruto berusaha menahan kegelisahannya, menunggu panggilannya dijawab. Beberapa detik kemudian, akhirnya tersambung, dan suara santai sahabatnya terdengar.
‘Yo... Ada apa? Ketinggalan sesuatu?’
“Bisa ke supermarket sekarang!?”
‘Wah, nadamu serius banget. Jangan-jangan ‘itu’ lagi?’
“Benar! Yang ini nggak boleh dilewatkan!!”
Selama ini, Haruto sudah berkali-kali “summon“ Tomoya untuk mengatasi musuh kuat ‘Satu orang satu barang’. Tomoya bukan sekedar sahabat, tapi juga rekan seperjuangannya. Tapi, jawaban yang tak diharapkan datang dari rekan seperjuangannya itu.
‘Ah... maaf, aku sudah di studio nih, latihannya sudah mau mulai...’
“...Oh gitu. Iya, sudah kuduga. Maaf mengganggu. Nggak usah pikirin aku, semangat latihannya.”
‘O-Oh. Umm.. itu... maaf, ya.’
Sepertinya suara Haruto terdengar sangat kecewa, Tomoya meminta maaf dengan tulus.
“Enggak, nggak apa-apa. Kamu nggak salah. Dah.”
Haruto menutup teleponnya dan mencoba memanggil sekutu berikutnya.
Ia membuka riwayat panggilan dan menghubungi orang lain. Setelah beberapa detik, terdengar suara dari seberang.
‘Apa, Haruto.’
“Kazu-senpai! Lagi sibuk!?”
‘Ada apa? Tumben panik begitu.’
Orang kedua yang dihubungi Haruto setelah Tomoya adalah senpainya yang bisa diandalkan dari dojo, Ishigura Kazuaki.
“Aku lagi di supermarket, ada barang diskon yang dibatasi satu orang satu, aku butuh bantuan.”
‘Oh gitu. Hmm, harus sekarang banget, nih?’
“...Iya. Kayaknya bakal cepat habis.”
Dari reaksi Ishigura, Haruto merasa ini juga akan gagal.
‘Oh gitu... Maaf, aku lagi manggang kue. Nggak bisa ditinggal. maaf, ya.’
“Oh, begitu... Ya sudah, mau bagaimana lagi.”
‘Maaf, ya.’
“Nggak apa-apa.”
Haruto menutup teleponnya dengan Ishigura, lalu dengan sisa harapan terakhir, ia menghubungi satu orang lagi. Panggilannya langsung tersambung bahkan sebelum nada deringnya berbunyi.
‘Haru-senpai mau anak berapa?’
“Maaf, Shizuku. Aku bener-bener nggak ngerti.”
Suara datar adik kelasnya terdengar dari ponsel. Teman satu dojo sekaligus adik kelasnya di SMA, Doujima Shizuku. Pernyataan Shizuku yang tidak masuk akal membuat Haruto merasa lemas.
‘Teleponnya bukan soal rencana keluarga kita di masa depan?’
“Maaf, tapi kayaknya aku nggak bakal pernah meneleponmu untuk itu.”
‘Gabiin (syok).’
Haruto menanggapi kata-kata Shizuku dengan tenang, dan dibalas dengan reaksi kuno. Tapi, cara bicaranya yang datar tanpa emosi itu malah terdengar lucu, dan Haruto tanpa sadar tertawa kecil.
“Gabiin, itu zaman kapan.”
‘Aku tuh cewek SMA tulen. Lagian, kalau bukan soal rencana keluarga, apa kita mau diskusi soal tujuan bulan madu? Aku mau ke Santorini.’
“Di mana itu. Bukan, aku mau minta tolong buat belanjaan diskon di supermarket.”
Kalau Haruto meladeni lelucon Shizuku, bisa-bisa keburu malam. Jadi, ia langsung menyampaikan maksudnya.
‘Hoho, begitu. Jadi, aku ini cuma perempuan yang dipanggil Haru-senpai saat butuh aja, ya.’
“...Kalau kamu bantu, aku akan kasih imbalan yang layak.”
‘Cium, ya?’
“Imbalan yang lebih pantas.”
‘Y-Yang ‘lebih’ itu berarti... Senpai mesum.’
Haruto menghela napas panjang, lelah menghadapi lelucon Shizuku yang terus ngomong muter-muter.
“Jadi, bisa bantu?”
‘Tentu saja... Tapi maaf, Senpai. Aku lagi disuruh Ibu cabut rumput... Aku bolos empat kali berturut-turut, akhirnya beliau marah besar...’
Suara Shizuku terdengar murung, tidak seperti biasanya. ‘Haru-senpai, aku menyesal,’ lanjutnya.
“O-Oh gitu. Patuhi perintah ibumu, ya.”
‘Iya...’
“Dah. Semangat cabut rumputnya.”
‘Haru-senpai... Aku sayang kamu...’
“Iya, iya.”
Setelah menutup telepon dengan Shizuku, yang sampai akhir masih bercanda, Haruto menghela napas panjang. Gagal mendapatkan bantuan dari semua sekutunya, Haruto menahan rasa frustrasi atas kekalahannya dari ‘Satu orang satu barang’.
“Haa, yah, setidaknya bisa beli satu. Harus terima nasib.”
Haruto mengambil satu botol minyak wijen dari rak dan memasukkannya ke keranjang belanja dengan lesu.
“...Beli miso terus pulang, ah.”
Haruto berjalan gontai. Tiba-tiba, sebuah suara memanggil dari belakangnya.
“Ootsuki-kun?”
Haruto menoleh mendengar suara itu, dan teringat. Dalam cerita reinkarnasi ke dunia lain, hampir selalu ada satu hal yang muncul.
Yakni, Dewi.
Dewi yang memberikan kekuatan super pada sang pahlawan, dan terkadang menyelamatkannya dari marabahaya.
Kini, di depan Haruto pun, sang Dewi telah muncul. Di depan Haruto, yang telah menantang Raja Iblis (‘Satu Orang Terbatas Satu Barang’) namun gagal dan kehabisan tenaga. Dewi memberinya kekuatan untuk bangkit kembali.
“Aah! Toujou-san! Kamu adalah Dewi!!”
“Fuee!?”
Ayaka mengeluarkan suara aneh, kaget mendengar kata-kata dan antusiasme Haruto yang tidak terduga.
※
Saat aku pergi ke supermarket dekat rumah karena disuruh Mama berbelanja, aku kebetulan bertemu dengan Ootsuki-kun.
Melihat sosok Ootsuki-kun di luar pekerjaannya sebagai asisten rumah tangga, tanpa sadar jantungku berdebar dan aku pun bersembunyi di balik rak barang.
A-Apa yang harus kulakukan... Apa sebaiknya aku menyapanya, ya?
Dia sudah datang ke rumahku tiga kali, jadi kurasa kami sudah berada di tahap di mana kami bisa bertukar sapa dengan santai jika kebetulan bertemu... ‘kan?
Tapi, gimana nih... Gimana kalau Ootsuki-kun sama sekali belum menganggapku seperti itu dan malah berpikir, ‘Apaan, sih? Sok asyik.’
Ugh... Aku nggak mau itu terjadi.
Tapi, Ootsuki-kun bukan orang kayak gitu, ‘kan? Dia kan baik, dia pasti akan membalas sapaanku dengan senyuman.
Aku diam-diam mengintip dari balik rak barang untuk melihat keadaan Ootsuki-kun. Sejak tadi, dia terus menatap barang-barang yang dipajang dengan ekspresi yang sulit dimengerti. Mungkinkah Ootsuki-kun menyadari keberadaanku lebih dulu dan akan menyapaku? Sempat terpikir seperti itu, tapi melihat keadaannya, sepertinya kemungkinannya kecil.
...Ternyata Ootsuki-kun bisa memasang ekspresi seperti itu, ya.
Saat datang ke rumah sebagai asisten rumah tangga, Ootsuki-kun selalu menunjukkan ekspresi tenang. Tapi, sekarang dia menatap satu titik dengan tatapan serius.
Entah kenapa, aku jadi sedikit senang karena bisa mengetahui sisi Ootsuki-kun yang tidak kuketahui.
Saat aku sedang asyik mengintipnya diam-diam dari balik rak barang sambil memikirkan hal itu, tiba-tiba dia mengeluarkan ponselnya dan mulai menghubungi seseorang dengan tergesa-gesa. Setelah sepertinya menelepon tiga orang berturut-turut, dia menutup telepon dengan raut muka sangat kecewa dan mengambil sebuah produk.
Itu... minyak wijen? Kenapa dia mengambil minyak wijen dengan ekspresi sesedih itu?
Saat aku tengah bertanya-tanya, Ootsuki-kun mulai berjalan lesu dengan punggung yang memancarkan aura kesedihan.
Ada apa, ya? Kenapa dia terlihat sedih sekali? Apa karena minyak wijen?
Pertanyaan terus bermunculan satu per satu di benakku. Aku sangat penasaran.
“Ootsuki-kun?”
Karena terlalu penasaran, tanpa sadar aku sudah keluar dari rak barang tempatku bersembunyi dan memanggilnya.
Ah! Gawat! Aku memanggilnya! Padahal aku belum siap mental....
Meskipun panik, aku memikirkan berbagai kandidat sapaan agar bisa mengobrol dengan Ootsuki-kun secara alami.
Hari ini cuacanya bagus, ya... rasanya kurang pas. Halo, Ootsuki-kun... terlalu biasa? Sedang apa di tempat seperti ini? ...Dia di supermarket, ya jelas sedang belanja, lah. Kalau begitu... bertemu di tempat seperti ini, rasanya seperti takdir, ya! ...Salah banget!! Aku kenapa, sih!?
Di saat aku sedang kalut dengan berbagai pikiran yang kacau, Ootsuki-kun melontarkan kata-kata yang membuatku semakin bingung.
“Aah! Toujou-san! Kamu adalah Dewi!!”
“Fuee!?”
Suara anehku keluar! Lagipula, eh? Dewi? Aku? Dewi-nya Ootsuki-kun?
Aku tidak mengerti. Apa maksudnya Dewi? Orang di lukisan kuno yang berdiri di dalam kerang? Atau orang yang memimpin rakyat di barisan depan sambil membawa bendera?
“Toujou-san! Ada yang ingin kuminta darimu!”
“I-Iya.”
Ootsuki-kun menatapku dengan mata super serius. Gawat, kalau ditatap seperti itu, jantungku jadi dag-dig-dug.... Hah!! Tunggu dulu! Ini... jangan-jangan ini pernyataan cinta!?
Tunggu, tunggu, tunggu! Di sini? Di supermarket bagian bumbu dapur? Menyatakan cinta sambil memegang minyak wijen!?
A-Apa yang harus kulakukan... Ini terlalu unik sampai-sampai pikiranku jadi keruh.
Ta-Ta-Tapi, kalau dia benar-benar menyatakan cinta, aku akan menolaknya dulu. Ya, aku akan menolaknya. Lalu, akan kuminta untuk memulai dari teman.
“Toujou-san! Tolong bantu aku membeli minyak wijen!!”
“Ah, ya! Dengan senang hati!!”
Bodohnya aku!! Padahal sudah kuputuskan untuk menolaknya dulu!! ...Eh, tunggu? Minyak wijen? Maksudnya?
“Benarkah!? Wah, terima kasih banyak. Aku sangat terbantu.”
“Ah, ya. Sama-sama?”
Eh? Eh? Apa? Apa maksudnya? Membantu membeli minyak wijen? Apa ini semacam ‘kerja sama pertama suami-istri’? Jangan-jangan ini lamaran minyak wijen?
Melihatku yang berada di puncak kebingungan, Ootsuki-kun menunjuk sebaris kalimat di iklan yang tertempel di rak minyak wijen sambil tersenyum lebar.
“Minyak wijen ini, satu orang hanya boleh beli satu. Aku sudah coba minta tolong teman untuk membeli yang kedua, tapi nggak ada yang bisa datang, jadi aku sudah pasrah dan berniat menyerah dengan satu botol saja.”
“Oh! Begitu, ya! ...Iya juga, ya. Satu orang satu barang... Hmm, iya, ya. Maksudnya aku membelikan untuk Ootsuki-kun, ‘kan?”
“Iya, uangnya nanti akan kuganti.”
“Oke, aku mengerti. Kalau begitu, aku beli ini, ya.”
Aku berkata begitu, lalu mengambil minyak wijen yang sedang diskon itu dan memasukkannya ke keranjang.
..................Malu banget!!
Aku sudah salah paham banget!! Apanya yang lamaran minyak wijen!! Mana mungkin ada hal seperti itu!! Bodoh! Bodoh! Bodohnya aku!!
Ah... kayaknya minyak wijen bakal bikin aku trauma. Aku punya firasat ini akan muncul di mimpiku malam ini sebagai mimpi buruk.
Pasti wajahku sekarang sudah memerah sampai ke telinga karena malu. Kalau bisa, aku tidak ingin Ootsuki-kun melihat wajah seperti ini.
Aku memalingkan wajah agar Ootsuki-kun tidak bisa melihat ekspresiku.
“Wah, bisa membeli minyak wijen seharga 78 yen, entah kapan lagi aku bisa mengalami pengalaman seperti ini seumur hidupku. Mungkin 80 tahun lagi baru bisa beli dengan harga ini.”
“Emang semurah itu, ya, minyak wijen 78 yen.”
Diskon minyak wijen ternyata siklusnya sama dengan komet, ya. ...Benar, ‘kah?
Aku berpura-pura melihat minyak wijen di rak untuk memalingkan wajah dari Ootsuki-kun saat berbicara.
“Ini sudah termasuk keajaiban. Pasti dapat penghargaan ‘Good of Sesame Oil’ tahun ini.”
“’Good of Sesame’... fufu, apa coba, nggak jelas banget.”
Aku tak bisa menahan tawa mendengar candaannya. Ternyata Ootsuki-kun juga bisa bercanda seperti ini.
Sambil berpikir begitu, aku penasaran seperti apa ekspresinya sekarang, jadi aku meliriknya sedikit.
Ootsuki-kun sekarang sedang tersenyum lebar, ekspresinya benar-benar menunjukkan ledakan kebahagiaan. Entah kenapa, itu mengingatkanku pada Ryota kalau lagi bergembira.
Manisnya....
Melihat senyum polos Ootsuki-kun yang biasanya terlihat dewasa, tanpa sadar ekspresiku melembut. ...Eh, tapi menganggap teman sekelas laki-laki itu manis kan nggak sopan, ya. Ootsuki-kun juga pasti nggak bakal senang kalau tahu dianggap ‘manis’ oleh gadis seusianya.
Aku menekan perasaan yang muncul di dalam diriku.
“Ngomong-ngomong, Toujou-san datang untuk membeli apa?”
“Eh? Ah, aku disuruh Mama membeli wasabi.”
“Wasabi doang?”
“Iya.”
“Kalau begitu, kamu kan bisa memberitahuku pas aku datang untuk bekerja, biar aku aja yang beli.”
Meskipun Ootsuki-kun berkata begitu, aku menggelengkan kepala.
“Papa ingin hari ini Ootsuki-kun fokus membuat makan malam.”
“...? Mungkinkah ada permintaan khusus untuk makan malam hari ini?”
“Iya, sebenarnya hari ini Papa pergi memancing, dan dia ingin Ootsuki-kun bersihin lalu mengolah ikan hasil tangkapannya.”
Papa terkadang membawa pulang ikan hasil tangkapan dari hobi memancingnya. Tapi, biasanya dia bilang malas membersihkannya di rumah, dan memberikannya kepada teman-teman memancingnya. Tapi, kali ini karena ada Ootsuki-kun, dia jadi bersemangat dan sepertinya akan membawa pulang semua ikan hasil tangkapannya.
“Ootsuki-kun bisa bersihin ikan?”
Papa terlalu bersemangat sampai lupa memastikan, tapi kalau sampai Ootsuki-kun tidak bisa membersihkan ikan, ini akan jadi bencana besar.
Yah, kalau Ootsuki-kun sih kayaknya nggak bakal jadi masalah, tapi kan ada juga orang yang tidak bisa menyentuh ikan. Bisa saja Ootsuki-kun tipe yang seperti itu.
Ootsuki-kun panik melihat ikan yang melompat-lompat di atas talenan... hmm, manis. Jadi pengin lihat.
“Hmm, tergantung jenis ikannya, tapi kurasa aku tahu cara dasar membersihkannya, jadi mungkin tidak masalah. Omong-ngomong, apa kamu tahu ikan apa yang didapat?”
“Ah, ya. Tunggu sebentar, sepertinya tertulis di riwayat obrolan dengan Papa.”
Aku sadar kalau tadi aku sempat menyeringai karena lamunanku, jadi aku buru-buru memasang ekspresi serius dan membuka riwayat obrolan dengan Papa di ponselku.
“Err, katanya dapat ikan ekor kuning dan kakap merah, lalu... ini apa, ya?”
Aku memiringkan kepala melihat kanji yang tidak kukenal. Ikan dan musim semi, hmm, rasanya aku pernah melihatnya, tapi di mana, ya?
Saat aku tengah kesulitan membaca kanji itu, Ootsuki-kun berbicara dari sebelahku.
“Boleh aku lihat sebentar?”
“Iya.”
Saat aku mengangguk, Ootsuki-kun langsung mendekat ke sebelahku dan sedikit menjulurkan lehernya untuk mengintip ponselku.
“Ah, ini tenggiri.”
“Hee... Ikan musim semi maksudnya tenggiri, ya.”
“Ikan ini dinamakan begitu karena saat musim semi tiba, mereka mendekat ke pantai untuk bertelur, makanya jadi sering terlihat. Makanya orang zaman dulu menyebut tenggiri sebagai ikan penanda datangnya musim semi, dan kanjinya pun jadi begitu.”
“Begitu, ya. Keren juga, ikan penanda datangnya musim semi.”
Di dalam kepalaku, muncul bayangan ikan lucu yang berenang dengan anggun di lautan yang dihiasi kelopak sakura yang berguguran.
“Tapi ikan ini giginya sangat tajam dan sering memutus kail pancing, jadi para pemancing menjulukinya ‘tenggiri cutter’.”
Ucap Ootsuki-kun sambil tertawa “hahaha”. Mendengar kata-katanya, citraku terhadap tenggiri langsung berubah dari ikan manis menjadi ikan monster seperti piranha.
“Jangan-jangan tenggiri itu ikan yang menyeramkan?”
“Yah, namanya juga ikan karnivora besar. Tapi rasanya enak banget, loh. Bukan hanya sashimi-nya, tapi saikyoyaki-nya juga enak. Dagingnya lembut, jadi lumer di mulut dan rasanya gurih, pasti bikin ketagihan.”
[TLN: Saikyoyaki adalah ikan yang dipanggang setelah direndam miso.]
“Wah, Ootsuki-kun tahu banyak, ya.”
Aku berkata begitu sambil menoleh ke arah Ootsuki-kun yang ada di sebelahku. Lalu, aku buru-buru mengalihkan pandanganku kembali ke layar ponsel.
D-Dekat banget! Wajah Ootsuki-kun tepat di sebelahku!!
Karena kami berdua melihat layar ponsel yang sama, wajah kami jadi sangat berdekatan.
A-Apa yang harus kulakukan....
Tapi kalau aku buru-buru menjauh sekarang, nanti Ootsuki-kun malah tahu kalau aku menyadarinya... Apa Ootsuki-kun nggak merasa apa-apa, ya, dengan jarak sedekat ini?
Jarak antara aku dan Ootsuki-kun sekarang sangat dekat sampai-sampai bahu kami hampir bersentuhan. Kami benar-benar berada di area pribadi masing-masing.
Kali ini, aku perlahan-lahan mencoba melirik ke arah Ootsuki-kun agar dia tidak sadar.
Ah, ternyata bulu mata Ootsuki-kun cukup lentik, ya. Entah kenapa, saat melihat wajah Ootsuki-kun, aku merasa seperti terhanyut dalam perasaan aneh....
“Ngomong-ngomong, apa di rumah Toujou-san ada gas burner?”
“!? Ah, eh? Gas burner? A-Ada nggak, ya? Kayaknya nggak ada deh.”
K-Kaget banget! Saat aku tengah memandangi wajahnya dari samping, tiba-tiba dia menoleh ke arahku dan berbicara. Jantungku rasanya mau copot.
“Memangnya gas burner perlu untuk bersihin ikan?”
Dia nggak sadar, ‘kan, kalau aku tadi sedang memandangi wajahnya dari samping?
Aku bertanya pada Ootsuki-kun sambil sedikit merasa was-was.
“Tenggiri tuh paling enak kalau permukaannya dipanggang sedikit.”
“O-Oh, gitu, ya.”
Sepertinya aman. Dia sepertinya tidak sadar kalau aku tadi curi-curi pandang.
“Kebetulan di sebelah supermarket ini ada home center, jadi aku akan membeli gas burner di sana.”
“Ah, aku boleh ikut nggak?”
Gawat! Aku refleks bilang pengin ikut.
“Ke home center?”
“Iya, aku jarang banget ke toko begituan....”
Meskipun mulutku berkata begitu, tapi sebenarnya hatiku tidak.
Aku ingin bersama Ootsuki-kun sedikit lebih lama lagi. Aku ingin lebih mengenal dirinya di luar statusnya sebagai pekerja sambilan.
Berpikir seperti ini, berarti jangan-jangan aku....
Tidak, tunggu! Masih terlalu dini untuk menyimpulkan. Mungkin aku hanya ingin berteman baik dengan Ootsuki-kun sebagai teman biasa, atau mungkin aku hanya terbawa suasana karena dia adalah cowok pertama yang bisa kuajak bicara dengan normal.
Ya, kalau kuingat-ingat lagi interaksiku dengan Ootsuki-kun selama ini, ada beberapa momen yang membuatku berdebar, tapi rasanya belum ada hal yang bisa meyakinkanku kalau aku sudah jatuh cinta... Hah?
Tunggu sebentar, tadi waktu aku salah mengira Ootsuki-kun akan menembakku, pas dia bilang, “Tolong bantu aku membeli minyak wijen!!” dan aku menjawab, “Ya! Dengan senang hati!!”... Ini, kalau seandainya Ootsuki-kun waktu itu benar-benar menembakku, berarti aku menerimanya dong? Eh? Maksudnya gitu, ‘kan? Eh? Gimana nih? Eh!? Gimana nih!!?
Jangan-jangan aku, sama Ootsuki-kun... Nggak tahu! Aku nggak mudeng!! Aku nggak paham perasaanku sendiri!!
Di saat hatiku sedang amburadul seperti diterpa badai, Ootsuki-kun malah tersenyum padaku.
“Kalau begitu, ayo kita pergi ke home center bersama.”
“I-Iya. Mohon bimbingannya.”
Karena perasaanku masih belum tertata, aku tidak bisa melihat wajah Ootsuki-kun dan hanya menjawab dengan suara pelan sambil menunduk.
※
Berkat Ayaka, Haruto berhasil mendapatkan dua botol minyak wijen.
Setelah mereka membeli barang yang menjadi tujuan awal Haruto, yaitu miso dan natto, serta belanjaan Ayaka, yaitu wasabi, keduanya membayar di kasir dan memasukkan barang belanjaan ke dalam tas.
“Nih Ootsuki-kun, minyak wijennya.”
“Terima kasih. Kamu benar-benar membantuku.”
Haruto menundukkan kepala sambil menerima minyak wijen dari Ayaka, lalu memasukkannya ke dalam eco-bag.
“Ootsuki-kun, eco-bag itu... lucu banget, ya.”
“Eh? Ah... sebenarnya ini, biasanya dipakai oleh nenekku.”
Ucap Haruto dengan nada sedikit malu.
“Oh, begitu. Iya juga, ya, rasanya terlalu manis kalau Ootsuki-kun yang pakai.”
Ucap Ayaka sambil sekali lagi melihat ke arah eco-bag Haruto.
Eco-bag yang dibawanya terbuat dari kain berwarna pink pucat dengan sulaman beruang yang sangat lucu. Desainnya memang agak kekanak-kanakan, atau lebih tepatnya terlalu feminin untuk dibawa oleh seorang cowok SMA, dan rasanya aneh jika Haruto yang membawanya.
“Yah, meskipun menurutku desainnya agak terlalu manis bahkan untuk nenekku. Tapi nenekku suka banget sama yang beginian.”
Haruto mengatakannya dengan sedikit tawa getir, dan Ayaka tersenyum menanggapinya.
“Menurutku bagus, kok. Nenek Ootsuki-kun manis, ya.”
“Haha, terima kasih.”
Setelah selesai memasukkan barang ke tas, mereka berdua berjalan menuju home center yang terletak di sebelah supermarket untuk membeli gas burner.
“Wah, ternyata home center menjual lebih banyak barang dari yang kukira.”
Ayaka, yang katanya hampir tidak pernah datang ke sana, melihat sekeliling dengan tatapan penasaran.
“Kukira di sini hanya menjual perlengkapan berkebun dan pertukangan, tapi ternyata ada alat elektronik dan bahan makanan juga, ya.”
“Home center zaman sekarang koleksi barangnya lengkap. Peralatan dapur juga ada, bahkan kita bisa merenovasi dapur sekalian, loh.”
“Begitu, ya. Ah! Ada pet corner!”
Dari kejauhan, Ayaka melihat anak anjing yang berada di dalam kandang kaca, lalu berlari kecil ke arah sana. Tapi ia segera berhenti, dan berbalik ke arah Haruto dengan malu-malu.
“Oh, iya, kita kan ke sini mau beli gas burner.”
“Iya, sih... tapi, mau lihat-lihat dulu?”
“Boleh?”
“Iya, boleh kok.”
“Asyik!”
Ayaka berlari menghampiri anak anjing itu dengan gembira. Melihat punggungnya, Haruto tersenyum kecil.
“Kalau sudah begitu, mana mungkin aku bisa nolak....”
Gumam Haruto dengan suara pelan agar tidak terdengar oleh orang di sekitarnya.
Ia mengeluarkan ponsel sedikit dari sakunya untuk mengecek waktu. Meskipun waktunya tidak bisa dibilang sangat luang sampai jam kerjanya dimulai, tapi masih ada cukup waktu untuk mampir sebentar. Haruto menghampiri Ayaka yang sedang berjongkok di depan kandang sambil menatap anak anjing, dan ikut mengamati dari belakangnya.
“Lucunya... Ah! Dia datang ke sini!”
“Ini anak anjing pomeranian, ya.”
Ucap Haruto sambil membaca informasi tentang anak anjing yang tertempel di kandang.
“Badannya punya bulu lebat, kecil, dan lucu, ya!”
Ayaka menempelkan wajahnya ke kaca sampai hidungnya hampir menyentuh, matanya berbinar-binar. Melihatnya, Haruto pun ikut tersenyum. Tiba-tiba ia melirik harga anak anjing itu. Setelah selesai menghitung jumlah angka nolnya, ia perlahan memalingkan muka.
“Ootsuki-kun! Lihat, lihat! Telapak kakinya lucu... ! Uwaa!”
Anak anjing pomeranian itu meletakkan kaki depannya di kaca kandang, lalu berputar-putar di tempat, kemudian meletakkan kaki depannya lagi di kaca kandang. Ia mengulangi gerakan itu terus-menerus.
Tingkah laku anak anjing yang menggemaskan itu membuat Ayaka begitu terpikat, hingga suaranya terdengar seolah diliputi haru.
Anak anjing pomeranian itu memang mungil, tubuhnya berbulu lebat, dan menggemaskan seperti bola bulu yang melompat-lompat. Namun, di mata Haruto, gadis yang ada di depannya jauh lebih menggemaskan daripada anak anjing itu.
“Toujou-san suka anjing, ya.”
“Iya! Jarang ada orang yang tidak suka makhluk semanis ini.”
Ayaka tak bosan-bosannya menatap anak anjing yang terus mengulangi gerakan yang sama sejak tadi.
Haruto pun jadi tidak bisa mengalihkan pandangannya dari Ayaka. Kombinasi antara gadis cantik dan hewan mungil memiliki daya serang yang sangat dahsyat, dan itu memberikan critical hit bagi cowok SMA, tidak, bagi semua laki-laki di dunia.
“Kayaknya bakal menyenangkan, ya, kalau pergi ke kebun binatang interaktif bareng Toujou-san.”
Melihat Ayaka berinteraksi dengan hewan seharian penuh, pasti akan sangat memanjakan mata sampai-sampai penglihatanku bisa jadi setajam suku Maasai. Sambil memikirkan hal itu, Haruto mengatakannya tanpa bermaksud apa-apa. Tiba-tiba, Ayaka yang sejak tadi menempel di kaca, langsung mengalihkan pandangannya dari anak anjing dan menatap Haruto.
“Aku juga mau pergi ke kebun binatang interaktif!”
“...Eh?”
“..........Ah, bukan, maksudku....”
Haruto kaget mendengar ucapan Ayaka. Melihat reaksinya, Ayaka pun tampak kaget dan wajahnya langsung memerah.
Melihat itu, Haruto pun teringat akan ucapannya barusan dan rasa malu mulai menjalari dirinya. Cara bicaranya tadi, tergantung cara orang menafsirkannya, bisa terdengar seperti ajakan kencan ke kebun binatang.
Haruto sama sekali tidak bermaksud begitu, tapi tak disangka ia malah jadi seperti mengajak kencan. Dan yang lebih tidak terduga lagi, gadis itu menerimanya.
Haruto berusaha menenangkan hatinya yang panik sambil mencari kata-kata yang tepat untuk mengatasi situasi ini. Tiba-tiba, Ayaka membuka mulut dengan ragu-ragu.
“I-Itu... Kebun binatang itu ‘kan... Ryota suka... iya! Ryota suka! Err... tapi orang tuaku sibuk kerja, jadi jarang bisa mengajaknya. Tapi kalau aku pergi berdua saja dengan Ryota, rasanya, umm, cemas... maksudku, Ryota juga pasti... akan senang... kalau Ootsuki-kun ikut....”
Ayaka berbicara sambil melirik kesana-kemari, jelas-jelas sedang mencari-cari alasan. Tapi, Haruto pun langsung menyabet alasan ‘Ryota’ yang seolah menjadi dewa penolong.
“Oh, ah! Iya, ya. Ryota-kun kayaknya memang suka kebun binatang, ya.”
“I-Iya, begitu. Makanya, itu....”
Ayaka tiba-tiba terdiam di tengah kalimat. Setelah merasakan jeda yang sedikit canggung, Haruto pun memberanikan diri membuka mulut.
“Kalau begitu... kapan-kapan, kita pergi, yuk? Ke kebun binatang... bareng Ryota-kun, bertiga.”
“I-Iya! Bareng Ryota... bertiga.”
Haruto tidak sanggup menatap langsung wajah Ayaka yang menampilkan ekspresi yang rumit namun memesona, antara malu, senang, dan sedikit kecewa. Dia pun memalingkan muka.
“Err, a-ah. Kita kan harus beli gas burner.”
“I-Iya, ya. Kita harus beli gas burner.”
Mendengar kata-kata Haruto yang terkesan dibuat-buat, Ayaka mengangguk berkali-kali.
Setelah itu, mereka berdua terus diam sampai selesai membeli gas burner dan keluar dari home center. Beberapa kali pandangan mereka bertemu, tapi setiap kali itu terjadi, mereka berdua sama-sama memerah dan membuang muka.
Setelah keluar dari area home center, sebelum berpisah untuk pulang ke rumah masing-masing, mereka sekali lagi saling berhadapan, lalu membuang muka.
“Emm, kalau begitu. Aku pulang dulu ke rumah, nanti aku akan ke rumahmu.”
“I-Iya.”
“Soal... rencana ke kebun binatang itu.”
“Ah! Iya!”
Ayaka bereaksi berlebihan saat mendengar kata ‘kebun binatang’ dari Haruto.
“Nanti kita bicarakan lagi... soal, tanggal dan lainnya?”
“Iya... benar. Ya, kita bicarakan lagi nanti.”
“Kalau begitu... sampai jumpa, nanti.”
“Iya, sampai jumpa. Sampai nanti, ya.”
Setelah bertukar kata, Haruto dan Ayaka saling memunggungi dan berjalan menuju rumah masing-masing.
Setelah berjalan beberapa saat, Haruto sedikit ragu, lalu mencoba menoleh ke belakang. Ternyata, di saat yang bersamaan, Ayaka juga menoleh ke belakang, dan pandangan mereka bertemu.
“...!?”
Jantung Haruto berdebar, tapi ia membalasnya dengan anggukan kecil. Gadis itu pun tersenyum malu sambil melambaikan tangan kecil padanya. Haruto merasakan wajahnya memanas dan buru-buru berbalik.
“...Itu curang tahu.”
Haruto berjalan sambil berusaha keras menahan senyum yang hampir merekah di wajahnya.
“...Apa aku barusan janjian kencan sama Toujou-san?”
Gumam Haruto seorang diri. Tapi, setelah itu ia menggelengkan kepala untuk menyangkal pikirannya.
“Tapi kan Ryota-kun juga ikut, jadi rasanya beda dengan kencan.”
Haruto menasihati dirinya sendiri, “Kalau aku sampai salah paham, aku bisa kena batunya,” sambil mengingat-ingat lagi percakapannya dengan Ayaka barusan.
Ayaka yang matanya berbinar melihat anak anjing. Ayaka yang berkata ingin pergi ke kebun binatang dengan antusias. Ayaka yang malu-malu saat mereka bertatap-tatapan.
Semua itu terlihat sangat memesona di mata Haruto.
“Kalau manis itu ada batasnya, dong....”
Sebelum bertemu sebagai asisten rumah tangga, Haruto mengira Toujou Ayaka adalah seorang gadis yang selalu dikelilingi oleh gadis-gadis lain dan sama sekali tidak tertarik pada laki-laki.
Gadis yang dikiranya seperti itu, kini tersenyum dan tersipu malu padanya. Dan, meskipun bersama adiknya, mereka sudah janjian akan pergi ke kebun binatang.
“Apa aku bisa tetap profesional, ya, pas kerja nanti....”
Bagi Haruto, Toujou Ayaka tadinya hanyalah seorang ‘Idol Sekolah’. Tapi, setelah berinteraksi langsung, ia jadi tahu kalau gadis itu ternyata adalah gadis biasa, dan memiliki sisi yang sangat manis.
Kata-kata temannya, Tomoya, yang diucapkan tadi pagi terngiang kembali di kepalanya.
‘Terus, Haru bakal diem aja, gitu, meskipun Toujou-san naksir kamu?’
Haruto datang ke rumah keluarga Toujou murni untuk bekerja. Ia tidak boleh membawa perasaan pribadi ke sana. Meskipun otaknya berpikir begitu, tapi senyuman Ayaka terus mengganggu pikirannya.
“Bakal kepikiran sih ini.”
Haruto sadar hatinya mulai goyah karena perbedaan antara Toujou Ayaka sebagai ‘Idol Sekolah’ di sekolah dan Toujou Ayaka sebagai gadis ‘biasa’ yang ditemuinya saat bekerja. Tapi, ia berusaha untuk tidak memikirkannya terlalu dalam.
“Untuk hari ini, aku harus fokus bersihin ikan aja.”
Haruto berjalan pulang sambil memikirkan bagaimana cara mengolah ikan hasil tangkapan Shuuichi, ayahnya Ayaka.
※
Setelah ganti pakaian di rumah, Haruto mengunjungi kediaman Toujou, yang kini terasa sedikit lebih akrab baginya.
Di depan pintu masuk rumah mewah yang mengesankan seperti biasa, Haruto menekan tombol interkom. Jawaban langsung terdengar.
‘Ya, ya... Ootsuki-kun?’
“Iya, ini Ootsuki. Saya datang sebagai asisten rumah tangga.”
‘Ditunggu, loh... Ryota! Onii-chan sudah datang! Tolong bukakan pintunya! Ah, Ootsuki-kun, Ryota sedang membukakan kunci, tunggu sebentar, ya.’
“Baik, terima kasih.”
Hampir bersamaan dengan ucapan terima kasih Haruto, pintu depan terbuka dengan kencang.
“Onii-chan!!”
“Yo, Ryota-kun. Halo.”
“Halo! Onii-chan, buruan! Ikannya keren banget!”
Ucap Ryota dengan bersemangat, tensinya sedang naik drastis. Ia meraih tangan Haruto dan menariknya kuat-kuat ke ruang tamu.
“Selamat datang, Ootsuki-kun.”
Begitu masuk ke ruang keluarga, Ibu Toujou, Ikue, bangkit dari sofa dan menyapa Haruto dengan senyum cerah.
“Permisi.”
“Wah! Ootsuki-kun! Senang rasanya kamu datang!”
Selanjutnya, Ayah Toujou, Shuuichi, menyambut Haruto. Di dekat kakinya, tergeletak sebuah peti pendingin berukuran sangat besar. Haruto mengalihkan pandangannya ke peti pendingin itu.
“Saya sudah dengar dari Toujou-sa... Ayaka-san. Katanya Shuuichi-san berhasil menangkap ikan ekor kuning, kakap merah , dan tenggiri, ya.”
Mendengar itu, Shuuichi langsung memasang ekspresi ‘Senang sekali kamu bertanya!’ dan mulai berbicara dengan berapi-api.
“Tepat sekali! Ada rekan bisnis yang hobi mancing di kapal, dan aku sering ikut dengannya. Wah, hari ini benar-benar jackpot! Waktu ikan ekor kuning ini menyambar, awalnya kukira umpanku nyangkut! Aku gulung reel sekuat tenaga tapi tidak bergerak sama sekali! Setelah susah payah tinggal dua puluh meter lagi, dia mengamuk lagi, drag reel-nya berbunyi kencang. Wah, itu benar-benar pertarungan maut! Untuk mengangkat ikan ekor kuning ini butuh lima belas menit, tidak, mungkin tiga puluh menit—“
“Sayang, kalau ceritanya terlalu panjang, nanti ikannya keburu nggak segar lagi, loh.”
Shuuichi, yang sedang bersemangat menceritakan situasi saat memancing ikan ekor kuning pada Haruto dengan mata berbinar, tiba-tiba disela oleh Ikue.
“Hmm, benar juga. Ikan-ikan ini sedang dalam kondisi terbaiknya. Harus segera diserahkan pada Ootsuki-kun untuk diolah.”
“Baik, serahkan pada saya.”
Haruto mengangguk sambil tersenyum lembut pada Shuuichi, yang tampak masih ingin bercerita.
“Tapi, ikannya besar-besar, ya. Kakap merah ini ukurannya pas banget untuk dimakan, ‘kan?”
Ucap Haruto sambil mengintip ke dalam peti pendingin di kaki Shuuichi. Shuuichi langsung menyambarnya.
“Soal kakap merah itu juga! Awalnya reel terasa ringan dan senarnya seperti mengendur! Aku langsung berpikir, ‘loh?’ dan langsung menyentaknya! Ternyata kailnya terkait sempurna, dia mengamuk hebat tapi untungnya tidak lepas—“
“Sayang...”
“Ah, ya... Hmm. Ootsuki-kun, bisa tolong diurus ikannya?”
Disela lagi oleh Ikue, Shuuichi tampak agak lesu.
“Baiklah, kita bawa peti pendingin ini ke dapur dulu.”
Haruto, yang merasa sedikit kasihan pada Shuuichi yang gatal ingin menceritakan keseruan memancingnya, memutuskan untuk memprioritaskan kesegaran ikan. Ia mencoba mengangkat pegangan peti pendingin, tapi wajahnya meringis karena beratnya di luar dugaan.
“Biar kupegang sisi satunya.”
“Ah, maaf. Terima kasih.”
Ukuran ikan ekor kuning itu sekitar 70 cm, tenggiri sekitar 60 cm, dan kakap merah sekitar 40-50 cm. Ditambah lagi dengan es batu di dalamnya, peti pendingin itu memang tidak mustahil diangkat sendiri, tapi jelas bukan barang yang bisa diangkat dengan enteng.
Haruto dan Shuuichi mengangkat peti pendingin itu ke dapur.
“Terima kasih. Sangat membantu. Kalau begitu, saya akan segera mengolahnya. Apa ada permintaan khusus untuk masakannya?”
Saat Haruto bertanya, pintu ruang tamu terbuka dan Ayaka masuk.
“Ah, Ootsuki-kun. Sudah datang, ya. Itu... selamat datang.”
“Ah, ya. Umm... permisi.”
Kejadian di home center tadi masih membekas di benak mereka, membuat sapaan mereka terdengar canggung. Ikue, yang jeli, menyadari perubahan sikap keduanya dan menatap putrinya dengan geli.
“A-Apa?”
Merasakan tatapan ibunya, Ayaka bertanya dengan sedikit gugup.
“Ootsuki-kun akan membuatkan masakan penuh cinta untuk kita. Ayaka mau apa?”
“C-Cinta, apa, sih... M-Mana aku tahu.”
Ayaka menjawab ibunya dengan wajah masam. Ikue, sebaliknya, terlihat sangat terhibur dan beralih menatap Haruto.
“Tentu saja tahu... Iya, ‘kan, Ootsuki-kun? Alasan masakan Ootsuki-kun itu sangat enak, selain karena jago masak, juga karena dimasak dengan penuh cinta, ‘kan?”
“Eh, ah, ya. Itu... saya membuatnya dengan tulus, sepenuh hati.”
“Tuh, ‘kan! Ootsuki-kun tuh memasak sepenuh hati demi Ayaka, loh.”
“Tidak, anu... maksud saya bukan hanya untuk Ayaka-san, tapi untuk semuanya...”
“Ara! Ootsuki-kun baik banget, deh.”
“Tidak...”
Haruto tersenyum lesu, menyadari bahwa Ikue adalah orang terkuat di keluarga Toujou.
“Hei, hei, Onii-chan. Aku mau makan sashimi.”
Ryota mengajukan permintaan pada Haruto, yang sedang dipermainkan oleh ucapan Ikue yang entah bercanda atau serius. Haruto, yang melihat ini sebagai kesempatan untuk kabur, membungkuk menyejajarkan pandangannya dengan Ryota.
“Baiklah. Kalau begitu, aku akan buatkan sashimi dari tiga jenis ikan ini, ya.”
“Asyik!”
Ryota bersorak gembira. Shuuichi juga mengangguk setuju.
“Ikan segar memang paling enak dijadikan sashimi. Bagaimanapun, kita tuh orang Jepang.”
“Baiklah. Kalau begitu, makan malam hari ini kita buat Otsukuri dari ikan ekor kuning, kakap merah, dan tenggiri. Ikue-san dan Ayaka-san juga setuju?”
“Tentu saja!”
“Aku juga mau makan sashimi.”
Setelah mendapat persetujuan dari seluruh keluarga Toujou, Haruto segera siap-siap memasak. Shuuichi datang ke dapur sambil membawa kantong belanjaan di satu tangan.
“Ngomong-ngomong, Ootsuki-kun. Tadinya kami memang berencana minta dibuatkan sashimi, jadi aku sudah membelikan beberapa alat dan sayuran yang mungkin bisa dipakai.”
“Ah, benarkah? Boleh saya lihat isinya?”
Haruto menerima kantong itu dari Shuuichi dan memeriksanya.
Di dalamnya ada pembersih sisik ikan, pisau kupas yang praktis untuk membuat tsuma, serta sayuran seperti wortel, lobak, mentimun dan daun shiso yang bisa digunakan sebagai hiasan.
[TLN: Tsuma dalam konteks ini merujuk pada irisan lobak yang dijadikan pendamping sashimi]
“Terima kasih, Shuuichi-san. Dengan bahan-bahan ini, Otsukuri-nya akan terlihat lebih cantik.”
Melihat Haruto berterima kasih, Ikue tersenyum, sedikit menjahili Shuuichi.
“Padahal sudah beli macam-macam, tapi lupa beli wasabi.”
“Ahaha, iya... jadi malu.”
Shuuichi menggaruk-garuk belakang kepalanya dengan malu.
Haruto akhirnya mengerti kenapa Ayaka repot-repot pergi ke supermarket hanya untuk membeli wasabi. Ia merasa sedikit lega.
“Baiklah, saya akan segera mengolahnya.”
Haruto pertama-tama memegang ikan ekor kuning di talenan, lalu membersihkan sisiknya sambil menyiramnya dengan air. Setelah sisiknya bersih, ia memotong kepalanya, membuang insangnya, membuka perutnya, mengeluarkan organ dalamnya, lalu mem-filetnya menjadi tiga bagian. Melihat ikan ekor kuning itu di-filet dalam sekejap, Shuuichi berseru kagum.
“Benar-benar cekatan. Seneng banget lihatnya.”
“Terima kasih. Saya juga jarang mengolah ikan sebesar ini, jadi tadi sempat khawatir. Tapi berkat ini, jadi lebih mudah.”
Ucap Haruto sambil sedikit mengangkat pisau deba di tangannya.
Pisau itu milik keluarga Toujou, dan di pangkal pisaunya terukir sebuah nama, terlihat seperti pisau mahal. Ketajamannya luar biasa, membuatnya bisa mem-filet ikan ekor kuning yang besar dan bertulang keras itu tanpa kesulitan.
Haruto mem-filet ketiga ikan itu, lalu membuang tulang tengah dan tulang rusuknya agar mudah dimakan.
“Hebat, ya. Aku juga mau belajar cara mem-filet ikan dari Ootsuki-kun, ah.”
Ujar Ikue dari meja makan sambil mengintip ke dapur.
“Kalau saya yang mengajari tidak apa-apa?”
Jawab Haruto sambil menguliti ikan yang sudah di-filet.
“Oh, boleh? Kalau begitu, kapan-kapan ajari aku, ya. Ayaka mau ikut juga? Nanti berguna, loh, kalau mau menyajikan ikan buat suamimu di masa depan.”
“Eh? Nggak, aku...”
Melihat Ayaka yang ragu-ragu, Ikue tertawa kecil penuh arti.
“Nggak mau? Ah, tapi kalau suamimu orang kayak Ootsuki-kun, nggak masalah, ya?”
“Tu-Tunggu! Mama! Ada Ootsuki-kun di sini. Jangan ngomong gitu!”
Wajah Ayaka langsung memerah mendengar ucapan blak-blakan ibunya. Ikue menanggapinya dengan santai.
“Loh, Mama kan cuma bilang orang kayak Ootsuki-kun.”
“...Mama nyebelin.”
Mendengar kejahilan Ikue, Ayaka memanyunkan bibirnya dan cemberut. Tapi Ikue malah beralih bicara pada Haruto dengan gembira.
“Ootsuki-kun. Maaf, ya, putriku salah paham. Ayaka kadang emang agak kikuk, tapi tolong tetap akrab dengannya, ya.”
“Ahaha, iya, semoga kita bisa akrab.”
Haruto, sambil mengiris-iris ikan, melirik Ayaka yang sedang memancarkan aura ‘aku-lagi-ngambek’ pada ibunya. Ia memutuskan untuk tertawa saja dan cari aman. Protes putrinya sepertinya tidak mempan sama sekali pada ibunya.
Di situ, Shuuichi tiba-tiba angkat bicara dengan wajah serius sambil menopang dagu.
“Begitu, ya. Kalau Ayaka menikah dengan Ootsuki-kun, Ootsuki-kun akan jadi menantuku. Artinya dia bakal jadi putraku... Hmm, boleh juga. Tapi tunggu, aku belum siap melepas putriku yang manis...”
Shuuichi bergumam sendiri, tenggelam dalam pikirannya. Mendengar gumaman ayahnya, protes Ayaka pada ibunya langsung lenyap, dan menoleh kaget pada Shuuichi.
“Tunggu, Papa!? Jangan mengkhayal yang aneh-aneh sendirian!!”
Berbeda dengan godaan atau lelucon Ikue, ucapan Shuuichi terdengar sangat serius. Ayaka tampak panik. Ia buru-buru berusaha menarik ayahnya kembali dari lautan pikirannya. Namun, sosok polos yang merepotkan, malah ikut bergabung.
“Onii-chan, kamu mau menikah sama Onee-chan?”
“Ueh!? E-Eh? Nggak, bukan begitu...”
“Hoi, Ryota!! Ootsuki-kun sedang pegang pisau, jangan ngomong yang aneh-aneh! Bahaya, tahu!!”
Ayaka menarik tangan adiknya, yang tadi berdiri di sebelah Haruto mengamati teknik pisaunya, dan menjauhkannya.
“Tapi, kalau Onii-chan nikah sama Onee-chan, Onii-chan bakal beneran jadi kakakku, ‘kan?”
Ryota menatap Ayaka dengan wajah antusias, mungkin sedang membayangkan Haruto jadi kakak aslinya. Ayaka tak tahan lagi dan membuang muka.
“M-Mana mungkin kita menikah!! Kita kan masih SMA!”
“Wah, berarti nikahnya setelah lulus SMA, ya?”
“Duh! Mama diam aja!!”
Sejak saat itu, perdebatan sengit soal menikah atau tidak berkecamuk di keluarga Toujou. Haruto, yang merasakan bahaya jika ikut campur dalam kerusuhan itu, memutuskan untuk fokus pada ikan di depannya dan pura-pura tidak mendengar.
Akhirnya, setelah selesai memasak, Haruto mengangkat piring besar berisi Otsukuri.
[TLN: Otsukuri merupakan cara penyajian sashimi yang rumit dan artistik]
“Umm, Otsukuri-nya sudah selesai...”
Haruto membawa piring besar itu ke meja makan dengan ragu-ragu. Selagi ia fokus memasak, situasi di keluarga Toujou sudah jadi sangat kacau.
Shuuichi yang termenung serius, Ryota yang dengan polosnya terus mencecar kakaknya soal pernikahan, Ayaka yang menyangkalnya dengan wajah merah merona, dan Ikue yang sesekali ikut campur sambil menikmati situasi.
Haruto memberanikan diri berbicara pada mereka.
“Anu... Saya juga sudah buatkan sup kepala ikan, silakan dinikmati.”
※
Aku kembali ke kamarku dan langsung merebahkan diri di kasur.
“Aah... Capeknya...”
Aku menghela napas panjang sambil melemaskan badan di atas kasur.
“Padahal masakan Ootsuki-kun enak, tapi aku sama sekali nggak sempat menikmatinya...”
Dia sudah membuatkan sashimi yang begitu indah dari ikan hasil tangkapan Papa, tapi Papa, Mama, dan Ryota menggila, membuatku tidak punya waktu untuk menikmati makananku.
Dia bahkan membuatkan tenggiri yang dipanggang sedikit pakai gas burner yang kubeli di home center tadi, tapi aku sama sekali tidak bisa merasakannya.
“Oh iya, janji pergi ke kebun binatang sama Ootsuki-kun... gimana, ya.”
Janji yang kami buat di home center.
Sebenarnya aku berencana membicarakannya hari ini selagi Ootsuki-kun bekerja, tapi situasinya jadi kacau begini. Aku terlalu sibuk menghentikan kegilaan keluargaku, hingga tahu-tahu jam kerjanya sudah habis, dan Ootsuki-kun keburu pulang sebelum aku sempat bicara.
“Tapi, kalau aku membahas soal pergi ke kebun binatang bareng dalam situasi tadi, keluargaku pasti bakal makin menjadi-jadi...”
Mama pasti akan menggodaku habis-habisan sambil nyengir. Tapi, itu masih tidak apa-apa. Yah, sebenarnya apa-apa, sih, tapi masih bisa kutahan.
Ryota juga pasti akan sangat senang, tapi itu juga tidak masalah.
Masalah terbesarnya adalah Papa.
Papa sudah benar-benar menyukai Ootsuki-kun. Mama juga suka, tapi Papa sepertinya sudah serius berpikir ingin menjadikan Ootsuki-kun menantunya.
Tadi saja waktu makan, dia antusias sekali mengajak Ootsuki-kun pergi mancing bareng.
“Aah! Sudahlah! Aku ini masih SMA!!”
Aku membenamkan wajahku ke bantal dan berteriak.
Menikah, lah, menantu, lah, masih terlalu dini untuk memikirkan hal itu!
Memang, sih, orang yang baik dan jago urusan rumah tangga seperti Ootsuki-kun mungkin ideal dijadikan suami...
“Eh, bukan itu maksudku!”
Aku menggeleng-gelengkan kepala untuk menata ulang pikiranku.
Penilaian keluargaku terhadap Ootsuki-kun semakin tinggi, rasanya seolah pertahanan di sekitarku perlahan-lahan dijebol.
Tapi, masalahnya bukan cuma itu.
Justru, yang lebih gawat mungkin adalah ‘sisi ini’.
Sebelum liburan musim panas. Waktu aku dilamar pakai siaran sekolah oleh senpai yang namanya sudah kulupa itu. Saat itu, aku hanya merasa malu. Aku ingin cepat-cepat kabur dari situasi itu. Aku tidak bisa membayangkan pernikahan, dan aku bahkan berpikir senpai itu tidak waras karena mengajak tunangan padahal masih SMA.
Tapi... kalau Ootsuki-kun...
Waktu Papa bilang Ootsuki-kun jadi menantu, dan Ryota bertanya ‘kalian mau menikah?’, aku jadi sedikit membayangkannya. Aku bisa membayangkannya.
Hidup seatap bareng Ootsuki-kun.
Iya, yang paling gawat bukanlah kegilaan keluargaku, tapi perasaanku sendiri.
Mama yang menggodaku soal Ootsuki-kun, Ryota yang ingin Ootsuki-kun jadi kakak aslinya, Papa yang sangat menyukai Ootsuki-kun... semuanya... aku tidak merasa enggan.
Di suatu tempat di hatiku, aku merasa senang melihat Ootsuki-kun diterima oleh keluargaku.
“...Aku harus konsultasi sama Saki.”
Aku mengambil ponselku dan membuka riwayat obrolan dengan sahabatku.
Sekarang baru lewat jam sepuluh malam sedikit, Saki pasti belum tidur.
Aku menekan tombol panggil dan menatap nama Aizawa Saki di layar. Panggilan itu langsung tersambung dalam beberapa detik.
‘Nyan?’
“Saki, anu... aku mau konsultasi sedikit...”
‘Oh? Apa nih, apa nih? Masalah percintaan?’
Jantungku terasa sedikit berdebar mendengar pertanyaan Saki yang bernada bercanda.
“..................Mungkin.”
‘...Hah? Eh? Bohong!? Eh!? Serius!?’
Bersamaan dengan suara Saki yang sangat panik, terdengar suara GRATAK! DUSH! Yang keras dari seberang ponsel.
“Eh? Saki? Kamu nggak apa-apa?”
‘Mana mungkin nggak apa-apa!! Maksudnya apa! Ayaka konsultasi soal cinta!?’
“Tenang, ya. Tenang dulu.”
‘Nggak bisa tenangg!! Sama sekali nggak bisa!! Jangan-jangan, itu? Soal Kaidou-senpai? Sebenarnya kamu kepikiran terus setelah kejadian itu?’
Padahal sudah malam, suara Saki terdengar melengking karena terlalu bersemangat. Lagian, Kaidou-senpai? Siapa itu? Hmm... Ah, mungkin senpai siaran sekolah sebelum liburan itu?
“Bukan, sama sekali bukan.”
‘Oh, ya? Terus siapa? Siapa orang yang berhasil menembak jatuh hati Ayaka!?’
“Bukan, bukannya sudah tertembak juga, sih...”
Benar, aku seharusnya belum jatuh cinta... mungkin.
“Itu, loh... Waktu itu Saki pernah bilang, kan?”
‘Hm? Aku? Bilang apa?’
“Itu, loh. Yang... katanya cocok sama aku atau apalah.”
Aku terlalu malu untuk menyebut namanya, dan hanya bisa memerah sendirian.
‘Hmm? Cocok... Ah, soal Ootsuki-kun?’
Mendengar namanya dari ponsel, jantungku melonjak.
“..................Iya.”
‘Wah! Serius!? ...Eh? Tunggu dulu? ...Tapi kan sekarang liburan musim panas? Kenapa kamu bisa jadi gitu sama Ootsuki-kun?’
“Itu, yah... ada banyak kejadian.”
‘Eh? Penasaran! Aku penasaran banget sama ‘banyak kejadian’ itu!!’
Melihat Saki yang sangat antusias, aku pun menjelaskan pertemuanku dengan Ootsuki-kun. Tiba-tiba, suara Saki yang bersemangat menggema di kamarku, begitu keras sampai speaker ponselku terasa mau pecah.
‘Apa-apaan itu, hebat banget!! Ini sih manga romance di dunia nyata! Yakin itu cuma kebetulan!? Nggak mungkin! Itu takdir!! Lagian spek Ootsuki-kun ketinggian! Gila banget!’
“Masakan Ootsuki-kun beneran enak, loh.”
‘Oi, oi, apa ini? Apa sudah masuk sesi pamer pacar?’
“Bu-Bukan! Aku mau konsultasi sama Saki!”
‘Konsultasi? Soal gimana cara nembaknya?’
Satu kalimat dari sahabatku itu membuat wajahku merah sampai ke telinga. Badanku terasa panas, dan ini jelas bukan karena aku habis mandi.
“Bukan, sebelum nembak atau apa, aku... nggak tahu perasaanku sendiri... Apa aku... suka... sama Ootsuki-kun atau nggak... aku nggak ngerti lagi... Makanya aku mau konsultasi sama Saki.”
‘........................’
Setelah aku berkata begitu, Saki terdiam. Tidak ada respons sama sekali.
Eh? Jangan-jangan dia tidur?
Keheningan itu berlangsung cukup lama sampai aku benar-benar berpikir dia tertidur. Akhirnya, Saki angkat bicara. Syukurlah dia tidak tidur.
‘Yah, wajar, sih. Ayaka kan selama ini selalu menghindari cowok. Mau pacaran tapi nggak bisa. Wajar kalau kamu nggak mengerti perasaan kayak gitu.’
Saki berkata seolah dia sangat paham.
Kenapa aku merasa kayak lagi dikasihani, ya?
Aku bertanya dengan tidak sabar.
“Maksudnya apa? Perasaan kayak gitu itu apa?”
‘Itu, sih... Sayang kalau dibicarain di telepon. Besok bisa ketemuan?’
“Eh? Sayang? Besok sih bisa... Eh? Nggak mau kasih tahu sekarang nih?”
Rasanya aku sedang digantung oleh Saki.
‘Besok akan kudengarkan konsultasimu sepuasnya. Kalau begitu, besok jam sebelas di kafe biasa, oke?’
“I-Iya, boleh, sih... Tapi, nggak bisa kasih tahu sekarang? Apa yang nggak aku mengerti?”
‘Dah, ya, sampai besok.’
“Eh, tunggu, Saki? ...Malah dimatiin.”
Aku menatap layar ponselku yang kembali ke menu obrolan, bingung antara mau meneleponnya lagi atau tidak. Tapi, aku tahu Saki. Dia pasti akan mengelak lagi.
Mengingat karakter sahabatku yang sudah lama kukenal, aku menyerah dan meletakkan ponselku di samping bantal.
“Aku... nggak mengerti apa, ya?”
Sambil menatap langit-langit kamarku, aku terus memikirkan perkataan sahabatku barusan.
※
Sinar matahari pagi yang menembus tirai membuatku tanpa sadar mengerutkan kening dan memalingkan wajah.
“Uuuh... Ngantuk...”
Aku mengecek jam di ponsel yang ada di samping bantalku.
“Jam tujuh... Harus bangun...”
Tadi malam, setelah teleponan dengan Saki, aku kepikiran banyak hal sampai sulit tidur. Aku baru bisa terlelap saat fajar menyingsing, jadi praktis hampir tidak tidur sama sekali. Tapi hari ini aku ada janji dengan Saki, jadi aku harus segera bangun dan bersiap-siap.
Dengan tubuh berat, aku memaksa diri bangkit dari tempat tidur. Sebuah helaan napas disusul dengan menguap lebar, seolah tubuhku memprotes keras. Tempat tidur ini rasanya seperti magnet yang menarik tubuhku dengan kekuatan dahsyat. Aku berusaha melepaskan diri dari tarikannya, keluar kamar, dan menuju wastafel.
Setelah membasuh muka dengan air dingin, kantukku sedikit berkurang.
Aku mengeringkan wajah dengan handuk yang tergantung di sebelah wastafel dan menatap wajahku di cermin.
“Mataku bengkak karena kurang tidur... Aku nggak mau Ootsuki-kun melihat wajahku yang seperti ini...”
Aku bergumam linglung dengan kepala yang belum sepenuhnya sadar karena kurang tidur. Sesaat kemudian, aku baru menyadari apa yang kukatakan dan wajahku langsung memerah.
Aku membuang muka dari cermin yang memantulkan wajah merahku dan berjalan ke ruang tamu di lantai satu.
“Loh? Selamat pagi, Ayaka. Tumben pagi sekali.”
“Selamat pagi, Ma.”
Mama sudah bangun, dan tengah menyiapkan sarapan di dapur.
“Hari ini aku ada janji ketemu Saki, jadi aku harus berangkat jam sepuluh.”
“Oh, sama Saki-chan? Ngomong-ngomong, Mama sudah lama tidak bertemu Saki-chan.”
“Rumahnya jadi jauh, sih.”
Sebelum Saki pindah, dia sering main ke rumah ini, jadi tentu saja Mama juga kenal.
“Sampaikan salam Mama untuk Saki-chan, ya.”
“Iya, oke.”
Aku mengiyakan ucapan Mama sambil duduk di meja makan.
“Mama sudah mau berangkat kerja?”
Mama sudah rapi mengenakan setelan jas, siap bekerja. Ngomong-ngomong, Papa sepertinya sudah berangkat.
“Iya, nih. Hari ini ada pekerjaan dari pagi-pagi. Sebelum ketemu Saki-chan, bisa tolong antar Ryota?”
“Iya, boleh.”
TK Ryota sebenarnya sedang libur musim panas, tapi kalau kedua orang tuaku bekerja dari pagi seperti ini, kami biasanya menitipkannya di penitipan anak (jika sedang buka).
“Sudah mau sarapan?”
“Hmm, boleh, deh.”
“Oke. Mama siapkan sebentar, ya.”
Sepuluh menit kemudian, sarapan tersaji di meja.
Aku sedikit terkejut melihat sarapan yang tersaji.
“Eh? Kok pagi ini mewah banget? Kayak sarapan di Ryotei.”
[TLN: Ryotei adalah restoran tradisional Jepang kelas atas yang menawarkan masakan klasik, sering kali disajikan di ruang makan tatami dengan pemandangan taman yang asri]
“Nah, ‘kan? Ini Ootsuki-kun yang siapin kemarin. Dia buatkan lauk siap saji. Mama kan harus berangkat kerja pagi-pagi, jadi ini sangat membantu.”
Ucap Mama dengan gembira padaku yang masih terkejut.
Eh? Kapan Ootsuki-kun menyiapkan semua ini? Aku sama sekali tidak sadar.
Saat aku masih bengong menatap sarapan, Mama menjelaskan satu per satu menunya.
“Ini nasi liwet kakap merah. Yang ini tenggiri panggang bumbu miso, dan ini ikan ekor kuning rebus kecap. Terus, ini salad tahu bayam dan wortel, lalu sup bening kakap merah.”
“Hebat...”
Sarapan macam apa ini? Hah? Apa ini penginapan? Kantukku langsung hilang.
Masih tidak bisa menyembunyikan keterkejutanku, aku mengucapkan “Selamat makan” dan mulai menyantap sarapanku.
“...Enak.”
Nasi liwet kakap merahnya kaya akan bumbu, aroma kecap asin dan jahe menguar di hidung, sementara rasa manis dari daging kakap merah menyebar lembut di lidah. Tenggiri panggang bumbu misonya juga bertekstur lembut, perpaduan rasa manis-asin dan umami dari lemak tenggiri sangat pas, membuatku tanpa sadar tersenyum. Gawat, sumpitku tak mau berhenti menyuap nasi ke mulut.
“Fufu, Ayaka, wajahmu kelihatan seneng banget.”
“Habisnya, enak banget.”
“Iya, ya. Kita harus berterima kasih pada Ootsuki-kun.”
Mendengar kata-kata Mama, aku refleks menjadi waspada. Tapi, Mama tidak menggodaku seperti kemarin. Dia menatapku dengan tatapan yang sangat lembut.
Kenapa, ya. Rasanya jadi agak... geli.
“Ayaka.”
“...Apa?”
“Masa muda tuh, hanya terjadi sekejap dalam hidup dan cepat berlalu. Tapi, itu adalah masa paling menyenangkan, paling menyakitkan, penuh keraguan dan kebahagiaan, masa yang saaangat berharga. Jadi, nikmatilah ‘saat ini’ sebaik mungkin. Apa yang kamu rasakan sekarang, kelak akan jadi harta berharga bagimu.”
“................Iya.”
Mama curang.
Biasanya dia suka menggodaku sambil senyum-senyum, tapi sesekali dia bersikap seperti ‘Ibu’. Kalau sudah begitu, aku sebagai ‘Anak’ jadi ikut senang, ‘kan.
“Sup beningnya enak, ya.”
“Iya, enak banget.”
Aku menikmati masakan Ootsuki-kun yang terasa lembut itu bersama Mama.
※
Setelah mengantar Ryota ke penitipan anak, aku pergi ke kafe tempat janjian dengan Saki.
Kafe dengan suasana tenang yang tersembunyi di kawasan perumahan yang jauh dari jalan raya. Saat aku membuka pintu, terdengar bunyi lonceng cring-cring yang merdu.
“Selamat datang.”
Bartender yang sedang mengelap gelas di konter, membawakanku air dingin ke meja tempatku duduk.
“Sudah mau pesan?”
“Iya, pesan es café au lait.”
“Baik.”
Bartender membungkuk sopan dan kembali ke konter.
Interior kafenya tenang dan bartendernya ramah dan sopan. Mungkin karena letaknya jauh dari jalan raya, jumlah pelanggannya sedikit, selain aku hanya ada dua orang lagi.
Hmm, Saki belum datang.
Di tengah keheningan yang nyaman, terdengar sayup-sayup alunan musik jazz sebagai BGM.
Sebenarnya aku ingin menunggu kedatangan Saki dengan perasaan santai karena ini adalah kafe favoritku, tapi hari ini rasanya tidak bisa.
Aku berkali-kali melirik jam dinding di dalam kafe, menunggu sahabatku datang dengan gelisah. Kepalaku penuh dengan apa yang dikatakan Saki tadi malam. Aku harus cepat-cepat mendengarnya dari Saki.
...Iih! Kenapa jamnya nggak gerak sama sekali!
Tadi kulihat jam 10:40, masa sekarang masih jam 10:41? Apa jam itu rusak?
Aku mengecek jam di ponselku.
10:41... Ah, 42. Uuh, kenapa satu menit terasa selama ini? Aku ingin Saki cepat datang.
Setelah melewati beberapa menit yang terasa paling lama seumur hidupku, akhirnya, sahabatku muncul di pintu masuk kafe.
“Ah, halo... Ayaka. Nunggu lama?”
“Lama banget. Lebih dari sepuluh menit, tahu.”
“Oke, oke, berarti masih dalam batas wajar...”
Saki menanggapi keluhanku dengan santai dan duduk di seberangku. Jam menunjukkan pukul 10:50. Dia datang sepuluh menit sebelum waktu janjian, jadi aku tidak bisa protes lebih jauh.
Aku sudah tidak sabar dan langsung bertanya pada Saki.
“Hei, Saki. Soal obrolan semalam, aku—“
“Sabar, sabar! Tenanglah, wahai domba kecil yang tersesat. Biarkan aku pesan dulu.”
“Ah, iya. Maaf.”
“Hmm, Ayaka pesan apa?”
“Es café au lait.”
“Kalau gitu, aku samaan aja...”
Saki memesan es café au lait pada bartender yang kebetulan datang, lalu meminum seteguk air dingin yang disajikan.
Uuuh...! Aku mau cepat-cepat dengar ceritanya! Apa Saki sengaja bikin aku penasaran?
Saki, yang baru saja minum air dingin dan bilang “Fuhh... Segar...”, menatapku, lalu tertawa kecil sambil menutup mulutnya.
“Hei, Ayaka. Mukamu kenapa, tuh?”
“Habisnya... Saki bikin aku penasaran.”
Wajar, ‘kan, kalau pipiku jadi menggembung dan bibirku manyun.
“Manisnya... Oke! Kalau begitu, Saki yang hebat ini akan mendengarkan konsultasimu!”
“Apa maksud ‘perasaan kayak gitu’ yang Saki bilang kemarin? Apa yang nggak aku mengerti?”
Aku langsung menanyakan pertanyaan yang sejak tadi malam berkecamuk di kepalaku. Saki malah tertawa geli.
Padahal aku sedang serius banget... Iih...
“Ahahaha! Langsung, ya. Jangan-jangan Ayaka semalam nggak bisa tidur?”
“Iya lah! Kalau teleponnya ditutup kayak gitu, wajar kan kalau aku penasaran!”
“Maaf, deh. Tapi kan hal penting lebih enak dibicarakan langsung?”
“Itu... yah, ada benarnya, sih...”
Aku mengangguk enggan pada Saki.
“Oke, jadi, langsung ke intinya.”
Ekspresi Saki berubah jadi sedikit lebih serius.
Du-Duh, gimana, nih. Padahal aku sudah nggak sabar pengin dengar, tapi begitu saatnya tiba, rasanya aku malah pengin tutup telinga, atau kabur...
“Pertama-tama, konfirmasi dulu. Jadi Ootsuki-kun datang ke rumah Ayaka sebagai asisten rumah tangga, ya?”
“Iya.”
“Terus, Ryota, Mama Ikue, dan Papa Shuuichi jadi suka sama Ootsuki-kun.”
“Iya.”
“Dan akhirnya, Ayaka jadi kepikiran sama Ootsuki-kun.”
“U... Iya...”
Kalau diucapkan langsung begini, rasanya malu banget. Kayaknya wajahku merah lagi, deh.
“Dan, Ayaka, yang kepikiran sama Ootsuki-kun, pengin tahu apakah itu perasaan cinta, atau sesuatu yang lain. Begitu, ‘kan?”
“Cinta... yah, begi...tulah.”
Cinta... iya, benar. Kalau aku suka sama Ootsuki-kun, itu artinya... aku sedang jatuh cinta.
Gawat, jantungku berdebar makin kencang dan dadaku sedikit sesak...
Sambil mengamati reaksiku, Saki bertanya dengan nada pelan.
“Ayaka sendiri, gimana perasaannya?”
“Justru karena aku nggak tahu, makanya aku konsultasi sama Saki...”
“Oh gitu, iya juga, ya. Hmm, kalau begitu...”
Saki sedikit menengadah ke atas seolah sedang berpikir, lalu menatapku dengan ekspresi sedikit jahil.
“Gini, deh... Kenalin aku sama Ootsuki-kun, dong.”
Begitu mendengar kata-kata Saki, hatiku langsung goyah.
“Eh!? ...K-Kenapa?”
Eh? Bohong? Kenapa? Kok bisa? Apa Saki juga... suka sama Ootsuki-kun?
“B-Bercanda doang, ‘kan? Iya, ‘kan? Saki?”
“Nggak, serius, ini serius. Kapan-kapan pas Ootsuki-kun datang ke rumah Ayaka, aku boleh main ke sana, ‘kan?”
“...Enggak.”
Kata-kata itu keluar begitu saja, bahkan sebelum aku sempat berpikir.
Membayangkan Saki mengobrol akrab dengan Ootsuki-kun, entah kenapa rasa sakit yang belum pernah kurasakan mendesak di dadaku.
Perasaan ini... aku belum pernah merasakannya...
Tapi, Ootsuki-kun yang sedang bekerja sebagai asisten rumah tangga adalah Ootsuki-kun yang hanya diketahui olehku. Aku nggak mau orang lain tahu, bahkan sahabatku sendiri, Saki... Aku benar-benar nggak mau.
“Nggak boleh?”
Saki bertanya lagi tanpa ampun.
“Iya... Nggak boleh... Nggak boleh.”
Saki kan manis.
Beda denganku, dia bisa bergaul dengan baik dengan anak laki-laki, pintar bicara, dan lucu. Kalau Ootsuki-kun akrab dengan Saki, dia pasti akan tertarik padanya.
Kalau begitu... kalau begitu, Ootsuki-kun akan...
“Direbut.”
“Eh!?”
Aku terbelalak mendengar satu kata yang diucapkan Saki.
“Sekarang, Ayaka berpikir begitu, ‘kan? Ootsuki-kun bakal direbut sama aku.”
“Bukan... bukan begitu... Yah, iya... mungkin... kepikiran.”
Saki tersenyum puas mendengar jawabanku.
“Rasanya nggak enak banget, ‘kan?”
“Uuh... iya...”
“Kenapa coba?”
Saki bertanya padaku, layaknya seorang guru yang memberikan soal pada muridnya.
Kenapa? Kenapa aku merasa tidak enak? Itu karena... aku tidak mau Saki dan Ootsuki-kun akrab? Aku tidak mau orang lain tahu sisi Ootsuki-kun yang hanya diketahui olehku? Itu artinya, aku ingin... memonopoli Ootsuki-kun? Kenapa? Kenapa aku ingin memonopoli Ootsuki-kun?
Itu... alasannya adalah... artinya, aku memang... sama Ootsuki-kun...
“Karena.... suka.”
Aku mengatakannya... Akhirnya aku mengucapkannya.
Perasaanku pada Ootsuki-kun.
Mendengar jawabanku, Saki tersenyum lembut padaku.
“Tepat sekali. Kamu dapat nilai seratus.”
“...Aku... suka sama Ootsuki-kun? Inikah yang namanya perasaan suka?”
“Yah, begitulah.”
Aku meletakkan tangan di dadaku. Jantungku berdebar sedikit lebih cepat dari biasanya. Aku menunduk.
“Kok kayaknya kamu belum yakin? Apa yang bikin Ayaka nggak puas?”
“Aku... suka Ootsuki-kun di bagian mananya? Suka sejak kapan? Aku... nggak tahu.”
Aku baru mulai berinteraksi dengan Ootsuki-kun beberapa hari yang lalu, sejak liburan musim panas dimulai. Dia datang sebagai asisten rumah tangga juga baru empat kali. Dalam waktu sesingkat itu, kenapa aku bisa jadi suka sama Ootsuki-kun?
“Aku nggak tahu momen pas aku jatuh cinta. Cinta yang normal tuh, harusnya tahu ‘kan, momennya?”
Aku memang mulai menyadari perasaanku pada Ootsuki-kun sejak aku dipeluk waktu hampir jatuh dari sepeda roda satu. Tapi kalau diingat-ingat lagi, rasanya aku sudah tertarik padanya jauh sebelum itu...
“...Ayaka, ‘normal’ yang kamu maksud itu kayak gimana?”
“Eh? Tentu saja kayak di manga dan novel romance.”
Begitu aku bilang begitu, Saki langsung menepuk jidat sambil menengadah.
“Dengar, ya, Ayaka. Standarmu itu nggak normal. Jauh dari kata normal.”
“Eeh? Nggak mungkin! Habisnya, di manga romance mana pun, momen si protagonis yang jatuh cinta itu jelas banget, ‘kan? Bahkan ada manga yang menggambarkannya sampai satu halaman penuh!”
“Berhenti menjadikan manga sebagai standar cinta di dunia nyata! Malu-maluin, tahu!!”
Saki menghentikanku dengan ekspresi malu, lalu memandangku dengan tatapan kasihan.
“Gini, ya. Manga tuh kan ada pembacanya? Karena harus menghibur pembaca, makanya sengaja dibuat jelas. Paham?”
“Tapi, tapi! Bukan cuma manga, novel romance juga—“
“Itu juga fiksi!! Semuanya ilusi! Gampangnya, itu cuma khayalan pengarang! Nggak bakal kejadian di dunia nyata!”
“Eeeh!? Ya-Yah, masa...”
Standar percintaanku hancur berkeping-keping oleh kata-kata Saki.
Jadi, ‘cinta’ yang selama ini kuimpikan itu... semuanya cuma ilusi?
Melihatku syok berat, Saki menghela napas panjang.
“Manga dan novel juga mungkin ada yang berdasarkan pengalaman nyata, jadi aku nggak menyangkal semuanya. Tapi, menurutku cinta di dunia nyata itu beda banget.”
“...Begitu, ya? Jadi, di dunia nyata, kita nggak tahu kapan kita jatuh cinta?”
“Yah, mungkin ada saatnya kita tahu. Tapi, kebanyakan polanya itu ‘tahu-tahu sudah suka aja’.”
“Tahu-tahu sudah suka...”
Itu persis seperti aku sekarang.
“T-Tapi, cinta di dunia nyata juga, kalau bertatapan sama orang yang kita suka, pasti deg-degan, ‘kan?”
“Yah, itu sih, iya.”
“Kalau begitu, bisa aja aku masih belum jatuh cinta.”
Sejak insiden sepeda roda satu, aku sengaja mencoba menatap mata dengan Ootsuki-kun sebagai cara untuk memastikan perasaanku.
Waktu bertatap mata di supermarket... aku memang... lumayan... deg-degan. Tapi, waktu itu mungkin aku cuma kaget karena tiba-tiba bertatapan mata... Dan setelah itu, waktu kami berdampingan di dapur, rasanya jantungku tidak berdebar sekencang itu... kayaknya.
Saat aku menceritakan hal itu pada Saki, dia lagi-lagi menghela napas panjang.
“Sudah kubilang, ‘kan? Karya fiksi tuh nggak bisa jadi patokan. Lagian, Ayaka bilang kamu nggak terlalu deg-degan waktu bertatap mata sama Ootsuki-kun, tapi...”
Saki menjeda kalimatnya, lalu memberiku fakta yang mengejutkan.
“Kamu, sebelum bertatapan sama Ootsuki-kun, memang sudah deg-degan, ‘kan.”
“...!?”
Aku terbelalak kaget.
I-Iya, juga... Kalau dipikir-pikir, mungkin benar...
Aku hanya bisa ternganga bengong. Saki tersenyum kecut.
“Kamu dari awal sudah deg-degan parah sama Ootsuki-kun, terus ditambah deg-degan lagi karena bertatapan mata, bisa-bisa jantungmu nggak kuat. Serangan jantung cinta, langsung lewat.”
“Lewat gara-gara serangan jantung cinta...”
Jangan-jangan, waktu itu aku sebenarnya sedang dalam bahaya...
“J-Jadi... waktu itu, aku... sebenarnya sudah suka sama Ootsuki-kun?”
Aku bertanya pada Saki yang duduk di seberangku dengan sedikit gemetar, tidak bisa menyembunyikan kegugupanku.
“Kayaknya, sih, begitu.”
Sahabatku menjawab seolah itu hal yang wajar. Aku meminum air dingin sedikit untuk menenangkan diri.
“Tapi... aku kan hampir nggak tahu apa-apa soal Ootsuki-kun. Kok bisa jadi suka?”
Selama ini kami sama sekali tidak pernah berinteraksi di sekolah. Kenapa tiba-tiba aku jadi naksir begitu dia datang ke rumahku sebagai asisten rumah tangga? Emangnya itu mungkin?
“Justru karena nggak tahu, makanya kamu jadi suka, ‘kan?”
“Eh? Maksudnya?”
“Karena nggak tahu, makanya kamu jadi pengin tahu lebih banyak. Terus, kamu tahu sisi barunya, dan kamu jadi makin suka. Terus, kamu jadi makin, makin ingin tahu. Cinta kan memang begitu?”
Tahu sisi baru, jadi makin suka...
Mendengar kata-kata Saki, aku teringat kejadian kemarin.
Benar juga. Waktu aku kebetulan bertemu Ootsuki-kun di supermarket, aku merasa senyum polosnya sangat menarik. Aku jadi sangat tertarik pada sosok Ootsuki-kun di luar pekerjaannya sebagai asisten rumah tangga.
“Cinta tuh... emang gitu, ya...”
“Oh? Sudah mulai sadar, nih?”
“I-Iya...”
“Fufufu... Bagus, bagus... Indahnya masa muda...”
Saki menggodaku sambil menyeringai. Aku tidak tahan lagi dan membuang muka.
“Permisi, ini es café au lait-nya.”
Tepat di saat yang pas, bartender datang membawakan pesanan kami. Aku langsung meminum es café au lait-ku dengan sedotan.
Rasa pahit dan dingin es café au lait rasanya sedikit mendinginkan dan menenangkan tubuhku yang panas.
Dengan kepala yang sedikit lebih dingin, aku mencoba mencerna obrolanku dengan Saki.
Pertama, aku... suka sama Ootsuki-kun. Ini adalah fakta yang tak terbantahkan. Aku harus menghadapi perasaan ini dengan benar.
Tapi, ada sedikit yang mengganjal.
Yaitu pemicu kenapa aku suka sama Ootsuki-kun. Saki bilang jangan jadikan manga atau novel patokan, tapi impianku tidak bisa kuhilangkan begitu saja.
Kalau dibilang pemicunya adalah insiden sepeda roda satu, rasanya agak kurang pas. Setelah bicara dengan Saki, rasanya aku memang sudah suka sama Ootsuki-kun bahkan sebelum itu...
Pemicu jatuh cinta idealku itu adalah saat ditolong diberi payung waktu terjebak hujan, atau diselamatkan dengan gagah berani waktu diganggu preman, atau cowok yang kutaksir ternyata adalah teman masa kecil yang dulu kusukai... tapi aku kan nggak punya teman masa kecil laki-laki, jadi itu nggak mungkin.
Tapi, wajar ‘kan, sebagai perempuan, aku mendambakan situasi seperti itu. Habisnya... aku kan perempuan.
“Saki kan dulu pernah punya pacar.”
“Iya.”
“Pemicunya apa? Gimana ceritanya?”
“Hmm, pemicu, ya... Apa, ya? Kayaknya...”
“Kayaknya?”
Aku menatap Saki lekat-lekat, menunggu jawabannya.
“Nggak tahu, tiba-tiba aja?”
“Ti-Tiba-tiba aja...”
Aku sedikit kecewa karena tidak mendapatkan jawaban yang kuharapkan. Saki tersenyum kecut.
“Dunia nyata itu emang gini. Awalnya cuma merasa ‘kayaknya oke’, terus tahu-tahu jadi merhatiin dia terus, tahu-tahu jadi mikirin dia terus, terus jadi suka, deh. Kayak gitu. Aku juga nggak tahu apa pemicunya.”
“Oh... gitu.”
Tapi benar juga, ya. Dunia nyata itu beda dengan manga atau novel. Nggak semua orang mengalami cinta yang dramatis dan romantis.
Saat aku sedang berusaha meyakinkan diriku sendiri, Saki berkata dengan nada agak jengkel.
“Gini, ya. Ayaka, kamu dari tadi mikirin pemicu kamu suka sama Ootsuki-kun. Padahal, pemicunya kan sudah ada?”
“Eh?”
Sudah ada pemicunya? Apa, ya? Memangnya ada pemicu yang membuatku jatuh cinta pada Ootsuki-kun?
“Eh? ...Ampun, deh. Ayaka tuh kadang-kadang suka lemot, ya. Yah, di situlah lucunya kamu, bikin orang jadi pengin ngelindungin.”
“L-Lemot!? Jahat banget, ih!?”
Aku nggak lemot! Setidaknya aku mau berpikir begitu. Mama atau teman-teman lain memang kadang bilang aku ‘kikuk’, tapi lemot itu... Enggak!
“Lemot, lah. Habisnya, pemicu supermu dengan Ootsuki-kun itu ada, tapi kamu malah lupa.”
“Nggak ada pemicu kayak gitu.”
“Ada, lah. ‘Waktu pesan jasa asisten rumah tangga, yang datang ternyata teman sekelas cowok yang diam-diam punya spek tinggi.’ Pemicu ajaib kayak gitu.”
Aku tercengang.
“Ini, kalau dilihat dari kalimatnya aja, udah kayak judul romcom.”
I-Iya, ada benarnya! Rasanya wajar kalau ada buku dengan judul seperti itu di rak bukuku.
“Akhirnya sadar juga, Ayaka-san? Atau kamu masih butuh pemicu yang lebih dahsyat lagi?”
“T-Tidak... Ini... sudah lebih dari cukup.”
Aah, aku tidak bisa mengelak lagi...
Aku, benar-benar, jatuh cinta pada Ootsuki-kun.
“Aku... jatuh cinta, ya.”
“Akhirnya ngaku juga.”
“Habisnya... udah nggak ada alasan lagi buat mengelak.”
Mungkin, aku memang sudah tertarik pada Ootsuki-kun sejak awal. Mungkin ini cinta pada pandangan pertama.
Aku, yang selama ini selalu menolak cowok yang bilang cinta pada pandangan pertama.
Aku, yang selama ini berpikir tidak mengerti apa itu cinta pada pandangan pertama.
“Hei, Saki. Habis ini, aku harus gimana?”
Ini adalah cinta pertamaku.
Cinta pertama.
Aku tidak tahu harus bagaimana.
“A-Aku... harus nembak... ya?”
Membayangkannya saja sudah membuatku tegang, jantungku rasanya mau copot. Rasanya aku bisa kena serangan jantung.
Apa cowok-cowok yang menembakku dulu juga setegang ini? Kalau iya, mungkin aku agak keterlaluan karena langsung menolak mereka tanpa pikir panjang.
Saat aku sedang memikirkan soal menembak Ootsuki-kun, Saki menghentikanku.
“Jangan gegabah, Ayaka. Masih belum.”
“Eh? Nggak boleh...?”
Kalau aku sudah sadar perasaanku pada Ootsuki-kun, bukannya aku harus langsung menembaknya? Saki pun menasihatiku.
“Nembak itu tujuan akhir sementara. Kamu harus menempuh tahap-tahapnya dulu untuk sampai ke sana.”
“Tahap? Kayak gimana?”
“Untuk saat ini, ajak dia kencan dulu, biar makin dekat.”
Kencan... sama Ootsuki-kun...
Itu artinya pergi ke taman hiburan berdua, atau belanja di mal, atau pergi ke pantai... Aku... bakal nunjukkin baju renangku ke Ootsuki-kun?
Gawat, membayangkannya saja sudah malu banget! Tapi, aku juga ingin lihat Ootsuki-kun menggunakan pakaian renang...
“Wooi, Ayaka. Senyum-senyum mesumnya kelihatan, tuh...”
“Hau... I-Itu, anu...”
“Apa, apa...? Jangan-jangan ngebayangin yang jorok-jorok, ya?”
“!! Bu-Bukan begitu!!”
Aku menyangkal keras ucapan Saki.
Aku kan cuma membayangkan pergi ke pantai bareng Ootsuki-kun. Nggak ada maksud mesum. Habisnya, kalau ke pantai kan wajar pakai baju renang, dan wajar juga kalau itu kelihatan...
“Hmm? Oh gitu...”
“A-Apa? Beneran, kok. Aku nggak mikir yang aneh-aneh.”
Saki terus menatapku dengan curiga. Aku harus cepat-cepat mengalihkan pembicaraan.
“O-Oh iya. Soal kencan, aku sebenarnya sudah ada janji mau ke kebun binatang sama Ootsuki-kun.”
Mendengar itu, Saki sedikit mengangkat pinggulnya dari kursi, tampak kaget.
“Eh!? Apa!? Kamu sudah berhasil ngajak kencan!?”
“Umm... Tepatnya bukan kencan, sih. Alasannya lebih ke menemani Ryota, atau, yah... semacam itulah...”
“Oh, Ryota ikut, ya...”
Saki meletakkan tangan di dagunya.
“Kalau begitu, rintangannya jadi lebih rendah, tapi ada kemungkinan Ootsuki-kun nggak menganggapnya sebagai kencan. Kalian perginya kapan? Sudah diputuskan?”
“Belum. Katanya nanti dibicarakan lagi jadwalnya.”
“Oh, begitu, begitu... Kalau gitu, obrolan soal jadwal itu bisa dijadikan alasan...”
Saki kembali tenggelam dalam pikirannya.
Saki, beda denganku, sudah punya beberapa pengalaman pacaran. Sepertinya, lebih baik aku diam dan menunggu arahan dari seniorku ini.
Aku menunggu diam selama beberapa puluh detik. Saki, yang sepertinya sudah selesai berpikir, mengeluarkan kertas seperti kupon dari tasnya.
“Sebagai sahabatmu, akan kukasih Ayaka alat rahasia percintaan.”
“Alat rahasia percintaan?”
Yang diberikan Saki adalah dua lembar tiket. Ini? Kupon diskon film?
“Pakai ini untuk mengajak Ootsuki-kun nonton film.”
“Eh? T-Tiba-tiba kencan nonton film?”
“Tiba-tiba katamu? ‘Kan kamu sudah ada janji ke kebun binatang?”
“I-Iya.”
“Nah, sekalian pas bahas jadwal itu, kamu ajak aja, ‘Gimana kalau kita nonton film bareng?’ gitu.”
“E-Eeh...”
Rintangannya tinggi banget, nggak, sih? Apa aku bisa mengajaknya...
Melihatku yang sedikit ragu, Saki memperingatkanku.
“Ayaka. Kamu tuh masih di garis start percintaan. Tidak, mungkin kamu bahkan belum berdiri di sana.”
“Eh? Be-Begitu, ya?”
“Iya. Cinta itu kompetisi. Kompetisi yang sangat, sangat ketat. Saking ketatnya, kadang kamu bakal menyesal kenapa harus ikut kompetisi ini.”
“Kok... ngeri, ya.”
“Iya. Tapi, kalau sudah suka, kamu nggak bisa berbuat apa-apa lagi. Tahu-tahu kamu sudah otomatis mencari-cari orang yang kamu suka. Tahu-tahu harimu jadi bersinar cuma karena ngobrol sebentar di pagi hari. Tahu-tahu kamu mikirin dia terus pas nggak ketemu. Kamu nggak bisa menghentikannya dengan kemauanmu sendiri. Itu terjadi begitu saja.”
Kata-kata Saki terasa berat.
Bagaimana denganku? Aku memang suka sama Ootsuki-kun, tapi apa... belum sampai separah itu? Tapi, apa nanti aku akan jadi seperti itu?
Saki bilang aku bahkan belum berdiri di garis start... Cinta itu menakutkan, ya... Tapi, sedikit, tidak, lumayan... bikin semangat juga.
“Aku akan coba ajak dia nonton.”
Aku menatap kupon diskon yang diberikan Saki.
“Iya, semangat.”
Setelah berkata singkat, Saki menyeringai dan tersenyum padaku.
“Nanti... aku boleh konsultasi lagi, ‘kan?”
“Tentu saja! Sebenarnya, aku juga senang banget bisa ngobrolin soal cinta kayak gini sama Ayaka.”
Mendengar jawaban meyakinkan dari sahabatku, aku pun ikut tersenyum.
“Ayaka kan, yah, karena berbagai alasan jadi menghindari cowok. Tapi, sekarang akhirnya muncul orang yang kamu taksir, orang yang bisa kamu sukai. Aku benar-benar ikut senang dari lubuk hatiku.”
“...Iya. Makasih.”
Saki memang sahabatku sejatiku. Aku benar-benar bersyukur punya teman seperti Saki.
“Aku akan berusaha!”
“Iya, iya, semangat, semangat!! Aku dukung penuh!”
Saki menyambut deklarasi semangatku dengan senyum lebar.
“Jadi, Ayaka suka Ootsuki-kun di bagian mananya?”
“I-Itu, sih—“
Setelah itu, aku lupa waktu, tenggelam dalam obrolan cinta pertamaku dengan sahabatku.
※
Dalam perjalanan pulang dari kafe.
Sambil berjalan di jalan menuju rumah, aku tanpa sadar menengadah ke langit.
Langit musim panas yang biru terbentang luas tanpa awan sedikit pun. Aku mencoba menyamakan perasaanku dengan langit itu.
Aku... jatuh cinta!
Setelah menyadarinya, rasanya duniaku jadi berubah.
Semua yang kulihat jadi tampak bersinar, dan hidupku yang sebelumnya terasa abu-abu, kini dipenuhi warna-warni yang cerah. Debaran di dada ini, luapan perasaan ini, rasanya seperti langit musim panas di atasku, membentang tanpa batas.
Aku menatap dua lembar kupon diskon di tanganku.
Alat rahasia percintaan dari Saki. Pertama-tama, aku akan pakai ini untuk mengajak Ootsuki-kun kencan!
Liburan musim panas baru saja dimulai.
Dengan perasaan gembira yang belum pernah kurasakan sebelumnya, dan rasa cemas yang sama besarnya, aku berjalan pulang dengan riang.
“Cinta itu luar biasa, ya!!”




Post a Comment