NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Saiaku no Avalon Volume 4 Chapter 16 - 20

 Penerjemah: Bs Novel

Proffreader: Bs Novel


Chapter 16

Sebuah Refleksi yang Akrab


Aku ingin tahu apa yang akan Mikami lakukan padaku di pesta klan tadi malam. Seolah itu belum cukup sulit, ada banyak urusan dengan Klan Golden Orchid dan kepala pelayan. Terlalu banyak yang harus dipikirkan, dan aku pulang kelelahan. Aku langsung melompat ke tempat tidur dan tertidur. Ketika aku bangun, aku melihat ke cermin... dan pemandangan yang familiar menyambutku.


“Oh tidak… Bagaimana ini mungkin?”


Saat aku pergi ke pesta klan, aku tidak punya lemak berlebih di pinggang atau wajahku, dan otot-ototku terlihat jelas. Aku terlihat ramping dan macho... tetapi sosok yang menatapku dari cermin telah mendapatkan kembali lemak yang hilang. Sepertinya berat badanku naik sekitar dua puluh kilogram. Sementara orang biasa hanya bisa naik beberapa kilogram dalam sehari jika mereka makan berlebihan, aku punya kemampuan menyebalkan yang disebut Gluttony. Salah satu efek dari kemampuan ini adalah nafsu makanku yang tak terpuaskan, tetapi perubahan berat badanku yang terakhir ini menunjukkan ada efek lain. Gluttony kemungkinan besar mengubah kalori menjadi lemak ketika dikonsumsi berlebihan.


“Mungkin aku tidak pernah menjadi lebih kurus dan hanya membayangkannya saja.”


Rasanya tidak masuk akal kalau berjuang keras atau makan berlebihan bisa berdampak drastis pada berat badan ku, apalagi aku sudah berdiet. Jawaban paling logis adalah perubahan berat badan ku hanya imajinasi ku. Apa pun masalahnya, yang terpenting adalah aku masih gemuk, jadi aku harus berhenti mengkhawatirkannya dan melanjutkan diet ku.


Merasa agak sedih, aku menuju ruang tamu dan mulai menggosok gigi. Saat sedang menggosok gigi, aku mendengar suara dari perangkat wearable-ku yang kuletakkan di meja. Aku mengetuk layar untuk menampilkan layar, yang menampilkan Kano dan ibuku tersenyum bangga. Suasana mereka yang suram dan sunyi tampak seperti Gathering of the Fallen, tempat Bloody Baron akan muncul.


"Onii!" seru Kano bersemangat. "Ibu dan Ayah baru saja mencapai level 17! Kira-kira kita bisa mulai menyerbu area berikutnya sekarang, kan?"


"Souta, aku Penyihir sekarang," tambah ibuku. "Aku memanggilmu, wahai api yang membakar! Fire... baaaall!"


Ibuku menciptakan bola api sebesar kepala manusia di tangannya dan meluncurkannya dengan kecepatan tinggi ke arah seorang undead warior yang muncul sekitar lima belas meter darinya. Bola api itu menghantam tanah di dekat monster itu dengan bunyi gedebuk yang tumpul. Debu berhamburan ke udara, meninggalkan kawah selebar beberapa meter. Undead Warior itu terlempar sepuluh meter ke udara sebelum berubah menjadi magic gem.


Sihir semacam ini cukup kuat untuk menghabisi monster level 16 dalam satu serangan. Di sisi lain, waktu Cooldown mantra yang lama mengharuskan kita menunggu sepuluh menit sebelum digunakan, jadi kurang praktis.


Kano memutar kamera, dan tampilan ku menampilkan seorang petualang berbalut baju zirah logam berlarian sambil membawa pedang panjang. Helmnya menutupi wajahnya, tetapi aku tahu itu ayah ku. Aku ingat mendengarnya merintih kesakitan di punggungnya ketika aku pertama kali tiba di dunia ini, meskipun ia cukup kuat untuk berlarian sambil mengayunkan pedang besar dan mengenakan baju zirah yang lebih berat darinya. Peningkatan fisiknya sungguh luar biasa.


Meski begitu, Kano tampak sangat bersemangat saat menunjukkan progres leveling orang tua kami. Lalu ia menyadari sesuatu dan tiba-tiba menatapku.


“Tunggu dulu… Onii, kamu gemuk lagi?”


"Benarkah?" tanya ibuku. "Dia tidak terlihat berbeda bagiku."


"Enggak, dia kurus banget kemarin!" Kano menjelaskan dengan semangat. "Aku foto-foto, lihat." Dia menunjukkan foto-foto yang diambilnya kemarin kepada ibuku.


Kurasa aku itu bukan imajinasi ku sama sekali.


Saat itu aku bersumpah pada diriku sendiri bahwa aku tidak akan makan sebanyak itu lagi, lalu aku kembalikan pembicaraan ke topik semula.


“Sesuai rencana, kita siap pindah ke lokasi penyerbuan berikutnya,” kataku.


"Yay!" sorak Kano. "Kami tunggu di gate!"


"Sayang, Souta bilang dia akan membawa kita ke lokasi penyerbuan berikutnya," seru ibuku kepada ayahku. "Ayo bersiap-siap."


Aku memperhatikan wajah gembira adik dan ibuku saat menutup telepon. Aku senang orang tuaku terus naik level sementara aku sibuk dengan Pertempuran Kelas. Maka aku pun mengumpulkan perlengkapan raid-ku dan bersiap untuk bertemu keluargaku.


Lalu, aku keluar rumah. Saat mengunci pintu depan, aku melihat Akagi, Tachigi, dan Pink-chan berjalan keluar bersama Kaoru dari rumahnya di seberang jalan, mengenakan armor kulit warg. Rombongan sang protagonis berkumpul lagi.


"Oh?" seru Akagi saat melihatku, bergegas menghampiriku. "Selamat pagi!"


“E-emm, pagi,” kataku sambil mundur beberapa langkah karena kedatangannya yang tiba-tiba.


Senyum cerah tersungging di wajahnya. Suasana hati yang tertekan menyelimutinya sejak kekalahannya dari Kariya, tetapi sekarang ia tampak ceria seperti di awal tahun ajaran. Aku penasaran apa yang menyebabkan perubahan ini. Meskipun kepositifan baru ini mungkin pertanda baik bagi kelas kami, ia seharusnya baru pulih semangatnya di akhir alur cerita game. Apakah ada sesuatu yang terjadi selama Pertempuran Kelas?


Di belakangnya, Kaoru menatapku dengan mata terbelalak. 


"Kok kamu bisa gendut lagi?"


Andai saja aku tahu, pikirku. Satu-satunya penjelasan yang kumiliki adalah aku makan terlalu banyak. Aku terkesan bahwa keempatnya akan pergi menyerang sehari setelah Pertempuran Kelas.


Ketika aku menyebutkan hal ini, Akagi menjawab, 

"Sebenarnya tidak. Kami hanya latihan hari ini. Kamu bisa ikut kalau mau?"


Ah, jadi mereka pergi berlatih, bukannya menyerbu.


Akagi sama tidak pedulinya seperti di dalam game, senang mengajak Butao ikut tanpa menyadari bahwa ia adalah penjahat yang dibenci semua orang. Mungkin itulah yang membuatnya menjadi pahlawan yang baik. Pink-chan tampak terkejut di belakangnya dan menggelengkan kepalanya ke kiri dan ke kanan, menunjukkan bahwa ia tidak nyaman dengan keputusan Akagi. Ia bereaksi seperti hewan-hewan kecil ketika mereka tidak senang, dan entah bagaimana itu menyenangkan untuk ditonton.


Kaoru menangkupkan tangannya di dagu dan tampak berpikir. 


"Aku setuju. Akan lebih baik kalau kita berlatih bersama sesekali."


Aku yakin dia akan menentangku bergabung, jadi aku terkejut dia setuju dengan Akagi. Apa dia baik-baik saja? Aku ingin tahu kenapa dia berubah pikiran, tapi Tachigi menolak usulan Akagi sebelum aku sempat.


"Oomiya sudah menyiapkan kuliah yang sesuai dengan level kita saat ini," kata Tachigi. "Tidak adil baginya membawa seseorang yang levelnya tidak tepat."


Pink-chan mengangguk penuh semangat.


Saat dia bilang begitu, aku ingat Satsuki bilang dia akan membantu mereka naik level. Kelompok protagonis berjalan lambat karena mereka tidak bisa menggunakan gate. Risa juga akan mendukung mereka, jadi mereka akan baik-baik saja tanpaku.


Lagipula, aku cukup pintar untuk tahu kapan aku membuat orang lain tidak nyaman. Aku tidak ingin mengganggu suasana dengan menerobos masuk ke dalam rumah keempat temanku. Lagipula, aku sudah berencana untuk menyerbu bersama keluargaku.


"Aku punya rencana lain, jadi aku harus menolaknya," kataku. "Tapi terima kasih atas tawarannya."


"Ah, oke," kata Akagi. "Tapi aku punya firasat kalau kau memang hebat. Aku ingin sekali ikut raiding denganmu suatu saat nanti, jadi pikirkanlah!"


“Apa maksudmu dengan itu…?” tanya Kaoru, tampak curiga.


Akagi menjelaskan bahwa ia yakin aku mencapai lantai dua puluh dalam tugas terdalam Pertempuran Kelas karena hasratku yang membara agar Kelas E menang. Menurutnya, tidak ada penjelasan lain tentang bagaimana aku bisa berani melewati area undead tempat monster-monster kuat mengintai di setiap sudut.


"Hmm, Yuuma benar juga," ujar Tachigi. Sesaat, ia tampak teringat sesuatu. Lalu ia membungkuk. "Kalau begitu, kuharap kau mau bergabung dengan kami nanti."


Sebenarnya para bangsawan itu hanya menyeretku untuk membawa tas mereka… Tapi Akagi adalah pria tampan yang hanya melihat kebaikan pada orang lain, yang membuatku merasa bersalah.


Sebaliknya, aku tahu Tachigi bekerja keras demi kebaikan kelas kami, dan aku ingin membantunya sebisa mungkin. Aku memutuskan untuk mengirim pesan singkat kepada Satsuki, mendoakannya agar sukses hari ini.


"Baiklah, kalau begitu kita berangkat," tambah Akagi. "Sampai jumpa nanti, umm..."


“Itu Narumi, Yuuma,” Tachigi mengingatkannya.


“Sampai jumpa lagi, Narumi.”


Rombongan protagonis sudah pergi. Akagi populer di kelas kami karena baik dan perhatian, tapi dia lupa namaku. Aku hanya karakter latar, jadi aku tidak boleh tersinggung.



Aku menyelinap ke lantai dasar pertama sekolah dan menuju ruang kelas yang gelap. Ketika aku mengintip dari pintu, seorang gadis berjubah ada di dalam. Ia sedang memoles belatinya di tengah ruangan. Sebuah magic item menerangi area kerjanya, jadi aku bertanya-tanya mengapa ia sendirian.


“Kano, di mana ibu dan ayah?”


"Ahh Onii! Mama dan Papa lagi belanja di lantai sepuluh. Wah, sepertinya mereka sudah pulang!"


Saat Kano berbicara, simbol-simbol gate di dinding mulai bersinar ungu, dan seorang pria berbaju besi lengkap muncul. Ia membawa karung kulit besar seperti Sinterklas, lalu mengangkat pelindung matanya dan tersenyum saat melihat kami.


“Ah, kau di sini, Souta,” katanya. “Kita dapat hasil tangkapan yang lumayan!”


Zirah yang dikenakan ayahku terbuat dari paduan mithril. Membelinya baru saja membutuhkan sepuluh juta yen, tetapi ia membuatnya sendiri menggunakan mithril yang ia kumpulkan, jadi harganya hanya sekitar dua juta yen. Malam itu, ia tidur sambil memeluk zirah itu, tampaknya ia selalu bermimpi memiliki zirah lapis baja penuh.


Ibuku mengikutinya melewati gate, mengenakan zirah tipis berwarna cokelat kemerahan yang terbuat dari kulit felbull, sejenis minotaur. Zirah logam cenderung menghambat aliran mana, menjadikannya pilihan yang buruk bagi pengguna sihir. Itulah sebabnya pengguna sihir biasanya mengenakan zirah yang terbuat dari kain atau kulit; ibuku mengikuti tradisi itu.


Orang tuaku terengah-engah saat mereka meletakkan karung kulit mereka yang berat di tanah. Masing-masing mungkin beratnya sekitar seratus kilogram.


Kano memencet hidungnya dan meringis. 


"Ih... Bau sekali."


Bau amonia yang menyengat berasal dari kantong-kantong kulit berisi daging busuk yang dikumpulkan dari monster undead yang mereka bawa. Kami tidak repot-repot mengumpulkan daging busuk dalam penyerbuan sebelumnya karena harganya tidak mahal, dan kami tidak membutuhkannya. Karena kami membutuhkan banyak daging busuk untuk penyerbuan hari ini, aku telah memerintahkan Kano untuk mengumpulkan sebanyak mungkin.


"Kita punya beberapa ratus di sini," kata Kano. "Tapi untuk apa kita butuh sebanyak itu?"


"Kita akan menggunakannya sebagai umpan untuk memancing monster," jelasku. "Kita sedang berburu cacing."


"Cacing?" ulang Kano. "Jadi kita akan menggunakan ini untuk memancing cacing?"


Tujuan kami hari ini adalah area ekspansi DLC di lantai dua puluh satu. Peta area itu berupa padang rumput mirip sabana dengan beberapa pohon pendek tersebar di sekitarnya. Aku telah mendaftarkan sihirku di gate lantai dua puluh saat Pertempuran Kelas, jadi perjalanan ke lantai dua puluh satu akan singkat. Aku menunggu sampai kami tiba di tempat penyerbuan sebelum memberi tahu keluargaku tentang monster yang akan kita buru dan bagaimana kita akan melakukannya.


“Aku akan membuka gate nya sekarang, jadi masuklah,” kataku.


"Lantai dua puluh itu tempat yang mereka sebut Benteng Iblis, kan?" tanya ibuku bersemangat. "Aku cuma pernah lihat di foto. Aku nggak sabar!"


"Ya, kata mereka hanya petualang terbaik yang bisa sampai di sana," tambah ayahku bangga. "Dan sekarang saatnya kita ke sana!"


Aku tidak ingin mereka puas dengan level mereka saat ini. Lagipula, aku butuh mereka cukup kuat untuk membunuh monster level 20 dengan sekali pukul tanpa perlu berpikir panjang.


Maka, aku meletakkan tanganku di pola-pola geometris di dinding dan menyalurkan manaku. Cahaya ungu mengalir di sepanjang alur-alur dinding, disertai suara frekuensi rendah saat gate terbuka.


"Orang terakhir yang sampai di lantai dua puluh itu telur busuk!" Kano melompat masuk melalui gate dengan penuh semangat.


Ibu dan ayahku mengambil karung kulit mereka dan mengikutinya.


“Kamu yang bawa itu, sayang,” kata ibuku.


“Ayo kita lakukan penyerbuan yang hebat!” teriak ayahku.


Raid yang ku rencanakan tidak terlalu sulit jika kau tahu strateginya, jadi kita bisa melakukannya dengan mudah.



"Aku tidak bisa melihat apa-apa!" seru Kano. "Aku akan mencari penerangan."


Kano mengeluarkan magic item kecil berbentuk lentera dari sakunya. Ketika ia menyalurkan mana-nya melalui benda itu, lentera itu mulai bersinar dan menerangi sekeliling kami.


Ruang gate ini mirip dengan ruang kelas yang baru saja kami tinggalkan, tetapi ubin batu besar yang menutupinya bisa membuat mu merasa seperti terjebak di reruntuhan. Hal ini tidak mengganggu keluarga ku, yang melihat sekeliling ruangan dengan penuh minat.


"Kita bisa langsung menuju lorong itu untuk sampai ke lantai dua puluh satu," jelasku. "Tapi kita bisa ambil jalan pintas dengan belok kiri menyusuri gang kecil dan naik tangga di ujungnya. Aku akan membagikan data petaku untuk lantai dua puluh denganmu sekarang... Hmm? Apa kalian mendengar sesuatu?"


Saat menjelaskan, aku mendengar seseorang bernyanyi di kejauhan. Kedengarannya seperti suara melengking anak laki-laki yang belum turun suaranya. Masalahnya terletak pada melodi yang dinyanyikannya—itu adalah lagu tema pembuka DunEx.


Sudah beberapa hari… Apa yang masih dia lakukan di sana?






Chapter 17

Rencana Arthur


Setelah tiba di ruang gate lantai dua puluh, aku mendengar seseorang bernyanyi ketika aku sedang bersiap menjelaskan strategi penyerbuan kami. Aku pikir aku mengenali suara itu, tetapi untuk berjaga-jaga, aku ingin memastikan apakah suara itu milik orang yang ku duga.


"Tunggu di sini sebentar," kataku. "Aku akan melihat siapa yang ada di sana. Kurasa aku tahu siapa dia."


“Tentu, kami akan diam dulu di sini!” jawab Kano.


Aku menaiki tangga setenang mungkin, kalau-kalau ternyata dia bukan orang yang kukira; tak ada orang lain yang bisa tahu tentang ruang Gate. Aku sedikit mengangkat ubin lantai batu dan mengintip ke dalam ruangan.


“Hmm hmm hmm, lalu itu lalu itu…”


Seorang anak laki-laki pendek berjubah merah sedang membawa balok kayu raksasa sepanjang lima meter dan sedang membangun sesuatu. Sesekali, ia menggoyangkan tubuhnya dengan penuh semangat mengikuti irama senandungnya. Peningkatan fisik di dungeon memungkinkannya membawa benda-benda besar meskipun ukuran tubuhnya kecil, meskipun tetap saja aneh melihatnya. Aku menajamkan mata untuk melihat lebih jelas apa yang sedang ia bangun.


Apa itu? Sebuah rumah?


Dia sedang membangun rumah di dalam struktur dungeon yang akan dilewati petualang lain. Saking bodohnya, aku sampai tak bisa menahan diri untuk memanggilnya.


“Hei, Arthur, apa yang sedang kamu lakukan?”


"Hmm? Oh, hai, Saiaku." Arthur berbalik menatapku, masih membawa kayu besar itu. "Aku sedang membangun markas rahasia! Apa kau tidak tahu?"


Setidaknya aku tahu dia sedang membangun semacam rumah kayu. Ketika kulihat lebih dekat, aku menyadari bahwa kayu-kayu itu sangat kusut dan berwarna kebiruan. Ini bukan kayu biasa, dan dia telah mengumpulkan cukup banyak untuk membentuk tumpukan besar di belakang ruangan.


"Itu kayu-kayu yang dijatuhkan para treant beku," kataku. "Aku terkesan kau berhasil menangkap mereka di levelmu. Apa monster meninggalkanmu sendirian karena kau iblis?"


"Tidak, mereka memang menyerangku. Treant yang muncul di markasku menjatuhkan ini, jadi aku bisa mendapatkan kayu gelondongan sebanyak yang kuinginkan."


"Apa?!"


Treant beku adalah monster level 40, yang lebih tinggi daripada Arthur. Treant beku mudah diserbu karena mereka biasanya muncul berkelompok, dan tingkat drop rate mereka yang sangat rendah membuat mereka sulit didapatkan. Namun, Arthur punya banyak sekali. Batang kayu itu bisa digunakan untuk membuat panah kuat dengan sihir es. Aku ingin tahu apakah aku bisa membuatnya menjual beberapa, pikirku. Tapi pertama-tama, aku perlu bertanya padanya kenapa dia membangun markas di sini.


"Kenapa kau membangun ini di dalam? Kau sadar kan kalau banyak petualang yang melewati ruangan ini?"


Katedral yang megah, dengan banyak jendela kaca patri, adalah tempat suci tempat Saintess itu bertempur dan mengalahkan Iblis Raksasa. Monster tidak akan muncul lagi di sini, artinya para petualang sering menggunakan katedral sebagai tempat beristirahat. Aku tidak bisa membayangkan mengapa dia memilih ruangan ini untuk membangun rumah.


Pertarunganku melawan Arthur beberapa hari lalu hampir menghancurkan dinding dan langit-langit, tetapi fitur perbaikan otomatis dungeon telah mengembalikan katedral ke keadaan semula.


"Aku tahu aku bisa warp di sini, jadi aku memutuskan untuk menjadikannya markas baruku. Rencanaku adalah berbicara dengan para petualang yang datang ke sini dan melihat apa yang bisa kupelajari."


“Apa yang ingin kau pelajari?”


Markas asli Arthur berada di lantai tiga puluh delapan. Namun, ia tidak dapat mengumpulkan informasi karena belum ada petualang yang berhasil mencapai kedalaman itu. Lebih lanjut, Arthur menjelaskan bahwa ia sedang membangun rumah baru di area aman yang tidak dihuni monster agar ia dapat bertanya kepada petualang yang lewat tentang dunia luar.


Namun, ia gagal menyadari beberapa kelemahan besar dalam rencananya. Pertama-tama, struktur yang dibangun di dalam dungeon akan lenyap karena fitur perbaikan otomatis dungeon dalam waktu dua belas jam. Inti golem diperlukan untuk menjaga struktur tetap utuh.


"Ah, aku lupa soal itu! Tapi golem tidak muncul di mana pun aku bisa jangkau... Apa kau punya inti?"


"Punya," jawabku. "Aku mau menukar sepuluh inti golem kayu dengan satu batang kayumu."


"Hei, kayu-kayu ini berasal dari frost treant, ingat? Buat dua puluh."


"Kau tidak akan bisa mendapatkan inti golem dari petualang biasa. Golem muncul di area yang tidak bisa dijangkau kebanyakan orang. Aku akan meningkatkannya menjadi lima belas inti."


Kami saling melotot sambil menawar. Aku punya ratusan inti golem kayu, jadi aku bisa saja merelakan dua puluh inti itu, tapi kemudian aku merasa kalah dan terus menawar. Akhirnya, kami sepakat, satu batang kayu untuk lima belas inti.


Bagus! Ini akan membuatku bisa membuat senjata yang kuat! Aku menyeringai, tahu ini akan memberikan dorongan tak terduga untuk rencanaku mendapatkan perlengkapan yang lebih baik.


"Onii," bisik Kano dari bawah. 


Ia telah mengangkat ubin lantai dan menyembulkan separuh kepalanya ke atas tanah. 


"Bisakah kita keluar sekarang?"


Aku teralihkan saat mengobrol dengan Arthur, dan dia mungkin khawatir aku belum kembali. Arthur tampak waras saat ini, jadi aman untuk membiarkannya melihat mereka. Aku memberi isyarat kepada Kano bahwa mereka boleh keluar.


"Wah, tandukmu besar sekali!" komentar Kano. "Kamu sama dengan Furufuru?"


“Oh, halo,” kata ibuku sambil terkikik.


"Ini sempit sekali," kata ayahku sambil menaiki tangga. "Yot too! Ooh, jadi ini Kastil Iblis yang terkenal itu?"


Arthur membeku saat melihat Kano mendekatinya. Dia berlari ke arahku dan berbisik di telingaku. 


"Hei, gadis twintail itu imut sekali... Dia siapanya dirimu?"


"Dia adikku," jawabku. "Dua lainnya—"


"Wah, wah, wah, jangan bohong, Sobat. Dia terlalu imut untuk jadi adik Butao. Itu mustahil secara biologis!" Arthur mulai mengguncangku. "Jangan malu-malu, katakan yang sebenarnya!"


Aku ingat reaksi yang sama saat pertama kali melihat keluargaku di dunia ini. Perbedaan penampilan mereka dan Butao terlalu besar.


“Konnichi wa, aku Narumi Kano,” kata adikku. “Apakah kamu dan Onii saling kenal?”


"N-Narumi?" ulang Arthur tak percaya. Kepalanya bergerak bolak-balik antara aku dan adikku. "'Onii'? Apa kalian benar-benar saudara kandung?" Kesadaran itu pasti mengguncang otaknya karena dia mulai memanggilku kakak iparnya. Aku memukul kepalanya agar dia sadar kembali.


Kepribadian Kano cukup mirip dengan Tenma setelah kutukannya dicabut. Obsesi Arthur terhadap Tenma menjelaskan mengapa ia tampak menyukainya.


"Jadi, apa yang sedang kamu bangun?" tanya Kano. "Rumah kayu?"


"Tepat sekali!" seru Arthur. Ia tampak sangat kaku saat bergerak. "Aku sedang membangun markas baruku di sini—"


Tepat pada saat itu, sepuluh petualang berbaju besi berbondong-bondong masuk ketika pintu masuk tiba-tiba terbuka.


"Itu dia! Pemimpin, itu dia!"


Dilihat dari kualitas perlengkapan mereka, mereka tampaknya berada di level sekitar 20. Seorang pria besar dengan tinggi lebih dari dua meter berada di depan mereka, dan dia mungkin beberapa level lebih tinggi daripada yang lain.


"Levelnya... lebih rendah dari yang kuduga," kata salah satu pria di belakang kelompok sambil mengarahkan tongkat sihirnya ke arah Arthur. Tongkat itu mungkin disihir dengan Basic Appraisal. "Waktu kau bilang itu monster langka, kukira itu bos lantai."


Ada apa? 


"Maaf, kalian siapa?" tanyaku, ingin tahu siapa pendatang baru yang sombong itu.


Namun, mereka langsung melancarkan Basic Appraisal kepada kami semua. Begitu mereka melihat kami berada di level yang lebih rendah dari mereka, mereka menggunakan Aura mereka untuk mengintimidasi kami. 


"Diam dan jangan ganggu kami, dasar lemah!"


Biarkan aku bicara, sialan.


"Ya, jauhkan cakarmu dari mangsa kami!" teriak pria lain, menunjuk Arthur. "Giant Panda Brothers menemukannya lebih dulu!"


"Sepertinya dia sedang membangun sarang," tambah yang lain. "Mungkin monster jenis baru?"


"Jika kita membunuhnya dan menyerahkan magic gemnya ke guild, kita akan mendapatkan hadiah besar," kata seorang bawahan lainnya, meneteskan air liur saat memikirkan uang.


Mereka pasti melihat tanduk di kepala Arthur dan mengira dia monster.


Nama yang luar biasa, Giant Panda Brothers... Sesuai dengan namanya, bercak-bercak hitam-putih menghiasi baju zirah mereka. Mereka pasti sangat menyayangi panda.


Arthur tampak marah, seolah mengenali mereka. Ia berteriak, 


"Hei, kalian orang-orang yang mencoba menghancurkan rumahku! Sebaiknya kalian jangan mencoba menghentikanku lagi, atau aku akan menghukum kalian!"


"Itu tidak biasa," kata salah satu panda. "Monster biasanya tidak bisa bicara. Mungkin kita harus membiarkannya hidup sebagai hewan peliharaan? Ah ha ha!"


"Kita mungkin bisa menjualnya dengan harga tinggi, jadi kita akan tunjukkan betapa kuatnya kita dan tangkap dia. Kepung dia!"


Tanpa mengindahkan peringatan Arthur, para panda itu menghunus senjata mereka dan mengepungnya.


"Onii..." kata Kano, menatap Arthur dengan khawatir. "Apa Ada yang bisa kita bantu?"


Tapi dia tidak perlu khawatir. Arthur berada di level yang jauh lebih tinggi daripada para panda dan ahli yang ada klan itu, jadi dia bisa menghadapi kesepuluh panda sekaligus. Aku lebih khawatir tentang para panda. Ada kemungkinan aku harus turun tangan dan mencegah Arthur melompat ke laut.


"Jangan bunuh dia," perintah panda kepala. "Patahkan saja tangan dan kakinya. Ayo pergi!"


"Mengalahkan orang lemah ini akan sangat mudah! Ambil ini... A, are?"


"Dia terbang!"


Dua panda mengangkat gada mereka dan menyerang Arthur, tetapi Arthur berhasil menghindari serangan mereka dengan terbang ke udara tanpa melihat ke arah mereka. Arthur mengumpulkan sihir di ujung jarinya, begitu banyak sihir hingga membuatku merinding, lalu dengan cepat menggambar lingkaran sihir di udara dengan kedua tangannya. Lingkaran sihir yang digambarnya adalah—


“Keluarlah, Chappy!!!”


Ketika mantra itu aktif, sebuah lingkaran sihir berdiameter lima meter diproyeksikan ke ubin batu. Lingkaran sihir di lantai mulai bersinar merah tua. Arthur telah menggunakan Aktivasi Manual untuk merapal mantra pemanggilan, membuat seluruh ruangan bergetar. Kano dan para panda melihat sekeliling dengan kaget, mencoba mencari tahu apa yang sedang terjadi.


"Ih!"


Dari tengah lingkaran sihir muncul… seekor laba-laba putih kecil. Panjang tubuhnya sekitar dua puluh sentimeter, jauh lebih kecil daripada lingkaran sihir. Laba-laba itu bertubuh bulat dan memiliki dua kolom vertikal mata merah seperti rubi.


Ada yang tidak beres dengan gambar ini, pikirku.


"Iiiih... Ah? Huh, kau bikin aku takut sedetik. Sihirnya gila sekali sampai aku khawatir apa yang akan keluar."


"Apakah laba-laba putih ini juga jenis monster baru?" tanya salah satu panda. "Aku belum pernah melihatnya sebelumnya..."


Arthur menyebutnya "Chappy", meskipun mantra yang ia ucapkan sebenarnya adalah Arachne Monarch, yang memanggil varian arakhnida terkuat. Laba-laba yang dipanggil hanya akan mencapai level 70, jadi itu bukan sihir pemanggilan terkuat yang tersedia bagi pemain top. Namun, laba-laba itu dapat menggunakan skill yang meningkatkan kecepatan pemanggilnya dan mengurangi kecepatan musuh di dekatnya, menjadikannya favorit di kalangan pemain yang mengutamakan mobilitas.


Namun, mantra Arachne Monarch yang kukenal akan memanggil seorang wanita dewasa bertubuh laba-laba selebar dua meter dari pinggang ke bawah. Seharusnya monster itu sesuai dengan gambaran umum Arachne. Yang dipanggil Arthur justru seekor laba-laba yang cukup kecil untuk muat di tanganku, dan tubuh bagian atas seorang wanita tidak terlihat sama sekali. Laba-laba itu berwarna putih dan masih berasal dari spesies kerajaan yang sama…


“Chappy, aku ingin kau membungkus semua orang yang mengenakan baju besi hitam,” kata Arthur.


"Ih iih!"


"Hah? Apa yang kau... Apa!"


"Wah!"


Setelah menerima perintah dari Arthur, laba-laba putih itu melesat melintasi ruangan lebih cepat daripada yang bisa kulihat. Ia mengeluarkan jaring putih yang digunakannya untuk menjerat panda satu demi satu. Kecepatan geraknya menunjukkan levelnya sekitar 30, yang memang tinggi, tetapi jauh lebih rendah dari level 70 yang seharusnya. Mungkin kemampuan Arthur telah melemah seperti Void Slice-ku.


“Waa!”


"Lepaskan aku!"


"Lain kali aku tidak akan bersikap lunak pada kalian, oke?!" teriak Arthur. "Baiklah, sampai jumpa. Keluar!"


Arthur menggunakan Aktivasi Manual untuk membuka gate hitam yang berputar-putar, melemparkan panda-panda yang terikat ke dalam pusaran satu demi satu. Eject adalah mantra yang digunakan untuk melarikan diri dari dungeon dan merupakan alat yang berharga untuk membuang barang-barang.


Kano dan orang tuaku menatap kosong ke arah Arthur setelah pertemuan itu berakhir dengan cepat. Fakta bahwa ia memanggil seekor laba-laba dan tidak melukai panda-panda itu membuktikan bahwa ia bersikap lunak terhadap mereka. Setelah ia melempar semua panda melewati gate, ia berbalik ke arah laba-laba itu dan berkata, 


"Kalian boleh pergi sekarang."


Laba-laba itu hancur menjadi kabut yang berputar-putar dan bersinar.


Arthur berdiri murung di tengah ruangan yang kini sunyi. Ia berharap bertemu para petualang yang bisa ia ajak bicara dan berteman, namun rencananya gagal total.


Aku terpaksa mengatakan yang sebenarnya dan berkata, 


"Arthur, para petualang di dunia ini tidak menyerbu dungeon karena mereka menikmatinya. Kebanyakan dari mereka adalah bajingan egois yang mencari kekayaan dan ketenaran. Membangun rumah di sini hanya akan membawa masalah bagimu."


"Ya... mungkin kau benar," kata Arthur. "Oh, sepertinya aku ide yang bagus!"


Terdapat perbedaan besar antara pemain yang menyerbu dungeon untuk menikmati dunia DunEx dan petualang yang menyerbu untuk mencari ketenaran, dan mencampuradukkan keduanya bisa menjadi bencana. Karena Arthur belum pernah melihat dunia luar, wajar saja jika ia melakukan kesalahan ini.


Suasana hati yang muram akhirnya sirna ketika Kano berlari menghampiri Arthur dengan sorot mata penuh semangat. 


"I-Itu keren sekali!" Kano meraih tangannya. "Mantra apa yang kamu gunakan untuk memanggil laba-laba putih itu?! Dan, astaga, kamu terbang!!!"


Arthur mengangkat kepalanya dan langsung menunjukkan senyum lebar.


"Oh, itu bukan masalah besar," katanya, menikmati perhatian yang diterimanya. Ia lalu mulai menyombongkan diri tentang apa yang telah dilakukannya.


Tidak ada yang membuat nya terpuruk dalam waktu lama, bukan?





Chapter 18 

Laba-laba dan Keluarga Narumi


Aku dan keluarga mengobrol sambil berjalan bersama, ditemani seekor laba-laba putih. Tanahnya kering, dan yang tumbuh hanyalah beberapa gulma yang berserakan.


"Aku tidak tahu kamu bisa pakai sihir pemanggilan seperti itu!" seru Kano. "Skill apa yang kamu butuhkan untuk bisa memiliki makhluk pemanggil seperti itu?" Dia menyodok laba-laba putih yang bertengger di bahuku.


"Ih? Ih!"


Setelah insiden panda di lantai dua puluh, Arthur bilang ingin ikut penyerbuan kami. 

Namun, peta yang bisa diakses iblis terbatas, sehingga mustahil baginya untuk mengikuti kami ke lantai dua puluh satu. Sebagai gantinya, ia menggunakan Skill nya untuk meminjam kelima indra makhluk yang dipanggil dan saat ini merasuki tubuh laba-labanya.


Meskipun Arthur sepertinya ingin memberi tahu Kano sesuatu, arakhnida yang dipanggilnya tidak memiliki pita suara, artinya ia tidak bisa berbicara. Laba-laba itu menoleh ke arahku dan mulai mencicit, mendesakku untuk menjelaskan mantranya kepada Kano.


"Ini adalah skill bernama Possession yang bisa dipelajari oleh Summoner, dan sering digunakan untuk pengintaian. Makhluk kecil yang dipanggil cenderung lemah, sementara makhluk besar yang dipanggil lebih hebat bertarung tetapi lebih sulit digerakkan. Selain itu, saat menggunakan Possession, kau hanya bisa menggunakan skill makhluk yang dipanggil. Singkatnya, sulit menemukan kegunaan yang tepat untuk skill ini."


“Huh… Tapi aku yakin seru juga kalau bisa berubah menjadi berbagai macam makhluk!” seru Kano.


"Benar, aku juga ingin sekali mencoba merasuki makhluk terbang. Makhluk yang dipanggil punya slot skill terbatas, jadi kebanyakan orang tidak bergantung pada skill Possession."


Menggunakan Skill Stealth untuk pengintaian lebih efektif daripada mengandalkan makhluk yang dipanggil, yang biasanya lebih lemah daripada pemanggilnya. Memiliki makhluk juga tidak berguna untuk pertempuran. Manfaat utama sihir pemanggilan adalah memanggil makhluk untuk bertarung bersama, dan Kepemilikan pada dasarnya menghilangkan keuntungan itu. Itu adalah kemampuan yang tidak berguna. Bahkan, kemampuan itu sangat tidak berguna di DunEx sehingga aku benar-benar melupakannya sampai Arthur menggunakannya. Namun, di dunia ini, tampaknya itu ada gunanya.


"Makhluk yang dipanggil tidak bisa mati," lanjutku, "jadi Arthur aman dari bahaya, dan laba-labanya bisa masuk ke area yang tidak bisa kau masuki. Untung saja dia masih punya kemampuan itu."


"Ih!"


Laba-laba itu berdiri dengan keempat kakinya sementara ia menepukkan keempat kaki lainnya untuk mengekspresikan kebahagiaannya. Aku penasaran bagaimana ia bisa menggerakkan semua anggota tubuhnya secara mandiri seperti itu. Aku harus bertanya padanya nanti. Tubuh Arthur aman di markasnya di lantai tiga puluh delapan, di mana tak seorang pun akan menemukannya.


“Ne Onii, menurutmu apa aku juga bisa mempelajarinya?” tanya Kano.


"Tidak, kamu perlu mendapatkan beberapa Job berbasis sihir lain sebelum bisa menjadi Summoner," jelasku. "Ngomong-ngomong, kukira kamu ingin menguasai Job Thief?"


“Oh ya… Aku harus menyelesaikannya dulu.”


Kano mulai bermain dengan Arthur, mengejar-ngejar laba-labanya. Aku dan orang tuaku mengamatinya sekilas sambil kami terus berjalan dengan langkah santai. Cuacanya sangat nyaman; tidak terlalu panas atau lembap, dan anginnya menyegarkan.


“Di sini nyaman dan tenang,” kata ibuku. “Apa kita benar-benar masih di dalam dungeon?”


"Aku tahu maksudmu," ayahku setuju. "Tidak ada tembok, langitnya biru, dan tidak ada monster yang menyerang kita."


Orang tuaku berjalan berdampingan, membawa karung kulit besar mereka. Karena tidak ada monster aktif yang akan menyerangmu selama kau tidak menyimpang dari jalur di peta ini, kami semua santai seperti sedang pergi piknik.


Di kejauhan, aku melihat sekawanan monster bertanduk dua yang menyerupai badak sedang melahap rumput. Mereka bukan monster yang aktif, tetapi memiliki HP yang sangat tinggi dan akan bergabung dengan kawanan mereka yang lain jika diserang. Karena itu, mereka bukanlah kandidat yang baik untuk diburu.


Jauh di atas langit, aku bisa melihat sesuatu yang tampak seperti bintik-bintik kecil terbang sendiri-sendiri. Monster-monster ini seperti burung dengan lebar sayap lima meter, tetapi mereka begitu tinggi sehingga tampak kecil. Kebanyakan mantra dan senjata jarak jauh tidak akan mampu menjangkau monster setinggi itu, jadi mereka juga tidak mudah diburu.


Jadi, apa yang akan kita buru di sini? Kalau kita terus menyusuri jalan utama menuju lantai dua puluh dua, kita akhirnya akan bertemu Mamu, kadal raksasa pemakan manusia. Mereka menjatuhkan daging lezat saat dibunuh. Karena aku pernah makan daging itu bersama Tenma, aku ingin memburu beberapa dari mereka kalau aku melihatnya. Namun, mereka bukan target utama penyerbuan hari ini.


Setelah kami berjalan selama tiga puluh menit lagi, sambil mengagumi pemandangan, bukit pasir berwarna coklat kemerahan mulai terlihat.


“Onii, Itukah gurun yang akan kita datangi?” tanya Kano.


"Kii!"


Arthur berdecit setuju. Ia lalu melompat turun dari bahuku, dan Kano berlari mengejarnya. Bukit pasir itu tidak terlalu besar, sekitar satu kilometer persegi. Aku menemukan batuan dasar di dekatnya yang cukup besar untuk mendirikan kemah dan mulai meletakkan tas-tasku. Setelah mengeluarkan semua yang kami butuhkan untuk berburu dari tas-tas itu, aku mulai menjelaskan rencana kami.


“Baiklah, aku akan menjelaskan cara kita berburu cacing, jadi dengarkan,” kataku.


“Bukankah daerah ini terlalu kering untuk cacing?” ayahku merenung.


“Aku hanya bisa melihat batu dan pasir,” ibuku setuju.


Orang tuaku bingung karena cacing yang mereka tahu hanya bisa hidup di tanah lembap. Meskipun beberapa batu berserakan di sana-sini, satu-satunya yang ada di sini hanyalah pasir. Semuanya begitu kering di sini sehingga baik tanaman maupun monster tidak bisa bertahan hidup, membenarkan kebingungan mereka. Kano mengambil pasir untuk memeriksa apakah ada cacing.


Akan tetapi, cacing yang akan kami buru bersembunyi di bawah pasir.


"Kano, jangan ke pasir," aku memperingatkan. "Mereka mungkin akan menyerangmu."


“Dari dalam pasir?” tanya Kano.


"Benar sekali. Lihat."


Aku mengambil sepotong daging busuk dari salah satu kantong kulit, mengaitkan kawat ke dalamnya, dan melemparkannya ke arah bukit pasir. Keluarga ku tampak bingung melihat daging itu, tetapi kami hanya perlu menunggu sekitar tiga puluh detik. Pasir mulai bergetar, dan sesuatu dengan kuat menarik daging busuk itu ke bawah pasir. Melihat bahwa ia telah memakan umpan, aku menarik kawat itu, dan—


“Ini cacing pasir level 21.”


Aku memancing seekor monster dari bawah pasir. Cacing pasir itu panjangnya dua meter dan lebarnya tiga puluh sentimeter, dan tubuhnya yang menggeliat mengingatkan pada cacing tanah. Meskipun beratnya lebih dari seratus kilogram, itu bukan masalah bagi ku, berkat peningkatan fisik ku. Aku menariknya ke dasar batuan, tempat kami mendirikan kemah, dan memperhatikan bagaimana ia menggelepar-gelepar seperti ikan yang lincah.


"Besar sekali!" teriak Kano. "Waktu Onii bilang cacing, aku membayangkan sesuatu yang lebih kecil." Ia dan Arthur menghampiri cacing itu dan menatapnya.


Cacing itu memiliki mulut bundar seperti pengisap gurita. Setelah diamati lebih dekat, aku melihat pemandangan mengerikan berupa cincin taring yang melingkar di dalamnya. Cacing pasir adalah monster mematikan yang bersembunyi di bawah pasir dan menunggu mangsanya berjalan di atasnya. Kemudian, mereka akan menancapkan gigi mereka ke dalam dan menyeretnya ke bawah pasir. Setelah cacing pasir ditarik ke atas batuan dasar, mereka tidak dapat lari kembali ke dalam pasir. Pada saat itu, mereka hanyalah cacing tanah yang besar dan lemas.


“Mulailah memukulnya, tapi hati-hati dengan mulutnya.”


"Ayo pergi, sayang!"


"Ya!"


Orang tuaku mulai memukul cacing itu dengan tongkat dan pedang panjang yang mereka bawa. Aku ikut menyerang cacing pasir itu, dan tak lama kemudian, cacing itu berhenti bergerak dan berubah menjadi magic gem.


Kano mengambil permata itu dan memiringkan kepalanya. 


"magic gem yang luar biasa besar... Tapi, apa tidak ada lagi yang jatuh?"


"Kemungkinannya sangat kecil untuk menjatuhkan perut cacing pasir, yang bisa kau gunakan untuk membuat kantong ajaib. Tas-tas itu juga akan laku dengan harga tinggi kalau dijual," kataku.


"Nah, setelah Souta menyebutkannya," kata ibuku, "salah satu rekan kerjaku di serikat bilang kalau kantong ajaib itu terbuat dari perut monster. Jadi, mereka sedang membicarakan cacing pasir."


Cacing pasir dapat menelan benda-benda yang beberapa kali lebih besar daripada tubuh mereka sendiri, berkat sifat perut mereka yang disebut kontraksi spasial. kantong ajaib yang terbuat dari perut mereka juga memiliki sifat ini; kau dapat mengisinya dengan lebih banyak benda daripada yang seharusnya. Sifat ini menjadikan kantong ajaib wajib dimiliki oleh para petualang top dalam penyerbuan dungeon.


“Tapi kalau semudah itu memburu mereka, mengapa kantong ajaib begitu mahal?” tanya ibuku.


“Kiii…?”


Dia menjelaskan bahwa kantong ajaib termurah yang dijual di Guild Petualang harganya beberapa juta yen, dan yang lebih besar harganya lebih dari sepuluh juta. Arthur tampak terkejut karena kantong ajaib harganya sangat murah di bulan Desember.


"Sebagian alasannya karena kebanyakan petualang tidak tahu kalau mereka bisa memancing cacing pasir keluar dengan daging busuk, tapi sebagian besar alasannya karena cacing pasir biasanya hanya muncul jauh di dalam dungeon," kataku.


Ekspansi DLC telah menambahkan area gurun ini ke DunEx, sehingga gangguan persepsi dunia ini mencegah para petualang mencapai area ini kecuali mereka sudah tahu keberadaannya. Satu-satunya peta non-DLC tempat cacing pasir akan muncul adalah di lantai dua puluh lima ke bawah, dan satu-satunya petualang yang bisa menyerbu bagian dalam dungeon tersebut adalah anggota Klan Assault dan petualang yang bekerja untuk bangsawan agung. Selain itu, perjalanan pulang pergi ke lantai dua puluh lima akan memakan waktu setidaknya satu bulan, menambah tingginya harga sebagian besar barang yang ditemukan di sana.


"Juga, sesekali kita akan bertemu* monster langka bernama cacing raksasa. Kalau kita berhasil menangkap salah satunya, aku butuh kalian semua untuk membantuku memancingnya."



(*TIPS: Pertemuan langka terjadi setiap kali monster respawn. Ada kemungkinan tetap bahwa monster lain akan muncul menggantikannya. Biasanya, monster ini akan lebih langka daripada monster aslinya. Cacing raksasa hanya muncul sekali sehari, dan cacing pasir biasa akan muncul menggantikannya setelah dibunuh.)



"Raksasa?" ulang Kano. "Apa dia bahkan lebih besar dari yang baru saja kita lihat?"


"Sou," jawabku. "Itu monster langka yang hanya muncul sekali sehari, tapi belum pernah ada orang lain di sini selain kita. Pasti dia bersembunyi di bawah pasir itu di suatu tempat. kantong ajaib yang bisa kau buat dari perutnya adalah benda langka yang mengecilkan ukuran dan massa benda yang kau simpan di dalamnya, jadi aku sangat berharap kita bisa mendapatkannya."


Membawa kantong ajaib perut cacing pasir itu melelahkan karena benda-benda menyusut tetapi massanya tetap sama, dan kulitnya tipis. Meskipun itu kantong ajaib, isinya bisa robek jika terlalu penuh. Di sisi lain, kantong ajaib yang disempurnakan yang terbuat dari perut cacing raksasa lebih tahan lama. kantong ajaib ini mengurangi berat barang yang disimpan di dalamnya, artinya kau bisa membawa baju zirah seberat seratus kilogram di saku mu. Ini akan membuka banyak pilihan strategis baru.


"Luar biasa," kata ibuku. "Aku belum pernah melihat orang menjual tas yang bisa mengurangi berat barang."


"Aku yakin kau bisa menjualnya dengan harga mahal!" seru Kano. "Mungkin saja benda itu akan didaftarkan sebagai harta nasional!!!"


"Kii?!"


Mata Kano, ibuku, dan Arthur berbinar-binar saat mereka bertanya-tanya berapa banyak uang yang bisa mereka dapatkan untuk kantong ajaib yang sudah ditingkatkan. Aku akan dengan senang hati menjual beberapa kantong ajaib yang sudah ditingkatkan setelah kami punya cukup uang. Tapi kalau kita menjual barang yang tidak tersedia di tempat lain di pasaran, orang lain mudah melacaknya kembali ke kita. Kita harus berhati-hati dan mencari pembeli untuk melakukan penjualan satu lawan satu atau mengamankan jalur penjualan yang aman.


"Keren! Ayo kita bunuh banyak cacing dan hasilkan banyak uang!" seru Kano, meluapkan semangatnya karena tahu ada peluang menghasilkan uang.


“Ya, kami membawa banyak daging busuk,” ayahku setuju.


“Ini dia, Arthur,” kata ibuku.


"Kii!"


Keluarga ku mulai mengaitkan kawat ke potongan-potongan daging busuk. Arthur juga ikut memancing, menggunakan kawat pemberian ibu ku. Tubuh arakhnidanya kira-kira sebesar telapak tangan ku, tetapi ternyata sangat kuat.


Karena kami yang pertama berburu cacing di sini, kami langsung dapat umpan begitu melempar umpan. Kami memancing begitu banyak cacing pasir sehingga ku yakin tak lama lagi kami akan mendapatkan cacing raksasa. Arthur dengan cekatan menggunakan delapan kakinya untuk mengaitkan kawat ke daging dan melemparkannya ke pasir.


“Ki kii! ki kiii!!!”


Kami semua ikut memukul cacing-cacing itu begitu ada yang berhasil memancing, dan mengulanginya sampai kami berhasil membunuh sekitar tiga puluh cacing pasir. Saat aku mengikatkan kawat ke potongan daging busuk berikutnya, Arthur mulai mencicit keras, jadi aku menoleh untuk melihatnya. Kaki-kakinya yang kecil dan putih menggali ke dalam batuan dasar, dan ia mati-matian menarik kawat itu, yang sepertinya akan putus. Dari besarnya tegangan pada kawat, kemungkinan besar Arthur telah memancing cacing raksasa.


“Semuanya, bantu Arthur menariknya!”


“D-Dimengerti!” teriak Kano.


“Ayo kita lakukan ini!” kata ibuku.


"Kuat sekali! Yang ini pasti sangat besar!" teriak ayahku.


Kami semua menarik kawat sekuat tenaga, lalu sebuah mulut raksasa selebar satu meter muncul. Dengan mulut sebesar itu, tubuh yang terkubur di bawah pasir pasti panjangnya setidaknya lima meter. Pasir beterbangan ke mana-mana, mengaburkan pandanganku; makhluk itu pasti menggeliat dengan ganas di bawah pasir.


"Souta, apakah kawat ini akan kuat?" tanya ayahku sambil menyemburkan pasir.


"Kawatnya cukup kuat untuk menarik minivan. Pasti kuat," kataku. Waktu aku membeli kawatnya, aku pastikan kawatnya cukup kuat untuk menahan cacing raksasa, jadi ayahku tidak perlu khawatir... Semoga saja. Cacing itu ternyata melawan lebih kuat dari yang kuduga.


"Tapi kita butuh waktu lama untuk menariknya!" kata Kano. "Bu, lakukan itu!"


"Oke," jawab ibuku sambil mencabut tongkat sihir dari ikat pinggangnya. "Kamu duluan, Arthur-chan. Panggil kekuatanmu, Power I!"


Arthur mulai bersinar merah ketika ia mengayunkan tongkat sihirnya seperti konduktor. Power I adalah mantra yang hanya akan meningkatkan statistik kekuatanmu sebesar dua puluh persen, tetapi itu sudah cukup untuk memberimu daya tarik yang jauh lebih besar.


Setelah ibuku merapal mantra buff pada semua orang, kami semua berkoordinasi untuk menarik kawat secara bersamaan. Ini membantu kami akhirnya menarik cacing raksasa itu keluar sepenuhnya dari pasir sambil meraung.


"Besar sekali!" seru Kano takjub. "Cacing ini benar-benar berbeda dari cacing-cacing lainnya!"


"Ki!"


Cacing raksasa itu muncul dari tanah, menciptakan badai pasir. Cacing itu sebesar pohon besar, panjangnya sekitar tujuh meter. Melihat makhluk itu meronta-ronta dengan ganas, kami harus berhati-hati saat mendekatinya.


"Jadi level monsternya 26," ujar ayahku kaget setelah menggunakan magic item yang dimantrai dengan Appraisal untuk memeriksa levelnya. "Itu praktis membuatnya sama dengan bos lantai."


“Pukul saja, tapi hati-hati jangan sampai terjebak di bawah tubuhnya!” kataku.


"Oke! Ayo mulai!"


Cacing itu tampak lebih besar daripada yang kuingat dari DunEx, mungkin karena ia sudah lama hidup tanpa ada yang memburunya. Kupikir empat orang di keluargaku sudah cukup untuk menumbangkan cacing raksasa itu, tapi sekarang setelah kulihat betapa besarnya, aku tahu kami takkan punya peluang tanpa Arthur. Aku senang sekali kami membawanya.



Serangan kami sukses besar. Kami berhasil membasmi dua ratus empat cacing pasir dan mendapatkan perut cacing raksasa. Arthur menawarkan diri untuk ikut dalam serangan berburu cacing kami berikutnya, dan aku dengan senang hati menerima tawarannya.


Kembali ke sekolah besok… pikirku.


Jika dunia ini terus mengikuti alur cerita game, banyak kejadian dalam game akan segera terjadi di sekolah secara berurutan. Cara terbaik untuk bertahan dari kejadian-kejadian yang akan datang adalah dengan tidak mencolok. Untungnya, tidak ada yang memperhatikan ku, yang membuat hal itu lebih mudah.


Aku ingin meminta bantuan Arthur untuk mengatasi beberapa kejadian lain yang menanti di kemudian hari, jadi aku perlu menemukan cara untuk menghilangkan hambatan pada pergerakannya sesegera mungkin.




Chapter 19 

Pertemuan Eight Dragons


Lampu hias menerangi karpet Persia berukuran besar di sebuah ruangan mewah. Di tengah ruangan, lima orang duduk berjauhan mengelilingi meja berbentuk U.


Sagara Akizane duduk di ujung meja. Ia adalah ketua OSIS dan bertanggung jawab mengelola Eight Dragons sebagai anggota. Posisi unik ini memberinya kendali atas anggaran puluhan miliar yen dan pengaruh yang kuat terhadap staf SMA Petualang dan Guild Petualang.


Sagara mengintip melalui kacamatanya dengan tatapan tajam. 


"Sudah waktunya, jadi 

mari kita mulai pertemuan rutin kita. Kita akan membahas pemilihan bulan depan di—"


"Tunggu, Sagara," sela seorang siswa bertubuh besar dan berotot berkumis. Dia adalah Tachibana Sakon, ketua Klub Pedang Pertama, salah satu dari Eight Dragons. Konon, tak seorang pun di sekolah ini yang bisa menandinginya dengan pedang panjang. 


"Tak heran para petarung tak ada di sini, tapi di mana Klub Panahan dan Aliansi Kelas A?"


"Klub Bela Diri tidak tertarik dengan topik pembicaraan kita hari ini," jawab seorang wanita mungil berambut merah panjang dengan kuncir kuda samping. Dia adalah Isshiki Otoha, ketua Klub Sihir Pertama, yang juga salah satu dari Eight Dragons. Meskipun baru kelas dua, bakat sihirnya yang luar biasa telah membuatnya terkenal di SMA Petualang dan di seluruh dunia. "Petarung" yang dimaksud Tachibana adalah Klub Bela Diri. 


"Klub Panahan bilang mereka tidak melihat ada gunanya hadir jika pilihan mereka tidak terpilih, tapi aku tidak yakin kenapa Aliansi Kelas A tidak hadir."


Prestise Isshiki telah meningkatkan pengaruh Klub Sihir Pertama di antara Eight Dragons secara drastis selama dua tahun terakhir. Sebuah tongkat besar yang memancarkan sihir misterius dari permata ungu di kepalanya disandarkan di sisi kanan kursinya.


"Hmph," gerutu Tachibana. "Jadi, keputusan untuk memilih ketua OSIS berikutnya ada di tangan kita berlima?"


"Kelihatannya begitu," kata seorang anak laki-laki jangkung berkulit pucat yang ternyata adalah Hourai Tsukasa, Ketua Klub Senjata dan bagian dari Eight Dragons. Tujuan klubnya adalah untuk membuat, meneliti, dan mengembangkan senjata; mereka merupakan anggota baru Eight Dragons. Ketenaran mereka berkat dukungan keluarga Hourai yang berpengaruh, beberapa bangsawan terkaya di Jepang, yang memberi mereka akses ke dana, material, dan personel dalam jumlah besar. Banyak klub manufaktur yang lebih kecil menerima pesanan dari Klub Senjata. 


"Sungguh menyedihkan kita tidak bisa mengumpulkan semua Eight Dragons untuk urusan sepenting ini, hihihi."


"Ayo kembali ke diskusi kita," kata Sagara, sambil memelototi orang-orang di sekitar meja. 


"Aku sudah menerima daftar nama kandidat yang akan dipilih, yang akan ku bacakan sekarang. Klub Pedang Pertama telah mencalonkan Ashikaga Keigo dari Kelas A tahun kedua. Kandidat lainnya, yang dinominasikan oleh Klub Sihir Pertama, Klub Senjata, dan Klub Thief, adalah Sera Kikyou dari—"


Tachibana menggebrak meja dengan tinjunya. 


"Hei, sudah berapa kali kukatakan padamu kalau anak kelas satu terlalu muda untuk jadi ketua?! Mana mungkin anak yang baru masuk SMA bisa mengendalikan Eight Dragons!"


Eight Dragons adalah kelompok yang unik, dan tidak mungkin mereka akan mematuhi perintah siswa tahun pertama.


"Kurasa kita semua mengakui prestasinya yang luar biasa selama SMP," bantah Isshiki dari Klub Sihir segera setelah Tachibana selesai berbicara. Ia tidak meninggikan suaranya, tetapi ada kekuatan di dalamnya yang sama dahsyatnya dengan teriakan Tachibana. 


"Ia juga keturunan dari Saintess yang dihormati. Dari segi keterampilan dan silsilah, ia lebih dari layak untuk duduk di ujung meja kita."


"Tepat sekali!" Hourai dari Klub Senjata setuju. "Dia mungkin siswa tahun pertama, tapi kemampuannya mendukung timnya sungguh luar biasa. Dan senjata yang dimilikinya, harta nasional itu... Aku sendiri baru melihatnya sekali, tapi percayalah, itu luar biasa." 


Suaranya terdengar gembira saat memuji Sera dan senjatanya.


Sekretaris menulis nama Ashikaga Keigo dan Sera Kikyou di papan tulis dan mencatat satu suara untuk Ashikaga dan tiga untuk Sera.


Tachibana menatap papan tulis, dan suasana hatinya semakin buruk saat ia menggeram, 


"Kesepakatan rahasia apa yang kalian bertiga lakukan?" Ia memancarkan auranya. "Dan apa kau tidak punya sesuatu untuk dikatakan, Klub Thief ?"


"Singkirkan aura kotormu," kata seorang gadis dengan acuh tak acuh. Ia memiliki rambut biru panjang bergelombang, hidung kecil, dan mata yang tegas dan berwibawa. Gadis itu adalah Kusunoki Kirara, siswi Kelas A tahun kedua, ketua Klub Thief , dan salah satu dari Eight Dragons. 


"Dan aku tidak memilih Sera Kikyou. Aku hanya bilang akan menerimanya agar tidak membuang waktu berdebat." 


Meskipun Tachibana terkenal sebagai siswa terkuat di SMA Petualang, Kusunoki telah menghilangkan auranya dengan mengibaskan kipasnya.


Kusunoki tidak setenar teman sekelasnya di tahun kedua, Otoha Isshiki. Namun, ia adalah siswi yang sangat berbakat, cukup berbakat untuk sering menjadi penantang Isshiki dalam ujian kelompok mereka. Para siswa tahun kedua sering menyebut mereka berdua sebagai bintang kembar di kelompok mereka. Banyak bangsawan berpartisipasi dalam berbagai kegiatan Klub Thief, yang menjadikan klub tersebut memiliki pengaruh yang kuat di antara Eight Dragons.


"Konyol sekali," balas Tachibana. "Kenapa tidak ikut aku memilih Ashikaga kalau cuma itu yang kau pedulikan?! Dengan begitu, kita bisa mendapatkan suara yang seimbang."


"Aku khawatir ini tidak akan membawa kita ke mana pun," kata Hourai. "Para kandidat sudah datang, kan? Bawa mereka masuk. Kita bisa memutuskan setelah mendengar mereka berbicara sendiri."


Tachibana menoleh ke arah pintu dan berteriak, 


“Hei, masuklah!”


Kusunoki mengerutkan kening mendengar perintah kasar Tachibana.


Pintu-pintu berat ruang konferensi terbuka, dan yang pertama masuk adalah seorang siswa pria ramping dengan otot-otot yang terlihat jelas di leher dan bahunya. Sebilah pedang Jepang tergantung di ikat pinggangnya, dan ia berjalan bak seorang prajurit. Ia adalah Ashikaga Keigo, kandidat pilihan Tachibana.


Berikutnya datang seorang gadis berambut perak berkilau sepinggang yang bergoyang anggun saat ia berjalan menuju meja. Ia adalah Sera Kikyou, siswi Kelas A tahun pertama. Tatapan tajam Eight Dragons tampaknya tidak membuatnya gugup. Matanya yang besar justru cerah dan berbinar, dan ia tersenyum.


Sagara menatap kedua kandidat itu satu per satu. 


"Kami memang berencana memanggil kalian nanti, tapi ya sudahlah. Perkenalkan diri kalian di ruangan ini. Kalian mulai, Ashikaga."


"Sesukamu," kata Ashikaga. Ia melangkah maju, menyilangkan tangan di belakang punggung, dan membusungkan dadanya. Lencana emas yang disematkan di saku dadanya, melambangkan statusnya sebagai seorang bangsawan, berkilauan diterpa cahaya. 


"Aku Ashikaga dari Kelas A tahun kedua. Aku tidak ingin memaksakan kehendakku pada Eight Dragons, aku berniat menghormati kemerdekaan berbagai faksi dan melakukan apa pun agar nama Sekolah Petualang kita yang luar biasa bergema di seluruh dunia. Itulah misiku."


"Soal ilmu pedang," kata Tachibana, "dia hanya kalah dariku meskipun sudah kelas dua. Kalau dia tidak terpilih jadi ketua OSIS, aku mau dia jadi ketua Klub Pedang Pertama."


Ashikaga menyampaikan perkenalan dirinya kepada Eight Dragons tanpa tersendat-sendat, yang merupakan sebuah prestasi di hadapan penonton yang diam-diam mengintimidasi.


Ia memiliki pola pikir konservatif dan ingin mencari cara untuk memajukan sekolah sambil tetap menghormati tradisi yang ada. Selain itu, ia adalah pewaris keluarga bangsawan bergengsi dan seorang elit yang pernah menjadi anggota OSIS di tahun pertamanya. Nilai-nilainya patut dicontoh, tetapi tidak setingkat siswa tahun kedua lainnya di ruangan itu, Isshiki dan Kusunoki.


Sera kini menundukkan kepalanya dan melangkah maju. 


"Selamat siang semuanya. Aku Sera. Sudah takdir ku untuk menjadi ketua OSIS, dan aku menerima takdir itu."


"Takdir mu?" ulang Sagara. "Apa kamu berkata begitu karena matamu yang sudah sering kita dengar itu?"


"Ya," jawab Sera. "Clairvoyance-ku memungkinkanku melihat masa depan."


Mata Sera berwarna ungu, tetapi akan berubah menjadi merah menyala ketika kemampuan Clairvoyance-nya aktif, dan ia dapat meramalkan masa depan dan kejadian yang akan datang. Kekuatan ini telah memungkinkannya menemukan individu-individu berbakat dan menghindari bencana dalam banyak kesempatan dalam hidupnya, dengan prestasi yang begitu hebat sehingga semua orang di Eight Dragons telah mendengar tentang skill uniknya. 


Ia juga secara konsisten menduduki peringkat sebagai siswa berprestasi tertinggi di Sekolah Menengah Petualang, mengalahkan Suou Kouki dengan pedang pengubah wujudnya, dan Tenma Akira, yang sangat kuat dan ahli dalam pertarungan jarak dekat. Selain itu, ia adalah cucu dari petualang pertama di Jepang, Saintess yang asli, dan banyak rumor yang mengatakan bahwa ia akan menjadi penerus gelar tersebut. Ia adalah sosok yang sangat kuat di antara para siswa tahun pertama.


Isshiki berdiri dan mulai bertepuk tangan meriah setelah Sera selesai. 


"Kekuatan dan berbagai prestasimu sungguh luar biasa; garis keturunan dan keluargamu tak tercela! Aku dengan senang hati akan mundur dan menyerahkan kendali Klub Sihir Pertama kepadamu jika kau bergabung dengan klub kami, tetapi seseorang sekaliber dirimu pantas mendapatkan gelar yang lebih tinggi. Sera, aku akan lalai jika tidak mendukung pencalonanmu sebagai ketua OSIS."


Hourai sependapat dengan Isshiki dalam memuji Sera. 


"Ashikaga memang tidak buruk, tapi dia tidak sebanding dengan Sera. Kami di Klub Senjata dengan sepenuh hati mendukung pencalonanmu."


Rumor beredar di SMA Petualang bahwa beberapa faksi telah menghubungi Sera. Saksi mata pertemuan ini kemungkinan besar akan menduga bahwa faksi-faksi tersebut adalah Klub Sihir Pertama dan Klub Senjata.


Tachibana masih kesal, sementara Kusunoki memandang ke luar jendela seolah-olah dia bosan.


"Kandidat mana yang akan didukung OSIS?" tanya Hourai. "Lagipula, aku heran Klub Thief begitu tenang, mengingat betapa bersemangatnya mereka memperjuangkan kandidat mereka di pemilu lalu. Kenapa begitu? Apa ada siswa lain yang kalian berdua minati atau semacamnya?"


Hourai tampak curiga karena ketua OSIS dan Klub Thief tidak berpartisipasi aktif. Pemilu mendatang adalah peristiwa besar yang akan sangat memengaruhi faksi mereka, jadi tidak wajar jika mereka berdua bersikap acuh tak acuh. Ia mengamati keduanya dan mencoba memahami motif dari ekspresi wajah mereka.


"Dewan siswa sedang kesulitan memutuskan kandidat mana yang akan didukung," jawab Sagara. "Tapi ada siswa tahun pertama yang menarik perhatianku... Siapa namanya tadi?"


"Astaga!" seru Isshiki, terengah-engah dan mencondongkan tubuh ke depan di kursinya. "Aku ingin tahu murid mana yang cukup berbakat untuk menarik perhatian Sagara yang agung. Siapa dia?"


Ketua OSIS, Sagara Akizane, adalah siswa yang jenius. Ia sama hebatnya dalam sihir seperti Isshiki, sama terampilnya dalam pertarungan seperti Tachibana, dan begitu berbakat secara akademis sehingga ia tidak pernah mendapat nilai lebih rendah dari peringkat pertama dalam ujian. Ketertarikan apa pun yang ditunjukkan Sagara pada seorang siswa menjamin mereka kuat.


Isshiki bukan satu-satunya yang hadir yang terpesona oleh pengungkapan ini. OSIS adalah yang terkuat di antara Eight Dragons, dan kandidat pilihan mereka akan sangat memengaruhi pemilihan mendatang. Jadi, semua orang mulai menelusuri ingatan mereka untuk mencari tahu siapa yang mungkin diminati Sagara.


"Tahun pertama... Mungkinkah Tenma?" renung Hourai. "Aku penggemar berat lini senjata DUX yang diproduksi oleh bisnis keluarga Tenma. Padahal, kami berharap bisa membawanya ke Klub Senjata."


"Suou atau Takamura," kata Tachibana. "Mereka jauh lebih kuat daripada kebanyakan anak kelas satu. Suou sudah setuju untuk bergabung dengan Klub Pedang Pertama, jadi aku tidak akan membiarkanmu memilikinya."


“Tapi jika itu salah satu dari mereka, Sagara tidak akan kesulitan mengingat nama mereka,” kata Kusunoki.


Tenma, Suou, Takamura. Itulah nama-nama siswa tahun pertama yang menonjol dan menjanjikan yang tak mungkin dilupakan oleh pemimpin Eight Dragons. Karena Sagara tak ingat namanya, itu menandakan bahwa orang yang ia minati pastilah orang lain.


"Kalau bukan mereka, ya... Tunggu, mungkinkah...?!" 


Kusunoki tiba-tiba tersentak, lalu menutup mulutnya. Ia sudah tahu siapa murid misterius itu.


“Kusunoki, tolong jangan simpan nama itu untuk dirimu sendiri jika kau tahu siapa itu!” kata Isshiki.


"Jadi, anak kelas satu yang diminati Sagara ini, apakah Klub Thief juga mencoba menangkapnya?" tanya Tachibana.


"Astaga. Aku tidak menyangka akan menemukan pendatang baru yang harus diwaspadai!" seru Hourai.


Meskipun Tachibana dan Hourai terkejut karena mungkin ada siswa tahun pertama yang kuat yang tidak mereka ketahui, mereka dengan tenang bertanya-tanya siapa orangnya. Diskusi berlanjut tanpa hasil karena tidak ada yang bisa mengetahui identitas siswa tersebut.


"Kalau bukan salah satu siswa yang sudah kau sebutkan, mungkinkah itu seseorang dari Kelas E?" tanya Sera Kikyou, menyela pembicaraan. Ia mencondongkan tubuh ke depan dan tersenyum lebar. "Kita tidak pernah tahu di mana kita akan menemukan bakat sejati."


Ashikaga memucat, lalu mencondongkan tubuh ke arah Sera dan berbisik, 


“Kau pasti gila karena mengganggu Eight Dragons!”


Namun, Sera tampak tidak terganggu.


"Jangan bodoh!" bentak Tachibana, alisnya yang tebal berkerut. "Beberapa bulan yang lalu, murid-murid Kelas E tahun pertama masih rakyat jelata level 1. Mereka semua sama sekali tidak istimewa!"


Menjadi rakyat jelata saja sudah cukup bagi para bangsawan untuk meremehkan seseorang. Ia geram mendengar usulan untuk membandingkan murid-murid baru Kelas E yang baru tiga bulan pengalamannya dengan orang-orang seperti Tenma, Suou, dan Takamura.


"Kurasa juga begitu," kata Hourai. "Tak seorang pun di Kelas E berdarah bangsawan, dan aku tak bisa membayangkan menemukan orang berbakat atau berprospek masa depan di antara mereka. Tapi dari raut wajah Sagara dan Kusunoki, sepertinya Sera mungkin benar."


"B-Benarkah itu, Kusunoki?! Aku juga sulit percaya ada pendatang baru yang kuat di antara rakyat jelata Kelas E," kata Isshiki.


Para bangsawan menerima perlakuan istimewa, tetapi pemerintah Jepang akan memberikan surat undangan kepada rakyat jelata yang menunjukkan potensi ke Sekolah Menengah Petualang, sama seperti mereka memberikannya kepada anak bangsawan yang berbakat. Dengan kata lain, siapa pun yang bergabung dengan Kelas E sejak SMA hanya bisa "cukup baik untuk ukuran rakyat jelata," dan mereka tidak akan seberbakat angkatan SMP. Ini adalah keyakinan umum dari mereka yang terkait dengan Sekolah Menengah Petualang, menunjukkan mengapa saran Sera telah membuat para supremasi bangsawan Eight Dragons begitu marah.


Keheningan Kusunoki yang terus berlanjut membuat Hourai dan Isshiki semakin curiga, dan akhirnya memintanya untuk memberi tahu siapa siswa tersebut.


Dia tetap menutup mulutnya dan memalingkan mukanya.


Pertemuan itu bertujuan untuk membahas kandidat untuk pemilihan ketua OSIS mendatang, tetapi pembicaraannya melenceng jauh. Sagara menghela napas dan mengakhiri pertemuan, menyesali telah menyinggung siswa itu.


"Kita tinggalkan saja urusan ini di sini untuk saat ini," kata Sagara. "Aku akan mengatur pertemuan lagi beberapa hari lagi. Oh, dan Kusunoki, aku ingin tinggal sebentar dan membicarakan beberapa hal denganmu."


"Kebetulan sekali, Sagara," kata Kusunoki. "Aku juga. Tapi, aku tidak akan membiarkanmu memilikinya."


Sementara Eight Dragons berdebat, satu orang di ruangan itu menatap ke kejauhan dengan ekspresi penuh kerinduan, seperti seseorang yang merindukan cinta—Sera Kikyou. 


"Kelas E... Jadi ada seseorang yang kuat bersembunyi di kelas itu yang tak kuketahui. Aku harus menemukannya dan membakar bayangannya di benakku. Tunggu aku, pahlawanku..."




Chapter 20 

Formasi Biasa


"Kau ingin aku merahasiakan semua yang terjadi di Istana Iblis? Kalau itu mau Narumi-kun, aku akan melakukannya!"


Aku duduk di kursi penumpang belakang sebuah limusin hitam panjang. Tenma Akira, seorang gadis yang diselimuti baju zirah dari ujung kepala hingga ujung kaki, duduk di sebelah kiri ku. Baju zirahnya berkilau seperti biasa, berkilauan di bawah sinar matahari yang masuk melalui jendela. Di sebelah kanan ku duduk seorang wanita dengan pakaian Maid yang sempurna, dengan pita Alice di atas rambut hitamnya yang panjang dan berkilau. Dia adalah Kurosaki, mayordomo dari para pelayan hitam keluarga Tenma.


Meskipun aku ingin memberi tahu Kurosaki bahwa pakaiannya terlihat bagus, aku ragu ketika dia mencondongkan tubuh dan berbisik, 


"Letakkan satu jari saja di tubuh Ojou-sama, dan aku akan menghabisimu." 


Aku berusaha sekuat tenaga untuk tidak menyentuh Tenma karena aku tidak ingin dihabisi, yang mengakibatkan postur yang sangat tidak nyaman. Limusinnya mungkin besar, tetapi kami bertiga duduk bersama membuatnya terasa sempit.


"Ada yang mengejutkanku, Narumi-kun," lanjut Tenma. "Kamu sangat kurus saat kita meninggalkan dungeon, tapi sekarang kamu sudah kembali normal. Apa kamu baik-baik saja?"


"Aku baik-baik saja," jawabku sambil menepuk perutku yang buncit. "Aku cuma makan terlalu banyak."


"Oh, begitu kah. Aku juga kadang makan berlebihan, jadi aku harus hati-hati!"


Menurunkan berat badan adalah topik yang dekat di hatinya, jadi kenaikan berat badanku yang tiba-tiba itu mengejutkannya. Ia terpaku di tempat ketika melihatku dalam kondisi seperti ini.


"Ngomong-ngomong," kata Tenma. "Apa kamu, um... Apa kamu sudah punya rencana dengan seseorang untuk menyerbu dungeon di musim panas nanti? Kurasa kita berdua bisa sampai sejauh ini bersama-sama!"


"Aku tidak akan membiarkan ini!" sela Kurosaki. "Aku tidak bisa membiarkan anda menyerang dengan monster ini!"


"Ya ampun, Kurosaki, aku tidak tahu dari mana asal idemu tentang Narumi-kun. Ngomong-ngomong, aku akan sangat senang jika kamu mempertimbangkannya, Narumi-kun."


Sudah menjadi kebiasaan bagi siswa SMA Petualang untuk merencanakan penyerbuan jangka panjang di dungeon selama liburan musim panas. Tenma rupanya membawa para pelayan hitamnya untuk menyerbu sampai tahun lalu, tetapi dia ingin ikut penyerbuan bersamaku musim panas ini. Kepala pelayan dengan marah turun tangan dan menyatakan bahwa dia akan bergabung dengan kami, tidak ingin kami berdua saja.


Tidak banyak memikirkan liburan musim panas, pikirku.


Aku tidak punya rencana untuk musim panas dan mungkin akan menyerbu dungeon bersama keluargaku atau Satsuki dan Risa seperti biasa, jadi aku punya waktu luang. Namun, menyerbu jauh ke dalam dungeon tanpa menggunakan gate akan membutuhkan komitmen sebulan, dengan sebagian besar waktu terbuang sia-sia untuk bepergian. Kecuali aku bisa menemukan cara untuk mengatasi masalah itu, aku tidak bersemangat bergabung dengan Tenma…


Sebenarnya, mungkin aku bisa meminta Arthur membuat gate untuk kita?


Mengenang kembali saat pertama kali bertemu Arthur, aku ingat dia membuat gate keluar di tengah katedral. Biasanya, gate hanya terhubung ke bagian luar dungeon atau ke ruang gate. Tapi sepertinya Arthur tahu cara membuat gate yang mengarah ke mana pun dia mau. Mungkin kami bisa menggunakannya untuk membawa Tenma dan aku langsung ke lantai dua puluh.


Ada beberapa alasan mengapa aku ingin melakukan raid bersama Tenma juga. Salah satunya adalah untuk menghilangkan kutukannya, dan alasan lainnya adalah karena Arthur terus-menerus menelepon dan mengirim pesan memohon ku untuk membawa Tenma menemuinya. Dia mungkin ingin berpasangan dengan Tenma seperti yang ku lakukan dengan Satsuki. Syarat untuk berpasangan seperti itu adalah berbagi pengetahuan pemain dengan orang tersebut.


"Aku menemukan tempat di mana kamu bisa mendapatkan banyak Mamu di penyerbuan terakhirku," kata Tenma sambil tertawa. "Aku bisa makan sepuasnya. Semoga aku bisa makan Mamu bersamamu tahun ini, Narumi-kun!"


“Ojou-sama, tolong jangan lupa betapa sulitnya menurunkan berat badanmu setelah kejadian itu!”


Aku ingat Tenma mempertaruhkan nyawanya untuk melindungiku dari lesser demon itu seperti baru kemarin. Dia belum menyerah padaku. Aku yakin dia bisa dipercaya, jadi aku tidak keberatan berbagi pengetahuan pemain dengannya atas dasar itu. Namun, kebocoran pengetahuan pemain seperti gate akan berdampak buruk pada dunia, dan bahkan pangkat bangsawannya mungkin tidak akan melindunginya. Kami harus sangat berhati-hati dalam mengundangnya bergabung dengan kami. Karena itu, aku ingin membicarakan hal ini dengan Risa dan Arthur sesegera mungkin.


"Terima kasih, aku akan memikirkannya," kataku. "Dan, Tenma... Kamu benar-benar tidak perlu menjemputku ke sekolah."


“Oh, apakah itu merepotkan?”


Tadi ada sedikit keributan. Bel pintu berbunyi saat aku sedang bersiap-siap ke sekolah, dan ketika aku membuka pintu, aku mendapati lebih dari sepuluh pelayan berkacamata hitam sedang menatapku tajam dari teras. Lima mobil mahal, termasuk limusin ini, terparkir di luar, dan kerumunan tetangga serta pejalan kaki sudah berkumpul di dekatnya. Para pelayan itu menarik lenganku dan melemparkanku ke kursi belakang limusin, tempat Tenma duduk menungguku.


Karena kami berteman, dia berjanji menjemputku setiap hari ke sekolah. Rumahku hanya lima menit jalan kaki dari sekolah, dan aku tidak ingin kejadian yang sama terulang di jalan setiap pagi. Karena itu, aku dengan sopan menolak tawaran apa pun di masa mendatang.


"Oke..." kata Tenma. "Tapi kalau kamu mau aku jemput, bilang saja!"


"Sentimen itu sudah cukup bagiku," kataku. "Terima kasih."


"Beraninya dia menolak tawaran Ojou-sama... Tapi dengan begini, Ojou-sama akan menghabiskan lebih sedikit waktu dengan binatang itu... Sebenarnya, ada—" Kurosaki bergumam pada dirinya sendiri, mengangkat tinjunya, lalu menurunkannya lagi.



"Baiklah, sampai jumpa lagi!" kata Tenma saat aku keluar, lalu limusin itu melesat pergi.


Setelah meregangkan badan sejenak, aku berpikir untuk pergi ke sekolah, tapi kemudian merasa ada yang menatapku dari belakang. Aku berbalik dan melihat Kaoru sedang cemberut dengan tangan disilangkan. Kupikir dia akan pergi ke sekolah tanpaku, tapi ternyata dia terus memperhatikan kami di mobil sepanjang waktu... Aku bingung harus bilang apa.


"Itu Tenma Akira dari Kelas A tadi, kan?" tanya Kaoru. "Kalian berdua sepertinya dekat sekali."


(Tln: emm, jadi cemburu ni betina XD)


“Ah, ya… Kami cocok saat Pertempuran Kelas, jadi kami berteman sekarang.”


"Teman? Dia bangsawan sejati. Kau yakin itu aman?"


Rakyat jelata Jepang sering mengidolakan para bangsawan, kelas atas masyarakat kita. Namun, mereka juga ditakuti sekaligus dicintai. Para bangsawan dapat menyalahgunakan kekuasaan mereka dan membuat rakyat jelata menghilang jika mereka tidak menyukai seseorang.


Kaoru secara tidak langsung memperingatkanku, mengisyaratkan bahwa sikap ramah Tenma kepadaku hari ini mungkin akan berubah besok. Kalaupun tidak, orang-orang di sekitarnya mungkin tidak akan menyetujui hubungan kami. Itulah mengapa tidak aman bagi rakyat jelata seperti kami untuk terlalu dekat dengan para bangsawan.


Sudut pandangnya memang benar, tapi aku akan tetap bersama Tenma setidaknya selama waktu yang dibutuhkan untuk menghilangkan kutukannya. Akan lebih bijaksana untuk tidak bersikap ramah kepada Tenma di depan orang lain jika itu akan menimbulkan masalah yang tidak perlu.


"Tetap saja... Kau sudah berubah, Souta. Sampai saat ini, aku tak pernah membayangkan kau mencoba mencari teman baru. Bahkan, kau hampir tak pernah bicara sepatah kata pun dengan siapa pun kecuali aku." 


Kaoru menatap ke kejauhan sambil mengingat bagaimana aku dulu di SMP.


Waktu SMP, aku selalu mengisolasi diri, menolak untuk lengah di depan siapa pun. Begitulah juga perilaku Butao di game, jadi aku bisa membayangkannya dengan mudah.


Kaoru tampak bingung saat mengenang masa lalu. Senyumnya entah bagaimana tampak senang sekaligus kesepian. Ia memang membenci Butao semasa SMP, tetapi raut wajahnya mengisyaratkan bahwa mungkin ada sesuatu yang lebih dari itu.


"Sebaiknya kita berangkat," kata Karou, lalu mulai berjalan. "Kita sudah terlambat."


Aku meraih tasku, berlari untuk menyusulnya, dan berjalan di belakangnya seperti biasa.


Saat itu bulan Juni, ketika musim hujan biasanya dimulai, tetapi langitnya cerah dan biru. Suhunya juga panas di pagi hari, yang tidak nyaman untuk tubuh ku yang gemuk.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

0

Post a Comment

close