NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Saikyou Degarashi Ouji no An’yaku Teii Arasoi V8 Chapter 3

 Penerjemah: Chesky Aseka

Proffreader: Chesky Aseka


Chapter 3

Melarikan Diri

Bagian 1

Zandra, yang mengaktifkan Bola Langit, mulai bergerak untuk menguasai istana.

Walau tidak ada kekhawatiran soal pelarian dari ibu kota, terlambatnya penguasaan istana akan menunda seluruh rencana. Maka Zandra memanggil salah satu orang kepercayaannya. 

“Gunther, bagaimana dengan mereka?” 

“Mereka menunggu.” 

Gunther, pembunuh pribadi Zandra yang dulu pernah menyerang Al. 

Zandra mengangguk lalu melangkah. 

Mereka berjalan menuju ruangan terpisah yang sudah disiapkan oleh Gunther. 

Saat pintu dibuka, di dalam ada tiga pria. 

“Wah, Putri Zandra. Akhirnya bisa bertemu. Anda lebih cantik dari gosip yang kudengar; orang sepertiku sampai gugup melihatnya,” ujar seorang pria bertubuh jangkung dengan kulit pucat, sambil tersenyum pada Zandra. 

“Jangan beri aku pujian. Aku memanggil kalian dan membayar mahal karena ada pekerjaan yang harus dilakukan.” 

“Hah, memanggil orang-orang macam kita ke istana kekaisaran, yang disebut yang terkuat di antara tiga kekuatan besar benua, itu nekat. Aku sampai curiga apakah ini perangkap yang dibuat untuk menangkap kami,” gumam pria pendek yang duduk, sambil memutar-mutar pisau di jarinya. 

Pria berambut putih yang bersandar di dinding menimpali, “Kalian minta bantuan untuk memberontak. Dulu kukira lucu ada yang berencana memberontak melawan imperium yang kuat... Tapi sepertinya bukan bualan semata.” 

“Benar. Pasukan yang dipimpin Gordon sedang bergerak menuju arena tempat sang Kaisar berada. Sementara itu aku akan menguasai istana. Tapi istana ini luas, dan para prajurit sedang terpecah belah. Aku ingin kalian naik ke lantai atas dan menangkap para pejabat penting. Jika tidak memungkinkan, bunuh saja mereka.” 

Mendengar itu, pria pucat dan pria pendek itu tersenyum. Pria berambut putih tetap datar wajahnya. 

Ketiga orang di sana adalah pembunuh ternama. Mereka menerima tawaran itu karena mereka yakin mereka bisa kabur dari istana walau mereka masuk perangkap.

Mereka datang karena Zandra mengumpulkan mereka dengan bayaran besar saat dia dalam tahanan rumah. Mempekerjakan satu pembunuh saja biasanya sulit, namun jaringan Gunther dan tindak tanduk Zandra membuatnya mungkin untuk mengumpulkan tiga orang ini. 

Bergabung dalam pemberontakan memang berarti risiko hukuman, tetapi bagi ketiganya yang sudah menimbun banyak dendam, itu bukan masalah besar. Mereka adalah pembunuh ulung yang memilih pekerjaan berdasarkan tantangan. Semakin sulit, semakin menarik. 

“Orang penting yang melarikan diri, dan para kesatria pengawal yang menjaga mereka. Menarik melihat bagaimana kita akan memenggal kepala mereka.” 

“Oh, bukannya kamu dengar? Jika bisa, mereka ingin kita menangkap mereka hidup-hidup.” 

“Aku ini pembunuh. Menangkap bukan keahlianku. Tapi kalau mereka berpakaian bagus, aku akan berpura-pura menahan sedikit.” 

Gunther mengerutkan kening, namun Zandra tak peduli, dia memang tak terlalu mengandalkan pembunuh dari luar. 

Para pejabat yang bisa dijadikan sandera itu akan menuju ke lantai atas, karena kapten kesatria pengawal menjaga ruang takhta. 

Zandra sudah mengirim pasukan elit, namun menembus kapten kesatria pengawal bukan perkara mudah. Secara jumlah mungkin bisa dipaksa lewat, tapi butuh waktu. Jika ada banyak sandera, situasinya berbeda, tuntutan sandera lebih ditujukan kepada kapten kesatria pengawal ketimbang langsung kepada Kaisar. 

Bagi Zandra, Kaisar Johannes adalah ayahnya sendiri. Dia tahu watak ayahnya. Meski penyayang, kewajiban Kaisar selalu diutamakan. 

Berapa pun jumlah sandera, menganiaya mereka mungkin bisa menyakiti, tapi tak akan bisa memaksanya untuk menyerah. 

Karena itu, melepas pembunuh ke lantai atas bagi Zandra hanyalah jaminan kecil. Salah satu langkah untuk mempercepat penguasaan istana. 

Target utamanya tetaplah menguasai militer dan mengambil alih istana sepenuhnya. Namun...

“Apa kamu yakin, Roa si Peluru Es?” tanya Zandra kepada pria berambut putih. 

Roa si Peluru Es adalah pembunuh paling ditakuti sezamannya, namanya melampaui industri pembunuh hingga ke luar lingkupnya. Dia terkenal tak pernah gagal dalam tugasnya, dan sebelum Roa menjadi terkenal, ada Dewa Kematian yang juga disebut yang terkuat. 

Zandra sebenarnya ragu apakah Roa akan datang, tetapi sekarang Roa hanya bersandar di dinding dan menjawab tenang. 

“Aku hanya akan melakukan tugasku. Namun aku tak akan bekerja sama. Aku bekerja sendiri.” 

“Gaya kerjamu kuhargai. Aku serahkan padamu.” 

“Kata-kata itu kembali padamu. Kalau penguasaan prajurit memakan waktu, kita akan terjebak sendirian. Meski terbiasa, aku tak mau jadi umpan. Urusan lantai bawah aku serahkan padamu.” 

Dengan tenang Roa melangkah melewati sisi Zandra dan keluar kamar, yang dua pun mengikuti. 

“Itu cuma ancaman.” 

“Kalau terlambat, mereka akan berkhianat. Prioritas nyawa itu memang kebiasaan pembunuh.” 

“Hah, tak apa. Kalau jumlah kesatria pengawal bisa berkurang sedikit saja, upah yang kubayar sudah layak. Kalau mereka berhasil dan masih hidup, aku akan gunakan mereka untuk membunuh Gordon nanti.” 

“Ide bagus. Tapi membunuhnya sekarang akan menimbulkan kecurigaan.” 

“Kuperhitungkan itu. Setelah pemberontakan ini selesai, negara-negara lain akan menyerang. Biarkan Gordon menghadapi mereka dulu, lalu bunuhlah dia. Dengan begitu semua akan menjadi milikku.” 

Zandra menyingkap senyum tipis nan kelam.


Bagian 2

Kami melangkah menuju ruang takhta, lantai paling atas istana.

Mulai dari lantai menengah lalu naik ke tingkat yang lebih tinggi, sampai sekarang kami belum berjumpa musuh satu pun.

Mungkin mereka sibuk menguasai lantai bawah dan menengah. Tidak semua prajurit pasti mengikuti perintah, dan ada pula para kesatria pengawal. Jumlah mereka memang lebih sedikit dibanding musuh, tetapi tiap-tiap orang adalah prajurit andalan di antara yang andal.

Dalam labirin istana seperti ini, wajar jika para prajurit dibuat kerepotan oleh kesatria pengawal. 

Namun situasinya memperlihatkan satu kemungkinan, ada kapten kesatria pengawal yang berkhianat. Bila ada yang membelot karena mengikuti mantan atasan, tak mustahil akan terjadi duel antar-kesatria pengawal.

Keduanya sama-sama elit, tetapi pihak yang berkhianat bisa melancarkan serangan tiba-tiba. Perbedaan itu besar. 

“Kita sebaiknya mempercepat langkah,” gumam Alois saat kami sampai di tikungan dan dia mengintip dengan waspada. 

Dari belakang Alois, Rupert ikut menyahut, “Tapi kok berjalan begitu mulus? Sepanjang jalan kita tidak bertemu musuh, kan?” 

“Benar, tapi juga tidak bertemu rekan sama sekali. Di istana ini pasti banyak pelayan dan pembantu untuk mengurus istana sebesar ini. Meski di lantai atas, mustahil tidak ada seorang pun.” 

Kalau saja hanya tidak bertemu musuh, itu masih bisa diartikan mereka sedang sibuk di bawah. 

Tapi jika tidak ada sekutu juga, bau buruknya terasa. Ke mana mereka pergi? 

“M-Mungkin mereka mengungsi?” 

“Ke mana?” 

“Errr...”

“Ada dua pilihan, ke bawah atau ke atas. Musuh yang ada di bawah pasti tercium oleh mereka; orang yang peka telinganya pasti bisa mendengar benturan pedang dan teriakan di bawah. Jadi yang mungkin mereka pilih adalah naik ke atas. Tapi kita juga bergerak cepat. Aneh sekali jika kita tak bertemu dengan mereka.” 

Evakuasi bukan urusan mudah, orang akan ragu, bertanya aman atau tidak, ke mana harus pergi. 

Dari sepuluh orang pasti ada dua atau tiga yang bingung. Namun tidak ada seorang pun tersisa di area ini, itu aneh. 

Jadi mengapa? 

Jawabannya sederhana. 

“Kalau aku jadi musuh, aku akan segera mengirim pasukan elit ke ruang takhta dan lakukan itu diam-diam. Dengan kondisi sepi seperti ini, patut diduga pasukan elit musuh sudah lebih dulu sampai ke lantai atas lebih cepat dari kita.” 

“Jadi, ruang takhta juga berbahaya!?” 

“Secara teori mungkin begitu, tapi ruang takhta dijaga oleh kapten kesatria pengawal. Di ruang yang melumpuhkan sihir itu, tak mungkin ahli pedang sekelas kapten bisa dikalahkan begitu saja. Kita bisa menganggap ruang takhta relatif aman.” 

“Kalau begitu kenapa kita harus buru-buru?” 

“Kalau pasukan elit gagal merebut ruang takhta, lawan akan mengirim bala bantuan. Dari posisi kita sekarang, kita akan terjebak di antara mereka.” 

“Benar,” aku menimpali, jawaban Alois tepat. 

Kami harus masuk ke ruang takhta, karena sekarang itu tempat paling aman di istana. Namun musuh juga pasti menekan agar tidak memberi ruang bagi kami. 

Semakin lama, gerak kami akan semakin sempit dan bahkan Alida mungkin tak bisa berbuat banyak. 

“Di sini sepertinya tidak ada musuh. Ayo.”

Setelah Alois memeriksa koridor dengan teliti, kami melangkah maju. 

Kemudian, saat tikungan lain terlihat lagi. 

Sekelompok prajurit berpakaian seragam militer Kekaisaran muncul. 

Mereka tampak terkejut melihat kami sebentar, lalu segera tersenyum sopan dan bersikap ramah. 

“Ada yang masih selamat, rupanya. Syukurlah. Kami dari pihak penolong. Bisa tetap tenang?” 

Seorang prajurit maju, dengan tangan hampir menyentuh pedang mereka. 

Melihat sikap ramah itu, Rupert menarik napas lega. 

Namun aku mencengkram tangan Rupert dan menariknya mendekat.

Inti dari firasatku mengatakan sesuatu ada yang tak beres. 

“Tenang? Tidak mungkin.” 

Sambil mengatakan itu aku menempelkan tangan di punggung, memberi isyarat lewat tanda tangan tangan agar Alois mundur. 

Alois menangkap isyarat tersebut dan pura-pura memberi perintah agar prajurit tenang, lalu mulai mundur. 

Koridor itu satu arah. Mereka berjumlah lima, kami hanya enam. Rupert tidak bisa diandalkan dalam pertempuran, dan aku sendiri tak ingin dihitung sebagai tenaga tempur, dengan demikian kami kurang jumlah. 

Alois mungkin telaten berlatih pedang di istana, tapi tidak bijak untuk berharap berlebihan. 

Waktunya memakai tipuan. 

“Dengan situasi begini, wajar bila kami curiga. Kami juga bingung.” 

“Siapa yang memberi perintah padamu?” 

“Kami bertindak atas perintah kapten kesatria pengawal, Nona Alida. Tugas kami mengumpulkan non-petarung lantai atas ke ruang takhta.” 

“Kapten kesatria pengawal memerintahkan pasukannya?” 

“Kami tidak ikut serta dalam pemberontakan, kami sedang memisahkan diri.”

“Cerita yang terdengar masuk akal tapi tak meyakinkan. Tak ada bukti.”

“Kami minta maaf. Kami hanya berharap kamu bisa percaya.” 

Sambil berkata begitu, mereka perlahan mendekat. 

Kami pun mundur. 

Dengan isyarat lagi, aku memerintahkan agar masuk ke ruangan terdekat dan mulai mengulur waktu. 

“Kalau mau dipercaya, kenapa kalian tidak berhenti saja di sini?” 

“Kami buru-buru. Ada musuh mendekat.” 

“Kalau begitu tunjukkan bukti. Bukti bahwa kalian benar-benar sekutu.” 

“Kami tak punya bukti.” 

“Kalau begitu jawab pertanyaanku. Itu darah di pakaianmu dari mana?” 

Mereka bukan sekadar sikap mencurigakan, ada bercak darah di pakaian mereka. 

“Itu darah dari saat kami diserang, waktu memukul mundur prajurit yang berpihak pada pemberontak.” 

“Cerita yang menarik,” gumamku, lalu menekuk lutut, bersiap berlari. 

Mereka jelas musuh. 

“Apa yang menarik dari itu?” 

“Kalian bilang diserang langsung oleh prajurit pemberontak? Lalu kapten kesatria pengawal akan langsung percaya dan memerintahkan perlindungan non-petarung? Prioritasnya harus menjaga ruang takhta dan melindungi keluarga kekaisaran. Kalau dia memerintahkan kalian, dia pasti menyuruh kalian mengamankan anggota keluarga yang masih muda, bukan memberi perintah samar seperti itu.” 

Mereka tidak bereaksi pada nama Alois atau Rupert, padahal Alida pasti akan memberi tahu secara rinci jika dia memberi perintah. 

Wajah prajurit itu berubah mendadak. 

Pada saat itu, aku menggendong Rupert dan berlari. 

Alois sudah berada di depan kamar, pintunya terbuka. 

Aku menggeser tubuh masuk dan pintu ditutup rapat di belakang kami.

Dari luar terdengar dentuman-dentuman keras di pintu. 

“Bagaimana kamu tahu mereka musuh...?” 

“Bila semua perkataan mereka benar, sikap mereka sudah menjelaskan semuanya. Kita sudah berhati-hati melewati tikungan karena tak tahu di mana musuh bakal muncul. Mereka malah berjalan tanpa memeriksa, itu menunjukkan posisi mereka, bukan yang diburu, melainkan yang berburu.” 

“Secepat itu kamu bisa membaca mereka... Kamu sungguh hebat, Grau.” 

“Kebetulan mereka musuh yang ceroboh. Mereka mungkin pasukan penugasan lain yang ditujukan untuk merebut ruang takhta. Tugas sebenarnya mungkin menangkap orang-orang yang menuju ke ruang takhta.” 

Bahkan bila tidak sampai menangkap semuanya, tugas kami menahan mereka agar pasukan utama mereka tidak bisa berkumpul di ruang takhta. 

Kalau pasukan utama yang ke sana berhasil berkumpul, pasukan kita bisa terjepit dan disergap.

“Aku mengerti, tapi... Sekarang kita juga tidak bisa bergerak.”

“Tak masalah. Pangeran Rupert, sekarang giliranmu. Coba buka laci di meja itu.” 

Rupert melakukan seperti yang kukatakan dan membuka laci meja tersebut. 

Sekilas tampak seperti laci biasa, tapi ternyata bagian dasarnya berlapis dua. 

“Lepaskan papan yang terpasang di bagian bawahnya.”

“Papan? Begini maksudmu?” 

Begitu Rupert melepas lapisan dasar laci itu, sebuah kunci muncul dari dalamnya. 

Aku memintanya untuk membawa kunci itu, lalu menyuruhnya memeriksa lemari di sisi ruangan. 

“Ada lubang kuncinya di situ. Bisa kamu temukan?”

“Uh... Ah, ketemu!” 

Rupert segera memasukkan kunci itu dan memutarnya. 

Seketika, dinding ruangan bergeser sedikit, menampakkan sebuah pintu tersembunyi. 

“Apa ini...?”

“Istana ini penuh dengan ruang dan lorong rahasia yang tidak diketahui banyak orang. Pangeran Arnold memberitahuku tentang itu. Katanya dia sangat paham seluk-beluk istana ini.”

“Aku sama sekali tidak tahu... Tapi ini berarti kita aman!” 

Rupert bersiap menuju pintu tersembunyi itu.

Tapi aku segera menahan dan meletakkan jari di bibirku, tanda agar dia diam. 

Lalu aku memberi isyarat pada para kesatria dan Alois agar segera bersembunyi di dalam ruangan.

Ruangan di dalam istana ini penuh dengan perabotan besar, jadi bahkan orang dewasa pun bisa bersembunyi dengan mudah. 

Aku sendiri menarik Rupert bersembunyi di balik tirai. 

Tidak lama kemudian, pintu kamar didobrak. 

“Di mana mereka!?”

“Tidak ada di sini!?”

“Tunggu! Lihat itu! Ada pintu rahasia! Sedikit terbuka!”

“Pasti mereka masuk dengan tergesa-gesa dan lupa menutupnya! Kejar mereka!!” 

Para prajurit itu berteriak penuh semangat dan bergegas masuk ke dalam pintu rahasia itu satu per satu. 

Begitu semuanya masuk, aku keluar dari balik tirai dan menutup pintu rahasia itu rapat-rapat. 

“Kunci kembali, Pangeran Rupert.”

“Hebat! Kita menjebak mereka! Bagaimana kamu tahu pasti mereka akan masuk ke sana?”

“Manusia cenderung percaya pada apa yang ingin mereka lihat. Jika mereka yakin kita melarikan diri atau bersembunyi, mereka akan mengikuti tanda-tanda yang tampak masuk akal bagi mereka. Tapi bukan hanya itu, aku tidak sekadar mengurung mereka. Aku menjatuhkan mereka ke neraka.”

“Hah?” 

Rupert memiringkan kepala, dan aku menepuk pelan kepalanya. 

“Katanya hampir semua lorong dan ruangan rahasia di istana ini dibuat oleh para kaisar terdahulu. Tentu saja, di sana terpasang banyak jebakan untuk mencegah penyusup. Satu-satunya yang tak akan terkena jebakan itu hanyalah keluarga kekaisaran. Itulah sebabnya aku memintamu yang membuka dan menutup pintu itu.”

“Jadi, orang-orang yang masuk tadi...?”

“Siapa yang tahu. Aku tidak tahu jenis jebakan apa yang ada di sana. Tapi mereka tak akan bisa keluar dalam waktu dekat, dan tidak mungkin ada yang menolong mereka. Entah mereka mati seketika atau sedang sekarat, yang jelas tempat itu adalah neraka bagi mereka.”

Rupert menggigil setelah mendengar penjelasanku.

Mungkin dia baru benar-benar merasakan kematian seseorang. 

“Aku tidak akan menyuruhmu untuk tidak memikirkannya. Tapi ingatlah ini, selama nyawamu terancam, kamu punya hak untuk melawan dengan sekuat tenaga. Kita hanya menggunakan hak itu. Dan juga ingatlah, siapa pun yang membunuh harus siap dibalas dengan nyawa. Musuh pun punya hak yang sama.” 

Rupert mendengarkan dengan saksama, lalu mengangguk perlahan.

Itu pelajaran yang terlalu berat bagi anak sepuluh tahun.

Tapi keadaan saat ini tidak memberi ruang untuk memperlakukannya seperti anak-anak lagi. 

“Ayo pergi. Ruang takhta tinggal sedikit lagi.”


Bagian 3

Begitu kami keluar dari ruangan, kami sempat berjalan tanpa hambatan untuk beberapa waktu.

Namun, di tangga yang merupakan satu-satunya jalur menuju ruang takhta, kami akhirnya menemui rintangan. 

“Sudah kuduga kalian akan lewat sini.” 

Seorang pria bertubuh pendek duduk di anak tangga, dengan sebuah pisau kecil di tangannya, jenis pisau yang biasa digunakan oleh para pembunuh bayaran. 

“Kamu bukan prajurit, kan?”

“Mana ada prajurit seperti aku.” 

Pria itu tertawa kecil sambil berdiri, lalu menatap ke arah Rupert yang bersembunyi di belakangku, kemudian mengangguk beberapa kali. 

“Wajahnya manja, pakaiannya bagus. Pasti pangeran bungsu, ya?”

“Lalu bagaimana kalau iya?”

“Sayang sekali, tebakanku meleset. Anak dari selir asal Kekaisaran Suci rupanya tak punya nilai sandera tinggi. Tapi yah, nanti yang lain juga bakal datang.” 

“Berani sekali kamu!” 

Salah satu kesatria di sisiku, murka oleh sikapnya yang menghina, hendak maju menyerang. Namun Alois segera menahan bahunya. Dia tampaknya sudah menyadari kalau pria itu bukan lawan biasa. 

“Masih banyak kesatria di lantai menengah istana ini. Untuk bisa sampai ke sini tanpa setetes darah pun di tubuhmu, jelas kamu bukan orang sembarangan. Apa kamu orang yang cukup populer?”

“Anak muda, kamu cukup tajam juga. Tak heran bisa jadi pengawal pangeran. Namaku Asher, orang memanggilku Pedang Ilusi. Di kalangan pembunuh bayaran, mungkin kamu pernah dengar namaku.” 

Nama itu memang tidak asing. Seorang pembunuh terkenal yang dikenal sebagai pengguna ilusi hebat, mampu menembus penjagaan paling ketat seolah-olah tak ada halangan sama sekali. 

“Jadi kamu sekarang bekerja untuk Putri Zandra?”

“Disewa, tepatnya. Sama seperti kamu, bukan? Kamu kan si Grau, sang ahli strategi kelana, penasihat militer dari Count Zimmel yang konon berhasil menahan sepuluh ribu pasukan Kekaisaran. Kudengar kamu mungkin ada di pihak musuh, tapi tak kusangka benar-benar muncul di sini.” 

“Kalau kamu cerdas, kamu tahu kamu hanya sedang diperalat. Begitu pemberontakan ini selesai, mereka akan mengirimmu untuk membunuh Pangeran Gordon berikutnya. Sekali terjebak di lingkaran itu, kamu takkan bisa keluar. Seharusnya pembunuh sepertimu tahu mana majikan yang berbahaya.”

“Selama bayarannya bagus, berarti majikanku juga bagus. Kalau keadaan berbalik, aku tinggal kabur. Tak ada yang bisa menangkapku, sama seperti tak ada yang bisa lari dariku!” 

Dia terus mengobrol karena sedang mempersiapkan sesuatu.

Asher mengangkat tangannya, mengarahkannya padaku. Seketika, puluhan pisau muncul melayang di sekeliling tubuhnya, semuanya ilusi. Tapi bila tak bisa membedakan mana nyata dan mana tidak, maka satu pisau sungguhan di antara ilusi itu sudah cukup mematikan. 

“Mampu kah kamu menghindari seribu pisau ini?” 

Asher melontarkan kata-katanya, lalu siap melempar. Namun pada saat yang sama... 

Aku menghentakkan kaki kananku ke lantai. Tepat seketika itu, ekspresi Asher berubah drastis. 

“Apa!? Ilusi!? Tidak, ini balikan ilusi!?” 

Ilusi yang dia ciptakan sendiri, kini berbalik menyerangnya. Dari sudut pandangnya, kami semua tampak berlipat ganda menjadi puluhan orang. 

Mengembalikan ilusi kepada penciptanya seperti itu hanya mungkin dilakukan bila perbedaan kemampuan sangat jauh.

Mereka yang mengenal Grau tahu aku seorang ahli strategi, bukan petarung. Tapi tak seorang pun tahu bahwa di balik nama itu, akulah Silver. 

Karena itulah mereka selalu meremehkanku, walau bisa menggunakan sihir, Grau hanyalah ahli strategi. Dan itu menjadi kesalahan fatal mereka. 

“Keparat!” 

Asher melemparkan pisau ke arah tempat kami berdiri tadi, tapi kami sudah tak ada di sana. 

Dalam kebingungannya, para kesatria segera menebasnya tanpa ampun. Biasanya, pengguna ilusi masih bisa membatalkan sihirnya sendiri. Tapi kali ini, karena ilusi itu dikembalikan dengan kekuatan jauh di atasnya, dia tak punya kesempatan.

Dia mati dengan caranya sendiri, terperangkap dalam tipu daya yang dia ciptakan. Akhir yang menyedihkan. 

“Bukan kebiasaan yang baik meninggalkan rekanmu mati begitu saja.”

“Rekan? Tidak, kamu salah paham. Kami hanya disewa oleh orang yang sama. Sesama pembunuh bayaran bukan berarti kami sekutu.”

Seorang pria berkulit pucat berjalan keluar dari balik pilar sambil menunduk hormat.

Sungguh merepotkan, satu lawan baru lagi. Untungnya, mereka tampaknya tak berniat bertarung bersama. 

“Siapa kamu?”

“Marius. Orang-orang memanggilku Kilat.”

“Ah, Si Kilat Marius... Dua tahun lalu, kalau tak salah, kamu yang membunuh seorang perwira pasukan penjaga perbatasan timur Kekaisaran saat latihan, bukan?”

“Benar. Pengalaman yang cukup seru. Aku dikejar selama tiga hari tiga malam setelahnya.” 

Menyerang pasukan Kakak Lize, saat latihan dan berhasil lolos? Itu gila.

Walau kemungkinan besar waktu itu pasukannya terpisah dari induk pasukan, tetap saja, kalau sampai Kakak Lize sendiri yang memimpin pengejaran, tiga malam pasti tak cukup untuk menyelamatkan diri. 

Namun, keberanian sekaligus keahliannya tidak bisa diabaikan. Marius adalah profesional sejati, pembunuh yang selalu menuntaskan pekerjaannya, seberbahaya apa pun itu. 

“Putri Zandra memerintahkanku untuk membawa sandera. Jadi kalau bisa, sebaiknya kalian menyerah saja.”

“Tadi aku sudah bilang pada orang yang tergeletak di sana, kamu hanya akan diperalat lalu dibuang.”

“Itu sudah risiko pekerjaan kami. Tapi kalau aku bisa menunjukkan nilai yang cukup besar, aku takkan sekadar dipakai. Aku bisa naik derajat.”

“Jadi kamu mengincar posisi tangan kanan Putri Zandra? Impian yang bodoh.”

“Lebih baik daripada bergantung pada Pangeran Gordon. Jika pemberontakan ini berhasil, dia akan sibuk berperang. Sedangkan Putri Zandra masih dibutuhkan oleh kerajaan sekutu. Mereka takkan menyingkirkannya dulu. Jadi persekutuan itu akan bertahan untuk sementara. Siapa yang memegang kendali, siapa yang jadi pion, bahkan anak kecil pun tahu jawabannya.”

“Pandai bicara, tapi bahkan anak kecil pun tahu pemberontakan ini tak mungkin berhasil.”

“Hidup kadang menuntut kita untuk berjudi.” 

Marius menarik pedangnya, bilah ramping yang dirancang khusus untuk menusuk, bukan menebas.

Julukan “Kilat” jelas menunjukkan gaya bertarungnya, kecepatan mematikan. 

Penghalang sihir akan jadi pertahanan paling aman, tapi aku tak bisa menggunakannya tanpa mengungkap jati diriku. Itu akan jadi senjata terakhirku. 

“Alois, fokus.”

“Baik.” 

Alois menajamkan pandangan, menunggu gerakan musuh. Begitu pedangnya terhunus, Marius sudah tahu kami takkan menyerah. Dia hanya butuh satu sandera, Rupert. Sisanya dianggap tidak perlu hidup. 

Alois menyiapkan pedangnya, mengatur napas perlahan.

Lalu, dalam sekejap, tubuh Marius condong ke depan, dan kilatan cahaya membungkus dirinya. 

Dipercepat oleh sihir. Bukan jenis penguatan tubuh, melainkan sihir percepatan. Dia memaksa tubuhnya melaju lurus ke satu arah dengan kecepatan luar biasa. 

Benar-benar seperti kilat. Dalam sekejap pedangnya sudah mengarah ke Alois. Tapi aku sempat menarik sedikit tubuh Alois ke belakang, membuat pedang mereka beradu keras di udara. 

Dalam sepersekian detik itu, Marius sudah berada di belakang kami. 

“Tidak buruk.”

“Itu cuma kebetulan. Aku takkan bisa menahannya dua kali.”

“Satu kali saja sudah hebat untuk menahanku.” 

Dari gerakannya, jelas dia tak bisa mengendalikan percepatannya dengan bebas.

Bagi seorang pembunuh, satu momen kilat seperti itu cukup untuk menentukan segalanya.

Serangan mendadak memang efektif, tapi kalau sudah saling berhadapan begini, efeknya jadi berkurang setengah. 

“Kesempatan berikutnya tidak akan ada.” 

“Benarkah begitu?” 

Aku sengaja menantangnya dengan kata-kata itu, mencoba menarik perhatianku. Marius pun terpancing dan menatap ke arahku. 

Dalam sekejap, dia melesat ke depan dan berusaha menusukkan pedangnya tepat ke dadaku. Namun, aku menangkisnya dengan telapak tangan kananku. 

“Apa!?” 

Aku sudah menyiapkan penghalang sihir di telapak tanganku, jadi tusukannya tidak menembus. 

Serangan menusuk dengan kecepatan tinggi itu memang kuat, tapi kalau sudah tahu triknya, arah serangan pun bisa terbaca. 

Karena teknik itu adalah serangan satu pukulan mematikan, tujuannya pasti hanya tiga: kepala, tenggorokan, atau jantung. Bagian vital yang bisa langsung membunuh. 

Tak jauh dari sini, Kapten Ksatria Pengawal masih berjaga di ruang takhta. Jika situasi berubah dan dia turun ke sini, Marius akan berada dalam posisi sulit. Karena itu dia tak punya banyak waktu. Justru karena terburu-buru, gerakannya jadi mudah ditebak. 

Dan kalau sudah tahu arah serangannya, menangkisnya bukan hal yang mustahil. 

Marius sempat kehilangan momentum, dan saat itu Alois serta para kesatria langsung mengayunkan pedang mereka. Tapi Marius berkelit dengan gerakan lincah, lalu melompat mundur, mengambil jarak. 

Situasi pun kembali ke titik awal. Tapi kali ini aku sadar, menyerangnya secara langsung akan sangat sulit. 

Hanya aku yang bisa membaca gerakannya. Kalau dia menyerang orang lain, akan sulit sekali melindungi semuanya. 

Dengan kondisi seperti ini, kami harus mengubah situasi. 

Lorong panjang ini memberinya keuntungan, ruang yang cukup untuk mempercepat gerak. Sebaliknya, pilihan kami terbatas. 

Kalau begitu, hanya ada satu langkah yang bisa diambil. 

“Semua, lari!” 

Atas aba-abaku, Alois dan para kesatria berlari menuju tikungan di ujung lorong. Untuk mencapai ruang takhta, kami harus naik tangga, tapi selama Marius menunggu di sana, itu tak mungkin. 

Kalau begitu, kami harus bergerak. Teknik Marius paling efektif di jalur lurus; di tempat yang banyak tikungan, kecepatannya tak akan banyak berguna. 

Namun Marius bukan orang bodoh. Dia langsung bersiap mengejar sebelum kami sempat masuk ke tikungan. 

Tapi sebelum dia bergerak, sesuatu melesat melewati sisi Alois. 

“Eh...?” 

Kami menoleh, dan melihat sebuah lubang kecil menembus dinding. Kalau Alois bergerak sedikit lagi, lubang itu pasti ada di kepalanya. 

Aku menatap ke arah Marius, tapi di belakangnya ada seorang pria berambut putih berdiri di sana. 

“Bisa tolong jangan ganggu? Peluru Es.” 

“Siapa cepat dia dapat. Target ini milikku. Menyingkirlah.” 

“Aku tak bisa membiarkan itu.” 

“Kalau begitu, kita lihat siapa yang lebih dulu.” 

Keduanya lalu berlari mengejar kami. Aku menoleh dan berteriak pada Alois yang sempat terpaku. 

“Cepat lari! Jangan berhenti!” 

“Y-Ya!” 

Alois dan para kesatria berlari sambil melindungi Rupert. Tapi sekarang kami menghadapi dua pembunuh berpengalaman. Satu saja sudah menyulitkan, dua membuatnya nyaris mustahil. 

Dan pria berambut putih itu bukan sembarangan. 

“Ada pembunuh lain...” 

“Jangan samakan mereka. Kalau telingaku tak salah, dia menyebut dirinya Peluru Es. Pembunuh legendaris yang terkenal tak pernah gagal dalam satu pun misinya. Seratus tembakan, seratus hasil. Tanpa ragu dia adalah pembunuh terkuat.” 

Sebas bilang metodenya sederhana, tapi efektif. Dia menciptakan peluru es dengan sihir, lalu menembakkannya. Peluru itu bertahan lama danpunya daya tembus luar biasa.

Dikatakan pelurunya bisa diarahkan sesuka hati dari jarak jauh. 

Dan karena es itu akhirnya akan mencair, bukti kejahatannya pun lenyap.

Setiap kali ada korban Peluru Es, satu-satunya alasan orang bisa tahu pelakunya hanyalah karena, tidak ada yang lain yang mungkin bisa melakukannya. 

Sekarang, orang itu mengejar kami dari belakang. Benar-benar situasi tanpa jalan keluar. 

“Grau...” 

Alois menatapku cemas. Aku memang punya cara untuk menghadapi ini. Diriku sendiri. 

Tapi itu adalah kekuatan yang seharusnya tidak kugunakan sembarangan. Lagipula, penyamaranku sebagai Grau akan sia-sia kalau aku melakukannya. 

Benar-benar dilema. 

“Masuk ke ruangan itu!” 

Aku memberi perintah, dan mereka segera masuk ke dalam salah satu kamar. Aku menutup pintu dan menyekaknya dengan meja. Setidaknya, itu bisa menahan mereka sebentar. 

“G-Grau! Cepat, cari jalan!” 

“Tidak ada jalan keluar dari sini.” 

“Apa!? Lalu kenapa kita masuk ke sini!?” 

Rupert menatapku tak percaya. Memang, kalau tidak ada jalan keluar, kami seperti tikus yang terjebak di sudut. 

“Kita menunggu bantuan dari Kapten Kesatria Pengawal?” 

“Bukan ide buruk, tapi lawan kita terlalu berbahaya. Mereka pasti kewalahan juga. Saat bantuan datang, kita mungkin sudah tertangkap.” 

Raut wajah Rupert memucat ketakutan. Para kesatria pun terlihat tegang, seolah berpikir aku hanya berusaha menenangkan mereka. Tapi Alois berbeda. 

“Jadi kamu punya rencana lain?” 

“Ada dua, tepatnya. Semoga rencana pertama berhasil, supaya aku tak perlu memakai yang kedua.” 

Rencana kedua tentu saja, menggunakan kekuatanku sebagai Silver. Tapi jika dugaanku benar, aku tak akan perlu melakukannya. 

Saat kami berbicara, pintu ruangan tiba-tiba hancur seketika. Sosok yang muncul di baliknya adalah Roa si Peluru Es. 

“Haruskah aku berterima kasih padamu, sang ahli strategi kelana?” 

“Mungkin saja.” 

“K-Ke mana rekanmu tadi...?” 

“Dia bukan rekanku.” 

Dia melirik ke arah lorong. Di sana mungkin sudah tergeletak tubuh Marius. Rupert pun meringis, jijik sekaligus ngeri. 

“Membunuh rekan sendiri...” 

“Aku bilang, dia bukan rekanku.” 

“Jangan-jangan kamu menyerangnya dari belakang demi mangsa!? Rendah sekali!” 

“Benar, aku menyerang dari belakang. Itu cara paling mudah. Dia terlalu sibuk mencoba menjebol pintu ini.” 

Sikap dingin Roa membuat Rupert naik pitam, tapi aku mengangkat tangan, menyuruhnya tenang. Semua berjalan sesuai perkiraanku. 

“Grau! Cepat, kalahkan dia!” 

“Tak perlu. Dia di pihak kita.” 

“Apa!? Bagaimana bisa kamu yakin!?” 

“Aku juga ingin tahu. Apa yang membuatmu berpikir begitu?” 

“Kalau dia bukan sekutu, dia tak perlu menahan tembakannya tadi. Jelas dia tak ingin kita mati.” 

Benar. Saat menembak tadi, jarak antara Roa dan Alois sangat dekat. Kalau dia mau, peluru itu bisa menembus kepala Alois tanpa meleset sedikit pun. Tapi peluru itu sengaja melenceng. Itulah sebabnya aku tidak membentuk penghalang, karena aku tahu dia tidak berniat mengenai kami. 

“Kurasa aku terlalu mudah dibaca. Kamu benar, aku memang sekutu kalian.” 

“Siapa yang menyewamu?” 

“Kanselir. Dia tahu akan berbahaya bila aku berpihak pada musuh. Jadi dia menawar dengan harga yang layak.” 

“Seperti yang kuduga. Kanselir memang bijak. Jadi, kamu akan melindungi kami sekarang?” 

Roa menggeleng pelan. Tak mengejutkan. 

“Aku pembunuh, bukan pengawal. Itu bukan keahlianku. Aku akan keluar dari istana, membuat kekacauan di pihak pemberontak. Kanselir memberiku kebebasan untuk bertindak sesuka hati.” 

“Begitu. Kamu sudah cukup banyak membantu. Tapi, benarkah hanya karena uang kamu memihak Kekaisaran?” 

Roa dikenal sebagai pembunuh paling dicari. Dia bisa saja memilih netral, tidak ikut campur dalam perebutan kekuasaan di kekaisaran ini. Lagipula, bagi seorang pembunuh, memperlihatkan diri di tempat seperti ini sama saja bunuh diri. 

Pasti ada alasan lain dia bertindak, itu sebabnya aku menanyakannya. 

Roa menatapku tenang, lalu berkata tanpa mengubah ekspresinya, “Waktu aku masih pemula, aku pernah diselamatkan oleh Dewa Kematian. Aku datang ke sini untuk membayar utang itu. Kalau bisa, aku ingin melunasinya langsung... Tapi sepertinya tak mungkin. Jadi, dengan membantu Kekaisaran yang dia lindungi, aku anggap utangku lunas. Hanya itu.” 

Selesai berkata begitu, sosoknya menghilang seketika. Lenyap tanpa jejak, seperti Sebas. 

Berbahaya juga. Kalau bukan karena langkah antisipatif Kanselir, aku pasti sudah terpaksa mengeluarkan kartu pamungkasku. 

Sekarang aku tahu, Kanselir memang sudah memperhitungkan skenario terburuk dan menindaknya. Tapi tampaknya, semua ini masih sebatas dugaan. Dia bertindak tidak dengan bukti nyata.

Karena itu, langkah yang disiapkan Kanselir pasti sebatas yang paling minimum. Tapi karena itu minimum versi Kanselir, aku yakin satu hal yang pasti tak akan dia lupakan untuk memastikan Ayahanda melarikan diri dari ibu kota. 

Namun, sebaliknya, itu juga berarti dia tak bisa berbuat banyak selain itu. Ada kemungkinan ibu kota jatuh ke tangan Gordon dan Zandra, dan mungkin juga dia tak mampu melindungi siapa pun selain sang Kaisar. 

Sebagai Kanselir, prioritas utamanya adalah Kaisar. Demi keselamatan Kaisar, dia tak akan ragu mengorbankan keluarga kekaisaran lainnya. Itulah tugas Kanselir, menomorsatukan kepentingan negara di atas segalanya. Karena dia mampu mengambil keputusan seperti itu, dia bisa terus memegang jabatan itu selama ini. 

Karena itu, Ayahanda aman di tangannya. Aku tak perlu mencemaskan hal itu. Yang harus kulakukan sekarang hanyalah melindungi yang lain. 

“Ayo, kita pergi. Kalau kita sampai ke ruang takhta, untuk sementara kita akan aman.” 

Mengatakan itu, aku pun memimpin Alois dan yang lainnya menaiki tangga.


Bagian 4

Jarang sekali aku berpikir seseorang itu benar-benar berbahaya dalam hal kekuatan.

Paling hanya segelintir pengecualian, seperti para petualang peringkat SS, Elna, dan orang-orang terkuat di benua ini. Atau, mungkin, monster-monster yang sudah melampaui batas manusia. 

Namun kali ini, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku benar-benar merasa seseorang berbahaya.

Begitu hebatnya kekuatan Alida yang bertarung di depan pintu ruang takhta. Dia berperang seolah ingin mengatakan bahwa musuh bahkan tak pantas melangkah masuk ke dalam ruangan itu. 

Pasukan yang menyerbu menuju ruang takhta adalah pasukan elit.

Ada lebih dari seratus prajurit. Namun hampir semuanya sudah tergeletak tak bernyawa di depan pintu.

Mereka tewas di tangan Alida. 

“Ugh! Semua pasukan, bersiap untuk serangan penuh! Kita terobos sekaligus!!”

Teriak pria yang tampaknya adalah komandan. 

Tapi bahkan komandan itu sudah kehilangan satu lengannya.

Atau mungkin lebih tepatnya, dia masih beruntung karena hanya kehilangan satu lengan. 

Yang tersisa tak sampai sepuluh orang, dan tak satu pun di antara mereka yang masih utuh tanpa luka.

Mereka hanya para prajurit yang kebetulan lolos dari tebasan Alida. Meski begitu, dalam keputusasaan, mereka nekat menyerbu serentak, mencoba menembus pertahanannya. 

Pintu ruang takhta memang besar, tapi tak mungkin sepuluh orang dewasa menerobos sekaligus.

Akhirnya mereka terbagi, sebagian di depan, sebagian di belakang.

Saat itu mereka jatuh tepat ke dalam jebakan yang dirancang Alida. 

Suara logam beradu menggema.

Gesit. Kata itu cocok untuk menggambarkannya.

Alida menebas satu per satu prajurit yang menyerbu. 

Hanya komandan itu saja yang masih hidup. 

“Tidak mungkin... Pasukanku yang sudah terlatih...”

“Kalau pasukan terlatih sepertimu saja bisa menandingi kesatria pengawal, Paduka Kaisar tak akan repot-repot mengandalkan kami.” 

“Kenapa!? Kenapa kamu yang sekuat itu tetap tunduk pada Kaisar!? Kamu tidak membencinya!? Dia membunuh adikmu sendiri!!” 

Sebuah teriakan putus asa.

Namun kata-katanya tepat menusuk titik lemah Alida. 

Alida memang memiliki alasan untuk membenci keluarga kekaisaran.

Aku pun sempat mengkhawatirkannya, karena aku sendiri terlibat langsung dalam peristiwa itu. 

Tapi... 

“Adikku hanya menanggung akibat dari perbuatannya sendiri. Itu bukan kesalahan Paduka. Kalau ada yang patut disalahkan, salah itu jatuh pada kami sebagai keluarganya, karena gagal mengajarkan kerasnya dunia kepadanya. Kami justru menyesal telah merepotkan Paduka dengan segala ulahnya.” 

“Bukankah keluargamu penting bagimu!?”

“Tentu saja penting. Tapi sejak aku diangkat menjadi Komandan dan menghabiskan waktu di sisi Paduka, aku tahu betapa ayahku, teman lama beliau, berjuang demi kekaisaran ini. Aku melihatnya sendiri. Setiap hari, tanpa tidur, beliau menandatangani tumpukan dokumen dari seluruh penjuru negeri, berusaha keras untuk rakyat. Sementara adikku, dia hanya menikmati nama keluarga, bertingkah semaunya, dan mempermalukan kami. Masih perlu dijelaskan lagi, di pihak siapa aku berdiri?” 

Begitu kata Alida, pedangnya berayun, dan kepala sang komandan terpisah dari tubuhnya. 

Kemudian dia menoleh ke arah kami, yang sejak tadi mengintip dari balik tikungan. 

“Senang melihat Anda selamat, Pangeran Rupert.” 

Melihat Rupert bersembunyi di belakangku dan hanya menampilkan wajahnya, Alida tersenyum lembut.

Namun Rupelt justru ragu. 

Tak heran, di sekitar Alida, mayat menumpuk tinggi dan darah menggenang di lantai. 

Menyadari hal itu, Alida memohon maaf, lalu mengibaskan tangan. Angin berputar, dan semua mayat serta genangan darah tersapu ke tepi lorong. 

“Sekarang sedikit lebih bersih, bukan? Silakan ke sini, Yang Mulia.”

“Ah, oke...”

“Yang melindungi Yang Mulia adalah Count Zimmel, bukan? Saya berterima kasih.”

“Tidak, saya hanya menjalankan perintah. Kami sampai sejauh ini berkat bantuan penasihat Grau dan arahan Pangeran Arnold.” 

Alois menunduk sopan. Namun wajahnya tampak tegang, mungkin dia baru sadar telah salah ucap. 

Dia pikir suatu kesalahan karena menyebut namaku.

Bagaimanapun juga, Alida seharusnya tidak menyukaiku ataupun Leo, yang terlibat dalam kematian adiknya. 

Namun tanggapan Alida sungguh di luar dugaan. 

“Begitu, jadi Pangeran Arnold yang bergerak. Dan kamu yang membiarkan mereka masuk ke istana, Tuan Grau, si penasihat yang berhasil memukul mundur sepuluh ribu pasukan Kekaisaran?”

“Benar. Meski tanpa diminta pun, aku tetap berniat menolong Alois.”

“...Melihat keadaan sekarang, aku rasa ini bukan waktu yang tepat untuk mempertanyakan asal-usulmu.”

“Itu sangat membantu.”

“Kalau saja kamu tidak menyembunyikan wajah dengan sihir ilusi, mungkin aku tak akan curiga.”

“Kamu ingin aku menampakkan wajahku? Setelah memusuhi pasukan Kekaisaran, ini sudah langkah pencegahan paling lunak yang bisa kulakukan.” 

Mendengar jawabanku, Alida hanya mengangguk pelan.

Dia tampak menerima, tanpa niat melanjutkan pertanyaan. 

Kemudian dia mempersilakan Rupert dan yang lain masuk ke ruang takhta.

Namun aku tetap berdiri di tempatku. 

“Grau? Kamu tidak ikut?”

Melihatku tidak bergerak, Rupert menoleh dengan bingung.

Aku mengangguk. 

“Masih ada urusan yang harus kuselesaikan.”

“T-Tapi... Di bawah sana pasti sudah penuh dengan pasukan musuh, kan? Kamu sendiri yang bilang begitu!”

“Benar. Musuh memang banyak. Tetap di sini memang lebih aman. Tapi masih ada orang-orang di luar sana yang membutuhkan bantuan. Pangeran Arnold berniat mengevakuasi semua orang yang bisa dijadikan sandera ke luar istana. Rencana yang bagus, tapi dia tak bisa melakukannya sendirian.” 

“Grau...”

Rupert menatapku penuh kekhawatiran.

Ada rasa takut dan bimbang di matanya. Tapi setelah menarik napas panjang, dia berkata dengan suara tegas, 

“...Di istana ini masih ada Kakak Arnold dan Kakak Christa juga. Tolong... Bisa kamu lindungi mereka?”

“Baiklah.” 

Mendengar jawabanku, wajah Rupert langsung bersinar.

Dalam waktu sesingkat ini, dia telah tumbuh dewasa. Bukan hanya memikirkan dirinya sendiri, tapi juga Christa.

Aku tidak bisa bilang ini cara yang baik untuk tumbuh, tapi tetap saja, perkembangan adikku membuatku bangga. 

“Alois, aku serahkan Pangeran Rupert padamu.”

“Baik. Hati-hati, Grau.”

“Kamu juga. Kalau begitu, Komandan Kesatria, aku undur diri.”

“Apa perlu aku kirim salah satu anak buahku bersamamu?” 

Mendengar tawaran Alida, aku hanya tersenyum tipis.

Itu bukan tawaran bantuan, melainkan pengawasan, sudah jelas. 

Jadi aku menggeleng pelan.

“Aku menolak. Kalau anak buahmu ikut, justru akan menarik perhatian.”

“Dengan penampilanmu yang mencolok begitu, kurasa tetap akan menarik perhatian, bukan?”

“Aku sudah memikirkannya. Tak perlu khawatir.” 

Mendengar jawabanku, Alida tak mengatakan apa pun lagi.

Mungkin dia sadar tak ada gunanya memaksa menempelkan anak buahnya padaku.

Lagi pula, dia sendiri pasti tak punya banyak tenaga cadangan untuk dikirimkan. 

“Sebagai Komandan, aku merasa malu harus meminta hal seperti ini, tapi tolong lindungi keluarga kekaisaran. Aku tidak bisa meninggalkan tempat ini.”

“Tak perlu kamu minta pun, aku memang berniat melakukannya. Sebagai seseorang yang hidup di medan perang, aku muak dengan pengkhianatan. Di dunia perang, pengkhianat adalah makhluk paling hina. Dan aku tak bisa diam melihat orang-orang yang berpikir mereka bisa mencapai kesuksesan dengan menusuk dari belakang. Mereka perlu diingatkan betapa mengerikannya akhir dari seorang pengkhianat.” 

Setelah mengatakan itu, aku meninggalkan ruang takhta. 

Sesaat kemudian, aku mengaktifkan sihir deteksi untuk memeriksa keadaan sekitar. Yang terdekat adalah Christa dan Kakak Trau.

Tampaknya mereka gagal bergabung dengan para pengawal pribadi Kakak Sulung, tapi untuk saat ini, mereka masih selamat.

Pasukan Kekaisaran belum menyadari keberadaan mereka di dalam ruangan itu.

Lebih tepatnya, mereka bahkan belum tahu ada ruangan di sana. 

“Ironis juga, ya. Di saat militer kekaisaran berkhianat, anak-anak yang baru saling kenal beberapa hari malah saling melindungi.” 

Di sisi Christa, ada perwakilan penting bangsa elf, Wendy.

Sepertinya Christa sendiri yang membebaskannya dari kamar. Karena itu, rencana mereka jadi berubah, dan mereka gagal bertemu dengan pengawal Kakak Sulung.

Meski begitu, Wendy menggunakan sihir ilusi untuk mengelabui mata pasukan kekaisaran.

Sepertinya mereka masih bisa bertahan sampai aku tiba di sana. 

Yang membuatku khawatir hanya satu hal. 

“Semoga Kakak Trau baik-baik saja... Secara mental, maksudku.” 

Di dekat Christa juga ada Rita.

Bagi Kakak Trau, itu pasti situasi yang bak surga.

Mudah-mudahan dia tidak sampai pingsan karena terlalu senang. 

Ya, dia memang begiu, tapi tetap orang yang bisa diandalkan. Dalam situasi genting begini, aku yakin dia tidak akan bertingkah bodoh. Setidaknya aku ingin percaya begitu. 

“...Baiklah, aku harus cepat.” 

Aku berbisik pelan, lalu membuka gerbang teleportasi.


Bagian 5

Aku berpindah ke sebuah ruangan yang sedikit berjauhan dari tempat Christa dan yang lainnya berada. Di sana aku menghapus ilusi dan kembali ke wujud asliku sebagai Arnold. 

Tanpa membuang waktu, aku segera membuka jalan rahasia yang terhubung ke ruangan tempat Christa dan yang lain bersembunyi. 

Aku berlari menyusuri lorong itu, dan keluar dari sebuah lemari pakaian besar di dalam kamar mereka. 

Namun...

“Duhuhuhuh... Tiga gadis kecil... Satu gadis mungil yang lembut, satu gadis penuh semangat, dan satu lagi loli berkilau! Indahnya! Mulia sekali! Dengan ini saja, aku merasa bisa menaklukkan dunia!” 

Dari celah lemari, seorang pria mesum sedang mengintip ke arah Christa dan yang lain sambil berbisik-bisik aneh. 

Entah kenapa, dia juga sedang melakukan push-up. 

Napasnya terengah-engah, entah karena kelelahan, atau karena hal lain yang jauh lebih mencurigakan. 

Merasa jijik, aku langsung menginjaknya. 

“Hei, apa yang kamu lakukan dalam situasi seperti ini?” 

“Hoheh!? S-Suara itu, Arnold!? Bagaimana bisa kamu menginjak kakakmu sendiri di tengah keadaan darurat begini!? Kakak tak pernah membesarkanmu jadi anak seperti ini!” 

“Aku juga tak pernah merasa dibesarkan olehmu. Lagipula, Kakak Trau, aku menginjakmu justru karena ini keadaan darurat. Karena sekarang, sepertinya dari keluarga kita sendiri ada yang hampir jadi penjahat.” 

“Betul sekali! Gordon sedang memberontak! Kita harus menghentikannya!” 

“Bukan cuma Gordon, Kakak juga termasuk.” 

“A-Aku juga!? Tak masuk akal! Di mana bagian dari diriku yang bisa disebut kriminal, hah!?” 

Kakak Trau berteriak seolah benar-benar tersinggung. Tapi aku tak kalah sengit menanggapinya. 

“Semuanya! Dari ujung rambut sampai ujung kaki, seluruhnya menguarkan aura kriminal!” 

“Penolakan total!? Memangnya aku berbuat apa!? Apa memandangi gadis kecil sekarang termasuk kejahatan!?” 

“Itu sudah di ambang batas! Dan lagi, kamu ngos-ngosan waktu melakukannya!” 

“Itu karena aku sedang push-up!” 

“Kenapa harus push-up di dalam lemari!?” 

“Agar kalau terjadi sesuatu, aku siap melindungi para gadis kecil itu! Soalnya waktu kucoba menghunus pedang tadi terasa berat!” 

“Jadi kamu baru sekarang latihan!? Sudah terlambat!” 

“Tak ada kata terlambat untuk mulai berlatih!” 

Sambil berkata begitu, Kakak Trau kembali melakukan push-up.

Aku yakin itu cuma bikin capek tanpa hasil. Dalam waktu sesingkat itu, mana mungkin otot bisa tumbuh. 

Saat aku memikirkan hal itu, pintu lemari tiba-tiba terbuka.

Yang membukanya adalah Christa. 

“Kakak Trau, berisik.” 

“M-Maaf, Nona Christa... T-Tapi ini semua gara-gara Arnold yang...”

“Jangan salahkan orang lain. Kalau Kakak berisik, Wendy jadi takut. Jadi tolong diam.” 

“Baik... Maaf, Nona Christa... Ah, tapi aku berhasil berbicara denganmu, Nona Christa! Fufun! Cemburu, ya, Arnold!?” 

Hubungan kekuasaan di sini tampak jelas sekali.

Aku menatap Kakak Trau dengan belas kasihan sebelum Christa menarik lenganku. 

“Kakak Al, selamat datang... Sini, ke sini.”


“K-Kalau begitu, aku juga...”

“Kakak Trau tetap di situ. Wendy bisa takut kalau Kakak ikut.” 

“Oke...”

Kakak Trau menutup pintu lemari dengan patuh.

Kalau sampai dilarang mendekat sejauh itu, berarti dia memang sudah melakukan sesuatu yang tidak pantas. 

Sambil memikirkan hal itu, aku mengikuti Christa ke tengah ruangan.

Di sana, Wendy dan Rita sedang duduk santai menikmati teh dan kue, seperti sedang mengadakan pesta kecil. 

“Kakak Al! Selamat datang!” 

“Syukurlah Anda selamat, Yang Mulia.” 

Rita menyapaku dengan ceria seperti biasa, sementara Wendy hanya menundukkan kepala dengan sopan. 

Bagaimana ya, suasana mereka terasa tenang sekali...

Benar-benar berbeda dibandingkan dengan Rupert. 

Yah, wajar saja. Ketiganya sudah mengalami banyak hal.

Christa dan Rita pernah menghadapi ancaman maut, sedangkan Wendy baru-baru ini saja terpaksa hidup bersama para elf gelap.

Dibandingkan dengan apa yang pernah mereka alami sebelumnya, situasi kali ini masih bisa dibilang cukup ringan. 

“Syukurlah kalian bertiga selamat. Christa, kamu yang menolong Nona Wendy, ya?”

“Iya... Kalau terus berdiam di kamar, kami pasti tertangkap.”

“Maafkan saya... Karena saya, rencana kalian jadi berantakan...”

“Tak apa. Justru berkat Wendy yang menyembunyikan kita dengan sihir ilusinya, kita semua bisa selamat.” 

Christa berkata begitu sambil menatap Wendy dengan senyum tipis.

Bagi Christa yang biasanya nyaris tanpa ekspresi.

Ini merupakan perubahan kecil, tapi menunjukkan betapa pentingnya Wendy baginya.

Mungkin hubungan mereka mirip seperti aku dan Fine, dua orang yang saling berbagi rahasia. 

“Kakak, bagaimana keadaan di dalam istana?”

“Ruang takhta dijaga ketat oleh Komandan. Selain itu, pasukan biasa menguasai sebagian besar wilayah istana. Bagian atas masih relatif tenang, tapi cepat atau lambat mereka akan naik ke sini.” 

Permata Pelangi yang mereka incar ada di ruang takhta.

Jika Gordon belum menyiapkan satu pun sebelumnya, menguasai ruang takhta menjadi keharusan.

Namun bila dia sudah memiliki satu, berarti masih ada tiga permata yang tersisa.

Dengan mempertimbangkan juga persiapan terhadap Pedang Suci, Gordon pasti ingin menguasai empat permata. Karena itu, setidaknya satu dari tiga yang tersisa pasti akan dia kejar.

Dua ada di ruang takhta, satu lagi bahkan aku tidak tahu di mana. 

Kalau bicara tentang Kanselir, dia pasti sudah memindahkannya dari tempat semula.

Dia mungking menyembunyikannya di lokasi yang sulit ditemukan. Cepat atau lambat, kita tetap harus menghadapi perebutan di ruang takhta.

Tapi karena satu permata masih tersembunyi di dalam istana, dan kalau bisa menemukannya, aku tak perlu berurusan dengan Alida.

Karena itu kami tidak akan pergi langsung ke ruang takhta.

Langkah yang licik.

Alasan mereka bukan memusatkan kekuatan, melainkan menyebar kekuatan, agar lawan tidak bisa menebak arah gerak. 

Alasan lain untuk meminimalkan kerugian bila terjadi pengkhianatan. 

Kanselir mungkin tidak terlalu menganggap hal itu sebagai masalah besar. Cukup menempatkan kapten pengawal yang bisa dipercaya.

Sayangnya, yang justru berkhianat adalah kapten itu sendiri. 

“Kakak Trau, bisa dengar aku?”

“Ada apa? Aku sedang sibuk push-up.”

“Dengarkan aku sebentar. Menurutmu, apa keuntungan yang bisa didapat kapten pengawal kalau berpihak pada Gordon?”

“Hampir tidak ada. Kalau benar dia berkhianat, berarti entah dia sangat membenci Ayahanda, atau punya tujuan lain.”

“Jadi dia tidak setia pada Gordon?”

“Mana mungkin. Gordon yang mengandalkan kekuatan militer tidak akan menarik bagi seorang pengawal istana. Kalau dia memang menginginkan kedudukan di militer, dari awal dia tak akan jadi kesatria pengawal. Lagi pula, pemberontakan Gordon ini terlalu berisiko. Peluang berhasil paling bagus pun cuma lima puluh banding lima puluh.”

“Benar juga. Sekalipun Gordon berhasil menjatuhkan Ayahanda, para bangsawan di seluruh wilayah tidak akan mengakuinya.”

“Tepat sekali. Mereka pasti akan mengusung kaisar lain. Dan satu-satunya kandidat yang bisa menyaingi Gordon adalah Leonard atau Eric. Tapi Leonard sedang berada di luar ibu kota. Seorang pangeran yang tak berada di sisi Ayahanda saat bahaya datang akan dianggap tidak dapat diandalkan.” 

Pemikiran Kakak Trau sejalan dengan analisisku.

Pemberontakan Gordon hanyalah cahaya terang yang menutupi sesuatu yang jauh lebih gelap di baliknya.

Ada sesuatu yang membuat segalanya menjadi lebih rumit.

Benang-benangnya tampak, tapi tidak mudah untuk menelusurinya sampai ke dalang utama.

Semuanya masih sebatas dugaan, dan kami tidak punya waktu untuk menyelidikinya perlahan. 

Sekarang, prioritas kami adalah menghadapi Gordon. 

“Jadi bisa dibilang Gordon sedang dijadikan tameng?”

“Mungkin saja. Aku juga tidak tahu apa yang ada di pikirannya.”

Kemungkinan besar dia tak peduli. 

Orang seperti itu pasti berpikir tidak akan ada yang mampu mengendalikan dirinya.

Tiba-tiba, terdengar teriakan para prajurit dari lantai tempat kami berada.

Sepertinya pengawal yang kami tunggu-tunggu akhirnya datang. 

“Semuanya, siap-siap untuk bergerak. Kakak, sepertinya mereka sudah tiba.”

“Begitu rupanya.” 

Berkata demikian, Kakak Trau keluar dari lemari dengan tubuh penuh keringat.

Melihatnya, Wendy langsung menjerit kecil dan bersembunyi di belakang Rita. 

“Aku sakit hati...”

“Itu salah Kakak sendiri. Kamu menakut-nakuti Wendy dengan segala macam pertanyaan aneh.”

“Eh, jadi Kakak benar-benar melakukannya?”

“Aku tidak bisa menahan diri waktu melihat gadis mungil itu... Kebodohan yang memalukan...”

Kakak Trau menunduk, wajahnya penuh penyesalan.

Sayang sekali, kalau saja dia tak seperti itu, dia sebenarnya orang yang hebat. 

Christa tadi bilang kalau Wendy menggunakan sihir ilusi agar keberadaan mereka tidak diketahui. Itu berarti yang tidak terdeteksi adalah ruangan ini, ruangan yang secara cerdik dipilih untuk disembunyikan.

Dan kemungkinan besar, keputusan memilih tempat ini datang dari Kakak Trau.

Kadang dia memang melakukan hal yang berguna tanpa disadari. 

“Kakak Trau, kamu bau keringat.”

“Gyaaah! Dibilang bau oleh adik sendiri!?” 

Christa tanpa belas kasihan menohok harga dirinya.

Akar masalahnya tak lain karena Kakak Lize. 

Dialah yang menyuruh Christa untuk tidak memanggil Kakak Trau dengan sebutan “kakak”.

Mungkin justru Kakak Lize-lah yang paling mewaspadai Kakak Trau di antara semua orang. 

Kakak Trau yang sempat murung tiba-tiba mengangkat wajahnya, menatap ke arah pintu.

Lalu berbicara dengan nada berwibawa. 

“Masuklah. Dua sayap Kakakku.” 

Begitu kata izin itu terucap, pintu terbuka. 

“Sudah lama tidak bertemu, Yang Mulia Pangeran Traugott.”

“Markus dan Manuel datang menghadap di hadapan Yang Mulia.” 

Dua pria berlutut di depan pintu, menunduk hormat pada Kakak Trau.

Keduanya berambut pirang terang dengan mata berwarna senada.

Sang kakak, Markus von Reiffeisen, berwajah tegas dan tampan.

Adiknya, Manuel von Reiffeisen, berwajah lembut dan tampak jauh lebih muda karena parasnya yang polos. 

Mereka berdua dikenal sebagai dua sayap yang menopang Putra Mahkota, orang-orang yang seharusnya kelak menjadi pilar utama Kekaisaran.

Bahkan sang Kaisar pun mengakui kemampuan mereka, meski keduanya menolak melayani siapa pun selain Putra Mahkota. 

Dan satu-satunya orang yang mampu menggerakkan mereka hanyalah Kakak Trau sendiri. 

“Terima kasih sudah datang, kalian berdua. Maaf sudah memaksakan permintaan ini.”

“Jangan berkata begitu, Yang Mulia. Anda adalah adik dari mendiang Putra Mahkota.”

“Selama nyawa masih di badan, kami akan datang bila Anda dalam bahaya.”

“Terima kasih atas kesetiaan kalian pada kakak kami. Dan maaf karena aku memanfaatkan kesetiaan itu. Aku bersumpah di sini, mulai sekarang aku tak akan lagi menggunakan nama Kakak untuk memerintah kalian.” 

Kedua orang itu memang masih setia pada Putra Mahkota yang telah tiada, dan Kakak Trau tahu betul bagaimana menempatkan diri.

Dia berterima kasih atas kesetiaan mereka, dan dengan tulus berjanji tak akan lagi memanfaatkan rasa setia itu.

Sebagai cara untuk meraih hati orang, itu langkah yang luar biasa.

Tapi aku yakin dia mengatakannya bukan karena perhitungan, melainkan karena sungguh menyesali tindakannya.

Mungkin justru karena ketulusannya itulah, dua orang itu memilih datang menolongnya. 

“Lantai ini sudah kami kuasai bersama pasukan kami. Mari segera bergerak.”

“Baiklah. Arnold, jaga anak-anak itu, ya?”

“Baik.” 

Setelah mengatakan itu, Kakak Trau melangkah keluar dari ruangan.

Setelah itu, Reiffeisen bersaudara menyusul. Begitu kami keluar dari ruangan, beberapa orang yang tampak seperti anak buah mereka berjaga dengan waspada di sekeliling. 

Jumlah mereka sekitar sepuluh orang, tapi semuanya adalah mantan bawahan Putra Mahkota. Dari gerak-gerik saja sudah terlihat jelas bahwa mereka bukan orang biasa. 

Meskipun sudah lama tidak terjun langsung ke medan perang, kekuatan mereka kemungkinan masih setara dengan petualang peringkat A. 

Dan dua bersaudara Reiffeisen yang memimpin mereka jauh lebih kuat lagi. Sang kakak, Markus, bahkan pernah bertarung seimbang dengan Kakak Lize. Sementara sang adik, Manuel, memiliki kemampuan yang setidaknya setara dengan petualang peringkat AA. 

Mungkin naluri tempur mereka sudah agak tumpul, dan mereka tak lagi sekuat di masa jayanya, tapi di situasi genting seperti ini, kekuatan sebesar itu sungguh sangat membantu. 

“Tuan Manuel.”

“Tak perlu formal, Pangeran Arnold.”

“Kalau begitu, Manuel. Kalian menyusup ke istana dengan menyamar sebagai prajurit?” 

Kedua bersaudara Reiffeisen dan anak buah mereka mengenakan seragam militer.

Seragam hitam khas pasukan kekaisaran. 

Itu sebenarnya juga salah satu rencana yang sempat kupikirkan, dan dari yang kulihat sekarang, sepertinya mereka berhasil dengan baik. 

“Benar, Pangeran. Mereka berkumpul di bawah Pangeran Gordon, tapi siapa yang benar-benar berpihak hanya diketahui oleh orang-orang di tingkat atas. Para prajurit di lapangan tidak bisa membedakan siapa sekutu dan siapa musuh. Meski begitu, tampaknya mereka memiliki semacam sandi.”

“Sandi seperti apa?”

“‘Demi Putri Zandra,’ tampaknya. Kami bisa tahu dari hasil interogasi, dan karena ternyata bisa digunakan dengan lancar, tampaknya itu benar-benar kata sandi mereka.”

“Zandra? Apa karena mereka bekerja sama?”

“Itu belum pasti. Tapi saat ini Pangeran Gordon berada di luar istana, sementara Bola Langit sudah diaktifkan. Artinya ada anggota keluarga kekaisaran lain yang membantu dari dalam. Jika kita mengecualikan orang-orang yang ada di sini, kemungkinan besar itu adalah Putri Zandra. Selain itu, keduanya telah lama berada dalam hubungan yang saling bertentangan. Justru karena itu, tak ada seorang pun di pihak Gordon yang akan secara terang-terangan menyebut nama Zandra. Jadi, menggunakan nama itu sebagai kata sandi adalah langkah yang cerdik.” 

Aku mengangguk kecil mendengar penjelasan Manuel. 

Sepertinya hampir bisa dipastikan bahwa Zandra dan Gordon telah bersekongkol. 

Tapi prajurit-prajurit di bawah mereka tidak tahu hal itu, sehingga nama Zandra digunakan sebagai kata sandi. 

Sebagai sandi, kualitasnya memang tidak tinggi, tapi jika dibuat terlalu rumit justru bisa menimbulkan kebingungan. 

Mungkin inilah batas paling aman yang bisa mereka buat. 

“Banyak di antara para prajurit itu yang tampak bingung. Kebanyakan hanya mengikuti perintah atasan meski merasa ada yang janggal. Perintah yang beredar pun sangat kabur, ‘kuasai istana’ dan ‘tangkap siapa pun di dalamnya’. Hanya sedikit unit yang tampaknya menerima instruksi yang lebih rinci.”

“Berarti tidak ada koordinasi yang baik.”

“Bukan hendak membela Gordon, tapi mengendalikan pasukan yang disatukan secara dadakan itu pekerjaan yang amat sulit. Para jenderal yang ikut memberontak adalah kaum radikal, orang-orang yang mendambakan perang untuk mengukir prestasi militer. Mereka dipenuhi ambisi dan haus akan kehormatan. Mereka mendukung Gordon karena melihat keuntungan bagi diri mereka sendiri. Mengatur sekelompok orang seperti itu bahkan bagi siapa pun akan sulit.” 

Kakak Trau, menjelaskan hal itu. 

Rita, yang mendengarkan, mengangguk-angguk pelan. Mungkin dia sedang berusaha memahami, tapi dari ekspresinya aku tahu dia sama sekali tidak paham. 

Yah, memang bukan topik yang mudah. 

Mengendalikan orang yang mengejar keuntungan itu mudah. Tapi begitu mereka menjadi kelompok, keadaan berubah. 

Kenapa? 

Karena masing-masing memiliki kepentingan yang sedikit berbeda. 

Menunjukkan satu keuntungan saja tak akan memuaskan semua orang, dan dari situlah keretakan muncul.

Akan tetapi... 

“Namun Gordon tahu itu dan sengaja membiarkannya. Dia tidak percaya pada siapa pun selain dirinya sendiri. Bagi Gordon, orang yang tidak bisa mengikutinya sudah tidak berguna. Dia yakin selalu ada pengganti.”

“Tepat sekali. Dulu dia masih agak lebih masuk akal, tapi belakangan ini makin parah. Sombong dan meremehkan orang lain, jadi dia pun tidak bisa mempercayai siapa pun. Mengandalkan kekuatan luar untuk memberontak adalah langkah yang buruk. Gordon mungkin berniat menundukkan semuanya dengan kekuatan, tapi pemberontakan hanya akan membawa bencana dari dalam, dan sekaligus mengundang ancaman dari luar. Tak ada satu pun keuntungan yang bisa didapat darinya.”

“Meski begitu, Gordon tetap memilih untuk memberontak. Bahkan dia sampai bersekutu dengan Zandra, mungkin karena dia sudah benar-benar terdesak.” 

Dan yang membuatnya terpojok adalah aku dan Leo. 

Tidak bisa dipungkiri, kami punya andil dalam memicu pemberontakan ini. 

Andai saja kami bisa bertindak lebih cerdik, mungkin semuanya takkan terjadi. Tapi sekarang bukan waktunya menyesal. 

Api sudah terlanjur menyala. Yang harus kami lakukan sekarang hanyalah memadamkannya. 

Saat pikiran itu melintas, Markus yang berjalan paling depan tiba-tiba mengangkat tangan, memberi tanda untuk berhenti. 

“Keluar. Aku tahu kamu di sana.” 

Dia menatap ke arah tikungan sambil berbicara. 

Beberapa detik kemudian, seseorang muncul. 

Pria itu perutnya dibalut perban berlapis-lapis, wajahnya pucat seperti tanah. 

Dia mengenakan mantel putih. 

Kapten Kesatria Pengawal Kedelapan, Oliver von Rohrbach. 

“Aku melihat wajah yang tak asing...”

“Kapten Oliver!? Apa yang terjadi!? Luka itu!?” 

Oliver sebaya dengan Reiffeisen bersaudara. 

Sejak masa ketika mereka berjuang bersama Putra Mahkota di berbagai tempat, Oliver telah mengabdi pada Ayahanda sebagai kapten kesatria pengawal. 

Jadi tentu saja mereka semua saling mengenal. 

“Haah haah... Kapten Kesatria Pengawal Kesepuluh... Raphael... Telah berkhianat...”

“Tak mungkin... Raphael selalu menghormati Paduka seperti ayahnya sendiri...”

“Aku juga percaya begitu... Tapi ternyata aku salah... Tolong, sampaikan ini pada Komandan... Aku tak bisa berjalan lagi...” 

Oliver bersandar pada dinding dan perlahan duduk

Darah menjejaki dinding yang dia sandari, dan darah segar mengalir dari mulutnya.

Lukanya cukup dalam. 

Dari kondisinya jelas sekali bahwa dia sempat bertarung melawan para pengejarnya. 

Tidak ada tanda bahwa dia akan selamat. 

“...Kapten Oliver. Atas kesetiaanmu pada Kekaisaran, aku menyampaikan rasa terima kasih sedalam-dalamnya.”

“Jangan... Pangeran Traugott... Tak pantas rasanya berterima kasih pada orang bodoh yang tertipu mentah-mentah... Aku tak melindungi siapa pun... Hanya malu yang tersisa...”

Oliver menertawakan dirinya sendiri dengan getir. 

Setelah sekian lama dirinya mengabdi pada Ayahanda, ini tentu merupakan aib terbesar dalam hidupnya.

Dan kini, kesempatan untuk menebus kesalahan itu pun sudah tak ada lagi. 

Tak seorang pun mampu berkata apa-apa. 

Namun, hanya Rita yang berbeda. 

“Tidak memalukan sama sekali! Rita justru kagum! Karena kamu tidak menyerah dan bisa sampai sejauh ini!!” 

Sambil berkata begitu, Rita menggenggam tangan Oliver. 

Wajahnya sempat terkejut, mungkin karena tangan itu lebih dingin dari yang dia kira, namun dia tak melepaskannya. 

“...Tak kusangka aku akan dihibur oleh anak kecil...”

“Rita bukan anak kecil! Aku calon kesatria! Suatu hari nanti aku akan menjadi kesatria pengawal Ku-chan! Aku ingin jadi kesatria yang pantang menyerah, seperti dirimu!!” 

Kata-kata itu sangat berarti bagi Oliver. 

Mendengarnya, Oliver tersenyum samar, lalu dengan sisa tenaga yang dia miliki, perlahan berdiri. 

“Kalau sampai anak kecil berkata sejauh itu... Aku tak boleh memperlihatkan wajah memalukan lagi...”

“Ya! Ayo, kita pergi bersama ke ruang takhta! Kalau kamu diobati, pasti bisa sembuh!”

“Aku tidak akan ikut bersama kalian...” 

Sambil berkata begitu, Oliver melepas mantel putihnya. 

Lalu dengan pedang di tangannya, dia memotong bagian yang berlumur darah. 

“Ah! Tapi itu lambang kesatria pengawal!”

“Benar... Karena itulah, aku memberikannya padamu. Jagalah baik-baik.” 

Oliver menyampirkan mantel putih itu ke pundak Rita. 

Rita hanya terpaku, mantel putih itu adalah simbol kehormatan yang hanya boleh dikenakan oleh para kesatria pengawal. Oliver kemudian mengusap kepala Rita dengan lembut. 

“Pergilah, adikku. Jika kamu mengaku sebagai kesatria pengawal seorang putri, jangan pernah beranjak dari sisinya. Dalam situasi seperti ini, orang yang berdiri di sisi keluarga kekaisaran-lah yang disebut kesatria pengawal... Bertarunglah dengan kebanggaan itu, Kesatria Rita.” 

Setelah mengatakan itu, Oliver menatap ke arah lorong dari mana kami datang. 

Dari sana, pasukan musuh dalam jumlah besar sedang bergerak mendekat. 

“Serahkan tempat ini padaku... Aku setidaknya akan menahan mereka sebentar, Reiffeisen bersaudara.”

“...Semoga dewi keberuntungan berpihak padamu.”

“Keberuntungan, ya... Mungkin memang itulah yang paling kubutuhkan sekarang... Yang Mulia, tolong... Sampaikan permintaan maafku pada Paduka Kaisar...” 

Ucapnya lirih, lalu mulai berjalan tertatih-tatih menuju para prajurit yang datang. 

Begitu dia melangkah, kami semua berlari. 

Aku memanggul Christa di punggungku, sementara anak buah Reiffeisen membawa Rita dan Wendy. 

Kami tidak bisa menyesuaikan langkah dengan anak-anak. 

“Menjadi fondasi bagi generasi berikutnya... Sepertinya bukan akhir yang buruk... Ayo datanglah! Siapa di antara kalian yang akan mengambil kepala Kapten Oliver!? Itu tidak akan mudah!” 

Teriakan Oliver menggema keras menghadapi pasukan itu. 

Rita terus menatap punggungnya yang menjauh.


Bagian 6

Begitu Bola Langit diaktifkan, Lize segera menghentikan duel satu lawan satu dengan Gordon dan beralih untuk melindungi Kaisar. 

Melihat keputusan itu, Gordon menampilkan senyum mengejek.

“Kenapa? Mau kabur, Marsekal?”

“Terserah bagaimana kamu menilainya. Aku datang ke sini bukan untuk menjatuhkanmu, tapi untuk melindungi Ayahanda. Dan kenyataan bahwa ka,u tidak mengerti hal sesederhana itu menunjukkan kenapa kamu selamanya hanya akan menjadi jenderal.”

Ucapan pedas itu membuat Gordon menggertakkan giginya. Dia memerintahkan pasukannya untuk menyerang balik, tetapi anak buahnya gagal menembus pertahanan pasukan Lize. 

Sejak awal, mereka sudah kacau akibat serangan mendadak, dan Gordon, yang seharusnya menenangkan barisan, malah terseret dalam pertarungan dengan Lize. 

Akibatnya, dia terpaksa menghentikan pengejaran untuk menyusun kembali pasukannya. 

Dalam waktu yang sama, Lize sudah lebih dulu berhasil bergabung dengan Kaisar.

“Ayahanda, apakah Anda baik-baik saja?”

“Untuk saat ini, tidak ada masalah.” 

Kaisar Johannes mengucapkannya dengan nada ambigu sambil menatap ke langit.

Tak pernah sebelumnya Bola Langit yang menaungi ibu kota tampak semengerikan ini. 

Selama 25 tahun masa pemerintahannya. 

Dia memang pernah mengaktifkannya untuk uji coba, tapi tak pernah terbayang kalau alat itu akan digunakan untuk menjebaknya sendiri. 

Dia mengembuskan napas berat lalu menoleh ke Franz di sisinya.

“Apakah ini juga bagian dari rencanamu?”

“Saya sudah memperkirakannya, tapi... Ini adalah skenario terburuk. Jika Bola Langit sudah diaktifkan secepat ini, berarti para kesatria pengawal di istana entah telah tewas... Atau ada yang berkhianat.”

“Aku hanya bisa berharap yang pertama.”

“Saya pun berharap begitu, Paduka. Tapi sekarang bukan waktunya berandai-andai. Marsekal, maaf, tapi bisakah kamu segera mengamankan posisi pertahanan?”

“Gerbang timur sudah kami amankan.” 

Lize menjawab cepat. 

Dia memang sudah mengerahkan satu pasukan terpisah untuk menguasai gerbang itu sebagai jalur pelarian. 

Ibu kota dikelilingi tembok tinggi, dan satu-satunya jalan keluar hanyalah empat gerbang raksasa di tiap penjuru, kecuali jika mereka bisa terbang. 

Tentu saja pihak musuh juga menyadarinya, sehingga mereka menumpuk pasukan di sana, namun hanya sebagai langkah antisipasi. 

Karena merasa memegang kendali serangan, mereka tidak menduga bahwa pasukan Lize akan melancarkan serangan balik di sana. Maka pertahanan gerbang timur pun runtuh dalam waktu singkat. 

Namun. 

“Bagaimanapun, kita masih kalah jumlah. Pasukan di luar tembok tidak akan sanggup menghancurkan Bola Lagit.”

“Jika Paduka benar-benar tidak bisa keluar dari ibu kota, Pahlawan akan datang menjemput Anda. Sampai saat itu, mohon bertahan.”

“Kamu bermaksud menggunakan Pedang Suci terhadap ibu kota?”

“Itu bukan pilihan yang kuinginkan, tapi tampaknya tak ada jalan lain.” 

Sebenarnya, mereka berharap bisa keluar tanpa perlu memanfaatkan kekuatan sebesar itu. 

Itulah alasan Lize dikirim. Tapi kini, pelarian dari dalam sudah mustahil. 

Mereka berada dalam situasi di mana yang tersisa hanyalah menanti bantuan paksa dari luar. 

“Langka sekali bagimu, Franz. Biasanya kamu paling menghindari cara-cara ekstrem.” 

“Sekarang bukan waktunya menimbang kehormatan... Setelah semua ini berakhir, saya siap menebusnya dengan nyawa saya.”

“Itu bukan kesalahanmu. Jangan menambah muram suasana dengan ucapan seperti itu.”

“Tidak, ini tanggung jawab saya. Saya ingin menyingkirkan borok di tubuh Kekaisaran, tapi ternyata luka itu jauh lebih parah dari yang saya duga. Bahkan sumber pembusukannya pun belum memperlihatkan diri. Situasi ini terjadi karena kegagalan saya.” 

Franz berpikir memanggil Lize ke sini bisa mengatasi masalah.

Dia sejak awal memperkirakan bahwa pemberontakan Gordon bisa diatasi. Dia ingin memanfaatkan kesempatan itu untuk mengungkap dalang di balik layar. 

Dia tidak pernah meremehkan Gordon, tapi tak juga menganggapnya cukup cakap untuk menggerakkan pemberontakan berskala besar. Apalagi belakangan Gordon terlalu percaya diri, Franz mengira sekali ditekan dengan kekuatan yang lebih besar, pemberontakan itu akan padam. 

Dan memang, andai hanya Gordon yang memberontak, Lize saja sudah cukup untuk mengatasinya.

Namun, kali ini para kesatria pengawal juga ikut berpaling, dan banyak perwira tinggi militer yang mendukung Gordon. 

Jelas ini bukan semata perbuatan Gordon. Bahkan dengan bantuan Zandra sekalipun, kerusakannya tidak mungkin sebesar ini. 

Ada tangan lain yang bergerak dalam bayangan. Franz sudah mencurigainya sejak awal dan berusaha memancingnya keluar, tapi dalang itu terlalu berhati-hati, tak menampakkan dirinya bahkan pada saat genting. 

Akibatnya, pemberontakan meledak sebelum Franz sempat menyingkap siapa musuh sebenarnya. 

Bagi Franz, yang selama ini menjaga kestabilan Kekaisaran, ini adalah kekalahan telak, sebuah kesalahan yang layak ditebus dengan nyawa. 

Namun.

“Masalah pertanggungjawaban akan kita bahas nanti. Bagaimanapun juga, yang memberontak adalah putraku sendiri. Maka, beban paling berat jatuh padaku,” ucap Johannes dan memandang ke depan.

Menyesal itu mudah. Menunduk dan mengeluh juga mudah. 

Tapi jika dia melakukan itu sekarang, berarti dia hanya menunggu mati di tangan Gordon. 

Para leluhur yang membangun Kekaisaran ini takkan mengampuni seorang kaisar yang menimbulkan kekacauan, lalu pergi tanpa membereskan akibatnya.

Sudah menjadi tugas seorang kaisar untuk membersihkan kekacauan yang ada. 

“Kalau aku mati di sini, sejarah akan mencatat bahwa pemberontakan ini berhasil. Itu tak boleh terjadi. Aku tidak akan mati di tempat ini.”

“Tenang saja, Ayahanda. Sekalipun Anda ingin mati, aku tidak akan membiarkannya,” balas Lize tanpa ragu, lalu memberi perintah kepada pasukannya untuk mengawal Kaisar menuju gerbang timur. 

Banyak prajurit dan pasukan penjaga ibu kota yang masih bingung dengan situasi itu, tapi Lize tidak memasukkan mereka ke dalam pasukannya. 

Dia tak tahu siapa yang bisa dipercaya, siapa kawan dan lawan. 

Mereka yang hanya memandangi pergerakan Lize dan Kaisar tanpa bergerak justru adalah yang paling berbahaya. 

Maka, Lize berteriak lantang.

“Dengarlah, seluruh prajurit di sekitar sini! Jika kalian benar prajurit yang setia pada Kaisar dan rakyat Kekaisaran, lindungilah mereka! Siapa pun yang menjarah atau mencelakai rakyat di tengah kekacauan ini akan dianggap musuh Paduka Kaisar!” 

Bersama derap kudanya, suara Lize menggema. 

Dia tak bisa menempatkan semua prajurit itu di bawah komandonya langsung, tapi terlalu berharga untuk dibiarkan menganggur. 

Karena itu, dia memberi mereka arah. 

Lindungi rakyat. 

Mendengar perintah itu, banyak prajurit segera bergerak. 

Ada yang mengevakuasi penonton yang terjebak di arena, ada yang membantu warga yang ketakutan dan tak bisa bergerak. Masih banyak yang bisa dilakukan. 

Dan perlahan, banyak dari mereka melepas seragam militernya. 

Rakyat yang tak mengetahui situasi sebenarnya mengira bahwa Pangeran Gordon dan militer kekaisaran telah berkhianat. 

Dengan tetap mengenakan seragam, mereka hanya akan menimbulkan ketakutan. Untuk menenangkan rakyat, mereka harus menanggalkan tanda itu. 

“Dengan begini, evakuasi rakyat mungkin akan lebih cepat.”

“Ya. Masalah berikutnya adalah istana.” 

“Jika keadaan berlarut, mereka akan punya cukup waktu untuk menguasai istana sepenuhnya. Bila pasukan kita di gerbang merepotkan mereka, bukan mustahil mereka akan menggunakan sandera.”

“...Aku tak apa-apa. Lizelotte, bagaimana denganmu?” 

Jika Lize menjadi musuh Gordon, maka yang akan dia jadikan sasaran berikutnya adalah adik perempuannya, Christa. 

Ini hanya sebuah konfirmasi, tapi Lize tersenyum tipis.

“Aku percaya pada adik-adikku. Mereka tidak akan semudah itu menjadi sandera.”

“...Baiklah.”

“Jangan khawatir, Ayahanda. Jika saatnya tiba, aku sudah siap menghadapi apa pun. Melindungi Ayahanda adalah hal yang paling utama.”

“...Maafkan aku.” 

Mendengar ucapan Kaisar, Lize mengangguk pelan.

Kemudian dia mengalihkan pandangannya ke arah istana. 

Tentu saja dia tidak sepenuhnya tenang. 

Ketika Johannes masih muda, perang antarnegara sering terjadi. 

Karena itu, para keluarga kekaisaran pun terpaksa turun ke medan tempur sejak usia muda. Namun, setelah Johannes berhasil menstabilkan Kekaisaran, perang semacam itu berangsur menghilang. 

Akibatnya, para keluarga kekaisaran muda di generasi berikutnya tak pernah mengenal bau darah medan perang. 

Bahkan Al dan Leo pun baru pertama kali turun ke pertempuran ketika mereka dikirim untuk menumpas gerombolan bandit. Itu pun lebih mirip upacara perkenalan, semua sudah disiapkan agar mereka tidak perlu benar-benar bertarung. 

Namun Lize tahu.

Adik-adiknya sudah tumbuh dan berkembang di luar jangkauannya. 

“Semoga kalian selamat,” gumamnya lirih, sebelum memusatkan pikiran pada tugasnya sendiri. 

Sekarang, yang harus dia lakukan hanyalah melindungi Kaisar. Itu satu-satunya hal yang bisa dia lakukan. 

Dia tidak merasa akan kalah dari Gordon, tapi semakin lama pertempuran berlangsung, semakin besar kelelahan yang menumpuk di pihaknya. 

Manusia tak akan bisa melawan kelelahan dan perbedaan jumlah. 

Berapa lama mereka bisa bertahan? Akankah bala bantuan sempat tiba tepat waktu? 

Dia berharap pada mereka yang masih bertahan di dalam ibu kota, tapi lebih dari itu, harapannya kini bergantung pada orang-orang di luar sana. 

Beruntung, di luar tembok ada orang-orang yang tepat untuk diandalkan. 

“Pangeran Kembar Hitam... Apakah kebetulan atau perhitungan kalau mereka berada di posisi yang begitu baik di saat genting seperti ini.” 

Di luar, ada Leo bersama Elna. Di dalam, ada Al yang mengenal setiap sudut istana. 

Bagi musuh, posisi dua orang itu sangat menyulitkan. Tapi bagi pihak mereka, keberadaan keduanya adalah anugerah. Pergerakan mereka berdua akan menentukan segalanya. 

Semua orang tahu seberapa besar kemajuan Leo dalam beberapa tahun terakhir. Namun mereka adalah kembar. Jika Leo telah berkembang sejauh itu, maka Al pun pasti tak kalah hebat. Lize yakin akan hal itu. 

Meski begitu, siapa pun di antara keduanya yang bergerak, semuanya tetap membutuhkan waktu. 

Karena itu, dia harus bertahan selama mungkin. 

Dia menanamkan tekad itu dalam hatinya, lalu memimpin Kaisar dan para pengikutnya menuju gerbang timur, tempat yang telah mereka jadikan markas darurat.


Bagian 7

Waktu berputar kembali, ke saat sedikit sebelum Bola Langit mulai diaktifkan.

Di dalam istana, Fine dan Mia yang telah menyusup ke area harem, mendapati diri mereka terkejut oleh kenyataan bahwa pasukan dalam jumlah besar telah lebih dulu masuk ke sana. 

Mereka bersembunyi di salah satu kamar, mengintai gerak-gerik para prajurit. 

“Jumlah mereka lumayan banyak...”

“Apa mereka berniat merebut harem terlebih dahulu? Tapi kalau begitu, jumlahnya terasa janggal.” 

Fine menganalisis dengan tenang niat musuh.

Pertama-tama memahami situasi, lalu menimbang dari sana, itu adalah cara berpikir yang selalu dilakukan oleh Al. 

Harem ini sangat luas. Namun jumlah prajurit yang menyusup tidak sebanding dengan luasnya tempat itu.

Jika tujuan mereka adalah menangkap para selir secepatnya, seharusnya mereka mengerahkan lebih banyak pasukan. Tapi tidak demikian adanya.

Maka, berarti ada tujuan lain.

Apa tujuan mereka?

Tujuan itu bukanlah menguasai seluruh harem, melainkan sesuatu yang lebih terbatas. 

“Apa mereka hendak menangkap Nyonya Mitsuba? Tapi arah yang mereka tuju aneh kalau begitu.” 

Pasukan itu bergerak menuju sisi yang berlawanan dari kamar Mitsuba.

Dari situ Fine menarik satu kesimpulan. 

“Yang paling mungkin, mereka hendak menyelamatkan seseorang yang dikurung.”

“Menyelamatkan seseorang?”

“Selir Kelima, Nyonya Zuzan, dan Putri Kedua, Yang Mulia Zandra. Aktivasi Bola Langit memerlukan darah keluarga kekaisaran. Pangeran Gordon bukan orang yang memberi perintah dari dalam istana, dia pasti akan langsung menghadap Paduka Kaisar. Kalau begitu, dibutuhkan anggota keluarga kekaisaran lain yang bisa mengaktifkan Bola Langit di dalam istana... Maka mereka berusaha membebaskan Zandra dan ibunya. Kurang lebih begitu arah pikirannya.” 

Mungkin saja mereka menunggu hingga Bola Langit diaktifkan baru bergerak, tapi lebih masuk akal bila mereka mendapatkan dukungan dari pihak selain Gordon.

Jika perkiraan Fine benar, Zandra kemungkinan besar telah dibawa ke istana saat ini, dan target utama pasukan sekarang adalah Zuzan, ibunya. 

Dengan itu, Fine segera menyampaikan langkah berikutnya pada Mia. 

“Kalau tujuan mereka bukan menangkap seluruh selir, berarti kita masih punya waktu. Mari langsung menuju Nyonya Mitsuba.”

“Baiklah. Tapi bagaimana dengan selir lainnya?”

“Di harem ada lima selir saat ini, dari Selir Ketiga hingga Ketujuh. Di antaranya, Selir Keempat dan Kelima berpihak pada musuh. Yang berada di pihak kita adalah Selir Keenam dan Ketujuh. Yang sulit ditebak adalah Selir Ketiga.” 

Mereka keluar dari kamar dan melangkah cepat menuju kamar Mitsuba.

Fine berjalan dengan tenang di lorong, karena arah mereka berlawanan dengan arah pasukan, dia memperkirakan mereka tidak akan bertemu.

Dan jika pun bertemu musuh, ada Mia di sisinya. 

Kini bukan waktunya untuk terlalu berhati-hati dan kehilangan momentum. Jika mereka bisa bertemu Mitsuba sebelum musuh bergerak, peluang untuk melarikan diri akan meningkat drastis. 

“Selir Ketiga... Beliau itu ibu dari Pangeran Kedua, bukan?”

“Benar. Beliau adalah ibu dari Pangeran Eric, orang yang paling diwaspadai oleh Al. Rasanya sulit percaya beliau hanya diam saja di situasi seperti ini.” 

Ibu Eric.

Itu saja sudah cukup alasan bagi Fine untuk waspada penuh.

Apakah wanita itu akan memanfaatkan kekacauan ini untuk bertindak, atau sudah lebih dulu melarikan diri?

Dia hanya merasa pasti akan ada sesuatu, tapi tak bisa menebak apa itu. 

“Seandainya Tuan Al yang ada di sini, beliau pasti bisa menebak dengan tepat...”

“Menurutku kamu luar biasa, Nona Fine! Aku sama sekali tak bisa memperkirakannya seperti itu!”

“Benarkah? Kalau begitu mungkin karena teladanku yang bagus. Sebelum datang ke ibu kota, aku tak pandai berpikir seperti ini. Sampai sekarang pun, sebenarnya aku belum terlalu pandai.” 

Segala yang dilakukan Fine sebenarnya hanyalah imitasi dari Al.

Karena selalu berada di sisinya, Fine dapat mengamati dan meniru cara berpikir Al. Namun, meniru juga ada batasnya.

Al adalah seseorang yang sejak kecil sudah terbiasa menipu, menilai situasi, dan berpikir tajam di berbagai bidang. Sementara Fine tumbuh damai di wilayah bangsawannya, jauh dari intrik. Level pengalaman mereka berbeda.

Tak peduli seberapa baik Fine meniru, dia tak bisa sepenuhnya menjadi seperti Al. 

Menganalisis maksud musuh dan menebak langkah mereka dengan akurat seperti Al adalah hal yang di luar jangkauannya.

Namun, Fine tidak menganggap itu sebagai kekurangan besar.

Baginya, kemampuan itu hanyalah nilai tambah. Berguna kalau bisa, tapi tak mengubah siapa dirinya jika tidak.

Manusia punya bakat dan keterbatasannya masing-masing, sesuatu yang kini Fine pahami. 

“Aku juga tidak pandai berpikir! Aku selalu berharap bisa lebih pintar, supaya segalanya terasa lebih mudah!”

“Manusia adalah makhluk yang tidak sempurna. Karena tidak sempurna, maka ada hal yang kita kuasai dan hal yang tidak. Tapi itu bukan hal buruk. Justru karena kita saling menutupi kekurangan itulah, manusia bisa hidup berdampingan.” 

Itulah sebabnya Al menopang Leo.

Jika hakikat manusia adalah saling melengkapi, maka seseorang yang menumbuhkan keinginan untuk saling membantu adalah sosok yang pantas menjadi raja. 

Menjadi kaisar tidak perlu sempurna. Selama ada orang-orang di sekitarnya yang mau membantu, itu sudah cukup.

Selama ada seseorang yang ingin menolongnya, dia pantas memimpin. 

Itulah keyakinan Al dan alasan mengapa Leo dianggap pantas menjadi kaisar. 

Mereka berdua saudara kembar 

Dan meski arah hidup mereka berbeda, sifat dasar mereka serupa.

Baik Leo maupun Al sama-sama memiliki kemampuan untuk menggerakkan hati orang lain.

Leo berambisi setinggi langit, sementara Al bekerja keras nan gigih meski penuh kekurangan. 

Mereka yang di sekitarnya pun terpikat.

Orang-orang pun terdorong untuk mengangkat Leo ke puncak, dan juga berjuang agar Al tidak tertinggal di bawah. Siapa yang lebih disukai hanya soal pilihan pribadi. 

Namun, di antara keduanya ada satu perbedaan yang jelas.

Apakah mereka memiliki keinginan untuk menjadi kaisar atau tidak. Itu adalah syarat mutlak seorang penguasa. 

Leo memilih untuk menjadi kaisar. Al memilih untuk mendukung Leo. 

Mungkin di dunia lain pilihan itu bisa tertukar. Meski begitu, mereka akan tetap berhasil.

Tapi di dunia ini, Al adalah sosok yang memilih berada di sisi pendukung.

Dan Fine yakin, karena itulah perannya adalah menjadi orang yang mendukung Al di sisinya. 

Kemudian...

“Justru karena itu... Seseorang yang hanya mengandalkan dirinya sendiri, tanpa percaya pada siapa pun, tidak bisa menjadi kaisar. Mia, maukah kamu meminjamkan kekuatanmu padaku?”

“Tak perlu ditanya lagi. Busur ini sudah lama kupercayakan padamu.” 

Mendengar jawaban itu, Fine tersenyum.

Mia menatapnya dengan lembut dan berbisik, “Larilah. Aku akan segera menyusulmu.” 

Sembari berkata begitu, Mia berbalik dan mengangkat busurnya.

Pasukan musuh sudah hampir tiba di ujung lorong.

Fine menyerahkan mereka pada Mia, dan bergegas menuju kamar Mitsuba. 

Begitu tiba di depan pintu, dia langsung menerobos masuk. 

“Nyonya Mitsuba! Apakah Anda baik-baik saja!?”

“Fine!? Cepat, lari dari sini!” 

Di dalam kamar Mitsuba juga ada Gianna.

Namun, mereka bukan satu-satunya di sana. 

Para pelayan bersenjata dan pengawal wanita saling bertempur.

Ada beberapa berusaha melindungi Mitsuba dan Gianna, sementara yang lain berusaha membunuh mereka.

Kamar itu telah menjadi medan tempur kecil. 

Di tengah kekacauan itu, berdiri Marie, pelayan pribadi Leo, memimpin dengan tenang dan melindungi keduanya sebaik mungkin. Tapi jumlah musuh terlalu banyak.

Pembunuh sudah dikirim ke sana. 

Jika mereka tertahan lebih lama lagi, pasukan yang menyerbu harem pasti akan tiba pula.

Mereka harus bergerak cepat.

Saat Fine berpikir demikian, seorang pengawal wanita menyadari keberadaannya dan segera mendekat. 

“Itu Putri Camar Biru! Tangkap dia!” 

“Fine!”

Suara Mitsuba bergema di dalam ruangan. 

Namun, Fine tidak berbuat apa pun terhadap tangan yang terulur ke arahnya.

Dia tahu, melawan hanya akan sia-sia.

Dan di saat yang sama, dia juga mengerti bahwa tidak ada alasan baginya untuk melawan. 

“Tolong, Mia.”

“Serahkan padaku!” 

Mia muncul dari belakang Fine, menendang pengawal wanita yang hendak menangkap Fine.

Tubuh wanita itu terhempas jauh, menabrak dinding kamar dengan keras.

Melihat itu, seketika perhatian semua orang di ruangan terarah kepada Mia. 

“Kalian semua terlihat mirip, jadi aku sulit membedakan kalian. Kalau kalian berpihak pada Nona Fine, segera letakkan senjata kalian. Kalau tidak, kalian semua akan booom sekaligus!” 

Mia mengangkat busurnya sambil memperingatkan dengan suara ringan.

Dari busur itu terpancar kekuatan sihir yang kuat. 

Marie, yang sejak tadi memimpin pertahanan di pihak Mitsuba, segera menyadari bahaya dan memberi perintah tegas.

“Letakkan senjata kalian sekarang juga!” 

Mendengar itu, para pelayan dan pengawal wanita yang berada di pihak Mitsuba segera menjatuhkan senjata mereka dan berlari mendekat untuk melindungi Mitsuba.

Sementara itu, para pengawal dan pelayan musuh masih menodongkan senjata ke arah Mia, namun mereka tidak pernah sempat menggunakannya. 

“Pernah lihat panah yang menyebar sebelumnya?” 

Begitu kata-kata itu terucap, dia melepaskan anak panah bercahaya yang menyilaukan.

Panah itu terpecah menjadi puluhan cahaya kecil yang menyebar, semua musuh yang masih berdiri terhempas ke dinding dan kehilangan kesadaran.


Begitu ruangan kembali sunyi, Mia menurunkan busurnya dan memandang Fine. 

“Tidak ada luka?”

“Ya, karenamu. Bagaimana denganmu, Mia?”

“Ah, yang seperti itu? Sepele. Aku sudah terbiasa melawan banyak orang sekaligus.” 

Fine hanya bisa tersenyum kecut mendengar kalimat yang diucapkan Mia dengan ringan itu.

Sebagai seorang bandit dermawan di Negara Bagian, Mia memang terbiasa dalam situasi kalah jumlah.

Bertarung melawan banyak orang sekaligus bukan hal baru baginya.

Dia tahu cara mengalahkan mereka, juga cara bergerak agar jumlah besar tak memberi keuntungan bagi musuh.

Dalam kondisi seperti ini, dikelilingi musuh di istana yang luas, Mia memang orang terbaik yang bisa diandalkan. 

Fine semakin mengerti kenapa Al rela mengeluarkan banyak uang hanya untuk merekrutnya. 

“Nyonya Mitsuba, Nyonya Gianna. Syukurlah kalian berdua selamat.”

“Fine... Kenapa kamu ada di sini?”

“Tentu saja untuk menyelamatkan kalian.” 

“Kami tidak memiliki nilai sebagai sandera. Kami hanya akan menjadi beban. Kalian berdua harus segera pergi. Fine, sadarlah akan nilai dirimu sendiri. Marie, kamu ikutlah bersama Fine.”

Ucapan Mitsuba memang benar.

Meskipun Mitsuba dan Gianna dijadikan sandera, Kaisar tidak akan goyah.

Seandainya Leo berada di ibu kota, nilai sandera Mitsuba mungkin akan meningkat. Namun Leo sedang berada di luar ibu kota, dan Al bahkan tidak dianggap perlu disandera sama sekali.

Karena itulah nilai mereka berdua rendah. Justru Fine jauh lebih berharga sebagai sandera. 

Oleh sebab itu, Mitsuba memberi tahu Al agar tak perlu melindunginya, dan kini dia mengatakan hal yang sama pada Fine, agar kabur dengan pasukan sesedikit mungkin.

Fine merasa, itu memang keputusan yang sangat mencerminkan sosok ibu Al. 

Mitsuba mampu melihat dirinya sendiri secara objektif, menilai nilainya sendiri, dan membuat keputusan dengan kepala dingin.

Mungkin sebagian orang akan menganggap itu hal luar biasa, tetapi bagi Fine, hal itu terasa menyedihkan. 

Baik Al maupun Mitsuba, Fine berharap mereka bisa lebih menghargai diri sendiri. Keduanya begitu baik kepada orang lain, namun tak pernah bersikap lembut pada diri mereka sendiri. Dalam pandangan Fine, itu terasa seperti sebuah ketidakadilan. 

Dan perasaan itu ternyata bukan hanya milik Fine seorang. 

“Seperti ibu, seperti anak, ya. Memang bermasalah jika seseorang terlalu mencintai dirinya sendiri, tapi orang yang sama sekali tak menghargai dirinya pun sama saja, bukan begitu?” 

“...Kita harus melihat gambaran yang lebih besar. Cepat pergi.” 

“Tidak. Aku datang sejauh ini, aku akan pastikan kita semua keluar dari sini, apa pun yang terjadi. Kalau kamu mau memutuskan nilai dirimu sendiri, silakan. Tapi kami juga akan seenaknya menyelamatkanmu! Itu juga yang kubilang pada putramu!” 

Mendengar ucapan Mia, Mitsuba menatapnya dengan wajah bingung.

Bagaimana dia harus membujuk gadis itu? Waktu yang terbuang untuk berdebat saja sudah terlalu berharga. 

Fine pun tersenyum lembut dan mengusulkan, “Bagaimana kalau kita bicara sambil berjalan?” 

“...Sepertinya begitu.” 

Mitsuba menyerah untuk membujuk mereka di tempat.

Dia tidak ingin Fine terlalu lama berada di situ. 

Mereka pun mulai bergerak bersama-sama.

Namun tentu saja, bergerak dalam kelompok besar membuat mereka mudah terlihat oleh para prajurit. 

Begitu prajurit-prajurit itu muncul dalam pandangan, Mia segera menembakkan panah sihirnya, membuat mereka terhempas.

Bahkan, kecepatan Mia menemukan musuh jauh melampaui kecepatan para prajurit menemukan mereka. 

“Ugh! Tempat ini terlalu luas! Apa tidak ada jalan rahasia yang bisa kita pakai!?” 

“Tidak mungkin, karena Tuan Al tidak bersama kita. Satu-satunya pilihan adalah berlari menembus mereka.” 

“Di saat seperti ini, apa yang dilakukan pangeran itu, sih!?” 

Menembus kompleks istana harem yang luas dan berliku bukanlah hal mudah.

Namun Fine tak menanggapi keluhan Mia.

Karena dia tahu, Al pasti sedang beraksi di dalam istana sekarang. 

Sambil terus berbicara di antara mereka, akhirnya Fine dan yang lain tiba di jalan lurus yang menghubungkan ke istana utama. 

“Kalau kita menembus jalan ini, kita akan sampai ke istana! Tapi jangan lengah! Di sana pasti lebih banyak prajurit!” 

“Dimengerti!” 

Mia langsung berlari ke depan, namun tiba-tiba berhenti, seolah menyadari sesuatu.

Dia berkata pelan, “Ini jebakan kutukan. Bukan hanya sepuluh atau dua puluh. Jumlahnya jauh lebih banyak...” 

Sepanjang jalan lurus itu dipenuhi dengan sihir.

Sihir berupa kutukan yang seharusnya dilarang penggunaannya. 

Mia yang menyadarinya berbalik perlahan. 

“Benar-benar kejam, ya?” 

“Oh? Aku rasa tidak. Kalau tahu kalian pasti lewat sini, memasang jebakan adalah langkah yang wajar, bukan?” 

“Yang kumaksud bukan itu. Aku bicara tentang seseorang yang bisa tersenyum puas sambil menunggu jebakannya mengenai korban dari belakang,” ujar Mia dengan nada tajam, menatap sosok yang baru saja muncul di belakang mereka. 

Seorang wanita berambut hijau mencolok.

Melihatnya, Mitsuba berbisik, “Zuzan...” 

“Selamat siang, Mitsuba. Mau ke mana kamu, hm? Sebelum itu, seharusnya kamu meminta maaf padaku. Karena ulah putramu, aku dijadikan tahanan istana.” 

“Itu bukan salah putra-putraku. Kamu ditahan karena tindakanmu sendiri.” 

“Oh begitu ya? Aku tidak sependapat. Kalau putramu tidak menangkap kakakku, aku tidak akan dipermalukan seperti ini. Dan putriku pasti sudah lebih dekat dengan takhta.” 

“Kalau begitu, kita memang tidak akan pernah sepakat. Setelah kakakmu gagal dalam pemberontakan, sekarang kamu malah bergabung dengan pemberontakan Gordon? Kamu benar-benar tak tahu malu.” 

“Tutup mulutmu. Ini semua salahmu. Kamu gagal mendidik anak-anakmu. Seharusnya kamu ajarkan pada mereka bahwa karena darahmu rendah, mereka pun sama rendahnya. Bahwa mereka tidak pernah sebanding dengan keluarga kekaisaran sejati. Karena kamu tak mengajarkan itu, semua kekacauan ini terjadi.” 

Fine mengernyit mendengar ucapan Zuzan.

Nada suaranya bukan kebencian semata, dia benar-benar meyakini kata-katanya. 

Fine benci orang-orang seperti itu, mereka yang memandang tinggi status bangsawan sebagai sesuatu yang spesial.

Sejak kecil, Fine diajarkan bahwa bangsawan adalah mereka yang mewarisi kehormatan leluhur yang berjasa, dan tugas mereka adalah menjaga agar kehormatan itu tidak ternoda dengan berbuat layak akan statusnya.

Kalau bangsawan hanya menjadi simbol kesombongan dan hak istimewa, maka keberadaan mereka lebih baik lenyap saja, itulah pikirnya. 

“Ada apa dengan tatapan itu? Menakutkan sekali. Jadi begitu rupanya, Putri Camar Biru. Tak kusangka kamu bisa punya tatapan seperti itu. Jujur saja, aku terkejut.” 

“Kalau bisa, aku ingin selalu tersenyum. Dunia ini pasti akan lebih indah jika hanya ada hal-hal yang membuat kita bisa tersenyum... Tapi dunia tidak seindah itu. Setelah datang ke ibu kota, aku belajar satu hal. Kadang, untuk bisa tetap tersenyum, kita juga harus berjuang. Selir Kelima, Zuzan. Aku tidak mengakui dirimu, juga tidak mengakui putrimu, Putri Zandra. Aku, sebagai anggota keluarga Adipati Kleinert, menolak masa depan di mana orang seperti kalian menjadi kaisar.” 

“Mulutmu memang pandai, ya? Kalau tidak mengakui, lalu apa yang akan kamu lakukan? Melawanku?” 

Zuzan mengangkat tangannya sedikit.

Sekelompok besar prajurit yang bersembunyi segera bermunculan. 

Tidak ada jalan yang tersedia, tak ada lagi tempat untuk melarikan diri.

Namun Fine tak menunjukkan rasa gentar sedikit pun. 

“Mia!” 

“Dengan senang hati!” 

Mia menembakkan panah ke arah jalan lurus di depan.

Puluhan panah itu menyebar dan menghantam kutukan-kutukan yang dipasang, menghancurkannya satu per satu. 

Zuzan terkejut melihat semua jebakannya dihancurkan dalam satu serangan, tapi segera memasang wajah muram dan memberi perintah, 

“Serang! Jangan biarkan mereka lolos!” 

“Lari! Aku akan menahan mereka!”

“Tidak! Lihat ke atas!” 

Fine berlari di sepanjang jalan dan menunjuk ke langit-langit.

Mia langsung mengerti maksudnya Fine. 

“Bagus! Ide yang brilian!” 

Mia segera menembakkan serangan ke arah atas.

Hujan panah menghantam langit-langit hingga struktur bangunan itu mulai retak, lalu perlahan-lahan runtuh.

Namun Mia tak berhenti menyerang.

Kemudian...

“R-Runtuh!?”

“Semua, mundur!” 

Para prajurit yang mendesak mendekat terpaksa mundur agar tidak tertimpa reruntuhan.

Langit-langit pun akhirnya ambruk sepenuhnya.

Jalan menuju istana pun tertutup oleh tumpukan reruntuhan. 

Melihat itu, Zuzan menjerit marah, “Apa yang kalian lakukan!? Cepat singkirkan puing-puingnya! Jangan kabur, Mitsuba!!” 

“Dia benar-benar berteriak keras...” 

“Ini seharusnya bisa menahan mereka untuk sementara. Nyonya Mitsuba, Nyonya Gianna, kita harus terus berlari. Apa kalian masih sanggup?” 

“Kalau soal tenaga, aku memang tak yakin. Tapi ini bukan saatnya mengeluh, bukan? Aku akan berusaha.”

“A-Aku juga akan berusaha.”

Mendengar suara Mitsuba dan Gianna, Fine menoleh ke arah Mia dan mengangguk tegas.

“Tangga di depan pasti sudah dihadang. Kita terobos saja dengan paksa.” 

“Rencana yang sederhana tapi bagus sekali!” 

Mia mengangkat busurnya dengan riang.


Bagian 8

Berkat Oliver yang menahan para prajurit.

Kami bisa sampai ke ruang takhta tanpa hambatan berarti.

Namun, di sana sudah ada rombongan tamu. 

“Syukurlah engkau selamat, Kakak Therese.”

Berkata begitu, Alida menundukkan kepala kepada Therese yang berada di antara rombongan yang berhenti di depan ruang takhta.

Tetapi orang yang memimpin rombongan itu bukanlah Therese. 

“Betapa lega mendengar Selir Ketiga juga selamat. Terima kasih karena telah menyelamatkan Kakak Therese.”

“Tak perlu berterima kasih, Komandan Alida. Membantu kakakmu adalah hal yang wajar.” 

Yang menjawab adalah seorang wanita berambut biru dan berkacamata.

Wajahnya menampilkan ketenangan, wanita itu bernama Camilla.

Dia adalah Selir Ketiga Kaisar sekaligus ibu dari Eric.

Seperti Eric, dia memberi kesan wanita yang cerdas, namun pada saat yang sama memancarkan kesejukan yang dingin. 

“Kalau memang ini hal yang wajar, seharusnya kamu membawa selir-selir lain juga.”

Aku memotong mereka. 

Melihatku, Therese menundukkan wajahnya dengan sedih, sementara Alida mengerutkan sedikit matanya.

Bagi kedua saudari itu, aku memang sosok seperti itu.

Tidak mengherankan. 

“Salam. Pangeran Arnold, Pangeran Traugott dan Putri Christa juga selamat, sangat melegakan.”

“Aku sama sekali tidak merasa lega. Kalau kalian bisa ada di sini secepat ini, pasti kalian curiga akan pemberontakan, bukan? Kenapa hanya membawa Kakak Therese saja?” 

“Kami hanya membawa dia karena dia satu-satunya yang jadi masalah bila dijadikan sandera. Keluarga Weitling, yang pernah melawan Kaisar, adalah keluarga yang berbahaya. Maaf, namun Komandan yang baru juga berasal dari keluarga itu. Kalau kakaknya dijadikan sandera, bukan tidak mungkin dia akan membelot. Therese menantang Kaisar demi adiknya, rasa kekeluargaan yang kuat itu justru jadi masalah.” 

Camilla berkata sambil tersenyum tipis.

Aku mengerutkan kening.

Benar juga, aku tidak suka wanita ini. Jauh lebih baik kalau saja Zuzan yang ada di sini. 

“Kalau khawatir soal sandera, mengapa tidak semua selir dibawa?”

“Mereka tidak separah Therese. Tampaknya kamu marah karena kami tidak membawa ibumu, tapi jika kami membawa Mitsuba yang membuat Zuzan dendam, tentu aku dan Therese akan berada dalam bahaya. Semua ini demi Kekaisaran. Mohon dimaklumi.” 

“Demi Kekaisaran? Bukannya lebih jujur jika kamu bilang kamu menjadikan mereka umpan agar kamu bisa kabur?”

“Sayangnya bisa dianggap begitu.” 

Aku ingin memukulnya.

Namun kupatungkan saja tangan menjadi kepalan tanpa melakukan apa-apa.

Memukulnya akan menimbulkan masalah. Apa yang dikatakannya sendiri tidak sepenuhnya salah. 

Pola pikirnya sama seperti ibuku, karena sandera itu tak punya banyak nilai strategis, maka dia tidak penting. Itu bisa dimengerti. Walau ibuku populer di kalangan rakyat dan meninggalkannya bisa membuat kepercayaan rakyat terkikis, melihat kemungkinan Alida berkhianat membuat risikonya kecil. 

Aku melirik Alida.

Katanya, Therese dibawa karena ada kemungkinan dirinya berkhianat. Dari sudut pandang Alida yang setia, tentu itu mengecewakan.

Namun Alida tetap tenang. 

“Komandan, apa kamu tak ingin bicara?”

“Tidak ada. Dituduh pun wajar. Adikku melakukan dosa, dan kakakku mencoba menolongnya dengan bantuan Yang Mulia Permaisuri. Wajar bila aku dicurigai sebagai adik.” 

“Aku tidak mengira kamu akan berkhianat. Hanya menutup kemungkinan saja. Nah, Therese, ayo masuk.”

“Baik... Nyonya Camilla.” 

Camilla dan Therese lalu masuk ke ruang takhta.

Aku memandangnya dengan perasaan kesal. 

“Kakak Al... Bagaimana dengan Ibu?”

“Fine sedang di jalan untuk menolong. Tapi pasti dia jadi sasaran tembakan berat.” 

Di harem ada banyak kandidat sandera.

Itu berarti musuh akan tersebar. Mia kuperhitungkan bisa menghadapi mereka secara terpisah.

Namun dengan hadirnya Camilla dan Therese di sini, Zuzan pasti akan mengerahkan kekuatan ke ibu.

Bahkan jika Mia ada, pertarungan pasti sulit.

Dan bila Fine sampai jadi sandera, itu akan menjadi tanggung jawabku.

Karena aku menempatkan Fine, sosok penting, dalam posisi berbahaya demi melindungi ibuku sendiri.

Sialan... Selalu saja tidak berjalan sesuai rencana. 

“Fine dan ibu baik-baik saja...?”

“Mereka punya pengawal pribadi... Tapi tidak mudah bagi mereka untuk sampai ke sini.” 

“Camilla juga semestinya sama. Wanita itu licik, kemungkinan dia mengorek celah dan masuk. Jika dia sudah curiga pada pemberontakan, mungkin dia juga menugaskan para prajurit untuk mengawasi.”

“Dan jadi umpan itu menyebalkan. Kakak Trau, aku serahkan mereka bertiga padamu. Aku akan menjemput Ibu lewat jalur rahasia.”

“Kamu pergi sendiri?”

“Ada penasihat muram yang ikut. Bersamanya, kami akan terhindar dari bahaya.”

“Aku merasa tidak tenang. Tidakkah sebaiknya membawa seseorang sebagai pengawal?”

“Ada lebih banyak orang di ruang takhta. Kirimkan beberapa pengawal dari barisan pengawal istana.”

Alida yang mengajukan usul itu.

Terus terang saja, itu tawaran yang lebih merepotkan daripada membantu.

Kalau pengawal yang dibawa banyak mungkin masih masuk akal, tapi hanya beberapa orang justru akan menjadi beban bagiku.

Soalnya, kalau aku sendirian, hampir dalam semua situasi aku bisa mengatasinya sendiri. 

Karena itu, aku menolak usulannya. 

“Tak perlu. Aku tidak pergi untuk bertempur, dan jalur yang kulalui pun bukan rute resmi. Lebih baik pastikan area sekitar ruang takhta benar-benar aman. Kalau tempat ini dipenuhi musuh, kita takkan bisa bergerak bebas.” 

“Namun bukannya itu terlalu berbahaya?” 

“Memang berbahaya, tapi membuang pengawal hanya untukku juga tidak bijak. Selain itu, kalau pasukan di ruang takhta jadi berkurang, itu pun berbahaya. Di dalam sana ada wanita yang bermasalah,” ucapanku jelas mengacu pada Camilla.

Bahkan jika dia sudah mendeteksi pemberontakan sebelumnya, waktunya terlalu cepat untuk bisa sampai ke sini.

Orang-orang di sekelilingnya bukanlah pengawal terlatih, hanya dayang dan pengawal wanita yang membawa senjata. 

“Kalau begitu, mungkin dia bisa sampai dengan selamat karena bersekongkol dengan musuh. Tidak mustahil.” 

“Dalam keadaan seperti ini, kita sebaiknya mencurigai semua orang. Awasi dia.” 

“...Dimengerti. Serahkan padaku.” 

Alida menunduk dan mundur.

Aku mengangguk, lalu memandangi punggung Trau dan yang lainnya ketika mereka melangkah masuk ke ruang takhta, sebelum aku berbalik arah. 

Namun dari belakang, suara Alida kembali memanggilku. 

“Pangeran Arnold.” 

“...Masih ada yang ingin kamu katakan, Komandan Alida?” 

“...Adikku menderita selama tujuh hari tujuh malam sebelum meninggal. Ayah menemaninya tanpa henti, dan di akhir, kami sekeluarga menunggui napas terakhirnya. Melihat apa yang dia lakukan, itu sudah sepantasnya. Tapi kalau aku bilang aku tidak marah... Tentu itu bohong.” 

“Wajar saja. Aku pun, kalau Leo melakukan dosa dan dijatuhi hukuman mati, pasti akan merasa marah.” 

“...Terima kasih karena mengerti. Sejujurnya, kadang aku berharap Anda tidak berada di dekat Nona Fine. Tapi kenyataannya, Anda tetap berada di sisinya. Adikku tidak bisa menerima itu hingga ajal menjemputnya. Maaf jika ini membebani, tapi... Tolong pikul perasaan itu bersamamu. Bila Anda mati dan Nona Fine bersedih, kematian adikku akan kehilangan maknanya. Demi ketenangan hatiku juga... Tolong, tetaplah hidup.” 

Kata-kata itu benar-benar tak kusangka.

Tatapan matanya yang berwarna biru muda menatapku lurus, tanpa sedikit pun keraguan.

Dia benar-benar tulus.

Orang ini sungguh aneh. 

“Jadi kamu tidak berharap aku mati?” 

“Kalau kamu mati, siapa yang bisa terselamatkan? Jika Nona Fine bisa tetap tersenyum... Itu saja sudah cukup bagi Laurenz. Mungkin pikirannya terlalu naif, tapi kalau orang yang dia cintai bisa bahagia, bukankah itu sudah cukup?” 

Ya, Laurenz menantangku justru karena dia tidak bisa berpikir seperti itu.

Tapi jika dengan berpikir begitu bisa sedikit menenangkan hati mereka, aku tak punya alasan untuk menolak. 

“Baiklah. Lagipula, aku memang tidak berniat untuk mati.” 

“Terima kasih sebesar-besarnya. Semoga keberuntungan menyertaimu.” 

Dengan senyum tipis yang hanya tampak sekilas, Alida mengucapkan itu dan melepas kepergianku.


Bagian 9

“Minggir!”

Dengan teriakan itu, Mia menghempaskan seluruh prajurit yang menghadang.

Melalui celah yang tercipta itu, Fine dan yang lain berlari secepatnya. Namun, semakin jauh mereka melangkah, semakin banyak pula prajurit yang bermunculan untuk menghalangi jalan mereka. 

Mereka akhirnya berhasil mencapai bagian tengah istana, tapi jumlah musuh terus bertambah. 

“Tidak ada habisnya ini!”

“Mereka mungkin memusatkan serangan hanya pada kita.”

“Tampaknya begitu...” 

Fine mengangguk mendengar perkataan Mitsuba.

Dalam kondisi seperti ini, hanya ada dua kemungkinan.

Entah para calon sandera lain sudah tertangkap, atau mereka semua telah berhasil mencapai tempat yang aman. 

Fine menilai kemungkinan kedua lebih masuk akal. Selama Al bergerak di balik layar, kecil kemungkinan calon sandera lain sampai tertangkap.

Itu berarti, yang lain telah berhasil berlindung di ruang takhta. 

Masalahnya hanyalah waktu.

Awalnya, Al memerintahkan semua calon sandera untuk bergerak bersamaan, agar perhatian musuh terpecah. Namun, kelompok Fine terlambat masuk ke istana.

Pertempuran sengit di harem membuat mereka tertahan lebih lama dari yang diperkirakan.

Akibatnya, kini mereka menjadi sasaran tembakan penuh. 

Andai saja mereka bisa bergerak lebih cepat. Sambil menyesali hal itu, Fine melirik ke arah Mia.

Mia masih tampak penuh tenaga, tapi tidak sepenuhnya tanpa kelelahan.

Jika pasukan terus menyerbu dengan jumlah sebanyak ini, mereka bisa terdesak.

Fine harus menemukan cara untuk keluar dari situasi ini. 

Ketika mereka tiba di sebuah persimpangan dan Fine mulai merasa gelisah.

Mia tiba-tiba menoleh ke belakang. 

Kemudian...

“Bahaya!” 

Mia mendorong Fine ke jalur di sisi berlawanan, lalu berdiri melindungi Mitsuba dan yang lain di belakangnya.

Pada saat bersamaan, pisau-pisau angin melesat lewat lorong yang baru saja mereka lewati, menghancurkan dinding di ujungnya hingga hancur berantakan. 

“Oh, oh... Jangan bergerak, oke? Kalau begitu aku tidak bisa membunuhmu.” 

Sosok yang muncul sambil berkata demikian adalah Zandra.

Di belakangnya berdiri sejumlah besar penyihir. 

“Cukup sekali lihat aku bisa tahu! Kamu pasti putri dari selir yang tadi, kan!? Tatapan matanya sama persis!”

Sambil berseru begitu, Mia berdiri di tengah lorong. 

Keputusan spontan itu membuat mereka kini terpisah dari Fine.

Selama Zandra tidak dikalahkan, mereka tidak akan bisa bertemu kembali. 

“Zandra itu pengguna sihir terlarang! Hati-hati!” 

“Hati-hati? Kamu pikir cukup dengan berhati-hati bisa menandingiku? Menghina sekali.” 

Zandra mengetukkan kaki kanannya ke lantai.

Sebagai balasan, dari bawah kakinya muncul puluhan bayangan hitam yang merambat di dinding dan lantai, mengarah pada Mia. 

“Sihir macam apa ini!? Menjijikkan!” 

Sambil menggerutu, Mia menembakkan panah demi panah untuk menghancurkan bayangan-bayangan itu.

Melihatnya, Zandra tersenyum tipis. 

“Naif sekali.” 

Bayangan itu tidak hanya menuju Mia.

Beberapa di antaranya juga meluncur di sepanjang dinding ke arah Fine.

Zandra menatap puas, namun Mia tak sekalipun menoleh ke arah Fine. Dia hanya mengangkat busurnya, menarik senar, dan melepaskan panah. 

Panah itu melesat tanpa meleset sedikit pun, menembus semua bayangan yang hendak menyerang Fine. 

“Yang naif sepertinya kamu sendiri.” 

“...Jangan besar kepala! Seorang pengawal rendahan berani menentangku, dasar kurang ajar!” 

Zandra mengangkat tangan kanannya ke arah Mia dan mulai melafalkan mantra dengan kecepatan tinggi. 

“Wahai senja yang bersemayam di balik cahaya.

“Anugerahkanlah hakikat debu cahaya ke tanganku.

“Ukirlah cahaya, padamkanlah cahaya.

“Karena cahaya ini adalah ketiadaan.

“Emptiness!” 

Bola cahaya berkilau terbentuk di telapak tangannya.

Merasa firasat buruk, Mia segera berlindung di sisi Mitsuba tepat ketika Zandra melempar bola itu. 

Bola cahaya tersebut membesar perlahan, melayang menyusuri lorong.

Kecepatannya memang tidak tinggi, tetapi masalahnya bukan di situ, melainkan pada sifatnya. 

Segala sesuatu yang disentuh oleh cahaya itu berubah menjadi debu dalam sekejap.

Belum pernah dia lihat ada sihir yang seperti itu, tapi tidak bisa disangkal, di depan mata mereka, sihir itu nyata. 

“Pantas saja kamu dianggap pengguna sihir terlarang!” 

Mia menyuruh Mitsuba dan yang lain untuk mundur.

Di sisi lain, Fine pun menarik diri ke belakang.

Bola cahaya itu menggerus dinding dan lantai lorong hingga akhirnya menembus tembok buntu di ujung, lalu menghilang begitu saja. 

Tidak ada luka langsung, tapi jarak antara mereka dan Fine kini semakin jauh.

Menyadari situasi buruk itu, Mia kembali mengangkat busurnya. 

Zandra kini berdiri di tengah persimpangan, tepat di antara Mia dan Fine. 

“Sekarang, apa yang harus kulakukan dengan kalian?” 

“Putri Zandra, mohon jangan lukai Putri Camar Biru. Dia adalah sandera penting,” ucap salah satu prajurit, memperingatkannya. 

Prajurit itu khawatir, karena melihat semangat Zandra yang berlebihan, dia bisa saja membunuh Fine tanpa sengaja. 

Zandra mengangguk ringan, tampak menurut.

“Aku tahu. Dia penting sebagai sandera untuk Kaisar.” 

“Terima kasih atas pengertiannya. Pangeran Gordon pasti akan senang mendengarnya.” 

Prajurit itu menunduk hormat.

Zandra hanya mengibaskan tangan kirinya tanpa mengatakan apa pun. 

Seketika, tanpa suara, bilah angin terwujud dan memenggal kepala prajurit itu. 

“Hmph! Aku tak peduli pada perasaan Gordon! Sandera? Tangkap hidup-hidup? Cara selunak itu tak bisa memuaskan amarahku! Semuanya dimulai dari kamu, Fine von Kleinert! Kamu, Putri Camar Biru, bersekongkol dengan Leonard dan Arnold! Karena kamu, mereka jadi besar kepala! Aku harus menelan hina karena kalian! Aku tidak akan tenang sebelum bisa menancapkan kepalamu di depan mereka!!” 

Dengan amarah membara, Zandra membalikkan badan, membelakangi Mia.

Mia segera memanfaatkan celah itu dan melepaskan panah. Namun panahnya tertahan oleh penghalang sihir yang dipasang oleh para penyihir di bawah perintah Zandra.

“Merepotkan sekali!!”

Mia kembali melepaskan anak panah dengan kekuatan penuh, menembus penghalang sihir dengan mudah. Namun, Zandra berhasil menepis panah itu dengan cambuknya.

Kecepatan anak panah memang menurun karena harus menembus penghalang, tapi meski begitu, cambuk Zandra tetap mengalami kerusakan yang cukup parah. Menyadari hal itu, rasa kesal menyusup di wajahnya, dan dia menoleh sekejap ke arah Mia. 

“Terus saja... Orang-orang yang membuatku jengkel bermunculan satu demi satu!” 

“Apakah cambuk itu begitu berharga bagimu!? Dasar cerewet!” 

Zandra mengulurkan tangan kanannya ke depan. Dari telapak tangannya, kilatan petir mulai menyatu. Di sisi lain, Mia juga menarik busurnya dengan cekatan dan penuh tenaga. 

Serangan yang dimaksudkan untuk saling menyingkirkan. 

Keduanya melepaskan serangan pada saat yang sama. 

Petir dan panah sihir bertemu di tengah koridor.

Keduanya menimbulkan ledakan besar yang mengguncang. Namun sedikit demi sedikit, tekanan mulai bergeser ke arah Mia. Anak panahnya kalah tenaga. 

“Hmph.” 

“Kamu berani nyengir!? Tak bisa dimaafkan!!” 

Mia melepaskan tembakan bertubi-tubi sambil marah, tapi semua panahnya berhasil ditahan oleh para penyihir bawahan Zandra. Melihat itu, Zandra menerima cambuk baru dari salah satu bawahannya dan mengalihkan pandangannya ke arah Fine. 

“Argh! Menjengkelkan sekali!!” 

Mia, menyadari bahwa situasinya buruk, segera memutuskan untuk menghabisi para penyihir yang menjaga penghalang satu per satu dengan cepat.

Namun, di saat bersamaan, Zandra mulai mendekati Fine. 

Melihat itu, Fine berteriak, “Mia! Tolong lindungi Nyonya Mitsuba dan yang lain!!” 

“Nona Fine!?” 

“Tidak apa-apa! Aku punya rencana! Tolong percayalah padaku!!” 

Mengatakan itu, Fine berbalik dan mulai berlari, meninggalkan Zandra di belakangnya.

Zandra berjalan pelan mengejarnya.

Dia tahu Fine takkan mungkin bisa melarikan diri seorang diri. 

Seperti seorang pemburu yang menikmati permainannya, Zandra terus melancarkan serangan sihir sambil mempersempit jarak. 

“Ayo, ayo! Kalau kamu tidak lari, kamu akan mati!”


“Ugh...!”

Terhempas oleh sisa gelombang sihir, Fine sempat terjatuh. Namun menahan rasa sakit yang menusuk tubuhnya, dia kembali bangkit dan terus berlari. 

Tempat yang akhirnya dia capai adalah kamar milik Al. 

“Haa haa...” 

“Oh, oh, kamu melarikan diri ke kamar Arnold? Ada apa, hm? Apa di sini ada semacam jebakan rahasia, mungkin?” 

Zandra melangkah masuk sambil tertawa pelan dengan nada mengejek. 

Tatapannya menyapu ruangan itu seolah mencari sesuatu, lalu dia terbahak keras. 

“Ahahahaha!! Jangan bilang kamu datang ke sini untuk minta tolong pada Arnold!? Pada pangeran yang sudah jadi bangkai hidup itu!? Kalau kamu belum tahu, biar kukasih tahu, anak itu hanyalah licik, bukan pahlawan! Semua bakat yang seharusnya dimilikinya sudah disedot habis oleh Leonard! Dia itu pengecut tak berguna! Itulah jati diri Arnold yang sebenarnya! Salah besar kalau kamu berharap pertolongan darinya dalam keadaan seperti ini!!” 

“Kamulah yang tidak tahu siapa Tuan Al sebenarnya...” 

“Dan kamu merasa kamu tahu!? Jangan membuatku tertawa! Kalau memang dia punya kemampuan menolong seseorang, tak mungkin dia disebut Pangeran Sisa selama bertahun-tahun! Kalau satu-satunya rencanamu hanya bergantung pada Arnold, sebaiknya kamu mati saja di sini! Kamu pasti puas mati dengan cara begitu, bukan!? Kamu memilih pria yang salah! Sekarang, menyesal lah atas kebodohanmu dan mati dalam keputusasaan!” 

Zandra menciptakan bilah angin tajam di telapak tangannya.

Fine menatap bilah angin itu tanpa gentar. 

Dia sengaja mengambil risiko dengan menjauh dari Mia demi menciptakan situasi seperti ini. Zandra adalah tipe orang yang selalu mengutamakan emosi di atas logika, orang yang tidak akan pernah rela membiarkan orang lain merebut kejayaan atau mengalahkannya. Fine tahu betul sifat itu. Dia sudah lama mendengarkan analisis Al tentang kepribadian Zandra. 

Karena itulah, Fine yakin, jika dia berpura-pura melarikan diri, Zandra pasti akan mengejarnya sendirian. 

Dan seperti yang dia perkirakan, semuanya berjalan sesuai rencana. 

Tugas Fine hanyalah sampai di titik ini, menciptakan kondisi yang tepat.

Apa yang terjadi setelah ini bukan lagi bagiannya. 

Maka, dengan suara pelan, dia berbisik, “...Tolong.” 

“Apa? Sekarang kamu mau memohon ampun? Rupanya kamu masih belum rela mati, ya!” 

Zandra menertawakan ucapan itu, salah paham dengan maksud Fine.

Dia sama sekali tidak sadar bahwa di belakangnya, seorang pria berjubah abu-abu telah muncul.


Bagian 10

Aku menyusup ke belakang Zandra, masih dalam wujud Grau.

Fine berhasil menciptakan situasi yang sempurna bagiku. 

Menggunakan sihir kuat dengan identitas Grau memang bisa menimbulkan masalah bagi reputasiku, tapi itu tetap seratus kali lebih baik daripada muncul tiba-tiba di istana sebagai Silver tanpa alasan yang jelas. 

Sambil berpikir begitu, aku mulai menghimpun sihir di tangan kananku.

Namun, pada saat yang sama... 

“Terlalu naif!” 

Zandra tiba-tiba berbalik, dan dengan kecepatan luar biasa, mencambuk ke arahku. 

Cambuk itu penuh dengan sihir, kecepatannya mengoyak udara, kekuatannya tak main-main.

Aku segera mundur, menghindari serangan itu. 

“Mana mungkin kamu bisa menyerangku diam-diam!” 

“Hebat juga. Memang pantas disebut mantan calon pewaris takhta. Sekalipun membusuk, darah keluarga kekaisaran rupanya masih mengalir di tubuhmu.” 

“Mantan calon pewaris...? Berani kamu sebut aku begitu!? Aku adalah kaisar masa depan!” 

“Memiliki cita-cita tak realistis bukan sesuatu yang bisa dibanggakan.” 

Kata-kataku jelas membuat darahnya mendidih. Zandra mencambuk berkali-kali. 

Sambil menghindari serangannya, aku memperhatikan celah untuk membalas.

Aku tidak bisa bertarung sepenuhnya sebagai Silver, jadi satu serangan telak untuk menghabisinya pun bukan pilihan.

Aku harus mencari cara lain. 

Ketika aku mulai memikirkan beberapa strategi, Zandra kehilangan kesabaran dan melancarkan sihirnya. 

Sihir angin. Sihir yang menjadi keahliannya. 

Zandra menjadikannya bilah tajam yang melesat ke arahku.

Aku menghindarinya dengan jarak yang sempit, lalu segera melangkah maju. 

Zandra unggul dalam sihir dan pertarungan jarak menengah, tapi lemah dalam jarak dekat.

Jika aku perkuat tubuhku dengan sihir, aku bisa melakukan apa saja.

Dengan perhitungan itu, aku memutuskan untuk bertarung jarak dekat. 

Namun, tubuhku tiba-tiba berhenti. 

“Apa!?”

“Hahahahaha! Kamu pikir aku tak mengantisipasi trik usang seperti itu!? Menghadapi penyihir dengan pertarungan jarak dekat? Tentu saja aku sudah memperkirakannya!” 

Ketika aku menunduk, bayangan hitam tampak melilit kakiku. Aku mendecak kesal dan merobeknya paksa, tapi justru di saat itu celah mematikan terbuka. 

“Tamatlah riwayatmu!!” 

“Tch!” 

Bilah angin yang tadi dia lepaskan.

Kembali berbalik dari arah belakangku.

Dengan naluriku, aku memutar tubuhku, namun lengan kiriku tertebas oleh bilah angin itu. 

Zandra tertawa keras melihat darah muncrat di lantai, namun aku justru tersenyum tipis. 

“Apa yang begitu lucu? Apa kamu sudah gila karena terlalu sakit?” 

“Sakit? Apa maksudmu?” 

Aku melangkah tenang ke arahnya, tanpa sedikit pun reaksi kesakitan.

Zandra sempat mundur selangkah, dan pada saat itu, lenganku tumbuh kembali seolah tak pernah hilang. 

“Apa!?”

Matanya tidak bisa menyembunyikan ekspresi kaget ketika melihat lenganku tumbuh kembali. Dia mundur tidak hanya satu langkah, melainkan dua hingga tiga langkah. 

“Kenapa? Sudah selesai?” 

“Jangan main-main denganku! Sekalipun tanganmu tumbuh lagi, kamu tidak akan bisa menumbuhkan kepalamu!!” 

Dengan teriakan itu, Zandra menebas leherku dengan bilah angin. 

Zandra tersenyum, yakin akan kemenangan dengan menatap kepalaku di lantai. 

“Itulah akibatmu! Terlena dengan kemampuan penyembuhanmu sendiri!” 

“Terlena? Apa maksudmu?” 

Aku menjawab dari lantai. 

Kepala yang terlepas itu berbicara, masih hidup, masih sadar.

Ketakutan muncul jelas di wajah Zandra untuk pertama kalinya. 

“Tidak... Tidak mungkin...”

“Kenapa? Baru kali ini melihat seseorang yang tidak mati meski kepalanya terlepas?” 

“Mustahil! Tidak mungkin! Kamu bukan manusia! Apa kamu Dullahan!?” 

“Bukan. Aku manusia. Hanya sedikit berbeda dari kebanyakan manusia, sih.” 

Sambil berkata begitu, tubuhku bergerak mengambil kepalaku sendiri.

Dengan langkah tenang, aku mulai mendekati Zandra. 

Panik, Zandra mengumpulkan sihir, membentuk bola cahaya di tangannya dan melemparkannya ke arahku. 

“Kalau kamu jadi debu, mari kita lihat apa kamu masih bisa pulih!!” 

Seperti yang dia harapkan, bola cahaya itu menelan tubuhku, dan aku lenyap menjadi debu. 

Namun Zandra tidak tertawa kali ini.

 Dia menatap tempatku berdiri tadi dengan kewaspadaan.

Setelah menunggu beberapa detik, kemudian puluhan detik pun berlalu, tidak ada yang terjadi. Akhirnya dia melepaskan napas lega dan menyeringai. 

“Rasakan itu.” 

“Ada apa denganmu, Putri Zandra?” 

Suaraku datang dari belakangnya. 

Zandra menjerit dan menoleh cepat, tapi aku tak ada di sana.

Yang ada hanyalah asap hitam yang berputar di udara. 

Asap itu berkumpul, membentuk siluet manusia, dan perlahan, aku kembali berdiri di sana. 

“Yang benar saja...”

“Sekarang, Putri Zandra. Bagaimana kalau kita lanjutkan permainannya?” 

Begitu kata-kata itu terucap, dari tubuhku meledak kabut hitam yang melesat ke segala arah. 

Zandra merasakan bahaya yang mengerikan dan berlari secepat yang dia bisa di lorong istana. 

“Haa haa... Tidak, tidak!! Ini bohong! Ini pasti bohong!! Makhluk seperti itu tak mungkin ada! Pasti ada tipu muslihat! Tak mungkin ada yang bisa selamat dari sihir terlarangku! Tidak mungkin! Tidak mungkin!!” 

“Putri Zandra! Apakah Anda baik-baik saja!?” 

“Dasar tolol! Cepat tangkap makhluk itu! Cepat!!” 

Prajurit dan para penyihir segera berdatangan ke tempat kejadian.

Zandra menghela napas lega begitu melihat para prajurit dan penyihirnya datang.

Paling tidak, pikirnya, mereka bisa menahanku sebentar. 

Namun begitu mereka menyentuh asap yang kulepaskan, tubuh mereka lumer, benar-benar mencair. 

“H-Hah!?”

“Tak ada lagi jalan untuk kabur, Putri Zandra.” 

“Ugh! Sial! Seseorang! S-Siapa pun kalian!? Tolong aku! Aku ini seorang putri!! Zandra Lakes Ardler ada di sini! Tolong aku! Siapa pun yang menolongku akan kuberi harta dan jabatan sampai akhir hayat! Jadi tolong aku! Kumohon!”


Zandra berteriak histeris, namun Fine hanya menatap dan bertanya tenang, “Tuan Grau... Apa ini...?”

“Aku membuat ilusi. Sepertinya dia akan main kejar-kejaran denganku di dalam mimpi palsu ini untuk sementara.” 

Aku menatap Zandra yang tengah merintih-rintih, sambil berdiri di tempat. 

Saat aku mengambil posisi di belakangnya, aku sudah memasang ilusi itu. 

Zandra mungkin mengira ilusinya sudah pecah, padahal yang pecah adalah bagian dari ilusiku sendiri.

Memberi orang lain mimpi buruk adalah sihir yang berbahaya karena bisa merusak pikiran, jadi aku enggan menggunakannya sembarangan. Tapi untuk Zandra, aku rasa itu boleh saja. 

Dia tetaplah anggota keluarga kekaisaran dan penyihir andal.

Suatu saat dia pasti bisa mematahkan ilusi itu sendiri. 

“Apa yang akan kamu lakukan pada Putri Zandra?” 

“Dia tak punya nilai sebagai sandera. Kalau kubunuh, Gordon hanya akan menyerap anak buahnya. Membunuhnya sih mudah... Tapi lebih menguntungkan kalau mereka saling berseteru dengan Gordon dan saling menjatuhkan. Itu akan lebih mempermudah banyak hal.” 

Anak buah Zandra pasti tak akan meninggalkannya begitu saja saat mereka melihatnya terjebak dalam ilusi. 

Mereka akan sibuk mengamankannya dan membawanya ke tempat aman, cukup menjadi penghalang yang efektif. 

Mendengar itu, Fine menghela napas lega. 

Mungkin dia sempat khawatir kalau aku akan membunuhnya.

Membunuhnya memang sebuah opsi, cara yang mudah dan sederhana.

Namun, cara itu tidak akan menyelesaikan apa pun.

Akar permasalahan ini bukan dari dirinya, dan nyawanya pun takkan mengembalikan apa yang telah hilang.

Kalau begitu, tak ada nilai untuk mengotori tangan ini dengan darahnya, terlebih di depan Fine. 

“Seorang penjahat seharusnya diadili oleh hukum. Setelah semuanya berakhir, akan lebih pantas jika Paduka Kaisar sendiri yang menjatuhkan vonis kepada Putri Zandra.” 

“Benar juga. Itu kalau dia masih hidup sampai saat itu. Bukan kita yang jadi ancaman baginya, tapi Kakak Lize. Dia takkan membiarkan ibu dan anak ini lolos begitu saja. Aku belum punya bukti kuat, tapi kemungkinan besar mereka terlibat dalam kematian Selir Kedua. Dan kalau memang benar begitu, Kakak pasti akan menghabisi mereka tanpa ragu.” 

Ya, kalau sampai itu terjadi, aku takkan bisa berbuat banyak.

Aku tidak berharap Zandra tetap hidup, aku hanya menahan diri karena membunuhnya sekarang akan lebih banyak merugikan daripada menguntungkan.

Kalau situasi berubah dan kematiannya tak lagi membawa kerugian, aku pun takkan menahan diri. 

Fine tentu takkan menginginkan hal semacam itu, tapi dia adalah pengecualian.

Mereka yang terseret dalam tipu daya Zandra, mereka yang kehilangan segalanya akibat pemberontakan ini, pasti akan menuntutnya hukuman mati. Dan Ayahanda kemungkinan besar akan menjatuhkan vonis itu. 

Itu hanya soal waktu, cepat atau lambat.

Mungkin, bagi Zandra sendiri, mati sekarang malah akan lebih bahagia.

Dia akan mati menanggung seluruh kebencian dan kutukan rakyat.

Bisa dibilang itu memang akhir yang paling layak untuknya. 

“Untuk sekarang, biarkan saja dia begitu. Kita harus segera ke ruang takhta.” 

“Tidak, sejauh ini hanya Nyonya Mitsuba dan Nyonya Gianna yang berhasil kami bawa keluar dari istana harem. Saya sudah menghancurkan jalan yang terhubung ke istana utama, jadi perhatian mereka pasti terpusat ke sana. Kita harus lewat lorong rahasia untuk menyelamatkan Selir Ketiga dan Nyonya Therese.” 

Aku tak bisa menahan senyum kecil mendengar Fine.

Meski barusan nyaris celaka, dia masih mampu berpikir sejauh itu.

Dia sudah banyak berkembang.

Akan tetapi, “Sayangnya, Selir Ketiga dan Therese sudah berada di ruang takhta.” 

“Eh? Bagaimana...?”

“Ibu dijadikan umpan untuk mengalihkan perhatian. Mereka keluar dari harem lebih dulu. Memang menyebalkan, tapi mereka berhasil. Jadi sekarang, selain dirimu, semua orang sudah berkumpul di ruang takhta. Ibu dan yang lain juga hampir sampai.” 

Ketika memeriksa dengan sihir pendeteksi, aku sudah melihat posisi mereka di dekat ruang takhta.

Lambannya pergerakan pasukan pasti karena Zandra berada di lantai ini.

Kehadirannya membuat para prajurit kacau, pengaturannya berantakan karena dia memerintah mereka semaunya. 

Zandra memang bukan bawahannya Gordon, hanya sekutunya. Tapi keduanya sama sekali tidak percaya satu sama lain.

Mereka saling menahan, saling waspada, dan akhirnya justru saling menjatuhkan.

Seperti air dan minyak, mereka tidak mungkin bisa bersatu. 

“Jadi, semuanya berjalan lancar!” 

“Ya. Semua karena kamu. Kamu sudah melakukan lebih dari cukup. Benar-benar membantu.” 

“Tidak, saya hanya meniru apa yang biasa Tuan Al lakukan. Saya tidak melakukan hal besar.” 

“Aku rasa meniruku tidak semudah itu. 

Aku meraih bahunya perlahan dan menariknya sedikit mendekat.

Kemudian, terbentuklah gerbang teleportasi.

Selama tak ada siapa pun di sekitar, tak perlu lagi membuang waktu lewat lorong tersembunyi. Lebih baik langsung melompat. 

“Baiklah. Saatnya kita keluar dari sini.” 

“Baik!” 

Dan dengan itu kami berpindah ke lantai atas istana.


Bagian 11

Setelah berpindah ke lantai atas dan tiba di dekat ruang takhta, kami menemukan Mia dan yang lain sedang menunggu Fine. 

“Nona Fine!!” 

“Mia.” 

Begitu melihat sosok Fine, Mia langsung berlari dan memeluknya erat. 

“Syukurlah...! Aku benar-benar khawatir kalau sampai terjadi sesuatu padamu!” 

“Aku baik-baik saja. Tuan Al menolongku.” 

“Kalau begitu, artinya kamu ada di sekitar sini sejak tadi, bukan!? Seandainya begitu, aku ingin kamu menolongnya sedikit lebih cepat!” 

“Jangan bicara semaunya. Lorong rahasia tidak tersebar di mana-mana.” 

Lalu aku menunduk dalam-dalam di hadapan Ibu. 

“Aku senang Ibu baik-baik saja.” 

“Ya, semua berkat Fine dan yang lainnya. Padahal aku sudah menyuruh mereka berdua untuk kabur saja... Dasar anak-anak keras kepala.” 

“Benar juga. Tapi... Mereka selalu menolong kita.” 

Berbeda denganku yang selalu bertindak berdasarkan perhitungan, Fine bergerak atas keyakinannya sendiri.

Jika menurutnya sesuatu itu benar, dia akan melangkah tanpa ragu; sebaliknya, jika dianggap salah, dia takkan bergeming.

Terkadang tindakannya bertentangan dengan rencana yang sudah kususun, tapi justru karena itulah dia mampu menghasilkan hasil yang tak bisa kuperkirakan. 

Kali ini pun begitu. Aku semula menempatkan Ibu di urutan prioritas yang lebih rendah, tapi Fine dan Mia malah langsung pergi menyelamatkannya.

Target utama kami seharusnya adalah Therese, namun seandainya mereka berdua benar-benar menuju ke sana, hasilnya pasti nihil, dan belum tentu Ibu masih hidup. 

Pada akhirnya, semua hanyalah hasil dari kebetulan yang berpihak. Tapi dalam situasi di mana nyawa menjadi taruhannya, yang terpenting hanyalah hasil akhir. 

“Pangeran... Bagaimana dengan Rupert...?”

“Tenang saja. Dia sudah berada di ruang takhta.” 

“Ah... Terima kasih banyak...”

Air mata menetes di sudut mata Gianna. 

Melihat itu, Ibu perlahan mendekatinya. 

Aku menatapnya lalu bertanya, “Ibu tidak menanyakan kabar Christa?” 

“Traugott ada di sana, bukan? Ibu tak perlu khawatir.” 

“Ya, memang begitu, tapi...” aku menghembuskan napas, merasa aneh dengan betapa tingginya penilaian Ibu terhadap Kakak Trau. 

Orang-orang yang mengenalnya sejak kecil memang mengakui bakat yang dimilikinya. 

Dia tumbuh bersama Putra Mahkota dan menerima pendidikan yang sama.

Masalahnya hanyalah sifatnya.

Dia sulit ditebak. Walau berbakat, jarang sekali dia menggunakannya dengan benar.

Sungguh seperti harta karun yang dibiarkan berdebu, tapi mungkin itu juga yang membuatnya menjadi dirinya sendiri. 

“Baiklah. Mari kita pergi. Grup ini adalah rombongan terakhir.” 

Dengan kata-kata itu, kami semua pun bergerak menuju ruang takhta.


* * *


“Saya senang Anda selamat, Yang Mulia.”

“Begitu juga denganmu, Komandan. Bagaimana situasinya?”

“Sejak Anda turun ke bawah, beberapa kali kami diserang, tapi setelah itu semuanya tiba-tiba berhenti.”

“Sepertinya karena Zandra sudah naik ke lantai menengah. Rantai komando mereka pasti kacau sekarang.” 

Sambil berkata begitu, aku melangkah ke dalam ruang takhta bersama Alida.

Di dalamnya sudah berkumpul banyak orang. Selir Ketiga Camilla, Kakak Ipar Therese, Rupert, Christa, juga Kak Trau. Selain mereka, ada para pengawal, pejabat penting, dan sejumlah pelayan istana yang berhasil melarikan diri ke sana. 

“Rupert! Ah, syukurlah kamu selamat...!”

“Ibu juga, aku lega melihat Ibu tidak terluka...” 

Ketika Gianna melihat Rupert, dia langsung berlari ke arahnya dan memeluknya dengan erat.

Sebuah pertemuan mengharukan antara ibu dan anak.

Tidak sehangat itu memang, tapi Christa juga bergegas menghampiri ibuku. 

“Ibu, syukurlah Ibu tidak terluka...”

“Christa juga, Ibu lega kamu baik-baik saja. Ibu tidak apa-apa.” 

Dengan begini, semua orang yang berpotensi dijadikan sandera tampaknya sudah berkumpul di ruang takhta.

Melihat situasinya, para pejabat dari Cornix dan Egret tampaknya sudah berpihak pada musuh. Mereka juga tidak terlihat di dalam istana. 

“Ah, Nyonya Mitsuba, Anda selamat rupanya. Syukurlah. Saya sempat khawatir.”

“Terima kasih, Nyonya Camilla.” 

Di tengah suasana haru itu, Camilla menatap ibuku sambil tersenyum manis.

Ingin rasanya kutanya, berani sekali dia mengatakan itu. Tapi sekarang bukan waktunya untuk berdebat. 

“Kak Trau, apa situasi di dalam istana sudah kamu sampaikan pada Komandan?”

“Tentu saja.”

“Begitu, ya... Berarti kamu juga sudah dengar kalau Raphael membelot?”

“Ya. Sulit dipercaya dia ikut memberontak, tapi menurut saya Oliver tidak berbohong.”

“Untuk sekarang, alasan pengkhianatannya tidak penting. Yang penting adalah fakta bahwa dia berkhianat. Kita tidak tahu berapa banyak bawahannya yang ikut berpihak padanya, tapi sebaiknya kita anggap seluruh Regu Kesepuluh sudah beralih ke pihak musuh. Kalau begitu, tempat ini pun tidak sepenuhnya aman.”

“Benar. Kalau saya harus melawannya, saya pun tak bisa bergerak bebas.”

“Dan kalau mereka menekan kita dengan jumlah, semuanya akan berakhir. Terlalu banyak orang yang tak bisa bertarung di sini.” 

Dengan itu, aku menyapu pandangan ke seluruh ruang takhta.

Para pelayan yang berhasil bersembunyi di sini tampak sangat gelisah.

Tak heran, karena baru saja aku mengatakan bahwa tempat ini tidak aman. 

Alida memandangku, seolah bertanya apa yang akan kulakukan selanjutnya.

“Jadi... kita akan melarikan diri.”

“Melarikan diri, tapi di mana jalan keluarnya?” 

Nada bicara Alida menunjukkan bahwa dia tidak berniat memberitahuku jalur pelarian khusus untuk Kaisar.

Wajar saja. Begitu jalur itu digunakan sekali, jalur tersebut akan dianggap tak aman lagi.

Jika istana direbut, jalur rahasia yang mengarah ke luar bisa menjadi titik masuk musuh.

Alida tidak bisa mengambil keputusan sembrono.

Mengingat posisinya sebagai Komandan, itu hal wajar. 

Tapi aku sudah memperhitungkan itu sejak awal.

Aku tersenyum tipis padanya, lalu berjalan ke sudut ruang takhta.

Di sana, aku mengaktifkan sebuah mekanisme tersembunyi, memperlihatkan sebuah lorong rahasia. 

“Jalan keluar sih, kebetulan aku punya satu di sini.”

“D-Dari mana Anda tahu itu?” 

Untuk pertama kalinya, ekspresi Alida berubah.

Keterkejutan dan kebingungan bercampur di wajahnya, dan aku mengangguk puas melihatnya. 

“Sebelas tahun yang lalu, Ayahanda yang memberitahuku. Siapa sangka aku menggunakannya sekarang.”

“Paduka sendiri yang memberitahumu? Sekalipun Anda seorang pangeran...”

Alida menepuk dahinya dan menghela napas panjang.

Sebagai Komandan, dia pasti pusing memikirkannya.

Apalagi mengingat yang diberi tahu itu aku, kini dia harus memeriksa apakah masih ada rahasia lain yang mungkin telah kubocorkan. Setelah semua ini berakhir, kerja tambahan menantinya. 

“Kalau begitu, tak ada gunanya untuk tetap menyembunyikannya. Lorong itu memang terhubung ke luar. Jadi, kalian semua akan melarikan diri lewat sana, bukan?”

“Benar. Masalahnya, lorong itu tidak cukup besar.” 

Jalur itu awalnya dibuat untuk Kaisar dan para pengawal terdekatnya.

Bukan dirancang untuk dilewati oleh orang sebanyak ini.

Dengan banyak orang seperti ini, kami harus membaginya ke dalam beberapa kelompok kecil. 

“Kalau begitu, aku dan Therese akan pergi lebih dulu. Sertakan juga pengawal untuk menjaga kami.” 

Camilla mengatakannya dengan nada seolah itu keputusan yang wajar.

Aku mengerutkan alis.

Dalam situasi seperti ini, yang keluar lebih dulu tentu akan memiliki peluang lebih besar untuk lolos. 

“Seharusnya yang pergi dulu adalah keluarga kekaisaran, bukan?”

“Yang perlu diprioritaskan adalah nilai sandera mereka. Bayangkan jika Therese tertangkap, apa yang akan terjadi?”

“Kalau begitu, biar Therese dan Christa pergi lebih dulu.”

“Tak baik menempatkan dua sandera paling berharga bersama. Lebih aman jika mereka dipisahkan. Aku tak keberatan jika harus pergi bersama Putri Christa.” 

Tatapan Camilla seperti mata ular yang menatap mangsanya.

Christa refleks bersembunyi di belakang ibuku.

Sejujurnya, aku ingin menempatkan Camilla di kelompok terakhir, tapi sebagai selir, dia memiliki kedudukan tertinggi di sini. 

Tidak mungkin aku melanggarnya. 

Akhirnya aku menarik napas dan mengangguk pasrah.

“Baiklah. Kalian berdua pergi lebih dulu bersama orang-orang kalian. Aku akan pastikan pengawal terdekat mengiringi kalian.”

“Terima kasih banyak.”

“Sama-sama. Tapi ada satu hal yang harus kalian lakukan untukku.”

“Oh? Aku akan dengan senang hati membantu.” 

Camilla tersenyum lembut.

Aku membalasnya dengan senyum tipis.

Maaf, tapi aku punya prinsip untuk tidak pernah lupa membalas dendam.

Aku tidak akan lupa kalau kamu menjadikan ibuku sebagia umpan. 

“Komandan. Permata pelangi yang dipajang di belakang takhta itu palsu, kan?”

“Benar. Itu hanya tiruan.” 

Di belakang takhta, dua permata berwarna pelangi terpasang seolah sengaja dipamerkan.

Bagi orang yang tak tahu, mereka pasti mengira itu adalah permata pelangi. Namun, meski itu ruang takhta, tak mungkin permata-permata itu diletakkan begitu saja di sana.

Maka dari itu palsu.

Para prajurit pasti tak bisa membedakannya. 

“Kalau begitu, bawalah tiruan itu. Kalau satu regu yang diiringi banyak kesatria pengawal membawa barang itu, para prajurit pasti akan tertipu.” 

“Apa...?”

Camilla menatapku dengan ekspresi tak percaya mendengar ucapanku.

Bagaimanapun juga, aku baru saja memintanya menjadi umpan.

Tapi ini buah dari pilihannya sendiri.

Biarlah dia menuai akibatnya.


Bagian 12

Camilla menatapku dengan rasa jijik.

Tapi aku menyambutnya dengan senyuman.

“Semua ini demi Kekaisaran. Mohon dimaklumi.”

Kuulang kata-katanya sendiri, kata yang tadi diucapkannya. 

Jika menjadikan ibuku umpan demi keselamatan Kekaisaran bisa dibenarkan, maka mengerahkan tiruan permata pelangi untuk menarik perhatian musuh juga harus sah demi Kekaisaran. 

Camilla menarik napas panjang untuk menenangkan diri, lalu menentang.

“Pangeran Arnold, mengapa aku harus membawa tiruan itu keluar? Dengan Komandan Alida berjaga di ruang takhta, musuh akan mengira permata itu masih di sini. Bukankah ini strategi yang berisiko tinggi namun berimbas kecil?” 

“Tenang saja. Kami juga akan membawa yang asli.” 

“Apa...?” 

Camilla memicingkan mata terheran-heran. 

Baginya, menanggalkan formasi Alida dan Regu Pertama yang menjada ruang takhta terlihat tak masuk akal. 

Faktanya, formasi itu memang kuat, musuh biasa takkan mudah menerobosnya.

Namun musuh kita bukanlah lawan biasa. 

“Karena Raphael telah membelot, bertahan di sini bukanlah hal yang bijak. Sebentar lagi dia akan datang bersama para jenderal yang militan. Saat itu, bahkan Komandan pun sulit menahan serbuan mereka.” 

“Bukan berarti kami pasti kalah, tapi saya mengakui ada kemungkinan kami tak bisa menjaga permata itu.” 

Alida menatap Camilla, tenang saat menjawab. 

Seseorang yang bisa mengalahkan Alida dalam satu lawan satu hanya terbatas. Apalagi ini ruang takhta di mana sihir tak bisa digunakan. Mereka harus diterobos paksa hanya dengan pedang.

Menang adalah sesuatu yang tidak realistis. Tapi kalau hanya menahan langkah mereka, itu mungkin saja. Jika Raphael yang melakukan itu.

Kalau begitu, tugas menahan itu akan jatuh pada bawahan Alida. Namun walau mereka adalah kesatria pengawal yang terpilih, mereka tetap bisa mengikis pertahanan kalau menang jumlah. Apalagi jika kita harus mengurangi personel untuk mengawal Camilla dan rombongannya.

“...Kalau begitu, biarkan kami membawa yang asli.”

“Siapa pun tahu bahwa Therese dan Komandan Alida adalah kakak beradik. Terlebih lagi, Therese—istri dari Kakak Sulung—dikenal di seluruh negeri. Dengan muka seperti ini, ketika Komandan harus memilih kepada siapa dia mempercayakan permata pelangi... Yang paling mungkin adalah Therese. Tidak mungkin kami dengan polos menyerahkan yang asli kepada orang seperti itu.”

“Kalau mau dijadikan umpan, itu akan menempatkannya pada bahaya besar, bukan begitu? Apa Komandan setuju dengan itu?”

“...Begitu kakak menikahi Putra Mahkota, dia sudah menjadi keluarga kekaisaran. Mengorbankan dirinya demi Kekaisaran adalah kewajibannya. Apalagi kami berasal dari keluarga Weitling. Seperti yang dikatakan Nyonya Camilla, keluarga kami masih dibayangi aib yang ditinggalkan adik kami. Di manapun kami berada, apa pun status kami, aib itu akan terus menempel pada keluarga kami dan orang yang terkait. Noda itu hanya bisa dibersihkan dengan tindakan. Kakak, aku pun siap mempertaruhkan nyawaku. Tolong terimalah. Ini juga demi Ayah.”

“...Baiklah. Aku juga... akan menunaikan tugasku.”

Therese menerima bujukan Alida dan mengangguk dalam-dalam.

Mendengar itu, wajah Camilla mengerut.

Dari sudut pandang seluruh Kekaisaran, sangatlah melegakan bila Therese mau menjadi umpan.

Namun bagi Camilla itu justru bermasalah.

Pertama, itu menempatkan dirinya sendiri dalam bahaya. Baru saja dia sendiri mengatakan bahwa Christa atau Therese harus menjadi prioritas utama, setelah membuat Christa ketakutan. Sekarang, tak mungkin dia mengatakan tidak akan pergi bersama Therese.

Yang paling membuat Camilla cemas adalah bila musuh tidak bereaksi terhadap umpan, yakni Therese.

Bahkan aku dan Fine yang bergerak cepat harus menggunakan lorong rahasia saat menuju ke bawah istana. Namun Camilla tampak naik sampai ke bagian atas istana tanpa tanda-tanda pertempuran.

Padahal kami sudah susah payah melalui lorong tersembunyi; mungkinkah hanya dengan menembus celah-celah itu orang bisa naik ke atas begitu saja? Lebih logis jika dikatakan bahwa dia tahu rute yang sepi orang.

Kalau memang dia bergerak sangat cepat, lain ceritanya, tetapi itu menimbulkan pertanyaan mengapa dia bisa bergerak semulus itu. Kalau tidak, bagaimana mungkin dia menemukan jalur naik sementara para prajurit sedang menguasai istana?

Kecurigaan terus membayangi Camilla di mana-mana.

Bahkan bila kupisahkan dari sentimen pribadiku—bahwa dia menjadikan ibuku umpan—Camilla tetap terasa mencurigakan.

Ini sebuah ujian.

Jika musuh tak bereaksi terhadap Therese yang dijadikan umpan, maka Camilla nyaris pasti terlibat sampai ke akar-akarnya. Kalau begitu, Eric sebagai putra Camilla pun akan turut ternodai.

Dalam banyak kasus, orang yang diuntungkan saat ada sesuatu yang ganjil biasanya orang yang dicurigai.

Dari enam selir Kaisar, Zuzan dan Selir Keempat sudah berpihak pada pemberontak. Yang tersisa adalah Permaisuri, ibuku, dan Gianna.

Anak Permaisuri adalah Kak Trau, yang tak punya keinginan naik takhta. Jika demikian, bila ibuku dan Gianna tewas dan pemberontakan berhasil dipadamkan, harem hampir sepenuhnya akan menjadi milik Camilla.

Kalau-kalau Ayahanda tewas, kedudukan Permaisuri di sampingnya juga akan goyah. Dalam keadaan itu posisi Camilla akan semakin kuat.

Baik bagi Eric maupun Camilla, jika mereka berhasil melewati pemberontakan ini tanpa masalah, para penghalang akan lenyap. Gordon bisa menyingkirkan para penghalang itu, lalu mendapatkan kedudukan moral untuk menumpasnya.

Jika dipikir begitu, bayangan dalang yang mengintai mulai sedikit terlihat.

Namun Eric kemungkinan besar takkan memperlihatkan ekornya.

Justru Camilla yang lebih besar kemungkinannya menampakkan tanda-tanda.

Setelah pemberontakan dipadamkan, jika musuh tak mendekati Camilla, barulah kita bisa menuntutnya. Sekali penyelidikan dijalankan, mungkin bukti pun akan bisa ditemukan.

“Baiklah, Nyonya Camilla. Mohon jaga Therese.”

“...Kalau Therese bersedia, aku tidak berhak untuk menolak. Baiklah.”

Sepertinya Camilla sadar bahwa kata-kata takkan bisa mengubah keadaan, lalu dia mundur dengan tenang.

Patut dipuji sebagai ibu Eric, penilaian semacam itu memang dimilikinya.

Yah, semua ini mungkin hanya salah paham dan tergesa-gesa dari pihakku. Meski begitu, semakin mencolok umpan itu, semakin aman sang target yang sebenarnya.

Titik penentu pertarungan adalah permata pelangi yang keempat. Semakin lama kami menahannya, semakin menguntungkan pihak kami. Sebaliknya, jika permata keempat jatuh ke tangan Gordon dan Bola Langit itu diperkuat, kami takkan berdaya.

Karena itu, permata itu mutlak tak boleh diserahkan. Kalau sampai diserahkan, semuanya akan sia-sia.

“Kakak, ini permata pelangi palsu. Tolong hati-hati.”

“Terima kasih, Alida. Kalau begitu... aku berangkat. Semoga nanti, kalau kita semua masih hidup, kita bisa bertemu lagi dengan senyum di wajah.” 

Mengucapkan itu, Therese melangkah masuk ke lorong rahasia.

Setelahnya, Camilla bersama para pelayannya, pengawal perempuan, serta para kesatria pengawal mengikuti.

Mungkin tak lama kemudian, Christa dan yang lain juga akan keluar. 

Aku menatap ke arah tempat di mana permata pelangi sebelumnya diletakkan.

Di bawah alasnya terdapat semacam mekanisme. Saat kugerakkan sedikit, bagian bawah alas itu terbuka.

Di sana tersembunyi sebuah permata sebesar kepalan tangan. 

“Itu permata pelangi, kan? Indah sekali!”

Mia berbisik kagum sambil mencondongkan tubuh untuk mengintip dari belakangku. 

Namun aku hanya menghela napas pelan sambil menggenggam dua buah permata itu.

“Ini juga palsu, rupanya. Kanselir itu benar-benar tahu caranya bermain.”

“Itu juga palsu!?” seru Mia dengan wajah tak percaya. 

Wajar saja dia terkejut. Dari permata itu pun terpancar energi sihir yang sangat kuat, nyata dan padat.

Sayang sekali untuk membuat tiruan sebagus ini.

Tapi justru karena itulah tiruan ini bisa menipu siapa pun. 

“Kalau yang disembunyikan ini pun palsu, berarti yang asli ada di tangan Komandan?”

“Tajam sekali. Benar, yang asli ada padaku.” 

Sambil berkata begitu, Alida mengeluarkan permata pelangi yang asli.

Bentuknya identik dengan yang ada di tanganku, atau mungkin, sebaliknya, tiruanku yang dibuat begitu menyerupai yang asli.

Kalau hanya melihat wujudnya, hampir mustahil dibedakan.

Namun bagi mereka yang peka terhadap sihir, perbedaan itu jelas terasa. Dari permata asli terpancar kekuatan tak 

Seolah energi sihir di dalamnya terbentang samudra tanpa dasar. 

“Sepertinya Anda bisa membedakan mana yang palsu.”

“Sudah dari dulu. Dalam hal begini, aku yakin tak akan kalah bahkan dari Leo sekalipun.” 

Sepertinya Alida mengingat saat aku menyadari keanehan pada jasad Leticia.

Mungkin karena aku sendiri terbiasa berbohong, maka aku juga pandai mengenali kebohongan. Aku memang selalu curiga terhadap apa pun. 

Sambil aku berpikir demikian, Alida mengeluarkan dua kantong kecil yang bentuknya sama persis.

Dia lalu memasukkan permata asli dan tiruannya masing-masing ke dalam kantong tersebut. 

“Silakan. Saya serahkan pada Anda untuk mempergunakannya.”

“Kamu yakin mau mempercayakannya padaku?”

“Setelah Anda berhasil memimpin begitu banyak orang sampai sejauh ini, saya menaruh harapan pada Anda.”

“Kalau begitu, baiklah. Aku yang akan mengurusnya.” 

Dengan itu, aku menggenggam kedua kantong itu, lalu melangkah menuju Christa dan yang lainnya.


Bagian 13

Ketika aku melangkah menuju Christa dan yang lainnya, Kak Trau bicara lebih dulu.

“Apa yang akan kamu lakukan, Arnold?”

“Yang asli akan kutitipkan padamu. Masalahnya tinggal yang palsu...”

Menyerahkannya pada Fine juga bisa jadi pilihan.

Namun, bila akan dijadikan umpan, sebaiknya dipegang oleh keluarga kekaisaran.

Saat aku memikirkan itu, Rupert melangkah maju. 

“Biar aku yang... menanggungnya.”

“Rupert...”

Kalau hanya semangat tanpa kesiapan nyata, aku tak bisa mempercayakannya.

Dia harus dengan penuh hati melakukannya.

Keputusan yang ragu hanya akan membawa masalah.

Namun di mata Rupert, tak ada keraguan semacam itu. 

“Aku sudah menitipkan Kakak dan Kak Christa pada Grau. Dia mendengarkan permintaanku dengan sungguh-sungguh. Dia masih ada di dalam istana, bukan?”

“Ya, dia bersembunyi di bawah.”

“Kalau begitu, aku juga akan melakukan bagianku. Kalau hanya mengandalkan orang lain... itu terlalu pengecut. Aku ingin melakukan sesuatu. Kalau jadi umpan... mungkin aku yang paling cocok.” 

Rupert berkata begitu sambil menampilkan senyum getir.

Benar juga, sifatnya yang penakut justru membuatnya sangat pas menjadi umpan.

Aku melirik ke arah Kak Trau.

Dia mengangguk perlahan. 

Melihat itu, aku tersenyum tipis dan mendekati Rupert.

“Dengar baik-baik, Rupert. Apa yang akan kukatakan ini penting.”

“Baik, Kak Arnold.”

“Yang paling penting bagi seorang umpan adalah jangan sampai terlihat seperti umpan. Anggap ini benda asli. Tak peduli siapa pun berkata apa, anggap ini yang asli. Perlakukan seolah-olah permata ini benar-benar permata yang asli. Sekarang, benda paling berharga di seluruh ibu kota ini adalah kantong yang kamu pegang itu. Karena itu, pikirkan hanya keselamatan dirimu sendiri. Lari. Pokoknya lari dan berlarilah menuju Ayahanda. Itulah tugasmu.”

“Ya... akan kuingat baik-baik.”

“Kamu beneran paham? Sekalipun seseorang di depanmu dalam bahaya, jangan menolongnya.”

“Eh...?”

“Bahkan kalau Kakak Trau terancam, atau Christa berada dalam bahaya, kamu tetap harus menemui Ayahanda. Itu justru akan menarik perhatian musuh dan membuat mereka bingung. Mengerti?”

“Tapi... kalau yang membawa permata asli dalam bahaya, percuma aku memegang tiruannya...”

“Kalau kamu mencoba menolongnya, kamu sendiri yang akan mengungkap bahwa permata itu palsu. Pikirkan hanya keselamatanmu. Kak Trau juga tidak akan menolongmu. Kalian berdua harus bertindak seolah masing-masing membawa permata asli. Dengan begitu, musuh akan ragu. Ini tugas yang berat, tahu? Tugas yang akan menyulitkanmu. Kamu sanggup melakukannya?” 

Rupert terdiam sesaat, tampak bimbang.

Aku tahu, yang kuminta padanya adalah untuk menanggalkan belas kasihan. Dan dia sedang bertanya pada dirinya sendiri, apakah dia sanggup melakukannya. 

Lalu dia mengangkat wajahnya dengan sorot tekad.

“Baik. Aku akan menjaga ‘permata asli’ ini.”

“Bagus. Aku serahkan padamu.” 

Aku menepuk lembut kepalanya.

Lalu aku menyerahkan kantong yang lain kepada Kak Trau.

“Tolong.”

“Baiklah.”

“Kakak Trau, lindungi Christa. Fine dan Mia, jaga Rupert. Ibu, ikutlah bersama Fine.” 

Aku mundur selangkah, memberi ruang bagi mereka bersiap.

Fine menatapku, lalu bertanya pelan, “Lalu bagaimana dengan Anda...”

“Aku masih ada urusan. Sesuatu yang seharusnya kulakukan bersama Grau.”

“Kamu mau mencari permata terakhir yang disembunyikan?” 

Ibu menatapku, seolah bisa membaca pikiranku.

Aku tak bisa menyangkalnya, hanya mengangguk perlahan. 

“Kalau Kanselir yang menyembunyikannya, aku yakin permata itu sulit ditemukan. Tapi kalau permata itu masih di dalam istana, cepat atau lambat pasti akan ketahuan. Kalau itu terjadi, musuh akan memiliki empat permata. Bahkan Pedang Suci pun mungkin tak mampu menghancurkannya. Karena itu, aku ingin memastikan semua permata yang tersisa dibawa keluar dari istana.”

“Apa kamu yakin? Kalau ketahuan, bukannya kamu membantu mereka mencarinya?”

“Aku sudah tahu caranya. Untuk mencegah itu, aku butuh bantuanmu, Komandan Alida. Maaf, tapi aku minta kamu untuk mengalihkan perhatian mereka.”

“Saya memang sudah berencana untuk bergerak. Apakah saya harus merebut altar yang digunakan untuk menampung Bola Langit?”

“Itu pilihan terbaik. Kalau bisa, kuharap kamu bisa menghentikan Bola Langit sepenuhnya.”

“Mustahil. Melepaskan permata itu hanya bisa dilakukan oleh anggota keluarga kekaisaran. Dan menembus tempat yang dijaga ketat oleh pasukan elit saja sudah nyaris mustahil, apalagi sambil melindungi Anda.”

“Aku tahu. Maaf memaksa. Kalau Leo yang ada di sini, mungkin rencana itu masih bisa dilakukan.” 

Aku meminta maaf, tapi Alida menggeleng perlahan.

Lalu dia berkata sesuatu yang tak kusangka.

“Tidak, justru kami beruntung karena Anda yang tinggal di istana, Yang Mulia. Terus terang, saya tak pernah menyangka begitu banyak orang bisa melarikan diri dengan selamat. Hasil ini bisa tercapai berkat kecerdikan Anda.”

“Tak kusangka aku akan mendengar pujian dari Komandan. Ini pertama kalinya kamu memujiku, ya?”

“Kalau Anda berperilaku baik sejak awal, saya akan sering memuji Anda. Hanya serius saat darurat itu tanda orang malas. Mulai sekarang, bersikaplah dengan benar setiap waktu.”

“Itu permintaan yang sulit.” 

Alida berkerut kening sementara aku tertawa kecil.

Aku hanya mengangkat bahu sambil menatap ke arah kelompok Kakak Trau.

Rombongan kedua terdiri dari Kakak Trau dan Christa, dikelilingi oleh para pengawal Kakak Sulung, termasuk Reiffeisen bersaudara yang terkenal setia pada Kakak Sulung.

Dengan pengamanan sekuat itu, mereka tak memerlukan bantuan dari para kesatria pengawal lainnya. 

“Kalau begitu, Arnold, hati-hati.”

“Kakak juga. Lindungi Christa.”

“Kak Al... Sampai jumpa nanti.” 

Aku mengangguk pada kata-kata Christa.

Melihatku begitu, dia pun masuk ke lorong pelarian.

Kakak Trau, Rita, dan Wendy menyusul tak lama kemudian. 

Setelah jeda sejenak, tibalah giliran rombongan Rupert.

“Kalau begitu, Kak Arnold... Tolong sampaikan salamku pada Grau.”

“Ya, akan kusampaikan. Alois, bisa kamu jaga Rupert?”

“Siap. Saya akan melindunginya dengan segenap jiwa.”

Dengan itu Rupert, Alois, dan para kesatria masuk ke lorong.

Di belakang mereka, ibu dan yang lain menyusul. 

“Al. Jangan terlalu nekat sampai mati, ya.” 

“Susah juga, sih.” 

Ibu tertawa lalu masuk ke lorong, dan Gianna menunduk padaku sebelum ikut masuk. 

Beberapa kesatria pengawal juga ikut untuk menjaga ibu dan rombongan sebagai pengawal resmi.

Yang tersisa tinggal Fine dan Mia. 

“Mia, jaga Fine baik-baik.”

“Tentu, serahkan saja padaku. Bagaimana denganmu? Hanya mengandalkan akal licik itu terasa kurang meyakinkan.”

“Kalau aku bergerak diam-diam, lebih baik semakin sedikit orangnya.” 

“Nah, aku akan beri trik andalanku. Mau dengar? Kalau situasi berbahaya, teriak saja minta tolong. Pasti akan ada yang datang menolongmu.”

“Tingkahmu memang ga berubah... Akan kuingat itu.” 

Kupalingkan pandang pada Fine. 

Fine tak banyak bicara.

Dia hanya memberi satu kalimat seperti biasa.

“Hati-hati.”

“Terima kasih.” 

Setelah percakapan singkat itu, Fine dan Mia juga masuk ke lorong. 

Tinggal para pelayan istana yang belum pergi. 

Namun urusan mengantarkan mereka akan kuserahkan pada para kesatria pengawal. 

“Kalau begitu, aku pergi dulu.” 

“Sebenarnya kami tak ingin Yang Mulia bertindak sendirian... Tapi setelah saya melihat hasilnya, saya tidak bisa lagi menolak.” 

“Aku tak punya nilai sebagai sandera. Justru karena itu aku bisa bergerak bebas. Itu kekuatanku.”

“Meski begitu, jangan terlalu percaya diri. Jika Anda ditangkap, bisa jadi Anda langsung dibunuh. Kalau keadaan memburuk, segera kembali ke sini, saya akan melindungi Anda.”

“Baiklah. Aku akan melakukannya.” 

Kupanggul ucapan itu sambil mengangguk, lalu melangkah keluar dari ruang takhta dengan senyum. 

Aku berjalan menuju tumpukan mayat prajurit yang dibunuh Alida. 

Dari situ kupilih seragam yang masih relatif utuh dan mencopotnya dari salah satu mayat. 

Memang menjijikkan, tapi tak ada pilihan lain, itu satu-satunya seragam yang layak. 

Kubawa seragam itu, lalu meninggalkan ruang takhta. 

Begitu masuk lorong rahasia, kuusap kotoran pada seragam dengan sihir, lalu mengenakannya. 

Terakhir, kupasang topi—sempurna. 

“Baiklah, misi penyusupan dimulai.” 

Aku melangkah melalu lorong itu dengan seringai.

Musuh pasti tak menyangka ada seorang pangeran yang menyamar jadi seorang prajurit.


Previous Chapter | ToC | 

0

Post a Comment

close