NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Saikyou Degarashi Ouji no An’yaku Teii Arasoi V8 Chapter 2

 Penerjemah: Chesky Aseka

Proffreader: Chesky Aseka


Chapter 2

Bola Langit

Bagian 1

“Bel berbunyi tengah hari, ya?”

“Kapan saja, datang saja kalau berani!!”

“Kita tidak akan bergerak sekarang.”

Mia, yang datang ke kamarku sebagai pengawal Fine, tampak bersemangat.

Dia sudah memegang busur dan siap tempur. Bagus saja jika dia menunjukkan kesiapan penuh, bisa diandalkan, tetapi jika semangatnya memuncak sekarang dan dia kehabisan tenaga saat waktunya tiba, itu justru akan merepotkan. 

“Kenapa begitu?”

“Karena turnamen bela diri baru saja dimulai, kan?”

“Tepat sekali.”

Aku mengangguk pada kata-kata Fine. Namun Mia mengerutkan kening. 

“Kalau sudah mulai, bukannya seharusnya kita bergerak? Pengamanan istana jelas lebih tipis dibanding biasanya, bukan?”

“Kita tidak bergerak karena turnamennya sudah dimulai. Kita bergerak karena perhatian tertumpah pada turnamen itu. Sekarang masih permulaan. Saat panas dan tatapan banyak orang tertuju ke situ adalah saat yang tepat untuk bergerak.”

“Beraksi diam-diam, di tempat yang tak dilihat orang. Maksudmu begitu, ya?”

“Kalau bukan begitu, namanya bukan lagi diam-diam.”

Aku tersenyum tipis menanggapi kata-kata Fine, dan Mia bergumam, nada suaranya seperti senyum buruk.

Melihat aku bisa menebak pemikiran yang membuatnya tersenyum begitu, membuatku berpikir Fine betul-betul orang yang kurang jujur, atau setidaknya terlalu piawai berbagi rahasia.

Jelas bukan tanpa alasan mereka saling berbagi rahasia. 

“Jadi kita harus tenang saja, begitu?”

“Yang bisa kita lakukan akan kita lakukan. Alois sudah ke tempat Rupert, dan Kakak Trau sekarang mungkin sedang bersama dengan Christa. Formasi pengawalan sudah lengkap. Bagaimana selanjutnya tergantung pada gerakan musuh, tapi ada hal-hal yang bisa diprediksi.”

“Mengerikan! Apa yang harus kulakukan!? Apa aku tidak bisa mencari dan langsung menyerang mereka!?” 

Aduh! Mia memukul-mukul meja.

Bagi Mia, seorang pencuri yang berlagak pahlawan, cara bertarung kami terasa berliku dan menyebalkan.

Mia itu semacam Robin Hood. Dia mencari penjahat, menyerbu, dan memberi hukuman. Segalanya serba inisiatif dan serangan dahulu. 

Sekarang sebaliknya, semuanya menunggu langkah lawan. Pasti dia belum terbiasa. 

“Mia, tenang dulu.”

“Bahkan Nona Fine!? Pertempuran sudah dimulai! Harusnya kita segera bergerak, segera kalahkan musuh, bukannya begitu!?”

“Kita harus memastikan siapa musuhnya. Jika tanpa bukti kita menyerang sembarang orang, itu hanya akan menimbulkan kekacauan yang lebih besar di istana. Kalau begitu, justru sesuai apa yang diinginkan musuh.”

“Uh...”

“Tenang saja. Tuan Al sudah memikirkan semuanya. Benar tidak?”

Fine tersenyum mengalihkan pembicaraan padaku. Aku mengangguk dan segera menjelaskan, tak mau perbincangan ini terus-terusan terpotong. 

“Tujuan utama musuh adalah menguasai seluruh istana. Setelah itu, mereka pasti akan mengambil sandera dan mengaktifkan Bola Langit. Namun, ada masalah besar.”

“Masalah besar apa?”

Untuk mengaktifkan Bola Langit dibutuhkan permata berkualitas paling murni. Nama lain permata itu adalah Permata Pelangi, permata langka setingkat harta negara yang memancarkan banyak warna seperti pelangi, dan energi sihir yang terkandung di dalamnya sangat dahsyat. Untuk Bola Langit diperlukan setidaknya tiga biji permata semacam itu, ditempatkan di lokasi tertentu.”

“Kalau setingkat harta negara, pasti sulit dicari, ya?”

“Bahkan Jenderal Gordon, yang menguasai militer sebagai pewaris takhta, mungkin hanya mampu mengumpulkan satu buah dengan usahanya sendiri.”

“Kalau begitu, Bola Langit tidak akan bisa diaktifkan.”

“Bola Langit adalah mekanisme pertahanan terpenting ibu kota Kekaisaran. Tentu saja Permata Pelangi disimpan di istana ini.”

Wajar jika mereka menyiapkannya agar bisa diaktifkan kapan saja. 

Yang paling penting adalah tempatnya. 

“Ada satu lokasi yang aku tahu pasti di mana permata itu disimpan.”

“Oh? Di mana itu?”

Kepemilikan Permata Pelangi hampir setara dengan rahasia negara. Bukan informasi yang bisa diperoleh sendirian oleh Fine, bukan oleh menteri maupun jenderal biasa. Jadi aku penasaran melihat kepastian dalam ucapan Fine. 

“Aku juga tahu! Di brankas harta, bukan!?”

“Barang itu tidak akan diletakkan begitu saja di tempat semudah itu.”

“Kenapa tidak!? Kan lebih mudah kalau diletakkan bersama!”

“Nilainya berbeda dari harta lain, baik sebagai benda maupun dari sudut pandang strategis. Karena itu, mereka menaruhnya dekat Sang Kaisar. Aku yakin ada di ruang takhta.”

“Atas dasar apa?”

“Kalau bukan begitu, Kanselir tak akan menyuruh Nona Orihime mempercepat perbaikan penghalang.” 

Aku mengangguk pelan pada kata-kata Fine. 

Mata Fine dalam membaca situasi memang tajam. 

Dengan ini, kurasa aku bisa mempercayakan Mia. 

“Benar. Di ruang takhta ada dua Permata Pelangi. Aku tak tahu persis di mana, tapi ada dua di sana.”

“Jadi kita hanya perlu menjaga ruang takhta, kan!?”

“Tidak perlu ekstra penjagaan untuk ruang takhta. Yang menjaganya adalah ahli pedang terkuat.”

“Jadi alasan Alida, Komandan Kesatria Pengawal, tidak berada di samping Paduka Kaisar adalah untuk menjaga ruang takhta, ya?”

“Tak ada alasan lain yang logis. Memang pengawalan Ayahanda jadi sedikit menipis, tapi Kanselir pasti sudah memikirkan sesuatu.”

Alida saat ini adalah kekuatan terkuat di ibu kota. Jika Alida berada di ruang takhta yang penghalangnya sudah pulih, berarti setidaknya dua Permata Pelangi bisa terlindungi. Sisa permata di istana ada tiga lagi. Jika Gordon sudah menyiapkan satu sendiri, itu berarti total empat permata, mereka dapat mencegah aktivasi maksimum yang paling berbahaya. 

Kanselir pasti mengira sisanya bisa dijaga oleh para kesatria pengawal. 

Bukti lainnya, selain pasukan kesatria utama, masih ada dua pasukan kesatria lain yang tinggal di istana. 

Di sisi Kaisar hanya ada lima pasukan tingkat bawah saja, jumlahnya dan kualitasnya tipis; arena pertarungan bukan tempat yang mudah untuk dipertahankan. 

Jujur saja, pengamanan saat ini adalah yang terlemah sejak penyerangan vampir dulu. 

Meski begitu, mereka tetap mengerahkan pasukan demi mencegah pengaktifan Bola Langit. Jika itu terjadi, bantuan dari luar tidak mungkin datang, dan melarikan diri pun tak dapat dijadikan pilihan. 

Itu kebijakan yang khas dari seorang Kanselir, praktis dan matang. 

“Jadi kita tidak punya peran, gitu?”

“Tentu ada. Kita akan sebisa mungkin menjaga permata, sambil mengevakuasi orang-orang di istana yang berisiko jadi sandera. Pertama, pastikan jalur pelarian; kedua, lindungi orang-orang itu. Kita mulai dari dua hal itu.”

“Masih ada orang yang mungkin jadi sandera?”

“Pasti ada. Mungkin tidak akan berpengaruh pada Kaisar, tapi cukup untuk mengguncang orang-orang yang dekat dengannya.”

“Para selir di harem, kan?”

“Benar. Ibuku tentu saja, juga para selir lainnya. Termasuk Kakak Ipar dari mendiang Putra Mahkota. Kakak Ipar itu kakaknya Alida; ibuku yang berasal dari rakyat biasa sangat populer di kalangan rakyat. Kalau mereka ditinggalkan, akan makin banyak para bawahan dan rakyat yang kehilangan kepercayaan pada Kaisar.”

“Astaga! Begitu berbelit-belit! Kenapa tidak bilang saja kalau kamu ingin menyelamatkan ibumu!?”

Mia lagi-lagi memukul meja. Fine tersenyum getir melihat itu. 

“Keluarga kekaisaran memang begitu. Kewajiban menjaga masa depan Kekaisaran lebih diutamakan daripada urusan pribadi. Meski merasakannya, mereka tak dapat menomorsatukan kepentingan pribadi.”

Aku memutuskan untuk menjaga ibu kota menggantikan Leo. Karena itu aku belum mengerahkan pengawal untuk menjaga Ibu. 

Aku belum yakin apakah para dayang di harem mampu bertahan. 

Mia mengetuk meja dengan keras sekali lagi. 

“Berhenti bersikap lemah! Orang yang tak mampu melindungi keluarganya takkan mampu menjaga negara! Benar, bukan!? Nona Fine!”

“Benar. Aku juga berpikir begitu.”

“Lihat! Kalau kamu tak mau bilang sendiri, ya sudahlah! Aku akan pergi menyelamatkannya sendiri! Dan tentunya aku akan menerima izinmu!” 

Mia menyatakan tekadnya dengan tegas. Bagaimanapun, dia memang bandit dermawan yang menentang negerinya sendiri.

Rasa keadilannya kuat, dan dia tak akan lepas keyakinan tentang apa yang benar.

Mia benar-benar sosok yang patut dihormati. Aku tak ingin menempatkan Fine dalam bahaya, tapi seandainya kubilang hentikan, pasti mereka tak akan mengindahkannya.

Aku sangat beruntung. 

“Kumohon.”

“Serahkan saja padaku!”

“Kami akan menuju harem terlebih dulu. Setelah menyelamatkan para selir, kita akan bergabung kembali.”

“Baik. Kita akan bertemu kembali di ruang takhta.”

“Ruang takhta!? Yang benar aja!? Di pucuk istana itu tak ada tempat melarikan diri!”

“Pintu biasa kemungkinan sudah diblokir, dan semakin turun ke bawah, musuh akan semakin banyak. Selama Alida menjaga ruang takhta, menembusnya nyaris mustahil. Gordon juga tak akan mengirim pasukan tambahan. Justru karena itu, kita pilih ruang takhta.”

“Aku mengerti kalau tempat itu jadi renggang... Tapi sekuat apa pun Komandan Kesatria Pengawal, angka tetaplah angka. Kalau semua calon sandera berkumpul di ruang takhta, kekuatan yang sepadan pasti akan dikirim, bukan?”

“Itu juga bukan masalah. Ada rute pelarian rahasia di ruang takhta. Yang tahu cuma aku, Kanselir, dan Komandan Kesatria Pengawal. Ayahanda pasti tahu jalur itu.”

“Itu artinya jalur pelarian Kaisar, bukan!? Kenapa kamu bisa tahu...?”

“11 tahun yang lalu, Ayahanda yang memberitahukannya. Waktu itu aku harus bersembunyi di sudut ruang takhta.”

Dulu, ketika Ayahanda bertemu Duta Besar dari Sokal, dia menyuruhku seakan-akan menonton dari balik bayang-bayang.

Namun jika ketahuan, itu bisa menjadi perkara besar. Karena aku seharusnya berada di penjara sebagai pangeran.

Maka Ayahanda menyembunyikanku di pintu masuk jalur pelarian rahasia itu.

Dia bahkan tak memberitahu Leo. Katanya itu janji antara pria dengan pria.

Tetapi janji itu hanya sampai hari ini. 

“Mungkin Ayahanda pun akan memaafkanku.”

Aku bergumam dan bangkit dari kursi.

Musuh pasti sudah mulai bergerak. 

Kalau kami tetap di kamar, kami akan ditangkap begitu saja. 

“Baiklah, mulai bergerak sekarang.”

Dengan kata itu, kami meninggalkan kamar.


* * *


Di dalam istana, ada tiga regu dari pasukan kesatria pengawal.

Regu pertama menjaga ruang takhta, sementara dua regu lainnya ditempatkan di titik-titik penting atas perintah Kanselir.

Dengan begitu, pengamanan keseluruhan istana dipercayakan pada para prajurit militer. 

Sebenarnya, tugas menjaga istana sebagian besar seharusnya menjadi tanggung jawab para kesatria pengawal. Namun karena sebagian besar kekuatan mereka digunakan untuk menjaga Kaisar dan titik-titik vital, mau tidak mau pihak militer harus dikerahkan.

Kanselir pasti mengambil keputusan itu dengan berat hati. 

Banyak pihak dalam militer mendukung Gordon. Dia tentu tidak ingin melibatkan mereka, tapi tak ada pilihan lain. Akhirnya dia menugaskan seorang jenderal yang dikenal moderat untuk menjaga istana

Jenderal Estmann. Usianya sudah melewati 60 tahun, seorang perwira tua. Dia adalah salah satu jenderal yang memimpin pasukan di wilayah tengah Kekaisaran, dan kesan pertama darinya adalah seperti kakek ramah yang selalu tersenyum. Kesan itu memang benar adanya, dia memperlakukan para prajurit muda layaknya cucu sendiri, menurunkan pengalaman dan pengetahuannya pada mereka. 

Reputasinya sangat baik. Dia populer tidak hanya di kalangan tentara, tapi juga di mata rakyat. Ayahanda pun sangat mempercayainya. 

Namun. 

“Jadi dia berpihak pada Gordon...” 

Bersama Fine dan Mia, aku tengah menuju ke harem ketika melihat para prajurit berkumpul di tangga. Mereka tampak mondar-mandir, seolah mencari sesuatu di tangga.

Mereka tampak gelisah. Dalam penjagaan normal, mereka cukup berkeliling sesuai rute atau berdiri di pos yang telah ditentukan. Tapi mereka terlihat panik, dan itu aneh. 

“Musuh, ya? Kalau begitu, biar kutembak saja!”

“Kalau ketahuan sekarang, kita akan kesulitan bergerak. Masih banyak prajurit di antara sini dan harem.”

“Benar. Kita harus mencari cara untuk melewati mereka.”

“Ribet banget...” 

Mia mengerucutkan bibir mendengar pendapatku dan Fine.

Dengan kemampuan Mia, sebenarnya menerobos secara paksa pun mungkin saja. Tapi kami harus membawa Ibu dan para selir keluar nanti. Tidak baik untuk menimbulkan kegaduhan sebelum tiba di harem. 

“Bisa kita alihkan perhatian mereka?”

“Alihkan? Untuk apa?”

“Aku ingin masuk ke ruangan di seberang lorong itu.”

“Kita tidak bisa turun lewat tangga, lho?”

“Tak apa. Aku punya ide.”

“Kalau begitu, serahkan saja padaku.” 

Begitu berkata, Mia tiba-tiba mengangkat busurnya dan membidik ke arah jendela terdekat.

Seketika, anak panah sihirnya melesat tanpa suara. 

Aku sempat tak mengerti apa yang dia lakukan, hingga dari arah seberang terdengar suara denting kaca pecah yang nyaring. Saat itu aku sadar apa yang dia lakukan. 

“Apa itu!?”

“Cepat periksa!” 

Para prajurit segera menoleh ke arah suara.

Begitu melihat mereka teralihkan, Mia memberi isyarat dengan tangan. 

“Sekarang!” 

Kami bergerak cepat, meluncur di sepanjang lorong tanpa suara. Mia membuka pintu ruangan yang kami tuju dengan ringan dan mempersilakan kami masuk.

Dengan langkah nyaris tanpa bunyi, kami melewati lorong dan berhasil masuk ke dalam ruangan dengan selamat. 

“Mia, apa yang kamu lakukan barusan?”

“Dia melengkungkan arah panah sihir dan membuatnya masuk lewat jendela lain. Panah itu memecahkan sesuatu di sana.”

“Benar sekali! Aku sudah memastikan jendela di sisi sana terbuka. Cukup mudah.” 

Mia berkata ringan, tapi kenyataannya sama sekali tidak sederhana.

Meskipun busur sihir berbeda dengan sihir biasa, prinsipnya serupa.

Secara teori, penyihir bisa melakukan hal yang sama.

Dengan mempertahankan sihir di luar pandangan, mengarahkannya melalui jalur sempit tanpa menyentuh tembok luar istana, lalu menembakkannya tepat ke jendela lain.

Dibutuhkan kendali yang luar biasa halus, pemahaman ruang yang sempurna, dan keseimbangan kekuatan sihir yang presisi agar tidak lenyap. Mia melakukannya semua dalam sekejap. 

Sungguh keterampilan tingkat dewa.

Aku kini paham kenapa Negara Bagian tak pernah berhasil menangkap Vermilion, Kesatria Bulan Merah.

Kalau seseorang seperti Mia menyerang tanpa peringatan di malam hari, tak ada pertahanan yang bisa menahannya.

Cukup ada celah sekecil jendela terbuka, dan pengawal akan tewas tanpa sempat melihat panah yang melengkung. Tak peduli seberapa ketat penjagaannya, di hadapan Mia semua itu nyaris tak berarti. 

“Ada apa? Kenapa menatap wajahku begitu lama?”

“Cuma terpikir, ternyata kamu benar-benar hebat.”

“Apa maksudmu!? Bukannya kamu merekrutku karena mengakui kemampuanku!? Betapa kurang ajarnya! Tidak sopan!”

“Saya selalu tahu kalau Mia orang hebat.”

“Benar kan! Memang Nona Fine ini beda! Tidak seperti pangeran aneh di sini!”

“Kalau saja kamu bicara dengan normal, mungkin aku bisa menilai lebih adil.”

“Aku sudah bilang, ini gaya bicara sopan yang diwariskan langsung dari Kakek! Pasti kakekku pernah bertemu wanita sejati yang berbicara seanggun ini!”

“Kalau begitu, semoga saja benar. Busur sihirmu itu juga ajaran dari kakekmu?”

“Tentu saja! Kakekku itu luar biasa, tahu!” 

Jadi, kakeknya yang melatih Mia.

Kalau dia bisa mengajarkan teknik seaneh busur sihir dan melatih pemanah sehebat ini, orang itu pasti bukan orang biasa.

Ada satu nama yang muncul di kepalaku, seorang ahli busur sihir yang kukenal. Aku tak punya kesan baik padanya, tapi sepertinya Mia ada hubungannya dengan orang itu.

Aku ingin bertanya lebih lanjut dan mendengar ceritanya, tapi bukan sekarang waktunya. 

“Baiklah, nanti kamu ceritakan tentang kakekmu. Sekarang kita harus turun.”

“Turun? Tangganya sudah disegel, kan? Kalau hanya aku, aku bisa lewat luar. Tapi dengan Nona Fine di sini, mustahil.”

“Kita tak akan melakukan itu. Siapa tahu ada mata-mata yang melihat.” 

Aku berjalan ke dinding dan mulai mengubah urutan tujuh lukisan potret yang tergantung di sana.

Mia menatapku dengan bingung. 

“Kamu sedang apa?”

“Cuma main-main.”

“Main!? Di situasi begini!?”

“Ya, main. Tapi kadang permainan bisa berguna.” 

Aku mengatur urutan dari seluruh lukisan itu.

Beberapa tetap di tempat semula, yang lain bergeser posisinya. Begitu kukonfirmasi urutannya, aku melepaskan lukisan di tengah. 

Ternyata di baliknya ada lubang rahasia kecil, yang sebelumnya tak terlihat.

Aku menyelipkan tangan ke dalam, menekan tuas yang tersembunyi di sana. 

Setelah itu, dinding di sisi berlawanan bergerak perlahan, menyingkapkan sebuah pintu rahasia. 

“H-H-Hah!?”

“Istana ini telah direnovasi berkali-kali setiap pergantian Kaisar. Dalam proses itu, para Kaisar menambahkan banyak lorong dan kamar rahasia. Sebagian besar tak pernah diwariskan ke generasi berikutnya.”

“Kalau tidak diwariskan, kenapa kamu bisa tahu!?”

“Petunjuknya tak ada di buku pelajaran, tapi di catatan harian yang dianggap tak berguna oleh para guru. Aku tak rajin belajar, tapi dalam bermain-main, aku membaca semua buku harian itu, dan menemukan rahasia seperti ini.”

“Jadi bukan hanya belajar yang berguna, ya?”

“Benar. Istana ini seperti taman bermain bagiku. Dalam permainan petak umpet atau kejar-kejaran, aku tak pernah kalah sekalipun. Semua berkat permainan. Lorong ini menembus tiga lantai ke bawah. Kita akan mengejutkan mereka dari sini.” 

Dengan senyum tipis di bibir, aku melangkah masuk ke dalam lorong itu. 


* * *


Kami menuruni lorong rahasia, lalu terus menelusurinya lebih jauh ke bawah.

Setelah beberapa waktu berjalan, kami akhirnya tiba di salah satu kamar di dalam kompleks harem. 

“Bahkan sampai ke harem pun ada lorong rahasia, ini sudah kelewatan...”

“Aku justru merasa ini menyenangkan.”

Saat Mia mengeluh setelah tahu ada banyak lorong rahasia, Fine terkekeh kecil dan menikmati seolah ini petualangan kecil. 

“Namun, Pangeran ini terlalu lengah, ya?”

“Lengah? Bagian mana yang kamu maksud?”

“Berani-beraninya memperlihatkan semua lorong rahasia ini padaku. Sebelumnya kubilang, aku ini bandit dermawan.”

“Dan di mana letak kelengahannya?”

“Artinya, kalau aku mau, aku bisa menyusup kapan saja.”

“Ah, jadi maksudmu itu.” 

Mia mendesah panjang, jelas kehabisan kata.

Nada itu terdengar sedikit mengejek.

Memang benar, dia orang asing, dan kalau dilihat dari hukum, seorang kriminal. Namun aku menunjukkan padanya beberapa jalur rahasia sekaligus, termasuk lorong khusus yang hanya boleh digunakan oleh kaisar untuk melarikan diri.

Semuanya adalah rahasia tingkat negara. 

Tapi tetap saja... 

“Kalau kamu ingin mencobanya, silakan saja. Meski, aku tidak menyarankannya.”

“Jadi kamu kira aku tak bisa!? Aku ini ahli menerobos masuk ke rumah orang lain!”

“Bukan sesuatu yang pantas dibanggakan.”

“A-Aku sadar kok! Maksudku bukan itu!” 

“Tuan Al, saya kira alasan Anda menunjukkan semua ini adalah karena sekarang bukan waktunya memikirkan soal kerahasiaan negara. Tapi sepertinya bukan itu, ya? Saya sempat berpikir Anda sudah menyiapkan cara untuk menutup semua jalur ini bila ada kebocoran.”

“Sebagian benar. Kalau ingin benar-benar aman, bisa saja kulakukan. Tapi jujur saja, sepertinya tidak perlu.” 

Fine menatapku penasaran dengan kepalanya sedikit miring.

Aku menunjuk ke dinding di sisi lorong. 

“Kamu lihat lubang kecil di sana?”

“Ya, saya melihatnya... Apa itu?”

“Perangkap. Dirancang untuk membunuh siapa pun yang memasuki lorong ini tanpa izin.”

“Perangkap!? Bahaya sekali!” 

Mia spontan menarik Fine ke sisinya, melindunginya secara refleks.

Respons yang bagus. 

“Tenang saja. Kalau keluarga kekaisaran yang lewat, perangkapnya tidak akan aktif.”

“Begitu rupanya. Jadi kalau orang biasa yang mencoba lewat...”

“Perangkap itu akan menyala. Begitulah semua lorong dan ruang rahasia di istana ini. Karena itu, bila ada yang tak sengaja menemukannya, keluarga kekaisaran-lah yang akan diperintahkan untuk memeriksanya lebih dulu. Soalnya sebagian besar lorong ini dibangun untuk hal-hal yang tak patut diketahui publik. Dan karenanya, perangkapnya pun kejam.” 

Ruang dan lorong rahasia yang tak diwariskan pada generasi berikutnya.

Untuk apa itu dibuat?

Alasannya sederhana, kebanyakan kaisar membangunnya untuk melakukan sesuatu di balik bayang-bayang kekuasaan.

Lorong ini, misalnya, dibuat agar kaisar bisa mengunjungi salah satu selingkuhannya tanpa diketahui permaisuri. 

Terkesan sepele, tapi permaisuri biasanya adalah putri bangsawan berpengaruh. Seorang kaisar yang ingin menjaga dukungan tak bisa menyinggung keluarganya.

Dan bila ketahuan berselingkuh, murka permaisuri bisa mengguncang seluruh istana. Karena itu ada perangkap agar tak seorang pun tahu. 

Ada yang melindungi lorong dengan sihir penghalang, ada pula yang menyiapkan jebakan pembunuh instan.

Satu-satunya yang aman hanyalah keluarga kekaisaran sendiri, agar anak-anak atau penerus tak mati sia-sia karena ulah bodoh para pendahulu.

Lagipula, selalu saja ada pangeran yang menjelajahi istana seperti aku ini. 

“Karena itu, kalau suatu hari kamu berniat menyusup ke istana, hindari lorong rahasia. Mungkin kamu tak mati, tapi jebakan itu bisa memicu peringatan. Dan kalau itu terjadi, para kesatria pengawal pasti segera datang. Aku yakin kamu tidak mau berhadapan langsung dengan mereka, benar bukan?”

“Luar biasa... Skala yang dimainkan Kekaisaran ini jauh berbeda dari Negara Bagian...”

“Bukan hanya Kekaisaran. Sepertinya memang para anggota keluarga kekaisaran... Maaf, mereka sedikit berbeda cara berpikirnya.”

“Tak perlu dibungkus kata-kata. Keluarga Ardler memang kumpulan orang aneh. Sudah bawaannya.”

Berusaha menaklukkan seluruh benua, dari awal saja niat itu sudah gila.

Lagipula, sekalipun seluruh benua disatukan, bukan berarti peperangan akan lenyap. Dendam dan ratapan rakyat yang kehilangan tanah air mereka akan tertuju pada keluarga kekaisaran. Para leluhur yang tahu hal itu, namun tetap memilih jalan penaklukan demi menghentikan kesedihan, pastilah telah mengira diri mereka dewa atau sesuatu yang serupa. Atau mungkin mereka harus berpikir begitu agar bisa terus melangkah. Dan pandangan itu pun diwariskan pada para keturunannya. 

Apakah itu baik atau buruk, bukan aku yang berhak memutuskan. Sejarah nanti yang akan menilainya. Tapi yang jelas, cara berpikir itu tidaklah wajar.

Karena mereka semua orang-orang aneh seperti itulah, muncul ide konyol seperti perebutan takhta, dan sampai hari ini tradisi itu masih dipertahankan. 

“Jadi, maksudnya seorang anggota keluarga kekaisaran memang tidak bisa menjadi orang normal, begitu ya?”

Fine menimpali dengan cerdas. Dari sudut pandang itu, dia tidak keliru. 

Untuk berdiri di atas Kekaisaran seluas itu, seseorang memang tidak boleh biasa-biasa saja. Karena kalau terlalu biasa, tak akan ada yang mau mengakuinya sebagai pemimpin. 

“Memang benar, Pangeran juga agak aneh, jadi saya bisa mengerti.” 

“Eh, aku rasa aku termasuk yang paling normal, kan? Ya kan, Fine?”

“U-Um, bagaimana ya...”

Fine hanya tersenyum canggung.

Kenapa kali ini dia tidak membelaku... 

“Lihat saja, Eric, Gordon, Zandra, bahkan Kakak Trau. Aku jauh lebih waras dari mereka semua.”

“Mungkin begitu... Tapi, orang-orang yang Anda jadikan pembanding itu semuanya berkarakter kuat dan sulit dinilai normal.”

“Kalau begitu, aku lebih baik dari Leo. Gimana, setuju?”

“Itu pun sulit dikatakan... Menurut saya, kalian berdua seimbang...”

“Seimbang!? Tapi soal Pangeran Leonard, aku hanya mendengar kabar baik tentangnya!” 

“Apa yang kamu bicarakan? Tidak mungkin seseorang yang bercita-cita jadi Kaisar itu bukan orang aneh.” 

Fine tidak membalas, hanya tersenyum samar tanpa berkata apa-apa.

Aneh. Aku sama sekali tidak merasa punya sisi aneh, kok. Mungkin masalahnya karena aku kembar dengan Leo, ya. 

“Dasar adik yang merepotkan.”

“Kalau boleh jujur, saya yakin dia juga berpikir hal yang sama tentang Anda. Saudara kandung memang begitu, bukan?”

“Oh? Kalau begitu, nanti akan kutanyakan langsung padanya kalau dia sudah kembali.” 

Aku yakin dia akan bilang kalau aku termasuk yang paling normal. Walau begitu, aku juga tidak akan bilang diriku yang paling waras, masih ada beberapa anggota keluarga yang bahkan terlalu biasa untuk ukuran darah kekaisaran. 

Beberapa saat kemudian, akhirnya kami melihat pintu keluar.

Saat kubuka pintu itu, ternyata tempat yang kami tuju adalah sebuah gudang tua. 

“Baiklah, sisanya kuserahkan padamu.”

“Maksudnya? Anda tidak ikut bersama kami?”

“Maaf, tapi aku punya kelompok yang lebih bikin khawatir.”

“Maksud Anda Pangeran Rupert dan yang lain, bukan? Hati-hati di jalan.”

“Aku tidak akan melakukan apa pun. Aku hanya akan mengantar Grau sampai ke tempat mereka. Aku akan bersembunyi di jalur rahasia sambil mengamati situasi, dan kalau memungkinkan, membantu kalian juga. Tapi jangan terlalu mengandalkan aku. Kalau jalur rahasia tidak dekat, aku tak bisa berbuat banyak.”

“Aku mengerti. Mulai dari sini, kami boleh bertindak bebas, bukan?”

“Kalau Fine memberi izin, ya. Kuharap kalian bisa menanganinya.”

“Baik. Serahkan pada saya.” 

Fine menunduk sopan.

Setelah melihatnya, aku menutup pintu perlahan.

Lalu, aku menyelimuti tubuh Grau dengan ilusi agar tak terlihat. 

“Baiklah, saatnya menolong anggota keluarga kekaisaran yang paling normal.” 

Adik bungsu kami, Rupert, pasti sedang membuat Alois pusing bukan main.

Dia, untuk baik maupun buruknya, memang terlalu normal.

Sambil berpikir demikian, aku menggunakan teleportasi dan berpindah ke kamar di sebelah ruangan yang diberikan kepada Alois di dalam istana.

Rupert seharusnya ada di sana. 

Dan begitu aku tiba...

“Uwaah! Aku nggak mau keluar dari kamar! Kalau aku mati gimana!?”

“Yang Mulia, tolong jangan bicara terlalu keras...”

Dari dalam kamar terdengar teriakan melengking. Mendengarnya, aku hanya bisa menghela napas panjang.

Rupert tumbuh besar di bawah perlindungan ibunya, dan hasilnya, dia menjadi bocah manja yang tak bisa lepas dari dekapan sang ibu. 

Untuk anak berusia 10 tahun, itu mungkin hal yang wajar. Tapi sebagai keluarga kekaisaran, dia tidak bisa terus bergantung pada ibunya selamanya. 

“Bukan seolah aku punya hak untuk menasihati, mengingat aku sendiri juga masih bergantung pada ibuku di usia segini...”

Aku bergumam pelan, lalu keluar dari kamarku dan masuk diam-diam ke kamar sebelah, tempat Alois berada. 

Begitu melihatku, Alois menatapku seolah baru saja melihat seorang penyelamat. 

“Grau...!”

“Kelihatannya kamu sedang kesulitan.” 

“Siapa itu!? Aku nggak bisa lihat wajahnya! Serem!” 

Yang bersuara adalah seorang anak laki-laki mungil yang berpegangan erat pada tepi ranjang.

Rambutnya cokelat agak bergelombang, matanya biru, dan wajahnya tampak setengah menangis.

Anak ini adalah adik bungsuku, Rupert, seorang pangeran, tapi tidak lebih dari anak kecil biasa. 

Kalau aku disebut Pangeran Sisa, maka dia bisa dibilang Pangeran Cengeng. 

“Senang berkenalan, Pangeran Rupert. Namaku Grau, seorang ahli strategi kelana.” 

Aku menundukkan kepala dengan gerakan anggun ke arah Rupert yang masih ketakutan. 

Namun meski sudah mendengar perkenalan itu, Rupert tetap menatapku dengan curiga.

Melihat itu, Alois segera mencoba menengahi. 

“Yang Mulia, Grau adalah ahli strategi hebat yang berjuang bersamaku melawan sepuluh ribu pasukan Kekaisaran. Kami bisa menang berkat bantuannya!” 

“Orang hebat belum tentu bisa dipercaya! Kalau aku nggak bisa lihat wajahnya, aku nggak akan percaya!” 

Masih berpegang pada ranjang, Rupert menolak bergerak.

Padahal, seharusnya Alois sudah menjelaskan situasinya sebelumnya. 

“Yang Mulia, tolong percayalah. Saya akan melindungi Anda dengan nyawa saya!”

“Omong kosong! Kamu baru 12 tahun! Bedanya tipis banget sama aku! Gimana bisa melindungi!? Di kamar ini lebih aman!” 

“Usia bukan masalah. Sebagai bangsawan Kekaisaran, sudah tugas saya untuk melindungi Anda, Yang Mulia. Selain itu, saya juga tidak sendirian, ada para kesatria yang mau berjuang bersama.” 

Alois menatap para kesatria di ruangan itu.

Ada lima orang, semuanya adalah kesatria dari keluarga Count Zimmel, yang sebelumnya bertarung bersamanya melawan pasukan Kekaisaran. 

“Lima orang saja!? Lawan kita itu Pangeran Gordon! Para jenderal di sisinya semua petarung tangguh! Mereka sedang menyerbu istana, dan kalian mau keluar dengan jumlah segini!? Tidak mau! Aku tetap di sini!!” 

Rupert tetap bersikeras ingin bersembunyi di kamar.

Sebuah pendapat yang hanya berdasar pada harapan anak kecil. 

“Pangeran Rupert. Bertahan di dalam tanpa bantuan dari luar adalah strategi bodoh. Apa kamu punya jaminan akan datang bala bantuan?”

“A-Ayahanda pasti akan datang menolong! Kalau tidak, para kesatria pengawal pasti akan datang! Mereka pasti datang!”

“Begitu, ya. Kalau begitu, silakan saja bersembunyi sendirian di sini. Aku akan menyampaikan itu pada Pangeran Arnold.”

“Eh...?”

Dengan nada dingin, aku berbalik menuju pintu.

Namun langkahku dihentikan oleh Alois. 

“T-Tunggu, Grau!”

“Kalau dia memilih bersembunyi, maka aku tak bisa bergerak bersama kalian. Cepatlah pindah. Semakin lama kita di sini, semakin besar wilayah istana dikuasai musuh.”

“Aku tahu itu. Tapi aku tidak bisa meninggalkan Pangeran Rupert!” 

“Pangeran yang lebih percaya kamar daripada pasukannya, seberapa berhargakah orang seperti itu?”

“Beliau adalah adik Pangeran Arnold. Itu saja sudah cukup berarti bagi saya. Keluarga Count Zimmel tidak akan melupakan budi. Jika Pangeran Arnold mempercayakan beliau padaku, maka aku akan tetap di sisi Pangeran Rupert sampai mati sekalipun.” 

“...Lihat, Pangeran Rupert. Hanya dengan menangis sambil berpegangan di ranjang, kamu sudah punya orang yang mau mempertaruhkan nyawanya untukmu. Hidupmu sungguh beruntung.” 

“A-Aku nggak minta kok... Itu semua keputusan Kakak Arnold sendiri...”

“...Sepertinya ada kesalahpahaman yang harus kuluruskan. Pangeran Arnold tidak mengirim pengawal untukmu karena dia sayang padamu. Beliau melakukannya karena ibumu menangis dan memohon padanya. Ibumu berkata, ‘Tak apa jika aku mati, asalkan selamatkan anakku.’ Mendengar itu, Pangeran Arnold tidak menugaskan pengawal untuk melindungi ibunya sendiri, melainkan mengirim Alois untuk menjaga dirimu. Kalau kamu tak mengerti makna di balik itu, silakan katakan sekarang. Kalau kamu cukup berani untuk menginjak-injak harapan ibumu dan niat kakakmu, maka aku akan mengakuimu.” 

Dari balik tudung, aku menatap Rupert lurus-lurus.

Tatapan itu membuat bocah itu gemetar hebat. 

“A-Aku...” 

“Andai kamu tetap bersembunyi di sini, musuh yang datang bukan hanya seratus atau dua ratus orang. Kamu akan menahan mereka dengan pintu yang rapuh ini. Waktu yang bisa kamu ulur tak sampai hitungan menit. Kamu pikir ayahmu akan sempat mengirim bantuan dalam waktu sesingkat itu? Dengarkan baik-baik, Kaisar Johannes tidak selembut atau semahakuasa seperti yang kamu bayangkan. Jika Pangeran Gordon memberontak, maka demi Kekaisaran, ayahmu akan lebih mementingkan keselamatannya sendiri. Dan bila harus memilih, dia akan tega meninggalkan anak-anaknya, apalagi anak yang tak punya jasa atau pengaruh dalam perebutan takhta.” 

“P-Pasukan pengawal pasti datang! Mereka adalah yang terkuat di Kekaisaran!”

“Pangeran Gordon pasti menutup seluruh ibu kota dengan penghalang sihir agar Kaisar tak bisa kabur atau mendapat bantuan dari luar. Dan permata sihir yang menjadi sumber penghalang itu dijaga oleh para kesatria pengawal. Mereka takkan punya waktu untuk melindungimu.” 

Dengan nada tenang namun tegas, aku menutup semua jalan pelarian Rupert.

Meskipun waktu kami belum benar-benar habis, pasukan pemberontak sudah mulai bergerak di dalam istana.

Semakin cepat kami bertindak, semakin besar peluang untuk lolos. Tapi karena Rupert bersikeras, keunggulan itu terbuang percuma. 

Mungkin Alois menganggapku terlalu keras terhadap bocah 10 tahun.

Tapi kami tak punya waktu untuk menyesuaikan diri dengan sentimen anak kecil. 

“Pilihannya cuma dua. Tetap di kamar ini, atau keluar bersamaku. Kalau kamu bertahan di sini, kamu pasti tertangkap, dan kecil kemungkinan ayahmu akan datang menolong. Kalau kamu keluar, risikonya lebih besar, tapi masih ada harapan untuk lolos. Dan kalau kamu tertangkap, kemungkinan besar kamu akan dijadikan sandera bersama orang lain, para selir dan mungkin juga Putri Christa, yang paling disayangi ayahmu. Kalau mereka tertangkap bersamamu, Kaisar mungkin akan mengerahkan segalanya untuk menyelamatkan kalian. Tapi kalau hanya kamu seorang, maka peluang itu sama sekali tidak ada.” 

“T-Tidak mungkin...” 

“Yang paling buruk adalah kalau kami berhasil melarikan diri dan hanya kamu yang tertangkap. Dalam situasi itu, Kaisar tidak akan menolongmu. Siapa yang mau menyelamatkan orang yang dengan sadar menolak kesempatan untuk hidup? Kalau aku, aku juga takkan mau menolong. Kecuali ada alasan yang mutlak untuk melakukannya.”

Dan sayangnya, tidak ada alasan mutlak bagi Rupert untuk diselamatkan.

Bahkan bagi Gordon, anak itu tidak memiliki nilai tawar yang berarti sebagai sandera.

Jika mempertimbangkan kerugian dari menjadikan anak kecil sebagai tawanan, bukan mustahil dia memilih menjadikannya contoh dengan membunuhnya.

Karena itulah, Rupert harus keluar dari istana apa pun yang terjadi. 

“Cepat putuskan. Kamu mau melarikan diri, atau tetap di sini? Waktu tidak akan menunggumu.”

“T-Tapi kalau kanu bilang begitu...!” 

Rupert meneteskan air mata karena nada bicara keras dariku.

Bagi anak berumur 10 tahun yang dibesarkan penuh kasih oleh ibunya, itu reaksi yang wajar. Namun, lingkungan di sekitar Rupert tidaklah normal. 

Alois pun perlahan mendekati Rupert.

“Yang Mulia. Saya mengerti perasaan Anda. Saat pasukan Kekaisaran menyerbu, saya juga ingin menangis. Saya ingin memejamkan mata dan percaya semua ini hanyalah mimpi.”

“...Bagaimana kamu melewatinya, Alois...?”

“Saya memikirkan orang-orang yang harus saya lindungi. Saya tidak bisa meninggalkan wilayah dan rakyat saya. Demi ibu juga, saya tak bisa melarikan diri. Jadi, satu-satunya pilihan saya adalah bertarung. Anda pun sama, bukan? Anda menyayangi ibunda Anda?”

“Iya...”

“Kalau begitu, mari kita lari. Andaikan ibunda Anda tertangkap, selama Anda berhasil meloloskan diri, nilai sandera Anda akan meningkat. Dan kalau Anda berdua melarikan diri bersamaan, musuh harus membagi kekuatan mereka. Soal berjuang demi Kekaisaran atau karena darah kekaisaran, biarkan itu urusan orang dewasa. Tapi, berjuang demi ibu sendiri, itu sesuatu yang bahkan anak-anak pun bisa lakukan.” 

Mendengar kata-kata Alois, ekspresi Rupert sedikit berubah.

Dia masih tampak penakut, seolah akan menangis kapan saja. 

Namun dia tidak menangis. 

“Alois... Kamu terlalu dewasa...”

“Saya juga anak-anak. Masih banyak hal yang belum bisa saya lakukan. Tapi seperti yang Grau katakan, waktu tidak akan menunggu sampai kita dewasa. Anak-anak selalu berkata, ‘kalau aku besar nanti, aku mau jadi ini atau itu.’ Tapi kadang, krisis datang sebelum kita sempat tumbuh. Dan itulah yang terjadi sekarang. Kalau sudah datang, mau tak mau kita harus menghadapinya. Jika ingin menjadi kesatria, maka sekaranglah saatnya menjadi kesatria. Jika ingin menjadi keluarga kekaisaran yang pantas, maka sekaranglah saatnya bertindak seperti itu. Apa pun yang bisa kita capai di masa depan, seharusnya bisa kita capai juga saat ini.”

“Tapi, kita kan masih anak-anak...?”

“Anak-anak pun bisa menjadi apa saja. Yang bilang anak-anak tak bisa apa-apa hanyalah orang dewasa yang berpikiran sempit. Sekarang, saya adalah kesatria pengawal Anda. Percayalah pada saya dan ikutlah. Pasukan pengawal kekaisaran adalah yang terkuat di dunia, benar bukan?” 

Sambil berkata demikian, Alois mengulurkan tangannya.

Rupert pun meraih tangan itu.

Kalau anak itu masih bersikeras menolak, aku sudah berniat menidurkannya dengan paksa dan membawanya kabur, tapi sepertinya tak perlu sampai begitu. 

“Baiklah, Grau, tunjukkan arah kita. Pangeran Arnold memerintahkan agar kita menuju ruang takhta, tapi jalan ke sana pasti tidak mudah.”

“Baiklah. Serahkan padaku.” 

Begitu aku menjawab.

Terdengar suara gaduh dari luar ruangan.

Rupert refleks memeluk Alois, sementara tangan Alois sudah meraih gagang pedang dengan cepat.

Perbedaan usia mereka hanya dua tahun, tapi jelas pengalaman Alois di medan berbahaya membuat perbedaan besar. 

“Apa itu tadi...?”

“Prajurit di luar.”

Aku membuka pintu ruangan. 

Beberapa prajurit tampak tergeletak tak sadarkan diri di depan pintu.

Sepertinya mereka menunggu kami keluar.

Kebetulan, aku menggunakan sihir tidur yang tadinya disiapkan untuk Rupert pada mereka.

Bagi orang dengan kekuatan mental tingg, sihir ini memang tak berpengaruh, tapi untuk prajurit biasa, efeknya cukup membuat mereka terlelap dalam tidur yang dalam. 

“K-Kamu penyihir...?”

“Bukan, aku seorang ahli strategi.” 

Aku berjalan sambil tersenyum menyeringai.

Rupert tampak belum sepenuhnya mengerti jawabanku, tapi karena Alois dan para kesatria mengikutiku, dia pun buru-buru menyusul. 

Sementara kami berjalan, kegaduhan dari lantai bawah semakin keras.

Tampaknya mereka sudah menyerah pada rencana menahan sandera dengan damai dan mulai melakukan penyerbuan penuh untuk merebut istana.

Dari suara yang terdengar, bisa dipastikan sebagian istana sudah dikuasai pasukan. 

Dari jendela, terlihat beberapa prajurit mencoba keluar dari istana, tapi mereka malah ditangkap atau dibunuh oleh sesama prajurit.

Berarti tidak semua pasukan ikut dalam pemberontakan.

Mungkin mereka bermaksud melaporkan situasi ini pada Ayahanda.

Namun, sepertinya hal itu sudah tak perlu. 

“Sebentar lagi mereka juga akan bergerak,” gumamku sambil menatap sekilas ke arah arena pertempuran.

Tapi hanya itu. Di sisi Ayahanda ada Orihime dan juga Kanselir.

Gordon mungkin yakin pemberontakannya akan berhasil, tapi itu berarti dia terlalu meremehkan Ayahanda. 

Ayahanda memang tidak menyangka Gordon akan berani memberontak.

Namun, berbeda dengan Kanselir. 

“Baiklah, mari kita lihat seberapa tangkas tangan kanan Kekaisaran bekerja.” 

Jika dugaanku benar, Gordon akan segera dikejutkan oleh sesuatu yang tak pernah dia perhitungkan.


Bagian 2

Sekitar satu jam telah berlalu sejak turnamen bela diri dimulai.

Orihime menyadari ada sesuatu yang aneh di antara para penonton di arena. 

“Hmm?” 

Satu per satu, orang-orang mulai menunjukkan wajah pucat dan tampak tidak sehat.

Bukan hanya satu atau dua orang.

Jumlah mereka terus bertambah, dan melihat keadaan itu, Orihime mengernyitkan alis. 

“Paduka Kaisar.”

“Ada apa, Putri Pertapa?”

“Tidakkah kamu merasa ada sesuatu yang janggal?”

“Oh? Kebetulan sekali. Rupanya kamu juga merasakan hal yang sama.” 

Hanya sebuah rasa janggal. Mungkin karena turnamen diadakan pada siang hari, sehingga lebih banyak orang yang kelelahan atau pingsan karena panas.

Bisa saja begitu, setidaknya bagi yang tidak memperhatikannya lebih dalam.

Namun baik Orihime maupun Johannes sama-sama menyadari ada sesuatu yang tidak beres. 

“Bawa para tamu kehormatan ke sini. Jika sesuatu terjadi, aku akan melindungi mereka dengan penghalangku.”

“Terima kasih, Putri. Franz, tidak masalah, kan?”

“Tidak masalah. Segera saya urus.”

“Namun hanya memanggil mereka ke sini akan terdengar tidak sopan. Permaisuri, tolong undang mereka dengan layak.”

“Baik.” 

Franz dan Brunhilde pun segera meninggalkan ruangan.

Melihat Johannes yang sebelumnya meminta izin kepada Kanselir, Orihime menatapnya dengan rasa heran.

Seorang kaisar yang meminta izin kepada kanselir, itu jelas aneh. 

“Kenapa kamu harus meminta izin Kanselir?”

“Aku tidak ingin merusak rencananya. Kali ini, sebagian besar urusan sudah aku serahkan padanya.”

“...Itu sebabnya kamu juga tidak akan bertindak bahkan jika terjadi pemberontakan?” 

Johannes menatap Orihime sesaat, lalu tersenyum kecut.

“Jadi sumber rumor itu Arnold, rupanya.”

“Itu bukan rumor. Aku tahu. Di kota ini selalu tercium bau yang tidak sedap. Sesuatu pasti akan terjadi.”

“Belum ada bukti.”

“Dan jika belum ada bukti, kamu tidak akan bergerak? Aku tadinya menaruh harapan lebih pada Paduka Kaisar, tapi tampaknya aku keliru.” 

Mendengar ucapan itu, Johannes menghela napas kecil.

Dia menatap lurus ke arah Orihime. 

“Pikirkan apa pun yang kamu mau. Aku tidak akan menuduh anakku berkhianat tanpa kepastian. Putraku tidak sebodoh itu hingga menimbulkan kerugian besar bagi Kekaisaran.”

“Namun karena kasih sayangmu sebagai ayah, rakyatmu bisa menjadi korban.”

“Bukan soal kasih sayang. Masalahnya adalah ketidakpastian. Bagaimana jika aku salah? Jika di tengah perebutan takhta, kaisar menangkap salah satu kandidat kuat tanpa bukti, maka seluruh proses perebutan takhta akan runtuh. Gordon menguasai sebagian besar kekuatan militer. Untuk membersihkan namanya, dia pasti akan bertindak tegas. Dan akhirnya, itu akan berubah menjadi perang saudara.” 

Jika dia bergerak, perang saudara pasti tak terhindarkan. Itulah posisi Johannes.

Apakah Gordon benar-benar berencana memberontak atau tidak, itu tidak lagi penting.

Jika dia dihukum, orang-orang di bawahnya tidak akan menerimanya begitu saja. Mereka mungkin bertindak sendiri atau menyimpan dendam yang takkan padam. 

Perebutan takhta seharusnya menjadi ajang untuk menentukan kaisar berikutnya. Keterlibatan langsung kaisar dalam perebutan itu hanya akan menimbulkan kebencian dari segala arah.

Masalah seperti ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan membunuh seseorang. 

“Lalu apa yang akan kamu lakukan?”

“Setidaknya, aku tidak akan melakukan apa pun.” 

Itulah jawaban Johannes.

Jika kaisar tidak bisa bergerak, maka para bawahannya yang akan bergerak.

Karena itu, dia menyerahkan segalanya kepada Kanselir. 

“Meski begitu, bahkan seorang kanselir pun memiliki batasnya. Jika kaisar sendiri sulit ikut campur, maka dia pun tak bisa bertindak terang-terangan. Yang bisa dilakukan hanyalah bersiap.”

“Benar. Yang bisa kita lakukan hanyalah bersiap. Dan jika seseorang mampu menembus semua persiapan itu dan menggenggam Kekaisaran, maka biarlah. Itu pun salah satu cara.” 

Dalam sejarah, ada beberapa yang mencoba merebut takhta dengan kekuatan militer.

Namun tidak satu pun dari mereka yang berhasil.

Untuk menggerakkan pasukan, dibutuhkan izin kaisar. Bertindak tanpa izin berarti pemberontakan, dan itu membuat si pelaku menghadapi bukan hanya para pesaing, tapi juga kaisar sendiri sebagai musuh.

Karena itu, perebutan takhta selama ini selalu berlangsung dalam bayang-bayang intrik dan permainan kekuasaan.

Setiap kandidat tahu bahwa menentang kaisar secara terbuka adalah tindakan bodoh. 

“Jadi menurutmu, merebut takhta lewat pemberontakan pun adalah kemenangan yang sah?”

“Esensi dari perebutan takhta adalah melahirkan kaisar yang kuat. Jika hasil akhirnya menghasilkan penguasa yang tangguh, prosesnya tak perlu dipersoalkan.” 

Johannes bersandar lebih dalam ke kursinya.

Bagi Orihime, wajahnya tampak menua beberapa tahun dalam sekejap.

Dia bisa merasakan, meski kata-katanya terdengar tegas, hatinya mengatakan hal lain. 

“...Andai putra sulungku masih hidup, aku tak perlu pusing menghadapi semua ini.”

“Putra Mahkota yang telah tiada, ya? Kudengar kamu tidak membiarkannya ikut dalam perebutan takhta. Mengapa begitu?”

“Karena semua orang sudah mengakuinya. Semua tahu, sekalipun perebutan takhta diadakan, Putra Mahkota pasti menang. Tak seorang pun berniat menandinginya. Semua menantikan masa pemerintahan kaisar yang diimpikan. Dia seharusnya menjadi putra mahkota yang mengakhiri sejarah panjang perebutan takhta di Kekaisaran...”

Jika semua orang sepakat, maka tak ada alasan untuk bertarung.

Jika dari awal sudah jelas siapa yang paling pantas, maka persaingan tidak diperlukan.

Putra Mahkota itu akan menjadi kaisar pertama yang naik takhta tanpa melalui pertumpahan darah.

Sebuah akhir yang indah. 

Johannes percaya bahwa masa pemerintahannya kelak akan dipenuhi pencapaian besar.

Dia yakin putranya bahkan akan menemukan cara baru untuk memilih penerus tanpa harus melalui perebutan takhta lagi. 

“Namun kini, penerus terbaik itu sudah tiada. Karena itulah perebutan takhta terjadi. Aku membiarkannya, karena kupikir itu perlu bagi siapa pun selain putra sulungku. Tapi terkadang aku bertanya-tanya apakah itu keputusan yang benar?”

“Lemah sekali kamu ini. Seorang kaisar seharusnya tidak berbicara begitu.”

“Siapa pun akan merasa lemah. Aku menaruh harapan pada anak-anakku. Kupikir, melalui perebutan takhta, mereka akan tumbuh dan menunjukkan siapa yang paling layak untuk menerima takhtaku. Tapi setelah semua ini dimulai, aku tak melihat mereka berkembang. Malah seolah mereka semakin bodoh. Meski begitu, aku masih ingin percaya bahwa tak satu pun dari mereka cukup dungu untuk mengguncang Kekaisaran.” 

Itu lebih seperti harapan daripada keyakinan. Namun harapan itu takkan terkabul.

Saat sang Permaisuri dan Kanselir kembali bersama para tamu kehormatan. 

Orihime tiba-tiba merasakan gelombang kekuatan sihir yang luar biasa besar. Kekuatan itu berasal dari bawah arena pertandingan.

“Apa ini!?”

“Kutukan.” 

Sambil membentangkan penghalang di seluruh ruangan, Orihime segera mengidentifikasi sumber energi yang terpancar dari bawah arena pertarungan. 

Sebuah penghalang kutukan raksasa. Itulah yang terbentang di bawah arena, menyebarkan kekuatan terkutuknya ke seluruh tempat.

Orang-orang yang sebelumnya tampak tidak sehat rupanya sudah terpengaruh oleh gelombang sisa dari kutukan itu bahkan sebelum aktif sepenuhnya. 

Dalam sekejap, banyak orang di dalam arena mulai terbatuk-batuk.

Bukan hanya rakyat biasa, para peserta turnamen bela diri, prajurit, bahkan kesatria pun terkena dampaknya. 

Kutukan itu bukan jenis yang menyebabkan kematian seketika. Namun, cukup berat hingga membuat siapa pun mustahil bertarung dengan benar. 

“Untuk melancarkan sihir kutukan sebesar ini... berarti mereka sudah menyiapkannya sejak lama, ya?” gumam Orihime lirih. Dia kemudian menatap Johannes. 

“Bisa dibilang ini semacam kutukan pelemah. Seluruh arena kini berada di bawah pengaruhnya. Selama masih di dalam penghalangku, kita aman. Tapi di luar sana, pertarungan yang layak tidak mungkin dilakukan.” 

“Sepertinya begitu,” jawab Johannes pelan, menoleh ke arah Kanselir. 

Kalau kutukan itu hanya mencakup area arena, seharusnya mereka bisa kabur keluar. Tapi siapa pun yang merencanakan hal seperti ini, jelas tidak akan membiarkan mereka lolos begitu saja. 

“Jadi begitu. Aku sempat bertanya-tanya apa yang sedang dilakukan orang-orang dari Grimoire di balik bayangan. Rupanya mereka menyiapkan ini.” 

“Sayangnya, sadar sekarang sudah terlambat. Kamu tentu sudah menyiapkan langkah antisipasi, bukan?” 

“Tentu saja, Paduka. Namun, izinkan saya memohon maaf terlebih dahulu. Tindakan ini sepenuhnya melanggar wewenang. Mohon pengampunan Anda.” 

Johannes menatap Kanselir yang menundukkan kepala, dan merasakan firasat buruk menyusup ke dadanya. Meski begitu, dia hanya mengangguk beberapa kali. 

Sejak awal, dia sudah memutuskan untuk tidak mempermasalahkan metode apa pun yang dipilih, selama hasilnya sesuai harapan. 

Setelah itu, mengikuti usulan Kanselir, Johannes dan Orihime bergerak menuju pintu keluar, namun di sana... 

“Aku sudah menunggumu, Ayahanda.” 

Di depan pintu, Gordon berdiri menanti dalam perlengkapan tempur lengkap.

Di sekelilingnya, para prajurit yang juga bersenjata penuh mengurung arena rapat-rapat. 

Melihat pemandangan itu, Orihime berbisik pelan, “Betapa bodohnya dia.” 

“Benar. Menyedihkan, padahal dia putraku sendiri.” 

“Semuanya salah Ayahanda. Seharusnya Ayahanda langsung menjadikanku putra mahkota.” 

“Biar kubilang padamu, Gordon. Semua itu salahmu karena tidak bisa menunjukkan kelayakan untuk meneruskan takhta.” 

Sambil berkata demikian, Johannes perlahan mencabut pedangnya dari sarungnya. 

“Anak bodoh... Biarkan aku mengasihanimu. Serahkan kepalamu di sini, dan aku akan pastikan kamu dikuburkan dengan kehormatan seorang pangeran.” 

“Sepertinya Ayahanda sudah benar-benar pikun! Tidakkah Ayahanda paham situasinya!? Banyak jenderal yang kini berpihak padaku! Pasukan mereka sudah menjadi milikku! Mereka semua sudah muak dengan kepemimpinan Ayahanda yang lemah! Kekuatan kita terpaut jauh! Ayahanda tak punya peluang untuk menang!!” 

Gordon berteriak lantang, lalu menghunus pedangnya dan mengangkatnya tinggi-tinggi ke udara.



Bagian 3

Perbatasan timur Kekaisaran.

Di sana berdiri sebuah bangunan raksasa yang menjulang. 

Benteng pertahanan utama di garis timur Kekaisaran Adrasia, Benteng Eisenwand.

Markas besar pasukan penjaga perbatasan timur sekaligus garis depan dalam menghadapi Kekaisaran Suci Sokal. 

“Hmm, entah sudah berapa lama sejak terakhir kali aku berhasil sampai ke tujuan tanpa tersesat.” 

“Kalau kakek berlari tanpa peduli arah dan terus mengabaikan lingkungan sekitar, ya jelas saja nyasar...” 

Dua sosok yang seharusnya tidak memiliki urusan apa pun di tempat ini berdiri berdampingan.

Seorang dwarf tua dan seorang gadis elf, pasangan yang tampak aneh. 

Mereka adalah Egor dan Sonia.

Setelah menerima permintaan dari Silver, Egor segera berangkat menuju perbatasan timur bersama Sonia. Dalam perjalanan itu, Sonia akhirnya mengerti dengan sangat baik mengapa Egor selalu tersesat. 

Egor memiliki kecepatan bergerak yang tidak masuk akal bagi manusia biasa. Bahkan sambil menggendong Sonia, dia mampu melesat melintasi daratan dalam sekejap mata, hingga tanpa sadar melewati belokan yang seharusnya diambil. 

Kalau saja Sonia tidak berulang kali berteriak “berhenti!” dan memastikan arah perjalanan, Egor mungkin sudah berakhir di perbatasan utara, bukan di timur. 

“Mulai sekarang aku harus lebih hati-hati, ya.” 

“Itu yang sudah kakek bilang selama ratusan tahun, kan? Tapi tetap saja nggak berubah. Sepertinya penyakit nyasarmu itu nggak bakal sembuh seumur hidup,” gumam Sonia dengan pasrah. 

Dia hanya bisa menghela napas panjang. Tak heran Egor dijuluki Pendekar Pedang Tersesat, gelar itu sudah seperti ciri khasnya. Hanya ada dua cara untuk mengatasinya: seseorang harus mengawalnya terus-menerus, atau jangan biarkan dia berpindah tempat sama sekali. 

Kali ini Sonia terpaksa menjalankan peran yang pertama, tapi dia tak akan pernah mau melakukannya lagi. 

Bepergian sambil digendong oleh Egor adalah pengalaman yang terlalu ekstrem. 

Ketika dia sadar mereka telah menyeberangi gunung hanya dalam sekejap, Sonia sampai merasa pusing. 

Namun, berkat kecepatan tak masuk akal itu, mereka tiba di perbatasan timur jauh lebih cepat dari perkiraan. 

“Jadi, bagaimana rencanamu membawa pulang Raja Dwarf itu?” 

“Aku tidak datang untuk membawanya pulang. Selama aku berada di sini, Kekaisaran Suci tak akan berani menyerang. Menghentikan kepala batu seperti kaum dwarf itu memang mustahil, jadi Silver pasti berpikir lebih baik mencegah perang daripada memaksanya berhenti.” 

“Kalau cuma itu alasannya, kurasa kehadiranmu nggak dibutuhkan juga,” kata Sonia, mendesah sambil melangkah di dalam benteng. 

Nama Egor sudah disebutkan di pos penjagaan, jadi izin bertemu Raja Dwarf telah diperoleh. 

Seorang prajurit mengantar mereka dan berkata bahwa sang raja menunggu di ruangan di ujung lorong, lalu buru-buru kembali ke tugasnya. 

Sonia sempat heran, apa mereka kekurangan personel sampai prajurit harus terburu-buru begitu? 

Perbatasan timur adalah salah satu titik terpenting Kekaisaran. 

Karena itu, pasukan penjaga di sana dikenal sebagai yang terkuat di seluruh negeri. 

“Pimpinan mereka adalah Marsekal Kekaisaran, Lizelotte Lakes Ardler, Putri Pertama sekaligus jenderal terkuat di antara keluarga kekaisaran. Sejak dia ditempatkan di perbatasan timur, Kekaisaran Suci tidak pernah berani melakukan tindakan militer. Kalau dia saja ada di sini, seharusnya tak perlu khawatir, bahkan tanpa kakek.” 

“Aku sudah bilang begitu juga pada Silver, tapi dia bilang masih punya utang budi yang harus ditagih. Jadi aku tidak bisa menolak, kan?” 

“Hmm, rasanya Silver tidak akan menyia-nyiakan kesempatan itu.” 

Dia berhenti di depan pintu, menegakkan tubuh, lalu berdeham kecil. 

Di dalam ruangan itu ada Raja Dwarf dan Marsekal. Dia tak boleh bersikap ceroboh. Namun sebelum sempat mengetuk, Egor sudah mendorong pintu dan masuk begitu saja. 

“Permisi masuk~!” 

“Hah!? Kakek!?” 

Egor masuk seperti hendak menemui teman lama, tanpa rasa sungkan sedikit pun. 

Panik, Sonia langsung menunduk dalam-dalam. 

“M-Maafkan kami! Kakek ini sudah agak pikun!” 

“Wahahaha!! Jadi sekarang Egor yang legendaris disebut pikun oleh gadis elf muda! Lucu sekali!” 

Yang tertawa terbahak-bahak adalah seorang dwarf berjanggut lebat. 

Dia menenggak bir dari cangkir raksasa di tangannya seperti meneguk air biasa, membasahi janggut tebalnya, lalu terus tertawa seraya berulang kali berkata “lucu sekali, lucu sekali!” 

Sonia segera tahu, orang itulah Raja Dwarf. 

Dia sudah sering melihat dwarf minum, tapi belum pernah ada yang semabuk dan seceria ini, benar-benar sosok yang cocok disebut raja mereka. Walau di sisi lain, Sonia jadi bertanya-tanya apakah takhta mereka ditentukan dari kemampuan minum. 

“Saya merasa terhormat dapat bertemu dengan Anda. Nama saya Sonia Raspade. Saat ini saya bertugas sebagai pendamping Egor.” 

“Aku tahu. Setiap kali seseorang masuk ke Wilayah Otonom, laporan selalu sampai ke mejaku. Para tetua memang keberatan menerima elf, tapi aku bilang, biarkan saja! Gadis muda itu membawa udara segar! Wahahaha!” 

Sambil terus tertawa, sang raja menuangkan bir lagi dan meneguknya tanpa henti. Sonia sempat khawatir seluruh stok bir benteng akan habis malam itu juga. 

“Paduka, ambil ini.” 

“Hmm? Ada apa?” 

“Janggut Anda basah. Di hadapan wanita, sebaiknya berhati-hati. Sayang kalau ketampanan Anda hilang begitu saja.” 

“Oh! Benar juga! Terima kasih, Adipati!” 

Raja Dwarf pun menyeka janggutnya, merapikan pakaian, lalu memperkenalkan diri dengan suara lantang yang mengandung wibawa. 

“Ah, hampir saja aku lupa memperkenalkan diri! Namaku Makal, Raja para Dwarf! Maafkan sikap santai tadi, aku sudah bersahabat dengan kakek tua ini sejak kecil, jadi kamu tak perlu canggung.” 

“Haha, tapi sekarang kamu raja, Makal. Tetap harus tahu sopan santun. Ngomong-ngomong, bir itu tampak enak sekali. Boleh bagi aku sedikit?” 

Sonia menutup wajahnya, bertanya dalam hati apakah Egor tahu arti kata “sopan santun”. 

Seorang pria yang berdiri di samping Makal menegurnya lembut. 

“Kaum Dwarf memang tidak terlalu peduli dengan hal-hal kecil. Itulah sisi baik mereka, dermawan, terbuka, dan apa adanya. Aku pribadi menyukai mereka. Bagaimana denganmu?” 

“Saya sependapat dengan Adipati,” jawab Sonia cepat, menunduk sopan. 

Pria itu tampak akrab berbicara dengan sang raja dan baru saja disebut ‘Adipati’. Dengan informasi yang dia miliki, Sonia langsung menyimpulkan inilah Adipati Reinfeld. 

Walau bertubuh pendek dan kekar mirip dwarf, pria itu memancarkan keanggunan khas bangsawan kekaisaran. 

Dia tampak seperti pedagang besar yang sukses, dan memang benar. 

Adipati Reinfeld adalah bangsawan berpengaruh yang menguasai wilayah di tenggara Kekaisaran Adrasia, namun pengaruhnya menjangkau sampai ke timur. 

Dengan kecerdasan bisnis dan kemurahan hatinya, dia dihormati bukan hanya sebagai adipati, tapi juga sebagai pribadi yang luhur. 

“Ah, maaf, aku belum memperkenalkan diri. Namaku Jurgen von Reinfeld. Secara teknis, aku memang seorang adipati, tapi tak usah sungkan. Dibanding aku, jadi pendamping Egor jauh lebih luar biasa.” 

“Ah, t-tidak, saya tidak sehebat itu...” 

“Wahahaha!! Adipati benar! Tak ada seorang pun selama ratusan tahun yang sanggup mendampingi kakek tersesat ini! Hebat sekali, anak muda!” seru Makal sambil tertawa dan menenggak lagi, sementara Egor di sebelahnya sudah ikut minum tanpa permisi. 

Jurgen menatap mereka dengan senyum hangat, seolah menyaksikan dua anak kecil bermain. 

Cerita yang didengarnya jauh berbeda dari kenyataan, pikir Sonia. 

Lalu dia memberanikan diri bertanya, “Adipati, maaf jika saya salah, tapi... Apa keputusan Raja Dwarf untuk menyerang Kekaisaran Suci hanyalah sandiwara?” 

“Tebakan yang bagus. Tepat sekali.” 

Dia mengakuinya dengan jujur, lalu memalingkan pandangan ke meja besar di sisi ruangan.

Di sana tempat yang seharusnya diduduki oleh pemimpin sejati benteng ini, sang Marsekal.

Namun kini, meja itu kosong. 

“Semuanya adalah bagian dari rencana beliau. Raja Dwarf datang ke perbatasan ini untuk memperkuat pasukan. Karena aku hanya penjaga sementara di wilayah timur, beliau merasa perlu mengirim bantuan.” 

“Penjaga sementara...? Jangan bilang, Marsekal tidak ada di sini!?” 

“Benar. Beliau sedang berada di tempat lain. Aku sebenarnya ingin ikut bersamanya, tapi ketika beliau berkata hanya aku yang bisa dipercaya untuk tugas ini... Ya, sebagai pria, aku tidak bisa menolak.” 

“Wahahaha! Bodoh sekali kamu ini, Tuan Adipati! Begitu kabar ini bocor, Kekaisaran Suci pasti akan mengendus kesempatan dan segera menyerang! Itu sama cari mati! Dan kalau pun kamu selamat, hukuman pasti menantimu! Benar-benar bodoh!” 

“Bukankah Paduka juga tidak jauh berbeda?” 

“Apa katamu!? Kami para dwarf punya utang pada Kekaisaran! Terlebih lagi, pada sang putri itu, entah sudah berapa kali kami menerima bantuannya! Dan kini sang putri sendiri yang memintaku menjaga dirimu! Kalau aku menolak, nama Raja Dwarf akan tercemar!” 

Sambil berkata begitu, Makal menenggak minumnya tanpa henti. 

Wajahnya berseri penuh semangat, seakan menikmati setiap detiknya. 

“Aku suka orang bodoh! Sungguh, para keluarga kekaisaran ini semuanya tolol! Tapi itu yang membuatku suka! Ayah anak sama saja! Bayangkan, menyerahkan perbatasan sepenting ini kepada seorang adipati yang lebih cocok jadi pedagang! Dan si adipati itu pun sama gilanya, menerima tugas itu tanpa mendapat keuntungan sedikit pun!” 

“Aku hanya berada di sini, itu saja. Jika perang benar-benar pecah, aku akan menyerahkan semuanya pada Paduka dan para prajurit di benteng ini. Tugasku hanyalah menanggung tanggung jawabnya nanti.” 

“Jadi itu sebabnya Silver mengirim kakekmu ke sini... Kalau begitu, Marsekal sekarang berada di ibu kota, ya?” 

“Jika tak terjadi apa-apa, itu akan menjadi pertemuan ayah dan anak setelah sekian lama. Tapi kalau sesuatu terjadi, maka akan ada bala bantuan yang bahkan musuh maupun sekutu tak akan sadari. Bagaimanapun hasilnya, Paduka Kaisar pasti akan terkejut,” ujar Jurgen dengan senyuman.


* * *


Tepat saat Gordon mengangkat pedangnya, sebuah suara bening menggema dari ibu kota.

“Tembak!” 

Bersamaan dengan suara itu, hujan panah menyerang pasukan Gordon yang mengelilingi arena. 

Di samping Kaisar, sang Kanselir kembali meminta maaf.

“Mohon maaf, Paduka. Di antara semua pihak militer, hanya beliau yang benar-benar dapat kami percayai.”

“Tidak mungkin...”

Johannes membelalak, lalu menatap ke arah kelompok yang menyerang Gordon dan pasukannya.

Semua orang itu mengenakan tudung tebal; namun di bawah tudung tampak kilauan seragam militer. 

Dari kelompok berpakaian tersebut, seorang wanita berkerudung biru melangkah keluar dengan anggun. 

Hanya tiga Marsekal Kekaisaran yang berhak mengenakan jubah biru di atas seragam militer, dan hanya ada satu wanita di jajarannya.

Rambut panjang keemasan berkibar tertiup angin. Melihat sosok itu, Gordon mendesah seperti menahan sakit.

“Kenapa kamu...!?”

“Apakah begitu mengejutkan melihat seorang marsekal datang untuk melindungi Kaisar? Atau kamu heran aku datang menjaga Ayahanda?” 

Wanita itu tersenyum tipis, lalu semua anak buah yang menutup wajahnya serentak menanggalkan tudung.

Di sana berdiri pasukan elit Penjaga Perbatasan Timur Kekaisaran. 

“Malulah pada kebodohanmu sendiri, Gordon. Aku lebih berbakti kepada orang tua daripada yang kamu kira.” 

“Bersiaplah! Bunuh wanita itu!”

“Itu justru kalimatku! Semua pasukan, keluarkan pedang!! Atas perintah Marsekal Kekaisaran Lizelotte Lakes Ardler, bunuh para pengkhianat!!” 

Demikianlah, benturan antar pasukan Kekaisaran pun meletus di dalam ibu kota.



Bagian 4

“Kenapa Lizelotte ada di ibu kota!? Bagaimana dengan perbatasan timur!?”

“Beliau kami undang secara rahasia sebagai pengawal pribadi. Mengenai perbatasan timur, beliau sendiri mengatakan telah menugaskan pengganti yang layak.” 

Franz menjawab dengan tenang.

Antara Franz dan Lize hanya ada satu kali komunikasi, melalui surat yang dikirim secara rahasia.

Dalam surat itu, Franz menjelaskan situasi dan memintanya datang ke ibu kota sebagai pengawal, dan Lize menyetujui permintaan tersebut. 

Mereka tak melakukan korespondensi lebih lanjut demi menghindari kebocoran informasi. Karena itulah Franz pun tidak tahu siapa yang kini bertanggung jawab menjaga perbatasan timur.

Dia memang sempat mengajukan beberapa nama sebagai kandidat pengganti, tetapi Lize menolak campur tangan lebih jauh dan berkata akan mengurusnya sendiri. 

Franz tidak menanyakan lebih dalam. Dia percaya, selama ini Lize telah menjaga perbatasan timur dengan sempurna, maka dia tidak mungkin salah dalam memilih orang. Yang paling penting adalah memastikan Lize dapat datang ke ibu kota tanpa seorang pun menyadarinya. 

Selama musuh yakin Lize masih berada di perbatasan timur, Kekaisaran Suci takkan berani bergerak.

Begitulah analisis Franz, dan sejauh ini, memang demikian begitu.

“Aku sudah titip semuanya padamu, tapi apa maksudmu membawa kunci penjaga perbatasan ke ibu kota!? Lagipula, kenapa saat aku memanggil dia susah datang, tapi saat kamu yang memanggil, dia datang begitu saja!?” 

Franz menghela napas, heran bahwa itu yang membuat Johannes marah. 

Saat Franz kebingungan mencari kata-kata, Eric menyelipkan dari belakang.

“Ayahanda, kita bicarakan ini di tempat lain. Di sini akan terlalu mencolok.”

“Pangeran Eric benar. Mari kita pindah.”

“Grrr...”

Dengan ragu-ragu namun ditarik, Franz menuntun Johannes mundur ke barisan di belakang Lize dan yang lain. 

Di sanalah Franz menjelaskan rencana selanjutnya. 

“Paduka, pertama kita keluar lewat gerbang timur.”

“Keluar? Kamu menyuruhku meninggalkan ibu kota!?”

“Tampaknya ada lebih banyak jenderal yang berpihak pada Pangeran Gordon daripada yang kami perkirakan. Bangsawan Pemberani sudah bersiap. Setelah bergabung dengannya, kita akan melakukan penumpasan pada waktu yang tepat.” 

Mendengar itu, Johannes menatap sesaat ke arah Istana Pedang Kaisar. 

Banyak selir dan anak-anaknya masih berada di sana. 

Namun dia segera mengalihkan pandangannya. 

Menyerahkan ibu kota, walau hanya sementara, artinya juga meninggalkan rakyat. Sebagai kaisar, sekarang bukanlah waktu untuk sibuk memikirkan keselamatan keluarga ketika nasib bangsa sedang dipertaruhkan. 

Di samping Johannes, Orihime menenangkan.

“Jangan khawatir, Paduka. Arnold sudah bergerak di dalam istana. Dia pandai melakukan gerakan diam-diam, mestinya dia akan mengurusnya.”

“Aku sedikit lega mendengarnya. Baiklah, aku akan percaya.” 

Dengan ucapan Orihime, wajah Johannes sedikit melunak. 

Lalu dia menatap Franz lagi.

“Aku mengerti rencanamu. Tapi kalau kita berlindung di dalam ibu kota, itu akan berbahaya. Jika Gordon berhasil, dia bahkan bisa mengaktifkan Bola Langit.”

“Tidak ada pilihan lain. Kepala-kepala komandan pengawal yang ditempatkan di istana sudah diperintahkan untuk mundur membawa Permata Pelangi bila perlu. Tanpa ketiga permata itu, Bola Langit tidak bisa diaktifkan. Jika terpaksa, kita bisa meminta Pahlawan untuk menggunakan Pedang Suci.”

“Itu cara yang ingin aku coba hindari.”

“Kita tak boleh pilih-pilih cara. Melihat tidak ada pejabat Persatuan Kerajaan maupun Negara Bagian di arena saat ini, kemungkinan besar mereka memang berkoalisi dengan Pangeran Gordon. Jika kasus sang Santa hanyalah umpan, Kerajaan Perlan juga bisa ikut campur. Semakin lama kita memberi Gordon waktu, semakin goyah pula perbatasan.” 

Ucapan Franz membuat Johannes menggeram kesal. 

Jika bukan hanya Gordon, tetapi juga negara lain yang terlibat, masalahnya akan jauh lebih serius. 

Kekaisaran ditakuti karena kekuatannya; sentimen itu membuat negara lain enggan menyerang. Namun pemberontakan ini adalah celah langka pada kekuatan yang selama ini tampak tak tergoyahkan. 

Kekacauan yang menyusul mungkin lebih besar daripada kematian Putra Mahkota tiga tahun lalu. 

Johannes tak pernah membayangkan anak-anaknya separah itu, bahwa, jika dia dikalahkan dan kekuasaan pecah, yang menunggu adalah perang melawan negara lain yang mengintip peluang. 

Negara-negara yang bekerja sama akan menuntut imbalan berat; Kekaisaran Suci Sokal takkan mengakui takhta yang diraih Gordon; bahkan negeri-negeri di selatan bisa saja melancarkan serangan ke pusat benua. 

Itu adalah perang yang diidam-idamkan Gordon, tetapi jelas merugikan Kekaisaran Adrasia dalam skala penuh. 

Entah dia tidak melihatnya, atau berpikir bisa mengendalikannya, bagaimanapun, Johannes hanya bisa menganggap mereka bodoh. 

Di tengah gaduh medan tempur, matanya tertumbuk pada Lize yang berdiri berhadapan dengan Gordon. 

Putra dan putrinya itu, dulu bersaing tapi pernah berdiri di sisi yang sama. 

Perasaan ragu sebentar melintas, lalu Johannes mengangkat suaranya hingga menggema ke seluruh arena. 

“Marsekal Lizelotte! Bunuh dia jika perlu! Ajari para pengecut yang menantang Kekaisaran betapa bodohnya perbuatan itu!!!” 

Setelah berkata demikian, Johannes berbalik dan melangkah cepat menuju gerbang timur.


* * *


Di tengah medan perang, Gordon mendengus ketika mendengar perintah Johannes. 

“Hmph! Apa itu tadi, kebodohan melawan Kekaisaran? Ayahanda sudah menjadi lemah! Andai saja beliau masih sekuat dulu, aku takkan perlu melakukan pemberontakan seperti ini!” 

“Seolah-olah kamu ingin mengatakan, Ayahanda yang membuatmu memberontak adalah pihak yang bersalah, begitu?” 

“Tentu saja benar! Jika beliau masih seperti dulu, beliau pasti sudah menyadari sejak awal bahwa Kekaisaran membutuhkan seorang kaisar yang kuat! Memalukan sekali bahwa aku harus bersaing dengan bocah manja seperti Leonard, atau si lemah Eric! Demi kekuatan Kekaisaran, harus ada kaisar yang benar-benar kuat! Dan kaisar itu tak lain adalah aku!! Karena Ayahanda gagal menyadarinya, maka aku tak punya pilihan selain memberontak!!” 

Sambil Gordon membenarkan tindakannya dengan mulut besar, Lize perlahan mengangkat pedangnya.

Melihat itu, Gordon mengangkat pedang besarnya, siap menangkis serangan. Namun secepat kilat, pedang Lize meluncur melewati celah pertahanannya dan nyaris menebas lehernya. 

“Ugh!” 

Gordon dengan refleks menenggakkan tubuh ke belakang. Kepalanya tak terlepas, namun sebuah sayatan tipis terbentuk di lehernya. 

“Selama ini aku sudah menganggapmu bodoh, tapi ternyata kamu jauh lebih parah dari yang kubayangkan... Kalau kamu memang begitu percaya diri, kamu hanya perlu menang dalam perebutan takhta. Tapi dengan memberontak seperti ini, kamu sendiri mengakui bahwa kamu tak bisa menang melawan Eric maupun Leo. Ketahuilah, Gordon. Pemberontakan ini adalah bukti kelemahanmu. Karena itulah kamu tak pernah pantas duduk di kursi Marsekal Kekaisaran.” 

“Aku bukan lemah! Perebutan takhta tidak cukup untuk menilai kekuatanku! Permainan intrik dan tipu daya itu hanyalah medan para pengecut! Memaksaku ikut serta dalam perebutan kekuasaan seperti itu adalah kesalahan besar!!” 

“Dan melakukan konspirasi serta pemberontakan bukanlah tipu daya? Semua tindakanmu penuh kontradiksi. Seorang wangsa kekaisaran seharusnya hidup demi Kekaisaran. Tapi kamu, kamu bahkan melupakan itu, dan kini menebar bencana bagi negeri ini. Sebagai keluarga kekaisaran pun sebagai jenderal, kamu telah gagal total. Memiliki putra sepertimu, Ayahanda pasti sudah sangat tersiksa.” 

“Jangan rendahkan aku! Kamu, yang bahkan tak ikut serta dalam perebutan takhta dan memilih bersembunyi di perbatasan, apa yang kamu tahu!?” 

Sambil berteriak, Gordon mengalirkan kekuatan sihir ke pedang besarnya.

Kemudian pedang itu memancarkan sinar menyilaukan dan menyelimuti tubuh Gordon. 

“Pedang sihir peningkat kekuatan fisik, ya? Cukup bagus. Tapi sepertinya kamu tidak terlalu percaya diri pada kekuatanmu sendiri.” 

“Hmph! Sudah cukup penghinaanmu! Akan kuhancurkan kamu sampai tak bersisa!!” 

“Kalau begitu, datanglah. Atas nama Marsekal Kekaisaran, aku sendiri yang akan memenggal kepalamu.” 

Dengan teriakan amarah, Gordon mengayunkan pedangnya sekuat tenaga.

Lize melangkah mundur, menghindari tebasan itu, tapi hantaman pedang raksasa tersebut membuat tanah di bawah mereka berlubang besar. 

“Jadi pedang itu meningkatkan kemampuan fisik, ya? Benar-benar ciri khas dirimu.” 

“Inilah kekuatanku! Kamu takkan bisa menang! Aku akan melemparkan kepalamu ke kaki Ayahanda!!” 

Lize terdiam mendengar kata-kata itu.

Namun Gordon tak peduli dan kembali menyerang. 

Tebasan mendatar menyapu udara. Lize menahan serangan itu. 

Kemudian...

“Aku datang jauh-jauh dari perbatasan bukan karena ambisi, Gordon. Aku datang karena tak ingin membiarkan Ayahanda sendiri yang menebasmu. Setelah kehilangan kakak kita, hati Ayahanda sudah terluka dalam. Tapi jika kamu memberontak, beliau pasti akan turun tangan sendiri untuk menyingkirkanmu. Aku tidak ingin melihat Ayahanda semakin menderita. Karena itulah aku datang.” 

“Begitu naifnya! Rupanya hidup di perbatasan membuatmu lembek dan penuh belas kasihan!” 

“Katakan apa yang kamu mau. Tapi dosa karena membuat Ayahanda harus mengeluarkan perintah untuk membunuh putranya sendiri adalah dosa yang berat. Dan kamu akan menebusnya dengan kepalamu itu, Gordon!!” 

Bersamaan dengan kata-kata itu, Lize menangkis pedang Gordon dengan satu hentakan keras.

Dari sana, kedua pedang saling beradu tanpa henti, keduanya tidak bergeser setapak pun. 

Benturan demi benturan menggema seperti badai, menyeret para prajurit di sekitar mereka. 

Pedang itu takkan berhenti sampai salah satu dari mereka mati.

Begitulah yang dirasakan semua yang menyaksikan pertempuran itu. 

Tiba-tiba, sebuah penghalang raksasa, Bola Langit, muncul dan melingkupi seluruh kota.


Bagian 5

Saat Lize muncul di ibu kota Kekaisaran.

Di salah satu ruangan bawah tanah Istana Pedang Kaisar. Sebuah ruangan yang tampak biasa saja, sama seperti banyak ruangan lain di dalam benteng. Di depan pintunya berdiri Zandra. 

“Luar biasa, seperti yang diharapkan dari Kanselir. Menyembunyikan dua Permata Pelangi di tempat sesederhana ini, benar-benar berani dan tak tahu malu,” ucap Zandra sambil meletakkan tangannya pada gagang pintu. 

Namun sebelum dia bisa bergerak, dua sosok muncul dan menghadangnya. 

“Jangan bergerak, Putri Zandra.”

“Ingat kembali kedudukan Anda. Serahkan diri dengan tenang.” 

Yang pertama adalah pria berusia awal tiga puluhan, berambut pendek rapi, memancarkan aura khas seorang prajurit.

Yang kedua, pemuda berusia akhir belasan tahun, berambut cokelat muda hingga punggung, berwajah lembut namun datar, sukar ditebak apa yang dipikirkannya.

Keduanya mengenakan jubah putih yang menandakan status mereka sebagai kesatria pengawal, sama seperti Elna. 

Mendengar suara mereka, Zandra berbalik perlahan. 

“Aneh sekali. Kenapa sampai ada dua kapten kesatria pengawal di sini? Padahal aku sudah memastikan bahwa para prajuritku menyerbu kamar palsu yang kalian jaga sebagai umpan.” 

“Tidak ada perlawanan berarti di sana. Kami langsung tahu itu hanya pengalihan. Hanya saja, tak kusangka pelakunya adalah Anda sendiri.” 

“Oh? Mengejutkan, ya, Kapten Oliver dari Regu Kedelapan?” 

Nama pria itu adalah Oliver von Rohrbach. 

Dia adalah kapten Regu Kedelapan Kesatria Pengawal Kekaisaran.

Dia telah bertugas sejak remaja dan dikenal sebagai perwira berpengalaman yang sangat dipercaya oleh Kaisar. 

“Tentu saja mengejutkan. Aku tak pernah menyangka Anda akan berpihak pada pemberontakan Pangeran Gordon. Siapa pun tahu kalian berdua saling membenci.” 

“Itu hanya sementara. Aku sedang memanfaatkan Gordon.” 

“Dan aku yakin Gordon pun berpikir hal yang sama. Baiklah, kita selesaikan saja. Mereka hanya ingin kamu menunda-nunda, Oliver.” 

Pemuda itu menarik pedangnya dari sarung. Namanya Raphael Berendt, kapten Regu Kesepuluh Kesatria Pengawal Kekaisaran.

Usianya baru 19 tahun. Dia diangkat menjadi kesatria pengawal pada usia 13, seorang jenius pedang sejati. 

Sayangnya, kejeniusannya tertutupi oleh Elna, yang mencetak rekor lebih muda lagi dengan bergabung pada usia 11 tahun.

Berbeda dengan Elna yang berasal dari Bangsawan Pemberani Armsberg, Raphael tidak memiliki darah bangsawan sama sekali, bahkan asal-usulnya pun tidak jelas. 

Dia ditemukan di medan perang oleh Kaisar saat masih bayi, menangis di sisi ibunya yang telah tewas.

Seandainya dibiarkan, dia pasti mati. Namun Kaisar sendiri tidak bisa memungutnya, jadi Raphael diserahkan ke panti asuhan yang didanai oleh Kekaisaran. 

Beberapa tahun kemudian, ketika Kaisar berkunjung ke panti itu, beliau melihat bocah kecil itu dengan lihai mengayunkan tongkat kayu, tanpa pernah diajari siapa pun.

Menyadari bakat alaminya, Kaisar memutuskan untuk membesarkannya sebagai kesatria.

Naluri Kaisar tak pernah keliru. Raphael tumbuh menjadi salah satu ahli pedang terbaik dan akhirnya menjadi kapten regu. 

Walau penerus utama jabatan Komandan Kesatria adalah Elna, bila bukan karena keberadaan gadis jenius itu, Raphael akan menjadi kandidat paling kuat. 

Kesetiaannya kepada Kaisar sangat besar, dan bersama Elna dia dianggap sebagai pilar masa depan Kekaisaran. Zandra menatap pemuda itu sambil tersenyum manis.

“Kapten Raphael, kamu ini terlalu terburu-buru. Tidak maukah sedikit berbincang denganku?” 

“Aku kurang pandai berbicara dengan wanita. Aku hanya tahu bagaimana menggunakan pedang.” 

“Begitukah? Sayang sekali.” 

“Tidak bagi saya. Apa yang akan kita lakukan? Kita tumbangkan saja?” 

Sambil berkata begitu, Raphael mengarahkan pedangnya ke Zandra.

Zandra, yang dikenal menguasai sihir terlarang, bisa menyerang kapan saja dan tak ada yang tahu dengan cara apa. 

Karena itu Raphael menatapnya tanpa emosi, penuh kewaspadaan. 

Oliver menegurnya dengan suara rendah.

“Raphael. Bagaimanapun, beliau tetap seorang putri. Jangan sampai terluka parah.” 

“Dia adalah pengkhianat yang sudah dua kali ikut pemberontakan. Paduka Kaisar tidak akan lagi menganggapnya sebagai putrinya.” 

“Yang menentukan itu adalah Paduka Kaisar sendiri. Jangan bertindak gegabah.” 

Sambil menegur, Oliver juga menghunus pedangnya.

Lalu dia menoleh ke belakang.

Di sana berdiri seorang pelayan berambut cokelat gelap, Xiaomei. 

“Bisakah kalian menjauh dari Putri Zandra?” 

“Meski berpakaian seperti pelayan, aura membunuh yang kamu pancarkan tidak bisa disembunyikan. Dari gerak-gerikmu, kamu seorang pembunuh bayaran, bukan?” 

“Itu terserah apa yang kamu bayangkan.” 

“Begitu ya. Kalau begitu, setelah mengalahkanmu, aku akan pastikan kamu buka mulut.” 

Oliver menggenggam pedangnya dengan kedua tangan, siap menyerang.

Xiaomei pun menarik dua belati dari pinggangnya, bersiap menghadapi duel langsung.

Melihatnya memilih bertarung dari depan, Oliver menyeringai. 

“Berani juga kamu meremehkanku!” 

“Level kapten kesatria pengawal itu bermacam-macam. Kalau Elna von Armsberg, mungkin aku akan berpikir dua kali. Tapi melawanmu, aku rasa aku masih bisa menang.” 

“Kalau begitu, buktikan!!” 

Dengan itu, Oliver dan Xiaomei saling menerjang dan bertabrakan.

Bentrokan mereka hanya dalam sekejap 

Serangan dari Oliver mengenai tubuh Xiaomei, lalu terpental keras dan menghantam dinding. 

“Ugh...!”

Menahan sakit, Xiaomei perlahan bangkit. 

Tapi di wajahnya tersungging senyum tipis.

Sebab di hadapannya, dari perut Oliver kini mencuat sebilah pedang. 

“Tidak mungkin...”

“Aku tidak membencimu, Oliver.” 

“Kenapa kamu... Mengkhianati kami... Raphael...”

Dengan satu tebasan mendatar, Raphael mengiris perut Oliver.

Separuh tubuh bagian bawah Oliver terbelah. Darah muncrat dari mulutnya saat dia berlutut, kehilangan kekuatan. 

Dalam kepalanya, hanya satu pertanyaan bergema. Mengapa?

Dia sebenarnya sudah memikirkan kemungkinan pengkhianatan sejak awal.

Bahwa Zandra bisa menemukan ruangan tempat Permata Pelangi yang disembunyikan oleh Kanselir, pasti karena ada kebocoran informasi. Dan hanya segelintir orang yang tahu tentang ruangan itu. 

Namun satu-satunya yang sama sekali tak dia curigai hanyalah Raphael.

Saking dalamnya kesetiaan pemuda itu kepada Kaisar. 

“Kalau aku punya alasan, apa kamu akan memaafkanku?” 

“...Tidak...”

Dengan kesadaran yang mulai memudar, Oliver menganalisis keadaannya. Dia tahu hidupnya tidak akan lama lagi.

Diserang dari belakang oleh ahli pedang sekelas Raphael berarti tak ada ruang untuk selamat. Tebasan itu tak hanya menusuk, tapi juga mengoyak hampir separuh perutnya. 

Jika dia tidak menekan lukanya, isi perutnya pasti akan terburai keluar.

Namun, Oliver tidak melepaskan pedangnya.

Dan kemudian... 

“...Pengkhianat... Harus disingkirkan...!!”

Dengan segenap tenaga yang tersisa, Oliver melemparkan pedangnya ke arah Raphael.

Raphael menepisnya dengan ekspresi bosan, seolah serangan itu tak berarti apa-apa.

Namun dalam sekejap itu, Oliver sudah melompat keluar melalui jendela di dekatnya. 

Ketika Xiaomei menatap ke luar jendela, sosok Oliver sudah tidak terlihat.

Kemungkinan besar, dia telah masuk kembali ke dalam istana melalui jendela lain yang tak jauh dari situ. 

“Kejar dia! Jangan biarkan dia kabur!” 

“Dia pasti mati juga. Mungkin dia berusaha memberi tahu Komandan, tapi dengan luka seperti itu, dia tidak akan sampai ke ruang takhta.” 

“Mungkin saja tidak cukup!” 

Teriakan histeris Zandra bergema di ruangan. Raphael menyipitkan mata dengan wajah jengkel mendengar suaranya, namun segera menyarungkan pedangnya dan mulai berjalan pergi.

Melihat itu, Zandra akhirnya ikut masuk ke dalam ruangan. 

“Seperti yang diharapkan dari kapten ksatria pengawal... Aku tidak bisa bergerak untuk sementara waktu.” 

“Ya, aku tahu. Terima kasih atas kerja kerasmu. Tolong tetap jaga orang itu. Aku akan pergi mengejar Oliver.” 

“Hati-hati. Kalau kapten kesatria pengawal sampai membuang pedangnya demi melarikan diri, berarti dia akan melakukan apa saja untuk bertahan.” 

“Aku tahu. Karena itulah aku memintamu membuka celah dalam pertahanannya. Aku tidak akan lengah terhadap orang seperti dia.” 

Setelah mengucapkan itu, Raphael berjalan santai menyusuri koridor.

Namun tiba-tiba dia berhenti dan menoleh ke arah Xiaomei. 

“Oh, iya. Sampaikan pada Yang Mulia kalau aku sudah melakukan tugas sesuai perintahnya.”

“Yang Mulia yang mana?” 

“Yang Mulia yang kamu layani, tentu saja.” 

“Baik. Akan kusampaikan nanti.” 

Percakapan itu berakhir, dan Raphael kembali melangkah pergi. 

Tak lama kemudian, Zandra mengambil tiga Permata Pelangi, dua dari tempat penyimpanannya, dan satu lagi dari milik Gordon, yang ternyata telah mendapatkannya lewat jalannya sendiri. Zandra sempat terkejut karena Gordon mampu menyiapkan permata itu, yang merupakan permata dengan kualitas tertinggi. Tapi bagi Zandra, hal itu tidak lagi penting sekarang. 

Dia membawa ketiga Permata Langit itu ke Aula Langit, sebuah ruang ritual yang terletak tepat di pusat istana, dan meletakkannya di atas tumpuan batu di tengah ruangan.

Kemudian dia meneteskan darahnya sendiri ke atasnya, mengaktifkan Bola Langit.

“Ahahaha!! Sekarang kalian takkan bisa lari, Ayahanda! Aku tidak akan pernah memaafkanmu karena mengurungku dan Ibu!!” 

Dengan tawa penuh kebencian bergema, Zandra memancarkan senyum kejam.


Bagian 6

“A-Apa!? Ada yang aneh dengan langitnya!?” 

Rupert menatap langit yang tiba-tiba berubah ketika Bola Langit mulai aktif, ekspresinya jelas menunjukkan kepanikan.

Meski tak seheboh dirinya, wajah yang lain pun menampakkan keterkejutan. Bukan karena Bola Langit itu diaktifkan. 

Melainkan karena waktu diaktifkannya. 

“Grau...” 

“Terlalu cepat,” jawabku singkat, sambil menatap ke arah arena. 

Belum lama sejak keributan terjadi. Pasti Gordon sedang mencoba menyerang Ayahanda, dan saat bersamaan, rencana Kanselir ikut dijalankan.

Namun bahkan Kanselir pun tak mungkin memperkirakan Bola Langit akan diaktifkan secepat ini. 

“Hei! Apa ini sebenarnya!?” 

“Itu Penghalang Bola Langit Raksasa: Firmament Kugel. Sihir pertahanan yang melindungi ibu kota. Hanya keluarga kekaisaran yang bisa mengaktifkannya. Begitu diaktifkan, tak ada yang bisa masuk dari luar, atau keluar dari dalam. Saat aktivasi maksimal, lima pilar cahaya berwarna akan menjulang dari istana hingga ke langit.” 

Mendengar penjelasanku, Rupert segera menengadah menatap ke arah istana. Dari sana terlihat tiga pilar cahaya, artinya, aktivasi dilakukan pada level minimum. 

“Hanya tiga pilar!” 

“Berarti musuh memegang tiga permata...” 

“Dan di ruang takhta ada dua lainnya. Yang menjaganya kemungkinan kapten kesatria pengawal. Menembus pertahanan itu hampir mustahil. Dua permata lain juga dijaga oleh para kapten kesatria pengawal, tapi aku tak menyangka mereka bisa ditembus secepat ini. Ini benar-benar situasi terburuk.” 

Yang paling buruk adalah jika Kapten Kesatria Pengawal sendiri berkhianat, tapi bila itu terjadi, Bola Langit pasti sudah diaktifkan dengan lima pilar penuh, dan seluruh istana telah jatuh ke tangan musuh.

Jadi kemungkinan besar, yang berkhianat adalah salah satu, atau bahkan dua, dari tiga kapten kesatria pengawal lainnya. 

“A-Apa maksudnya...? Ruang takhta yang kita tuju masih aman, kan!?” 

Rupert, belum sepenuhnya memahami keseriusan situasi, menatapku dengan cemas.

Bagaimana aku seharusnya menjelaskannya? Sebelum sempat aku menjawab, Alois menggenggam lembut tangan Rupert. 

“Yang Mulia, mohon dengarkan baik-baik.” 

“U-Um...”

“Untuk mengaktifkan Bola Langit, dibutuhkan lima permata khusus. Istana memiliki kelimanya. Bahkan Pangeran Arnold, yang paling mengenal seluk-beluk istana, tidak tahu di mana semua permata itu disimpan, itulah seberapa ketatnya penjagaan mereka. Musuh kita mengincar permata-permata itu. Karena itu, penjaganya dipilih dari kesatria pengawal terbaik. Selain kapten kesatria pengawal yang mungkin berada di ruang takhta, ada dua kapten pengawal lain di istana.” 

“Jadi, para kapten itu sudah dikalahkan!?” 

“Kami belum bisa memastikannya. Tapi jika seseorang mampu menumbangkan kesatria sekelas kapten pengawal tanpa memberi mereka waktu untuk menahan, hanya dua kemungkinan yang terpikirkan. Seorang Pahlawan, atau petualang peringkat SS.” 

Mendengar kata-kata Alois, air mata mengalir di pipi Rupert.

Dia pasti membayangkan bahwa musuh memiliki kekuatan luar biasa.

Dan memang, itu bisa saja terjadi, tapi bila musuh sekuat itu muncul, seharusnya kami sudah merasakannya. Karena itu, kemungkinannya bukan itu.

Dan Alois pun tahu persis apa yang dia maksudkan. 

“K-Kalau musuh sekuat itu, kita tak mungkin bisa menang...”

“Entah itu kabar baik atau buruk... Kalau memang benar musuh sekuat itu, kita pasti sudah mengetahuinya. Ada kemungkinan lain yang lebih masuk akal.” 

“Eh...?”

“Bukan karena kapten kesatria pengawal tidak sempat menahan musuh... Tapi karena kapten yang bertugas menjaga permata telah berkhianat. Itulah sebabnya mereka bisa bergerak secepat ini.” 

“K-Kapten pengawal... Berkhianat...?”

Mata Rupert membelalak tak percaya.

Wajar saja. Bagi seorang bangsawan kekaisaran, kesatria pengawal adalah perisai terakhir mereka.

Jika para pelindung itu berkhianat, maka tak ada lagi yang bisa dipercaya. 

“T-Tidak mungkin...! Ksatria pengawal adalah yang terkuat di Kekaisaran! Mereka bersumpah setia kepada Kaisar! Jumlah kapten pengawal hanya 13 orang, dan semuanya diangkat langsung oleh Ayahanda! Mereka... Mereka tak mungkin mengkhianati beliau!” 

“Yang Mulia...”

“Ayahanda tidak akan dikhianati... Paduka Kaisar tidak mungkin..!”

Bukan pengkhianatan itu sendiri yang mengguncangnya, melainkan kenyataan bahwa sang Kaisar, ayahnya sendiri, bisa dikhianati. Bagi Rupert, ayahnya adalah sosok yang nyaris tak tersentuh.

Tapi karena Ayahanda adalah sosok yang jauh, beliau dikagumi oleh Rupert. Bagi Rupert, Ayahanda adalah sosok yang sempurna dan mutlak. 

“Kapten kesatria pengawal pun manusia. Kaisar juga manusia. Manusia bisa berubah hati. Manusia bisa kehilangan pesona yang dulu dimilikinya. Semua orang tumbuh dan menua, dan hubungan di antara mereka pun ikut berubah. Itu hal yang wajar.” 

“...Kalau begitu... Apakah itu berarti mereka boleh mengkhianat? Boleh melanggar sumpah yang sudah mereka teguhkan!?” 

Untuk pertama kalinya, suara Rupert keluar tegas, penuh emosi.

Matanya berkaca-kaca, tapi sorotnya tajam, menolak menerima pengkhianatan semacam itu.

Dia benar-benar mewarisi darah Ardler. 

Aku mengulurkan tangan, menepuk lembut kepalanya. 

“Janji manusia biasa berbeda dengan sumpah seorang kesatria pengawal. Mereka bersumpah kepada Kaisar untuk melindungi rakyat, kekaisaran, dan keluarga kekaisaran. Karena itulah mereka dipercaya. Selama Kaisar tidak menjadi tiran, mengkhianati sumpah itu berarti mengkhianati bukan hanya Kaisar, tapi seluruh rakyat Kekaisaran. Dan itu takkan pernah aku maafkan. Aku tak bisa memaafkannya. Jika kamu merasakan hal yang sama, maka jangan kamu maafkan pula mereka.” 

“...Baik!” 

“Kalau begitu, kita berangkat. Dengan Bola Langit yang sudah diaktifkan, musuh pasti mulai mencari sandera di dalam istana. Aku tak suka membiarkan mereka bertindak sesukanya. Jangan biarkan dirimu tertangkap. Kamu suka bermain petak umpet, Pangeran Rupert?” 

“Uh... Tidak juga...”

Rupert menunduk malu. Dia bukan pangeran yang menonjol.

Nilai pelajarannya biasa saja, kemampuan fisiknya pun begitu. Dia pemalu, tak banyak teman, dan selalu bersama ibunya.

Bermain pun jarang, apalagi berlari atau bersembunyi. Anak yang sering bermain akan lebih cepat belajar cara melarikan diri.

Tapi tidak ada yang bisa dilakukan dengan kurangnya pengalaman. Terkadang ada orang yang tidak butuh pengalaman namun tetap bisa melakukannya, namun Rupert berbeda.

Justru karena itu, dia butuh orang yang bisa mendampinginya. 

“Kalau begitu, tenang saja. Ada alasan kenapa seorang ahli strategi diciptakan, untuk menutupi kelemahan dan melindungi yang tak bisa bertarung. Aku berjanji akan membawamu sampai ke ruang takhta. Bukannya mau sombong, tapi aku ini lumayan ahli dalam bidangku. Jadi percaya saja padaku.” 

“Merendah sekali. Kalau kamu hanya lumayan, maka semua ahli strategi di dunia ini pasti di bawah itu.” 

Alois tertawa kecil. 

Lalu dia menatap Rupert. 

“Saya tak bisa berbicara atas nama orang lain. Saya juga tak tahu bagaimana masa depan. Karena itu, saya tak bisa bersumpah setia seumur hidup. Tapi setidaknya sekarang, pada saat ini, saya tak akan pernah mengkhianati Anda. Siapa pun yang datang, saya akan melindungi Anda sampai akhir.” 

Kata-katanya yang mencerminkan dirinya sendiri.

Dia menolak untuk kabur bersama pangeran menunjukkan tekad kuatnya. 

Jika dia sudah di ambang batasnya, dia sudah menyiapkan diri untuk menjadi tameng terakhir untuk Rupert. 

Rupert mengangguk mengerti. 

“Iya, aku juga akan percaya pada kalian, Alois dan yang lainnya.” 

Begitulah, kami pun melangkah maju menuju ruang takhta.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close