Penerjemah: Chesky Aseka
Proffreader: Chesky Aseka
Chapter 1
Pertemuan Orang-Orang Penting
Bagian 1
“Apa tanggapan dari markas besar guild?”
“Mereka bilang, penyelidikan akan dilakukan secara bertahap.”
Aku mengklik lidahku kesal mendengar jawaban Sebas, lalu bersandar di kursi.
Beberapa hari lalu, aku sudah melaporkan insiden iblis itu kepada guild petualang. Aku bahkan sudah menegaskan pihak atasan di markas besar bahwa ini adalah keadaan darurat. Namun, balasan yang kuterima hanya seperti itu.
Meski begitu, sebenarnya aku sudah menduganya.
“Tanggapan yang setengah hati. Memang khas para pejabat yang tak pernah turun ke medan tempur.”
“Orang seperti itu juga dibutuhkan dalam menjalankan organisasi. Tapi kalau mereka tak mau mendengar suara dari lapangan, itu masalah besar.”
Seorang petualang peringkat SS adalah sosok yang memiliki posisi istimewa dalam guild. Bila petualang peringkat SS sudah menyebut sesuatu sebagai keadaan darurat, lalu pihak markas hanya menjawab penyelidikan akan dilakukan sewaktu-waktu, jelas ada yang tidak beres.
Iblis pernah sekali hampir memusnahkan seluruh umat manusia di benua ini. Kita tidak boleh membiarkan hal itu terulang lagi.
Itulah alasan keberadaan guild petualang—dan juga alasan mengapa petualang peringkat SS ada.
Sejak invasi iblis itu, memang sudah beberapa kali iblis berhasil dipanggil ke dunia ini, tetapi setiap kali itu terjadi, guild selalu bertindak cepat untuk menanganinya.
Namun kini sudah lima ratus tahun berlalu sejak invasi itu.
Rasa waspada yang memudar mungkin tak terelakkan. Tapi justru di saat seperti inilah, musuh biasanya mulai bergerak.
“Haruskah kita bertindak sendiri...”
“Biasanya begitu. Tapi sekarang, sebagai pangeran, ada hal-hal yang harus saya selesaikan lebih dulu. Tak bisa kutinggalkan.”
Hanya tinggal sekitar sepuluh hari lagi sebelum upacara. Seluruh kekaisaran sedang bersiap menyambutnya. Sayangnya, karena aku seorang pangeran, tugasku menumpuk. Dan bukan hanya soal upacara—ada masalah lain juga.
Aku melirik samar ke arah jendela, lalu teringat pada Leticia. Dia sedang menyembunyikan sesuatu. Aku harus mencari tahu apa itu. Karena alasan itulah aku tak bisa bergerak sembarangan sekarang.
“Kalau pun kuminta bantuan pada kakek Egor, dia bukan tipe orang yang cocok untuk melakukan penyelidikan. Sedangkan tiga orang lainnya, kurasa mereka tak akan mau menuruti permintaanku dengan mudah. Menyusahkan sekali.”
“Kalau para petualang peringkat SS mudah diperintah, markas besar tentu sudah langsung memberi perintah kepada mereka.”
“Benar-benar pembuat onar...”
“Jangan lupa, Yang Mulia termasuk salah satu dari mereka.”
“Aku berbeda dari mereka.”
Sambil berkata begitu, aku berdiri dari kursi. Hari ini, lagi-lagi ada panggilan dari Ayahanda.
Kalau saja aku bisa menyuruh Leo menggantikanku, tapi dia sedang bertugas menjamu Leticia.
Akhirnya, aku tak punya pilihan selain melakukannya sendiri. Semoga saja kali ini bukan urusan yang merepotkan.
Bagian 2
“Lolif datang ke kekaisaran!?”
“Yang datang itu elf.”
Kepalaku mulai terasa nyeri karena terlalu lelah menghadapi kebodohan ini. Orang yang sedang berdiri di depanku adalah si aneh nomor satu di keluarga kekaisaran—Pangeran Keempat, Traugott.
Begitu mendengar ceritaku, Kakak Trau langsung begitu bersemangat sampai-sampai mulai menggambar sosok elf muda di atas kertas.
“Lolif! Ah, lolif!! Kenapa harus lolif!?”
Mengganggu sekali karena gambarnya memang bagus. Tapi untuk menjelaskan kenapa percakapan aneh ini terjadi, kita harus mundur beberapa jam ke belakang.
* * *
“Seorang tokoh penting dari desa para elf?”
“Benar. Saat kami mengirim utusan ke kerajaan, mereka menyarankan agar kami juga mengirim utusan ke desa para elf. Kupikir tak akan berhasil, tapi ternyata mereka membalas dengan jawaban yang sangat positif.”
Di ruang takhta, Ayahanda menyampaikan hal itu padaku.
Desa para elf terletak di dalam hutan besar yang membentang di wilayah barat benua. Tempat itu dilindungi oleh penghalang sihir yang kuat dan pada dasarnya tidak menjalin hubungan dengan dunia luar.
Karena itu, wajar kalau mereka tidak terlalu berharap. Tapi sungguh tak kusangka mereka akan menjawab dengan begitu baik.
“Cukup mengejutkan juga.”
“Konon, cucu sang tetua tertarik dengan dunia manusia. Mungkin itu sebabnya,” jelas Franz yang berdiri di sisi Ayahanda. Namun, wajahnya tampak tidak begitu senang. Semakin banyak tamu penting, semakin banyak pula potensi masalah. Sepertinya itu yang dia khawatirkan.
“Kalau cucu tetua para elf yang datang, berarti yang akan datang adalah putri elf?”
“Kamu benar.”
Jika tetua desa tersembunyi itu adalah pemimpin para elf, maka kerabatnya tentu harus diperlakukan dengan kehormatan setara keluarga kerajaan.
“Dan kenapa harus aku?”
“Untuk menjamu tamu dari kaum elf, kita butuh anggota keluarga kerajaan yang tidak akan menimbulkan keributan. Dalam hal itu, kau sangat cocok, bukan?”
“Yah, memang aku bukan penggemar urusan merepotkan. Tapi jarang sekali tokoh penting dari desa para elf datang ke sini. Apa benar aku yang paling tepat?”
“Yang lain terlalu sulit diatur. Tak boleh sampai ada tindakan yang menyinggung mereka. Namun, ada satu masalah.”
“Sudah kuduga. Aku pun merasa ini akan jadi masalah. Aku sudah punya tamu penting yang harus kujamu.”
“Benar. Kami sudah mencoba membicarakannya dengan Putri Pertapa, tapi beliau tetap bersikeras ingin dijamu langsung oleh Pangeran Arnold...”
Franz berkata dengan wajah bermasalah. Tapi sebenarnya akulah yang paling kerepotan.
“Haa... Jadi bagaimana rencananya sekarang?”
“Mohon maaf, tapi... Mungkinkah Anda menangani keduanya sekaligus?”
“Apa kalian berniat membuatku mati karena stres?”
“Maafkan saya...”
Franz melirik Ayahanda dari sudut mata, dengan ekspresi yang seolah berkata, “Lihat kan?”
Ayahanda mengernyit kesal melihatnya. Menangani Orihime saja sudah cukup melelahkan, apalagi harus berurusan dengan putri elf di saat bersamaan.
“Kalau begitu, siapa yang cocok menggantikanmu?”
“Kalau tiga pangeran yang sedang bersaing untuk takhta dikesampingkan... Bagaimana kalau Kakak Trau saja?”
“Trau itu... Dia yang paling aneh di keluarga kekaisaran, bukan?”
“Kalau tamunya elf, mungkin tak apa. Lagipula, seleranya cukup sempit.”
Bagi Kakak Trau, keimutan adalah keadilan. Dia memiliki prinsip seperti itu. Kesukaannya terbatas pada gadis-gadis sekitar usia belasan pertengahan ke bawah, dan di atas itu dia tak tertarik sama sekali.
Yang paling memikat baginya adalah gadis-gadis muda di awal usia belasan, dia bahkan bisa berbicara berjam-jam menyebut mereka sebagai harta umat manusia. Karena itu, selama tak ada gadis seusia itu di dekatnya, biasanya aman.
“Kalau Kakak Trau mau bersikap serius, dia mampu mengurus hampir semua hal. Lagipula, dia juga putra dari Permaisuri. Dari segi status, cukup pantas untuk menyambut utusan elf.”
“Tapi... Menurutmu, apakah dia menilai seseorang dari usia?”
“Hmm, kemungkinan besar dari penampilan.”
Usia memang berpengaruh, tapi yang dia sukai adalah gadis-gadis mungil dan imut. Jadi, meski penampilan dan usia tak sejalan, dia takkan terlalu mempermasalahkannya. Dalam hal itu, pandangannya cukup luas.
“Kita tidak tahu pasti berapa usia cucu tetua itu. Kalau secara penampilan dia terlihat muda, Kakak Trau bisa jadi pilihan terburuk.”
“Ya... Aku tidak bisa menyangkalnya.”
“Namun, meminta Pangeran Arnold menangani dua tamu sekaligus juga tidak realistis.”
“Itu juga benar. Arnold, coba bicarakan dulu dengan Trau. Lihat bagaimana reaksinya. Kita putuskan setelah itu.”
“Baik, Ayahanda.”
* * *
Jadi, begitulah ceritanya hingga aku akhirnya menyampaikan hal ini pada Kak Trau.
“Ah! Ya Tuhan! Betapa beruntungnya diriku! Aku diberi kehormatan untuk menjamu loli elf!!”
Ini jelas kesalahan. Ternyata, Kakak Trau benar-benar memiliki ketertarikan berlebihan terhadap elf muda—lebih tepatnya, elf yang masih tampak seperti anak-anak.
Kalau yang datang adalah elf dewasa, mungkin tak akan ada masalah. Tapi kalau ternyata yang datang adalah elf muda, itu akan menjadi bencana besar. Dalam situasi itu, kami harus segera mengganti orang yang bertugas menjamu, dan Kakak Trau pasti akan menolak keras.
Ya, orang ini benar-benar bukan pilihan yang bisa dipertahankan.
“Kakak Trau, aku hanya bilang kemungkinan saja, bukan berarti sudah diputuskan, oke?”
“Kalau tiga pangeran yang terlibat dalam perebutan takhta dikesampingkan, aku yang paling pantas secara status! Duhuhu, ini sudah hampir pasti jadi milikku!”
“...”
Sial, terlalu tajam. Dia memang suka bercanda, tapi bukan berarti bodoh. Dia benar-benar memahami situasi dan sedang memperhitungkan peluangnya sendiri dengan sangat jeli.
“Yang memutuskan tetap Ayahanda. Bisa saja yang dijamu nanti adalah Putri Pertapa.”
“Itu juga tidak masalah! Bisa menatap telinga binatang mungil itu sepanjang waktu... Duhuhu.”
“...Tch.”
Ya, ini juga tidak bisa diandalkan. Kakak Trau benar-benar tak bisa dimanfaatkan.
Sambil menatap Kakak Trau yang masih dalam keadaan euforia, aku menghela napas panjang dan meninggalkan ruangan.
Benar-benar merepotkan. Kalau baik elf maupun Orihime tidak bisa diserahkan padanya, berarti aku sendiri yang akan kewalahan. Aku harus menemukan cara untuk menghindarinya. Dengan pikiran itu, aku melangkah menuju kamarku.
“Selamat datang kembali, Yang Mulia. Oh? Wajah Anda terlihat bermasalah, apakah ada yang mengganggu pikiran Anda?”
Di dalam ruangan sudah ada Fine, Sebas, dan Sieg.
Melihat tubuh Sieg yang lemas begitu saja, sepertinya dia baru saja dijadikan mainan oleh Christa dan Rita.
“Ya, ini masalah besar.”
“Masalah seperti apa?”
Aku menerima secangkir teh yang disajikan Fine sambil mengucapkan terima kasih, lalu menjelaskan dengan singkat.
“Putri elf juga akan menghadiri upacara nanti. Kalau tidak kutemukan orang yang tepat, aku bisa dipaksa menjamu dua tamu penting sekaligus—Orihime dan sang putri elf.”
“E-Erof!?”
“Elf...”
Kenapa di sekitarku banyak sekali orang dengan gangguan pendengaran?
Padahal tadi dia sudah tidak bertenaga, tapi Sieg tiba-tiba jadi bersemangat dan ikut nimbrung dengan semangat yang berlebihan.
“Jadi yang datang itu erof seksi dengan tubuh menggoda, ya!?”
“Elf, aku bilang elf! Dari mana kamu tahu bentuk tubuhnya!? Usianya saja belum jelas!”
“Tapi semua elf itu cantik, kan? Aku penasaran seperti apa sih kecantikan erotis elf itu nanti.”
Melihat Sieg yang mulai tertawa mesum dengan bayangannya sendiri, aku hanya bisa menutupi wajah dengan tangan.
Kenapa di sekitarku orang-orangnya begini semua?
“Kalau benar yang datang adalah elf yang sangat cantik, maka mau tak mau, Sieg, Anda harus kami kirim keluar istana dulu...”
“Fine!? Itu sama saja pengusiran! Aku menolak! Aku tidak akan pergi dari sini!!”
Sieg memeluk erat kursinya seolah hidupnya bergantung pada benda itu.
Lalu, terdengar suara ketukan di pintu.
“Halo, Kak. Sebenarnya aku mau bicara sedikit...”
“Elf.”
“Eh? Oh, iya, memang itu yang mau kubicarakan...”
Begitu aku langsung berkata “elf” lebih dulu, Leo tampak kebingungan.
Syukurlah, adikku ini masih normal.
“Maaf, aku meremehkanmu.”
“Eh... Aku nggak ngerti, tapi ya sudahlah. Jadi, ini tentang utusan dari desa elf, kan? Dan kamu sedang mencari orang untuk menjamu mereka.”
“Benar. Kalau tidak segera kutemukan orang yang cocok, aku sendiri yang akan repot.”
“Ya, aku pikir, bagaimana kalau Christa saja?”
“Christa? Yah, sebenarnya tidak masalah, tapi Ayahanda tidak berniat melibatkan Christa maupun adik bungsu.”
Bagi Ayahanda, siapa pun anggota keluarga di bawah usia 15 tahun masih dianggap anak-anak.
Menyerahkan tugas menjamu tamu penting pada seorang anak bisa dianggap penghinaan. Kalau terjadi kesalahan, akibatnya fatal.
“Tapi bagaimana kalau bersama Fine? Fine memiliki gelar Putri Camar Biru dan merupakan salah satu favorit sang Kaisar. Semua orang tahu itu. Jadi, kalau Christa didampingi Fine, seharusnya tidak masalah. Dari segi kehormatan, sudah sepadan.”
“Leo... Kamu jenius.”
Itu benar-benar titik buta yang tak terpikirkan sebelumnya.
Aku hanya memikirkan dalam lingkup keluarga kekaisaran, padahal yang penting hanyalah bagaimana tamu itu tidak merasa diremehkan.
Christa dan Fine sebagai pendampingnya. Utusan elf pun pasti tidak akan keberatan jika yang menyambut mereka adalah dua orang gadis kesayangan Kaisar. Dan yang paling penting, mereka berdua perempuan. Sempurna.
“Baik, kita lakukan seperti itu.”
“Tidak mauuu! Aku mau dekat dengan si elf seksi itu!!”
“Kalau kamu terus berteriak, akan kucampakkan kamu keluar dari istana.”
“Jangan perlakukan aku seperti hewan peliharaan!”
Aku mencengkeram Sieg yang sedang memeluk kakiku dan melemparkannya ke sofa.
Akhirnya, usulan Leo diterima. Tugas menjamu utusan elf resmi diberikan pada Christa dan Fine. Setelah pengumuman itu disampaikan, Kakak Trau menangis sambil menghantam lantai dengan kepalan tangan.
Yah, apa boleh buat. Cinta yang berlebihan memang berbahaya. Setidaknya satu masalah sudah terselesaikan.
Bagian 3
Dalam perjalanan kembali ke kamar setelah menyelesaikan berbagai urusan, aku tanpa sengaja berpapasan dengan Leticia di lorong.
“Tuan Arnold. Kamu tampak lelah.”
“Wah, Leticia. Bagaimana bisa kamu tahu aku lelah?”
“Tertulis jelas di wajahmu.”
Leticia terkekeh kecil sambil melirik ke arah kesatria wanita yang menjadi pengawalnya, seolah meminta persetujuan. Keduanya tampak cukup akrab. Sang kesatria pun tersenyum tipis dan mengangguk pelan.
Kalau dia adalah pengawal pribadi Leticia, berarti dia pasti anggota Kesatria Griffon—pasukan elit dari kerajaan. Hanya para ahli sejati yang bisa mendekati mereka tanpa diketahui. Dengan kata lain, keselamatan Leticia terjamin sepenuhnya.
Namun, rasa gelisah di dadaku tak juga mereda. Intuisiku terus berbisik bahwa Leticia menyembunyikan sesuatu—sesuatu yang kelak akan membawa pengaruh besar.
Sebas sedang menyelidikinya, tapi sejauh ini belum ada hasil apa pun. Yang ada hanya firasat buruk, dan firasat burukku jarang meleset.
“Begitulah kalau jadi seorang pangeran. Semakin dekat hari upacara, semakin banyak pekerjaan. Para tamu penting pun mulai berdatangan.”
“Ah, apa kedatanganku terlalu cepat dan mengganggu?”
Biasanya, para tamu penting tidak tiba seawal ini. Kasus seperti Leticia adalah pengecualian. Seorang Santa dari kerajaan yang tinggal lama di kekaisaran—itu sendiri sudah menjadi simbol hubungan baik antara kedua negara. Karena nilai diplomatiknya besar, hal itu diizinkan. Dengan kata lain, Leticia adalah tokoh yang sangat berpengaruh.
“Yang membuatku kesal, Leo jadi sulit diandalkan. Aku tak bisa lagi melemparkan tugas-tugasku padanya.”
“Kalau begitu, izinkan aku meminjamnya sedikit lebih lama. Selama Tuan Leonard masih menjadi pendampingku, artinya Tuan Arnold juga harus tetap bekerja, bukan?”
Leticia mengucapkannya sambil tersenyum lembut. Tak ada niat jahat dalam senyum itu. Dia tidak datang ke kekaisaran untuk melakukan sesuatu yang berbahaya. Hanya saja, ada bayangan samar yang bersembunyi di sekitarnya.
Aku harus menyelidikinya. Jika Leticia enggan bicara, pasti ada alasannya.
Memang akan lebih mudah kalau dia mau terbuka, tapi aku tahu Leticia bukan tipe wanita yang mudah goyah. Sekali dia memutuskan untuk menyembunyikan sesuatu, dia akan tetap berpegang pada keputusannya.
“Leo itu adik yang sangat berharga bagiku. Jadi, kumohon, jagalah dia baik-baik.”
Aku mengatakannya sambil sedikit bergurau, lalu berjalan melewati Leticia. Namun, saat berpapasan, aku menundukkan kepala sedikit dan berbisik dengan suara yang hanya bisa didengarnya.
“Santa Leticia. Aku tidak tahu apa yang sedang kamu sembunyikan, tapi kumohon, jangan buat Leo bersedih.”
“Tuan Arnold...”
Mata Leticia bergetar halus sejenak. Melihat itu, aku semakin yakin—dia memang menyembunyikan sesuatu. Aku menundukkan kepala lalu meninggalkan tempat itu.
Bagian 4
Keesokan harinya. Aku kembali dipanggil oleh Ayahanda. Namun kali ini, Leo dan Eric juga turut dipanggil.
“Paduka Kaisar, untuk urusan apa kami dipanggil kali ini?”
Eric yang bertanya mewakili kami bertiga. Pemanggilan bersama seperti ini termasuk jarang terjadi.
Menanggapi itu, Ayahanda menjawab dengan wajah yang terlihat berat.
“...Telah muncul sedikit persoalan yang rumit.”
“Masalah lagi, Ayahanda...? Tolong hentikan kebiasaan menyerahkan semua urusan sulit itu padaku setiap kali muncul masalah baru.”
“Seorang tamu penting dari Negara Bagian Cornix akan datang ke kekaisaran.”
Begitu nama itu keluar dari mulut Franz, pikiranku langsung seakan berhenti. Itu nama negara yang seharusnya mustahil disebut.
Aku, Leo, dan Eric sama-sama terdiam, menatap Ayahanda dengan wajah menegang.
Ayahanda menerima tatapan itu dengan mata yang menyipit tenang.
“Apakah Anda masih waras?”
Suara Eric terdengar bergetar, penuh emosi—sesuatu yang jarang sekali terjadi padanya.
Yang terkandung di dalamnya adalah amarah. Dan Leo pun tak kalah dalam hal itu.
“Cornix... Itu negara yang membunuh Kakanda Wilhelm tiga tahun lalu, bukan begitu!?”
“Benar sekali! Kalau yang datang itu negara induknya, Persatuan Kerajaan Egret, mungkin masih bisa dimaklumi! Tapi negara itu—negara yang tak pernah meminta maaf, yang hanya menuding perbuatan itu sebagai ulah sebagian bawahannya dan menyelesaikannya dengan memenggal beberapa orang!?—Anda sungguh berniat menyambut mereka!? Ayahanda!! Mereka yang merenggut nyawa Wilhelm!!”
Amarah menggema di ruang takhta. Begitu dalam luka akibat kematian kakak tertua kami, dan begitu berat kebencian terhadap negeri yang terlibat di dalamnya.
Negara Bagian Cornix terletak di utara Kekaisaran. Dulu negara merdeka, hingga kalah perang melawan Persatuan Kerajaan Egret, negara kepulauan yang kini menjadi negara induknya. Meskipun berstatus semiindependen, mereka tetap beroperasi dengan tingkat kemandirian yang tinggi.
Dalam pertempuran di perbatasan dengan negeri itu, kakak tertua kami, Putra Mahkota Wilhelm, kehilangan nyawanya. Cornix menyebutnya sebagai aksi liar para bangsawan bawahan, dan hanya menyerahkan beberapa kepala sebagai bentuk tanggung jawab.
Tentu saja Kekaisaran murka. Banyak yang menuntut agar negara itu dimusnahkan. Namun, kehilangan putra mahkota yang begitu menjanjikan membuat Ayahanda tenggelam dalam duka hingga kehilangan semangat untuk membalas.
Selain itu, Ayahanda meyakini bahwa kematian Wilhelm bukan sepenuhnya ulah Cornix, melainkan ada dalang lain di luar mereka. Dia menghabiskan waktu lama untuk menyelidikinya, dan pada akhirnya, kesempatan untuk membalas pun hilang.
Maka dari itu, sampai hari ini, masalah itu belum pernah benar-benar terselesaikan. Bagi banyak orang, Cornix tetaplah pembunuh sang putra mahkota.
Bahkan Leo, yang biasanya paling tenang di antara kami, masih menahan amarahnya atas cara negara itu mencuci tangan dan menutup kasus itu begitu saja. Kini, amarah lama itu tampak kembali menyala di matanya.
“Semua itu sudah menjadi masa lalu. Kita harus menatap ke depan. Mereka datang dengan niat untuk menjalin persahabatan. Menolaknya mentah-mentah akan menjadi tindakan yang tidak sopan.”
“Tetapi, Ayahanda!”
Leo masih belum bisa menerima. Namun begitu bertemu pandang dengan Ayahanda, dia terdiam.
Pandangan Ayahanda jelas berkata bahwa beliau pun belum sepenuhnya bisa menerima keadaan ini.
“Jadi, maksud Ayahanda ingin aku yang menjadi tuan rumah penyambutan mereka?”
“Bisakah kamu melakukannya? Dari Persatuan Kerajaan juga akan datang perwakilan, dan aku berencana menyerahkan urusan itu pada Gordon.”
“...Boleh aku memikirkannya terlebih dahulu?”
“Baiklah. Jika kamu merasa tak sanggup, kamu boleh menolak.”
Setelah mengatakan itu, Ayahanda membubarkan kami. Aku dan Leo berjalan keluar dari ruang takhta, menyusuri lorong istana dalam diam.
“...Kamu sebaiknya menolak.”
“Menurut kakak begitu?”
Aku tersenyum tipis pada Leo yang akhirnya membuka mulut. Wajahnya masih muram, jarang sekali kulihat dia seserius ini.
“Kamu tidak ingin melakukannya, bukan?”
“Bukan begitu. Aku hanya ingin tahu apa orang lain akan bisa menerima kalau aku yang melakukannya.”
“Orang lain...?”
“Yang paling mendidih darahnya bukan kita. Yang paling marah pasti Kakak Trau. Kalau dia bisa menerima, aku akan melakukannya.”
Kakak Trau, pada hari kematian Wilhelm, untuk pertama kalinya menunjukkan amarah yang begitu besar.
Bahkan dia sempat berteriak akan memimpin pasukan sendiri dan menyerbu negeri itu.
Karena itu, tak mungkin kami memutuskan tanpa mendengar pendapatnya.
“Aku sendiri tak apa-apa. Bukan berarti aku tidak marah. Tapi Ayahanda pun sudah menelan amarahnya. Kalau Kakak Trau juga bisa menahannya, maka aku pun akan melakukannya. Jadi, kamu tidak perlu mengkhawatirkan ini lagi.”
“Tapi...”
“Fokuslah pada urusanmu sendiri, Leo. Urusan ini biar aku yang tangani.”
Dengan kata itu, aku berhasil membuat Leo mengalah dan menutup pembicaraan hari itu.
Bagian 5
“Jadi, begitulah ceritanya.”
Aku menjelaskan semuanya pada Kakak Trau setelah datang menemuinya.
Kupikir dia akan meledak marah dan langsung menerobos ruang takhta untuk memprotes Ayahanda, tapi ternyata tidak. Kakak Trau tetap tenang seperti biasa. Meski topiknya tentang Cornix, dia tidak menatapku sama sekali, terus menulis sesuatu di mejanya seperti tidak terganggu.
“Hmm, susah juga menemukan kalimat yang benar-benar indah, ya.”
“Kakak Trau... Kamu dengar ceritaku tadi, kan?”
“Tentu saja. Aku dengar, kok. Hanya saja aku tidak tahu kenapa kamu repot-repot menanyakannya padaku.”
“...Kamu tidak marah?”
Aku balik bertanya karena sikapnya terasa terlalu tenang. Aku tak bisa melihat sedikit pun amarah di matanya.
Kakak Trau hanya mengangguk ringan.
“Masa untuk marah-marah sudah lewat. Begitulah.”
“Jadi, kamu tidak terpaku pada masa lalu?”
“Terpaku, tentu saja.”
Yang mana, sebenarnya? Seperti biasa, aku tidak bisa memahami jalan pikirannya. Kakak Trau tetaplah orang yang sulit ditebak.
Namun, saat aku berpikir demikian, dia menatapku lurus-lurus.
“Arnold. Apa kamu sungguh percaya bahwa Negara Bagian itu yang membunuh Kakak Wilhelm?”
“...Aku pikir mereka memang salah satu penyebabnya.”
“Aku setuju. Tapi kemungkinan besar mereka hanya dimanfaatkan. Di sisi Kakak Wilhelm saat kunjungan inspeksi ke utara, hanya ada sedikit pengawal. Lalu, di saat perlindungan paling lemah, terjadilah bentrokan—dan Kakak Wilhelm tewas ditembak panah nyasar... Apa kamu benar-benar percaya bahwa Wilhelm, kakak kita yang tangguh itu, bisa terbunuh hanya oleh panah nyasar? Itu mustahil, kecuali dia sedang sangat lemah... Atau diracuni.”
Dia memang suka bertingkah aneh, tapi bukan berarti bodoh. Justru hari ini, aku sadar betapa tajam pikirannya. Mata Kakak Trau berkilat tajam, penuh keyakinan dan kedalaman.
Dia memang benar-benar adik dari Putra Mahkota Wilhelm. Anak yang tumbuh dengan memandangi punggung kakak sebesar itu tentu memiliki pandangan yang luas pula.
“Jadi kamu yakin itu pembunuhan? Tapi setahu kita, penyelidikan waktu itu tidak menemukan bukti apa pun.”
“Orang yang mampu membunuh putra mahkota takkan membuat kesalahan yang mudah ditemukan. Kalau dia bisa menyingkirkan Wilhelm, berarti dia juga sudah mempelajari cara kerja penyelidikan kita.”
“...Jadi kamu mau bilang, pelakunya adalah seseorang yang mengenal Wilhelm dan Kekaisaran dengan baik?”
“Pasti ada keterlibatan seperti itu. Tapi mencari tahu siapa, itu bukan tugasku.”
Kakak Trau beralih menatap keluar jendela. Dari sana terlihat hiruk pikuk kota di bawah istana.
“Anggota keluarga kekaisaran ada untuk menopang dan memajukan Kekaisaran. Itulah cara hidup Kakak Wilhelm. Jadi kalau kematiannya pada akhirnya membawa kemakmuran bagi Kekaisaran, maka kematiannya tidaklah sia-sia.”
“...Dan kamu benar-benar bisa menerima itu?”
“Sebagai adik, tentu kehilangan kakak seperti dia menyakitkan. Aku yakin sepenuhnya dia akan menjadi Kaisar yang baik. Tapi yang paling menderita adalah Ayahanda, yang kehilangan putranya. Jika Ayahanda, demi Kekaisaran, memilih untuk mengundang Negara Bagian, maka menerimanya juga merupakan bentuk bakti seorang anak.”
“...Baiklah. Kalau begitu, untuk urusan penyambutan...”
Aku hendak berkata serahkan padaku, tapi sebelum sempat, dia mengangkat tangannya menghentikanku.
Lalu, “Aku yang akan menanganinya. Itu yang paling tepat.”
“Serius!?”
“Aku serius, benar-benar serius. Jika mereka datang dengan niat menjalin persahabatan, menolaknya mentah-mentah akan menjadi penghinaan. Untuk melampaui masa lalu, kita harus memberi sambutan terbaik. Dan yang paling pantas menunjukkan itikad baik adalah aku, adik kandung dari Putra Mahkota yang mereka bunuh. Selain itu, tak baik kalau aku menyerahkan beban ini pada adikku, kan?”
“Entah kenapa rasanya tetap seperti aku yang sedang dititipi masalah... Dan kukira mereka justru akan merasa canggung dengan kehadiranmu.”
“Aku sudah memperhitungkannya. Tapi kalau mereka sungguh ingin memperbaiki hubungan, maka mereka juga harus mampu melampaui itu.”
Kakak Trau berdiri dari kursinya. Tubuh besarnya—yang sejak kecil kuanggap mirip beruang—masih memberi kesan yang sama sampai sekarang.
Beruang itu menatap lurus ke depan, matanya menyala dengan tekad yang tak tergoyahkan.
“Kalau ternyata niat memperbaiki hubungan itu hanya omong kosong... Maka akulah yang akan membuat mereka membayar harganya.”
“Kakak Trau...”
“Tapi... Kalau yang datang itu gadis kecil yang lucu, mungkin tekadku akan sedikit goyah...”
“Dan di situ pun kamu tidak berubah, ya...”
Aku menghela napas lelah, menatapnya yang malah pusing memikirkan hal tak penting. Lalu membuka pintu kamar untuk pergi melapor pada Ayahanda.
Kalau dia sendiri yang bersedia, Ayahanda pasti akan menyetujuinya. Lagi pula, selama bukan gadis imut, tak ada kelemahan berarti pada dirinya.
“Arnold.”
Saat kami berjalan di lorong, Kakak Trau tiba-tiba memanggilku dengan suara serius.
Aku menoleh, dan melihat wajahnya yang jarang sekali begitu tegang.
“Ada apa?”
“Peringatkan Leonard untuk waspada. Aku tak yakin upacara kali ini akan berakhir dengan damai.”
“Bagaimana maksudmu?”
“Kebanyakan tamu yang datang adalah tokoh pro-Kekaisaran. Kalau negara lain ingin berbuat sesuatu, inilah kesempatan terbaik mereka.”
“Jadi kamu menduga akan ada serangan? Menargetkan Kekaisaran?”
“Bukan hal yang mustahil. Mungkin itu sebabnya Nona Lizelotte menolak permintaan Ayahanda dan tetap berjaga di perbatasan. Jika dia, yang berada di garis depan, memilih bertahan, pasti dia merasakan ada sesuatu.”
“...Akan kusampaikan pada Leo.”
“...Meski begitu, terlalu fokus pada ancaman dari luar pun berbahaya. Yah, ini di luar kendaliku juga.”
Dia bergumam samar, lalu mempercepat langkahnya.
Aku menyesuaikan langkah, dan memutuskan bertanya sesuatu yang sudah lama ingin kutanyakan.
“Kakak Trau... Kenapa kamu tak pernah berniat merebut takhta?”
“...Kakakku Wilhelm adalah putra mahkota yang sempurna. Karena itu aku menjalani hidup sesuka hatiku. Tapi... Aku tetap menyesal. Aku tak bisa menolongnya saat itu. Penyesalan itu akan kubawa sampai mati. Pernah terlintas di benakku untuk menggantikannya... Tapi hanya sesaat.”
“Hanya sesaat, ya...”
“Ya. Karena aku sadar segera, aku tak akan pernah bisa menjadi kaisar yang lebih baik darinya. Sejak Wilhelm wafat dan perebutan takhta dimulai, kaisar berikutnya haruslah seseorang yang melampauinya. Aku tak bisa mengemban tugas itu.”
Dia berhenti melangkah ketika kami tiba di dekat ruang takhta.
Lalu menarik napas panjang dan menatap—bukan padaku, tapi pada seseorang di belakangku.
“Arnold, Leonard, aku menaruh harapan pada kalian berdua. Bersama-sama, kalian pasti bisa menjadi kaisar yang melampaui Wilhelm. Kalian berbeda dari tiga orang lainnya.”
“...Haruskah aku menafsirkannya sebagai pernyataan bahwa kamu berpihak pada Leonard, Traugott?”
Aku menoleh. Di belakang kami berdiri Eric. Tatapan mereka berdua saling bertemu, tajam namun tenang.
“Terserah bagaimana kamu menafsirkannya, Eric.”
“Jadi, menurutmu aku tidak mampu melampaui Wilhelm?”
“Dulu mungkin berbeda. Tapi sekarang, ya, aku pikir tidak bisa. Jika itu kamu yang dulu—yang sering bersaing sekaligus saling mengasah diri dengan Wilhelm—kamu pasti akan berusaha mencegah perebutan takhta ini memburuk. Tapi kamu pun sudah berubah, seperti yang lain.”
“Kalau aku bergerak sekarang, perebutan takhta hanya akan semakin kacau. Itu akan melemahkan Kekaisaran. Apa kamu tak mengerti?”
“Itulah maksudku. Kamu sudah berubah. Seorang yang sungguh berniat melampaui Wilhelm seharusnya mampu menjaga kekuatan Kekaisaran sekaligus menghindari pertumpahan darah di antara keluarga sendiri. Kamu punya kekuatan untuk melakukannya.”
“Itu omong kosong. Pendekatanku justru yang paling realistis untuk meminimalkan korban.”
“Aku tidak bilang untuk berpegang buta pada idealisme. Maksudku, siapa pun yang berhenti mengejar cita-cita, mereka tak pantas diakui. Tanpa keinginan untuk berkembang, tidak akan ada hari esok.”
Begitu Kakak Trau mengatakan itu, dia berbalik dengan cepat. Pada saat yang sama, Eric pun berbalik arah.
Sambil memperlihatkan punggungnya yang besar, Kakak Trau masih sempat menoleh sedikit dan berkata padaku.
“Arnold... Kamu takkan bisa mengalahkan Eric sendirian. Karena itu, bekerjalah sama dengan Leonard. Jangan sampai kamu menumpahkan semua beban pada saudaramu yang berbakat, seperti yang dulu kulakukan.”
“...Baik. Akan kuingat itu.”
“Kalau begitu, aku pergi dulu.”
“Eh? Tunggu!”
Belum sempat aku menghentikannya, Kakak Trau sudah berlari kencang. Aku ingin memanggilnya lagi, tapi terlambat—dia sudah menubruk pintu ruang takhta dan membukanya dengan keras.
“Ayahanda! Mengenai urusan penyambutan Negara Bagian! Traugott yang akan...!”
“Berisik!! Jangan berani masuk saat rapat sedang berlangsung!!”
“Hiiiiii!?!? Mohon ampun, Ayahanda!!”
Seperti yang sudah kuduga. Sambil menahan kepala dan setengah menangis, aku bergegas menuju ke arah Kakak Trau yang kabur keluar dari ruang takhta dengan panik.
Bagian 6
“Baiklah. Untuk urusan penyambutan para tamu kehormatan dari Kadipaten Albatros, akan kupercayakan kepada Pangeran Keenam, Conrad. Sedangkan penyambutan tamu dari Kadipaten Rondine, akan menjadi tanggung jawab Pangeran Kesembilan, Henrik. Pangeran Ketujuh, Arnold, akan tetap bertugas sebagai pendamping Putri Pertapa dari Negeri Mizuho. Paham?”
Itulah yang disampaikan Ayahanda di ruang takhta.
Kami bertiga—aku, Conrad, dan Henrik—menundukkan kepala dengan tenang. Keputusan Ayahanda bersifat mutlak. Tak ada ruang untuk perdebatan. Lagipula, para pangeran yang dikumpulkan di sini hanyalah pemain sampingan dalam perebutan takhta. Maka, negara yang diberikan kepada kami pun tak lebih dari negara kecil—sesuai dengan posisi kami sebagai figuran.
Hanya saja, dalam kasusku, Mizuho memilihku karena permintaan langsung dari Orihime sendiri.
“Beberapa negara memang menolak undangan kita, tetapi sebagian besar negara penting akan hadir. Setiap tamu yang datang adalah bangsa yang berpengaruh. Kuperingatkan kalian, jangan pernah menilai seseorang berdasarkan ukuran negaranya. Jika kalian bertingkah sombong, jangan salahkan aku bila gelar pangeran kalian dicabut.”
Ayahanda menyipitkan mata dan memberi peringatan keras pada kami.
Menanggapi itu, Pangeran Kesembilan, Henrik, maju selangkah dan menjawab dengan penuh semangat.
“Serahkan pada saya, Paduka Kaisar! Saya berjanji akan berperilaku layak sebagai keluarga kekaisaran!”
“Yang paling aku khawatirkan justru kamu...” gumam Ayahanda dengan nada lelah.
Henrik adalah pangeran berusia 16 tahun, dengan rambut hijau sebahu yang selalu tampak acak-acakan. Ibunya adalah Selir Kelima, Zuzan, dan kakak perempuannya adalah Putri Kedua, Zandra.
Karena hubungan mereka agak renggang, Henrik hanya mendapat hukuman ringan saat Zandra jatuh dari kekuasaan.
Kepribadiannya—entah diturunkan dari ibu atau kakaknya—penuh dengan rasa bangga sebagai bangsawan dan keras terhadap orang lain. Tak heran Ayahanda merasa dia bisa bertindak arogan di depan para tamu.
Kemungkinan besar, dia bahkan tak memahami makna sebenarnya dari tugas penyambutan. Mungkin dia berpikir itu sekadar menyambut tamu kehormatan.
Sekarang pun, saat dikatakan menjadi sumber kekhawatiran, ekspresinya mengeras. Dia jelas merasa diremehkan. Reaksi seperti itu saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa Ayahanda benar.
“Dengan segala hormat, Paduka Kaisar. Bukankah yang seharusnya Anda khawatirkan adalah Arnold?”
Henrik segera mengalihkan bidikan bicaranya padaku.
Aku hanya bisa mengembuskan napas panjang. Sejak dulu, dia selalu menganggapku musuh bebuyutan, dan pada Leo, dia menaruh rasa saing yang menyala-nyala. Mungkin darah rakyat biasa dalam diri kami membuatnya tak bisa menerima kenyataan bahwa kami memiliki kedudukan yang lebih tinggi darinya. Karena itu, dia tak pernah menganggap kami sebagai kakak.
Sungguh merepotkan.
“Ya, ya. Aku akan hati-hati.”
Aku menanggapinya dengan santai, dan Henrik langsung menatapku dengan mata tajam.
Entah kutanggapi serius atau tidak, reaksinya akan tetap sama, jadi percuma saja.
“Ah, anak muda zaman sekarang penuh tenaga, ya. Orang tua ini tak sanggup mengimbangi,” seloroh seseorang dari samping.
“Apa yang kamu katakan, kamu masih 20 tahun...”
“21 tahun, Ayahanda. Dibandingkan para remaja ini, saya sudah termasuk tua,” jawabnya ringan.
Yang bicara adalah Pangeran Keenam, Conrad.
Ciri khasnya adalah rambut merah pendek dan senyum santai yang seolah menempel permanen di wajahnya. Ibunya adalah Selir Keempat, dan kakaknya sendiri adalah Gordon. Namun entah kenapa, Conrad tumbuh menjadi kebalikan total—berkepribadian malas sama seperti diriku.
Senyum tipis diiringi nada bicara yang santai. Mungkin saja mutasi genetik, atau mungkin darah Ayahanda mengalir kuat pada dirinya.
Perbedaannya, dia masih cukup cerdas untuk melakukan hal-hal minimum agar tidak dimarahi.
“Kalau begitu, bolehkah saya mundur dulu? Dikelilingi anak muda membuat saya lelah.”
“Haa... Kamu dan Arnold ini, kenapa kalian berdua selalu bersikap seenaknya begitu?”
“Itu karena kami menuruni sifat Ayahanda,” jawab Conrad enteng sambil berbalik.
Tanpa menunggu izin, dia pun berjalan keluar, hanya menoleh sedikit untuk berkata, “Jangan khawatir. Saya akan menjalankan tugas penyambutan dengan baik.”
“Itu justru bagian yang paling tidak kukhawatirkan... Huh. Kalian berdua juga boleh pergi.”
Ayahanda mengibaskan tangannya, memberi isyarat agar aku dan Henrik keluar.
Begitu meninggalkan ruang takhta, aku langsung berbalik hendak menuju kamarku, namun Henrik memanggil dari belakang.
“Tunggu, Arnold!”
“Ada apa, Henrik?”
“Jangan seenaknya memanggilku begitu! Ketahuilah kedudukanmu, pangeran tak berguna!”
Henrik meledak dalam amarah.
Lucu juga, dia menyuruhku untuk tahu kedudukan, padahal di ruangan itu, akulah yang lebih tua dan seharusnya dihormati.
“Jangan pernah kira kita ini setara, oke? Di belakangku, ada kekuatan Kakak Zandra yang kini beralih padaku! Aku akan ikut serta dalam perebutan takhta mulai sekarang!”
“Oh begitu. Ya sudah, semoga sukses.”
Aku menanggapinya sama santainya seperti tadi, lalu berjalan pergi.
Memang benar, sisa pengaruh Zandra kini berada di bawah Henrik. Namun kekuatan itu hanya sekitar 60% dari masa jayanya. Separuh dari sisanya berpihak pada Eric, dan separuh lagi memilih mundur dari perebutan kekuasaan.
Silakan saja bersikap angkuh, tapi kalau disebut sebagai kekuatan keempat pun itu sudah berlebihan.
Dengan sumber daya sekecil itu, mengejar takhta adalah mimpi kosong. Apalagi kalau kekuatan itu hanya kekuatan pinjaman.
“Tunggu! Kamu pasti menertawakanku! Menertawakan bahwa aku ingin menjadi kaisar sekarang, bukan!?”
“...Kuharap kamu berhenti sebelum terlambat. Ini bukan jalan yang baik untukmu.”
Begitu aku menasihatinya dengan jujur, Henrik malah meledak dalam tawa keras yang menggema di koridor.
Tawa besar itu tidak kunjung reda. Aku tak tahu apa yang membuatnya begitu lucu. Karena itu, aku hanya diam dan menunggu Henrik membuka mulutnya.
“Ahahahaha! Sungguh lucu! Kamu kira, karena aku ikut serta dalam perebutan takhta, berarti aku mengincar posisi kaisar?”
“Bukan begitu?”
“Hmph, aku tak sebodoh itu. Aku tahu kekuatan ini tak cukup untuk menang. Tapi aku punya cara yang lebih cerdas. Aku akan menawarkan bantuan pada setiap faksi—dan setelah perebutan takhta usai, aku akan memastikan kedudukan yang kokoh untuk diriku sendiri!”
“...Kamu yakin semuanya akan berjalan semulus itu?”
“Tentu saja. Aku sudah punya sekutu.”
Henrik menatap ke belakangku.
Aku pun menoleh mengikuti pandangannya, dan di sana berdiri Geed.
“Halo, Arnold.”
“...Keluarga Adipati Holzwart, rupanya.”
“Benar! Aku telah mendapat dukungan dari Keluarga Holzwart! Dengan ini, kalian berdua tak punya peluang menang, walau hanya satu banding sejuta! Aku tak akan pernah bekerja sama dengan kalian!”
“Sayang sekali, Arnold. Kalau saja waktu itu kamu menerima tawaranku, ini semua takkan terjadi!”
Mereka benar-benar mirip. Mungkin karena itu, frekuensi mereka tampak selaras.
Keduanya tertawa keras dalam waktu bersamaan, tawa sombong penuh kepuasan diri. Aku tak akan bilang rasa bangga itu hal buruk. Manusia, bagaimanapun, hidup dengan sedikit kesombongan di dalam dirinya. Tapi pada mereka berdua, kadar itu sudah jauh melampaui batas wajar.
“Kalau begitu, kita lihat saja nanti. Kuharap kamu bisa mengatur perebutan takhta ini sesuai dengan yang kamu rencanakan.”
Aku meninggalkan kata-kata itu dan melangkah melewati Geed.
Namun dia menahan lenganku.
“Ada apa lagi?”
“Ini rasa kasihanku, Arnold. Tunjukkan sedikit kerendahan hatimu. Tunduklah di sini dan minta maaf dengan hina dan menyedihkan. Kalau kamu melakukan itu, mungkin aku akan membujuk Pangeran Henrik agar mau bekerja sama denganmu dan Leonard.”
“Ha! Ide yang bagus! Coba saja minta maaf, Arnold!”
Suara mereka yang nyaring dan menjengkelkan terasa menusuk di kepala.
Benar-benar konyol. Tak peduli seberapa rendah aku merendahkan diri, hasilnya akan tetap sama.
Henrik membenci kami karena darah yang mengalir di tubuh kami. Selama hal itu ada, dia takkan pernah berpihak pada kami, bahkan meski Geed memohon sekalipun.
Menyadari hal itu, aku hanya menepis tangannya dengan tenang.
“Maaf, tapi aku tak bisa memperlihatkan wajah memalukan lagi. Itu akan mencoreng nama Leo.”
“Sekarang kamu peduli pada reputasi Leonard!? Jangan membuatku tertawa! Kamu sudah menjadi noda bagi Leonard! Memiliki kakak sepertimu, sungguh malang nasibnya!”
Begitu kata-kata itu terucap, hawa mematikan langsung memenuhi lorong.
Aku tak perlu menoleh untuk tahu siapa pemiliknya. Tak banyak orang yang bisa menebarkan niat membunuh sekuat itu.
“Masih ada yang ingin disampaikan, Geed?”
“E-Elna...!?”
Elna berjalan mendekat, matanya dingin menatap tajam. Geed terjatuh ke belakang, tubuhnya gemetar ketakutan.
Tatapan Elna lalu beralih ke Henrik. Bahkan Henrik, dengan segala kesombongannya, mundur satu langkah di bawah tekanan itu.
“Elna, jangan menakut-nakuti mereka terlalu jauh.”
“Menakut-nakuti? Aku tak bermaksud menakut-nakuti.”
Elna meletakkan tangan kanannya di gagang pedang.
Geed menjerit ketakutan, tapi Henrik tampaknya mengira itu hanya gertakan.
“H-Hmph! Kalau kamu memang berani, silakan saja! Kamu tahu apa hukumnya mengangkat pedang pada anggota keluarga kekaisaran!?”
“Benar juga, Pangeran Henrik. Tapi Anda juga tahu, menghalangi jalan keluarga kekaisaran adalah pelanggaran berat, bukan?”
“Itu, itu tak masalah! Aku memberinya izin!”
Henrik menangkis tuduhan Elna dengan alasan yang menyedihkan.
Benar-benar buang waktu jika dilayani. Aku menarik tangan Elna dan hendak pergi.
Namun sebelum kami melangkah, suara lain menggema di koridor.
“Kalau begitu, aku yang memberi izin. Elna, tebas saja.”
“Syukurlah. Aku juga sudah dapat izin dari pihakku.”
“Haa...”
Elna terlihat bersemangat dan hendak menghunus pedangnya. Aku hanya bisa menahan tangannya sambil mendesah, lalu menatap arah suara itu.
“Jangan memanas-manasi situasi, Leo.”
“Kalau kita diserang lebih dulu, kita balas. Itu prinsip kakak, bukan?”
Di belakang Leo, banyak bangsawan mengikuti langkahnya.
Mereka semua adalah para pendukungnya yang tampaknya baru keluar dari pertemuan. Jumlah mereka menunjukkan betapa besar pengaruh Leo saat ini.
Leo berjalan tegak, menatap lurus pada Henrik.
“Henrik. Jika kamu berani berdiri di hadapan kami, aku takkan menahan diri.”
“Keuh! Kamu, keturunan rakyat jelata, beraniyna besar kepala! Kalian tak sebanding dengan Pangeran Eric! Selama aku berpihak padanya, kalian takkan pernah menang!”
“Pertarungan tanpa harapan sudah sering kami hadapi. Kami tak selemah itu untuk gentar hanya karena ancaman. Kami tahu jalan ini berbahaya sejak awal. Tapi hanya dengan melewati jalan itulah seseorang bisa menjadi kaisar yang diakui semua orang. Jika kamu tak punya tekad sebesar itu, lebih baik mundur, Henrik.”
Itu bukan sekadar peringatan, melainkan ultimatum terakhir.
Namun Henrik justru menyeringai getir, menolak mundur.
“Jangan remehkan aku! Aku juga siap mati!”
“Itulah yang kusebut tekad setengah hati! Kami bertarung bukan karena ingin mati, tapi karena tak ingin mati! Karena tak ingin siapa pun mati! Kami sudah muak dengan darah yang tumpah sia-sia. Mundurlah, Henrik!”
“Tidak! Aku takkan mengakuinya! Aku tak akan pernah mengakui kalian!!”
Dengan teriakan itu, Henrik berbalik dan berlari menjauh.
Geed, yang ditinggalkan sendirian, mencoba kabur diam-diam, namun Leo memanggilnya.
“Geed von Holzwart.”
“Y-Ya!?”
“Sampaikan pada ayahmu. Jangan lagi mengacaukan perebutan takhta ini.”
“B-Baik!”
“Dan satu hal lagi. Ubah sikapmu terhadap kakakku. Aku dan Elna sulit menahan diri ketika seseorang berani menghinanya.”
“Hii...!”
Wajah Geed memucat ketakutan sebelum akhirnya dia melarikan diri. Setelah memastikan dia pergi, aku menatap Leo.
“Kamu sengaja bersikap menekan tadi, ya?”
“Henrik sudah menganggap kita musuh. Jadi kupikir, tak ada salahnya kalau dia sedikit ketakutan.”
Leo menjulurkan lidahnya sambil tersenyum usil. Melihat tingkahnya yang ringan itu, aku hanya bisa mengembuskan napas panjang.
Saat awal perebutan takhta, dia belum bisa bersikap seperti itu. Bisa dibilang, ini bentuk kedewasaannya, meski aku merasa caranya mulai mirip denganku.
“Wajahmu tampak rumit.”
“Rasanya seperti melihat adik polosku teracuni pengaruh buruk.”
“Dan menurutmu siapa racunnya itu?”
Aku meringis mendengar sindiran Elna. Entah harus bangga atau khawatir melihat adikku tumbuh seperti ini.
Dengan pikiran itu, aku berpisah dengan Leo dan para pengikutnya.
Upacara sudah semakin dekat.
Aku berharap semuanya akan berjalan tanpa masalah... Tapi entah kenapa, aku tahu harapan itu hanya mimpi yang takkan jadi nyata.
Sambil memikirkan hal itu, aku kembali ke kamarku.
Bagian 7
Upacara untuk merayakan 25 tahun masa pemerintahan Ayahanda. Pesta pra-upacara sudah dimulai tiga hari sebelumnya, dan upacaranya sendiri akan berlangsung selama tiga hari penuh.
Untuk menghadiri acara besar itu, para tokoh penting dari berbagai negara mulai berdatangan ke ibu kota kekaisaran.
Dan tampaknya, hari ini akan menjadi puncaknya. Para perwakilan dari negeri tetangga sudah tiba—dan bersama mereka, satu tamu istimewa lainnya.
“Oh! Lihat itu, Arnold!”
“Bagaimana aku bisa melihat apa pun...”
Aku sedang berdiri di balkon istana, kedua tangan bertumpu pada pagar sambil memandangi pemandangan di bawah. Namun Orihime, yang rupanya bosan, tiba-tiba melompat naik ke belakangku, membuat pandanganku sepenuhnya tertutup.
Jujur saja, sekarang aku hanya bisa melihat ke bawah.
“Lihat! Ada orang yang menunggangi seekor naga kecil! Apa mereka kesatria naga yang dirumorkan?”
“Itu pasti pasukan kesatria naga kebanggaan Persatuan Kerajaan.”
Aku berusaha menggeser Orihime ke samping agar bisa melihat ke atas. Dia tampak tidak senang dan sedikit melawan, tapi aku tak punya waktu untuk mengurus keluhannya.
Di langit, belasan kesatria naga sedang terbang dalam formasi yang rapi. Kendaraan mereka adalah wyvern—subspesies dari naga— dan Persatuan Kerajaan dikenal karena memiliki teknologi serta keahlian untuk menungganginya. Kesatria naga itu pernah berjasa besar ketika mereka menaklukkan negara bagian, dan juga menjadi kekuatan utama saat perang melawan kerajaan kami pecah.
Memimpin mereka adalah seorang pria yang menunggangi seekor wyvern merah. Dia mendarat dengan anggun di dekat gerbang utama Kastel Kaisar dan, begitu turun dari punggung wyvern-nya, langsung menyambut Gordon yang sudah menunggu di sana dengan jabat tangan yang erat.
“Siapa dia?”
“William van Dramond. Pangeran kedua dari Persatuan Kerajaan. Dijuluki sebagai Pangeran Naga. Seperti yang kamu lihat sendiri, dia seorang kesatria naga.”
“Seorang bangsawan yang menunggang naga? Bahaya sekali. Rupanya dia tak punya rasa takut, atau akal sehat.”
“Seharusnya kamu berkaca dulu pada diri sendiri.”
“A-Apa katamu!?”
Orihime marah mendengar komentarku dan, seolah menuntut balasan, kembali menekan tubuhnya ke arahku dari belakang. Beratnya bukan main.
“Bagaimana!? Menyerah, hah!?”
“Ya, ya, aku menyerah, aku menyerah.”
“Hmph, entah kenapa aku merasa kamu tidak benar-benar menyesal.”
Meski berkata begitu, Orihime akhirnya melepaskanku dan berdiri di sebelahku.
Sementara itu, William bersama Gordon sudah masuk ke dalam istana.
“Mereka tampak akrab sekali... Tunggu, jangan-jangan pangeran itu menyukai sesama pria!?”
“Jangan pernah katakan itu di depan dia. Bahkan jangan ucapkan di depanku pun! Itu bisa langsung jadi masalah diplomatik. Mereka akrab karena memang berteman.”
“Berteman? Tapi Kekaisaran dan Persatuan Kerajaan bukanlah sekutu, bukan?”
“Memang bukan. Tapi Gordon pernah belajar di Persatuan Kerajaan selama setengah tahun. Mereka saling mengenal di sana. Keduanya sama-sama prajurit, jadi wajar kalau bisa cocok. Usia mereka juga tidak terpaut jauh.”
“Hm, begitu rupanya. Kupikir seleranya sungguh buruk, tapi syukurlah bukan begitu.”
“Justru anehnya karena kamu bisa berpikir ke arah itu duluan...”
Aku menghela napas panjang, kelelahan menghadapi imajinasi liar Orihime, lalu berbalik dan berjalan masuk kembali ke dalam istana.
* * *
“Jadi yang belum datang tinggal perwakilan dari kaum elf, ya?”
“Benar. Sepertinya para tokoh penting dari Desa Elf masih belum tiba. Baik saya maupun Putri Christa sudah menunggu cukup lama, tapi...”
Saat ini, para utusan dari Kekaisaran Suci dan Negara Bagian, juga dari dua kadipaten di selatan, sudah tiba.
Dari Kekaisaran Suci datang seorang pangeran yang juga menjabat sebagai menteri, sedangkan dari Negara Bagian datang putra sang penguasa negeri itu. Saat mereka tiba, suasana sempat menegang, tapi berkat sikap ramah Kakak Trau, ketegangan itu tidak sampai berkembang menjadi masalah besar.
Dari dua kadipaten selatan, yang datang adalah anak-anak para raja. Dari Kadipaten Albatro datang sepasang saudara kembar, Eva dan Julio. Sedangkan dari Kadipaten Rondine, yang datang adalah putra mahkotanya sendiri.
Dengan begitu, satu-satunya tamu penting yang masih belum tiba hanyalah utusan dari Desa Elf. Namun karena kaum elf terkenal dengan sifat mereka yang tertutup, satu-satunya informasi yang berhasil kami dapat hanyalah bahwa mereka sudah meninggalkan desa mereka.
Kami telah mengirim orang ke segala penjuru untuk mengumpulkan kabar, tapi sejauh ini tidak ada yang tahu di mana mereka berada sekarang.
“Begitu, ya. Yah, sepertinya kita hanya bisa menunggu dengan sabar. Kaum elf hidup jauh lebih lama daripada manusia, jadi mereka jarang terburu-buru dalam hal apa pun.”
“Benar. Saya tidak keberatan menunggu, tapi saya khawatir apakah mereka bisa sampai dengan selamat atau tidak...”
“Tak perlu cemas. Aku yakin para elf terbaik ikut sebagai pengawal mereka.”
Aku menjawab kekhawatiran Fine seperti itu, sambil tersenyum meyakinkan untuk menenangkannya.
* * *
Keesokan paginya, seluruh istana geger.
“Kalau begitu, kumohon jaga Christa.”
“Ya. Serahkan padaku.”
Fine menjawab begitu, lalu pergi bersama Christa meninggalkan ruangan.
Penyebab keributan pagi ini adalah kemunculan mendadak utusan penting dari kaum elf.
Padahal Kekaisaran sudah menempatkan orang-orangnya ke segala arah untuk memantau, tapi tak seorang pun menyadari keberadaan mereka sampai mereka benar-benar memasuki ibu kota kekaisaran.
Kemungkinan besar, mereka menggunakan sihir rahasia khas kaum elf, bukan sihir biasa. Mereka pasti berpergian secara tersembunyi berkat sihir itu. Akibatnya, pihak istana jadi kelabakan. Tapi, kalau dipikir-pikir, sikap tanpa pertimbangan seperti itu memang sangat mencerminkan kaum elf.
Aku melangkah keluar ke balkon untuk melihat keadaan.
Utusan kaum elf itu sudah turun dari kereta. Dikelilingi oleh beberapa elf berwajah rupawan, berdirilah seorang wanita berambut biru. Yang lain pun cantik, tapi wanita itu jauh lebih memikat dibanding mereka.
“Itu cucu perempuan tetua kaum elf?”
Tubuhnya ramping, penampilannya anggun dan dewasa. Bukan tipe yang disukai Kakak Trau maupun Sieg.
Tidak tergolong loli, dan juga tidak punya pesona menggoda. Yah, Sieg memang tidak terlalu pilih-pilih asalkan cantik, tapi kalau harus memilih, dia lebih menyukai wanita dengan tubuh berlekuk-lekuk.
Aku sudah menduga kalau seorang elf pasti cantik, tapi setidaknya aku lega—kalau penampilannya sesuai selera salah satu dari mereka, aku bakal punya satu kekhawatiran tambahan.
Namun saat terus menatap wanita berambut biru itu, entah mengapa aku merasakan sesuatu yang ganjil.
Aku mencoba mencari tahu apa penyebabnya dengan memperhatikannya lekat-lekat, tapi kemudian seseorang memanggilku.
“Tuan Arnold.”
Mendengar suara itu, aku mengalihkan pandanganku dari elf berambut biru itu dan menoleh ke belakang.
“Ada apa, Sebas?”
“Saya datang untuk melapor. Ada buronan tingkat AAA yang baru saja memasuki ibu kota.”
“...”
Aku terdiam mendengar laporan itu. Buronan adalah sebutan bagi makhluk yang dijadikan target perburuan resmi oleh guild—secara harfiah, makhluk yang kepalanya dihargai dengan sejumlah uang. Namun, seperti halnya para vampir yang pernah muncul di wilayah timur, manusia maupun ras setengah manusia pun bisa masuk daftar buronan jika dianggap berbahaya.
“Apa ada hubungannya dengan Leticia...?
“Belum bisa dipastikan. Yang jelas, kami hanya tahu kalau dia sudah berada di dalam ibu kota.”
“Oh... Siapa namanya?”
“Ian, si Pengguna Kutukan. Dia dikenal sebagai ahli dalam menciptakan penghalang kutukan yang sangat kuat, dan dinyatakan sebagai buronan guild beberapa tahun lalu.”
Pengguna kutukan? Sial, orang yang merepotkan muncul lagi.
Kutukan dan sihir memang tampak mirip, tapi sebenarnya berbeda. Kutukan lebih dekat dengan cabang sihir kuno. Seorang ahli kutukan tingkat tinggi bahkan bisa membunuh targetnya hanya dengan kekuatan itu. Karena bahaya itulah, hampir semua jenis kutukan dikategorikan sebagai ilmu terlarang.
Orang seperti itu sangat cocok untuk urusan pembunuhan.
“Selidiki keberadaannya. Kalau dia bisa lolos masuk ke ibu kota yang dijaga ketat, berarti ada seseorang di baliknya.”
“Dimengerti.”
Setelah menjawab demikian, Sebas menghilang dari tempat itu.
Aku menurunkan pandangan kembali ke halaman di bawah, tapi wanita elf berambut biru itu sudah tidak terlihat. Mungkin dia sudah masuk ke istana bersama Christa dan Fine. Sepertinya aku harus menunggu waktu lain untuk mencari tahu sumber dari rasa ganjil itu.
Utusan penting yang membawa masalah, tamu kehormatan yang menimbulkan rasa tak nyaman, dan kini, kemunculan seorang buronan.
Sepertinya, seperti yang dikatakan Kakak Trau, upacara ini memang tidak akan berakhir dengan tenang.
Bagian 8
“Lalu, apa yang sebaiknya kulakukan sekarang?”
Malam hari di ibu kota kekaisaran. Sebas berlari melintasi jalan-jalan yang sunyi, mencari informasi.
Lebih tepatnya, mencari orang-orang yang mungkin memiliki informasi. Untuk melancarkan aksi sebesar percobaan pembunuhan terhadap seorang Santa, pastilah diperlukan banyak persiapan. Dan dalam proses persiapan itu, orang-orang yang terlibat akan tanpa sadar meninggalkan jejak. Jika dia dapat menelusuri mereka, pada akhirnya jejak itu akan mengarah ke Ian. Itulah perkiraan Sebas.
Dan dugaannya ternyata benar.
Dia menemukan beberapa orang mencurigakan di kegelapan kota. Mereka berbicara berbisik di sudut jalan, dan gerak-gerik mereka jelas bukan milik orang awam. Kalau bukan Sebas yang mengintai, mungkin mereka sudah menyadarinya.
Namun Sebas benar-benar menyatu dengan kegelapan, meniadakan kehadirannya seolah dia tak ada di sana.
Setelah selesai berbicara, kelompok itu berpencar. Menangkap mereka sekarang bukan perkara sulit. Tapi mereka jelas hanyalah anak buah.
Dan bahkan jika rencana di baliknya bukanlah pembunuhan terhadap sang Santa, seseorang yang bisa menggunakan petarung sekuat itu sebagai pion bawahan tidak boleh dibiarkan begitu saja.
Untuk mengungkap siapa dalang di balik mereka, Sebas memutuskan untuk membiarkan mereka bergerak bebas untuk sementara.
“Baiklah, mari kita mulai perburuan ini.”
Namun saat dia membuat keputusan itu.
Sebuah anak panah melesat dan menyerang kelompok tersebut yang baru saja bubar.
“Apa!?”
“Gwah!?”
Mereka yang jelas-jelas terlatih itu tak sempat bereaksi, langsung tumbang.
Hanya satu pria yang tersisa, selamat karena rekan-rekannya sempat melindunginya.
Dan di hadapan pria itu, sosok yang menembakkan panah tadi menampakkan diri.
“S-Siapa kamu!?”
“Kalau kamu mengenaliku, berarti dugaanku benar. Kamu dari Organisasi, bukan begitu?”
Sosok itu mengenakan topeng berwarna merah tua. Dari suaranya dan bentuk tubuhnya, jelas bahwa dia seorang wanita.
Namun bukan itu yang membuat Sebas terkejut.
Wanita itu membidik pria di depannya dengan busur—tapi pada busur itu, tak ada sebatang panah pun.
“Busur sihir dan topeng merah... Kamu Bandit Dermawan, si Kesatria Bulan Merah, Vermilion!”
Busur sihir. Teknik menyalurkan sihir melalui busur untuk memanah. Memerlukan bakat istimewa, tapi kekuatannya jauh melampaui sihir biasa.
Dan di Negara Bagian, memang ada seorang bandit dermawan yang menggunakan busur sihir. Dia dikenal karena menyerang para bangsawan penindas, merebut kembali harta yang dicuri dari rakyat, dan membongkar kejahatan para pejabat korup. Dia dikenal sebagai Kesatria Bulan Merah Vermilion.
Ada pula yang mengaitkannya dengan Silver, karena keduanya sama-sama bertopeng, dan masing-masing merupakan pengguna sihir langka—yang satu sihir kuno, yang lain busur sihir.
Al pernah mengeluh karena sering disamakan dengan orang itu, dan Sebas sepenuhnya memahami alasannya. Mengapa pencuri dari Negara Bagian bisa berada di sini, di ibu kota Kekaisaran? Sambil menimbang kemungkinan itu, Sebas perlahan mengeluarkan belati dari balik mantel. Dia berniat menarik perhatian wanita bertopeng itu agar pria tadi bisa melarikan diri.
Baginya, menangkap pria itu di tempat bukan langkah yang bijak. Pengalamannya selama bertahun-tahun di bayang-bayang memberinya keyakinan bahwa anak buah tingkat bawah jarang tahu informasi penting. Namun, wanita di hadapannya tampaknya tidak menyadari hal itu.
“Jawab sekarang juga. Mengapa organisasi yang beroperasi di Negara Bagian muncul di Kekaisaran? Apa yang kalian rencanakan?”
“Hmph, aku tidak tahu apa yang kamu bicarakan.”
“Jangan pura-pura bodoh. Saat aku menghancurkan salah satu markas kalian di Negara Bagian, aku menemukan dokumen yang menyebutkan rencana untuk bertindak di Kekaisaran. Kamu tak bisa menyangkalnya.”
Vermilion menarik busurnya. Sebas bersiap untuk melemparkan belatinya, namun tiba-tiba beberapa panah sihir terbang ke arahnya.
“Tch!?”
Terkejut, Sebas melemparkan belati untuk menangkisnya. Vermilion tidak tampak menembak—kemungkinan besar, panah yang sebelumnya dia lepaskan masih bertahan di udara dan otomatis bereaksi terhadap gerak Sebas.
Menganalisis situasi dengan cepat, Sebas menyadari bahwa keadaan menjadi tidak menguntungkan baginya.
“Siapa kamu!?”
Vermilion menembakkan rentetan panah sihir ke arah gang tempat Sebas bersembunyi. Sebas mencoba menepisnya, tapi kali ini jumlahnya lebih banyak. Dia terpaksa berguling ke samping untuk menghindar.
Namun panah-panah itu melengkung di udara dan kembali mengejarnya.
Dia berhasil menebasnya di udara, tapi dalam waktu singkat Vermilion sudah memasuki gang.
Melihat itu, Sebas meneguhkan niatnya. Rencananya berubah, tapi setidaknya dia telah memisahkan pria itu dari Vermilion. Selama dia tahu arah larinya, dia masih bisa melacaknya nanti. Dia tak boleh mengorbankan satu-satunya petunjuk yang mungkin mengarah pada kebenaran.
“Tak kusangka, ternyata kamu punya pengawal.”
“Aku juga tak menyangka pencuri dari Negara Bagian akan muncul di sini... Tapi bagaimanapun juga, di sinilah kamu harus lenyap.”
Sebas meluncurkan rentetan belati.
Vermilion dengan santai menepis semuanya dengan busurnya, lalu membalas dengan panah sihir.
Sebas menahan dan menangkis dengan belati hitamnya, bergerak cepat menembus hujan sihir dan menerobos ke jarak dekat.
Vermilion bukan musuh, tapi juga bukan sekutu. Bertarung dengannya jelas membawa risiko. Namun membiarkan pengganggu tak terduga seperti ini bebas bisa mengguncang seluruh rencana.
Seperti dulu ketika Sonia mengacaukan segalanya, satu orang yang tidak diduga bisa menjadi hambatan bagi Al.
Sebas bertekad untuk menyingkirkan Vermilion dari papan permainan ini, tanpa perlu membunuhnya.
“Hyaah!!”
Vermilion menahan sabetan belati dengan busurnya, tapi kekuatan Sebas jauh lebih besar dari yang dia perkirakan, sehingga tubuhnya terpental ke belakang dengan keseimbangannya yang hilang.
Sebas tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dia menempel rapat, jarak mereka kini nol.
“Sekarang busur sihirmu tak berguna, bukan?”
“Aku juga cukup mahir dalam pertarungan jarak dekat!”
Dalam sekejap, Vermilion memutar tubuhnya, menjepit lengan Sebas dan melemparkannya ke udara.
Jika dia menahannya, lengannya bisa patah—jadi Sebas memutar tubuhnya sendiri untuk mengurangi daya benturan.
“!?”
“Jarak dekat bukan masalah bagiku untuk menembakkan panah.”
Begitu Sebas melayang di udara, Vermilion melepaskan cengkeramannya, lalu dengan gerakan mengalir, menarik busurnya.
Meski hampir tak ada ruang untuk bergerak, dia tetap berhasil menyiapkan tembakan. Panah sihir dilepaskan, melesat ke arah Sebas. Sebas memutar tubuhnya di udara, memaksa dirinya menghindar di detik terakhir.
“Kamu seperti akrobat di sirkus!”
“Tidak, tidak, kamu jauh lebih cakap dariku.”
Sambil berkata begitu, Sebas mengambil jarak.
Pertarungan langsung bukan keahliannya—dia seorang pembunuh bayangan, bukan petarung arena. Walau begitu, Sebas cukup percaya diri menghadapi lawan-lawannya. Namun, bahkan dia harus mengakui kekuatan wanita bertopeng di depannya.
Vermilion tampaknya tak bermaksud membunuhnya; selain itu, dia juga sengaja menahan kekuatan panahnya agar tidak merusak bangunan di sekitar.
Berkat itulah, pertarungan mereka bisa seimbang. Kalau tidak, Sebas pasti sudah kalah di pertarungan terbuka.
Namun, hanya menahan Vermilion belum cukup.
Pria yang tadi mungkin sudah lari jauh, tapi jika Vermilion sungguh mengejarnya, jarak itu masih bisa dia kejar. Sebas harus menahannya sedikit lebih lama, dan peluang kecil mulai berpihak padanya.
Namun tiba-tiba, Vermilion menurunkan busurnya.
“...Apa maksudnya ini?”
“Entah kenapa, aku rasa kamu bukan bagian dari Organisasi.”
“Bisa saja kamu salah.”
“Orang-orang Organisasi tak pernah saling menolong.”
Vermilion melirik ke atap di atas gang. Di sana berdiri Sieg, dengan tombak terangkat, mengawasi mereka dari atas.
“Gadis yang cukup tajam.”
“Dia memang cukup ahli.”
Menyadari kehadiran Sieg, Sebas sempat berpikir inilah kesempatannya. Namun Vermilion tampaknya sudah menebak itu juga, dan memutuskan untuk mengakhiri pertarungan sebelum keduanya saling melukai lebih parah.
“Aku datang ke Kekaisaran untuk memburu Organisasi itu. Kalian dari pihak Kekaisaran?”
“Cara bicaramu ribet sekali. Tapi yah, kurang lebih begitu.”
“Kalau begitu, tak ada alasan bagi kita untuk bertarung.”
“Tunggu sebentar. Boleh aku yang mengejar mereka? Aku ini mantan pembunuh bayaran.”
Begitu percakapan selesai, Vermilion berbalik hendak mengejar pria yang melarikan diri, namun Sebas menghentikannya.
Sejenak, tatapan keduanya bertemu di udara. Lalu, yang pertama mengalah adalah Vermilion.
“...Kalian yang lebih mengenal wilayah ini. Baiklah, aku serahkan padamu.”
“Terima kasih. Informasi yang kami dapat nanti akan kami bagikan kepadamu. Bagaimana kita melakukan kontak?”
“...Besok malam, di tempat ini lagi. Dan satu hal lagi—jangan terlalu jauh mengejar mereka. Organisasi mereka bernama Lembaga Sihir Tertinggi—Grimoire, sebuah organisasi kejahatan berskala benua.”
Sebas pernah mendengarnya—sebuah kelompok yang awalnya merupakan perkumpulan penelitian yang mengejar rahasia terdalam seni sihir, namun kemudian berkembang menjadi organisasi kriminal misterius yang muncul di setiap pergantian zaman.
Dan kini, organisasi itu bergerak di dalam Kekaisaran.
“Begitu rupanya. Tak heran kalau firasat buruk beliau ternyata benar,” gumam Sebas dengan nada getir. Setelah berkata begitu, dia menundukkan kepala sebagai tanda pengertian.
Vermilion pun melompat ringan, lalu lenyap di kegelapan malam.
Sebas dan Sieg hanya menatap kepergiannya sejenak, sebelum akhirnya berbalik dan mulai mengejar pria yang melarikan diri tadi.
* * *
“...Begitulah kejadiannya. Setidaknya, kami sudah mengetahui bangunan tempat pria yang melarikan diri itu bersembunyi.”
Keesokan paginya.
Mendengar laporan Sebas, aku tak bisa menahan diri untuk tidak mengerutkan wajah.
“Kenapa pencuri dari Negara Bagian itu bisa muncul di Kekaisaran?”
“Tampaknya dia datang untuk mengejar organisasi itu.”
“Hmm... Organisasi yang disebut Grimoire? Aku pernah mendengar namanya darimu dulu, tapi sebenarnya seperti apa mereka?”
“Saya pun tidak tahu secara mendalam. Awalnya, katanya mereka hanyalah sekelompok penyihir yang meneliti sihir.”
“Lalu kenapa bisa menjadi organisasi kriminal? Apa mereka meneliti sihir terlarang?”
“Itu salah satunya.”
Sihir terlarang, secara klasifikasi, masih termasuk dalam kategori sihir modern. Namun, yang benar-benar dilarang umumnya lebih mendekati sifat sihir kuno, ilmu yang terlalu berbahaya hingga para pertapa zaman dahulu menetapkannya sebagai tabu.
Negara-negara di benua ini menaati warisan kebijaksanaan para pendahulu itu dan melarang penelitian terhadap sihir terlarang. Tentu, ada beberapa pengecualian seperti Zandra yang mendapat izin resmi, tapi siapa pun yang meneliti diam-diam pasti akan ditangkap.
Alasan kenapa Zandra begitu dihormati oleh para penyihir adalah karena dia melakukannya secara terbuka dan sah. Sedangkan orang-orang dari Grimoire, tampaknya memilih arah yang berlawanan, menolak tunduk pada otoritas.
“Mereka adalah kelompok yang berhasrat untuk menguasai sihir sepenuhnya, tanpa peduli cara apa pun yang digunakan. Mereka meneliti sihir terlarang, mengumpulkan artefak sihir, bahkan membunuh pengguna sihir bawaan demi penelitian. Di antara semua organisasi kriminal yang beranggotakan penyihir, mereka yang paling berbahaya.”
“Kerajaan-kerajaan lain dan Guild Petualang tidak menindak mereka?”
“Dasarnya mereka kelompok penelitian. Jarang sekali muncul ke permukaan. Orang-orang macam mereka bisa mengurung diri berbulan-bulan hanya demi penelitian, selama masih punya bahan percobaan.”
“Berarti mereka hanya bisa ditangkap kalau keluar dari sarangnya.”
“Atau dengan menangkap orang-orang yang bekerja sama dengan mereka. Dalam hal itu, wajar jika mereka menjadikan Negara Bagian sebagai markas. Negara itu sudah lama busuk oleh bangsawan korup, dan para petualang pun sulit bergerak di sana.”
“Kalau mereka tak menimbulkan masalah di Kekaisaran, jujur saja aku tak peduli. Tapi sekarang, masalahnya mereka tampak berencana melakukan sesuatu di wilayah kita. Sekalipun tidak ada kaitannya dengan Santa, kita tak bisa diam saja. Lagi pula, Empat Relik Pusaka dan sang Santa sendiri pasti sangat menarik bagi para peneliti seperti mereka.”
Tak sulit membayangkan mereka menganggap Kekaisaran sebagai sasaran yang lebih mudah ketimbang Kerajaan.
Pengamanan di sekitar Santa di Kerajaan memang ketat, tapi di Kekaisaran pun bukan berarti longgar.
“Kalau mereka cukup pintar, mereka pasti tahu Santa dijaga oleh Kesatria Pengawal Kekaisaran. Meski begitu, menurutmu mereka tetap akan mencoba menyerang?”
“Kalau saya yang jadi mereka, tentu tidak. Kalau pun harus menyerang, hanya saat dia sedang dalam perjalanan.”
“Menyerang Santa yang menunggang Gryphon juga bukan hal mudah.”
“Benar. Tanpa rencana khusus, itu mustahil. Namun, jika Tuan Arnold yang harus merencanakannya, bagaimana Anda akan melakukannya?”
“Kalau aku...”
Aku terdiam sejenak memikirkan pertanyaan Sebas itu.
Dia tak sedang menanyakan tentang kekuatan brutal macam sihir kuno. Yang dia maksud adalah strategi.
Jika aku bertindak bukan sebagai Silver, tapi sebagai Arnold—maka dengan sumber daya terbatas, dan tanpa orang sekuat Elna di pihakku, mereka membutuhkan kekuatan yang cukup untuk menjalankannya.
“Ya, mustahil. Karena itu... Aku akan membuat celah di dalam keamanan. Dari dalam.”
“Dengan kata lain, Anda akan menciptakan seorang pengkhianat?”
“Tepat sekali. Kalau tak bisa menembus dari luar, maka dari dalam. Dan untuk hal semacam itu, negara ini adalah tempat yang sempurna. Perebutan takhta sedang memecah-belah kekuatan. Tergantung pada syarat yang ditawarkan, pasti ada yang mau bekerja sama. Melihat apa yang sudah terjadi sejauh ini, itu bukan hal mustahil.”
Kematian Santa di wilayah Kekaisaran akan menjadi bencana diplomatik. Itu jelas merugikan Kekaisaran. Secara logika, tak ada yang mau melakukannya. Namun, lebih baik untuk melepas gagasan logika itu.
“Awalnya kupikir ide pembunuhan terhadap Santa itu mustahil... Tapi sekarang, rasanya semakin mungkin.”
“Mungkin sang Santa sendiri juga merasakannya. Kalau tidak, tak mungkin beliau mengucapkan kata “terakhir” itu...”
“Benar. Dan karena dia sendiri yang mengatakannya, berarti dia tidak akan menarik ucapannya. Dia keras kepala luar biasa. Kalau dia tak memberitahuku, itu karena dia tak mau merepotkanku. Tapi kalau begitu, aku tak akan bisa memaksanya bicara. Satu-satunya harapan mungkin ada pada Leo... Walau menjelaskan keadaan padanya pasti akan berantakan.”
“Berarti kita hanya bisa berharap pada kemampuan Pangeran Leonard. Tapi, kalau lawannya perempuan, mungkin dia bisa mengatasinya.”
“Biasanya, sih, dengan kepolosannya dia bisa menaklukkan siapa pun. Tapi lawannya kali ini berbeda... Yah, kita lihat saja nanti.”
Ini bukan masalah yang bisa diselesaikan lewat intrik.
Satu-satunya jalan adalah dengan kekuatan pribadi masing-masing.
“Nanti malam aku juga akan ikut. Aku tertarik dengan pencuri bertopeng itu.”
“Anda yakin? Anda akan menampakkan diri.”
“Tak aneh jika seorang pangeran turun tangan demi Kekaisaran, kan?”
“Itu benar, tapi reputasi Anda sebagai Pangeran Sisa mungkin akan terusik.”
“Yang melihatnya orang asing, dan aku akan memakai topeng muram. Tak masalah kalau sesekali mereka tahu aku bisa serius.”
“Itu terdengar seperti bumerang bagi Anda sendiri, tapi baiklah. Jadi kali ini, Anda akan bergerak sepenuhnya.”
“Benar. Ayahanda memang memerintahkan gencatan dalam perebutan takhta, tapi melawan organisasi kriminal jelas pengecualian. Bahkan kalau para kandidat takhta ikut terseret, ini tetap pertempuran untuk melindungi Kekaisaran. Ayahanda akan memakluminya.”
“Benar juga. Tapi bagaimana jika ternyata Grimoire tidak ada hubungannya dengan rencana pembunuhan Santa? Kalau begitu, mengejar mereka hanya akan membuat Santa tetap dalam bahaya, bukan begitu?”
Aku terdiam memikirkan kata-kata Sebas itu.
Memang, itulah yang paling berbahaya. Tak ada pilihan untuk diam, tapi jika keduanya tak ada hubungannya, salah satu masalah akan tetap terbuka.
Haruskah kami membagi kekuatan kami? Menempatkan lebih banyak orang di sisi Leo memang memperkuat pengamanan sang Santa.
“Selama Kesatria Pengawal masih menjaga, keamanan dasarnya sudah terjamin. Kalau musuh berniat menembus dari dalam, tambahan beberapa penjaga pun percuma. Aku serahkan bagian itu pada Leo.”
“Anda yakin? Caranya terlalu tidak pasti.”
“Tidak ada pilihan lain. Dan Leo pasti bisa mengatasinya. Kalau pun organisasi kriminal ini terlibat, atau bahkan hanya pengkhianat dari dalam kerajaan, Leo akan mampu menghadapinya. Bagaimanapun, dia itu adik kembarku. Aku yakin dia juga merasakan firasat buruk ini.”
Kami berdua adalah cermin satu sama lain.
Mungkin ada perbedaan kemampuan dan kepribadian, tapi dalam hal intuisi kami selalu seirama.
Seperti aku yang merasakan firasat buruk setelah mendengar kata-kata Leticia, Leo pasti juga merasakan hal yang sama setelah melihatnya.
Itu kekuatan kami. Kami saling mengenal satu sama lain.
Kata-kata tidak diperlukan.
“Aku akan memburu organisasi kriminal itu. Leo akan tetap bersama Santa. Begitu saja.”
“Baik. Apa kita akan meminta bantuan Tuan Sieg lagi?”
“Tidak, kali ini aku akan bekerja sama dengan pencuri bertopeng itu. Sieg harus tetap menjaga Christa dan yang lainnya.”
Aku tersenyum tipis. Mereka mungkin mengira sedang bergerak dalam bayang-bayang, tapi biarlah Grimoire belajar satu hal bahwa dunia kegelapan bukan milik mereka saja.
Bagian 9
Tiga hari tersisa sebelum upacara dimulai. Mulai hari ini, festival besar-besaran di ibu kota Kekaisaran resmi dibuka.
“Lezat sekali ini!”
“Bayar dulu sebelum makan!”
Kalau bicara soal festival, tentu yang terbayang adalah deretan kedai jalanan. Begitulah alasan aku kini sedang dibawa keluar ke kota oleh Orihime.
Tentu saja, ini dilakukan secara diam-diam.
“Umu! Wahai pengikutku! Bayarlah untukku!”
“Kamu ini...”
Aku menegur Orihime yang tanpa malu memakan dagangan orang, lalu menunduk dan membayar pada pemilik kedai.
Bukan hal aneh bagi bangsawan atau tokoh penting untuk berkeliling festival secara rahasia seperti ini.
Bahkan, banyak orang berpangkat tinggi yang pernah meminta izin untuk melakukannya. Begitulah besarnya festival di ibu kota Kekaisaran ini.
Karena itu, pihak Kekaisaran pun telah menyiapkan prosedur khusus untuk menghadapi situasi semacam ini.
Setiap orang yang ikut serta akan diberi jubah berkerudung sebagai penyamaran, serta dijaga dalam pengawalan sempurna. Jubah itu adalah artefak sihir milik istana, dengan efektivitas yang sudah terjamin.
Selama kerudungnya terpasang, orang lain nyaris tak akan mengenali siapa pemakainya. Meski begitu, jika kerudung terlepas, efeknya akan hilang, dan orang yang sudah tahu identitas pemakai sebelumnya tetap bisa mengenalinya.
Karena itu, di sekitar kami, para kesatria pengawal berjalan pada jarak tertentu, menjaga formasi. Elna mengawasi kami dari kejauhan, sementara kesatria lain menyamar di antara para pengunjung festival.
Aku dan Orihime berpura-pura sebagai majikan muda bangsawan yang sedang berkeliling bersama pelayannya. Karena menyebut nama asli bisa menarik perhatian, Orihime memanggilku “pelayan”. Andai ini ditawarkan kepada pangeran lain, mungkin mereka akan menolak mentah-mentah. Tapi bagiku, yang memang lebih sering diperlakukan seperti pelayan, tidak ada alasan untuk keberatan.
Berkat pengamanan rumit seperti itu, penyamaran kami tetap terjaga, meski sayangnya, Orihime sama sekali tidak sadar akan hal itu.
Dia berlarian sesuka hati, dan aku sudah kewalahan hanya untuk mengikutinya. Para kesatria di sekitar kami pasti lebih menderita lagi.
“Ayo kita lanjut ke sana, wahai pelayan!”
“Hei! Tunggu dulu!”
“Tidak ada kata tunggu!”
Dengan semangat membara, Orihime berlari lincah di tengah kerumunan orang.
Dia tertawa keras “Wahahaha!” dengan suara yang begitu khas, sehingga aku bisa terus melacaknya. Tapi kalau terus seperti ini, aku bisa saja kehilangan jejaknya kapan saja.
Untungnya Elna ada untuk mengawasi.
Kalau sampai terpisah, Elna pasti akan segera menangkap Orihime. Dan begitu itu terjadi, penyamaran kami pun berakhir. Sejujurnya, itu justru lebih mudah bagiku. Tapi Orihime, yang terus mengeluh bosan terkurung di istana, dia pasti akan marah besar kalau acara jalan-jalan ini berakhir begitu saja.
“Benar-benar merepotkan...”
Pada akhirnya, ini hanya soal memilih untuk menanggung repot sekarang, atau menanggung repot nanti. Jadi aku memutuskan untuk menanggungnya sekarang demi menjaga suasana hatinya tetap baik. Meski malam ini aku masih harus menemui si pencuri bertopeng, aku tak punya pilihan selain terus menguras tenagaku mengikuti Orihime yang berlari ke sana kemari.
Dan ketika aku akhirnya berhasil menyusulnya, dia sudah terpaku di depan sebuah kedai.
“Haa haa... Akhirnya aku menyusulmu...”
“Wahai pelayanku! Aku ingin mencoba ini!!”
Matanya berbinar penuh semangat.
Kedai apa ini pikirku. Aku mengangkat tubuhku, melepaskan tangan dari lutut, lalu menatap ke arah yang dilihatnya
Ternyata itu adalah kedai permainan menembak hadiah—jenis klasik di festival, di mana kamu menggunakan busur mainan untuk menjatuhkan hadiah di rak. Kalau kamu berhasil menjatuhkan satu, kamu boleh membawanya pulang.
“Aduh...”
“Aku mau coba! Mau! Aku mau!!”
Begitu aku menunjukkan wajah enggan, Orihime langsung menarik bajuku sambil merajuk seperti anak kecil. Tatapan memohonnya begitu polos, membuatku hampir tak tega menolak. Tapi aku tahu betul, kalau aku mengizinkannya, hasilnya hanya ada masalah.
Permainan semacam ini memang dirancang agar hadiahnya sulit jatuh. Kalau semua hadiah habis, pemiliknya bisa bangkrut. Dan Orihime, dengan sifatnya yang pantang menyerah, pasti akan terpancing dan terus mencoba sampai berhasil, atau sampai mulai merajuk keras.
Akhirnya aku menarik napas panjang dan menyerahkan sejumlah uang padanya.
“Gunakan ini. Kalau sudah habis, kamu harus menyerah. Itu syaratnya.”
“Oooh!! Ini lebih dari cukup! Hahah! Aku akan menaklukkan seluruh hadiah toko ini!”
Dengan semangat yang meluap, Orihime maju ke kedai permainan itu.
Langkahnya mantap dan gagah, seolah seorang jenderal yang hendak maju ke medan perang.
“Semoga tidak berakhir dengan kekalahan telak...”
Sambil menatap punggungnya, aku merasakan mungkin inilah rasanya menjadi bawahannya seorang penguasa yang hendak maju ke perang tanpa perhitungan.
* * *
“Uwaaaaahhhhhh!!! Kenapa beginiiiiii!?”
Orihime menjerit sambil memegangi kepalanya.
Melihat itu, si pemilik kedai justru tersenyum lebar, jelas sedang menikmati situasinya. Padahal aku sudah memberinya cukup banyak uang, tapi Orihime sudah menghabiskannya hampir semua, dan hasilnya? Tidak satu pun hadiah berhasil dia dapatkan.
“Uuuh... Padahal rencananya semua hadiah itu seharusnya sudah jadi milikku...”
Dengan wajah setengah menangis, Orihime menatap sisa uangnya yang tinggal sedikit, lalu melirik ke arahku.
Dia jelas ingin meminta tambahan dana, tapi aku tidak berniat memberinya uang lagi.
“Gunakan saja yang tersisa.”
“Kenapa... Kamu kejam sekali, padahal kamu pelayan... Ugh... Tinggal satu kali kesempatan tersisa...”
Orihime menjatuhkan bahunya dengan lesu, tapi segera bangkit lagi dengan semangat baru. Dia membayar sisa uangnya dan bersiap untuk mencoba lagi, seperti seorang prajurit yang hendak melakukan serangan terakhirnya.
“Aku mengincar kepala jenderalnya!!”
Dengan seruan itu, Orihime membidik sebuah kotak permata.
Kotak itu punya dua permata, mungkin menjadi hadiah utama di kedai ini, dan seperti yang bisa diduga, barang semacam itu biasanya sengaja dibuat mustahil untuk dijatuhkan. Kalau saja dia mau menargetkan hadiah lain, pasti sudah bisa mendapatkan sesuatu. Tapi Orihime tidak punya pemikiran seperti itu. Dia terus membidik permata itu tanpa menyerah, memperlihatkan pemandangan yang makin menyedihkan.
“Uwaaaaah!? Tetap tidak jatuh!!”
Anak panah yang dia lepaskan hanya menyentuh pinggiran kotak tanpa hasil. Kotaknya bahkan tidak bergerak sedikit pun. Mungkin di bagian belakangnya ada penahan. Aku yakin bahkan tembakan tepat dari depan pun tidak akan membuatnya jatuh.
Namun aku tidak berniat memberi komentar. Itu juga bagian dari keseruan festival ini. Lagi pula, sejak dulu aku sudah bersumpah untuk tidak ikut campur urusan kedai festival, setelah aku pernah terseret dalam keributan karena seorang teman masa kecilku berteriak “curang!” di acara semacam ini.
“Kalau sudah selesai, ayo pergi.”
“Uwaaaah!! Aku mau yang ituuu!!”
Orihime mengibaskan kedua tangannya sambil merajuk keras. Benda di kedai itu pasti tidak seberapa nilainya.
Tapi tampaknya dia benar-benar suka. Dia ingin sekali hadiah itu dan mulai tantrum.
Aku masih ada uangnya, tapi kalau aku mengalah sekali saja, dia akan terus memanjakan diri. Dan pada akhirnya, tetap saja dia takkan bisa menjatuhkannya.
Memberinya uang lagi hanya akan membuang waktu dan tenaga.
Saat aku sedang berpikir begitu, tiba-tiba seorang wanita muncul di sisi Orihime.
Usianya kira-kira sebaya denganku. Rambutnya berwarna gandum pucat yang dikepang tiga, dan matanya berwarna amber.
Yang paling mencolok adalah kacamata tebal yang membuatnya tampak polos dan sederhana.
“Yang mana yang kamu mau?”
“Uuuh... Yang itu.”
Orihime menunjuk ke kotak berisi permata.
Mendengarnya, perempuan itu tersenyum lembut, lalu membayar pada pemilik kedai dan mengangkat busur mainan.
“Masalahnya bukan pada busurnya, rupanya.”
Dia berbisik pelan, kemudian menarik busurnya beberapa kali untuk mencoba tarikan, sebelum akhirnya menyipitkan mata dan mengunci targetnya.
Anak panah pun melesat.
Lintasannya sama sekali berbeda dengan panah Orihime sebelumnya. Panah Orihime cepat kehilangan tenaga dan jatuh, sementara panah perempuan ini meluncur lurus dan tajam, seolah benang halus menuntunnya langsung ke sasaran.
Namun, panah itu justru mengenai hadiah di sebelah kotak permata.
Karena tak tepat di tengah, hadiah itu berputar cepat.
Sesaat, pemilik kedai terlihat lega, namun seiring kotak itu berputar, dalam prosesnya, menghantam sisi kotak permata!
Kotaknya pun jatuh ke depan, bukan ke belakang.
Tampaknya di belakang ada penahan, tapi mereka tak menduga benda itu bisa jatuh ke depan.
“Baiklah, aku akan mengambil ini.”
“Hei! Itu tidak sah! Aturannya harus jatuh ke belakang!”
Pemilik kedai berteriak sambil memeluk kotak yang dijatuhkan oleh kemampuan luar biasa wanita itu. Mungkin tak menyangka akan digugat dengan alasan seaneh itu, si wanita mengerutkan alis dengan bingung.
Kurasa ini saatnya turun tangan.
Aku melangkah maju perlahan, masuk ke area kedai, lalu mendekat ke pemiliknya.
“Hei, wajahku tidak asing bagimu, bukan?”
“Hah? Tidak asing... E-Eh!?”
Aku menurunkan sedikit kerudungku, memperlihatkan wajahku hanya padanya.
Belum lama ini aku tampil bersama Leo, jadi dia pasti masih ingat.
“A-A-Anda...! Y-Y-Ya ampun...”
“Berhenti di situ. Temanku menginginkan itu. Tidak apa-apa kan kalau kami ambil? Sebagai gantinya, aku akan tutup mata soal kecurangan tadi.”
Dengan nada mengancam, aku bicara pelan.
Pemilik kedai langsung terdiam, mengangguk berkali-kali dengan gerakan kaku, lalu menyerahkan kotak itu pada wanita tadi.
Perubahan sikap mendadak itu membuat si wanita sedikit heran, tapi dia tetap menyerahkan kotak itu pada Orihime.
“Nah, ini untukmu.”
“Ooohhh!!! Terima kasih! Kamu orang yang baik sekali! Aku suka kamu!!”
Orihime langsung memeluk wanita itu erat-erat sambil bersorak bahagia.
Setelah memeluknya sejenak, dia melepas pelukan itu, tersenyum lebar, dan melambaikan tangan.
“Sampai jumpa, orang baik! Aku takkan melupakan kebaikanmu!!”
“Tidak perlu berlebihan begitu, sungguh.”
Wanita itu tersenyum kecil, lalu menghilang di tengah kerumunan.
Tembakannya tadi sungguh luar biasa, mungkin bahkan para kesatria pengawal pun tak bisa melakukannya. Apalagi dengan busur mainan seperti itu.
Saat aku masih terpana, Orihime tiba-tiba menggenggam lenganku dan mulai melakukan sesuatu.
“Kamu sedang apa?”
“Jangan bergerak! Hmm! Ternyata sulit juga!”
Dia tampak kesulitan, lalu menatap hasilnya dengan wajah puas.
“Umu! Sudah jadi!”
“Ini...”
Di pergelangan tangan kananku kini melingkar sebuah gelang dengan permata dari kotak tadi. Rupanya itu memang gelang. Jujur saja, buatannya tidak terlalu bagus.
Tapi Orihime tampak sangat menyukainya, karena dia juga memakainya di pergelangan tangannya sendiri.
“Lihat! Kita sekarang punya gelang yang sama!”
“Benar-benar kamu ini...”
Dengan senyum cerah bak matahari, Orihime menatap gelang itu beberapa kali, memastikan bahwa gelang kami serupa. Begitu puas, dia langsung berlari lagi menembus kerumunan.
Dan, tentu saja, aku harus mengejarnya kembali.
Bagian 10
“Hmm!?”
Menjelang berakhirnya festival hari itu, Orihime tiba-tiba mendongak.
Nada suaranya jelas berbeda dari biasanya.
“Dari arah sana, ya.”
Begitu berkata, Orihime langsung melesat, berlari menembus kerumunan dengan kecepatan luar biasa.
Tak mungkin aku bisa mengejarnya dengan langkah biasa.
“Yang Mulia.”
“Tak apa, biarkan aku. Kejar dia.”
Mark, kesatria pengawal yang berada paling dekat denganku, dengan cepat meminta perintah.
Begitu aku menjawab singkat, para pengawal di sekitarku langsung bergerak serempak. Mereka meninggalkan posisinya untuk mengikuti Orihime, sehingga aku kini tanpa penjagaan langsung. Namun tak jauh dari sana ada Elna. Dia pasti mampu menilai situasi dengan tepat dan tetap fokus melindungiku.
Lagipula, jarak sejauh itu masih berada dalam jangkauan Elna.
Apa pun yang terjadi, dia akan bisa mengatasinya.
Dengan keyakinan itu, aku mulai berlari kecil, mengikuti arah larinya Orihime.
* * *
“Bocah sialan! Jangan ikut campur!”
Ketika aku berhasil menyusul Orihime, kerumunan orang sudah terbentuk di sana.
Orang-orang mengelilingi Orihime dan yang lainnya dalam lingkaran rapat. Di pusatnya, berdiri Orihime, wanita yang tadi memperlihatkan keahlian luar biasa di kios, serta seorang nenek yang tergeletak di tanah. Lawan mereka adalah dua preman bertubuh besar.
Tak jauh dari situ ada kios makanan, namun keadaannya berantakan. Barang dagangan berserakan di tanah, menunjukkan jelas bahwa sesuatu baru saja terjadi.
“Mestinya itu kalimat kami! Minta maaflah pada nenek itu!”
“Kenapa kami harus minta maaf!? Tempat ini gak boleh buka kios tanpa izin dari kami! Jadi yang salah nenek tua itu yang nekat buka lapak tanpa izin!”
“Itu bohong! Nenek itu sudah mendapatkan izin yang sah!”
“Bukan dari kami!”
Jadi begitu, para preman ini berusaha memeras uang, rupanya.
Mereka mengaku wilayah itu milik mereka, lalu menuntut bayaran agar orang lain bisa berjualan di sana.
“Berani juga kalian cari gara-gara.”
Sebenarnya, ini sudah cukup untuk membuat mereka langsung ditangkap. Pengamanan festival dilakukan oleh pasukan penjaga ibu kota, sedangkan urusan seperti ini biasanya ditangani oleh pasukan pengawas keamanan di bawah kementerian hukum.
Yang pertama adalah unit di bawah kendali Leo, dan yang kedua di bawah Menteri Hukum. Tapi untuk acara sebesar ini, bahkan gabungan dua pasukan itu pun tak cukup untuk mengawasi seluruh area festival.
Sekilas kulihat Mark dan para kesatria pengawal menatap ke arahku.
Sepertinya mereka menunggu perintahku. Menangkap para preman itu sekarang bukan hal sulit, tapi kalau mereka sampai berani bertindak terang-terangan seperti ini, pasti ada seseorang di belakang mereka.
Menelusuri siapa yang mengendalikan mereka juga tak buruk.
Dengan pemikiran itu, aku menembus kerumunan dan berdiri di antara Orihime dan para preman.
“Maafkan kami. Nona muda kami sudah berlaku kurang sopan.”
“Hah? Siapa kamu, hah?”
“Aku adalah pelayan dari nona muda ini. Mohon maaf, nona muda kami belum memahami adat di tempat seperti ini.”
“Pelayan! Apa maksudmu dengan itu?”
“Nona muda, mohon diam sejenak.”
Aku menoleh ke belakang dan menatapnya tajam.
Orihime, yang paham betul maksudku, gemetar dan buru-buru bersembunyi di belakang wanita pemilik kios itu.
“Aku sungguh mohon maaf atas sikap nona muda kami. Maukah kalian memaafkan kami kalau aku beri ini?”
Sambil berkata begitu, aku memperlihatkan sekilas kantung berisi koin emas, lalu mengambil satu keping dan menyerahkannya. Mata para preman langsung berkilat melihatnya.
Mereka saling pandang, lalu menyeringai lebar.
Sepertinya mereka mengira bisa memerasku lebih jauh.
“Heh! Satu keping segini gak cukup! Yang melanggar aturan itu nenek tua itu, dan kalian yang ngebelanya juga sama aja, kan?”
“Baiklah, kami minta maaf atas semua ini.”
“Kalau memang minta maaf, tunjukin itikad baik kalian dong!”
Mereka menuntut lebih banyak uang.
Hah, dasar orang mabuk suasana festival... Yah, kebetulan juga sih.
“Kalau begitu, bagaimana kalau aku tambahkan beberapa keping lagi?”
Kuberikan lagi beberapa koin emas. Tapi tentu saja mereka belum puas.
“Hah! Ini yang kamu sebut itikad baik!? Dengar ya, di belakang kami ada Baron Gaumrich! Beliau bisa menghapus semua masalah ini, jadi kalau mau urusan beres, serahkan kantung itu semuanya!”
Baron Gaumrich, ya? Kalau tak salah, dia salah satu orang yang selalu menempel pada Geed.
Tak heran kalau dia berhubungan dengan orang-orang macam ini.
“Memberikannya semua agak berat... Bagaimana kalau aku tambah beberapa keping lagi?”
Aku sengaja menunjukkan sikap seolah tak berdaya. Sebenarnya, kalau aku mau, aku bisa langsung menangkap mereka dan menanyai Baron Gaumrich. Tapi kalau aku melakukan itu, justru akan membuatku terlihat terlalu berperan besar.
Aku tak mau sampai terlihat seperti pahlawan yang mengungkap nama bangsawan di balik ini. Nanti kesannya terlalu heroik.
Lebih baik aku terlihat seperti pelayan yang berusaha menyelesaikan masalah dengan uang tanpa menimbulkan keributan. Yang terbaik adalah jika pasukan pengawas datang dan menangkap mereka sendiri. Untuk itu, aku perlu mengulur waktu.
Dengan pikiran itu, aku terus bernegosiasi dengan para preman. Lama-kelamaan, pandangan orang-orang di sekitar mulai dingin. Mungkin karena mereka mengira aku hanyalah pelayan yang berusaha menyenangkan preman.
Ketika kupikir waktunya sudah tepat, para preman akhirnya kehilangan kesabaran.
“Udah kubilang kasih aja semuanya sini!”
Salah satu dari mereka mengulurkan tangan ke arahku. Yah, rupanya mereka tak sabar menunggu penjaga untuk datang.
Aku menatap tangan itu mendekat.
Dan kemudian, tangan itu tak pernah sempat menyentuhku.
“Apa...!?”
Para kesatria pengawal yang menyamar sebagai warga langsung menghunus pedang mereka, menodongkan bilah tajam ke arah para preman.
Dikelilingi dari segala arah, kedua preman itu membeku di tempat, tak mampu bergerak.
“Maafkan kami, Yang Mulia. Kalau kami menunggu lebih lama lagi, kapten mungkin akan bertindak sendiri.”
“Tidak apa. Itu memang tugas kalian. Tapi sekarang aku harus melapor pada Ayahanda bahwa ada masalah di sini... Merepotkan sekali.”
Sambil setengah jujur, setengah berpura-pura, aku melepaskan tudungku.
Para preman menatapku dengan bingung.
Mereka jelas tidak mengenali wajahku, jadi aku memperkenalkan diri.
“Aku adalah Pangeran Ketujuh Kekaisaran, Arnold Lakes Ardler. Atau mungkin lebih mudah kalau kalian sebut aku Pangeran Sisa? Orang-orang yang mengepung kalian adalah Kesatria Pengawal Kekaisaran. Kalau ingin melawan, silakan, tapi percuma saja.”
“P-Pangeran!? Kenapa Anda ada di sini!?”
“Ya, karena nona muda kami ingin datang ke sini, tentu saja.”
Aku menoleh dan memberi salam kecil pada Orihime.
“Maafkan kelakuan rakyat kami, Yang Mulia.”
Mendengar itu, orang-orang di sekitar serentak terperanjat.
Hanya ada satu orang di dunia yang dipanggil dengan sebutan “Yang Mulia”.
“Tak apa. Aku pun sudah merepotkan kalian.”
Begitu Orihime menurunkan tudungnya, semua orang di sekitar langsung berlutut.
Begitulah efek Pangeran Sisa ini, mungkin. Saat aku mengungkap identitasku, sebagian besar rakyat hanya menundukkan kepala, jarang yang sampai berlutut.
Tapi ketika identitas Orihime terungkap, semua langsung sujud tanpa ragu. Melihatnya, aku hanya bisa tersenyum pahit.
“Pangeran Arnold, apa yang akan kamu lakukan terhadap mereka?”
“Akan kuserahkan kepada pasukan penjaga.”
“Kalau begitu, sebelum itu, bolehkah mereka diminta untuk meminta maaf pada nenek ini?”
Permintaan Orihime itu kuterima dengan anggukan kecil. Lalu aku menatap para preman.
“Bagaimana? Kalian mau minta maaf atau tidak?”
“A-Aku minta maaf! Tolong izinkan aku meminta maaf!”
“Begitu, ya.”
Aku memberi isyarat dengan tatapan pada Mark, dan para preman itu pun segera dibawa oleh para kesatria pengawal untuk berlutut di hadapan nenek itu dan menundukkan kepala mereka. Melihat pemandangan itu, Orihime berkata, “Jangan pernah mengulanginya lagi. Jika kamu mencoba menindas yang lemah, suatu hari hal itu akan kembali padamu. Jalani hidupmu dengan benar mulai sekarang.”
“B-Baik! Terima kasih banyak, Yang Mulia Putri Pertapa!”
Para preman itu berkali-kali membungkuk kepada Orihime. Mereka tahu, kalau sang putri sampai merasa tersinggung, kepala mereka bisa melayang kapan saja. Setidaknya, nyawa mereka masih terselamatkan kali ini.
Sementara itu, akhirnya pasukan pengawas datang juga.
Sepertinya mereka sudah mendengar keributan ini dari jauh, karena jumlah mereka cukup banyak.
“Aku serahkan urusan ini padamu, Kesatria Mark.”
“Baik, serahkan saja pada saya.”
Urusan penyerahan tersangka dan segala penjelasan merepotkan kuserahkan saja pada Mark, sementara aku memutuskan untuk membawa Orihime kembali ke istana.
“Kalau begitu, sampai jumpa! Nenek yang baik hati, dan kamu juga, wanita yang tadi!”
“Terima kasih! Terima kasih banyak!”
Nenek itu terus-menerus menunduk penuh syukur, dan wanita yang ahli itu ikut menundukkan kepala bersama.
Namun, ketika pandanganku bertemu dengan wanita itu, dia tiba-tiba membuka mulut.
“Yang Mulia Pangeran... Apa yang akan Anda lakukan terhadap orang yang berada di balik mereka?”
“...”
Kupikir dengan mengungkap identitas Orihime, aku bisa mengalihkan perhatian dari topik itu...
Tapi ternyata wanita ini cukup tajam pengamatannya. Dengan kemampuan memanahnya yang luar biasa, jelas dia bukan orang biasa.
“Akan ditangani sebagaimana mestinya. Oleh adikku.”
“A-Adik Anda, Yang Mulia?”
“Ya. Aku tak akan menanganinya sendiri. Urusan semacam itu memang tugas adikku. Sampai bertemu lagi, mungkin di lain waktu.”
Setelah mengucapkan itu, aku dan Orihime pun meninggalkan tempat itu.
Dengan keributan sebesar tadi, sudah mustahil bagi kami untuk terus berpura-pura sedang berjalan diam-diam.
Bagian 11
Dan malam pun tiba. Setelah kembali ke istana, aku melapor pada Ayahanda tentang masalah yang terjadi, dan menyampaikan pula informasi yang telah diselidiki oleh Sebas. Meski begitu, informasi itu masih bersifat terpecah-pecah.
Karena semuanya baru sebatas dugaan, Ayahanda dan Franz hanya bisa menatapku dengan wajah bingung.
Akhirnya, kami sepakat bahwa Sebas akan kembali memberikan laporan setelah dia memperoleh informasi lebih lanjut.
Dengan kata lain, untuk sementara waktu urusan ini dipercayakan padaku.
“Lorong di malam hari ini terasa menyeramkan juga.”
“Namun, tempat seperti ini memang cocok untuk percakapan rahasia.”
Ketika kami sedang bercakap begitu, aku merasakan kehadiran seseorang dari belakang.
Perlahan aku menoleh, dan di sana berdiri seorang wanita dengan topeng berwarna merah jingga. Di tangannya, dia memegang sebuah busur.
Jadi ini dia, sang bandit dermawan dari Negara Bagian—Kesatria Bulan Merah, Vermilion.
Saat aku berpikir demikian, wanita itu menatap wajahku dan berbisik dengan nada gugup.
“P-Pangeran Arnold...!?”
“Oh? Jadi kamu mengenalku rupanya. Sebagai pencuri terkenal, jangan-jangan aku juga masuk dalam daftar targetmu?”
“T-Tidak! Sama sekali tidak, Yang Mulia!”
“...Hmm?”
Nada bicaranya terasa aneh di telingaku.
Aku pernah bertemu dengan wanita yang berbicara dengan cara seperti itu di festival. Tak mungkin ada banyak orang yang dengan sengaja menambahkan “desuwa” di setiap akhir kalimatnya seperti itu. Dan satu-satunya orang yang kuingat dengan penggunaan gaya bicara yang salah kaprah semacam itu adalah...
“...Kamu, si wanita yang menguasai ahli menembak dari kios festival itu, bukan?”
“B-Bukan! Aku tidak pernah menggunakan busur seperti ini, Yang Mulia!”
“...Oh, jadi kamu tidak memakai busur, ya.”
“Ahh... Aku keceplosan...”
Aku sama sekali belum menyebut soal busur. Menyadari kesalahannya sendiri, Vermilion pun tahu bahwa dia baru saja menggali kuburnya sendiri. Bahunya terkulai, dan wajahnya berubah suram karena menyesal.
* * *
“Bagaimana mungkin kamu bisa terus jadi pencuri bertopeng dengan begitu?”
“Ugh... Aku tak bisa membantah...”
Mendengar ucapanku, Vermilion menundukkan kepala.
Tempatnya adalah penginapan yang disiapkan Sebas.
Sebenarnya kami berniat menyelesaikan pembicaraan di lorong belakang, tapi karena identitas Vermilion tersingkap, kami memutuskan pindah tempat.
Di sini lebih aman.
“Ha... Aku tak menyangka kamu bisa melenceng jauh dari bayanganku.”
Duduk di kursi, aku terkesiap oleh kecerobohannya dan berkata begitu pada Vermilion.
Dari belakang Sebas bergumam, “Saya pernah melihat kejadian ini sebelumnya,” tapi aku mengabaikannya.
Mungkin dia merujuk pada saat ketahuan oleh Fine, tapi siapa yang bisa menduga ada orang yang masuk ke kamar pangeran seenaknya? Jangan samakan itu dengan kegagalan Vermilion. Hal itu tak terelakkan.
“Untuk sementara, mari mulai dari perkenalan. Kamu mungkin sudah tahu, aku Arnold Lakes Ardler, pangeran Kekaisaran. Ini pelayanku, Sebastian.”
“Silakan panggil saya Sebas. Mohon maaf atas ketidaksopanan kemarin.”
“T-Tidak, justru aku yang seharusnya...”
Saat Sebas membungkuk sopan, Vermilion juga membungkuk.
Melihat penampilannya, sulit membayangkan gelar megah Kesatria Bulan Merah itu cocok padanya.
Namun, benar bahwa dia adalah bandit dermawan dari Negara Bagian, dan juga benar bahwa dia tahu hal-hal yang tidak kami ketahui.
Oleh karena itu aku memutuskan untuk berbicara padanya tanpa menyembunyikan apa-apa.
“Tentang organisasi Grimoire kuberitahukan kepada Ayahanda, tapi informasinya masih terlalu minim sehingga negara tidak bisa bertindak. Jadi aku ingin memastikan apakah organisasi itu benar-benar ada di ibu kota, dan apa tujuan mereka. Untuk itu aku butuh bantuanmu.”
“…Meski dipanggil bandit dermawan, aku tetaplah perampok. Jika diketahui Pangeran bekerja sama dengan orang semacam itu, hubungan dengan Negara Bagian bisa runtuh, kamu tahu?”
“Aku tahu risikonya. Itulah sebabnya aku datang menyamar dalam gelap. Selain itu... Aku adalah pangeran yang bisa memutus kalau perlu.
“...Waktu festival juga begitu, aku merasa citra orang yang kudengar sangat berbeda...”
Mendengar penjelasanku, Vermilion tampak kebingungan.
Kepadanya, aku menjawab sambil menyilangkan kaki.
“Untuk seseorang yang dianggap Pangeran Sisa, apa sikapku terlalu serius?”
“...Sejujurnya, iya. Reputasi pangeran tak berguna dan tak bersemangat tak cocok denganmu sekarang.”
“Ya, memang begitu. Pada kasus ini aku termotivasi. Lagipula adikku mungkin terlibat. Jika ini terjadi di luar urusanku aku tak peduli, tapi kalau menyangkut keluarga, itu lain cerita. Aku sudah memutuskan takkan memberi ampun pada siapa pun yang berniat mencelakai orang-orang di sekitarku.”
Saat dia menatap mataku setelah aku mengatakan itu, Vermilion melangkah mundur satu langkah.
Barangkali itu spontan; Vermilion sendiri tampak terkejut oleh reaksinya.
Kepada Vermilion itu, Sebas berkata dengan nada prihatin.
“Andai saja Anda selalu termotivasi seperti ini, sungguh membantu. Intinya, Anda ini pemalas.”
“Menjadi pemalas bukan sesuatu yang lucu... Orang bilang elang berbakat menyembunyikan cakarnya, dan memang keluarga Rajawali Emas penuh orang-orang bertabiat aneh.”
Sambil berkata begitu, Vermilion perlahan melepas topengnya.
Wajah di baliknya adalah wajah gadis yang cantik. Saat berkacamata tadi dia tak terlalu mencolok, tapi raut wajahnya teratur dan menarik.
Bukan kecantikan yang langsung memikat seperti Fine atau Elna.
Jika mereka seperti mawar atau hydrangea yang keindahannya tampak seketika, gadis ini seperti bunga yukinoshita, keindahannya baru terlihat saat benar-benar diperhatikan.
“Namaku Mia. Di Negara Bagian aku dipanggil Kesatria Bulan Merah Vermilion. Aku datang ke Kekaisaran karena menyelidiki cabang Grimoire dan menemukan ada rencana di sini.”
“Bolehkah kuanggap dengan ini kamu mempercayaiku?”
“Boleh saja. Aku tak begitu suka bangsawan atau keluarga kerajaan... Tapi aku merasa kamu berbeda.”
“Kenapa?”
“Walau dipanggil Pangeran Sisa kamu tak serius, namun kamu menjadi serius demi keluarga. Tentu keluarga sangat penting bagimu, bukan? Aku tak punya keluarga kandung, tapi aku punya keluarga yang terikat oleh ikatan lain. Aku mengerti perasaanmu itu. Karena itu aku memutuskan untuk mempercayaimu.”
Aku tersenyum getir mendengar kata-kata Mia; sebagai bandit dermawan, ukuran penilaiannya memang lain.
Namun kalau dia mau percaya, itu menguntungkan.
“Baiklah, mari kita bekerja sama. Sampai kasus ini selesai aku tak akan membiarkan siapa pun mencelakakanmu. Sebagai gantinya, aku butuh kerja sama darimu.”
“Mengerti. Jika pihak Kekaisaran mengerahkan pengejar, penyelidikan tak akan mungkin. Sebagai gantinya, kami minta informasi dari pihakmu.”
Dengan begitu Mia menuntut informasi kami juga. Kupikir dia cuma mengandalkan kekuatan, ternyata dia juga cerdik.
Karena dia sengaja menggerakkan Sebas di kota malam, mungkin dia menilai kami juga punya informasi.
“Aku tak keberatan... Tapi setelah ini tak ada jalan mundur, oke?”
“Sejak awal ketika aku memakai topeng, aku sudah melenyapkan jalan untuk mundur.”
“Begitu, ya... Kamu tahu pada perayaan ulang tahun ke-25 penobatan Kaisar tokoh-tokoh penting dari berbagai negara berkumpul, kan?”
“Tentu. Nona Orihime yang bersamamu juga salah satunya, bukan?”
“Benar. Di antara tamu ada pula Santa dari Kerajaan. Yang bertugas menjamunya adalah adikku.”
“...Ada yang salah pada Santa itu?”
“Ucapan dan sikapnya terasa mengganggu. Dia bukan orang yang suka memakai kata ‘terakhir’ seenaknya. Jadi aku curiga ada sesuatu. Jika dia merasa dalam bahaya, mungkin ada konspirasi yang sedang direncanakan. Makanya aku memerintah Sebas mencari tanda-tanda mencurigakan.”
“...Jadi Santa itu tidak memintanya? Kamu tetap mau bertindak hanya karena firasatmu?”
“Firasat burukku sering kali tepat.”
Kutarik napas kecil. Sayangnya kali ini firasatku lagi-lagi benar. Sejauh mana keadaan buruk itu menyebar tersisa untuk kita cegah dengan usaha.
“Jujur, jika ada yang hendak menyerang Santa, mereka harus punya kaki tangan di dalam. Tapi istana ini penuh orang, dan karena perebutan takhta ada beberapa faksi, sulit untuk mencarinya dari dalam. Satu-satunya cara adalah menelusuri organisasi yang terkait. Bisa dibilang ini satu-satunya petunjuk.”
“Jika itu Grimoire, tak mengherankan bila mereka menyerang Santa. Organisasi itu menguasai gelapnya Negara Bagian, sekelompok orang gila yang terus mencari bahan untuk penelitian mereka.”
“Tak ada bukti mereka menargetkan Santa, tapi keberadaan mereka saja sudah berbahaya. Mari segera dihancurkan. Aku akan menyuruh Sebas mengejar anggota organisasi itu, kamu mau ikut serta?”
“Tentu saja.”
“Baik. Ikuti instruksi Sebas, oke? Soalnya kamu itu ceroboh.”
“C-Ceroboh!?”
“Benar, kan? Gayamu dan kejadian tadi membuat identitasmu terbongkar.”
“A-Aku hanya belum terbiasa!”
“Belum terbiasa? Lalu bagaimana saat kamu bertemu musuh?”
“Dari jauh aku langsung menembak mereka. Bahkan jika mendekat, aku tak akan bicara, dan tak akan membiarkan mereka lolos.”
“...”
Sambil membuat gerakan seolah melepaskan busur, Mia berkata demikian.
Jadi begitu. Ternyata dia terlalu kuat sehingga tak perlu khawatir soal menyembunyikan identitas.
Satu lagi sumber kekhawatiranku bertambah.
“Jagalah dia dengan baik.”
“Dimengerti.”
“Apa maksudmu itu!? Aku mau kamu tarik kata-kata itu!”
“Perbaiki gaya bicaramu yang aneh itu lalu datang lagi.”
“Gaya bicara aneh!? Itu gaya bicara bangsawan warisan kakekku!”
“Seorang bangsawan sejati tidak akan berbicara seperti itu.”
Melihat Mia yang syok, kepalaku sedikit terasa sakit.
Aku tidak tahu apakah semuanya akan berjalan lancar atau tidak.
Dengan rasa cemas itu, pertemuan rahasia hari itu pun berakhir.
Bagian 12
Malam berikutnya.
Aku menyelinap keluar dari istana dan berada di penginapan tempat aku berdiskusi secara rahasia dengan Mia.
“Apa kabar? Ada hasil?”
Mia segera mengangguk menanggapi pertanyaanku.
Upacara sudah semakin dekat. Tentu saja pihak lawan juga telah bergerak.
“Aku menemukan seorang eksekutif tinggi dari Grimoire.”
“Oh? Apa kamu kenal orangnya?”
“Tidak. Wajahnya asing bagiku.”
“Kalau begitu, bagaimana kamu bisa tahu dia eksekutif tinggi?”
Mia mengangguk dan mengeluarkan selembar kertas.
Yang tergambar di sana adalah lambang buku hitam. Bukan buku biasa. Itu adalah lambang aneh sebuah buku berkepak iblis. Melihat lambang yang mencurigakan itu aku menyipitkan mata.
“Apa ini?”
“Itu simbol organisasi Grimoire. Para eksekutif menanamkan simbol ini sebagai tato di tubuh mereka.”
“Oh. Jadi kamu menemukan orang yang tertanam simbol ini?”
“Benar.”
Menemukan eksekutif Grimoire adalah hal besar. Jika kita melacak gerak-geriknya, secara alami akan terlihat apa yang hendak mereka lakukan.
Adanya organisasi kriminal di ibu kota saat upacara tentu sangat mengkhawatirkan, namun yang bisa kita lakukan mungkin sebatas memperketat pengamanan.
Bahkan jika kuberitahu Ayahanda, mereka tak akan memulai penyelidikan. Mereka tidak punya personel yang cukup, dan jika rencana itu sudah berjalan, kemungkinan sudah terlambat mencegahnya. Membatalkannya juga tidak mungkin.
Langkah yang bisa diambil terbatas.
“Ada hal lain yang harus kusampaikan.”
“Apa itu?”
“Eksekutif tinggi itu ternyata buronan yang menyusup ke ibu kota—Pengguna Kutukan Ian.”
“Buronan yang juga eksekutif dari Grimoire? Awalnya dia memang eksekutif, atau dia diundang? Bagaimanapun, setidaknya alasan dia bisa masuk ke ibu kota jadi jelas.”
Titik-titik mulai tersambung menjadi garis. Tidak perlu lagi memburu secara terpisah, itu mempermudah. Namun justru karena itu mereka tak boleh diremehkan.
Dengan menggunakan buronan pengguna kutukan, apa rencana mereka? Pembunuhan? Atau sesuatu yang lain? Pilihan musuh ada banyak. Kita harus mempertimbangkan berbagai kemungkinan. Ini benar-benar merepotkan.
“Banyak yang harus dipikirkan kali ini.”
“Tampaknya begitu. Omong-omong, bagaimana dengan Pangeran Leonard?”
Sebas menanyakan keadaan Leo.
Hanya Leo yang mungkin bisa menggali keterangan dari Santa yang memegang rahasia itu.
Wajar kalau dia merasa khawatir.
“Aku tak tahu. Mereka mungkin sudah akrab, tapi itu tergantung pada Leo.”
“Jika Santa merasakan sesuatu yang mengganjal, andai saja dia mau bicara, kita bisa membantunya.”
“Kalau dia tak mau bicara, itu sendiri sudah memberi kita petunjuk.”
“Petunjuk apa?”
“...Santa Leticia bertarung demi Kerajaan. Kerajaan dan rakyatnya adalah yang dia lindungi. Bahkan jika itu berarti dia harus dikhianati oleh mereka sendiri.”
“Kerajaan yang mengkhianati Santa?”
Aku mengangguk sekali untuk menjawab pertanyaan Sebas.
Jika Leticia memilih diam ketika masalah menyangkut dirinya sendiri, itu mustahil dilakukan kecuali karena hal semacam itu.
“Tidak bisa dipercaya... Bukankah seharusnya Santa itu penopang Kerajaan...?”
“Kerajaan bukan satu suara. Saat ini faksi yang memimpin kerajaan adalah faksi pro-Kekaisaran yang berpusat pada Santa Leticia. Namun ada juga faksi anti-Kekaisaran yang besar. Faksi anti-Kekaisaran itu pro-Persatuan Kerajaan. Mereka menganjurkan bekerja sama dengan Persatuan Kerajaan untuk menyaingi Kekaisaran. Karena itu Leticia, yang berhasil memperbaiki hubungan dengan Kekaisaran dan menangkis invasi dari Persatuan Kerajaan, menjadi penghalang bagi mereka.”
Bagi Persatuan Kerajaan, Leticia adalah duri di mata.
Selama Leticia ada, Persatuan Kerajaan tak bisa mendapatkan wilayah Kerajaan. Para pemimpin Persatuan Kerajaan tidak mau—atau tak berani—mendorong perang terbuka.
Mereka takut pada Leticia; rasanya seperti trauma.
Oleh karena itu, keberadaan Leticia menghalangi upaya menjalin hubungan dekat dengan Persatuan Kerajaan.
“Padahal dia adalah Santa yang menyelamatkan negeri... Tapi jika dia menjadi batu sandungan, mereka hendak menyingkirkannya... Menyedihkan.”
“Manusia memang begitu. Ketika Leticia berdiri di medan perang, Kerajaan saat itu sangat rapuh. Mereka baru mulai pulih. Saat kekuatan mereka kembali, mereka tentu ingin memperluas wilayah mereka. Yang paling diincar adalah wilayah tengah benua—wilayah Kekaisaran.”
“Begitu ironis. Karena Santa menyelamatkan dan mengembalikan kekuatan, justru dia hendak disingkirkan.”
“Memang ironi. Fakta bahwa Leticia datang ke Kekaisaran pada masa ini berarti faksi pro-Kekaisaran kemungkinan hendak merundingkan traktat dengan Kekaisaran. Jika faksi anti-Kekaisaran bergerak untuk mencegah itu, ucapan Leticia bisa dipahami. Memang ini masalah internal Kerajaan—meski panggungnya ada di Kekaisaran.”
Jika Santa dibunuh di tanah Kekaisaran, ketegangan akan muncul antara Kekaisaran dan Kerajaan.
Persatuan Kerajaan sejak lama mengincar wilayah di benua, wilayah yang lebih besar daripada Negara Bagian. Mereka menyerang Kerajaan bukan karena obsesi pada Kerajaan itu sendiri.
Mereka menginginkan wilayah benua. Mereka tak peduli wilayah milik negara mana, asalkan mendapatkan tanah di benua itu. Dalam kondisi seperti itu, tak menutup kemungkinan Persatuan Kerajaan untuk bekerja sama dengan faksi Kerajaan untuk menyerang Kekaisaran; dengan dalih yang tepat, bahkan kerajaan lain mungkin akan terlibat. Jika begitu terjadi, bahkan Kekaisaran pun akan berada dalam posisi sulit.
“Aku hanya berandai-andai, tapi bila Kekaisaran mengalami kekalahan, mungkin mereka harus melepaskan wilayah. Selain itu, tanggung jawab atas pembunuhan Santa akan dipaksakan pada pihak lain. Leo, yang berdampingan sebagai penjamu, punya kemungkinan besar menjadi kambing hitam. Bagi para calon pewaris takhta, itu peluang yang menggiurkan.”
“Apa mungkin mereka menginginkan takhta sampai rela merugikan negerinya sendiri? Itu kebalikan dari tujuan mereka.”
“Tepat sekali, tapi dari tindakan-tindakan sampai sekarang, tak bisa kita bilang mustahil. Entah Grimoire memanfaatkan celah itu, atau Kerajaan sendiri, atau calon-calon pewaris takhta yang terlibat. Bagaimanapun, setiap kubu punya motivasi. Jika ada motivasi, kemungkinan bisa terjadi.”
“Tapi karena tiap pihak punya tujuan sendiri, skenario tak akan berjalan rapi sesuai rencana mereka.”
Aku mengangguk pada kata-kata Sebas.
Pihak anti-Kekaisaran ingin menghancurkan Kekaisaran; para calon pewaris takhta pasti tak menjadikan Kerajaan sekutu. Bisa jadi Santa dibunuh, atau sebelum itu masing-masing pihak mulai bergerak sendiri.
Kalau berbagai kepentingan bercampur, maka situasinya sangat sulit diprediksi.
“Tidak pasti apakah Grimoire terkait langsung pada Santa... Tapi karena mereka menyusup ke upacara Kekaisaran, jelas niat mereka buruk. Bahkan jika ternyata tak terlibat, menggagalkan rencana Grimoire bisa jadi alasan untuk memulangkan para tamu kenegaraan lebih cepat. Itu bisa mencegah masalah makin rumit. Kamu harus lanjut menyelidiki Grimoire. Kita perlu tahu apa rencana mereka.”
“Dimengerti. Namun bagaimana jika kita terlambat?”
“Kalau sampai begitu, kita akan ambil tindakan di sini. Masa depan itu yang paling tak ingin kulihat.”
Jika Santa sampai dibunuh, Leo mungkin tak akan pulih dalam waktu lama.
Itu akan mengguncang aliansi. Dan lebih dari itu, aku sendiri takkan mudah memaafkan diriku.
“Dalam skenario terburuk, aku punya kartu pamungkas. Tapi aku tak ingin menggunakannya. Kamu mengerti, kan?”
“Baik. Serahkan saja padaku.”
Setelah mengatakan itu, aku menyerahkan urusan Grimoire kepada Sebas dan Mia, lalu keluar dari kamar.
Sekarang, bagaimana semua ini akan berakhir? Setidaknya, kandidat pewaris takhta yang harus diawasi sudah ditentukan.
Seseorang yang terobsesi dengan kata “perang” pasti akan tertarik untuk ikut dalam rencana semacam ini.
“Dulu mungkin tidak begitu, tapi sekarang kamu sudah tidak ada harapan, Gordon.”
Bergumam demikian, aku melangkah kembali menuju istana.




Post a Comment