Penerjemah: Chesky Aseka
Proffreader: Chesky Aseka
Chapter 2
Pelaksanaan Upacara
Bagian 1
Pagi hari. Ibu kota Kekaisaran dipenuhi semangat yang tak seperti biasanya.
Hari ini adalah hari pertama upacara peringatan—upacara pembukaan. Istana jauh lebih sibuk dari biasanya.
Terbangun karena hiruk-pikuk itu, aku memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar istana sambil berolahraga ringan.
“Kakak Al...?”
“Christa? Kamu bangun pagi sekali.”
Saat suara memanggil dari belakang, aku menoleh, dan di sana berdirilah Christa.
Kami berada di tengah-tengah istana, di area yang memiliki alun-alun kecil.
“Kakak juga bangun pagi... Apa yang kakak lakukan?”
“Jalan-jalan saja.”
“Kalau begitu, sama seperti kami.”
“Kami?”
Saat aku mengulang kata itu, Christa mengangguk pelan dan menatap ke arah alun-alun.
Di sana, seorang elf berambut biru berjalan riang bersama Rita.
“Putri elf, ya. Sepertinya kalian sudah cukup akrab?”
“Iya. Dia orang yang baik.”
“Begitu, ya.”
Jarang sekali Christa bisa sedekat itu dengan seseorang.
Banyak elf yang terkenal angkuh dan memandang rendah manusia.
Namun, jika yang satu ini seperti itu, Christa pasti tidak akan sehangat ini padanya, dan Rita pun tak akan tampak begitu senang berjalan bersamanya.
Tetapi tetap saja, ada sesuatu yang terasa janggal.
Saat pertama kali melihatnya di istana, aku sudah merasa ada yang tidak beres. tapi aku tidak bisa menjelaskan apa itu.
Ada sesuatu yang tersembunyi tentang dia.
Ketika aku mengamatinya dengan saksama, dia tampak menyadari pandanganku.
Dia membungkuk dalam-dalam, lalu mendekat ke arahku.
“Senang bertemu denganmu. Arnold, Pangeran Ketujuh Kekaisaran. Dan kamu putri elf, bukan?”
“Disebut ‘putri’ begitu rasanya agak malu juga. Namaku Wendy. Saya datang dari desa para elf.”
Wendy menyapa dengan sopan, dan dari dirinya tidak terasa sedikit pun aura mencurigakan.
Senyumnya lembut dan bersahabat, tanpa jejak kebohongan. Namun, perasaan aneh itu tetap tak mau hilang.
“Pangeran Arnold tampaknya sangat dekat dengan Putri Christa?”
“Iya! Kakak Al dan Christa itu akrab banget!”
Christa menjawab sambil memelukku erat. Aku tersenyum kecil, mengusap rambutnya, namun mataku tetap tidak lepas dari Wendy. Seolah aku hampir bisa menangkap sesuatu, tinggal sedikit lagi.
Namun tiba-tiba, Rita buru-buru berdiri di antara kami dengan wajah cemas.
“Ah, Kakak Al! Rita dan yang lain harus pergi sekarang!”
“Ya, benar! Kami harus kembali!”
Tingkah mereka berdua jelas aneh. Rita dan Christa menggandeng tangan Wendy, berniat pergi dari sana. Sesaat, aku melihat sekilas saja, sosok Wendy tampak bergetar samar, seperti bayangan yang bergeser.
Perubahan itu kecil sekali, mudah disangka ilusi mata, tapi aku terlalu sering melihat fenomena semacam itu.
“Ilusi, huh...”
Begitu aku berucap, langkah Rita dan Christa terhenti. Keduanya menegang.
Tepat sasaran rupanya. Berbeda dari mereka, Wendy tampak tetap tenang.
“Seperti yang diharapkan dari keluarga kekaisaran. Semuanya memiliki mata yang tajam.”
“Christa, kamu juga sadar?”
“Iya. Boleh kalau kita bicara di kamar saja?”
“Tentu. Aku yakin ada alasannya, bukan?”
Dengan kata itu, aku mengikuti Christa dan yang lainnya menuju kamar Wendy.
* * *
“Pertama-tama, izinkan aku memohon maaf karena telah menipu Pangeran.”
“Tidak masalah. Yang ingin aku ketahui adalah mengapa kamu menggunakan ilusi?”
Mendengar pertanyaanku, Wendy mengangguk pelan, lalu melepaskan sihir ilusinya sendiri.
Tubuhnya memancarkan cahaya lembut, dan sosok aslinya pun muncul di hadapanku.
Wendy yang sebelumnya tampak seperti wanita dewasa berpostur ramping, kini berubah menjadi seukuran Christa.
Dengan kata lain, seorang anak-anak.
“Jadi begitu. Karena kalau anak kecil menjadi perwakilan, itu akan dianggap tidak sopan, ya?”
“Benar. Di desa para elf, sangat sedikit yang ingin pergi ke negeri manusia. Di antara yang sedikit itu, hanya aku yang memiliki kedudukan yang pantas untuk menjadi utusan. Namun, ketika hendak dikirim ke negara sebesar Kekaisaran, beberapa orang menilai akan tidak sopan bila utusannya seorang anak-anak. Jadi, aku terpaksa menyamar dengan ilusi agar tampak lebih dewasa.”
“Andai saja kamu memberitahuku sejak awal, tentu kami bisa menyesuaikannya. Tapi, yah... Sekarang sudah terlanjur, tidak ada gunanya disesali.”
Begitu sudah berbohong, tidak ada pilihan lain selain terus mempertahankannya.
Alasannya bisa dimaklumi, dan bahkan kalaupun ketahuan, Ayahanda mungkin tidak akan marah. Tapi kalau bisa dibiarkan tanpa diketahui, lebih sedikit kerepotan.
Aku melirik CHrista dan Rita—keduanya tampak tegang, seperti sedang menunggu dimarahi.
Aku menghela napas pelan, lalu meletakkan tanganku di kepala mereka berdua.
“Kalau kalian ingin menyimpan rahasia, lakukanlah dengan lebih baik lain kali. Kalian kelihatan mencurigakan, tahu?”
“...Kakak nggak marah...?”
“Tidak. Kamu punya tugas sebagai pendamping tamu, dan kamu melaksanakannya dengan baik. Begitu pula denganmu, Rita.”
“Rita tidak bisa apa-apa...”
Mungkin karena rahasianya terbongkar, Rita menundukkan kepala lesu.
Sebagai pengawal, dia pasti merasa kurang berguna. Setidaknya dia ingin membantu menjaga rahasia itu, tapi malah aku yang membongkarnya. Aku merasa sedikit bersalah.
“Putri, tolong jaga anak-anak ini baik-baik. Jika ada kesulitan, mintalah bantuan. Kami akan membantu sebisanya.”
“Kamu tidak akan melapor pada Paduka Kaisar...?”
“Meski aku melapor, Ayahanda tidak punya waktu untuk menanganinya. Daripada menambah pekerjaannya, lebih baik kita tutupi saja hal ini. Lagipula, beliau bukan orang yang akan mempermasalahkan hal seperti ini, jadi santailah.”
Mendengar ucapanku, Wendy mengembuskan napas lega.
Dia pasti sudah lama menahan tegang.
Memang, pertumbuhan elf berhenti di titik tertentu, tapi sampai titik itu, mereka tumbuh secepat manusia.
Artinya, Wendy yang berwujud anak-anak ini memang benar-benar anak-anak.
Datang ke negeri asing tentu membuatnya cemas, tapi mungkin dia bisa bertahan karena Christa dan Rita menjadi temannya.
“Apa Fine sudah kamu beritahu?”
“Belum...”
“Kalau begitu, beri tahu dia. Kalau ada masalah, sampaikan padaku atau Leo. Kami akan mengatasinya. Kalau benar-benar mendesak, mintalah bantuan pada Ibu, semuanya akan selesai.”
Ayahanda sangat menyayangi Christa. Dan tentu saja, juga menyayangi Ibu, yang menjadi pengganti sosok ibu bagi Christa.
Kalau Christa meminta tolong pada Ibu, Ayahanda pasti memaafkannya. Namun, sekalipun Ayahanda memaafkannya, akan tetap ada orang-orang yang memperbesar masalah. Ada yang membenci elf, dan ada juga yang terlalu kaku soal etika.
Akan merepotkan kalau Ayahanda sampai harus turun tangan menenangkan mereka di tengah kesibukannya.
“Bagaimanapun juga, sebisa mungkin jangan sampai ketahuan. Hati-hati terhadap pandangan para bangsawan. Kalau aku bisa menyadarinya, berarti orang lain juga bisa.”
Meski begitu, hanya sedikit orang yang akan memperhatikan detail sekecil itu.
Masalahnya bukan di situ. Masalahnya, ada seseorang yang akan sangat tertarik pada sosok seperti Wendy.
“Untuk sementara, jangan mendekat ke Kakak Trau. Mengerti?”
“Iya, aku mengerti.”
Christa mengangguk dengan wajah serius. Rupanya dia juga sadar itu bukan ide bagus.
Wendy, bagaimanapun juga, adalah wujud sempurna dari apa yang disebut loli oleh Kakak Trau.
Aku bahkan tidak bisa membayangkan seperti apa reaksinya nanti kalau sampai melihat Wendy.
“Sepertinya itu saja yang ingin kusampaikan. Kalau begitu, aku pamit dulu, Putri.”
“Ah, Pangeran Arnold... Terima kasih banyak.”
“Tidak perlu berterima kasih. Sebagai gantinya, nikmatilah Kekaisaran ini sepuasnya. Kamu datang ke sini untuk itu, bukan?”
“Iya! Aku sangat tertarik pada manusia dan negeri mereka! Aku juga ingin melihat festivalnya!”
“Rita juga tidak sabar untuk festival!”
“Aku juga.”
“Kalau begitu, sampaikan saja pada Fine. Dia pasti akan mengatur semuanya.”
Setelah mengatakan itu, aku meninggalkan kamar. Begitu menutup pintu, aku melihat Sieg bersandar di dinding.
“Kamu mendekati kamar Santa lagi?”
“Bukan. Aku cuma kurang tidur gara-gara menjaga adik-adikmu.”
“Begitu, ya... Maaf, sudah menyusahkanmu.”
Aku memang meminta Sieg untuk selalu berada di dekat Christa dan Rita.
Mungkin dalam proses itu, dia juga sudah mengetahui identitas asli Wendy.
Untungnya, dia menjaga rahasia itu dengan baik sambil tetap menjalankan tugasnya.
“Tidak apa-apa. Ini juga bagian dari pekerjaanku. Di sini semuanya aman. Bagaimana dengan urusanmu?”
“Tidak bisa dibilang lancar. Dalam skenario terburuk, bisa jadi akan terjadi kekacauan. Baik Christa maupun Wendy berpotensi menjadi target. Aku mempercayakan mereka padamu.”
“Hah! Kamu bicara pada siapa, hah? Selama Sieg ini yang menjaga, takkan ada satu gores pun...”
“Ah, Sieg ada di sini!”
Tengah berlagak gagah, Sieg langsung diseret oleh Christa masuk ke kamar.
Aku bisa menebak, dia pasti akan dijadikan mainan lagi. Dan benar saja, tak lama kemudian, terdengar teriakan dari dalam.
“Aduh!! Jangan tarik-tarik, dasar bocah!!”
“...Yah, anggap saja itu bagian dari pekerjaannya.”
Aku berbalik, meninggalkan tempat itu sambil menahan tawa kecil.
Masih banyak hal yang harus kulakukan.
Bagian 2
“Pemerintahanku telah mencapai tahun ke-25. Aku tahu banyak dari kalian telah menanggung berbagai kesulitan. Tidak semuanya berjalan dengan baik, tentu saja. Ada banyak hal yang patut kusesali. Namun, berkat kalian semua, hari ini kita dapat berdiri di sini dengan selamat. Itu semua karena para pejabat yang telah mendukungku, dan rakyat yang tetap setia mengikutiku! Hari ini adalah hari untuk kalian semua! Terima kasih telah tetap bersamaku, meskipun aku hanyalah seorang kaisar seperti ini! Mari kita rayakan kelangsungan dan kejayaan Kekaisaran kita, bergembira atasnya, dan melangkah maju dengan harapan menuju masa depan! Mari kita jadikan hari ini sebagai hari yang istimewa!!”
Dengan pidato Kaisar Johannes itu, upacara pembukaan perayaan 25 tahun masa pemerintahannya pun dimulai.
Dari tempat duduk para tamu kehormatan, Leticia dan Leo menyaksikan pidato tersebut sambil bertepuk tangan, kemudian mengalihkan pandangan ke arah rakyat.
“Hidup Kaisar Yang Mulia!”
“Hidup Kekaisaran!”
“Hidup Kekaisaran abadi!”
Melihat semangat yang meluap dari rakyat yang bersorak dengan penuh gairah, Leticia menampilkan senyum lembut di wajahnya.
“Negara yang indah, bukan?”
“Benar. Paduka... Tidak, Ayahanda telah membangun negara yang baik. Aku selalu berpikir, seandainya aku bisa menjadi seperti beliau.”
“Kalau Pangeran Leonard, aku yakin kamu bisa.”
Leticia tersenyum saat mengatakannya.
Bukan basa-basi—entah kenapa, dia benar-benar yakin Leo mampu melakukannya.
“...Semoga begitu.”
“Apa kamu tidak percaya pada diri sendiri?”
“Mungkin begitu... Karena aku belum melakukan apa pun yang pantas membuatku percaya diri.”
“Hehe, kalau kamu yang mengatakan itu, maka banyak orang akan kehilangan pijakan.”
“Aku tidak bermaksud merendah... Aku sungguh belum melakukan apa pun. Orang-orang memanggilku pahlawan, tapi aku tidak merasa telah melakukan sesuatu yang layak disebut kepahlawanan. Aku hanya berusaha keras menjalankan kewajibanku sebagai anggota keluarga kekaisaran, dan orang-orang di sekitarku menolongku.”
“Dapat dipercaya dan dikelilingi oleh orang-orang yang mau membantu juga salah satu bakat seorang kaisar, menurutku.”
“Mungkin kamu benar. Aku memang beruntung dikelilingi oleh orang-orang baik. Tapi kalau itu dianggap hal yang paling penting... Maka ada seseorang yang jauh lebih unggul dariku.”
Sambil berkata begitu, Leo memalingkan pandangan ke arah lain—ke tempat di mana Al sedang mendengarkan pidato Kaisar.
Di sana ada Orihime dan Wendy, juga Christa dan Fine.
Al tampak berbincang akrab dengan mereka semua, seolah tidak ada jarak di antara mereka.
Dia memiliki bakat langka, kemampuan untuk meraih hati orang-orang berharga.
“Memang, Pangeran Arnold adalah orang yang luar biasa. Kurasa beliau memiliki bakat untuk menarik orang agar memihak padanya. Aku juga merasa akan menyenangkan kalau dia menjadi adikku.”
“Adikmu?”
“Ya, adik. Karena aku lebih tua darinya.”
Leticia dengan sedikit penekanan menegaskan bahwa dirinya lebih tua, lalu menatap Leo dengan senyum lembut. Melihat senyum itu, wajah Leo seketika memerah.
“Pangeran Leonard, kamu sedang dilanda keraguan, bukan? Tentang kamu yang pantas menjadi kaisar... Dan apakah Pangeran Arnold yang lebih layak menjadi kaisar.”
“...Benar.”
“Kalau begitu, izinkan aku berbicara dengan yakin: kamu yang lebih pantas menjadi kaisar. Pangeran Arnold memang menunjukkan ketertarikan pada orang-orang di sekitarnya, tapi di luar lingkaran itu, dia tidak terlalu peduli. Bahkan sekarang, meskipun dia memperhatikan orang-orang di dekatnya, matanya tidak tertuju pada rakyat. Sedangkan dirimu, Pangeran Leonard, mampu melihat negara ini sebagai sebuah keluarga. Kamu berpikir tentang apa yang bisa kamu lakukan untuk rakyat. Menurutku, jelas siapa di antara kalian yang lebih cocok menjadi kaisar.”
“Lebih cocok...”
“Ya. Kamu memang cocok, dan juga layak. Seorang kaisar adalah simbol negara, dia harus mampu mengambil keputusan dan menuntun bangsanya. Maka yang pantas menjadi kaisar adalah mereka yang berkeinginan untuk memperbaiki negara ini. Pangeran Arnold mungkin memiliki bakat, tapi dia tidak memiliki ambisi. Karena selama kamu ada, beliau tidak akan mengejar takhta. Dia terlalu mempercayai dan mengakuimu lebih dari siapa pun.”
Apakah penjelasannya belum cukup? Begitulah pertanyaan yang tersirat di mata Leticia.
Leo menggeleng pelan. Dulu, saat pengaruhnya masih kecil, dia berjuang mati-matian karena tahu kegagalan berarti kematian. Namun, setelah pengaruhnya tumbuh dan bayangan takhta mulai tampak di depan mata, dia mulai ragu, apakah dirinya pantas.
Keraguan itu muncul karena kini dia memiliki cukup waktu untuk merenung. Tapi berkat kata-kata Leticia, keraguan itu sirna.
Dia menyadari bahwa selama ini dia hanya membuang waktu dengan meragukan diri sendiri.
“Aku mengerti sekarang. Terima kasih.”
“Baiklah. Syukurlah kalau begitu.”
Seperti halnya Leo merasa Al lebih pantas, Al pun merasa Leo lebih layak.
Tapi jika Leo yakin bahwa dialah yang seharusnya menjadi kaisar, maka jawabannya sudah jelas. Menduduki takhta tidak akan menghapus hubungan mereka sebagai saudara. Mereka hanya perlu saling percaya, dan terus saling mendukung seperti selama ini.
Masa depan seperti itu tampak jelas di hadapan Leo berkat kata-kata Leticia.
Rasanya seperti kabut yang menutupi pandangannya perlahan sirna. Keraguan yang membebaninya selama ini pun lenyap.
Sambil menahan rasa terima kasih yang dalam, Leo kembali menatap ke arah Al.
Al tidak menatap balik.
Tapi itu justru tanda kepercayaan, pesan tanpa kata-kata yang hanya bisa dipahami oleh mereka berdua.
Leo bukan orang bodoh. Dia tahu Leticia menyembunyikan sesuatu. Dia telah menyadarinya sejak lama, hanya saja tidak tahu bagaimana menanggapinya.
Dia sempat berpikir bahwa Al akan menyadari hal itu lebih dulu dan membicarakannya, tapi Al tidak pernah melakukannya. Tidak mungkin Al tidak tahu, mereka saudara kembar.
Maka hanya ada satu kesimpulan.
“Jadi dia menyerahkannya padaku...”
“Maaf?”
“Tidak apa-apa... Aku hanya menemukan jawabanku. Leticia.”
Tanpa embel-embel kehormatan, dia menyebut namanya begitu saja.
Leticia terkejut mendengar itu, tapi Leo melanjutkan dengan tenang.
“Seperti halnya kamu mendengarkan keresahanku, aku juga ingin mendengarkan keresahanmu. Jika kamu sungguh yakin padaku... Maukah kamu memberitahuku, apa yang sedang kamu pendam?”
Leo menatap mata Leticia dengan sungguh-sungguh.
Kata-kata yang tak terduga itu membuat Leticia kehilangan suara sesaat.
“Sebenarnya aku sudah lama sadar. Curiga bahwa kamu sedang memendam sesuatu. Tapi aku takut menanyakannya, jadi aku menunggu sampai Kakak membicarakannya dulu. Namun, Kakak tidak pernah menyampaikannya. Aku yakin itu berarti dia mempercayakan hal itu padaku. Maka sekarang, aku ingin mendengarnya darimu. Maukah kamu berbagi beban itu denganku?”
“Pangeran Leonard...”
Leo yang telah menyingkirkan keraguannya kini berbicara dengan keteguhan yang tak tergoyahkan. Leticia, yang awalnya terkejut oleh ketulusannya, perlahan menyadari perbedaan antara kedua saudara kembar itu.
Arnold tidak akan pernah menanyakan sesuatu dengan cara sejujur ini. Dia akan memilih jalan memutar, dengan trik dan kata-kata halus. Sementara Leo, dia hanya berjalan lurus, tanpa ragu sedikit pun.
Mana yang lebih disukainya, Leticia tak perlu berpikir lama untuk tahu dia lebih senang pada Leo.
Leticia lemah terhadap ketulusan dan kebaikan hati. Dalam hal itu, Leo adalah orang yang paling tepat untuk menembus hatinya. Setelah tersenyum dengan wajah sedikit canggung, Leticia menghela napas kecil.
Dia ingin berbicara, keinginan untuk menumpahkan isi hatinya muncul begitu saja. Ada sesuatu dalam diri Leo yang membuatnya berpikir begitu.
Jika dia berbicara, dia akan menyeretnya ke dalam masalah. Dia tahu itu tidak akan membawa kebaikan bagi siapa pun. Namun, yang keluar dari bibir Leticia justru kata-kata yang bertentangan dengan niatnya.
“...Paduka Raja sudah menua. Saat ini sebagian besar urusan pemerintahan dipegang oleh Pangeran Pertama. Dan... Pangeran Pertama telah bersekutu dengan kelompok anti-Kekaisaran. Sepertinya dia mulai menganggap keberadaanku menghalangi langkahnya. Cepat atau lambat, aku akan dibunuh. Kerajaan tak lagi membutuhkan diriku.”
“Dibunuh...? Orang sepertimu, yang telah berkorban demi kerajaan!?”
“Tentu saja masih ada orang yang berpihak padaku. Tapi... Ketika aku mengambil tongkat suci ini, aku telah bersumpah menyerahkan segalanya pada Kerajaan. Seorang raja adalah pemimpin bangsa. Jika calon raja berikutnya menginginkan kematianku... Maka aku akan menerimanya.”
“Tidak mungkin... Tak mungkin begitu...”
“Kerajaan telah berubah. Saat aku berdiri di medan perang, kerajaan ini amat lemah. Namun sekarang, keadaannya berbeda. Kami perlahan mendapatkan kembali kekuatan untuk disebut sebagai salah satu dari Tiga Kekuatan Besar di benua ini. Begitu pula dengan rakyatnya. Mereka telah mendapatkan kembali kepercayaan diri, dan mulai meyakini bahwa kerajaan kitalah yang terkuat di seluruh benua. Tapi kenyataannya, dari ketiga kekuatan besar itu, kerajaan kami yang paling lemah, dan perlakuan yang kami terima pun sepadan. Hal itu mulai menimbulkan ketidakpuasan di kalangan rakyat. Pangeran Pertama, yang selama ini tak berpihak pada siapa pun, mungkin telah merasakan suasana itu. Jika aku mengubah pendirianku dan menyetujui perang melawan Kekaisaran, nyawaku mungkin akan diselamatkan. Namun... Aku tidak percaya bahwa berperang dengan Kekaisaran akan membawa masa depan yang baik bagi Kerajaan. Kekaisaran adalah negara yang kuat. Daripada berperang, menjalin kerja sama dan berkembang bersama akan jauh lebih bermanfaat bagi kerajaan.”
“Itu benar! Leticia, kamu tidak salah! Aku akan membantumu!”
Leo berbicara dengan semangat. Popularitas Santa Leticia, sudah mencapai menyebar di penjuru benua. Pasti banyak kekuatan yang mendukungnya. Jika Kekaisaran membantu, bahkan Pangeran Pertama pun mungkin akan berubah pikiran.
Namun Leticia menanggapinya dengan senyum yang menyedihkan.
“Jika Kekaisaran ikut campur, hal itu hanya akan memicu perang antara Kerajaan dan Kekaisaran. Dalam skenario terburuk, bisa berubah menjadi perang saudara yang memecah Kerajaan menjadi dua. Aku tak bisa membiarkan hal itu terjadi.”
“Jadi kamu akan menunggu untuk dibunuh begitu saja...?”
“Aku tidak ingin merepotkan Kekaisaran. Mereka mungkin berencana membunuhku di dalam wilayah Kekaisaran, lalu menggunakan itu sebagai alasan untuk memulai perang. Tapi membunuhku selama upacara seperti ini hampir mustahil. Para kesatria pengawal selalu waspada. Jadi, kemungkinan besar mereka akan menyerang dalam perjalanan pulang. Tapi aku membawa beberapa orang yang bisa dipercaya. Mereka tak akan bisa menyentuhku sampai aku memasuki wilayah Kerajaan. Karena itu... Waktu selama upacara ini akan menjadi masa terakhirku. Maka dari itu, aku memilih kalian berdua, saudara kembar dari Kekaisaran. Aku pikir... Bersama kalian, aku bisa menghabiskan waktu yang menyenangkan.”
Pengawal Kekaisaran dikenal sebagai pasukan terkuat di seluruh benua. Menembus perlindungan mereka nyaris mustahil.
Namun Leticia tak mungkin terus tinggal di kekaisaran.
“Inilah kegelisahanku. Dan ini adalah masalahku sendiri. Kamu tidak perlu menanggungnya... Jadi tolong, jangan tunjukkan wajah sedih seperti itu.”
“...Jika sang Raja memerintahkanmu untuk mati... Kamu akan bersedia?”
“...Itulah yang disebut sebagai negara. Tongkat suciku memiliki kekuatan besar. Rakyat memperoleh kembali kepercayaan diri mereka terhadap Kerajaan juga berkat kekuatan tongkat ini. Jika aku mati, semangat mereka akan mereda. Dan dengan begitu, Pangeran Pertama akan lebih mudah mengubah arah kebijakan. Perang itu mengerikan. Jika bisa dihindari, maka sebaiknya dihindari. Jika kematianku di wilayah Kerajaan dapat mencegah perang, maka itulah pengabdian terakhirku untuk negeriku.”
Wajah Leticia ketika mengucapkan kata-kata itu tak menunjukkan sedikit pun keraguan.
Tongkat Suci itu dulu tersegel di dalam kedalaman Kerajaan. Sejak dia memutuskan untuk memecah segelnya demi menyelamatkan negeri, dia sudah tahu bahwa dirinya tak akan mendapatkan akhir yang tenang.
“Ini adalah keegoisanku yang terakhir. Tolong, berikan aku waktu yang menyenangkan, Pangeran Leonard.”
Leticia tersenyum.
Leo tak tahu apa yang harus dikatakan untuk mengubah pikirannya. Leticia telah menyerah pada hidup. Apa yang bisa dikatakan kepada seseorang yang sudah seperti itu?
Dan pada akhirnya, tanpa menemukan jawaban, upacara pembukaan pun berakhir, dan ibu kota Kekaisaran beralih ke perayaan besar memperingati penobatan sang Kaisar.
Bagian 3
Setelah upacara pembukaan berakhir, Leo datang ke kamarku dan berkata ingin berbicara berdua.
Wajahnya begitu serius hingga aku memutuskan untuk menyuruh Orihime pergi ke tempat Fine, agar kami bisa berbicara tanpa gangguan.
“...”
“...”
Namun Leo tidak berbicara. Atau mungkin tidak bisa. Mungkin pikirannya sendiri belum mampu menyusun semuanya dengan baik.
“Leticia bilang apa?”
“...Kak... Aku...”
Begitu nama Leticia disebut, wajah Leo seketika berubah—terpelintir seolah menahan tangis.
Melihat itu saja, aku sudah bisa menebak isi pembicaraan mereka.
“Jadi dia memang sedang diincar, ya...”
“Kakak tahu?”
“Aku hanya mencurigai kemungkinan itu. Tapi dia tidak pernah membicarakannya padaku. Rupanya padamu lah dia membuka diri.”
“Aku tidak senang dengan itu... Dia sudah menyerah pada hidupnya sendiri...!”
Leo berkata dengan suara yang nyaris pecah, lalu mulai menceritakan isi pembicaraannya dengan Leticia.
Bahwa Leticia sedang diincar oleh faksi anti-Kekaisaran di dalam Kerajaan. Bahwa di antara mereka bahkan ada sang pangeran pewaris takhta berikutnya. Bahwa semangat anti-Kekaisaran telah merasuki sebagian besar rakyat Kerajaan.
Dan karena perlawanan hanya akan memecah negeri, Leticia memilih untuk menyerahkan hidupnya. Dia hanya ingin menikmati waktu terakhirnya dengan tenang.
Leo menceritakan semuanya dengan nada getir, seolah menahan penyesalan yang mendalam.
“Itu keputusan akhirnya...?”
Bagi Leticia, yang telah mendedikasikan seluruh dirinya pada Kerajaan, negeri itu adalah segalanya.
Dalam setiap tindakannya, dia selalu menempatkan Kerajaan di atas segalanya. Bagi seseorang seperti dia, perang melawan Kekaisaran adalah hal yang harus dihindari dengan segala cara. Namun menentang kehendak bangsanya juga mustahil.
Maka satu-satunya jalan yang tersisa adalah mati—mati sebagai pemegang Tongkat Suci, sebagai simbol kekuatan Kerajaan. Itulah yang dia pikirkan.
Semuanya demi negeri yang dicintainya. Begitulah Leticia, selalu memilih pengorbanan demi yang lain.
“Tidak adakah... Cara lain? Aku ingin menyelamatkannya, Kak!”
“Niatmu mulia, tapi... Itu bukan urusan kita.”
“Apa...?”
“Dia adalah orang dari Kerajaan. Maka bagi dia, Kerajaan-lah yang harus diutamakan. Kita, di sisi lain, adalah keluarga dari Kekaisaran. Tugas kita adalah menempatkan Kekaisaran di atas segalanya. Aku setuju untuk melindunginya agar tidak mati di wilayah kita, tapi setelah itu, kita tak punya alasan, juga tak punya waktu, untuk ikut campur lebih jauh.”
“Jadi... Kakak ingin dia mati begitu saja!?”
“Ya. Jika dia ingin mati, biarkan saja dia. Itu keinginannya sendiri. Campur tangan kita hanya akan menghina keputusan itu. Aku tak mau dia mati di dalam Kekaisaran, tapi kalau itu terjadi di wilayah kerajaannya sendiri, kita tak dirugikan.”
Mendengar jawabanku yang dingin, Leo melangkah mundur satu langkah.
Aku memejamkan mata, tak ingin melihat wajah adikku yang penuh keputusasaan.
“Kakak... Dia itu teman kita!”
“Ya, dia teman kita. Tapi dia bukan bagian dari keluarga. Kalau dia bagian dari keluarga kita, aku akan melakukan apa pun untuk menyelamatkannya. Tapi dia hanya teman baik. Selama dia hidup di bawah bendera Kerajaan, dia bukan seseorang yang harus kita selamatkan.”
“Bagaimana bisa Kakak berkata begitu!? Dia berjuang mati-matian demi kerajaannya, berkorban untuk orang lain! Tak seharusnya dia berakhir seperti ini!”
“Aku tahu. Aku paham apa yang kamu rasakan. Tapi yang harus bertindak adalah rakyat dan bangsanya sendiri. Ini adalah masalah kerajaan mereka.”
“Dia mendukung Kekaisaran! Menyelamatkannya akan menguntungkan kita!”
“Kalau kita ikut campur dengan setengah hati, hasilnya hanya akan seperti yang dia katakan, Kerajaan akan terpecah dua. Dan justru untuk mencegah itu, dia memilih untuk mati. Apa kamu ingin mengkhianati tekadnya sendiri? Mengatakan kamu tak ingin dia mati hanyalah bentuk keegoisan kita.”
Aku membuka mata. Wajah Leo tampak kacau, penuh emosi yang bertabrakan—amarah, sedih, dan putus asa bercampur jadi satu.
Pemandangan itu mengingatkanku pada masa lalu.
“Kamu ingat waktu dulu... Saat kamu membawa pulang seekor kucing yang hampir mati?”
“...Aku ingat.”
“Saat itu, Ibu bilang itu tanggung jawabmu sendiri. Kalau kamu siap menanggung segala akibatnya, barulah kamu boleh menolongnya. Itu yang Ibu bilang. Sekarang pun sama. Kalau kamu tak bisa menanggung konsekuensi setelahnya, jangan bertindak.”
“...Tapi dia bukan kucing.”
“Benar. Dan justru karena itu, tanggung jawabnya jauh lebih besar. Dia adalah Santa dari Kerajaan. Menyelamatkannya berarti siap menanggung segala masalah politik yang akan muncul setelahnya. Dan kita tidak berada di posisi untuk memikul beban sebesar itu. Karena itu, lakukan saja seperti yang dia inginkan, habiskan waktu yang menyenangkan bersamanya.”
Dulu, kami merawat kucing itu bersama sampai akhir hayatnya.
Tapi kali ini, bahkan bekerja sama pun takkan cukup untuk menentang kenyataan.
Leo menunduk, menatap lantai, tenggelam dalam rasa tidak berdaya.
“Menurut penyelidikan Sebas, ada organisasi kriminal yang menyusup ke ibu kota. Aku akan pergi meminta Silver untuk bergerak. Kamu temani dia. Tetap di sisinya.”
“...Itu saja caranya?”
“Aku tidak tahu. Aku hanya bisa memberikan jawaban yang sesuai dengan diriku. Itu jawabanku.”
Mendengar itu, Leo tersenyum kaku.
“Baiklah,” katanya pelan, lalu berbalik hendak keluar dari kamar. Tepat saat itu, terdengar ketukan di pintu.
“Masuk.”
“Permisi. Nama saya Paula, pelayan pribadi Nona Wendy.”
Yang masuk adalah seorang perempuan elf berkacamata. Dia memancarkan aura seseorang yang cekatan dan berpengalaman. Dengan senyum sopan, dia menundukkan kepala.
“Ada apa?”
“Nona Wendy ingin melihat festival. Namun di tempat itu tak ada yang bisa mengambil keputusan, jadi saya datang untuk meminta izin kepada Pangeran Arnold secara langsung.”
“Baiklah, aku mengerti. Akan kuatur.”
“Terima kasih. Dan Anda pasti Pangeran Leonard, bukan? Nama Anda bahkan terdengar sampai ke desa para elf. Merupakan kehormatan bagi saya bisa bertemu dengan Anda. Bolehkah saya berjabat tangan?”
Paula mengulurkan tangan pada Leo.
Meski jelas bukan dalam suasana hati yang baik, Leo berusaha tersenyum dan membalas jabatan tangannya.
“Jangan pergi menemui Leticia dengan wajah seperti itu. Kamu hanya akan membuatnya sedih.”
“Aku tahu... Aku akan melakukannya dengan benar.”
Setelah Paula pergi, aku menatap Leo dan berkata begitu. Dia menjawab pelan, lalu pergi.
Aku hanya bisa menatap punggungnya, berharap dia akan baik-baik saja.
Kemudian, sebuah suara muncul dari belakangku.
“Bukankah Anda agak keras padanya?”
“Apa seharusnya aku bilang kita akan menolong Leticia bersama?”
Tanpa suara, Sebas muncul, lalu menggeleng perlahan.
“Bukan begitu maksud saya. Saya hanya merasa Anda menekan dia terlalu jauh.”
“Kalau dia menyerah hanya karena itu, maka lebih baik dia menyerah sekarang. Tak ada gunanya terus maju tanpa tekad yang kuat.”
“Cara bicara Anda terdengar seolah Anda tidak ingin dia menyerah. Seakan Anda percaya, Pangeran Leonard akan menemukan jawabannya sendiri.”
Sebas tersenyum tipis saat mengatakan itu.
Aku mengerutkan kening, memilih mengubah topik.
“Apa kalian sudah menemukan markas buronan itu?”
“Sudah. Dan belum ada yang menyadarinya.”
“Bagus. Aku sendiri yang akan menanganinya. Mia tetap siaga.”
“Anda tampak cukup bersemangat kali ini.”
“Karena pasti ada pengkhianat di dalam istana. Aku sudah memeriksa banyak tempat, tapi belum aku tahu siapa. Satu-satunya petunjuk adalah organisasi Grimoire. Kita tidak bisa gagal. Kita akan menaklukkan mereka dengan kekuatan penuh.”
“Dimengerti.”
Mengangguk singkat, Sebas pun menyiapkan topeng Silver milikku.
Bagian 4
“Markasnya berada di ruang bawah tanah sebuah rumah bangsawan yang saat ini tak lagi digunakan. Karena kelompok itu terdiri dari para penyihir, mereka telah menegakkan penghalang sihir yang sangat kuat. Jadi, sebaiknya jangan langsung melakukan sihir teleportasi ke sana.”
“Baiklah. Untuk berjaga-jaga, tetaplah siaga di sekitar lokasi.”
“Dimengerti.”
“Kalau begitu, aku berangkat.”
“Semoga sampai tujuan.”
Dengan itu, aku berteleportasi sebagai Silver.
Tempat yang kutuju adalah rumah bangsawan yang telah disebutkan sebelumnya. Rumah itu sudah tak digunakan selama beberapa tahun dan dibiarkan terbengkalai. Fakta bahwa rumah seperti itu dijadikan markas kelompok kriminal bisa dibilang merupakan kelalaian pihak Kekaisaran.
“Yah, mau bagaimana lagi. Tidak mungkin mereka memantau setiap rumah kosong yang ditinggalkan.”
Bergumam begitu, aku melangkah masuk ke dalam rumah.
Tak lama, kutemukan sebuah pintu yang tampaknya mengarah ke ruang bawah tanah. Tentu saja, pintu itu terkunci rapat dan disegel dengan penghalang sihir.
Namun, untukku, hal semacam ini sama saja dengan tiada.
Aku meletakkan tanganku di pintu dan menyalurkan sihir ke dalamnya. Seketika, pintu itu meledak dalam sekejap. Penghalang yang menutupinya pun tak mampu menahan arus sihirku dan lenyap begitu saja.
“Dengan ini, mereka pasti sudah menyadarinya.”
Sambil menuruni tangga menuju ruang bawah tanah, aku meningkatkan kepadatan sihir di sekitarku.
Meski kelompok itu dipimpin oleh para penyihir, bawahan mereka seharusnya hanyalah manusia biasa. Tak perlu repot-repot menghadapi orang-orang seperti itu satu per satu. Saat aku memikirkan hal itu, kakiku sampai di dasar.
“Oh?”
Yang terbentang di hadapanku hanyalah lorong lurus.
Sekilas tampak biasa saja, tapi aku bisa melihat benang-benang sihir yang tak kasat mata terentang di sepanjang jalan.
Jika salah satu disentuh, pasti ada sesuatu yang akan terpicu. Dengan itu dalam benakku, aku melangkah dengan tenang melewati lorong tersebut. Begitu benang sihir itu bereaksi, dinding di kedua sisi memuntahkan anak panah.
“Perpaduan antara sihir dan perangkap, ya. Cukup layak disebut markas utama organisasi sihir.”
Rancangan yang menarik, tapi hanya sebatas menarik. Dengan waktu aktivasi seperti itu, mustahil bisa mengenai seseorang yang benar-benar tangguh.
Buktinya, anak panah yang meluncur ke arahku kehilangan tenaga di tengah jalan dan jatuh ke lantai.
Aku terus berjalan menyusuri lorong itu, hingga akhirnya sampai pada ruangan luas.
Di sana, puluhan pria sudah menungguku dengan senjata teracung.
“Dia datang! Lempar!”
Mereka pasti tahu panah tidak akan berguna melawan orang yang berhasil melewati perangkap itu.
Mereka melemparkan tombak, masing-masing diperkuat dengan sihir. Kualitasnya bahkan cukup baik untuk digunakan dalam pasukan militer.
Meski begitu.
“Itu saja?”
“Y-Yang benar saja...”
Seseorang bergumam ketakutan. Semua tombak yang dilemparkan berhenti di udara, tepat di depanku.
Mereka yang cukup peka segera menyadari apa yang akan terjadi berikutnya dan berusaha bersembunyi di balik benda-benda di sekitar.
“Kalau begitu, biar kukembalikan semuanya.”
Tombak-tombak itu berputar arah di udara. Baru setelah itu sebagian besar dari mereka tahu, tapi sudah terlambat.
Dalam sekejap, seluruh tombak yang tadi berhenti di udara melesat kembali, menembus tubuh para pria itu satu per satu.
Bahkan mereka yang bersembunyi di balik penghalang atau benda pun terhunus bersama tempat persembunyian mereka, sebagian besar dari mereka mati atau tak lagi bisa bergerak.
Namun...
“Oh?”
“Uwooooohhh!!”
Satu orang masih berdiri. Rupanya ada satu yang cukup tangguh.
Pria itu mencabut pedangnya dan menyerang dari arah kiriku. Jika dia mampu melewati hujan tombak tadi, setidaknya kekuatannya sebanding dengan petualang peringkat A. Tapi, tetap saja.
“M-Mustahil...”
“Maaf, tapi serangan lemah seperti itu tak akan bisa menyentuhku.”
Serangan penuh tenaga pria itu berhenti di udara, tak bergerak sejengkal pun.
Menatap pedangnya yang seolah membeku, pria itu menampilkan ekspresi putus asa.
“Ada kata terakhir?”
“Si...”
“Si?”
“Si, Silver di siniiiii!!!”
“Terima kasih atas perkenalannya.”
Dengan satu ayunan tangan kiriku, pria itu terpental dan menabrak dinding, nyawanya seketika melayang.
Dengan itu, keberadaanku pasti sudah diketahui oleh seluruh kelompok di sini.
Kulihat sekeliling, ruangan bawah tanah ini ternyata sangat luas. Sepertinya mereka memperluas ruang yang sudah ada sebelumnya.
“Kalau begitu, mari kita cari para petingginya.”
Bergumam pelan, aku melangkah menembus lautan darah dan terus maju ke depan.
* * *
“Tembak! Tembak!! Jangan biarkan dia masuk lebih jauh lagi!!”
Saat aku melangkah lebih dalam ke ruang bawah tanah, orang-orang yang tampaknya merupakan anggota organisasi itu mulai melancarkan serangan balasan dengan cara masing-masing.
Ada yang menggunakan sihir, ada pula yang menembakkan panah lewat ketapel besar.
Hasilnya tetap sama, tak satu pun serangan itu mampu menjangkaiku.
Meski begitu, di antara mereka, ada beberapa yang tingkat kekuatannya mendekati pria tangguh yang kutemui di awal. Dari situ saja sudah terlihat betapa tebal dan solidnya struktur organisasi ini.
“Mengganggu saja.”
Ketika kulihat beberapa orang tengah menumpuk meja untuk dijadikan barikade di depanku, aku mengayunkan tangan kananku. Hembusan angin dahsyat pun meledak ke depan, menghancurkan barikade itu bersama orang-orang yang menyusunnya.
Dalam ruang tertutup seperti ini, aku harus menahan diri agar tidak menghancurkan semuanya sekaligus, dan hal itu justru sedikit merugikan bagiku. Namun, melihat susunan kekuatan mereka, keputusan untuk turun tangan sendiri rupanya tepat.
Mungkin saja Sebas dan Mia bisa menaklukkan tempat ini, tapi pasti akan memakan waktu lebih lama dan ada risiko mereka melewatkan sebagian musuh.
Ketika aku sedang menilai situasi, seorang pria muda muncul dari bagian dalam ruangan.
Rambutnya merah bagai darah, dan di punggungnya tergantung sebilah pedang besar. Senyum menantang terukir di wajahnya.
“Tak kusangka ada petualang peringkat S yang ikut campur dalam organisasi kriminal. Ignart.”
Pria yang berdiri di hadapanku itu adalah Ignart, salah satu petualang peringkat S yang dulu direkrut untuk menumpas Kura-Kura Roh.
“Hah! Petualang itu pekerja serabutan, kamu tahu itu. Selama bayarannya cukup, kami mau melakukan apa saja! Tapi gara-gara seseorang ikut campur waktu itu, aku tak dapat bayaran sebesar yang diharapkan. Jadi aku cari uang di sini. Orang-orang ini hebat, tahu? Bayarannya jauh lebih baik daripada yang diberikan Kekaisaran!”
Ignart tertawa terbahak-bahak seolah sedang menikmati setiap kata yang diucapkannya.
Bertindak demi uang, itu pemikiran yang memang lazim bagi seorang petualang. Tak bisa dikatakan salah. Namun, Guild Petualang secara tegas melarang anggotanya menjalin hubungan dengan organisasi kriminal.
Sebab, itu bertentangan dengan satu-satunya prinsip mutlak mereka: demi rakyat.
“Jadi kamu sudah membuang kehormatanmu sebagai petualang?”
“Demi rakyat, ya? Seperti yang diharapkan dari petualang peringkat SS. Penuh omong kosong dan kebajikan palsu. Jawabanku? Persetan dengan itu semua. Rakyat? Apa yang pernah mereka lakukan untuk kita, hah!? Kita melindungi mereka, tapi yang keluar dari mulut mereka cuma keluhan! Aku muak dengan mereka. Muak juga dengan orang sok suci macam kamu yang bersembunyi di balik aturan busuk itu!”
Sambil berteriak, Ignart mencabut pedang besarnya.
Begitu aliran sihir mengalir ke dalamnya, bilah pedang itu langsung diselimuti nyala api merah menyala.
“Pedang sihir, ya.”
“Betul! Sahabat terbaikku ini bisa membakar dan menebas apa pun, entah monster atau manusia!”
Berteriak demikian, Ignart menyerbu ke arahku dengan kecepatan mengerikan.
Seorang petualang peringkat S adalah sosok yang luar biasa kuat, sementara aku tak bisa mengeluarkan kekuatanku sepenuhnya di ruang sempit seperti ini.
Perhitunganku jelas meleset. Meleset besar. Namun...
“Ka... Hah!?”
“...Kebetulan sekali. Aku juga membenci hal yang sama. Orang-orang yang melanggar satu-satunya prinsip petualang.”
Sebelum Ignart sempat mendekat, tubuhnya tersapu serangan samping dan terpental menabrak dinding.
Belum mengerti apa yang baru saja terjadi, Ignart menatapku dengan mata terbelalak. Aku hanya melambai ringan ke arahnya.
“Berdirilah, Ignart. Sebagai petualang peringkat SS, biar kutanamkan lagi padamu arti sebenarnya dari prinsip itu.”
“Jangan bercanda! Dasar penyihir lemah tak berguna!!”
Ignart bangkit sambil menggeram, kali ini menyerang dengan gerakan tipu, berusaha menipu pandanganku.
Dia mengayunkan pedangnya dari atas dengan tenaga penuh, namun tebasan itu terhenti di hadapan penghalang sihirku.
“Menahannya, ya? Sepertinya rasa percaya dirimu sudah menguap, Tuan Silver!”
“Tidak. Aku hanya ingin menguji sahabat terbaikmu yang konon bisa menebas apa pun. Hasilnya mengecewakan.”
“Bajingan! Akan kubunuh kamu! Lalu topeng busuk itu akan kucabik-cabik!!”
Dan demikianlah, di bawah tanah ibu kota kekaisaran—tanpa diketahui siapa pun—pertarungan antara petualang peringkat SS dan petualang peringkat S pun dimulai.
Bagian 5
“Hahaha!! Ada apa, Silver!?”
“Cih!”
Ignart menyerang sambil memanfaatkan gerakan tipu dengan sangat terampil, memaksa pertarungan menjadi jarak dekat. Sementara itu, aku memusatkan sihir di kedua tanganku, menepis pedang sihirnya sambil berusaha menciptakan jarak antara kami.
“Kamu hanya bisa bertahan, ya!? Itu saja kemampuan petualang peringkat SS!?”
“Masih sempat bicara, rupanya.”
Sambil menjawab, aku menurunkan tangan membentuk gerakan tebasan. Dari sana, bilah angin tajam muncul dan melesat.
Ignart menangkisnya secara refleks dengan pedang sihirnya, tapi dorongan serangan itu membuatnya mundur beberapa langkah.
“Cih! Dasar penyihir sialan!!”
“Dan kamu hanya mampu menyamai penyihir sialan ini dalam pertarungan jarak dekat? Peringkat S tampaknya sudah jatuh cukup jauh.”
“Kamu...! Akan kubuat menyesal telah mengucapkan itu!!”
Ignart mengalirkan lebih banyak kekuatan sihir ke dalam pedangnya.
Api yang membalut bilah itu tiba-tiba membesar, lalu menyusut lagi menjadi nyala yang tenang namun padat.
Bukan kegagalan. Itu tanda bahwa api yang luar biasa kuat sedang dikompres, pedang sihirnya kini jauh lebih kuat dari sebelumnya.
“Untuk menjadi peringkat SS, dibutuhkan pencapaian istimewa yang diakui oleh markas besar guild. Satu-satunya perbedaan antara aku dan kamu hanyalah keberuntunganmu bertemu monster yang cukup kuat untuk jadi pencapaian itu!!”
“Jadi kamu kira, seandainya punya kesempatan, kamu pun bisa menjadi petualang peringkat SS?”
“Benar! Dan aku akan membuktikannya sekarang!!”
Ignart berteriak dan menyerbu lurus ke depan.
Gerakannya sederhana, aku kembali menebas udara, menciptakan bilah angin yang sama seperti sebelumnya.
Namun kali ini, Ignart menebas bilah angin itu dengan mudah, lalu terus menerjang ke arahku.
“Kamu pikir hal sepele begitu bisa menghentikanku!?”
“Oh?”
Sebagaimana mestinya bagi petualang peringkat S, dia memang tangguh.
Aku membentuk penghalang kuat di hadapanku, menahan tebasan pedang sihirnya. Berbeda dari yang pertama, kali ini penghalangku kokoh dan sempurna.
“Kamu belum serius juga rupanya!”
“Mungkin.”
Saat pergerakannya berhenti sesaat, aku menembakkan sihir untuk menusuk tubuhnya. Ignart memutar tubuh, menghindar, lalu melingkarkan lengannya ke arahku dan melemparku dengan teknik lemparan.
Aku membalikkan tubuh di udara dan mendarat dengan cepat, tapi Ignart sudah kembali menerjang, memanfaatkan celah sekecil apa pun.
Dia sepenuhnya fokus pada serangan jarak dekat. Mungkin karena dia tahu, serangan jarak jauh tak akan menembus pertahananku, dan dia juga tak mau membiarkanku bertarung di jarak yang menguntungkanku.
Sebuah strategi yang efisien—bagaimanapun, busuk sekalipun, dia tetap seorang petualang sejati.
“Sekarang, kena!!”
“Tch!”
Pedang sihirnya datang ke arah dadaku. Aku menahannya dengan menjepit bilah panas itu di antara kedua telapak tanganku.
Biasanya, menyentuh pedang bersuhu tinggi berarti bunuh diri. Tapi aku sudah menyalurkan sihir ke tanganku untuk menahan panasnya. Meski begitu, rasa terbakar tetap terasa, pedang ini benar-benar mengerikan.
“Sudah tak sempat membentuk penghalang, ya?”
“Mungkin benar... Aku memang tidak ahli dalam pertarungan jarak dekat.”
Aku menendang ke arahnya, tapi Ignart melepaskan pedangnya tepat waktu dan menghindar, lalu menembakkan serangan balasan ke arah perutku.
Pukulan itu membuatku terdorong mundur dan kehilangan pegangan atas pedangnya. Pedang itu sempat melayang di udara, lalu kembali dia genggam dengan cepat.
“Ugh...”
“Tendanganmu diperkuat sihir, ya? Kekuatannya lumayan, tapi teknikmu payah. Mana mungkin kamu bisa mengenaiku dengan kemampuan setengah matang begitu?”
Tak peduli seberapa besar aku memperkuat tubuh dengan sihir, bakat dasarku dalam bela diri nyaris nol.
Sedikit lebih baik dari orang biasa, tapi dibandingkan ahli tempur seperti Ignart, aku tak ada apa-apanya.
Dengan kemampuan tubuh sepertiku, jelas aku tak akan mengunggulinya dalam jarak dekat. Sudah kuduga sejak awal.
Aku menahan perutku sambil berdiri lagi. Luka fisiknya tidak parah, tapi dari segi teknik, dia lebih unggul. Kalau ini terus berlanjut, cepat atau lambat aku akan menerima serangan fatal.
Ignart tampak sangat percaya diri, menyadari hal itu.
“Kenapa diam saja? Gunakan sihir besarmu, Silver! Oh, tapi kalau kamu melakukannya di bawah tanah seperti ini, mungkin seluruh ibu kota akan hancur juga, ya?”
“Rupanya kamu cukup mengerti. Itu sebabnya aku tidak akan menggunakannya.”
“Demi rakyat, ya? Dasar bodoh! Kalau saja kamu tak peduli soal itu, pertarungan ini sudah lama selesai! Kamu pikir nyawamu sendiri kurang berharga dibanding nyawa rakyat jelata!?”
Aku tidak menjawabnya. Itu bukan pertanyaan yang bahkan layak untuk dijawab.
Seorang petualang peringkat SS yang menggunakan sihir kuno. Itulah aku, Silver, seorang anomali yang hanya bisa ditolerir karena selama ini bertindak sebagai pelindung Kekaisaran.
Sudah jelas apa yang akan terjadi jika dia melanggar prinsip utama untuk rakyat. Hanya dengan tetap menjadi petualang ideal, Silver bisa bertahan menduduki puncak kekuasaan di Kekaisaran.
Karena itulah Silver tidak akan pernah mengabaikan rakyat Kekaisaran. Sekalipun nyawanya yang menjadi taruhannya.
“Hah! Hidup dengan ideal semacam itu terserahmu, tapi kalau terus begitu, umurmu tak akan panjang!!”
Ignart mengangkat pedang sihirnya tinggi-tinggi, bersiap melepaskan tebasan terkuatnya.
“Biasanya aku tak memberi nama pada teknik-teknikku, tapi hanya yang satu ini punya nama.”
“Jadi itu andalanmu... Seperti yang diharapkan dari petualang peringkat S. Simpanan jurus rahasia, ya.”
“Percaya diri sekali... Mari kita lihat apakah senyummu masih tersisa dihadapan teknik ini!!”
Api kembali menyelimuti pedang itu—lebih merah, lebih padat, lebih menyala daripada semua yang pernah dia tunjukkan.
Api itu bergetar dan berkobar dengan buas, namun semakin Ignart menarik napas dalam-dalam, nyala itu perlahan menyusut.
Dia sedang menyerap api itu ke dalam tubuhnya, menyatukan diri dengan pedang sihirnya, meningkatkan sinkronisasi hingga ke batas tertinggi.
Akhirnya, api itu padam sepenuhnya. Tapi aku tahu, itu bukanlah akhir, melainkan keheningan sebelum badai.
“Kremasi Akhir.”
Begitu bisikan itu keluar, tubuh Ignart lenyap dari pandangan.
Sekejap kemudian, dia sudah berada di hadapanku, jarak sedekat napas.
Cepat. Jauh lebih cepat daripada sebelumnya, hampir seperti teleportasi. Dia pasti menyerap kekuatan api sihir pedangnya ke dalam tubuh, melipatgandakan kemampuan fisiknya.
Sebagai ahli pedang sihir, tubuh Ignart memang sudah luar biasa kuat. Kini, kekuatannya melampaui lebih jauh.
Dengan lancar, dia melanjutkan gerakannya ke arah tusukan mematikan. Energi yang terpancar dari pedang itu terasa luar biasa besar.
Dalam kondisi terbatas seperti ini, aku tak mungkin bisa menghindar. Sebagai penyihir, ruang sempit seperti ini mengekangku, dan jarak ini adalah wilayah yang seharusnya tak boleh dia masuki.
Biasanya, aku akan menyingkirkannya lebih dulu, atau mengambil jarak.
Namun di sini aku tak bisa melakukan itu. Jika aku menggunakan sihir teleportasi, semua petunjuk yang kuincar akan lenyap.
Dan kalau aku melepaskan sihir besar, seluruh ruang bawah tanah akan runtuh, bahkan mungkin merusak ibu kota di atasnya.
Dengan kata lain, aku benar-benar terkepung. Namun justru karena itu...
“Kerja bagus. Serangan semacam itulah yang kutunggu.”
“Hah...!?”
Tusukan Ignart berhenti tepat di depanku, terhalang oleh penghalang tak kasatmata.
Namun, itu bukan sekadar penghalang biasa.
“Sihirku terlalu kuat untuk digunakan di ruang tertutup seperti ini. Bahkan menahan diri pun sulit dilakukan. Karena itu, memanfaatkan seranganmu adalah cara paling mudah.”
“Jangan bilang...!?”
“Tenang saja. Aku benar-benar serius barusan. Meskipun belum sepenuhnya mengeluarkan seluruh kekuatanku.”
“Guh!?”
Ignart tampak menyadari apa yang baru saja muncul di hadapannya, dan berusaha menjauh dariku, tapi sudah terlambat.
Bagaimanapun juga, ini ruang tertutup. Tidak ada tempat untuk lari.
Penghalang itu disebut penghalang refleksi. Sesuai namanya, ia memantulkan kembali serangan lawan.
Tusukan Ignart yang mengandung energi luar biasa besar terserap seluruhnya oleh penghalang itu, lalu dalam sekejap, energi tersebut dipantulkan kembali ke arah pemiliknya.
“Gwaaahhh!!!?”
Serangan andalannya sendiri menghantam tubuhnya dengan kekuatan penuh. Dalam refleks, Ignart menutupi tubuhnya menggunakan lengan kanan yang memegang pedang sihir. Berkat itu, tubuh utamanya hanya mengalami luka bakar ringan, tapi luka itu menyebar ke seluruh tubuh, cukup parah untuk disebut cedera berat.
Lengan kanannya, sebaliknya, hangus total. Bagian itu mulai rapuh, hancur berderai, dan tubuh Ignart pun jatuh tak sadarkan diri.
Aku menahan tubuhnya di dalam penghalang pengekang, lalu berbalik.
“Baiklah, saatnya melanjutkan penyelidikan.”
Kemungkinan besar, tak ada pengawal yang lebih kuat darinya. Yang tersisa hanya menangkap para petinggi organisasi ini.
Lebih cepat selesai, lebih baik. Tempat sempit seperti ini benar-benar membuat frustrasi, kalau dibiarkan, aku bisa saja melampiaskan kekesalan dengan melepaskan sihir besar tanpa sadar.
* * *
Setelah mengalahkan Ignart, aku kembali melangkah lebih jauh ke dalam ruang bawah tanah.
Seperti yang kuduga, tidak ada penjaga yang lebih kuat darinya. Hingga ke bagian terdalam, hanya ada perlawanan kecil-kecilan yang mudah ditumpas.
Akhirnya, aku tiba di depan sebuah pintu.
Pintu itu memancarkan aura sihir, namun aku tidak menghiraukannya dan langsung membukanya. Seketika, kilatan listrik menyambar ke arahku.
Namun, sambaran itu terpental oleh penghalangku.
“Seperti yang diharapkan dari pengguna sihir kuno. Tak heran kamu disebut penyihir terkuat di Kekaisaran. Penghalang yang luar biasa.”
Yang bertepuk tangan sambil berkata begitu adalah seorang pemuda berambut pirang yang disisir rapi ke belakang.
Matanya berbeda warna, ungu dan hijau. Ciri khas seseorang dengan bakat sihir yang sangat tinggi.
Dia duduk dengan angkuh di kursi, menatap lurus ke arahku.
Ruangan ini berbeda dari yang sebelumnya.
Dindingnya dipenuhi buku, menyerupai sebuah perpustakaan pribadi, mungkin ini ruang kerja miliknya. Suasananya entah kenapa mengingatkanku pada ruangan milik kakek tua itu.
Sama-sama terserap dalam dunia sihir, mengabdikan hidup demi penelitian. Namun secara hakikat, mereka jelas berbeda jauh.
“Kamu ini salah satu pimpinan mereka?”
“Benar sekali. Namaku Ian, salah satu petinggi Grimoire. Meski, baru-baru ini saja aku bergabung.”
Sambil berkata begitu, Ian memperlihatkan lambang di punggung tangan kirinya.
Sebuah buku bersayap iblis. Tampaknya itu tanda yang disebutkan Mia, simbol seorang eksekutif.
Orang bermata heterokrom seperti dia terlahir dengan sihir kuat. Hanya dengan itu saja, dia sudah tergolong penyihir berbakat.
“Sebuah organisasi kriminal yang lahir dari kumpulan peneliti sihir... Grimoire. Jadi, apa yang kalian lakukan di bawah tanah ibu kota ini?”
“Kamu datang ke sini tanpa tahu apa pun?”
“Aku hanya mendengar ada belatung yang berkeliaran di bawah tanah. Tapi apa yang sedang mereka lakukan, aku tak tahu.”
Mendengar provokasiku, Ian tertawa ringan. Ada keangkuhan dalam tawanya.
“Cukup kasar juga. Kami belatung, katamu? Kalau begitu, manusia di permukaan itu apa? Batu kali?”
“Ya, mungkin begitu. Dibandingkan kalian, mereka setidaknya masih seindah permata.”
“Hebat juga, petualang peringkat SS yang diagungkan Kekaisaran ternyata punya bias sebesar itu.”
“Mungkin. Tapi kupikir siapa pun dari peringkat SS akan menjawab hal yang sama. Bahkan di antara mereka, aku tergolong yang lembut. Atau, ucapanku tadi menyinggungmu?”
“Begitulah. Aku masih punya sedikit perasaan manusiawi. Disamakan dengan belatung, tentu agak menyakitkan.”
“Begitukah. Maaf kalau begitu. Biar aku koreksi. Jadi, peneliti sihir yang terobsesi hingga jadi sampah. Apa yang kamu lakukan di Kekaisaran ini?”
Kali ini Ian tidak bereaksi. Namun aura sihir di tubuhnya perlahan meningkat.
Ekspresi tenangnya tak juga pudar, jelas dia menyimpan sesuatu.
“Di mana pun aku meneliti sihir, bukannya itu urusanku sendiri?”
“Penelitian sihir? Kalau tak ada yang perlu disembunyikan, kenapa melakukannya di ruang bawah tanah?”
“Aku orang yang tak pandai bergaul.”
“Hmm. Jadi, penelitianmu murni dan sehat?”
“Tentu saja.”
“Sebagai sesama penyihir, aku penasaran. Apa yang sedang kamu teliti?”
“Dengan bantuan seseorang, aku berniat melakukan sihir besar. Jenis sihir yang belum pernah dicapai siapa pun.”
“Bantuan...”
Tidak mungkin mereka bersembunyi di ibu kota hanya untuk meneliti sihir biasa.
Dan bekerja sama dengan mereka biasanya berarti menjadi bahan percobaan. Tak mungkin ada yang mau dengan sukarela, jadi...
“Yang kau sebut bantuan, maksudmu bukan kelinci percobaan?”
“Itu pun bisa dibilang begitu.”
“Oh. Satu hal lagi, hanya sekadar rasa ingin tahu... Apakah bantuan itu dari Santa?”
“Seperti yang diharapkan dari Silver, cepat sekali kamu mendengarnya. Ya, aku memang berniat meminta bantuannya.”
Ian tersenyum.
Senyum itu tanpa rasa bersalah sedikit pun. Senyum seorang manusia yang tak merasa dirinya berbuat jahat.
Mungkin baginya, semua orang selain dirinya hanyalah bahan eksperimen. Ada sesuatu dalam dirinya yang mengingatkanku pada Zandra, sama-sama gila akan tujuannya sendiri.
“Baiklah. Akan sangat membantu kalau kamu mau menjelaskannya lebih rinci.”
“Sayangnya, itu tak mungkin.”
“Kalau begitu, aku akan memaksamu bicara. Sudah selesai menyiapkan jebakanmu?”
Begitu aku berkata demikian, wajah Ian sempat menegang sesaat, namun dia segera tersenyum lagi.
“Masih tenang rupanya. Kamu sengaja menungguku sampai siap?”
“Hanya karena aku penasaran. Aku ingin tahu seberapa hambarnya hasil penelitian sihir yang dikembangkan lewat cara-cara ilegal dan mengorbankan orang lain.”
“Hmph... Kamu akan tahu sendiri kebesaran sihir hambar itu saat kamu kalah!”
Dia menjentikkan jarinya.
Sekejap kemudian, puluhan lapisan penghalang yang memenuhi ruangan aktif sekaligus.
Tempat aku berdiri kini dikelilingi lingkaran sihir berbentuk mata tunggal yang menatap dan mengekang tubuhku.
“Bidang keahlianku adalah kutukan. Aku telah mengumpulkan dan meneliti segala bentuk penghalang kutukan dari berbagai zaman! Dan hasilnya, penghalang kutukan yang mampu meniadakan seluruh kekuatan musuh! Inilah sihir baruku, Penghalang Mata Iblis! Begitu kamu melangkah masuk ke ruangan ini, kekalahanmu sudah pasti!”
“Benar juga, tampaknya kamu menggabungkan banyak jenis penghalang di sini.”
Lebih dari dua puluh lapisan penghalang memenuhi ruangan. Masing-masing disusun agar efeknya terfokus pada satu lingkaran mata tunggal di bawahku.
Memang kuat. Tapi tetap saja, hanya tumpukan sihir yang dipaksa menyatu.
“Akulah pengguna kutukan terkuat! Kamu melawan orang yang salah, Silver!”
“Ya, kamu benar. Sayang sekali.”
Aku mengangkat kaki kanan sedikit, lalu menendang simbol mata di bawahku.
Dalam sekejap, lingkaran sihir itu runtuh, diikuti suara pecahan kaca yang menggema saat seluruh penghalang di ruangan ikut hancur.
“M-Mustahil...”
“Jujur saja, aku cukup terkesan. Kamu berhasil menggabungkan penghalang yang seharusnya saling bertolak belakang, dan menyeimbangkannya dengan baik. Tapi keseimbangan seperti itu rapuh, begitu terganggu sedikit saja, semuanya hancur. Dalam pertempuran nyata, itu tak ada gunanya.”
“Aku tahu itu... Karena itu kugunakan sebagai perangkap... Tapi bagaimana mungkin kamu bisa bergerak di dalamnya...?”
“Mungkin karena penghalangku jauh lebih kuat dari kutukanmu.”
Ian berpikir bahwa selama dia bisa menjebakku di dalam penghalangnya, kemenangan ada di tangannya. Namun dia terlalu naif.
Bagaimanapun juga, aku adalah penyihir terkuat di Kekaisaran. Bahkan jika penghalang itu milik Orihime sendiri, aku masih bisa keluar darinya dengan cukup waktu. Ahli penghalang terhebat di daratan ini pun demikian begitu. Bagi seseorang sekelas Ian, penghalang kutukannya tidak akan cukup kuat, aku bisa bergerak di dalamnya seperti biasa.
Dan jika aku bisa bergerak seperti biasa, maka menyalurkan sihir untuk mengacaukan keseimbangan lingkaran sihir pun menjadi perkara mudah.
“Sebanyak apa pun jenis sihir yang kamu pelajari dan gabungkan, itu belum bisa disebut sihir baru. Yang kamu lakukan hanyalah memodifikasi sistem yang sudah ada sedikit saja. Sihir baru hanya tercipta ketika seseorang melampaui batas yang sudah ada. Jangan meremehkan pengembangan sihir.”
“Ha ha, hahahaha... Seperti yang diharapkan darimu... Aku memang tak sebanding... Tapi, sudah terlambat.”
Di tangan Ian yang tertawa itu, ada sebuah alat sihir berbentuk cermin tangan. Dalam sekejap, benda itu membesar, membentuk lingkaran besar yang menelan tubuh Ian bulat-bulat.
Alat sihir teleportasi, barang langka yang nilainya begitu tinggi, sampai-sampai jika dijual, hasilnya cukup untuk membuat beberapa generasi hidup bergelimang kemewahan. Dan Ian, seenaknya saja menggunakannya tanpa sedikit pun rasa sayang.
Tindakan di luar dugaan itu sempat membuatku terdiam sesaat. Dalam waktu singkat itu, Ian pun menghilang bersama cahaya pemindahan.
“Aku meremehkannya...”
Sambil bergumam, aku segera membuka gerbang teleportasi. Aku memang tidak menduga dia akan kabur begitu, tapi untuk berjaga-jaga aku sudah menandainya dengan sihir pelacak.
Bukan tanpa alasan aku membiarkan percakapan kami berlarut-larut. Dengan itu, melacak target biasanya akan memakan waktu beberapa hari, jika lawannya bukan aku.
“Sayang sekali bagimu, Ian. Aku juga bisa menggunakan teleportasi.”
Dengan itu, aku mengejar Ian melalui teleportasi.
Bagian 6
Tempat aku berpindah berada di perbatasan antara Kerajaan dan Kekaisaran. Sebuah gunung kecil yang sepi.
Sepertinya lokasi teleportasi itu telah diatur sebelumnya.
Di sekeliling, terlihat jejak-jejak kuda yang digunakan untuk melarikan diri. Aku pun melayang di udara dan mulai mengejarnya dari atas.
Tak butuh waktu lama sebelum aku menemukan Ian yang sedang menunggang kudanya dengan panik.
“Kamu pikir bisa kabur dariku?”
“Hmph! Kamu pikir aku tak punya rencana cadangan!? Aku sudah menyiapkan bala bantuan!”
Ian berteriak, namun tak ada tanda-tanda keberadaan pasukan seperti yang dia katakan.
Mungkin dia juga mulai menyadari ada yang tidak beres, karena matanya bergerak gelisah ke segala arah.
“Mengapa...? Di mana mereka...?”
“Mungkin salah koordinasi, atau mungkin kamu dicampakkan. Apa pun itu, tampaknya nasibmu buruk.”
Aku berkata demikian sambil membungkus Ian dengan penghalang sihir. Dengan itu, kemungkinan dia bisa kabur sudah lenyap.
Namun tepat saat aku berpikir demikian, seberkas cahaya melintas di kejauhan.
Aku reflek membentuk penghalang di sekelilingku, tapi serangan itu dengan mudah menembusnya, melintas di samping tubuhku.
Sebuah serangan yang mampu menembus penghalangku dengan begitu mudah, hanya ada segelintir orang di benua ini yang bisa melakukannya. Ditambah lagi, aku bahkan tidak sempat mendeteksinya tepat waktu. Kemungkinan besar sebuah serangan dari penembak jitu.
Fakta-fakta itu sudah cukup untuk memberitahuku siapa pelakunya. Namun sebelum aku sempat memikirkan lebih jauh, pikiranku terhenti, karena aku bukan satu-satunya yang menjadi sasaran serangan itu.
“Guh...!”
“Cih!”
Lubang besar menganga di dada Ian yang tadi sempat kutangkap. Aku segera membentuk lingkaran penyembuh di sekeliling tubuhnya, tapi lukanya terlalu parah. Entah bisa diselamatkan atau tidak.
Sementara aku berusaha menyembuhkannya, penembak itu muncul dari balik batu karang di kejauhan.
“Apa-apaan, Silver? Kamu menyembuhkannya? Orang itu buronan dengan hadiah di kepalanya, tahu?”
Suara yang malas dan dingin itu berasal dari seorang pria paruh baya. Rambutnya kusut berwarna rami, matanya pun punya warna yang sama. Tubuhnya ramping, namun auranya jelas menunjukkan bahwa dia adalah seorang petarung kelas atas.
Sekilas tampak seperti pria biasa, namun aku tahu betul siapa dia. Salah satu monster sejati di antara manusia. Namun wajahnya memerah oleh alkohol. Bau arak bahkan sampai tercium ke arahku. Aku mengerutkan dahi dengan jengkel, lalu menyebut namanya.
“Apa maksudmu dengan ini... Jack!”
Nama pria itu adalah Jack. Secara resmi, dia adalah seorang petualang dari pihak Kerajaan. Peringkatnya SS. Salah satu dari hanya lima petualang peringkat SS yang ada di seluruh benua.
Gelar yang melekat padanya adalah Dewa Busur Pengembara. Penembak jitu terkuat di daratan ini, pengguna busur sihir yang mampu menembak dari tempat yang tak seorang pun bisa melihatnya.
“Kamu tak bisa melihatnya? Ini cuma pekerjaan, pesanan.”
“Pesanan? Dari siapa?”
“Mana aku tahu. Aku juga nggak peduli. Serahkan saja orang itu padaku. Aku kehabisan uang buat minum, dan hadiah buronannya lumayan besar.”
Petualang peringkat SS semuanya memang bermasalah. Tapi di antara mereka, Jack adalah salah satu yang paling tak beres. Dia hidup untuk minum, jarang menerima permintaan resmi, dan hanya muncul ketika dompetnya kosong. Dia tiba-tiba muncul dan menerima permintaan. Kadang dia bahkan merebut pekerjaan orang lain begitu saja. Tak heran kalau banyak petualang membencinya.
“Dia itu target yang sedang aku buru.”
“Dan aku yang menembaknya lebih dulu. Selesai, bukan?”
“Sepertinya kamu tak tahu arti kata aturan. Ini masih wilayah Kekaisaran.”
“Terus kenapa? Kamu juga sering bertindak di luar negeri, kan? Misalnya waktu keributan Leviathan di Kadipaten. Apa bedanya?”
“Jangan samakan aku denganmu, aku tidak pernah berulah di wilayah petualang lain.”
“Ah, ribet banget. Itu cuma peraturan yang dibuat-buat guild.”
Jack menguap, sama sekali tidak tampak peduli. Secara teknis, soal petualang Kekaisaran atau Kerajaan, itu adalah keputusan dari pihak Guild. Istilah itu muncul karena seorang petualang menjadikan tempat tersebut sebagai markasnya, sekaligus juga merupakan klaim teritori. Para petualang lain mungkin tidak terlalu memedulikannya, tapi tidak bagi petualang peringkat SS. Karena mereka terlalu kuat, bahkan bentrokan kecil saja bisa berakibat serius. Karena itulah penentuan afiliasi ini perlu dilakukan.
Hanya satu orang yang dikecualikan dari aturan itu, Kakek Egor. Dia tak peduli soal reputasi dan dihormati oleh semua peringkat SS lainnya.
“Disadari atau tidak, kamu sedang dimanfaatkan. Orang ini adalah kriminal yang berencana membuat kekacauan di upacara peringatan Kekaisaran. Mereka menyuruhmu membungkamnya.”
“Sudah kubilang, aku nggak peduli.”
Keheningan singkat. Pada saat yang sama, kami bergerak.
Jack menembakkan panah sihir yang langsung mengarah ke Ian yang sedang kurawat. Aku menangkisnya dengan bola cahaya.
Dia berkerut sedikit, lalu melepaskan serangan berikutnya, kali ini ke arahku, bertubi-tubi.
Puluhan panah sihir beterbangan di udara. Aku pun membalas dengan puluhan peluru sihir bercahaya. Panah dan sihir bertabrakan di antara kami, menimbulkan ledakan bertubi-tubi yang mengguncang udara.
Pertarungan teknik kecil seperti ini tidak akan berakhir. Lawanku adalah petualang peringkat SS sepertiku, setiap panahnya memiliki kekuatan yang sebanding dengan satu mantraku.
Tanpa bicara, kami sama-sama mundur. Aku naik ke udara, sementara Jack melompat ke belakang sejauh puluhan meter.
“Ini peringatan terakhir, Silver. Serahkan orang itu.”
“Tidak bisa. Dia pasti tahu sesuatu yang penting.”
“Hmph. Kenapa kamu sekeras itu?”
“Sudah kubilang, dia anggota organisasi kriminal. Mereka berencana melakukan sesuatu di wilayah Kekaisaran, dan informasi darinya bisa menyelamatkan banyak nyawa.”
“Dan itu urusanmu? Itu tanggung jawab orang Kekaisaran, bukan?”
“Kekaisaran adalah wilayahku. Kamu kira aku akan membiarkan organisasi kriminal berkeliaran sesukanya?”
“Tugas kita membunuh, bukan mencegah. Kalau mereka bikin masalah, baru kita habisi. Tapi kamu bicara soal pengorbanan, soal informasi? Hah! Simpan saja idealismemu untuk orang lain.”
“Sepertinya kita memang tak akan pernah sepakat.”
“Kelihatannya begitu. Dan biar kukatakan terus terang, aku benci padamu, Silver.”
“Kebetulan aku juga.”
Kami berdua memancarkan niat membunuh yang mencekam. Lawanku bukan orang sembarangan, kalau aku tidak serius, hasilnya bukan sekadar luka.
Jack bergerak lebih dulu. Dalam sekejap, dia menarik busurnya dan melepaskan tiga anak panah. Namun itu bukan panah biasa, melainkan panah sihir yang dilesatkan oleh penembak terkuat di benua ini. Jumlahnya sedikit, tapi kekuatannya jelas jauh melampaui yang sebelumnya.
Aku menyambutnya dengan sembilan tombak sihir. Tiga tombak untuk setiap panah. Sihir dan panah bertabrakan di udara, meledak keras. Namun pusat ledakannya lebih dekat ke arahku, artinya kekuatan Jack lebih besar dari yang kuduga.
“Sialan, penyihir keparat... Jangan seenaknya pakai sihir sebesar itu tanpa mantra.”
“Sihir sebesar ini? Jangan bercanda. Ini bahkan belum pantas disebut sihir besar.”
Sambil menjawab, aku membentuk penghalang dan menjebak Jack di dalamnya. Dalam sekejap, gerakannya terhenti. Aku segera memperkuat penghalang itu dan menekannya dari segala arah.
Seorang pemanah yang tak bisa menarik busur adalah sasaran empuk, itu hal dasar. Tapi...
“Jangan remehkan aku!”
Dengan teriakan itu, Jack menendang dan menghancurkan penghalangku.
Di seluruh benua ini, berapa banyak orang yang bisa melakukannya? Memecahkan penghalangku tanpa gerakan awal sekalipun. Dan itu semua, dari seorang pemanah. Bukan seorang ahli pedang, bukan pula ahli tinju.
Para petualang peringkat SS adalah kumpulan orang-orang di luar nalar. Aku yang bisa melepaskan sihir dahsyat tanpa mantra pun termasuk penyihir anomali. Sudah pasti, Jack juga sama. Dia bisa menghancurkan penghalangku tanpa menggunakan busur sekali pun. Semua logika umum tentang pemanah tidak berlaku untuknya.
Aku menarik napas panjang, mengingat kembali siapa yang sedang kuhadapi.
Sementara itu, Jack mulai melakukan gerakan menarik busur dengan kuat. Meski tanpa anak panah, energi sihir berangsur terkumpul dan membentuk sebuah panah raksasa. Dia tampaknya sudah bosan dengan pertarungan setengah hati.
Menghadapi itu, aku pun mengumpulkan kekuatan sihir dan memulai mantra. Aku menerima tantangannya.
“Akulah yang memahami hukum perak,
“Akulah yang terpilih oleh perak sejati.
“Petir perak yang muncul dari langit,
“Melesat membakar Bumi hingga musnah.
“Panas dari petir perak adalah lambang kekuasaan ilahi,
“Gemuruhnya adalah gema firman ilahi.
“Petir pemusnah dari langit terang,
“Kilat tajam dari langit kelam.
“Wahai petir perak, bergemuruhlah di tanganku,
“Dan tunjukkanlah kehendak langit perak...
“Silvery Lightning!”
Petir perak yang bertubrukan dengan napas Kura-Kura Roh. Sebuah sihir yang terlalu berlebihan jika digunakan pada manusia, tapi tidak ada pilihan lain bila lawannya adalah Jack. Para petualang peringkat SS berada di luar batas kemanusiaan. Secara hakikat, mereka lebih mirip iblis daripada manusia.
Dan pasti di sisi sana, dia pun berpikir hal yang sama.
Begitu aku melepaskan petir perak, Jack pun melepaskan panah cahaya raksasa pada saat yang sama.
Serangan kami berbenturan di udara, dan gelombang kejut yang tercipta menghancurkan segala sesuatu di sekitarnya. Jika Ian tidak dilindungi oleh penghalang, dia pasti sudah mati karena dampaknya.
Kekuatan kami seimbang. Pertempuran terus berlanjut, saling menyerang dan bertahan tanpa ada yang unggul, hingga akhirnya kedua serangan itu saling meniadakan dan lenyap di udara.
Pemandangan di sekitar yang telah berubah total menunjukkan betapa dahsyatnya benturan tadi. Seolah seekor naga mengamuk di tempat itu. Untung saja tidak ada manusia yang tinggal di dekat sini.
“Cih... Mabukku langsung hilang. Sudah, sudah.”
Jack melambaikan tangannya dengan santai, lalu berbalik pergi. Sambil tetap waspada, aku turun ke tanah untuk memeriksa kondisi Ian. Tampaknya dia berhasil bertahan hidup, tapi entah berapa lama lagi sampai dia bisa berbicara kembali...
“Silver, ada satu hal yang ingin kukatakan.”
“Apa itu?”
“Aku tahu kamu peduli pada Kekaisaran, tapi jangan terlalu ikut campur. Bagi petualang peringkat SS, terlibat dalam urusan politik itu pantangan. Keseimbangan bisa goyah.”
“Aku tahu tanpa kamu mengatakannya.”
“Kalau begitu bagus. Karena kalau guild menilaimu tak lagi layak sebagai peringkat SS, maka petualang SS lain akan dikirim untuk menyingkirkanmu. Aku tidak mau repot-repot dengan urusan semacam itu.”
Setelah mengatakan itu, Jack pun pergi meninggalkan tempat itu.
Alasan kenapa petualang peringkat SS tidak boleh ikut campur dalam politik adalah karena keterlibatan mereka bisa mengacaukan keseimbangan kekuasaan dalam suatu negara. Seorang petualang SS memiliki kekuatan luar biasa, dan pengaruh politik yang tak kalah besar. Bila mereka terlalu berpihak pada satu pihak, keseimbangan antarnegara pun bisa terguncang. Pada akhirnya, itu dapat mengacaukan keseimbangan seluruh benua.
Untuk mencegah hal itu, guild akan menganggap siapa pun yang tak lagi pantas sebagai ancaman, dan memutuskan untuk menyingkirkannya. Yang akan turun tangan biasanya adalah petualang SS seperti Jack.
Belum pernah ada petualang SS yang sekaligus seorang pangeran. Jika aku mengungkapkan identitasku, mungkin akan timbul kekacauan, tapi bukan berarti mereka akan mencoba menyingkirkanku. Meski begitu, status itu adalah pedang bermata dua, kartu truf sekaligus titik lemah. Dengan perebutan takhta yang sudah sejauh ini, waktu pengungkapan itu bisa menentukan nasib Leo, dia bisa saja kehilangan segalanya.
Jika aku tak bisa mengungkapkan jati diriku dan dianggap terlalu berpihak, maka hukuman pasti akan dijatuhkan.
“Benar-benar merepotkan...”
Menghadapi orang-orang seperti mereka, bahkan aku pun harus berjuang keras. Mereka bukan lawan yang bisa dikalahkan dengan mudah.
Sambil kembali menyadari betapa rumitnya terlibat dalam urusan politik sebagai petualang peringkat SS, aku pun berpindah ke ibu kota Kekaisaran.
Bagian 7
“Sudahkah kamu mendapat informasi?”
Sekembalinya aku dari markas Grimoire, aku bertanya kepada Sebas yang tengah merapikan berkas-berkas yang tersisa di sana.
Tanpa menunjukkan sedikit pun rasa terkejut atas kehadiranku, Sebas menyerahkan beberapa dokumen padaku. Aku membacanya sekilas, lalu tak bisa menahan diri untuk menghela napas panjang.
“Haa...”
“Apa yang di samping itu sudah mau membuka mulutnya?”
Pandangan Sebas beralih pada Ian yang terbaring di tempat tidur di sebelahku. Dari situasinya, dia pasti sudah bisa menebak ada sesuatu yang terjadi.
“Tidak, aku tadi diganggu. Untuk sementara, dia tidak akan berguna.”
“Baiklah. Kalau begitu, apa yang hendak Anda lakukan?”
Dia tidak bertanya lebih jauh. Bukan karena tidak ingin tahu, tapi karena saat ini bukan waktunya membicarakan detail.
Untung saja, berkas-berkas yang ada di tangan kami sudah cukup memberikan banyak informasi. Dengan ini, masih ada langkah yang bisa diambil.
“Tempat ini kuserahkan padamu.”
“Baik.”
Menyerahkan sisa urusan kepada Sebas, aku pun berpindah menuju istana.
* * *
Di tengah hiruk-pikuk istana saat upacara, banyak orang menatap ke arahku dengan wajah terkejut, namun aku tak peduli dan terus naik ke atas.
Tujuanku adalah lantai paling atas, ruang takhta. Setiap naik satu lantai, aku melewati bangsawan tinggi dan para menteri.
Setiap kali tampak wajahku, semua orang panik. Mereka bingung ingin berbuat apa, namun tak ada yang berani mengikutiku. Mereka tentu bisa menebak tujuanku, dan tak ada orang nekat yang mau menjadi perantara antara petualang SS dan Kaisar.
Akhirnya aku tiba di ruang takhta. Kepada para kesatria pengawal yang mendampingiku, aku menunjukkan kartu petualang, lalu membuka pintu. Di dalam ruang takhta sudah ada beberapa tamu sebelumnya.
“Silver, ya? Sepertinya kamu bukan datang untuk memberi ucapan selamat, bukan?”
Ayahanda menatapku lalu menghela napas. Berbeda dengan Ayahanda, yang menunjukkan amarah secara terbuka adalah Gordon, yang datang untuk memberi salam bersama Pangeran William.
“Silver! Ini sungguh tidak sopan!”
“Memang tidak sopan.”
Kata-kata Gordon disambut oleh Eric.
Di sebelah mereka ada tokoh penting dari Kekaisaran Suci, seorang pangeran yang menduduki jabatan menteri di negeri itu. Bagi Eric yang menjabat sebagai Menteri Luar Negeri, orang ini adalah rekan negosiasi. Namun Eric memperhatikan kami dengan tenang, mencoba memahami maksudku, posisinya sedikit menahan diri dibandingkan Gordon yang marah.
Sekilas aku melirik ke samping Gordon. Di sana berdiri Pangeran William, yang disebut Pangeran Naga. Dia tidak terganggu oleh kehadiranku dan mengamati dengan cermat. Layak diapresiasi.
Dua pangeran dan para pejabat itu, aku mengabaikan semua tamu tadi tanpa ragu.
“Aku perlu bicara. Tolong usir semua orang.”
“Oh? Pembicaraan rahasia yang tak bisa didengar para pangeran?”
“Iya. Sayangnya, aku tidak percaya pada putra-putramu.”
“Hmm... Kalian berdua, mundurlah. Pangeran William, Menteri Martin. Maaf mengganggu saat berpamitan. Bisa datang lagi nanti?”
“Ayahanda! Ayahanda lebih peduli pada petualang dari pada para pejabat!?”
Gordon meledak dengan kemarahan, namun reaksi Ayahanda dingin saja.
“Aku sudah bilang. Silakan keluar dari sini.”
“Ugh...”
Ditegaskan tanpa ampun, Gordon tak punya pilihan selain diam.
Eric dan para pejabat tak membantah; mereka membungkuk dan mundur dengan tenang. Dia memang lebih dewasa daripada Gordon.
Setelah keempat orang itu pergi, tinggal hanya Ayahanda, aku, dan Franz yang menunggu di samping Ayahanda di ruang takhta.
“Apa Franz harus kuusir juga?”
“Tidak perlu. Biarkan Kanselir melihat ini.”
Kucabut beberapa dokumen yang kubawa dari markas Grimoire dan menyerahkannya pada Franz.
“Apa ini...?”
“Aku diminta oleh Pangeran untuk menumpas markas organisasi kriminal yang merepotkan. Mengetahui ada basis organisasi kriminal di bawah ibu kota bukanlah kabar yang menyenangkan, jadi kami menerimanya, namun kelihatannya masalahnya lebih rumit dari perkiraan.”
“Oh. Jadi Grimoire yang disebut Arnold memang aktif di ibu kota... Pasti cukup merepotkan.”
“Benar-benar merepotkan. Kalau mau melakukan penyelidikan, seharusnya ada sumber daya yang lebih. Pangeran itu belakangan selalu membawa masalah rumit kepadaku terlebih dahulu.”
Kata-kataku membuat Ayahanda tersenyum getir. Franz menerima dokumen, kemudian membacanya, dan perlahan ekspresinya berubah tegang.
“Eksperimen sihir dengan memanfaatkan Santa...?”
“Itu rencana mereka.”
Benar, yang kubawa dari markas itu hanyalah berkas-berkas tentang bagaimana “memanfaatkan Santa”. Semuanya berisi penelitian gila untuk mendapatkan sesuatu yang belum mereka miliki. Itu sangat tidak wajar.
“Pengamanan Santa sangat ketat. Meski begitu, mereka bukan merencanakan penculikan biasa, melainkan rencana yang lebih jauh. Kukira kalian pasti paham maksudnya.”
Pengamanan sekuat apa pun tak berarti apa-apa bagi mereka; mereka tampaknya sudah menyiapkan cara untuk mendapatkannya. Mereka menargetkan Leticia yang dilindungi oleh kesatria penjaga.
Leticia sendiri adalah pengguna Tongkat Suci. Dengan kekuatan setinggi itu, dia tak mungkin bisa ditangkap oleh pasukan biasa.
Dan mereka tak menunjukkan persiapan untuk itu. Jika akan menculik Santa, harusnya ada rencana besar, maka akan ada celah. Namun celah itu tak terlihat.
Artinya, bukan Grimoire yang akan menangkap Santa.
“Grimoire adalah peneliti yang mencari misteri terdalam dari sihir. Wajar jika mereka menginginkan Santa. Jika di markas mereka hanya ada rencana seperti ini, berarti ada orang yang bekerja sama dengan mereka, dan si kolaborator itulah yang bertugas menculik Santa. Kita belum bisa mengidentifikasi si kolaborator itu. Jadi kamu menduga ini berbahaya, bukan begitu, Silver?”
“Tepat sekali. Kita harus segera mengirim Santa pulang ke Kerajaan.”
“Kamu terlalu memihak, ya? Ini masalah politik, kamu tahu itu?”
“Nyawa orang-orang sedang dipertaruhkan.”
“Baiklah... Biar aku beritahu. Sang Santa tidak akan kembali ke Kerajaan. Dia bisa menikmati upacara dan festival seperti yang direncanakan, kemudian pulang seperti yang direncanakan.”
“...Jika ada sesuatu yang terjadi padanya, semuanya terlambat, kamu tahu itu kan!?”
Ayahanda mengangguk dalam-dalam pada ucapanku.
Tak mungkin dia tak mengerti. Kalau Santa diculik di negeri kita, apa yang akan terjadi?
Lebih baik dia dibunuh saja. Jika tubuhnya jatuh ke tangan Grimoire, yang menderita adalah Kekaisaran, dari dalam oleh Grimoire, dari luar oleh Kerajaan yang marah. Itu skenario yang terburuk.
“Ada satu hal yang ingin kudengar. Keberadaan hanya berkas-berkas itu di markas, mungkin karena sisanya telah dibersihkan, bukan?”
“Kami tak menemukan jejak seperti itu. Bahkan jika benar, apa yang berubah? Fakta bahwa Grimoire mengincar Santa tak berubah, dan cara mereka mendapatkannya masih tak kita ketahui. Karena berbahaya, kita bisa mengirimnya pulang ke Kerajaan. Apa salahnya itu?”
“Tapi kamu yang menghancurkan markas mereka, bukan? Bukannya itu sangat mengurangi bahaya?”
“...Apa kamu ingin Santa mati? Apa kamu berharap perang dengan Kerajaan?”
“Silver. Paduka Kaisar memiliki opsi yang terbatas.”
Franz menyela dengan wajah kusut.
“Apa maksudmu?”
“Kerajaan memang ingin berperang dengan Kekaisaran. Upacara ini juga dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa Kekaisaran masih kuat setelah kehilangan pewaris takhta dan serangkaian insiden yang melemahkan. Jika kita mengirim Santa pulang dengan alasan berbahaya, Kerajaan akan semakin yakin akan kelemahan Kekaisaran.”
“Jika begitu, Kerajaan akan menyerang. Persatuan Kerajaan dan Negara Bagian pun akan ikut bergerak. Karena itu kita tak boleh menunjukkan tanda-tanda untuk ragu.”
“Kita tak sedang berfokus pada kehormatan belaka. Jika Santa diculik di dalam Kekaisaran, hal yang sama bisa terjadi, kan?”
“Tapi... Kalau Santa kembali ke Kerajaan, Kerajaan akan sangat melemah. Di sana ada faksi pro-Kekaisaran dan anti-Kekaisaran, dan Santa berada di kubu pro-Kekaisaran. Jika dia diculik, pro-Kekaisaran akan menuduh anti-Kekaisaran sebagai dalangnya. Jika persatuan mereka pecah, celah untuk dimanfaatkan akan bermunculan.”
“Jadi kalau memang akan berperang, Kerajaan yang tanpa Santa lebih mudah ditaklukkan...? Padahal jika kita bertindak sekarang, ada nyawa yang bisa diselamatkan!”
“Kalau dikembalikan ke Kerajaan, nyawa Santa takkan bertahan lama. Anti-Kekaisaran kini dominan. Dia pada akhirnya akan dibunuh. Dia sendiri pernah mengatakannya padaku, dia berharap perdamaian dengan Kekaisaran tapi merasa tak berdaya. Para pendukungnya di Kerajaan pun memahami situasi ini. Mereka tak akan bertindak bodoh karena marah. Kerajaan takkan lagi bersatu.”
Mata Ayahanda mengatakan, bila tak lagi bersatu, mereka mudah dipecah-belah.
Kupiting bibir menahan amarah. Aku paham apa yang dikatakannya. Namun jika menerimanya, Leo pasti akan terluka. Itu tak bisa kulupakan.
“Silver. Posisi kita berbeda. Jika kamu menyelamatkannya karena bisa diselamatkan, dia kemungkinan akan dibunuh atau dijadikan alat perang. Yang paling buruk bagi Kekaisaran adalah yang terakhir. Bagi Santa, seluruh hidupnya adalah Kerajaan. Jika saatnya tiba dia memilih melawan Kekaisaran demi Kerajaan—kalau dia rela melakukan itu demi Kerajaan—maka yang akan menumpahkan nyawa adalah prajurit negeri kita. Aku adalah Kaisar. Aku harus memprioritaskan Kekaisaran.”
“...Kamu berharap dia mati karena itu lebih baik bagi Kekaisaran? Itu jawabanmu?”
“Benar. Tentu kami akan melindunginya, dengan pertahanan maksimal. Sudah kuperintahkan kepada Putri Pertapa; di kamarnya telah dipasang penghalang. Selama dia tak membuka pintu itu, tak seorang pun bisa masuk. Bahkan kamu takkan mampu dalam waktu singkat.”
“Penghalang Putri Pertapa memang kuat. Aku mengakui itu. Namun tak ada pertahanan yang tak punya kelemahan.”
“Aku melakukan apa yang bisa kulakukan. Di atas itu, bila sesuatu sampai menimpa dirinya, biarlah begitu adanya. Bersama Franz, kami telah memikirkan dan bertindak untuk kemungkinan itu.”
Mendengar pemikiran yang realistis itu, aku tak bisa berkata apa-apa.
Sebab baik sebagai petualang maupun sebagai pangeran, aku tidak lagi memiliki hak untuk banyak bicara. Aku ingin menyelamatkannya demi Leo. Sebagai pangeran, aku menerima kematiannya, tapi sebagai Silver itu lain cerita.
Nyawa yang bisa diselamatkan akan kuselamatkan, itulah keyakinan Silver.
Namun ini adalah masalah tingkat nasional. Jika begitu, keputusan Kaisar bersifat mutlak.
“Baiklah... Aku mengerti pendapatmu.”
“Apa kamu kecewa?”
“Tidak... Aku memahami posisimu.”
“Begitu, ya. Itu melegakan. Kalau saja dia... Termasuk pihak Kekaisaran, tentu lain halnya.”
Benar. Sebagai pangeran aku juga sampai pada kesimpulan itu. Bagi mereka yang bernaung di Kekaisaran, mustahil untuk menolong orang dari Kerajaan. Akhirnya semuanya bermuara pada hal itu.
Kini bahkan dari posisi petualang pun aku tak bisa menyelamatkannya. Jika sampai kuabaikan keputusan negara demi menolongnya, seberapa pun aku sebagai Silver, itu pasti akan dipandang sebagai masalah. Karena ini sudah menjadi urusan politik. Dengan kata lain... Tak ada pilihan selain menggantungkan harap pada Leo.
Aku mengalah dan membalikkan kaki untuk pergi. Namun segera aku berhenti dan melontarkan pertanyaan terakhir.
“Paduka Kaisar, jika ada yang membidik Santa, tindakan itu mustahil dilakukan hanya oleh orang luar; pasti ada kolaborator di dalam istana. Apa sudah ada yang menjadi tersangka?”
“Aku telah menugaskan Franz melakukan penyelidikan.”
“...Berhati-hatilah terhadap para pangeran.”
“Pikirmu anak-anakku mengkhianati Kekaisaran? Tak mungkin. Jika seseorang meraih takhta, Kekaisaran menjadi miliknya; siapa yang mau merusak miliknya sendiri?”
“Kadang ada pula orang yang berpikir hancurkan saja daripada menjadi milik orang lain.”
“Anak-anakku tak sebodoh itu.”
Wajah Ayahanda ketika berkata demikian memperlihatkan secercah kepercayaan. Dia tampak yakin pada dasarnya mereka takkan mengkhianati Kekaisaran. Tentu itu wajar pada umumnya. Namun perebutan takhta kali ini sedikit berbeda lajunya.
Franz mungkin juga merasakan hal itu.
Di samping Ayahanda, Franz tampak termenung. Tak ada salahnya sang penguasa percaya; jika kepercayaan itu keliru, para bawahannya akan menutupinya. Lagipula Ayahanda memiliki seorang penasihat ulung.
Aku hanya akan melakukan apa yang ada dalam kemampuanku. Urusan Ayahanda biarlah kuserahkan pada Franz.
Dengan keputusan itu, aku meninggalkan ruang takhta.
Bagian 8
“Tuan Leonard! Ayo ke sini!”
Festival besar tengah berlangsung di ibu kota Kekaisaran. Di antara keramaian itu, terlihat sosok Leo dan Leticia.
Namun keduanya adalah tokoh terkenal. Mereka tak bisa begitu saja keluar tanpa penyamaran. Karena itu, pakaian yang mereka kenakan sangat berbeda dari biasanya.
Leo hanya mengenakan sepasang kacamata sederhana. Tapi, seperti benda yang pernah digunakan oleh Fine, kacamata itu memiliki efek ilusi. Berkat itu, siapa pun yang berpapasan dengannya tak akan menyadari bahwa orang itu adalah Leo sendiri.
Masalahnya justru terletak pada Leticia. Dia mengenakan pakaian pelayan dengan hiasan renda di sana-sini, dan benar-benar menjiwai peran seorang pelayan sepenuhnya.
“Um... Leti.”
“Ah, maafkan saya, Tuan.”
Itu adalah panggilan yang telah mereka sepakati sebelum keluar. Leo memanggil Leticia dengan sebutan Leti, sementara Leticia memanggil Leo dengan Tuan. Semua itu demi menjaga peran mereka sebagai majikan dan pelayan.
Merasa aneh dengan suasana itu, wajah Leo pun memerah, lalu dia berpaling. Melihat reaksi itu, Leticia terkekeh pelan, dan tawa kecil itu justru membuat rasa malu Leo semakin menjadi-jadi.
Alasan Leticia mengenakan pakaian pelayan sederhana itu adalah karena busana tersebut memiliki efek sihir ilusi. Pakaian itu sejatinya dibuat sebagai alat percobaan, untuk menyamarkan pengawal atau mengganti sosok orang penting dalam keadaan darurat. Tujuannya sepenuhnya serius, namun bagi Leo, hal ini benar-benar membuatnya tidak tenang.
Dia bahkan sudah bisa menebak siapa dalang di balik pakaian itu. Biasanya, orang penting seperti mereka disiapkan jubah berkerudung untuk penyamaran. Namun karena itu akan mencolok di tengah festival, Al telah menyiapkan kostum ini dengan niat iseng semata.
Sambil berjanji dalam hati untuk membalasnya suatu hari nanti, Leo pun melanjutkan langkahnya menikmati festival bersama Leticia.
Di tengah hiruk-pikuk perayaan, keduanya berhenti di depan sebuah panggung pertunjukan.
“Itu drama, bukan? Bisa kita menontonnya?”
“Tentu saja.”
Dengan jawaban itu, Leo menuntun Leticia menembus kerumunan orang untuk mencari posisi yang lebih baik agar dapat melihat pertunjukan dengan jelas. Dari segi keamanan, tentu tindakan itu cukup berisiko, tetapi para kesatria penjaga berada di sekitar mereka, dan mata Leo pun selalu waspada, jadi bisa dibilang situasinya cukup aman.
“Bangkitlah, semua!”
Drama yang dipentaskan bercerita tentang seorang gadis muda yang mengangkat tongkat legendaris demi menyelamatkan tanah airnya dari kehancuran. Seiring berjalannya kisah, gadis itu akhirnya dikenal sebagai sang Santa.
“Itu seperti kisah hidupmu sendiri, bukan?”
“Sedikit memalukan, ya...”
Dengan senyum malu-malu, Leticia memperhatikan tongkat yang dibawa oleh pemeran utama di atas panggung, tiruan dari Tongkat Suci yang sebenarnya.
“Replikanya dibuat dengan baik juga. Aku jarang melihatnya.”
“Memang. Aku hanya tahu bahwa itu disebut salah satu dari Empat Relik Pusaka, Tongkat Suci.”
“Bukan berarti aku sengaja menyembunyikannya. Namanya adalah Pelangi Surgawi, Iris. Kemampuannya adalah memberi warna, dan setiap warna memiliki sifat berbeda. Singkatnya, dia bekerja seperti sihir penguatan.”
“Yakin kamu menjelaskannya?”
“Secara teknis itu informasi rahasia, tapi tak ada gunanya menyembunyikannya. Lagi pula, sekalipun orang mengetahuinya, mereka takkan mampu menandingi kekuatannya. Empat Relik Pusaka memang demikian adanya. Meski begitu, dibanding Pedang Suci, tongkat ini memang sedikit kalah pamor.”
Leticia menjelaskan dengan tawa kecil di wajahnya. Di balik nada ringan itu, tersirat kebanggaan yang tak bisa disembunyikan. Fakta bahwa dia berhasil menahan gempuran sengit dari Persatuan Kerajaan menjadi dasar rasa percaya dirinya.
“Kita harus melindungi tanah air ini! Sebagai makhluk hidup, kita wajib mempertahankan tempat kita berpijak!”
Drama itu mencapai puncaknya. Sang gadis, menggenggam Tongkat Suci, memimpin pasukan menuju medan perang untuk mempertahankan negaranya. Setelah pertempuran sengit, dia akhirnya meraih kemenangan.
“...Bagaimana menurutmu?”
“Cukup menghibur. Tapi kenyataannya tak semegah itu.”
“Oh?”
“Perang melawan Kekaisaran benar-benar menguras kekuatan Kerajaan. Lalu datang invasi dari Persatuan Kerajaan. Pasukan dipenuhi para prajurit baru tanpa pengalaman, barisan tak terkendali, dan pengaruh keluarga kerajaan pun mulai melemah. Di istana, perebutan kekuasaan terjadi setiap hari, sementara para jenderal besar disingkirkan satu demi satu. Aku tak mengangkat tongkat itu untuk pergi berperang. Aku mengangkatnya agar bisa mempersatukan negeri, agar bisa pergi ke medan perang demi satu tujuan yang sama.”
“Jadi ada sisi lain dari kisah itu...”
“Medan perang bukanlah tempat yang indah. Kamu pasti tahu, Tuan... Di sana, kematian berputar tanpa henti. Namun rakyat selalu mendambakan pahlawan. Mereka tak ingin mengetahui kenyataan, dan karena itulah, drama menjadi begitu gemerlap.”
Leticia berbisik lirih, sedikit muram. Rakyat yang hanya tahu kisah yang indah sering kali salah paham. Karena kesalahpahaman itulah, Leticia kini terbelenggu dalam peran yang tidak bisa dia lepaskan.
Namun, tak ada gunanya menyingkap kebenaran pahit itu di hadapan mereka. Manusia memang cenderung menutup mata pada hal yang tak ingin mereka lihat.
“Mari kita hentikan pembicaraan seperti ini. Sekarang saatnya bersenang-senang.”
Leticia menggenggam tangan Leo dan menariknya dengan lembut. Senyum cerah di wajahnya begitu memancar, terlalu indah hingga justru membuat hati Leo terasa tenggelam.
Karena jauh di lubuk hatinya, dia tahu senyum itu suatu hari nanti akan memudar.
Bagian 9
Pada akhirnya, aku tidak berhasil menemukan satu pun petunjuk tentang pengkhianat di dalam istana.
Malam hari di hari pertama upacara, sebuah pesta besar digelar di istana. Para pejabat penting dari berbagai negara hadir, juga banyak bangsawan yang diundang. Suasana pesta itu meriah luar biasa.
“Fine! Di sana ada makanan yang sepertinya langka!”
“Nona Orihime, jangan berlari seperti itu, berbahaya.”
Orihime, mengenakan gaun hitam yang elegan, berlari tanpa memperhatikan sekitar dan hampir menabrak seseorang. Fine menegurnya lembut.
Fine mengenakan gaun biru, dan keduanya dengan pesona yang begitu mencolok, menjadi pusat perhatian di aula pesta.
Aku mengikuti mereka dari belakang sambil berpindah dari satu sisi ruangan ke sisi lain. Sebenarnya, akulah yang seharusnya bertanggung jawab untuk mendampingi Orihime malam ini. Namun sejak pagi, Fine-lah yang menemani dan melayani Orihime, membuat mereka berdua jadi akrab. Meskipun begitu, Orihime masih tampak agak kesal karena merasa diabaikan.
“Hmm! Rasanya aneh sekali! Tapi pedas juga. Arnold, aku haus.”
“Minumannya ada di sana.”
“Aku bilang aku haus.”
Orihime menatapku tajam. Tatapan itu seolah berkata, “Setelah seharian meninggalkanku, bahkan permintaan sekecil ini pun tak bisa kamu penuhi?” Tak punya pilihan lain, aku mengambil minuman buah dari meja terdekat dan menyerahkannya padanya sambil mendesah.
“Nih.”
“Umu. Bagus sekali.”
“Kamu terdengar sombong, ya.”
“Hmm? Kamu keberatan? Kalau kamu ingin mengeluh, aku juga bisa mulai mengeluh karena ditinggal seharian.”
“Bukannya kamu bermain dengan Fine sepanjang hari?”
“Umu. Fine memperlakukanku dengan sangat baik. Kami bahkan menonton festival bersama para putri elf.”
“Kalau begitu tak ada masalah, kan?”
“Bukan berarti tidak ada! Aku sedih...”
Orihime menundukkan kepala, bahunya merosot dengan ekspresi murung.
Fine menenangkannya dengan senyum lembut. Entah kenapa aku merasa bersalah. Yah, sebenarnya aku memang berjanji untuk menemaninya ke festival lagi, dan sekarang aku sudah melanggar janji itu. Aku bisa mengerti kenapa dia kesal.
“Maaf. Jangan marah lagi, ya.”
“Muu...”
“Aku akan menebusnya nanti.”
“Benarkah? Gak bohong?”
“Benar.”
“Umu! Kalau begitu aku memaafkanmu!”
Orihime tersenyum cerah, suasana hatinya berubah secepat kilat. Setidaknya aku lega dia mudah dibaikkan. Sejujurnya, aku seharusnya bersyukur karena dia hanya marah ringan meski aku benar-benar mengabaikannya seharian.
Kalau Ayahanda tahu aku meninggalkan tugas mendampingi ini, aku pasti kena marah besar. Aku memang bisa menjelaskan bahwa aku sedang menyelidiki organisasi Grimoire, tapi tetap saja itu akan merepotkan. Sekarang waktu menjadi terlalu berharga. Apa pun yang kulakukan, rasanya selalu kurang.
Sementara pesta berlangsung, aku menyuruh Sebas untuk menyelidiki bagian dalam istana. Tapi entah apa dia akan menemukan sesuatu atau tidak.
“Mungkin tidak ada...”
Aku mengedarkan pandangan. Di sisi aula, Wendy, Christa, dan Rita tampak menikmati makanan sambil tertawa bersama. Tak jauh dari sana, para menteri Kekaisaran berbicara dengan Eva dan Julio, tampaknya soal diplomasi.
Lebih dekat lagi, Eric dan Conrad sedang berbincang. Secara formal, Conrad dikenal mendukung Gordon, aku penasaran apa yang dia bicarakan dengan Eric.
Yah, Conrad itu pria yang cukup lihai. Dia santai, cerdik, dan tahu bagaimana bergaul. Kalau merasa menguntungkan, dia akan segera mendekati siapa pun, termasuk Eric.
Di sisi lain aula, Gordon dan Pangeran William tampak berbicara dengan pejabat tinggi dari Negara Bagian. Di dekat mereka, ada kakakku, Trau.
Tapi pandangan Trau justru tertuju pada Christa yang jauh di sana, seperti biasa, instingnya tajam sekali.
Meskipun begitu, kupastikan dia tetap mendengarkan percakapan di sekitarnya. Pejabat dari Negara Bagian itu tampak canggung, mungkin merasa tidak nyaman karena diawasi. Kalau ada sesuatu yang mencurigakan terjadi, Trau pasti akan mengetahuinya pertama kali. Ketika dia serius, dia adalah lawan yang sulit dihadapi.
Namun, yang paling mengkhawatirkanku bukan mereka. Aku mengalihkan pandangan ke tengah ruangan.
Di sana, berdiri Leticia dalam gaun putih murni, seolah mewujudkan kesucian itu sendiri. Gaun itu sangat cocok untuknya, memancarkan aura yang menawan dan memikat seluruh perhatian di ruangan itu.
Dia benar-benar tampak seperti pusat dari pesta ini. Siapa pun yang melihatnya pasti akan terpikat tanpa sadar. Di sisinya berdiri Leo, berpakaian rapi dan penuh wibawa. Meski berdiri di samping Leticia, pesonanya sama sekali tidak tenggelam.
Mereka tampak begitu serasi membuat para wanita menunjukkan rasa kagum.
Namun, ekspresi Leo tampak sedikit muram. Para wanita di dekatnya malah berbisik, “Hari ini Pangeran Leonard terlihat lebih memesona dari biasanya!”, tapi bagiku, itu justru tanda yang mengkhawatirkan.
Sesaat kemudian, pandangan kami bertemu. Tatapannya seolah memohon bantuan.
Aku tak bisa menolak. Meski kuharap dia bisa menanganinya sendiri.
Aku menggerakkan kepala sedikit, memberi isyarat untuk mengikutiku. Leo memahami maksudku, lalu berpamitan sebentar pada Leticia dan berjalan di belakangku. Kami menuju balkon, kebetulan, di sana tak ada siapa pun.
“Kak...”
“Wajahmu muram sekali.”
“Ya... Sedikit, mungkin.”
Leo menundukkan pandangan, suaranya pelan.
Benar-benar adik yang merepotkan, pikirku sambil menatapnya.
“Leo, sudahkah kamu menemukan jawabanmu? Bukan jawabanku, tapi jawabanmu sendiri.”
Keputusan untuk meninggalkan Leticia adalah pilihanku, keputusan sebagai seorang pangeran.
Itu pun sesuai dengan keinginan Leticia sendiri. Namun itu tetaplah keputusanku, bukan miliknya. Aku belum mendengar apa yang akan dia pilih. Karena itulah aku menanyakannya, sebab aku tahu dia masih bergulat dengan hal itu.
Dan jawaban Leo datang lebih cepat dari yang kuduga.
“Sudah ada. Aku sudah menemukan jawabanku.”
“Hm? Bukannya itu yang sedang kamu bingungkan?”
“Kalau aku bahkan tak bisa menemukan jawabanku sendiri, maka aku tak pantas menjadi kaisar. Seperti yang Kakak bilang, aku seharusnya memberinya kenangan terbaik dalam hidupnya. Karena itu, aku terus memikirkan dia, dan hanya dia. Lalu aku sadar... Betapa inginnya aku untuk dia tetap hidup.”
“Heh... Lalu apa yang akan kamu lakukan?”
“...Hanya ada satu cara untuk menyelesaikan semuanya. Membawa dia ke Kekaisaran.”
“Pengasingan? Kurasa dia tak akan mau menerimanya.”
“Aku tahu. Karena itu, aku akan memakai cara terakhir.”
“Cara terakhir?”
Aku sudah bisa menebaknya. Memang itulah jawaban yang mungkin akan dipilih Leo.
Aku sengaja tak mengatakannya sejak awal, karena aku ingin dia menyadarinya sendiri. Sebab, hal seperti ini tak akan berarti apa-apa kalau bukan datang dari dirinya sendiri.
Jika jawabannya bukan hasil dari tekad Leo sendiri, Leticia tak akan bergerak. Ini bukan soal logika, ini tentang perasaan.
“Ya. Aku... Aku ingin menjadikan Leticia sebagai istriku.”
“Oh. Bagus sekali. Kalian berdua memang cocok, kan?”
Aku mengangguk beberapa kali, puas dengan jawaban Leo.
Memang begitulah Leo, meski dilanda kebimbangan, dia selalu berhasil menemukan jalan terbaik. Bahkan jika dilihat dari sudut pandang perebutan takhta, menjadikan Leticia—yang begitu dicintai rakyat—sebagai istrinya adalah langkah yang sempurna, baik secara pribadi maupun politik.
Benar-benar adik yang bisa kubanggakan, pikirku puas. Namun tiba-tiba, Leo menunjukkan ekspresi canggung dan gelisah.
“J-Jadi begini, Kak... Aku punya masalah...”
“Hm? Masalah apa?”
“Jadi...”
“Kenapa? Kamu sakit?”
“Bukan sakit, tapi... Rasanya gugup. Sebenarnya... Aku tidak tahu bagaimana caranya melamar seseorang. Aku benar-benar bingung... Aku harus bagaimana? Apa yang harus kukatakan?”
Melihat Leo menatapku seolah memohon pertolongan, aku hanya bisa menarik napas panjang.
Seperti yang kuduga, dia memang adik yang selalu merepotkan.
Bagian 10
“Haa... Capek juga.”
“U-Uh ya, begitulah...”
Malam hari. Leticia dan Leo telah meninggalkan aula pesta dan berjalan di luar istana.
Leticia tampak berjalan dengan riang, sementara Leo sama sekali tidak bisa menikmati suasana itu.
Di balkon tadi, Leo telah mengaku pada Al bahwa dia tidak tahu bagaimana cara melamar seseorang. Tapi jawaban yang dia dapat hanyalah, “Aku juga tidak tahu.”
“Yah, mungkin Kakak belum pernah punya pengalaman juga sih...”
Leo menghela napas panjang. Bagaimana bisa, di tengah krisis seumur hidupnya, satu-satunya orang yang selalu dia andalkan justru berkata tidak tahu?
Sejak kecil, Al adalah tempat Leo berkeluh kesah. Setiap kali ada masalah, dia akan berkonsultasi padanya. Dan setiap kali itu pula, Al selalu memberi jawaban yang bijak dan berguna.
Berbeda dengan orang dewasa lain di sekitarnya, Al selalu melihat segala hal dari sudut pandang yang unik dan selalu tahu apa yang benar-benar dibutuhkan saat itu. Karena itulah Leo tumbuh dengan mengandalkan Al.
Namun kali ini, Al tidak menjawab. Bukan karena dia tak tahu jawabannya, melainkan karena dia sengaja tidak menjawab. Dia ingin Leo memikirkan jawabannya sendiri.
Padahal Leo sudah memikirkannya, dan tetap tidak tahu harus bagaimana. Di akhir percakapan, Al memang memberi semacam nasihat, tapi terlalu samar untuk dijadikan panduan. Leo sebenarnya menginginkan nasihat yang jelas dan praktis. Merasa sedikit ditinggalkan, dia pun mengikuti Leticia yang melangkah di depan.
Mereka akhirnya tiba di kandang para griffon.
“Hehe... Bagaimana kabarmu, Blanc?”
Leticia berbicara lembut sambil mengelus kepala seekor griffon putih besar, hewan tunggangannya sendiri.
Dari belakang, seekor griffon hitam yang lebih besar maju ke depan, mendesak agar ikut dielus.
“Oke, oke. Noir juga sehat, ya?”
“Um... Leticia.”
“Ya? Ada apa?”
“Itu, griffon yang kamu tunggangi biasanya griffon putih itu, bukan? Lalu, kenapa kamu bawa yang hitam juga?”
“Dia bukan aku yang bawa, tapi dia yang ikut sendiri.”
Sambil mengelus kepala griffon hitam bernama Noir, Leticia tersenyum kecil, seolah tak tahu harus tertawa atau mengeluh.
Leo mengerutkan alis dengan ekspresi bingung.
Griffon adalah makhluk mistis yang hidup di Kerajaan Perlan. Selama manusia tidak menyerang lebih dulu, mereka tidak akan menyerang balik—karena itu, mereka tidak dianggap monster, melainkan hewan langka dan mulia. Mereka cerdas, gagah, dan sangat berharga. Karena kesombongan dan harga diri mereka yang tinggi, griffon jarang sekali mengakui manusia sebagai penunggangnya. Itulah sebabnya jumlah Kesatria Griffon sangat sedikit.
Apa maksudnya seekor griffon berkehendak untuk mengikutinya?
“Griffon pertama yang mengizinkanku menungganginya adalah induk dari dua anak ini. Tapi induknya sakit dan meninggal. Setelah itu… Aku menjadi semacam ibu pengganti bagi mereka. Mungkin karena itu, keduanya sangat terikat padaku, terutama Noir. Dia tak mau menerima siapa pun selain aku, dan selalu mengikutiku ke mana pun aku pergi.”
“Ibu pengganti, ya...”
“Noir punya sifat yang lebih keras. Karena itu, sebenarnya aku tidak ingin membawanya ke luar negeri. Aku sudah meninggalkannya di rumah, tapi rupanya dia kabur dan menyusulku diam-diam.”
“Begitu... Sepertinya kalian benar-benar dekat.”
“Ya. Di mana pun aku berada, dia selalu bisa menemukanku. Di depanku dia sangat penurut, meskipun...”
Leticia mengelus dagu Noir, dan binatang itu mendengkur lembut, tampak menikmati belaian itu.
Dari luar, dia memang terlihat jinak. Tapi Leo sama sekali tidak berani menyentuhnya. Tatapan yang dilemparkan Noir padanya jelas bukan tatapan bersahabat, lebih mirip tatapan seekor predator pada calon mangsanya.
Di tempat seperti ini, dia jelas tidak bisa melamarnya. Jika dia nekat, kemungkinan besar dia akan tewas digigit makhluk itu. Membayangkan itu saja sudah membuatnya ngeri.
“U-Um, Leticia. Uh... Kamu mau tidak melihat pemandangan indah?”
“Pemandangan indah?”
“Ya, ada tempat di mana kita bisa melihat seluruh ibu kota dari atas...”
Baru saja dia mengatakannya, Leo menyadari kesalahannya sendiri.
Leticia yang biasa terbang di langit di atas punggung griffon pasti sudah kenyang melihat pemandangan indah.
Meskipun tempat itu menawarkan panorama terbaik dari istana, akankah Leticia benar-benar terkesan oleh hal seperti itu?
Leo memegangi kepalanya di tengah kalimatnya sendiri. Melihat itu, Leticia terkekeh pelan.
“Pemandangan indah memang menarik, tapi ada tempat lain yang lebih ingin aku datangi. Maukah kamu menemaniku ke sana?”
“T-Tentu saja! Dengan senang hati!”
“Kalau begitu, ayo pergi!”
Sambil berkata begitu, Leticia menggenggam tangan Leo dan mulai berlari, menariknya bersamanya.
* * *
“Wah! Jadi memang benar ada ruangan rahasia di sini!”
Dengan wajah berbinar dan suara yang dipenuhi semangat, Leticia berseru kagum. Mereka kini berada di sebuah ruang tersembunyi di dalam istana, sebuah ruangan rahasia yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang.
Ruangan itu berada di balik salah satu ruangan di lantai bawah istana, dan pintu masuknya hanya akan muncul bila seseorang menekan tombol rahasia di belakang potret para kaisar terdahulu, hampir mustahil bagi siapa pun menemukannya secara kebetulan.
“Jadi, ini tempat yang ingin kamu datangi?”
“Benar. Kamu masih ingat? Lima tahun lalu, saat aku sedang berbicara dengan Nyonya Mitsuba, kamu dan Pangeran Arnold pernah berkata ingin mencari ruangan tersembunyi di dalam istana.”
“Oh, jadi waktu itu ya”
Sekitar lima tahun yang lalu, Al dan Leo memang sempat terobsesi dengan permainan mencari ruangan rahasia di dalam istana.
Istana Pedang Kaisar, tempat mereka tinggal, telah berkali-kali direnovasi oleh para kaisar di setiap generasinya. Akibatnya, banyak lorong rahasia dan kamar tersembunyi yang bahkan tak diketahui oleh kaisar sendiri. Mencari tempat-tempat itu bagaikan petualangan kecil yang membangkitkan jiwa muda mereka.
“Setelah mendengar kalian berbicara, aku juga ingin ikut mencarinya. Tapi karena posisiku, aku tidak bisa mengatakannya. Sejak itu aku selalu penasaran.”
Sambil berkata begitu, Leticia mulai berkeliling ruangan rahasia itu.
Ruangannya cukup luas, dihiasi furnitur sederhana tapi mahal, dan di tengahnya terletak sebuah ranjang besar.
“Menurut penyelidikan Kakak, ruangan ini dibuat oleh kaisar lima generasi lalu. Sepertinya digunakan untuk bertemu dengan kekasih rahasianya.”
“Kalau begitu, bukannya kaisar bisa saja menjadikannya selir?”
“Detail pastinya tidak kami temukan. Saat Kakak meneliti di perpustakaan, dia menemukan surat tulisan tangan kaisar itu sendiri. Dari isi suratnya, tampaknya itu ditujukan kepada sang kekasih.”
“Dan apa isi surat itu?”
“Pendek saja. ‘Kepada kekasih yang tak mungkin kunikahi, kutunggu kamu di ruangan rahasia.’ Kaisar dari lima generasi yang lalu itu terkenal sebagai penguasa yang tidak pernah mengambil selir seumur hidupnya, jadi aku cukup terkejut saat tahu hal itu.”
“Bukan sesuatu yang patut dipuji... Tapi juga terasa indah. Dia tetap ingin bertemu orang yang dicintainya, sampai membuat ruangan seperti ini.”
“Mungkin... Jika segalanya diizinkan, dia pasti ingin menikahinya. Tapi dia memilih hidup sebagai kaisar, demi Kekaisaran.”
Sebagai kaisar, pilihan itu memang patut dihormati. Dengan tidak mengambil selir, dia mempererat ikatan dengan keluarga permaisuri, hal yang mungkin sangat penting bagi stabilitas Kekaisaran kala itu.
Namun, di balik itu, pasti ada cinta yang tak bisa dilepaskan. Karena itulah ruangan ini tercipta.
Bahkan seorang kaisar tetaplah manusia.
“Entah kenapa aku merasa sedih mendengarnya...”
“Ya...”
Begitulah perasaan Leo saat mendengar kisah itu dulu. Tapi Al berpikir sebaliknya. Dia justru menertawakan kaisar itu, menyebutnya bodoh.
“Kakak bilang, surat itu diselipkan di dalam buku sebagai bentuk pendekatan dari sang kekasih.”
“Pendekatan?”
“Ya. Surat rahasia dari kaisar seharusnya langsung dimusnahkan. Tapi perempuan itu malah menyimpannya di dalam buku. Kakak bilang, mungkin perempuan itu berharap hubungannya dengan kaisar akan terbongkar.”
“Cerita ini justru jadi terasa kelam, ya...”
Leticia menatapnya dengan wajah rumit, dan Leo pun mengingat ekspresinya sendiri dulu yang sama.
Menurut Al, kekasih itu mungkin berharap saat rahasia mereka terbongkar, sang kaisar akan mengambil tanggung jawab dengan menjadikannya selir.
Tapi hubungan mereka akhirnya tetap tersembunyi. Al menilai kaisar itu sebagai orang bodoh yang tak layak disebut penguasa.
“Bagaimana bisa seseorang yang gagal melindungi orang yang dicintainya, berharap dapat melindungi Kekaisaran?”
“Itu kata Pangeran Arnold?”
“Ya. Kakak benar-benar mencerca kaisar itu. Dulu aku merasa dia terlalu berlebihan, tapi sekarang aku mengerti. Kaisar itu memang bodoh.”
Kaisar memang harus mengutamakan Kekaisaran, itu sudah sepatutnya.
Tapi kaisar juga manusia. Sehebat apa pun seseorang, ada kalanya dia akan jatuh.
Karena itu, mereka juga butuh seseorang di sisinya. Dan melindungi orang yang menopangnya adalah bagian dari tanggung jawabnya juga. Tak diketahui siapa sebenarnya kekasih itu, mungkin seseorang dari negara lain, atau wanita dengan status yang rumit.
Tapi justru karena itulah seorang kaisar seharusnya punya keberanian untuk mengatasinya. Jika cinta telah tumbuh, semestinya dia mampu menunjukkan keberanian untuk menjadikannya selir. Bertemu diam-diam seperti ini hanyalah sikap pengecut.
Seberapa beratnya nilai cinta yang hanya berbisik di ruangan tersembunyi?
Leo mengangkat wajahnya perlahan dan menatap Leticia dengan sungguh-sungguh.
“Leticia. Ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu. Maukah kamu mendengarkannya?”
“Eh? Apa itu? Kenapa mendadak sekali?”
Leo menarik napas dalam.
Jika kaisar dari lima generasi yang lalu itu bodoh, maka dirinya sekarang bahkan lebih bodoh dari itu, pikirnya. Setidaknya kaisar itu pernah menyatakan cintanya, meski hanya di tempat tersembunyi. Sementara dirinya, masih memenjarakan perasaan itu di dalam dada.
Seberapa beratnya nilai cinta yang hanya dipendam dalam hati?
Mungkin ada cinta yang justru bersinar karena tak diucapkan. Tapi miliknya bukan cinta seperti itu.
Cinta ini harus disampaikan dengan kata-kata. Leo teringat percakapannya dengan Al.
“K-Kakak bilang tidak tahu? Jahat banget...”
“Itu urusanmu sendiri. Jangan tanya padaku.”
“T-Tapi... Bagaimana kalau dia menolak? Kalau begitu semua akan sia-sia... Aku tak bisa menyelamatkannya, hubungan dua negara pun bisa hancur... Aku takut... Kalau aku pertaruhkan segalanya dan gagal...”
Karena posisinya, beban yang harus dia tanggung jauh lebih besar dari orang biasa. Ini bukan sekadar lamaran antara dua orang rakyat jelata. Tapi Al, dengan nada datar seperti biasa, hanya menjawab, “Jangan berisik. Ucapkan dulu, baru pikirkan sisanya. Kalau kamu hancur, aku yang akan memungut serpihannya.”
“K-Kakak bilang begitu karena tidak mengalaminya sendiri...”
“Kita memang kembar, tapi dalam hal ini, ini urusanmu sendiri. Wajar, bukan? Karena orang yang akan berdiri di sisimu seumur hidup adalah dia, bukan aku.”
“Kakak...”
“Meski begitu, kalau kamu gagal total, itu akan merepotkanku juga. Jadi kuberikan satu saran saja.”
Itulah kata-kata terakhir yang Al tinggalkan padanya, nasihat yang kini dia genggam erat dalam hatinya.
Dan dengan napas yang dalam dan mantap, Leo akhirnya mengucapkannya.
“Leticia. Maukah kamu menjadi istriku?”
Hanya untuk mengucapkan satu kalimat itu saja, Leo harus mengumpulkan keberanian yang belum pernah dia keluarkan seumur hidupnya. Menantang iblis pun terasa jauh lebih mudah, pikirnya sambil menggenggam erat tangannya yang gemetar.
Dia diliputi ketakutan. Jika ditolak, terlalu banyak yang akan hilang darinya.
Namun tidak mengucapkannya justru berarti kehilangan lebih banyak lagi. Melangkah maju dalam hubungan manusia berarti meninggalkan bentuk hubungan yang lama. Semakin besar langkah yang diambil, semakin besar pula yang harus dikorbankan. Karena itu, keberanian dibutuhkan, manusia selalu takut kehilangan sesuatu.
Tapi, gumam Leo dalam hati, Al berkata lakukan dulu, pikir kemudian.
Berjalanlah dulu, baru pertimbangkan sisanya. Andai waktu masih berpihak padanya, mungkin dia bisa memilih untuk maju perlahan. Tapi tidak ada waktu lagi.
Tinggal dua pilihan—diam di tempat, atau melangkah maju. Dan pilihan Leo sudah ditentukan sejak awal.
Namun.
“...Kamu melakukan ini untuk menyelamatkanku, bukan? Jika aku menikah dengan seorang pangeran dari Kekaisaran, memang benar, perang antara Kerajaan dan Kekaisaran bisa dihindari. Meski akan muncul banyak persoalan, hilangnya diriku—seorang simbol kekuatan bagi Kerajaan—akan meredam semangat rakyat untuk berperang. Itu pasti langkah yang cerdas, tapi tetap saja...”
“Bukan begitu.”
“Bukan...?”
Leticia menatapnya, matanya terbuka lebar karena terkejut.
Sebelum mereka berpisah, Al sempat memberinya satu nasihat terakhir—bukan sekadar nasihat, tapi pertanyaan.
Apa kamu melamarnya karena ingin menyelamatkannya, atau karena kamu mencintainya? Pastikan alasannya dengan jelas, katanya.
Dan Leo kini memegang jawabannya—teguh, tanpa ragu.
“Lima tahun lalu... Sejak pertama kali aku bertemu denganmu, aku sudah jatuh cinta. Tak pernah ada satu hari pun di mana aku melupakanmu. Dan sekarang... Setelah kamu datang ke sini, setelah waktu yang kita habiskan bersama, aku menyadari satu hal dengan pasti. Aku mencintaimu. Sepuluh tahun, dua puluh tahun, dan selamanya setelah itu—aku ingin kamu yang ada di sisiku. Aku hanya ingin dirimu. Aku tak bisa membayangkan hidup tanpamu. Jika ada seseorang yang ingin merebutmu dariku... Maka akulah yang akan merebutmu terlebih dahulu. Siapa pun dia, dari mana pun asalnya, aku tak akan menyerahkanmu.”
Keluarga Elang Emas, begitu orang-orang menyebut keluarga kerajaan Kekaisaran, keluarga Ardler.
Lambang Kekaisaran, seekor elang emas yang mengepakkan sayapnya dengan megah, awalnya merupakan lambang pribadi keluarga Ardler sendiri.
Mereka adalah kaum yang terbang dengan anggun di langit, namun menyembunyikan cakar tajam di balik keanggunan itu, membangun Kekaisaran raksasa di jantung benua.
Sifat mereka mirip dengan pemburu sejati, sekali mereka mengincar mangsa, mereka tak akan membiarkannya lepas.
Sebagai keturunan kaisar sejati, keluarga Ardler selalu menunjukkan kekuatan yang tak terduga setiap kali mereka menatap mangsanya.
Bahkan di masa kekacauan ketika Raja Iblis muncul, mereka tetap menjadi bangsa yang kuat, memperkuat diri di tengah badai sejarah. Karena itulah, musuh-musuh mereka sering menyebut mereka dengan satu nama penuh ejekan—Para Perampas.
Bagian 11
“Jika ada seseorang yang ingin merebutmu dariku... Maka akulah yang akan merebutmu terlebih dahulu. Siapa pun dia, dari mana pun asalnya, aku tak akan menyerahkanmu.”
Nada yang begitu tegas itu sama sekali tidak seperti Leo yang biasanya, membuat Leticia terdiam sepenuhnya, tertelan oleh kekuatannya.
Menerima lamaran yang begitu terus terang dan jujur, Leticia hanya bisa menundukkan wajahnya.
Jika lamaran itu dimaksudkan untuk menyelamatkannya, Leticia sudah menduganya sejak awal. Leo adalah orang yang lembut hati, tidak akan aneh bila dia berusaha melindunginya dengan menjadikannya bagian dari keluarga kekaisaran. Dia sudah cukup mengerti hal itu.
Namun, dia tak pernah membayangkan bahwa lamaran itu datang karena cinta. Rasa malu yang belum pernah dia rasakan sebelumnya menyeruak, membuat Leticia tak sanggup menatap wajah Leo.
Menyadari dia merasa malu, pipi Leticia memerah.
Lebih dari segalanya, dia merasa bahagia hingga hampir saja dia menjawab tanpa berpikir panjang. Dan itulah yang membuatnya malu pada dirinya sendiri. Begitu gegabah, begitu sembrono.
Leo mungkin tidak akan menganggap itu sebagai beban. Tapi menerima lamaran ini berarti akan menimpakan padanya beban yang amat besar.
Dia tidak boleh menerimanya. Tidak boleh. Leticia meneguhkan hati, lalu mengangkat wajahnya.
Namun seketika pandangan mereka bertemu—mata Leo menatapnya dengan ketulusan yang begitu dalam—dan Leticia segera menundukkan kepala lagi.
Dia tak sanggup menatapnya langsung. Dia bisa merasakan wajahnya semakin panas, napasnya tersengal.
Udara terasa semakin tipis; bila ini terus berlanjut, dia mungkin benar-benar akan jatuh pingsan.
Ketika pikiran itu terlintas di benaknya, Leo membuka mulut dan berkata, “Aku tidak meminta jawaban sekarang. Tapi, bisakah kamu memberiku jawabanmu sebelum festival ini berakhir, sebelum kamu meninggalkan ibu kota Kekaisaran?”
“...B-Baik.”
Suara yang keluar dari bibirnya begitu lemah dan tipis, hingga Leticia sendiri terkejut mendengarnya.
Apa gunanya menunda? Kalau pada akhirnya harus menolak, seharusnya dia melakukannya sekarang juga. Suara keras dalam dirinya menegur, namun di sisi lain, ada dirinya yang merasa lega, yang bersyukur, yang berbisik, “Syukurlah, aku belum harus menjawabnya sekarang.”
Perasaan yang begitu bercampur aduk itu membuat Leticia panik, ini pertama kalinya dia mengalami hal seperti ini.
Bukan karena ini pertama kalinya dia dilamar. Sejak dia memegang Tongkat Suci dan berlari di medan perang, sudah banyak pria yang menyatakan cinta padanya.
Prajurit yang terpesona melihat sosoknya mengangkat tongkat di tengah medan pertempuran. Bangsawan yang mendambakan ketenaran karena memiliki sang Santa di sisinya. Bahkan rekan seperjuangan yang telah bersamanya sejak awal peperangan.
Semua orang memuji keindahannya, menyanjung keberadaannya, dan menyatakan ingin berada di sisinya.
Namun satu-satunya orang yang pernah berkata ingin Leticia tetap berada di sisinya, hanyalah Leo. Dan satu-satunya orang yang pernah berkata akan merebutnya, juga hanya Leo.
Lalu apa artinya semua itu, tanyanya pada dirinya sendiri. Hanya ungkapan yang mudah diucapkan, pikirnya.
Meski begitu, ada bagian dari dirinya yang tidak sanggup menolak. Karena Leo tidak menginginkan dirinya sebagai Santa.
Dalam situasi ini, gelar Santa justru menjadi beban yang mengikatnya. Meski begitu, Leo tetap melamarnya. Dan hal itu membuat Leticia merasa bahagia, teramat bahagia.
“Maaf kalau ini terlalu mendadak dan membuatmu bingung... Tapi semua yang kukatakan tulus adanya. Apa pun jawabanmu nanti, aku akan menerimanya. Jadi, jangan khawatir.”
“Baik... Terima kasih.”
“Kalau begitu, biarkan aku mengantarkanmu ke kamar.”
Leo berkata begitu sambil dengan tenang mengulurkan tangannya.
Leticia pun hendak menyambutnya, namun segera ragu. Tindakan sederhana seperti bergandengan tangan—yang barusan saja terasa alami—tiba-tiba menjadi sesuatu yang amat memalukan baginya.
Melihat Leticia yang terhenti dengan tangan terangkat canggung di udara, Leo tersenyum kecil dan dengan lembut menggenggam tangannya.
“Ah...!”
“Jalannya agak gelap. Perhatikan langkahmu.”
“Y-Ya, Pangeran Leonad...”
Suara Leticia hampir tak terdengar, seolah malu sampai ingin lenyap begitu saja. Belum pernah dia merasa sedemikian terguncang hanya oleh kata-kata seseorang.
Sambil menuntunnya perlahan, Leo tiba-tiba berkata, “Leo.”
“Eh...?”
“Bisa kamu panggil aku Leo? Tak banyak orang yang memanggilku dengan nama itu.”
“U-Um...”
“Aku ingin kamu memanggilku begitu.”
Senyumnya terasa terlalu memaksa, pikir Leticia sambil memalingkan pandangannya, namun dia tetap mengangguk pelan.
Hanya dengan itu saja, Leo tampak puas dan melanjutkan langkahnya mengantar Leticia.
Tak lama, mereka sampai di depan kamar Leticia. Di sana berdiri seorang kesatria wanita berambut pirang.
“Selamat datang kembali, Nona Leticia.”
“Catherine... Maaf, aku terlambat.”
“Tidak, mohon jangan khawatir.”
Kesatria bernama Catherine itu menunduk sopan. Leticia segera memperkenalkannya kepada Leo.
“L-Leo, um, mungkin kalian sudah pernah bertemu beberapa kali, tapi ini Catherine, kapten pasukan pengawalku.”
“Senang bertemu denganmu, Catherine.”
“Terima kasih, Yang Mulia.”
Setelah pertukaran singkat itu, Leo melepaskan tangan Leticia, lalu menatapnya dengan senyum segar.
“Kalau begitu, selamat malam, Leticia. Aku akan menjemputmu lagi besok.”
“B-Baik...”
Leticia menatap punggung Leo yang perlahan menjauh, tanpa bisa mengalihkan pandangannya.
Di sampingnya, Catherine menatap pemandangan itu dengan senyum geli.
“Apakah Anda sudah memberikan jawabannya, Nona?”
“J-Jawaban apa?”
“Lamaran, bukan begitu?”
“B-Bagaimana kamu tahu!?”
“Dari melihatnya saja sudah cukup jelas. Dari ekspresi Anda sepertinya jawabannya belum, ya?”
“...Aku memintanya untuk menunggu.”
“Keputusan ada di tangan Anda, Nona. Tapi, bila demi keamanan Anda, itu bukan pilihan yang buruk. Hanya saja...”
“Hanya saja?”
“Anda mungkin akan menjadi musuh seluruh wanita di Kekaisaran.”
“Uh... Beliau terlalu berharga untukku...”
“Benarkah? Menurutku kalian tampak serasi.”
Sambil tertawa ringan, Catherine membuka pintu kamar.
Begitu Leticia masuk, penghalang sihir Orihime otomatis aktif, melindungi ruangan itu.
“Kalau begitu, selamat malam, Nona Leticia.”
“Ya. Selamat malam, Catherine.”
Dan demikianlah Leticia menutup harinya, tenggelam dalam mimpi dengan hati yang masih bergetar.
* * *
Tengah malam. Saat seluruh penghuni istana telah terlelap dalam tidur mereka.
Tiba-tiba terdengar suara ketukan di pintu kamar Leticia.
Suara itu membuat Leticia terbangun. Dia mengusap matanya yang masih berat dan bertanya dengan suara mengantuk.
“Siapa di sana...?”
“Ini aku.”
“L-Leo!?”
Tak mungkin, pikir Leticia, lelaki itu datang berkunjung di jam seperti ini. Menyadari kemungkinan makna di balik kunjungan itu, wajahnya seketika memerah. Namun, pikiran itu segera lenyap saat mendengar nada serius dalam suaranya.
“Ada sesuatu yang harus kusampaikan. Bolehkah aku masuk?”
Nada suaranya tegas dan serius. Leticia segera menyadari ada sesuatu yang serius terjadi.
Sambil menyesali pikirannya yang barusan terlalu tidak pantas, dia bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju pintu.
Dia membukanya perlahan.
“Terima kasih. Maaf sudah datang larut malam begini.”
“Tidak apa-apa... Ada apa sebenarnya?”
“Ya.”
Sambil menjawab, Leo melangkah masuk dengan hati-hati, matanya meneliti sekeliling, lalu menutup pintu perlahan.
Leticia menunduk tipis. Pasti ini soal upaya pembunuhan, pikirnya.
“Pembunuh bayaran, ya...?”
“Benar. Selama kamu baik-baik saja, aku bisa tenang. Tampaknya di kamar ini juga tak ada orang lain.”
“Ya, di sini hanya ada aku dan kamu.”
“Begitu ya?”
Leo lalu merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah batu permata kecil.
Begitu dia menghancurkannya, asap berwarna ungu pekat membubung keluar.
“A-Apa itu!?”
“Tenanglah. Asap ini hanya membuatmu tidur.”
“Tidur...!?”
Leticia spontan menutup mulut dan hidungnya, tapi sudah terlambat, dia telah menghirup sebagian asap itu.
Sekejap kemudian, rasa kantuk luar biasa melandanya. Pandangannya berputar, langkahnya goyah. Meski tubuhnya oleng, Leticia berusaha menuju tempat tidur.
Di sanalah Tongkat Suci-nya berada.
Namun, “Leo” menarik tangannya dan menyeretnya kembali ke tengah ruangan, ke dalam kabut ungu itu.
“Seperti yang kuduga dari Santa. Ini sudah dimodifikasi agar hanya bereaksi pada wanita manusia, tapi biasanya mereka langsung tertidur begitu saja. Kamu luar biasa kuat.”
“K-Kamu bukan... Leo...?”
“Siapa tahu. Tapi itu tidak penting bagimu. Karena kamu akan mati di sini.”
“Ilusi...”
Leticia memaki kebodohannya sendiri. Dia tidak menduga seseorang untuk menyamar menjadi Leo. Karena setelah lamaran itu, dia hampir tak sanggup menatap wajah Leo secara langsung; maka dia tak menyadari perbedaan kecil yang seharusnya ada dalam ilusi itu.
Rasa kantuk yang menyerang kali ini begitu berat, lebih dari apa pun yang pernah dia rasakan, hingga dia menggigit bibirnya.
Gigitannya sangat kuat hingga darah mengalir dan rasa sakit menusuk kesadarannya sesaat. Memanfaatkan rasa sakit itu untuk melawan kantuk, dia merangkak pelan ke arah tongkat sucinya.
Namun, hanya beberapa jengkal sebelum sampai, tubuhnya tak lagi mau bergerak.
“Le...o...”
Dengan gumaman terakhir itu, Leticia tertidur.
Sosok yang menyamar sebagai Leo menatap Leticia yang tergeletak tak sadarkan diri, lalu berbisik pelan, “Tak ada kesalahan pada dirimu. Yang bersalah adalah kerajaanmu.”
Ucapannya diiringi dengan suara logam ketika dia mencabut pedang dari pinggangnya.
Bagian 12
Pagi hari pada hari kedua upacara.
Leo sedang menuju kamar Leticia.
Hari ini juga masih ada festival. Dia memikirkan apa yang bisa membuatnya senang, ke mana harus membawanya.
Dengan pikiran itu, langkah Leo ringan.
Namun langkahnya terhenti ketika dia melihat banyak kesatria pengawal di depan kamar Leticia.
“...Leticia...”
Memanggil namanya, Leo langsung berlari.
Kesatria pengawal berusaha menghentikannya, tetapi dia menerobos dan sampai di pintu kamar.
Di sana berdiri Elna.
“Leo...”
“Mundurlah, Elna.”
“Aku tak ingin membuatmu sakit hati... Kembali saja ke kamarmu.”
“Menyingkirlah!!”
Leo mengamuk berusaha masuk ke dalam kamar.
Namun Elna menahannya. Pada saat itu sebuah suara tenang ditujukan kepada kedua mereka.
“Biarkan dia masuk. Dia berhak melihatnya.”
“Al!?”
“Kakak...”
Mendengar kata-kata Al, tangan Elna yang menahan Leo sedikit melonggar.
Dalam sekejap itu Leo masuk ke dalam kamar. Di dalam sudah ada Kaisar, Kanselir, Eric, dan Gordon.
Semua sorotan mata tertuju pada satu titik di dinding.
“A-Apa ini... Tidak mungkin...”
Di sana, Leticia disatukan ke dinding dengan pedang, ternoda darah yang menggenang di seluruh kamar; siapa pun bisa melihatnya bahwa dia sudah tewas.
Melihat itu, sesuatu di dalam diri Leo hancur berderak.
“Uwa... Ugh... Uwaaahhhhhhh!!!!!!!!!!”
Jeritan kesedihan Leo menggema di seluruh kamar dan seluruh istana.
Dia memegangi kepala dan terus berteriak; ini tidak mungkin benar, ini pasti mimpi buruk, begitu dia mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Saat itu Gordon melontarkan kata-kata kepadanya.
“Menjerit karena melihat mayat? Bukannya kamu sudah terbiasa melihat kematian? Mayat seperti ini bukan apa-apa.”
Mendengar itu, sejenak Leo isi kepalanya kosong.
Dia mengangkat wajahnya. Di hadapannya tampak Gordon dan Eric.
Lambat tangan Leo meraih pedang.
“Kalian semua!!!”
“Elna.”
“Guh...”
Leo berusaha menyerang Eric dan Gordon, namun Elna melumpuhkannya dengan hantaman hingga pingsan.
Al, yang memberi perintah, menarik napas dalam lalu mengeluarkan instruksi lagi.
“Kurung dia di kamar.”
“Al...”
Elna menampakkan ekspresi sesaat yang murung, namun tatapan tegap Al membuatnya mengangguk pelan; lalu dia menggotong Leo yang tak sadarkan diri keluar.
“Maafkan ketidaksopanan adikku, Ayahanda dan saudara-saudaraku.”
“Tak apa. Bahkan aku pun merasa terguncang.”
Kaisar menanggapi demikian dan memutuskan untuk tidak menuntut hal itu.
Al memalingkan pandangannya kembali ke tubuh Leticia. Saat dia memeriksa mayat itu, sebuah laporan masuk kepada Kaisar.
“Pedang yang dipakai untuk membunuh adalah milik kepala pasukan pengawal. Dan kepala pasukan pengawal itu tidak diketahui keberadaannya.”
“Bagaimana para penjaga gerbang?”
“Kami telah mengumpulkan semua yang bertugas menjaga dan melakukan penyelidikan, namun sejauh ini tidak ada yang meninggalkan istana sepanjang malam.”
“Segera blokade seluruh istana. Kalau festival dimulai, mereka bisa memanfaatkan keramaian itu untuk melarikan diri. Temukan mereka dengan cara apa pun.”
Mendengar perintah Kaisar, Kanselir membungkuk hormat.
Sambil mendengarkan laporan itu, Al tak melepaskan pandangannya dari mayat Leticia.
* * *
Seluruh istana telah ditutup rapat, dan perburuan terhadap pelaku pembunuhan pun dimulai.
Di tengah hiruk pikuk itu, aku tetap berada di kamar Leticia sejak tadi.
“Apa Anda menyesalinya, Tuan?”
Sebas muncul tanpa suara dan mengucapkan hal itu. Aku menggeleng pelan sebagai jawaban.
“Tidak juga. Kenapa kamu berpikir begitu?”
“Karena saya mengira Anda menyesal tidak memaksanya ikut, meski dengan paksaan.”
“Kalau saja tempat kejadian ini tidak terasa seaneh ini, mungkin aku akan berpikir begitu.”
“Keanehan seperti apa yang Anda maksud?”
Sebas memiringkan kepalanya. Ya, tentu saja. Pada jasad Leticia memang ada sesuatu yang aneh, sangat samar, begitu halus hingga hanya seseorang dari keluarga kekaisaran yang terbiasa mengamati detail terkecil yang mungkin bisa menyadarinya.
Bahkan Sebas, yang terkenal sangat teliti, tidak menyadarinya. Tubuh itu tampak seperti mayat yang sempurna.
Namun tetap saja, ada sesuatu yang ganjil.
“Saya tidak tahu apa yang aneh.”
“Kalau begitu, aku akan bertanya hal lain. Menurutmu, kenapa dia dibunuh?”
“Jika Santa terbunuh di dalam Kekaisaran, itu bisa menjadi pemicu perang dengan Kerajaan. Dari sudut pandang faksi anti-Kekaisaran, hasil seperti itu tentu apa yang mereka harapkan, bukan begitu?”
“Dan kamu yakin kepala pasukan pengawal yang begitu dipercaya Leticia sampai dia bawa ke sini mengkhianatinya?”
“Bukti-bukti tidak langsung mengarah ke sana.”
“Bukti tidak langsung, ya... Penghalang Orihime tak akan bisa ditembus kecuali Leticia sendiri yang membuka pintunya. Artinya, pelakunya adalah seseorang yang bisa dia percayai, seseorang yang akan dia bukakan pintu. Kalau itu kepala pengawalnya, memang masuk akal. Pedang yang digunakan juga miliknya.”
“Benar, jadi...”
“Itu justru aneh, bukan? Jika yang mereka inginkan adalah perang antara Kekaisaran dan Kerajaan, maka pelakunya tidak boleh kepala pengawal Leticia. Ini malah membuatnya terlihat seperti kesalahan fatal dari pihak Kerajaan.”
“Benar juga...”
Sebas akhirnya sampai pada kesimpulan yang sama denganku. Bukan hanya jasadnya, seluruh tempat kejadian ini terasa janggal. Segala sesuatu di kamar itu seperti dibuat untuk menuduh kepala pengawal sebagai pelaku. Padahal, jika memang kepala pengawal benar-benar anggota faksi anti-Kekaisaran dan ingin membunuh Leticia, bukti-bukti semacam itu seharusnya dia lenyapkan.
Justru karena tidak, hal itu semakin aneh.
“Mudah memang jika dikatakan dia tak punya waktu. Tapi kalau sempat menancapkan tubuh korban ke dinding, tentu sempat juga untuk si pelaku menghapus jejaknya.”
“Kalau mengikuti logika Anda, bagaimana kalau dia tak bisa mencabut pedangnya kembali?”
“Kepala pengawal Santa itu seorang Kesatria Griffon, Sebas. Kamu pikir dia sebodoh itu? Lagi pula, tidak tampak tanda-tanda perlawanan. Siapa yang menusuk seseorang tanpa perlawanan hingga menembus dinding? Lagi pula, kalau dia memang kepala pengawal, dia bisa saja menyiapkan senjata lain.”
“Benar juga... Kalau begitu, berbahaya kalau kita langsung menyimpulkan kepala pengawal adalah pelakunya, ya?”
“Bukan sekadar berbahaya. Jika bukan dia, berarti ada pelaku lain. Dan sekarang Ayahanda sedang memerintahkan pencarian terhadap kepala pengawal Kerajaan yang tak bersalah, atas tuduhan palsu. Bahkan istana pun ditutup. Kalau pelakunya sudah melarikan diri, kita kehilangan kesempatan untuk mengejarnya. Memang tak ada yang bisa keluar, tapi para kesatria pengawal kekaisaran pun kini tak bisa bergerak.”
“Dari sudut pandang Kerajaan... Itu situasi yang ideal. Kekaisaran justru membuat kesalahan fatal.”
“Kalau nanti mereka bilang kita sengaja membiarkan pelaku lolos, kita tak punya alasan untuk membantah mereka. Tapi yah... Menutup seluruh istana memang sudah jadi prosedur standar. Kalau terjadi insiden di dalam istana, Kaisar selalu memerintahkan penyegelan total. Masalahnya adalah, musuh kita tahu tentang prosedur itu. Kalau mereka tidak tahu, semua ini takkan berjalan seperti ini. Tujuan sejati mereka adalah menahan gerak-gerik kita. Dan Kekaisaran sudah masuk ke dalam perangkapnya.”
Tidak mungkin untuk tidak menutup seluruh istana dan mengirim pasukan untuk mengejar pelaku. Pelakunya mungkin masih ada di dalam istana. Entah apa motif si pelaku, Ayahanda tidak punya pilihan lain selain menyegel seluruh istana dan melakukan pencarian.
Pada saat jasad Leticia ditemukan, penutupan istana sudah menjadi langkah yang tak terelakkan.
Pelaku berhasil menahan langkah para kesatria pengawal, sementara Kerajaan memperoleh alasan untuk memulai perang.
“Apa yang akan Anda lakukan sekarang?”
“Satu-satunya jalan adalah menemukan pelakunya dari pihak Kekaisaran sendiri.”
“Apakah itu mungkin?”
“Tidak mungkin. Kita tidak punya petunjuk sama sekali... Tapi jika dugaanku benar, mungkin kita akan menemukan jejaknya.”
“Dugaan, Tuan?”
“Ya. Si pelaku ingin menahan kita, dan Kerajaan ingin perang. Masing-masing diuntungkan dari insiden ini. Tapi ada satu organisasi yang tidak memperoleh apa pun.”
“Maksud Anda Grimoire?”
Aku mengangguk menanggapi ucapan Sebas.
Grimoire, yang beroperasi di bawah tanah ibu kota Kekaisaran, sama sekali tidak mendapatkan keuntungan dari kejadian ini.
Mereka kehilangan markas besarnya, dan Leticia—yang seharusnya menjadi subjek penelitian mereka—tewas.
Mereka jelas punya keterlibatan dalam peristiwa ini, namun tak ada hasil yang mereka peroleh.
“Mereka adalah para peneliti yang terobsesi pada sihir. Uang saja takkan cukup untuk menggerakkan mereka. Mereka hanya akan puas jika mendapatkan subjek penelitian setara dengan Leticia.”
“Kalau begitu, salah satu pemegang Empat Relik Pusaka hanyalah Nona Elna, bukan?”
“Tak mungkin. Itu sama saja menelan pedang, mereka akan hancur dari dalam.”
Elna dan Leticia berbeda.
Elna sudah kuat bahkan tanpa Pedang Suci, sedangkan Leticia hanya bisa bersinar di medan perang karena Tongkat Suci-nya.
Kalau berbicara tentang siapa yang lebih mudah untuk dijadikan subjek penelitian, tak perlu dipertanyakan lagi.
Dengan demikian, satu-satunya pilihan bagi mereka adalah menyerahkan Leticia kepada Grimoire.
“Jadi Kerajaan dan Grimoire tidak bekerja sama?”
“Aku tidak tahu pasti. Tapi... Di markas mereka yang kita temukan, hanya ada dokumen yang berkaitan dengan “setelah mereka mendapatkan Leticia”. Itu sangat mencurigakan. Kalau mereka hendak memusnahkan dokumen itu, seharusnya semuanya dihancurkan. Namun tidak ada jejak apa pun. Jadi, yang tersisa di sana hanyalah apa yang memang mereka ingin kita temukan.”
“Jadi... Grimoire sudah merencanakan cara untuk mendapatkan Sang Santa?”
“Kalau memang mereka berasumsi bahwa seseorang akan menyerahkannya kepada mereka, itu bisa menjelaskan semuanya. Kerajaan sedang bersiap untuk berperang melawan Kekaisaran. Mereka pasti ingin Kekaisaran menjadi selemah mungkin. Menjadikan salah satu pengguna Empat Relik Pusaka sebagai objek eksperimen, tak bisa dibayangkan seberapa besar kerusakan yang akan terjadi.”
“Tapi, kalau tidak hati-hati, bukankah Kerajaan juga bisa ikut menderita? Grimoire adalah organisasi yang sangat berbahaya.”
“Mereka mungkin sudah memperhitungkan hal itu. Jika situasi menjadi tidak terkendali, Silver pasti akan turun tangan. Dan kalau dalam perang melawan Kekaisaran Silver sampai berpihak pada Kekaisaran, itu akan sangat merepotkan bagi mereka.”
“Kalau sampai mereka bisa berpikir sejauh itu, bukankah ini sudah melampaui kemampuan satu negara seperti Kerajaan?”
“Ya, aku juga berpikir begitu. Tapi sebelum itu, ada satu hal yang harus kita pastikan terlebih dahulu.”
Aku menunjuk ke arah jasad Leticia.
Yang terbaring di sana tak diragukan lagi adalah sebuah mayat. Itu tidak salah.
“Jika benar tubuh Leticia telah diserahkan kepada Grimoire... Lalu, siapa yang ada di sana itu?”
“...Maksud Anda itu tubuh palsu?”
“Sepertinya begitu. Perasaan janggal ini bukan kesalahanku. Pasti ada sesuatu yang bersifat magis terlibat di sini. Tapi bahkan aku hanya bisa menangkapnya sebagai keanehan yang sangat samar. Mengapa begitu? Karena itu memang mayat manusia sungguhan. Bau darahnya, bau organ dalamnya, tak mungkin ada sihir yang bisa memalsukan hal-hal seperti itu dengan sempurna.”
“Jadi... Bisa dibilang, kepala pengawal yang menghilang sebenarnya ada tepat di depan kita?”
“Itu kesimpulan yang paling masuk akal. Nah, sekarang kamu mengerti, bukan?”
“Ya. Jika bahkan Anda kesulitan mendeteksi sihir itu, berarti sihir tersebut sangat asing bagi Anda. Dan hanya ada satu ras di dunia ini yang terkenal menggunakan jenis sihir semacam itu.”
“Benar. Ada mereka yang tiba-tiba setuju datang ke Kekaisaran. Hutan raksasa di barat benua ini dekat dengan wilayah Kerajaan. Bukan hal aneh jika mereka saling terhubung. Awasi kaum Elf. Hanya mereka yang mampu membuat mayat ini terlihat seperti Leticia. Ini bukan pembunuhan, melainkan penculikan yang disamarkan sebagai pembunuhan. Jika ada pergerakan, kamu boleh mengambil keputusan sendiri.”
Wendy pernah menggunakan ilusi untuk menyamarkan penampilannya.
Dengan ilusi semacam itu, mungkin saja dia bisa membuat jasad seseorang tampak seperti Leticia. Atau lebih tepatnya, hanya sihir pada tingkat itu yang mampu melakukannya. Tapi ini jauh lebih canggih dari yang bisa dilakukan Wendy.
Entah dia sendiri pelakunya, atau ada yang bekerja bersamanya, bagaimanapun, mereka harus diawasi.
“Lalu, Anda sendiri akan pergi ke mana, Tuan?”
“Aku akan menemui Leo.”
“Untuk memecahkan ilusi itu?”
“Kalau bisa, tentu sudah kulakukan sejak tadi. Tapi aku tidak tahu cara membatalkan sihir rahasia kaum Elf. Mungkin bisa dilakukan dengan waktu dan penelitian, tapi waktu justru yang paling berharga sekarang. Kita harus membuat Ayahanda percaya pada dugaan ini, lalu memaksa kaum Elf untuk memecahkannya sendiri.”
“Jadi itulah alasan Anda memerlukan Tuan Leonard.”
“Dia punya pengaruh yang jauh lebih besar dariku. Kalau aku yang bicara, orang-orang hanya akan menganggapnya omong kosong.”
Seorang pangeran tak berguna sepertiku takkan bisa menggerakkan siapa pun hanya dengan dugaan. Tentu saja aku bisa memaksakan perintah, tapi itu akan menyulitkan dan memakan waktu. Lebih baik Leo saja yang menyampaikannya. Dengan begitu, aku bisa menghemat waktu untuk meyakinkan mereka.
Jika Leticia masih hidup, setiap detik sangat berarti.
“Kurasa ini akibat dari perbuatan Anda sendiri selama ini, ya?”
“Diamlah. Dan kirim Lynfia sebagai kurir pesan.”
“Tapi istana sedang ditutup.”
“Kalau kita menunggu, bisa jadi sudah terlambat. Biarkan dia keluar melalui jalur di mana pasukan Elna berjaga.”
“Kalau ketahuan, kita dalam masalah besar.”
“Kita sudah dalam masalah besar sejak awal.”
“Benar juga. Lalu kepada siapa pesan ini harus disampaikan?”
“Kepada Wyn. Katakan padanya, semua tanggung jawab ada padaku.”
Wyn meninggalkan ibu kota setelah berkata bahwa kehadirannya tidak diperlukan untuk menyambut tamu penting dengan senyuman.
Dia bukan sekadar seorang perencana, tapi seorang ahli strategi yang mengandalkan intuisi dan prediksi. Dia selalu memikirkan banyak kemungkinan dan menyiapkan langkah antisipasi. Dan salah satu rencananya adalah menghadapi situasi darurat jika sesuatu terjadi di ibu kota.
Karena itulah Wyn saat ini tengah menunggu di lokasi tertentu.
“Jadi akhirnya giliran Kesatria Luka yang akan turun tangan. Tapi tanpa petunjuk apa pun, bagaimana Anda berniat menggerakkan mereka?”
“Wyn pasti bisa mengatasinya. Kalau aku memberinya hipotesis ini, dia akan mampu menelusuri jalur pelarian mereka. Tapi kalau aku harus menebak, kemungkinan mereka melalui arah utara. Timur adalah wilayah Kakak Lize. Selatan penuh dengan pasukan dan kesatria yang masih sibuk dengan rekonstruksi. Barat adalah perbatasan dengan Kerajaan, terlalu berisiko dan pasti jadi sasaran penyelidikan pertama. Siapa pun pelakunya, jika ingin melarikan diri, satu-satunya arah yang tersisa adalah utara.”
Bahkan tanpa aku memberitahunya, Wyn pasti akan tiba pada kesimpulan yang sama.
Kecerdasan yang membuatnya dipercaya sebagai penasihat Putra Mahkota bukan tanpa alasan.
“Baiklah... Saatnya kita hancurkan jebakan musuh ini.”
“Baik, Tuan.”
Setelah berkata demikian, Sebas pergi dari tempat itu, sementara aku melangkah menuju kamar Leo.
Bagian 13
Ketika aku masuk ke kamar Leo, dia duduk diam di kursinya, tak bergerak sedikit pun.
Elna menatapnya dengan sorot mata penuh kesedihan.
“Al...”
“Bagaimana? Bagaimana keadaannya?”
“Sejak dia sadar, dia terus begitu saja.”
Semangatnya telah sepenuhnya hilang, seolah-olah jiwanya telah meninggalkan raganya. Leo yang biasanya selalu tegak dan rapi, kini duduk membungkuk, tubuhnya tampak kecil di atas kursi. Aku bahkan tak tahu ke mana arah pandangannya tertuju.
“Leo... Al di sini, lho.”
“...”
Leo tak menanggapi kata-kata Elna.
Melihat keadaannya, aku menarik napas panjang. Benar-benar dia jadi depresi.
Tapi siapa yang bisa menyalahkannya? Leo telah melamar Leticia. Apa pun jawabannya, sejak saat itu Leticia adalah orang paling berharga di dunia bagi Leo.
Dia pasti telah bersumpah dalam hatinya untuk melindunginya apa pun yang terjadi. Namun tekad itu, keberanian itu, kini telah hancur berkeping-keping.
Tak bisa disalahkan. Wajar kalau begitu.
Namun, ada orang yang boleh berhenti, dan ada yang tidak. Leo termasuk yang terakhir.
“Sudahlah, hentikan. Kamu pikir ada waktu untuk melamun? Pertarungan baru saja dimulai. Kamu masih bertarung untuk takhta, bukan?”
“Takhta... Tidak penting lagi bagiku...”
“Begitukah.”
Tanpa menatap ke arahku, Leo berbisik pelan.
Sikapnya seolah segalanya tak berarti.
Maka aku mengepalkan tangan kanan dan menghantam wajahnya sekuat tenaga.
“Al!?”
Leo terjatuh dari kursinya, tubuhnya membentur meja. Barang-barang di atas meja berjatuhan dan menimbulkan bunyi berisik di seluruh ruangan.
Aku meringis, menahan nyeri di kepalan tanganku. Sudah lama aku tak memukul seseorang tanpa sihir. Mungkin tulangku retak sedikit, tapi itu bukan hal penting sekarang.
“Bisa kamu ucapkan kata-kata itu di depan mereka yang mati demi dirimu? Kamu tahu berapa banyak orang yang mengorbankan nyawa mereka karena percaya bahwa kamu bisa membuat Kekaisaran ini menjadi lebih baik?”
Karena orang yang dicintai meninggal, maka wajar untuk menyerah. Karena seseorang yang berharga pergi, maka tak apa untuk berhenti berjuang.
Tapi tidak semua orang boleh berkata begitu.
Bagi keluarga kekaisaran—terutama mereka yang bersaing untuk takhta—berhenti adalah dosa. Seberapa pun dalamnya keputusasaan, mereka harus menepisnya dan bangkit kembali. Namun Leo tetap terbaring, tak bergerak.
“Berhenti... Aku tidak kuat seperti Kakak...”
“Katamu aku kuat? Kamu salah. Kamu yang lemah.”
“Apakah bersedih atas kematian orang yang kucintai berarti aku lemah...?”
“Tidak. Bersedih bukanlah kelemahan. Yang lemah adalah berhenti melangkah. Menunduk tak akan menyelesaikan apa pun. Jika kamu bercita-cita untuk menjadi Kaisar, maka apa pun yang terjadi, kamu harus bisa berkata ‘meskipun begitu’ dan berdiri lagi.”
“Aku tak peduli lagi pada takhta... Aku hanya mengincarnya karena kalau aku tak menjadi Kaisar, aku tak bisa melindungi orang-orang di sekitarku. Tapi... Orang yang paling ingin kulindungi sudah tiada... Dan aku harus tetap berkata ‘meskipun begitu’, dan terus berjuang melindungi yang lain...?”
Suara Leo nyaris tanpa kehidupan. Bahkan jika kukatakan padanya bahwa Leticia masih hidup, aku yakin dia tetap takkan bangkit sekarang.
Aku tahu alasannya. Leo terlalu baik.
Dia takut berdiri lagi, takut kehilangan orang lain. Semakin keras dia ingin melindungi seseorang, semakin besar pula keputusasaannya ketika kehilangan. Tapi kalau dia tak bangkit, dia takkan bisa melindungi siapa pun.
“Takut kehilangan, tak ingin bersedih lagi, lalu berjongkok dan berhenti di tempat, itu adalah naluri pertahanan manusia. Karena hati tak sanggup menanggung rasa sakit itu. Tapi kalau kamu terus begitu, kamu takkan melindungi siapa pun. Kamu hanya akan melihat mereka semua menghilang. Sekuat apa pun kamu meyakinkan dirimu bahwa tak ada yang tersisa, manusia tidak pernah benar-benar sendirian.”
Saat aku berusia 13 tahun, aku tahu bahwa Ibu mengidap penyakit yang bahkan para tabib terbaik menyerah untuk menyembuhkannya.
Aku membenamkan diri dalam buku-buku demi mencari cara menyembuhkannya. Di sana aku mengetahui tentang buyutku, yang mendalami sihir kuno. Dalam penyelidikanku, aku menemukan adanya ruang rahasia yang hanya bisa dibuka oleh mereka yang memiliki bakat dalam sihir kuno. Aku berhasil menemukan ruang itu dan melepaskan buyutku yang terkurung dalam sebuah buku, lalu mempelajari sihir kuno darinya.
Tak pernah dalam hidupku aku berjuang sekeras itu.
Hampir dua tahun aku belajar hingga akhirnya mampu menguasai sebagian sihir kuno, berharap bisa menyembuhkan Ibu dengan sihir penghalang penyembuhanku.
Namun hasilnya nihil. Sihir kuno tak berdaya melawan penyakit Ibu. Di kamarnya, ada semacam penghalang yang justru memperburuk kondisinya. Aku bisa menghancurkan penghalang itu, tapi ternyata itu hanya mempercepat penyakit yang telah bersarang di tubuhnya.
Ibu memang telah sakit sejak awal, dan aku tak memiliki cara untuk menyingkirkan penyakit itu.
Aku ingin mati saat itu. Seluruh masa hidupku yang paling penuh usaha itu, terasa sia-sia. Aku ingin mati karena menyadari bahwa bahkan semua usahaku tak bisa menyelamatkan Ibu, satu-satunya orang yang mengakui diriku yang tak berguna ini.
Sudah tidak ada lagi yang berarti bagiku. Kurasakan semua usahaku sia-sia. Namun lebih dari itu, yang membuatku putus asa adalah kenyataan bahwa meski sudah berusaha sekuat tenaga, aku tetap tak bisa menyelamatkan ibuku.
Andai saja aku bisa menyelamatkan ibu, itu sudah cukup. Aku rindu sosoknya yang selalu ada untuk menjagaku selamanya.
Aku mengurung diri di kamar, menangis, mengutuki ketidakberdayaanku. Untuk apa kekuatan yang tak bisa menyelamatkan orang yang paling berharga bagiku?
Aku tak sanggup menatap ke depan. Tapi... Aku punya Leo.
Tanpa bertanya apa pun, dia datang membawakan makanan, berbicara dari balik pintu, bercerita hal-hal sepele.
Melihat adikku berbuat sejauh itu... Aku sadar aku tak boleh menyerah. Aku harus mengangkat wajahku. Kalau aku terus berdiam diri, aku hanya akan menyaksikan keluargaku yang berharga menghilang satu per satu.
Setelah itu, aku mulai mencari obat legendaris yang disebut ada di seluruh benua. Tapi semua hanyalah rumor, tidak bisa dipastikan nyata atau tidak. Bahkan kalau aku jadi kaisar pun, mungkin mustahil untuk mendapatkannya.
Namun ada satu harapan, para petualang.
Karena profesi mereka, mereka sering bertemu dengan hal-hal tak dikenal. Mungkin, di antara petualang tingkat tertinggi, ada yang menemukan bahan-bahan langka dari monster-monster yang disebut dalam legenda.
Untuk mengalahkan monster langka itu, aku butuh kekuatan besar, dan untungnya, aku sudah memilikinya.
Meski bepergian ke mana-mana lebih efisien, kala itu Kekaisaran sedang diliputi awan gelap setelah kehilangan Putra Mahkota.
Leo cemas melihatnya. Dia bilang, meningkatnya kejahatan adalah hal yang harus diatasi oleh keluarga kekaisaran.
Karena itu, aku mengenakan topeng dan menjadi Silver, petualang peringkat SS. Aku melindungi Kekaisaran dari balik bayang-bayang, sambil terus mencari harapan kecil yang mungkin masih tersisa.
Selama aku tak menyerah, harapan akan tetap ada. Ketika kamu mengangkat wajahmu, dunia kembali terlihat, cahaya kemungkinan yang baru, dan kesadaran bahwa kamu tak pernah benar-benar sendirian. Kamu akan melihat hal-hal berharga milik mereka yang ingin kamu lindungi. Melindungi mereka pun berarti melindungi harapan mereka.
Aku sadar, aku ingin melindungi Kekaisaran yang dicintai Ibu, dan yang ingin diselamatkan oleh adikku.
Sihir kuno yang dulu terasa tak berguna, kini tampak bersinar. Semua hal yang dulu terasa hampa kini berwarna kembali.
“Angkat wajahmu. Meski kamu merasa seperti telah kehilangan segalanya, kamu tidak sendirian. Kamu pernah memutuskan untuk menjadi kaisar demi melindungi hal-hal yang berharga bagimu, bukan? Kamu ingin menjadi kaisar yang bisa memikirkan rakyatnya, bukan? Kamu ingin menghapus semua tragedi yang menimpa Kekaisaran ini, bukan?”
“Aku... Aku ini lelaki yang bahkan tak mampu melindungi orang yang kukatakan aku mencintainya... Bagaimana mungkin orang sepertiku bisa melindungi Kekaisaran... Aku tak pantas menjadi kaisar...!! Aku sama sekali tidak layak untuk itu!”
“Kalau begitu, jadilah lebih pantas mulai dari sekarang. Kalau kamu takut kehilangan, kalau kamu tak ingin menangis lagi, maka tak ada jalan lain selain melindungi semuanya. Orang yang sudah jatuh ke jurang keputusasaan, yang pernah berpikir biarlah semuanya hancur, justru menjadi kuat, karena mereka tak ingin kembali ke kegelapan itu. Mungkin para kaisar sebelum kita pun menjadi kuat dengan cara seperti itu. Mereka melindungi segalanya agar tak perlu lagi bersedih, agar tak ada yang tersisa untuk ditangisi.”
“Aku...!!”
“Apa pun yang kamu katakan, aku akan terus mengulanginya. Angkat wajahmu. Lihat aku. Kamu tidak sendirian. Kita adalah saudara kembar—sejak lahir, kita selalu bersama. Apa yang tak bisa kamu lindungi, akan kulindungi. Sebaliknya, apa yang tak bisa kulindungi, kamu yang lindungi. Kita saling melengkapi kekurangan masing-masing, dan terus maju bersama. Jika kamu berhenti, aku pun tak bisa melangkah ke depan.”
“Kak...”
Perlahan, Leo mengangkat wajahnya. Wajahnya yang basah oleh air mata itu pasti sama seperti wajahku waktu itu.
Aku mengulurkan tangan kananku yang masih nyeri padanya.
Leo menatapnya, lalu mengangkat tangannya, namun berhenti di tengah jalan. Tapi dengan ekspresi penuh tekad, dia menggenggam tanganku erat-erat.
“Leticia pernah bilang... Dia bilang aku cocok menjadi kaisar... Demi dia juga... Aku akan menjadi kaisar. Karena itulah yang kuyakini...”
“Seperti yang diharapkan dari Leticia. Dia tahu apa yang harus dikatakan. Kalau begitu, pergilah dan ucapkan terima kasih langsung padanya.”
Sambil berkata begitu, aku menarik Leo berdiri. Matanya membelalak mendengar kata-kataku.
“Apa...?”
“Dia masih hidup. Tubuh yang ditemukan di kamarnya hanyalah tubuh palsu yang disamarkan sebagai dirinya. Ini bukan pembunuhan, melainkan penculikan yang dibuat seolah-olah pembunuhan.”
“Tidak mungkin... Tapi...”
“Kalau kau perhatikan baik-baik, seharusnya kamu bisa menyadarinya juga. Tapi kalau kamu tak bisa, maka aku yang akan menyadarkanmu.”
Aku menyeringai tipis. Tapi tiba-tiba telingaku ditarik kuat dari samping.
“Al? Apa maksudmu?”
“Aduh! Aduh! Lepas! Elna!”
“Jadi kamu tahu Santa Leticia itu masih hidup!? Kamu tahu dan tetap melakukan adegan penuh air mata barusan!? Kembalikan! Kembalikan air mataku yang tersentuh oleh drama persaudaraan kalian itu!!”
“Bukan begitu! Itu baru sekadar dugaan! Lagipula, kalau kukatakan di saat Leo masih tenggelam dalam keputusasaan, apa gunanya!?”
“Justru seharusnya kamu bilang duluan! Jelas dia akan cepat pulih kalau tahu begitu! Dasar berotak jahat!”
“Aku punya pertimbanganku sendiri, tahu!?”
“Banyak alasan! Terlalu berbelit-belit!”
Sambil berteriak begitu, Elna terus menarik-narik telingaku makin keras.
Ketika aku benar-benar merasa telingaku akan putus, Leo berbisik pelan.
“Jadi... Dia masih hidup, ya...”
“Itu kalau dugaanku benar. Tapi tetap saja situasinya belum aman. Kemungkinan besar dia sudah jatuh ke tangan organisasi kriminal, dan sekarang pasti dalam bahaya besar.”
“Tapi kalau dia hidup... Berarti kita masih bisa menyelamatkannya. Benar, kan?”
“Benar sekali. Tapi pertama-tama, kita harus meyakinkan Ayahanda bahwa dugaanku ini benar. Untuk itu, aku butuh bantuanmu...”
“Maaf, boleh bagian itu Kakak tangani saja? Aku akan pergi menemuinya sekarang.”
Leo mengambil pedangnya dan langsung berlari keluar dari kamar.
Aku dan Elna hanya bisa memandangi punggungnya yang menghilang di koridor, tertegun.
“Eh? Apa dia baru saja kehilangan akal sehatnya?”
“Entahlah... Yah, pasti ada petunjuk untuk menemukannya, kan.”
“Gimana caranya? Jangan bilang kamu akan pakai kekuatan cinta?”
“Kalau dengan itu bisa menemukannya, ya tak apa juga sih.”
“Tapi, kalau Leo sampai bisa mengejar jejak Santa Leticia, dia akan baik-baik saja? Bukannya dia sangat dibutuhkan di sini?”
“Kalau begitu, kita akan mengatasinya. Kurasa aku akan minta bantuanmu juga.”
“Tentu saja. Dibodohi begitu saja di dalam istana itu aib bagi para Kesatria Penjaga. Terlebih lagi... Mereka menyiksa sahabat masa kecilku. Mereka pantas mendapatkan seribu kematian. Ke mana pun mereka pergi, akan kurobek berkeping-keping!”
Seram, seram. Para pelaku kali ini tak cuma menyakiti Leo, mereka juga menyentuh titik paling sensitif Elna.
Tapi tentu saja bukan hanya kedua orang ini yang marah.
Mereka melukai orang yang dicintai oleh adikku. Harusnya mereka siap menerima pembalasan yang setimpal.
“Baiklah, jadi untuk sementara kita kejar.”
“Betul. Kalau ternyata hanya salah paham, kita harus membawanya pulang.”
Dengan itu, aku bersama Elna mengejar Leo.
Bagian 14
Aku dan Elna mengikuti jejak Leo sampai ke dekat kandang kuda.
Di sana, berdiri seekor griffon dari Kerajaan Perlan.
Di sekitar kandang tempat para griffon itu berada, para Kesatria Griffon tampak tenggelam dalam kesedihan. Namun, berbeda dari yang lain, seekor griffon hitam di dalam kandang tampak mengamuk dengan dahsyat.
“Noir...”
Kandang itu dilindungi oleh penghalang sihir khusus, bahkan seekor griffon pun tak bisa menghancurkannya. Namun, kekuatan amukan griffon hitam itu seolah mampu meretakkan segalanya kapan saja.
“Dia kehilangan tuannya... Itu sebabnya dia pun berduka,” kata salah satu Kesatria Griffon dengan wajah muram.
Namun, Leo menolak kata-kata itu dengan tenang.
“Tidak... Bukan itu, kan? Noir?”
“Kuueeehhh!!!”
Seolah menjawab Leo, griffon itu mengangkat kaki depannya dan menendang pintu kandang dengan keras.
Gerakannya yang buas itu bukanlah ekspresi kesedihan, melainkan amarah.
Griffon-griffon lain tampak cemas, tapi hanya griffon hitam itu yang jelas menunjukkan kemauan dan tujuan dalam tindakannya.
“Leo. Kamu yakin bisa menemukannya?”
“Aku tidak tahu. Tapi, katanya Noir ini datang sendiri ke tempat Leticia, meski sudah ditinggalkan. Kalau dia masih hidup, Noir pasti bisa melacaknya.”
“Bisa melacaknya... Tapi tidak ada kuda yang bisa menyamai kecepatan seekor griffon, tahu?”
Seekor griffon bahkan lebih langka daripada wyvern. Di antara semua makhluk yang bisa ditunggangi manusia, mereka berada di puncak.
Kecepatan mereka di langit pun melampaui para wyvern.
Meskipun Noir bisa mengejar Leticia, kalau Leo tak bisa mengejar Noir, semuanya akan sia-sia. Tapi Leo hanya menjawab dengan mantap.
“Tidak apa-apa. Aku akan menungganginya.”
“Hah?”
“Tidak mungkin... Kayaknya dia memang udah hilang akalnya,” gumam Elna sambil memegangi kepalanya.
Aku bisa mengerti apa yang dia maksud. Bahkan di dalam Kerajaan, Kesatria Griffon sangatlah langka. Untuk bisa menungganginya, seseorang harus diakui oleh griffon itu sendiri.
“Leo, jujur saja. Griffon itu sama sekali tidak terlihat ramah.”
“Dia memang tidak jinak pada siapa pun selain Leticia.”
“Begitu, ya...”
Tanpa sadar aku menatap kosong ke kejauhan.
Jika ingatanku benar, Leticia menunggangi seekor griffon putih. Bahkan Leticia yang disukai oleh griffon itu pun jarang menungganginya, itu saja sudah cukup menunjukkan betapa sulitnya makhluk itu dikendalikan.
Kalau ada penunggang dan seseorang duduk di belakangnya, mungkin masih bisa diterima. Tapi tetap saja, ada perbedaan kecepatan antara griffon yang ditunggangi dengan yang tidak. Dan griffon tanpa kendali bisa melesat ke arah mana pun sesukanya. Maka menungganginya untuk mengendalikannya adalah ide yang bagus, hanya saja, jauh dari kata mudah.
“Kenapa tidak serahkan saja pada Kesatria Griffon yang lain?”
“Anak ini tidak akan mengakui siapa pun yang menunggangi griffon lain. Lagipula, mungkin aku akan dianggap bodoh. Mungkin juga orang-orang akan menyebutku tolol, egois, atau tidak tahu diri di saat genting seperti ini. Tapi tetap saja... Aku ingin menjadi orang pertama yang pergi ke sisi Leticia. Aku ingin menjadi orang yang berkata padanya bahwa semuanya sudah baik-baik saja. Apakah itu aneh?”
“Lumayan aneh. Hanya kamu yang akan mencoba menunggangi griffon karena alasan seperti itu. Tapi, yah... Sesekali jadi orang bodoh juga tak apa.”
Itu bukan ucapan yang biasanya keluar dari Leo yang serius. Selama ini, dia selalu menempatkan orang lain di atas dirinya, demi Kekaisaran, demi rakyat. Mungkin kali ini pun demi Leticia, tapi kali ini dia membiarkan egonya berbicara.
Sebagian orang mungkin menganggap itu hal buruk. Tapi menurutku, tidak juga.
Sedikit sifat manusiawi seperti itu tak ada salahnya, terutama kalau itu demi seseorang yang kamu cintai.
Sedikit kebodohan kadang pantas untuk dimaafkan.
“Masalahnya, apa griffon itu mau membawa orang bodoh di punggungnya?”
“Kurasa dia akan menendangnya sampai mati...”
“Siapa tahu. Kadang orang bodoh justru yang paling kuat.”
Mendengar itu, Leo tersenyum lalu membuka pintu kandang, melangkah menuju Noir.
“Kuueeehhhhh!!!”
Begitu melihat Leo, griffon hitam itu menyalak keras, matanya berkilat, dan menendang ke arah Leo dengan kaki depannya. Leo bisa saja menghindar, tapi jika dia melakukannya, dia akan terhempas keluar dari kandang.
Menolak untuk mundur, Leo menahan serangan itu dengan sarung pedangnya.
“Aku tahu kamu marah... Tuan yang paling kamu cintai menghilang... Tentu saja kau marah,” tubuh Leo perlahan terdorong ke belakang. Berat dan kekuatan mereka jelas berbeda. Dalam adu tenaga semacam itu, Leo tidak punya peluang menang. Namun, dia tidak bergeser sedikit pun.
“Aku gagal melindunginya... Semua ini salahku. Tapi mungkin masih belum terlambat. Karena itu, aku butuh kekuatanmu...”
“Kuueeegghhh!!”
“Ini juga bukan hal buruk bagimu, kan? Kita akan menyelamatkan Leticia bersama-sama...”
Leo terus terdorong mundur. Elna, tak tahan melihatnya, meraih gagang pedangnya, tapi aku menahannya.
Kalau seseorang membantunya, griffon itu tak akan pernah mengakuinya. Ini adalah urusan antara Leo dan griffon itu.
“Al...”
“Tidak apa-apa. Dia adikku yang paling kubanggakan.”
Merasa situasinya tak akan berubah, griffon hitam itu mundur beberapa langkah, mengambil jarak, lalu menyerbu Leo dengan kecepatan luar biasa, berusaha menghempaskannya keluar kandang.
Namun, Leo menahannya lagi. Dia menggertakkan gigi, menjejak kuat di tanah, dan berteriak sekuat tenaga, “Aku akan menyelamatkan perempuan yang kucintai! Pinjamkan kekuatanmu, Noir!!”
Dan dengan itu, Leo menghantamkan kepalanya keras-keras ke kepala griffon itu.
Aku tertegun. Siapa sangka Leo bisa melakukan hal sebarbar itu. Tapi tampaknya berhasil.
Griffon hitam itu terhuyung beberapa langkah ke belakang, lalu menatap tajam ke arah Leo.
Namun, Leo tak mengalihkan pandangannya sedikit pun. Tatapannya menembus balik mata tajam itu.
Itu adalah tatapan seorang raja, tatapan yang tidak memberi ruang untuk perlawanan. Menatap mata seperti itu, griffon hitam itu perlahan menundukkan kepalanya.
“Mustahil... Noir, menundukkan kepalanya...?”
“Padahal dia tak pernah mengakui siapa pun...”
Para Kesatria Griffon di sekitar mereka berseru kagum.
Tanpa memedulikan mereka, Leo memimpin Noir keluar dari kandang, lalu melompat ke punggungnya. Kemudian...
“Para kesatria! Bersiaplah! Kita akan menyelamatkan tuan kalian!”
“S-Saya tidak mengerti! Bagaimana dengan Nona Leticia!?”
“Dia masih hidup! Lihat saja Noir, dia sendiri yang jadi buktinya!”
“T-Tapi...”
“Kalian punya dua pilihan! Bertaruh pada kemungkinan kecil dan ikut denganku, atau tetap di sini, tenggelam dalam keputusasaan! Putuskan sekarang! Tak ada waktu untuk ragu!”
Sesaat, keheningan menyelimuti tempat itu. Tapi sosok Leo yang duduk di atas punggung griffon hitam itu memancarkan wibawa yang luar biasa, bukan kekuatan fisik, melainkan keyakinan yang tak tergoyahkan. Itulah aura yang dipancarkan Leo saat ini.
“...Kami akan ikut.”
Seorang kesatria berbisik, lalu berlari menuju griffon-nya dan mulai bersiap.
Melihat itu, para kesatria lain pun ikut bergerak, satu demi satu. Mereka tidak tahu pasti apa yang sedang terjadi. Tapi kata-kata Leo cukup kuat untuk membuat mereka percaya dan bertindak.
“Kakak...”
“Pergilah. Dia adalah Santa yang telah menyelamatkan banyak orang. Tapi tak ada seorang pun yang datang untuk menyelamatkannya. Karena hanya sedikit yang memiliki kekuatan cukup besar untuk melakukannya. ‘Dia kuat, jadi pasti dia tidak apa-apa.’ ‘Dia hebat, jadi dia pasti baik-baik saja.’ Itu semua hanya ilusi. Siapa pun pasti ingin diselamatkan kalau mereka bisa. Jadi pergilah. Dan jangan kembali hanya sebagai pahlawan bagi Kekaisaran, kembalilah sebagai pahlawan miliknya seorang. Kamu bisa, kan?”
“Tentu saja!”
Begitu Leo menjawab itu, terdengar derap langkah ramai dari belakang kami.
Ketahuan juga, rupanya. Saat ini, istana sedang dalam keadaan terkunci penuh. Itu adalah perintah mutlak dari Kaisar. Melanggar itu berarti menentang titah kaisar, bahkan bagi seorang pangeran sekalipun, itu dosa yang tak bisa diampuni.
“Pergi. Aku yang akan menanggung urusannya di sini.”
“...Maaf. Aku selalu saja menyusahkanmu.”
“Tidak apa-apa. Seorang kakak memang ada untuk disulitkan oleh adiknya.”
“Terima kasih. Aku pergi dulu.”
Dengan itu, Leo meloncat ke udara bersama para Kesatria Griffon.
Begitu mereka terbang, para kesatria pengawal yang datang mendekat segera berteriak, “Tunggu, Pangeran Leonard!”
“Itu bertentangan dengan perintah Kaisar!”
“Elna... Mau ikut kena marah bersamaku?”
“Sungguh, kalian ini dua bersaudara yang merepotkan.”
“Maaf ya, karena punya teman masa kecil yang juga merepotkan.”
“Ya, memang. Merepotkan dan susah diurus. Tapi... Aku tak membenci kenekatan kalian berdua.”
“Kalau begitu maaf, tapi tolong tahan mereka.”
“Serahkan padaku.”
Begitu dia berkata demikian, Elna menghilang dalam sekejap.
Dalam sekejap pula, dia muncul di depan salah satu kesatria pengawal yang hendak mengejar Leo.
“...Kamu tahu apa artinya berdiri di hadapanku, Elna?”
“Tentu saja, Komandan Weitling.”
Elna menatap lurus ke arah wanita berambut panjang berwarna madu itu.
Namanya Alida von Weitling, kakak perempuan Laurenz dan adik tiri dari Therese. Komandan sekaligus kapten pertama pasukan kesatria pengawal Kekaisaran, pemimpin dari pasukan paling kuat di seluruh Kekaisaran.
“Maafkan aku, Komandan. Tanggung jawab ini ada padaku.”
“Ini bukan masalah yang bisa kamu tanggung sendirian, Pangeran Arnold. Tindakan ini adalah pemberontakan terhadap Kaisar.”
“Mungkin begitu. Tapi untuk sekarang, tahan saja aku. Lagipula, mengejar mereka pun sekarang sudah terlambat, bukan?”
“...Kamu sudah siap menerima akibatnya?”
“Tentu saja.”
Begitu aku menjawab, para kesatria pengawal sudah berdiri di kedua sisiku.
Elna juga sudah dikepung. Aku tak melawan. Bagaimanapun, kami akan dibawa ke hadapan Ayahanda untuk memberi penjelasan.
Justru ini lebih baik. Sekarang tinggal apakah beliau mau mempercayai kami atau tidak. Itu tergantung pada kata-kataku.
Sekarang, pertarunganku sendiri akan dimulai.





Post a Comment