NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Sen'nou Sukiru De Isekai Musou! ? ~ Sukiru ga Baretara Shokei sa Rerunode Kenzen Seijitsu ni Ikiyou to Shitara, Naze ka Bishouo-tachi ni Aisa Rete Iru Kudan ni Tsuite ~ V2 Prologue

 Penerjemah: Arifin S

Proffreader: Arifin S


Prologue

Kalimat semacam “ringkasan volume sebelumnya” yang biasanya ada di volume kedua dan seterusnya dalam light novel, sering dilewati saat membaca

Pagi-pagiku selalu dimulai dengan penderitaan dan pergulatan batin.

…Kalau diucapkan begitu, mungkin kedengarannya seperti aku ini seorang sastrawan atau filsuf yang terus memikirkan makna hidup.

Tapi kenyataannya, alasanku jauh lebih sederhana dan… tidak sepuitis itu.

“Munyu~… Hugh~… Shukii~…”

Setiap pagi, aku harus berhadapan dengan makhluk kecil nan menggemaskan yang selalu menyelinap ke tempat tidurku.

Yang membuatku tersiksa adalah pertempuran batin antara rasa kasih sayang yang meluap dan dorongan naluriah yang sulit dikendalikan.

Rambut peraknya yang berkilau memantulkan cahaya matahari pagi saat tubuhnya menempel erat padaku.

Jemarinya yang ramping mencengkeram kerah piyamaku erat-erat, sementara kedua kakinya—yang menyembul dari negligee tipis yang ia kenakan—meLilyt kaki kiriku.

Hari ini dia menempel lebih rapat dari biasanya...

Aku senang karena dia begitu mempercayaiku, tapi kalau setiap pagi begini terus, rasanya akal sehatku bisa jebol kapan saja.

…Namun, ada satu batas yang tidak boleh kulewati.

Karena gadis ini bukan orang biasa—dia adalah anggota keluarga kerajaan.

Putri Ketujuh dari Kerajaan Reath: Lucretia von Reas.

Itu nama aslinya. Sekarang dia sedang menyembunyikan identitasnya dan hidup sebagai siswa laki-laki bernama Lugh Bect di Akademi Kerajaan.

Kami bertemu pertama kali secara kebetulan saat ujian masuk.

Lalu, aku menolongnya ketika dia diculik oleh organisasi perdagangan manusia.

Dari situlah aku mengetahui jati dirinya yang sebenarnya, dan entah bagaimana, aku berakhir ikut membantu kakaknya, Pangeran Lucas, dalam perebutan takhta kerajaan.

…Ya, aku juga nggak paham gimana bisa begini.

Kalau ditarik ke awal, semua ini mungkin dimulai sejak aku mati karena kelelahan akibat bekerja di perusahaan hitam di dunia sebelumnya.

Begitu tersadar, aku telah terlahir kembali di dunia ini sebagai Hugh Phnosis.

Keluarga Pnosis tempat aku lahir adalah keluarga bangsawan kecil yang tinggal di perbatasan terpencil di ujung Kerajaan Reath—sebuah wilayah pegunungan yang sepi dan miskin, penduduknya pun menua dan menurun.

Kemungkinan besar, keluarga ini akan punah di generasiku atau generasi berikutnya.

Nah, di dunia ini, semua manusia tanpa terkecuali akan menerima kekuatan khusus yang disebut Skill saat berusia lima belas tahun.

Ada banyak macamnya, seperti Pyrokinesis (menghasilkan api), atau Swordsmanship (meningkatkan kemampuan berpedang).

Sementara skill yang diberikan padaku oleh dewa adalah—Mind Control (Cuci Otak),

kemampuan untuk mengendalikan siapa pun yang menatap mataku.

Aku sempat berpikir untuk memakai kekuatan itu seenaknya, tapi segera kuurungkan niat itu.

Tujuan hidupku sekarang sederhana: menjalani kehidupan santai dan damai.

Untuk itu, kekuatan berlebihan justru hanya akan membawa masalah.

Selain itu, skill “Cuci Otak” ini punya batasan besar—aku hanya bisa mengendalikan satu orang dalam satu waktu.

Dan yang lebih parah lagi, kalau orang-orang tahu aku punya kemampuan seperti ini, aku pasti langsung dieksekusi.

Kekuatan yang bisa mengendalikan siapa pun sesuka hati jelas merupakan ancaman besar bagi para bangsawan dan keluarga kerajaan.

…Yah, walaupun sebenarnya sudah ada beberapa orang yang tahu.

Saat ini, hanya dua orang yang mengetahui skill asliku:

Pangeran Ketiga Lucas von Reas—kakak Lucretia, yang berhasil menebaknya dengan skill miliknya sendiri—dan Lily Puridy, putri keluarga Marquis, kepada siapa aku menceritakannya langsung.

Sementara Lucretia alias Lugh, belum tahu apa-apa soal itu.

Waktu mengakui skill-ku pada Lily saja butuh keberanian besar, jadi untuk mengaku pada Lugh... mungkin aku butuh lebih dari itu.

Ketika kulirik jam, waktu menunjukkan sedikit sebelum pukul enam pagi.

Masih terlalu awal untuk sarapan, tapi aku sudah ada janji, jadi harus bangun sekarang.

Pertama-tama, aku harus membangunkan Lugh dulu.

“Pagi, Lugh. Bangun, yuk.”

“Fuee… udah pagi…?”

“Iya, udah pagi.”

Lugh menggeliat bangun dan duduk di atas tempat tidur sambil mengucek matanya yang masih mengantuk.

Baju tidurnya agak melorot dan nyaris terbuka di bagian dada—aku buru-buru memalingkan wajah sebelum pikiranku melayang terlalu jauh.

Pagi-pagi sudah begini… cobaan banget!

“Selamat pagi, Hugh~”

“Pagi juga. Maaf ya, aku selalu bangunin kamu terlalu pagi.”

“Nggak apa-apa kok~”

Dia tersenyum dengan wajah mengantuk. Senyum polos itu benar-benar berbahaya... astaga.

“Mmm... tapi masih ngantuk sedikit…”

“Baiklah. Aku keluar dulu, nanti kalau udah selesai aku bangunin kamu lagi, oke?”

“Okaay~”

Lugh memungut boneka Nokonoko-san—hewan di dunia ini mirip kuda tapi punya tanduk rusa—yang terjatuh di lantai, lalu memeluknya erat dan kembali merebah di tempat tidurku.

Dia nggak balik ke tempat tidurnya sendiri, ya...

Tempat tidurku jadi wangi seperti bunga osmanthus yang manis—nggak bisa tenang rasanya, tapi ya sudahlah.

Aku berganti pakaian olahraga dan berjalan ke lapangan kecil di belakang asrama guru, agak jauh dari asrama siswa.

Di sana, seorang wanita berambut ungu yang diikat ke samping sedang berlatih pedang.

Wajahnya masih terlihat muda, tapi serius dan penuh konsentrasi.

Setiap ayunan pedangnya dilakukan dengan presisi yang luar biasa—sekilas tampak monoton, tapi jika diperhatikan baik-baik, setiap gerakannya nyaris tanpa cela.

Berapa lama dia berlatih sampai bisa seperti itu tanpa bantuan skill?

Sebagai pemula, aku bahkan tak bisa membayangkannya.

Saat aku tiba, dia tampaknya sudah menyadari kehadiranku.

Dengan handuk di tangan, dia menyeka keringatnya yang berkilau terkena sinar matahari, lalu menatapku sambil tersenyum menggoda.

“Kamu telat, Hugh. Jangan-jangan semalam… ada acara ‘menyenangkan’, ya~?”

“Selamat pagi, Alyssa-san. Saya nggak telat, dan tolong jangan lontarkan pertanyaan cabul pagi-pagi begini. Kalau aku bilang iya, kamu mau ngapain?”

“Ya tentu saja langsung kuikat dan kuseret ke istana, dong.”

…Secepat itu reaksinya. Memang benar dia Ksatria Kerajaan, tapi jangan ekstrem begitu juga, Bu.

“Yah, tapi aku nggak khawatir kok. Dari keseharianmu di akademi aja udah kelihatan—kamu nggak punya nyali buat hal begituan.”

“Entah kenapa aku nggak merasa itu pujian.”

“Karena memang bukan. Aku lagi ngatain kamu.”

Dasar perempuan ini…!

“Ngomong-ngomong, gimana? Setelah kamu mengamati caraku berlatih?”

“Jadi kamu sadar aku mengintip, ya?”

“Fufun, tentu saja.”

Alyssa-san membusungkan dada—yang ternyata lumayan besar juga—dengan ekspresi bangga.

…Luar biasa. Bukan dadanya, maksudku, tapi karena aku tadi berdiri hampir tepat di belakangnya, dan dia tetap bisa sadar.

“Sejujurnya, aku kagum. Aku bahkan nggak bisa membayangkan seberapa banyak latihan yang dibutuhkan untuk bisa mencapai tingkat itu tanpa skill.”

“Ufufu~ Rasanya menyenangkan banget dipuji murid sendiri, tahu? Ayo, jangan berhenti, puji aku lebih banyak lagi~”

…Kurasa ini pertama kalinya aku menyesal memuji seseorang. Sebelum dia makin bawel, lebih baik kualihkan topik.

“Latihan yang tadi itu memang selalu kamu lakukan setiap hari?”

“Ya. Sudah sekitar sepuluh tahun aku melakukan rutinitas ini.”

“Selama itu…?”

“Kalau nggak gitu, aku nggak bakal bisa tetap jadi tangan kanan ‘orang itu’.”

‘Orang itu’ maksudnya tentu saja Roan Ashblade, wakil kapten Ksatria Kerajaan yang memiliki skill Sword Master.

Aku sempat melihat pertarungannya di pesta dua minggu lalu—benar-benar luar biasa.

Dan Alyssa-san, yang mampu mengikuti gerakannya tanpa bantuan skill apa pun, jelas bukan orang biasa.

Itulah kenapa aku memintanya melatihku beberapa hari lalu—dan anehnya, dia langsung setuju.

Sejak itu, setiap pagi aku berlatih bersamanya.

“Baiklah, mulai sekarang latihan dimulai, Hugh!”

“Mohon bimbingannya!”

Hari ini hari kelima.

Selama empat hari sebelumnya, aku belum pernah menang sekali pun—selalu dihajar habis-habisan.

Tapi hari ini… aku harus ambil satu poin!

…Satu jam kemudian,

aku kembali kalah tanpa bisa mengambil satu poin pun.

***

Tubuhku yang penuh dengan lebam dan luka gores aku seret kembali ke kamar. Setelah menahan rasa sakit dan mandi untuk membersihkan darah serta keringat, aku berangkat ke kantin Bersama Lugh yang sudah bangun. Rangkaian kegiatan itu sudah menjadi rutinitas pagiku belakangan ini.

“Hugh, kamu nggak apa-apa?”

Lugh yang duduk di seberang meja menatapku khawatir. Aku meringis sedikit karena luka di siku dan lutut masih perih, lalu mencoba tersenyum santai.

“Tenang aja. Dari kecil aku sudah sering berlari-lari di pegunungan. Luka segini mah biasa.”

“Mungkin sih... tapi kalau nanti Lecty datang, sebaiknya minta dia untuk menyembuhkannya. Kelihatannya sakit banget, tahu.”

“Ah... iya juga.”

Aku memang sudah melakukan perban darurat sendiri, tapi darah sudah mulai merembes keluar dari balutannya. “Luka segini mah dijilat aja sembuh, ‘kan!” kata-kata Alyssa-san itu cuma berlaku buat para ksatria tangguh yang hidup di medan perang. Buat orang normal, luka seperti ini jelas bikin meringis.

Ya sudah, nanti aku minta Lecty untuk menyembuhkannya dengan skill “Saint”-nya.

“Ngomong-ngomong, kenapa kamu tiba-tiba belajar pedang sama Alyssa-san? Bukannya kamu udah kuat? Kamu bahkan menang lawan si Idiot waktu duel, ‘kan?”

“Itu... yah...”

Sebenarnya waktu itu aku menang karena menggunakan skill “Cuci Otak” pada diriku sendiri, lalu menggantinya sementara menjadi skill “Ilmu Pedang”. Bukan karena kemampuanku sendiri.

Tapi tentu saja aku nggak bisa bilang itu pada Lugh.

Saat aku masih mencari alasan, seseorang menaruh nampan sarapan di sebelahku. Aku mendongak dan melihat Lily tersenyum kecil padaku, sementara dari belakang Lecty juga datang membawa nampan.

“Hugh... itu kan laki-laki.”

“Laki-laki? Maksudnya apa?”

Sambil menyapa “selamat pagi”, Lugh menatap Lily dengan bingung.

Lecty duduk di sebelah Lugh, dan Lily duduk di sampingku lalu menatap wajahku seolah ingin menebak sesuatu.

“Kamu bertarung melawan Idiot, merasakan kerja kerasnya secara langsung, terus jadi nggak mau kalah, kan?”

“Bukan begitu sih...”

…meskipun memang begitu.

Bukan berarti alasan utamaku belajar pedang dari Alyssa-san adalah karena persaingan dengan Idiot, tapi ya... itu jadi pemicunya. Hanya saja, mengakuinya di depan tiga gadis sekaligus agak malu juga.

“Hehe, ya sudah, anggap aja begitu. Tapi serius deh, kamu beneran digilas habis-habisan, ya.”

Lily menyentuh luka di pipiku dengan ujung jarinya yang lentik.

“Hei, jangan disentuh! Sakit, tahu!”

“Maaf, refleks aja. Aku jadi ingat kalau kamu ini memang laki-laki.”

“Jangan bersikap seperti ibuku dong.”

“Bukan, ini gaya pacar yang lebih tua, tahu?”

Kita seumuran dan jelas bukan pacaran. Aku bahkan nggak tahu harus mulai menanggapi dari mana. Lily malah makin senang menyentuh-nyentuh luka itu, seolah menikmati reaksiku. Dasar gadis sadis!

“Hey, Lecty, belakangan ini mereka kelihatan makin akrab, ya?”

“Iya. Dari awal memang akrab, tapi sekarang... terasa lebih dekat lagi!”

Dua orang di seberang meja menatap kami dengan pandangan curiga. Tatapan yang menusuk itu bikin aku susah makan.

Yah... memang benar sih. Seperti kata Lecty, aku dan Lily memang jadi lebih dekat.

Dua minggu lalu, waktu aku membantu membatalkan pertunangan Lily yang dipaksakan, dia sempat mendukungku saat aku hampir hancur karena tekanan dan ketakutan. Caranya... yah, bisa dibilang cukup intens. Benar-benar tanpa jarak. Jadi kalau sekarang kami tampak dekat, itu bukan hal aneh.

Saat aku tanpa sadar mengingat kembali sensasi dari hari itu, tanganku refleks menutup bibir.

“Fufu~”

Lily tersenyum tipis sambil melirikku dengan pandangan menggoda. Hanya aku yang salah tingkah, dan itu bikin kesal.

““Mencurigakan banget...!””

Lugh dan Lecty yang melihat tingkah kami malah menatap dengan tatapan penuh kecurigaan.

Keduanya saling bertukar pandang dan mengangguk mantap, lalu berdiri sambil membawa nampan sarapan mereka ke arah kami.

“Oke, oke, Lily, kamu udah cukup menikmati giliranmu, kan? Sekarang gantian kami!”

“Hugh-san, tolong tunjukkan lukamu. Aku akan menyembuhkannya.”

“E-Eh... baiklah...”

Lugh duduk di sebelahku menggantikan Lily, sementara Lecty duduk di sisi satunya. Lily kini duduk di depan kami sambil tersenyum puas.

“Sepertinya masa depan akan menarik, ya?”

“...Tanpa komentar.”

Entah kenapa, aku bisa membayangkan lima atau sepuluh tahun ke depan, kami masih duduk bersama seperti ini. Bayangan itu terlalu mudah terlintas, dan entah kenapa bikin pipiku panas.

Seolah bisa membaca pikiranku, Lily masih tersenyum tenang—senyum khas “ibu muda yang sudah paham segalanya”.

Setelah berbagai kehebohan kecil, kami akhirnya menyelesaikan sarapan dan berangkat ke kelas bersama-sama.

Berkat Lecty yang terus menyembuhkanku selama makan, luka-lukaku sudah hilang tanpa bekas, bahkan rasa lelah pun seperti lenyap.

“Terima kasih, Lecty. Seperti biasa, skill ‘Saint’-mu luar biasa.”

“T-Tidak, sungguh, aku masih jauh dari hebat, kok.”

“Ah, aku nggak setuju,” sahut Lugh, menatap Lily.

Lily mengangguk setuju. “Skill penyembuh itu sangat langka, Lecty. Tapi punyamu istimewa—lebih tepatnya, luar biasa. Orang lain mungkin bisa menyembuhkan luka kecil, tapi menyembuhkan tulang patah? Di seluruh kerajaan, mungkin cuma satu orang selain kamu yang bisa.”

“Satu orang?” tanyaku.

“Ya, sang Saint yang diakui oleh Gereja Ilahi. Seharusnya dia bisa.”

Gereja Ilahi adalah agama utama di benua Almira, disembah oleh umat manusia sebagai pemberi skill. Bahkan di pelosok terpencil seperti wilayah Pnosis pun ada gerejanya. Pusatnya, kalau tak salah, ada di barat daya Kerajaan Rees.

Tapi aku nggak terlalu tahu soal Saint itu sendiri.

“Jadi, Saint itu semacam orang yang masuk trance dalam ritual untuk berkomunikasi dengan dewa, gitu?”

“Itu ajaran sesat dari mana lagi? Tidak, Saint biasanya melakukan kegiatan amal. Mereka jadi perwakilan Gereja Ilahi, keLilyng benua untuk menyembuhkan yang terluka dan membantu orang miskin. Kalau ikut ritual, mungkin cuma jadi peserta, bukan pemimpin.”

“Oh, begitu ya.”

Jadi semacam duta besar sekaligus model iklan Gereja... kurang lebih begitu, ya?

“Aku penasaran, seperti apa ya orangnya, Saint itu?” tanya Lecty.

“Kalau tidak salah, pergantian Saint terjadi akhir tahun lalu. Umurnya sama seperti kita. Kalau bukan karena kebijakan khusus dari gereja, mungkin dia juga bersekolah di Akademi Kerajaan ini.”

“Yah, bahkan perintah kerajaan pun nggak bisa menentang gereja,” kata Lugh.

“Betul. Sejarah sudah membuktikan kalau menentang kekuasaan Gereja Ilahi tidak berakhir baik.”

Keduanya mengangguk dengan wajah serius. Sepertinya hubungan antara Gereja dan Kerajaan Reas memang panjang dan rumit. Aku sempat mendengar dalam pelajaran sejarah: konon salah satu raja terdahulu sempat diusir oleh Gereja dan harus berdiri tanpa alas kaki selama berhari-hari di depan katedral untuk meminta pengampunan.

Ternyata hubungan antara negara dan agama memang rumit di dunia manapun.

Tanpa sadar, kami sudah sampai di lantai tiga gedung akademi. Begitu memasuki kelas, aku langsung merasakan suasana tegang.

“Lagi-lagi...” gumamku pelan.

Penyebabnya jelas: teman-teman sekelas sudah terbagi dua kubu, yang duduk di sisi jendela dan yang di sisi lorong. Karena tempat duduk di sini bebas, sebenarnya tak masalah, tapi atmosfer di antara mereka benar-benar menegangkan.

Situasi ini sudah berlangsung lebih dari seminggu.

Dan semuanya berawal dari insiden dua minggu lalu di kediaman Duke Lechery—insiden yang sama dengan kasus pertunangan Lily.

Keesokan hari setelah insiden itu, berbagai surat kabar di ibu kota secara serentak memberitakan keterlibatan Adipati Rechery dalam perdagangan manusia.

Keji sekali—ia dikabarkan menculik warga ibu kota dan menjual mereka demi mengumpulkan kekayaan. Tak heran bila perbuatan bejat itu memicu kemarahan besar di antara penduduk ibu kota.

Ketidakpuasan yang selama ini menumpuk terhadap kaum bangsawan dan sistem kerajaan pun ikut meledak. Beberapa kelompok radikal bahkan berteriak menyerukan revolusi dan akhirnya ditangkap oleh pasukan ksatria kerajaan.

Dalam kekacauan itu, sosok yang mulai menonjol adalah Pangeran Kedua, Yang Mulia Brutee.

Selama ini ia sudah mendapat dukungan kuat dari kalangan militer dan pasukan pengawal kota. Ia pun memanfaatkan situasi dengan berpidato di hadapan rakyat ibu kota, secara terbuka mengkritik korupsi para bangsawan dan kelalaian pemerintahan kerajaan.

Pidatonya mendapat sambutan luar biasa—rakyat mulai mendukung Brutee sebagai calon kuat pewaris takhta berikutnya.

Suasana tegang di ruang kelas hari ini adalah dampak langsung dari hal itu.

Mereka yang duduk di sisi koridor adalah kelompok yang mendukung kubu Pangeran Brutee.

Mayoritas berasal dari kalangan rakyat biasa atau bangsawan yang memiliki hubungan erat dengan militer—jumlah mereka sekitar sepuluh orang.

Sedangkan di sisi jendela, berkumpul para bangsawan muda yang mendukung Pangeran Slay, berjumlah lima belas orang, menjadikannya kubu terkuat di kelas.

Dan di tengah-tengah, duduk seorang siswa yang tidak berpihak pada siapa pun.

“Selamat pagi, Hugh. Lady Lily Puridy, Lugh, dan Lady Lecty juga.”

“Selamat pagi, Idiot.”

Idiot Hotness, yang duduk seorang diri di tengah kelas, menyapa kami dengan ramah sambil melambaikan tangan ketika kami masuk.

Kami pun duduk di deretan kursi di belakangnya—Lily, Lecty, aku, dan Lugh, berurutan.

Sudah sekitar seminggu ini, tempat duduk itu menjadi “zona netral” kami, tak berpihak pada kubu mana pun.

Yah… meskipun secara teknis, kami lebih dekat ke kubu Pangeran Lucas.

“Masih sendirian hari ini?”

Aku melirik sekilas ke arah kelompok Pangeran Slay sebelum bertanya pada Idiot.

Keluarganya, Keluarga Marquis Hotness, adalah pendukung resmi kubu Pangeran Slay.

Sejak Keluarga Puridy (keluarga Lily) berpindah ke kubu Lucas, keluarga Hotness bahkan menjadi salah satu pilar utama kubu Slay.

Seharusnya, Idiot ada di sana sebagai pemimpin kelompok siswa pendukung Slay.

Dan memang, pada awalnya ia memang bergabung dengan mereka. Tapi, hari demi hari, ia semakin menjaga jarak, hingga akhirnya benar-benar menjadi “serigala penyendiri”.

“Aku dan mereka mulai berbeda pandangan. Demi kebaikan bersama, lebih baik kami menjaga jarak.”

“Ah… masuk akal juga.”

Memang, Idiot tidak terlalu tertarik dengan perebutan takhta. Perbedaan semangat politik itulah yang mungkin membuatnya bertentangan dengan para bangsawan muda lainnya.

Lagipula, dulu dia juga sering terpengaruh buruk oleh pengikutnya, jadi mungkin sekarang justru lebih baik baginya menjauh.

“Ngomong-ngomong, Lady Lecty… hari ini kau terlihat makin memesona.”

Sambil menyisir rambut ke belakang, Idiot menatap ke arah Lecty dengan gaya genitnya yang khas.

“Kecantikanmu bagaikan sekuntum bunga yang mekar di tanah gers—”

“Tolong hentikan.”

“A-ah… baik.”

Dengan satu kalimat singkat, Lecty memotong gombalannya. Idiot langsung terdiam dan menunduk lesu.

Akhir-akhir ini, Lecty memang mulai tidak segan menolak rayuan pria itu. Bukan karena dia jadi berani, mungkin lebih karena Idiot kini benar-benar bersikap lembut dan tidak mengancam sama sekali.

Sejujurnya, kalau kesan pertama mereka tidak seburuk dulu, mungkin keduanya bisa saja cocok.

Saat aku sedang berpikir begitu, lonceng tanda pelajaran dimulai berbunyi, dan wali kelas kami—Miss Alyssa-san—masuk ke ruangan.

Hari ini, dari pagi hingga waktu makan siang, jadwalnya bukan pelajaran biasa, melainkan long homeroom—rapat kelas untuk membahas kegiatan sekolah bulan depan.

Tapi dengan suasana sekaku ini, rasanya diskusi apa pun pasti akan berakhir ricuh.

“Okeee, perhatian semuanya~! Lengkap ya? Hari ini kita bakal ngebahas acara Class Battle Tournament bulan depan~!”

Acara Pertarungan Antar Kelas itu, sesuai namanya, adalah turnamen di mana total dua belas kelas dari tiga angkatan akan bertarung dalam format simulasi pertempuran tim.

Kalau di dunia lamaku, ini mirip seperti festival olahraga sekolah—bedanya, ini versi militer.

“Aturannya gampang aja! Tiap kelas pilih satu komandan. Kalau komandannya kalah atau semua anggota tim gugur, atau markas mereka direbut, itu berarti kalah! Jadi kebalikannya yang menang, ya!”

Singkatnya, perang-perangan.

Cocok sekali dengan sekolah yang memang didirikan untuk melatih calon pengguna skill tempur.

“Skill yang boleh digunakan cuma yang nggak mematikan, ya. Jadi Hugh, skill Pyrokinesis-mu dilarang, tuh. Kalo orang sampai meleleh karena apimu, kan langsung game over~.”

“Aku pengen banget lihat Hugh beraksi, tapi ya… kali ini terpaksa nggak bisa, ya.”

Lugh menatapku sambil tersenyum kecut. Wajar—dia pernah melihatku menggunakan Pyrokinesis saat ujian masuk. Api itu bisa melelehkan logam, jadi tentu saja tidak aman dipakai dalam simulasi.

“Heh, tak masalah! Hugh tanpa skill pun kuat. Pria yang bisa menandingi kehebatanku dalam duel pedang, itu sudah cukup bukti! Aku, Idiot Hotness, menjaminnya!”

“Tolong jangan bikin aku tambah tertekan…”

Yah, tidak salah sih—kalau soal pedang, Idiot memang salah satu yang paling hebat yang kukenal, mungkin hanya kalah dari Roan dan Miss Alyssa-san sendiri.

Tapi tetap saja, pujiannya itu terasa berat di pundakku.

Karena sebenarnya aku hanya bisa mengimbangi dia karena saat itu aku mengganti skill-ku dengan Swordsmanship lewat skill Brainwash.

Andai suatu hari nanti aku bisa mendapat pengakuan itu tanpa bantuan skill, baru aku bisa bangga sepenuhnya.

Setelah itu, Miss Alyssa-san menjelaskan lebih detail soal teknis pertandingan:

Areal pertarungan adalah hutan di pinggiran ibu kota, berbentuk bujur sangkar dengan panjang tiap sisi sekitar dua kilometer. Dua kelas akan mulai dari sisi berlawanan dan bertempur selama dua jam.

Jika waktu habis tanpa pemenang, keduanya dianggap kalah dan lawan berikutnya otomatis menang tanpa bertanding.

Jadi kalau mau menang, harus aktif menyerang.

“Nah, sekarang bagian paling penting. Kita harus tentuin siapa komandan kelas ini~.”

Miss Alyssa-san menatap seluruh kelas sambil tersenyum lelah.

“Ada yang mau nyalonin diri, nggak?”

…Tak satu pun tangan terangkat.

Ya, siapa juga yang mau jadi komandan di kelas yang setegang ini?

“Kalau dilihat dari kemampuan, Lady Lily sepertinya paling cocok, sih.”

“Kalau semua setuju, aku tidak keberatan.”

Namun, tentu saja, “semua setuju” itu tidak akan terjadi.

“Aku tak sudi berperang di bawah komando pengkhianat!”

Yang berteriak adalah seorang gadis berponi kuda dari kubu Pangeran Slay—mantan pengikut Idiot, kalau tidak salah namanya Anne Torage.

Bagi mereka, Lily yang keluarganya berpindah ke kubu Lucas adalah pengkhianat.

“Kalau begitu, biarkan aku jadi komandannya!”

“Tidak mungkin kami menerima itu!”

Kali ini, yang menentang datang dari sisi koridor—kubu Brutee. Seorang siswa laki-laki bertubuh besar, bernama Brown, berdiri dengan lantang.

“Aku tidak mau lagi diperintah oleh bangsawan busuk! Aku, rakyat jelata, juga berhak memimpin!”

“Beraninya kau menghina bangsawan!? Tidak mungkin kami dipimpin oleh orang sepertimu!”

“Dan aku juga muak dengan kesombongan kalian!”

Kedua kubu pun terlibat adu mulut sengit.

Kami yang duduk di tengah jadi korban situasi. Lily hanya bisa menghela napas, Lugh terlihat kebingungan, dan Lecty menggigil ketakutan sambil diam-diam menggenggam tanganku.

Sementara itu, Miss Alyssa-san hanya tersenyum santai sambil berkata,

“Ah~ ini baru namanya masa muda~.”

Kelihatannya, di mata seorang ksatria kerajaan seperti dia, keributan seperti ini hanya “bumbu kehidupan”. Sepertinya dia juga tidak akan menghentikan mereka kalau sampai baku hantam.

Aku sedang berpikir bagaimana caranya menenangkan suasana, ketika mataku tertuju pada bagian belakang kepala Idiot di depanku.

“Kau nggak mau nyalonin diri, Idiot?”

“Kau salah paham, Hugh. Apakah aku terlihat seperti tipe yang duduk santai memberi perintah dari belakang?”

“Yah… lebih seperti tipe yang nekat maju duluan tanpa mikir.”

“Hmm, aku merasa dihina, tapi aku tidak bisa menyangkalnya! Skill-ku hanya bersinar di garis depan, bukan di belakang!”

“Benarkah begitu…”

Skill-nya, Guardian (Chevalier), sebenarnya lebih cocok untuk bertahan, bukan menyerang.

Kalau aku jadi komandan, aku pasti menempatkannya di garis pertahanan utama.

“Kau sendiri gimana, Hugh? Mau coba jadi komandan?”

“Tidak mungkin. Aku nggak punya jiwa pemimpin, dan toh aku juga bangsawan.”

Lagi pula, karena aku sering terlihat bersama Lily, pihak Slay pasti menganggapku bagian dari kubu Lucas.

Dan kubu Brutee jelas menolak dipimpin bangsawan mana pun.

Pertengkaran pun terus memanas, hingga akhirnya—

PAAAN!!

Miss Alyssa-san menepuk tangannya keras-keras.

Suara keras itu langsung membuat semua orang terdiam.

Sambil tersenyum manis, ia berkata:

“Kalau kalian mau berkelahi, mending sekalian saja di tempat yang luas, kan? Jadi begini aja: kita adakan simulasi pertempuran di arena latihan hutan di belakang sekolah. Pemenangnya nanti yang berhak memilih komandan. Yang kalah harus patuh. Setuju?”

Kedua kubu saling pandang, lalu mengangguk serempak.

Bagi mereka, ini kesempatan emas—bisa melampiaskan kekesalan dan sekaligus membuktikan siapa yang kuat, secara resmi.

Aku menghela napas.

Miss Alyssa-san pasti sudah merencanakannya sejak awal. Ia hanya menunggu sampai suasana cukup panas agar usul “pertempuran latihan” terdengar seperti solusi terbaik.

Dan begitu, tiga kekuatan pun terbentuk:

Kubu Pangeran Slay, kubu Pangeran Brutee, dan kami berlima yang netral.

Pertempuran simulasi tiga arah pun akan segera dimulai.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close