Penerjemah: Arifin S
Proffreader: Arifin S
Chapter 4
Hanya Tuhan yang tahu jawaban yang benar
Aku sudah memohon maaf berulang kali pada Lugh dan akhirnya dia mau memaafkanku. Setelah itu aku berganti pakaian latihan dan menuju tempat latihan pagi. Seperti biasa, Alyssa-san sudah datang lebih dulu, menebas udara dengan gerakan pedang yang begitu indah dan memukau.
“Selamat pagi, Alyssa-san…”
“Pagi juga, Hugh-kun. Hari ini kamu kelihatan lesu, ya. Ada apa?”
“Yah, aku cuma… banyak melakukan kesalahan belakangan ini.”
Kalau aku ceritakan detailnya, dia pasti bakal mengejekku habis-habisan, jadi lebih baik tidak. Tapi Alyssa-san hanya mengangguk dengan wajah penuh arti dan tersenyum menyeringai.
“Jadi kamu ngompol, ya?”
“Bukan, woi!”
“Tidak perlu malu begitu~. Saat bertarung, orang sering tidak sempat ke toilet, jadi ya biasa buang aja di situ, tahu?”
“Informasi itu sama sekali tidak perlu aku tahu, Alyssa-san…”
Kupikir dia cuma bercanda, tapi ternyata dia tidak mengoreksi ucapannya. Tak lama kemudian, wajahnya berubah serius.
“Jadi, bagaimana jawaban dari Lecty-chan?”
Jadi dia benar-benar serius tadi!?
“Lecty setuju membantu. Katanya, ‘kalau aku bisa melakukan sesuatu, aku akan melakukannya.’”
“Baiklah. Tapi, apa kamu sudah memberitahu hal ini pada Lady Lucretia?”
“Ah… belum. Ada banyak hal yang terjadi, jadi belum sempat.”
Saat aku pulang semalam, Lugh sudah tertidur, dan pagi ini terlalu sibuk sampai tidak sempat bicara soal itu.
Pangeran Lucas sempat bilang padaku, apakah aku mau memberitahu Lucretia tentang kondisi Raja atau tidak, terserah padaku. Tapi jujur saja, itu keputusan yang berat.
“Kalau kamu memberitahunya, dia pasti ingin menemui Ayah. Memang berisiko kalau dia sampai bertemu dengan kakak-kakakku, tapi kalau dia datang sebagai ‘teman’ Lecty, itu bisa jadi kesempatan bagus untuk menunjukkan bahwa Lucretia dan Lugh adalah orang yang berbeda.”
“Tentu saja, selama tidak terjadi apa-apa,” tambah Pangeran Lucas dengan wajah sedikit cemas.
“Kalau menurut saya, lebih baik jangan diberitahu. Memang kasihan kalau dia tidak bisa melihat ayahnya untuk terakhir kali, tapi risikonya terlalu besar.”
Kemungkinan besar, saat Lecty menyembuhkan sang Raja, semua pangeran lain juga akan hadir. Bayangkan saja, apakah Lucretia bisa tetap berpura-pura sebagai Lugh di depan Pangeran Slay dan Pangeran Brute? Seperti yang dikatakan Alyssa-san, itu memang mencemaskan.
Tapi…
Yang terlintas di kepalaku adalah penyesalan di kehidupan sebelumnya. Kalau Raja meninggal tanpa sempat Lucretia menemuinya, dia pasti akan menanggung penyesalan yang sama seperti yang kualami dulu. Memang, kalau dilihat dari sisi risiko, Alyssa-san benar. Tapi…
“Bolehkah aku memikirkannya sampai saat terakhir?”
“Kami akan menjemputmu dengan kereta pukul dua. Sampai saat itu, putuskan baik-baik.”
“Baik.”
Seperti biasa, setelah itu Alyssa-san melanjutkan “latihan” dengan cara menghajarku tanpa ampun, lalu pergi ke istana untuk menyampaikan jawaban Lecty pada Pangeran Lucas. Sekali-sekali dia bisa saja menahan diri, kan…
Menarik tubuh yang penuh rasa sakit, aku kembali ke asrama. Sudah hampir tiga minggu sejak aku mulai berlatih dengan Alyssa-san, tapi aku belum merasa lebih kuat sama sekali. Memang, aku mulai bisa menangkis lebih banyak serangan, tapi belum sekalipun berhasil mengenai dia dengan pedang kayuku.
Aku rasa refleksku bagus, jadi mungkin aku memang tidak punya bakat dalam ilmu pedang…
“Aku pulang.”
“Selamat datang, Hugh!”
Lugh sudah menungguku di kamar dengan senyum cerah. Dia sudah berganti dari piyama ke seragam dan siap pergi keluar. Syukurlah, sepertinya dia sudah melupakan kejadian pagi tadi.
“Biar aku mandi dulu sebentar.”
Kutatap Lugh yang tampak hendak segera keluar, dan aku segera masuk kamar mandi untuk membilas keringat dan debu.
Walau tetap sering babak belur, aku mulai terbiasa menerima serangan, jadi luka-luka berdarah sudah jarang muncul. Luka hari ini masih bisa kutahan tanpa perlu pengobatan dari Lecty.
Setelah berganti seragam, aku dan Lugh keluar bersama. Kami makan pagi di kantin, lalu berencana jalan-jalan di ibu kota.
“Eh!? Jadi kita cuma bisa ‘kencan’ sampai siang!?”
“Ssst! Aku sudah bilang, ini bukan kencan!”
Suara Lugh yang cukup keras membuat semua orang di kantin menatap kami. Karena latihan, aku sudah mengganti skill-ku dari 【Ninja】 ke 【Pyrokinesis】, tapi pendengaranku masih cukup tajam untuk mendengar komentar sekitar.
“Jadi mereka berdua… begitu ya?”
“Tapi bukannya mereka sama-sama cowok?”
“Justru itu menarik, kan!?”
“Dia ini nggak bisa pilih, cowok-cewek semua digoda!”
“Baiklah, aku akan membalasnya di pertandingan antarkelas nanti!”
Entah kenapa kesalahpahaman makin parah… atau mungkin tidak sepenuhnya salah? Kepalaku mulai pening memikirkan situasi yang rumit ini.
“Maaf, Lugh. Pangeran Lucas memintaku melakukan sesuatu hari ini, jadi aku harus pergi.”
“Yah… Padahal aku pikir bisa menghabiskan seharian bersamamu…”
“Seharusnya aku sudah bilang dari awal, maaf ya.”
“Tidak apa-apa. Kalau ini perintah dari Pangeran Lu…cas, aku bisa mengerti. Aku juga senang kamu bisa akrab dengan beliau.”
Namun Lugh menambahkan dengan lirih, “Tapi tetap saja, dasar Pangeran Luu-kas yang menyebalkan…”
Suara kecilnya membuatku cemas kalau ada yang dengar. Obrolan seperti ini tidak cocok di tempat umum seperti kantin…
Kami segera menghabiskan sarapan dan menuju gerbang untuk mendapatkan izin keluar dari penjaga.
Begitu keluar dari akademi, kami tidak punya tujuan pasti. Aku pun bertanya pada Lugh apakah ada tempat yang ingin dia kunjungi.
“Hmm… oh, itu!”
Lugh menunjuk ke arah menara putih menjulang di antara bangunan—Katedral besar Gereja Ilahi di ibu kota.
“Dari dulu aku penasaran, seperti apa di dalamnya!”
Katedral besar Lise adalah salah satu tempat wisata terkenal. Kami pun berjalan ke arah sana sambil bergandengan tangan. Orang-orang yang kami lewati menatap heran, tapi aku sudah mulai terbiasa.
“Lugh, jadi kamu penganut Gereja Ilahi?”
“Eh? Bukankah hampir semua orang penganutnya? Hugh juga menerima skill di gereja, kan?”
“Oh, iya juga. Jadi semacam upacara pembaptisan, ya?”
“Selain itu, doa sebelum makan, penanggalan, hari libur… semua itu bagian dari ajaran Gereja Ilahi, lho. Mungkin kamu tidak sadar saja.”
“Begitu, ya.”
Jadi ajaran mereka sudah menyatu dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa sadar, semua orang adalah penganutnya.
“Walau aku tidak rajin beribadah, aku pikir kebanyakan orang sama sepertiku dan kamu.”
“Lalu kenapa kamu ingin ke katedral itu?”
“Dulu waktu kecil, aku bisa melihat menaranya dari jendela kamarku. Jadi aku selalu penasaran seperti apa tempatnya.”
“Begitu rupanya.”
Melihat menara itu dari jendela berarti rumahnya pasti di tempat tinggi—bahkan mungkin lebih tinggi dari istana. Tapi aku memilih tidak mengomentarinya.
Setelah berjalan beberapa waktu, katedral besar itu terlihat sepenuhnya. Di tengah taman hijau yang luas, berdiri megah bangunan putih berkilau dengan menara menjulang tinggi.
“Waaah! Besar banget, Hugh!”
“Benar-benar menakjubkan kalau dilihat dari dekat.”
Kami berdua mendongak terpana, mulut terbuka lebar.
Memang tidak setinggi gedung pencakar langit di dunia sebelumnya, tapi tingginya pasti sekitar delapan puluh meter—setara dengan istana kerajaan atau akademi kerajaan.
Kalau ini dunia modern, aku pasti sudah mengambil foto kenangan sekarang. Sayangnya, di dunia ini fotografi belum ada.
Kupikir mungkin aku bisa memakai skill 【Photographer】 dan menciptakan foto lewat sihir, tapi kalau gagal dan malah bikin sakit kepala seperti sebelumnya, lebih baik tidak kucoba.
“Hugh! Ayo cepat, aku duluan ya~!”
Saat aku sedang melamun, Lugh sudah berlari ke depan sambil melambaikan tangan. Manis sekali.
Andai aku bisa mengabadikan momen itu… Tapi aku tidak punya alat gambar, dan uangku juga hampir habis. Yah, tak apa.
Kami pun masuk ke dalam katedral yang ramai oleh para pelancong.
Setelah membayar “sumbangan” yang sebenarnya lebih mirip tiket masuk, kami akhirnya melangkah ke dalam. Harga tiketnya lumayan mahal, dan dompetku sudah mulai menipis.
“Wow… indah sekali!”
Begitu masuk, hal pertama yang terlihat adalah kaca patri raksasa berwarna-warni yang berkilauan terkena cahaya matahari. Pemandangan itu begitu mempesona hingga kami terpaku diam.
Bahkan di dunia sebelumnya aku belum pernah melihat kaca patri seindah ini. Gereja di wilayah Pnosis memang punya kaca patri juga, tapi kecil dan sederhana—tidak sebanding dengan yang ini.
Setiap pilar, altar, dan ukiran di sini jauh lebih megah. Patung dewa yang di gereja kampungku hanya seukuran telapak tangan, di sini setinggi tiga meter.
“...Tunggu, patung dewi?”
Aku menatap lagi. Ya, jelas itu sosok perempuan—wajah lembut, tubuh dibalut kain tipis yang memperlihatkan lekuk tubuh, tampak suci sekaligus memikat.
“Ada apa, Hugh?”
“Itu… patungnya dewa, kan?”
“Iya. Bukankah semua gereja punya patung itu? Apa di gerejamu tidak ada?”
“Kalau patung kecil sih ada, tapi bukan perempuan…”
Di gereja kampung halamanku, patungnya laki-laki. Lagipula, waktu aku menerima skill, suara yang kudengar jelas suara pria.
Saat aku menjelaskan itu, Lugh mengangkat jari telunjuknya dengan gaya sok tahu.
“Ah, itu karena—”
“Itu karena Tuhan adalah pria sekaligus wanita, anak laki-laki sekaligus anak perempuan, ayah sekaligus ibu!”
“Eh!? Penjelasanku diambil alih!?”
Kami berdua menoleh ke belakang, melihat seorang gadis berambut pirang muda dengan dua kuncir spiral berwarna merah muda mengenakan jubah biarawati putih. Dengan gaya penuh percaya diri, dia melanjutkan penjelasannya.
“Anak-anak yang dianugerahi skill selalu diawasi oleh Tuhan di mana pun mereka berada—seperti orang tua yang mencintai anaknya, seperti kakek-nenek yang bangga pada cucunya, dan kadang seperti teman yang menemani belajar dan bermain. Gereja di daerahmu mungkin menggambarkannya sebagai Dewa pria, tapi wujud Tuhan memang bisa berbeda di setiap wilayah.”
“B-begitu, ya… Ngomong-ngomong, siapa kamu?”
Mendengar pertanyaanku, gadis itu terkejut sebentar lalu menundukkan kepala sopan.
“Ah! Maafkan saya! Nama saya Rosary Saint. Hanya biarawati biasa yang kebetulan lewat.”
“Biarawati biasa, katanya…”
Padahal rambutnya yang berbentuk spiral kembar itu sama sekali tidak memberi kesan “biasa.” Tapi ya sudahlah, sepertinya kami juga harus memperkenalkan diri.
"Aku Hugh Pnosis. Ini Lugh Bect."
"Senang bertemu denganmu, Rosary-san."
"Senang berkenalan dengan kalian juga. Dari seragamnya, kalian berdua pasti murid Akademi Kerajaan, bukan? Sebenarnya aku sudah lama mengagumi Akademi itu! Karena satu dan lain hal aku tidak bisa masuk, jadi aku ingin sekali mendengar cerita kalian! Kalau berkenan, bolehkah aku yang memandu kalian berkeLilyng katedral ini?"
"Uhm... begitu ya..."
Aku menatap Lugh, seolah bertanya dengan mata, bagaimana menurutmu?
"Kesempatan dipandu langsung oleh seorang biarawati di katedral ini pasti jarang terjadi, kan? Lagipula bisa jadi pelajaran yang bagus buat Hugh juga. Aku rasa nggak ada salahnya."
"Be-begitu ya. Baiklah, Rosary. Aku titip padamu, ya."
"Dengan senang hati!"
Sebenarnya aku sedikit berharap Lugh akan bilang “aku ingin berdua saja denganmu karena ini seperti kencan”, tapi ya, cukup kusimpan dalam hati saja.
"Kalau begitu, aku akan mulai dengan penjelasan tentang alasan katedral ini dibangun."
Rosary pun mulai menjelaskan dengan lancar seolah sedang membaca buku pelajaran, tanpa melihat catatan sedikit pun. Ia menceritakan bahwa pembangunan katedral ini dimulai pada tahun 610 Penanggalan Ilahi, setelah adanya perjanjian antara Raja Reas pada masa itu dan Paus Gereja Ilahi.
Seperti yang bisa diduga dari seorang biarawati, tampaknya Rosary benar-benar hafal semua hal tentang katedral ini di luar kepala.
Kalau ini beberapa waktu lalu, aku pasti tak akan mengerti sama sekali. Tapi belakangan ini aku cukup rajin belajar sejarah dengan bantuan Lugh, jadi sekitar empat puluh persen dari penjelasannya bisa kupahami.
“Begitu, ya…”
“Hugh, kamu benar-benar paham penjelasan Rosary-san?”
“Ya, tentu. Aku paham kok.”
“Beneran, nih?”
Aku mengalihkan pandangan dari tatapan curiga Lugh ke arah ukiran relief di dinding. Setiap panel tampak menggambarkan sebuah adegan tertentu. Aku merasa seperti pernah melihatnya sebelumnya.
“Itu adalah relief yang menggambarkan adegan ketika Tuhan menganugerahkan skill kepada manusia, seperti yang tertulis dalam Kitab Suci,” jelas Rosary yang memperhatikan aku berhenti.
“Ah, pantas saja terasa familier.”
“Oh! Jadi Hugh-sama pernah membaca Kitab Suci juga! Luar biasa sekali semangat keagamaannya!”
“Enggak, aku cuma baca sedikit waktu iseng aja.”
“Itu saja sudah luar biasa. Belakangan banyak orang yang datang hanya untuk wisata, tanpa membaca Kitab Suci sama sekali. Ya, sih, tidak bisa dibilang salah, tapi tetap saja…”
Rosary bergumam pelan, seolah punya banyak unek-unek soal itu. Sepertinya agama ini sudah terlalu menyatu dengan kehidupan sehari-hari, sampai orang-orang tidak lagi terlalu memperhatikannya dengan serius.
“Kalau dipikir-pikir, aneh juga ya. Ternyata wujud Tuhan di setiap relief berbeda-beda. Aku dulu nggak sadar, tapi kalau dilihat berdampingan, rasanya aneh juga,” kata Lugh sambil menatap relief dengan tangan di dagu.
Memang benar, di semua relief itu ada adegan Tuhan yang memberi skill kepada manusia yang berlutut di hadapan-Nya. Tapi wujud Tuhan berbeda-beda di tiap panel—ada yang laki-laki, ada yang perempuan tua.
“Ngomong-ngomong, waktu aku menerima skill, suara Tuhan yang kudengar itu suara pria. Bagaimana dengan kalian?”
“Kalau aku, suaranya seperti anak perempuan kecil.”
“Kalau aku, suaranya seperti pria paruh baya yang elegan,” tambah Rosary.
“Jadi, tiap orang mendengar suara yang berbeda, ya. Kalau begitu, berarti…”
“Berarti apa, Hugh?”
“Ah, tidak… bukan apa-apa. Lupakan saja.”
“?”
Lugh dan Rosary menatapku bingung saat aku buru-buru menutupi perkataanku. Untung aku berhenti tepat waktu, hampir saja aku bilang “bukannya itu berarti ada lebih dari satu Tuhan?”
Syukurlah akhir-akhir ini aku sudah belajar menahan lidah.
Mungkin pemikiran seperti itu muncul karena aku dulunya orang Jepang.
Gereja Ilahi ini menganut paham monoteisme—hanya satu Tuhan. Kalau aku mengucapkan dugaan seperti itu di sini, aku bisa-bisa dituduh sesat dan diadili. Yah, mungkin tidak sampai dibakar hidup-hidup, tapi pasti akan mendapat tatapan dingin.
Aku tidak mau mengecewakan Rosary yang sudah baik mau memandu kami, jadi kupilih untuk menyimpan ide itu rapat-rapat.
Setelah berkeLilyng cukup lama dengan pemanduan Rosary, kami beristirahat di ruang minum untuk pengunjung sambil menikmati teh. Kami bercerita banyak soal kehidupan di Akademi Kerajaan.
“Wah! Jadi bulan depan ada acara pertandingan antarkelas, ya? Aku ingin sekali menontonnya! Kira-kira aku boleh ikut menyaksikan tidak, ya?”
“Seharusnya boleh, ada area khusus untuk penonton umum.”
“Kalau begitu, aku akan meminta izin pada Cicely supaya tidak mendapat tugas hari itu! Aku benar-benar ingin melihatnya!”
Rosary tampak begitu bersemangat, matanya berbinar mendengar kisah kami. Sepertinya dia benar-benar mengagumi Akademi Kerajaan. Katanya dulu dia gagal masuk karena “alasan tertentu”, mungkin skill-nya tidak cocok untuk peperangan, jadi tidak diterima.
Aku penasaran, tapi menanyakan alasan gagalnya ujian terdengar tidak sopan. Lagipula, aku sendiri masuk dengan sedikit trik menyembunyikan skill asliku, jadi aku tak berhak mengomentari.
“Hugh itu hebat, lho! Waktu ujian masuk, dia pakai skill-nya dan tiba-tiba woosh! api membesar ke mana-mana!”
“Wah! Api woosh! ya! Keren sekali! Aku ingin melihatnya! Bisa kamu tunjukkan sekarang!?”
“Nanti katedral ini terbakar…”
Sepertinya Rosary dan Lugh cepat akrab. Keduanya mengobrol seru dengan energi luar biasa, sementara aku hanya duduk mendengarkan, kadang menimpali kalau ada hal yang aneh.
Beberapa saat kemudian—
“Ah, jadi di sini rupanya Anda, Lady Rosary!”
Seorang wanita muda berlari mendekat. Rambutnya pendek berwarna biru tua, wajahnya cantik dengan mata cokelat keemasan. Tingginya sekitar 160 cm, mengenakan pelindung dada putih dengan garis merah, dan di pinggangnya tergantung pedang.
Dia jelas bukan dari pasukan ksatria kerajaan… tapi aneh juga melihat seseorang membawa pedang di katedral.
“Oh, Cicely! Tepat waktu! Bagus sekali, ayo sini, dengarkan cerita mereka tentang Akademi Kerajaan!”
“Maaf, Lady Rosary, tapi sudah waktunya. Anda harus bersiap untuk tugas siang.”
“Ya ampun, sudah waktunya rupanya! Maafkan aku, Hugh-sama, Lugh-sama. Aku harus pergi karena ada tugas penting sore ini. Terima kasih banyak untuk waktu yang menyenangkan!”
“Terima kasih juga, Rosary! Semoga kita bisa bicara lagi nanti, ya?”
“Tentu! Aku akan berada di katedral ini untuk sementara waktu, jadi datanglah kapan saja! Aku ingin mendengar lebih banyak tentang Akademi!”
“Baik! Sampai jumpa lagi, Rosary!”
“Sampai jumpa juga, Hugh-sama!”
Kami melambaikan tangan saat Rosary pergi, diikuti Cicely yang sempat menoleh dan membungkuk sopan. Aku pun membalas dengan anggukan.
Sepertinya Cicely adalah semacam pengawal… tapi siapa sebenarnya Rosary ini?
“Tadi orang itu… sepertinya seorang Holy Knight, ya?” kata Lugh.
“Holy Knight?”
“Iya, pasukan ksatria milik Gereja Ilahi sendiri. Pernah dibahas di pelajaran sejarah, kan?”
“Ah, ya… kayaknya aku pernah dengar.”
“Hugh~? Jangan lupa, sebelum pertandingan antarkelas ada ujian tengah semester, lho. Aku nggak mau, tahu, kalau nanti kita beda kelas tahun depan.”
“Ugh… baiklah, aku akan belajar sungguh-sungguh.”
Di Akademi Kerajaan, pembagian kelas tahun berikutnya ditentukan berdasarkan peringkat nilai keseluruhan. Waktu masuk dulu aku berhasil masuk kelas A karena nilai skill-ku, tapi tahun depan belum tentu bisa begitu lagi.
Lugh sendiri adalah murid peringkat dua di bidang akademik—hanya kalah dari Lily—dan peringkat tiga secara total. Jadi dia pasti akan tetap di kelas A. Kalau aku mau tetap satu kelas dengannya, aku harus belajar lebih giat.
Berpisah dengannya rasanya tidak menyenangkan.
“Holy Knight, ya…” Aku mulai mencoba mengingat pelajaran sejarah. “Kalau tidak salah, Holy Knight itu bertugas melindungi tokoh penting Gereja Ilahi dan menjaga upacara keagamaan, kan?”
“Benar sekali! Selain itu, mereka juga bertugas memberantas korupsi di dalam Gereja dan memburu kaum sesat. Jadi agak mencurigakan kalau Cicely-san tadi terlihat seperti pengawal Rosary…”
“Kalau begitu, Rosary pasti orang penting di Gereja, ya?”
“Mungkin saja… Tapi siapa sebenarnya dia?”
Aku hanya bisa menjawab, “Entahlah…”
Tapi sebenarnya aku punya dugaan. Rosary pernah bilang tidak bisa masuk Akademi karena alasan tertentu. Kalau bukan karena skill, berarti alasannya pasti sesuatu yang lebih besar.
“Yah, dia sendiri bilang hanya biarawati biasa. Artinya dia tidak ingin kita memperlakukannya secara berbeda, siapa pun dia sebenarnya.”
“Iya, benar juga. Aku tidak sabar ingin bicara lagi dengannya.”
Lugh menangkupkan tangan di depan dada sambil tersenyum lembut. Sepertinya ia benar-benar menikmati waktu bersama Rosary tadi.
Mungkin di hari libur berikutnya, aku akan datang lagi ke katedral ini. Lagipula, Rosary bilang dia akan tinggal di sini untuk sementara waktu—jadi kami pasti akan bertemu lagi.




Post a Comment