NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Sen'nou Sukiru De Isekai Musou! ? ~ Sukiru ga Baretara Shokei sa Rerunode Kenzen Seijitsu ni Ikiyou to Shitara, Naze ka Bishouo-tachi ni Aisa Rete Iru Kudan ni Tsuite ~ V2 Chapter 6 - 8

 Penerjemah: Arifin S

Proffreader: Arifin S


Chapter 6

Situasi ini adalah yang paling ingin kutulis

Saat pembicaraan dengan Pangeran Lucas berakhir, sinar matahari sore sudah menyusup lewat jendela. Ketika kami kembali ke ruangan semula, Marquis Prime — sang kanselir kerajaan — datang menghampiri.

Menurut Marquis Prime, keadaan Yang Mulia Raja kini sudah pulih seakan-akan penyakit itu tak pernah ada. Hanya saja, karena beliau sudah lama terbaring di tempat tidur, perlu waktu beberapa saat untuk pemulihan total.

Marquis Prime lalu menundukkan kepala pada Lecty, memohon agar diperkenankan menyampaikan rasa terima kasih kerajaan di lain waktu.

“Uh, t-tidak perlu berterima kasih! Aku cuma sedikit membantu saja…!”

“Gadis Suci mengatakan bahwa tanpa Nona Lecty, mustahil Yang Mulia bisa diselamatkan. Tidak perlu merendah. Anda telah menjadi pahlawan penyelamat kerajaan.”

“Pa–pahlawan…!?”

Mendengar gelar yang begitu berlebihan dari Marquis Prime, Lecty hanya bisa melotot kaget dan terdiam.

Yah, memang benar sih—kalau waktu itu Raja benar-benar meninggal, besar kemungkinan negeri ini sudah terjebak dalam perang saudara, bahkan mungkin Kerajaan Reas sudah hancur sama sekali.

Marquis Prime paham betul hal itu, jadi ia menyebut Lecty sebagai “pahlawan penyelamat kerajaan”.

“Marquis, bisakah kita bicarakan rencana ke depan?”

“Dengan senang hati, Paduka.”

“Terima kasih. Kalau begitu, Alyssa-san, urus sisanya di sini, ya. Roan, Luc—eh, maksudku, ‘Putri Lucretia’, ikut aku.”

Pangeran Lucas pun meninggalkan ruangan bersama Marquis Prime, Roan, dan Mary yang menyamar sebagai Putri Lucretia. Kami yang tertinggal memutuskan untuk kembali ke akademi.

“Lugh, kau baik-baik saja?”

“Ya. Masih agak pusing, tapi aku sudah lumayan kok.”

Lugh, yang tadinya berbaring di sofa, mengangguk pelan. Wajahnya masih sedikit memerah, tapi terlihat lebih segar dibanding tadi.

Sepertinya selama Lugh tidur, Lecty beberapa kali menggunakan 〈Heal〉 padanya. Mungkin itulah yang membantu memulihkan kondisinya.

Skill 〈Heal〉 milik Lecty bukan hanya menyembuhkan luka, tapi juga menghilangkan kelelahan. Aku tahu betul efeknya karena setiap pagi dia menggunakannya padaku.

Aku kemudian menggendong Lugh di punggung—(dia menolak mati-matian waktu aku mau mengangkatnya dengan gaya princess carry)—dan membawanya ke kereta.

Sepanjang perjalanan, aku sempat berjaga-jaga, takut ada kejadian aneh di jalan pulang ke akademi kerajaan, tapi ternyata semuanya berjalan tenang.

Lagipula, Pangeran Lucas sudah bilang tidak akan terjadi apa-apa dalam waktu dekat. Mungkin aku memang terlalu waspada.

Kami berpisah dengan Alyssa-san di depan gerbang sekolah, lalu menuju asrama. Lily dan Lecty ikut mengantar sampai depan asrama putra karena masih khawatir pada Lugh.

“Lugh, kau sungguh tidak apa-apa?” tanya Lecty lembut.

“Ya, terima kasih, Lecty.”

Suara Lugh terdengar lemah di pundakku, tapi dia tetap berusaha tersenyum.

“Hugh, kalau ada apa-apa dengan Lugh, segera beri tahu aku, ya. Aku sudah minta izin pada pengurus asrama, jadi kalau kau datang ke lobi, mereka akan memanggilku.”

“Itu sangat membantu. Kalau ada sesuatu di pihak kalian juga, kabari aku.”

Pangeran Lucas memang bilang akan mengirim beberapa kesatria untuk berjaga. Dengan Alyssa-san di pihak mereka, akademi bisa dibilang cukup aman untuk sekarang.

Meski begitu, rasanya agak frustrasi karena tidak ada alat komunikasi darurat. Seandainya saja ada semacam telepon sihir atau alat mirip ponsel… yah, tentu saja tidak ada. Sebenarnya mungkin bisa dibuat dengan memodifikasi skill 〈Hypnosis〉, tapi sebaiknya jangan gegabah.

Aku menunda rencana itu dan berpisah dengan Lily serta Lecty di depan asrama putra.

Setelah sampai di kamar, aku menurunkan Lug dari punggungku. Ia berjalan gontai ke ruang ganti.

“Hei, mau ke mana?”

“Aku mau mandi. Badanku lengket banget.”

“Eh, jangan dulu. Kau masih lemah begitu, nanti malah jatuh.”

Aku paham perasaan tidak nyaman karena keringat, tapi dengan langkah sempoyongan seperti itu, dia bisa celaka di kamar mandi. Kalau sampai jatuh dan kepalanya terbentur, gawat. Lagipula, air hangat bisa memperparah demamnya.

“Hmm…” Lugh mengembungkan pipinya, kelihatan jengkel tapi juga manis sekali.

“Apa kalau aku ambilkan handuk basah saja untuk mengelap badanmu?”

“...Oke. Aku lakukan itu saja.”

Dia akhirnya mengangguk kecil, menerima saranku. Aku menyuruhnya berbaring di tempat tidur sementara aku menyiapkan air hangat dan handuk di kamar mandi.

Begitu kembali ke kamar dengan baskom berisi air dan handuk—

――di sana, Lugh duduk di tempat tidur dengan punggung telanjang menghadapku.

T-tunggu dulu!?

Aku hampir menjatuhkan baskom karena kaget. Tenang, Hugh, tenang! Situasi ini harus dipahami dulu!

Seragamnya sudah tergeletak berantakan di sofa. Ia tidak mengenakan apa pun di tubuh bagian atas, duduk di atas ranjangku dengan selimut menutupi bagian depan tubuhnya. Pipi merah, mata sayu, mungkin karena demam.

“Hugh… tolong pelan-pelan, ya…” katanya dengan suara manja.

Itu pasti maksudnya agar aku membantu mengelap punggungnya, kan!?

Kulit putih mulusnya nyaris berkilau seperti porselen. Aku tanpa sadar menelan ludah—bukan karena pikiran kotor, tapi karena gugup! Ya, gugup, bukan yang lain! Siapa pun akan gugup kalau melihat gadis yang disukainya setelanjang ini!

Aku meletakkan baskom di meja, membasahi handuk, dan memerasnya. Sempat terpikir untuk menyuruhnya mengelap sendiri, tapi membiarkannya lama-lama begini bisa bikin masuk angin.

Jadi, ya, ini murni demi kesehatannya. Murni.

“Ba-baiklah, aku mulai, ya…”

“Mm, silakan…”

Nada lembutnya hampir membuat otakku meledak. Aku menahan diri sekuat tenaga agar tidak terbawa suasana, lalu mulai mengusap lembut punggungnya dengan handuk hangat.

“Haa… ah…”

Suara desah kecilnya langsung membuat otakku blank. Setelah itu, entah bagaimana aku menyelesaikan tugas itu dengan kepala kosong dan buru-buru kabur keluar kamar setelah menyerahkan handuk padanya.

Aku menenangkan diri di lorong kamar selama beberapa menit—dan baru bisa bernapas lega setelah itu.

“Hugh, sudah boleh masuk,” panggilnya dari dalam.

Saat aku kembali masuk, Lug sudah berpakaian dan berbaring di tempat tidurku.

...Ya ampun, kenapa dia tidur di ranjangku? Tapi ya sudahlah, toh selama ini dia juga sering tidur di situ. Aku membetulkan posisi tidurnya dan menyelimuti tubuhnya.

Jam sudah menunjukkan waktu makan malam.

“Lugh, kau lapar? Aku bisa ke kafetaria dan ambil bubur roti untukmu.”

“Tidak perlu… Hugh.”

“Ya?”

“Tolong… pegang tanganku.”

Mungkin karena demamnya, ia mengulurkan tangan kiri dari balik selimut. Suaranya lembut, manis seperti madu. Pipinya memerah, mata birunya tampak berkilau di bawah cahaya kamar—benar-benar membuat hatiku bergetar.

Wah, bahaya. Aku hampir kehilangan kendali lagi.

Aku berlutut di samping ranjang dan menggenggam lembut tangannya dengan kedua tanganku.

“Hehe… tanganmu hangat sekali, Hugh.”

“Be-begitu, ya…”

...Astaga. Aku benar-benar menyukainya. Perasaan ini sudah tak bisa dibendung lagi.

“Terima kasih, Hugh. Karena kau menemaniku ke istana… Karena kau mendorongku untuk tidak menyesal… Aku bisa bertemu Ayah. Kalau Ayah meninggal begitu saja, aku pasti akan menyesal seumur hidup. Jadi… terima kasih.”

“Sudah cukup. Yang penting, Ayahmu sembuh, kan? Aku senang untukmu, Lucretia.”

“Ya…”

Ia tersenyum lembut, lalu perlahan memejamkan mata. Tak lama, terdengar napas tenangnya yang teratur.

Mungkin memang sudah waktunya berhenti berpura-pura. Aku tahu Lug sebenarnya adalah Putri Lucretia, dan dia pun tahu bahwa aku mengetahuinya.

Kami hanya terus berpura-pura tidak tahu—karena takut melangkah lebih jauh. Karena begitu melangkah, rasanya kami tak akan bisa berhenti lagi.

Namun—

“Aku mencintaimu, Lucretia,” bisikku pelan, menempelkan kedua tanganku yang menggenggam tangannya ke keningku.

Perasaan ini… bukan logika, bukan alasan.

Hanya perasaan murni yang terus mengalir dari lubuk hatiku—sesuatu yang sudah tak mungkin lagi kutahan.




Chapter 7

Setelah perebutan kekuasaan ini berakhir, aku akan menikah

Pagi hari, tepat seminggu setelah Lecty dan Saint Rosary menyembuhkan Yang Mulia Raja.

Seperti biasa, aku tengah menjalani latihan pedang harianku — dan seperti biasa pula, aku kalah tanpa bisa mengambil satu poin pun dari Alyssa-san. Setelah latihan berakhir, ia menyerahkan empat lembar undangan kepadaku.

“Ini… apa, ya?”

“Itu undangan untuk pesta malam merayakan kesembuhan Yang Mulia Raja, lho.”

“Pesta malam, ya…”

Yang terlintas di kepalaku adalah kejadian di kediaman Duke Lechery sekitar sebulan lalu — malam di mana, di tengah pesta, para tamu tiba-tiba berubah menjadi monster.

Jangan-jangan, kali ini pun bakal terjadi hal yang sama…?

Sampai sekarang belum diketahui penyebab mengapa para pelayan di rumah Duke berubah jadi monster, maupun asal obat yang mengubah Duke Lechery menjadi makhluk itu. Setelah kejadian itu, Pangeran Lucas juga tidak pernah memintaku membantu penyelidikan lagi.

Jujur saja, aku senang karena tak perlu menggunakan skill-ku secara sembarangan, tapi… kadang aku khawatir, apakah semuanya benar-benar aman?

“Tenang aja, pesta kali ini bakal dijaga ketat oleh seluruh pasukan Kesatria Kerajaan dan Militer. Sekarang Yang Mulia Raja sudah pulih, jadi ancaman perang saudara pun reda. Ini operasi gabungan, jadi aman!”

“Itu melegakan, tapi… kenapa empat undangan?”

Tentu saja satu untuk Lecty, lalu satu untukku dan satu lagi untuk Lily sebagai pendamping. Jadi, satu sisanya pasti untuk Lugh. Tapi… apa tidak masalah membawanya?

“Pangeran Lucas juga sempat bingung soal itu, tapi katanya Yang Mulia Raja sangat ingin bertemu Lugh. Lagipula, Baginda sudah mengetahui situasinya, jadi tidak perlu khawatir.”

“Begitu, ya… Kalau begitu, baiklah.”

Kalau Pangeran Lucas sendiri sudah menilai risikonya bisa diterima, aku tak punya alasan untuk menolak. Meski, tentu saja, keputusan akhirnya tergantung pada Lugh.

Pesta malam itu akan diadakan dua hari lagi. Untuk saat ini, aku harus membicarakannya dulu dengan yang lain.

Setelah mandi dan berganti pakaian, aku pergi ke kantin bersama Lugh. Dalam perjalanan, aku menyampaikan soal undangan itu padanya, dan seperti yang kuduga, ia langsung menjawab tanpa ragu, “Aku mau ikut!”

Karena hari ini hari libur, suasana kantin pagi itu cukup sepi. Aku sempat khawatir tak akan bertemu Lily dan Lecty, tapi ternyata mereka sudah duduk di meja dekat jendela, menikmati sarapan.

Aku dan Lugh mengambil sarapan kami dan menuju ke meja mereka. Setelah saling menyapa, aku duduk di samping Lecty, sementara Lugh duduk di samping Lily.

“Hugh-san, boleh saya lihat lukamu sebentar? Saya ingin memastikan kondisinya, lalu mengobatinya.”

“Ah… tidak perlu hari ini, Lecty. Aku baik-baik saja, tapi terima kasih atas niatmu.”

“Eh? Oh, b-baiklah…”

Lecty terlihat sedikit kecewa, menundukkan bahunya. Yah, selama ini dia memang selalu mengobatiku setiap hari. Mungkin dia sudah menyiapkan diri sejak pagi untuk melakukannya.

“Hihi~ Lecty, reaksimu seperti kecewa karena Hugh nggak terluka, ya.”

“E-eh!? B-bukan begitu! Bukan begitu, kok! Jangan salah paham, Hugh-san!”

“Iya, iya. Aku tahu kok.”

Aku menenangkan Lecty yang panik, lalu menatap Lily dengan tatapan protes karena menggoda gadis polos itu. Lily malah menjulurkan lidah sambil tersenyum nakal.

…Benar-benar, akhir-akhir ini dia mulai terlihat lebih ceria, lebih seperti gadis seusianya. Saat masalah pertunangannya masih ribut, dia selalu tegang dan berhati-hati.

“Maaf, Lecty. Aku cuma bercanda.”

“Geez, Lily-chan!”

Lecty memelototinya dengan wajah cemberut, tapi Lily hanya tertawa lembut. Di sisi lain, Lug yang sedang makan roti memperhatikanku dengan wajah khawatir.

“Hugh, kamu nggak maksa diri, kan? Kamu masih ada luka, kan?”

“Yah, sedikit sih. Tapi kalau setiap kali terluka aku langsung minta disembuhkan, nanti malah nggak tahan banting. Katanya luka itu lambang kehormatan pria.”

“Eh… apaan tuh?”

Lugh menatapku dengan ekspresi bingung. Yah, mungkin dia benar — luka akibat dipukuli habis-habisan oleh Alyssa-san sepertinya bukan lambang kehormatan juga.

“Hugh, kamu suka rasa sakit, ya…”

“Jangan disalahartikan begitu.”

“Heee~ informasi bagus tuh,” celetuk Lily sambil menjilat bibir pura-pura genit.

“Berhenti lakukan itu, Lily.”

“Waah… pelajaran baru nih,” kata Lugh dengan polosnya.

“Jangan pelajari hal aneh seperti itu!”

Setelah sarapan penuh kekacauan itu, kami keluar dari kantin dan menuju taman akademi. Di sana ada gazebo kecil — tempat favorit para bangsawan muda untuk minum teh, tapi di pagi hari biasanya sepi, cocok untuk berbicara dengan tenang.

“W-wah, jadi ini yang namanya pesta teh! Aku jadi gugup!”

Sepertinya Lecty salah paham.

“Eh, maaf. Aku nggak mengajak kalian untuk pesta teh, kok.”

“Oh, begitu ya…”

“Alyssa-san memberiku undangan pesta malam di istana untuk merayakan kesembuhan Yang Mulia Raja. Aku ingin menyerahkannya pada kalian.”

Sebenarnya aku bisa menyerahkannya di kantin, tapi bicara di tempat ramai tidak nyaman. Lagipula, kami tak ingin menarik perhatian seperti waktu itu.

Begitu menerima undangan, Lily langsung menghela napas berat.

“Aku sudah menduga, tapi ternyata waktunya benar-benar datang juga…”

Selama seminggu ini, pihak istana hanya mengumumkan bahwa Raja sudah sembuh, tanpa menyebut sedikit pun tentang dua orang “Suci” yang menyelamatkannya.

Idealnya, seharusnya memang dibiarkan begitu saja — dianggap pulih secara alami. Kalau tidak ada cerita soal mukjizat penyelamatan itu, maka gereja pun tak akan berusaha merekrut Lecty lagi.

“Tapi sayangnya, Pangeran Slay pasti tidak akan diam. Aku yakin di pesta nanti, kisah kepahlawanan dua orang suci akan diumumkan besar-besaran. Jadi, bersiaplah ya, Lecty…”

“B-baik…”

“Maaf ya, Lecty… semuanya jadi rumit karena keluargaku.”

Lugh menunduk, tampak merasa bersalah. Lecty justru menatapnya bingung.

“Um, dari dulu aku ingin bertanya… Lugh-san itu sebenarnya…”

“Eh!? B-bukan! Aku cuma anak bangsawan kecil, bukan putri kerajaan, oke!?”

“O-oh… begitu, ya.”

Lecty berkedip bingung.

Ya ampun, dia malah mengakuinya sendiri… dasar putri ceroboh.

“(Hugh-san, sebaiknya aku pura-pura nggak dengar ya…?)” bisik Lecty pelan.

“...Iya, biarkan saja, tolong pahami dia dengan lembut.”

Aku membalas lirih, pasrah sepenuhnya.

Lily kemudian menengahi sambil menghela napas. “Ngomong-ngomong, kalian berdua ada rencana hari ini?”

“Tidak juga.”

Sebenarnya aku sempat berpikir mau belajar untuk ujian tengah semester minggu depan.

Semalam aku menawari Lugh untuk jalan-jalan ke kota seperti minggu lalu, tapi dia menolak sambil berkata, “Hugh harus belajar dulu.”

“Bagus, kalau begitu. Aku dan Lecty mau ke rumah keluarga Puridy. Kalian berdua ikut, ya?”

“Ke rumah keluargamu?”

“Iya. Aku sudah memanggil penjahit dari toko langganan keluarga. Kita harus menyiapkan pakaian untuk pesta nanti.”

“Oh, benar juga. Pesta seperti itu pasti ada dress code,” kata Lugh sambil menepuk tangan.

Ah, iya. Dulu saat ikut pesta di pihak Pangeran Slay juga, Marquis Puridy bilang seragam akademi tidak cocok untuk acara seperti itu.

Seragam akademi memang dianggap pakaian resmi dalam upacara kenegaraan, tapi untuk pesta dansa atau jamuan, dibutuhkan pakaian yang lebih elegan. Aku, yang berasal dari keluarga di pelosok, tidak pernah diajari hal seperti itu.

“T-tapi Lily-chan, aku nggak bisa pakai gaun… aku pasti kelihatan aneh… dan juga mahal…”

“Sudah kubilang, Lecty. Soal cocok atau tidak, baru bisa dilihat setelah kamu mengenakannya. Masalah biaya, nanti kamu bisa bayar belakangan. Lagipula, kamu akan menerima hadiah dari Raja, kan?”

“Tapi tetap saja…”

Entah karena malu, atau karena tidak enak hati, Lecty masih ragu. Lily lalu melirikku sekilas dan berbisik ke telinga Lecty.

“(Anggap saja latihan, supaya Hugh bisa lihatmu dalam gaun cantik~)”

Dan booom, wajah Lecty langsung memerah seperti tomat matang. Hey, Lily! Apa yang kau bisikkan padanya!?

Lecty menutupi wajahnya dengan kedua tangan, tapi dari celah jarinya ia melirik ke arahku. Apa yang baru saja terjadi, sih!?

“Lecty, kalau kamu nggak mau, bilang aja nggak usah maksa, ya?”

Kukira dia akan menolak, tapi ternyata ia menggeleng pelan. Lily sepertinya berhasil meyakinkannya — entah bagaimana caranya.

“Hugh dan Lugh juga belum punya pakaian untuk pesta, kan? Sekalian saja kita siapkan bersama.”

“Itu memang membantu, tapi… apa nggak terlalu merepotkan?”

Kalau Lily sampai menyiapkan pakaian untuk kami juga, biayanya pasti tidak sedikit. Aku bisa mengerti kenapa Lecty tadi ragu. Meskipun bagi keluarga bangsawan besar seperti Puridy mungkin bukan masalah besar, tetap saja aku merasa tidak enak.

Apalagi, aku tidak punya uang untuk mengganti. Uang saku dari ayahku pun sudah hampir habis.

Namun Lily tersenyum lembut. “Tenang saja. Untukmu, Hugh, aku pakai jas lama ayahku. Untuk Lugh, nanti akan kukirim tagihannya ke Pangeran Lucas.”

Jadi, intinya kami tidak perlu khawatir soal biaya.

“Kalau begitu, baiklah. Terima kasih, Lily. Bagaimana, Lugh?”

“Eh? A-ah, iya! Terima kasih, Lily.”

“Serahkan padaku,” katanya bangga sambil menepuk dada.

Dan begitu, kami pun berangkat menuju kediaman Marquis Puridy di pusat kota.

Kali ini kami menumpang kereta Alyssa-san. Rupanya Lily sudah memintanya sejak kemarin. Saat kami tiba di gerbang sekolah, Alyssa-san sudah menunggu dengan keretanya.

“Terima kasih, Alyssa-san-sensei.”

“Tidak usah sungkan, aku sekalian mau melapor ke Pangeran Lucas, jadi satu perjalanan aja.”

Sambil menjawab Lily dengan sopan, Alyssa-san menepuk punggungku sambil terkekeh.

“Wih, makin populer aja kamu, ya! Dasar lelaki beruntung!”

“Tolong jangan pukul sekeras itu, sakit banget, serius.”

Sambil memegangi punggung yang nyut-nyutan, aku naik ke kereta. Sekitar tiga puluh menit kemudian, kami tiba di rumah besar keluarga Puridy.

Ternyata Alyssa-san juga akan menjemput kami lagi nanti setelah urusan selesai.

Begitu masuk ke rumah, kami disambut oleh para pelayan dan diarahkan ke ruang tamu. Entah kenapa, tempat ini masih memberiku sedikit rasa canggung, mungkin karena dulu sempat bertemu langsung dengan Marquis Puridy dalam suasana tegang.

“Eh, Marquis Puridy-nya sendiri mana?” tanyaku heran.

Kupikir beliau akan menyambut kami seperti terakhir kali, tapi sejauh ini belum terlihat. Di ruang tamu juga hanya ada empat cangkir teh yang disiapkan.

“Kalau Ayah, dia sedang tidak di rumah. Belakangan ini beliau sibuk keLilyng kerajaan sebagai tangan kanan Pangeran Lucas. Mungkin belum bisa pulang dalam waktu dekat.”

“Wah, terdengar berat, ya…”

Aku refleks memegangi perut — trauma dari masa lalu sebagai ‘pekerja rodi’ di dunia lamaku masih terasa.

“Kalau dari surat-suratnya sih, beliau kelihatannya malah menikmati pekerjaannya. Dulu, waktu masih di pihak Pangeran Slay, Ayah sering mengeluh karena banyak tekanan dari dalam istana sendiri.”

“Ah, paham.”

Sepertinya Marquis Puridy sekarang merasa bebas — seperti orang yang baru saja keluar dari pekerjaan lama yang menyesakkan. Aku bisa mengerti perasaannya sepenuhnya.

“Baiklah, aku dan gadis-gadis ini akan ke ruang ganti untuk melihat-lihat gaun. Hugh, kamu tunggu di sini sebentar, ya?”

“Eh? Aku nggak ikut?”

“Bajumu sudah siap, kan? Cuma perlu sedikit penyesuaian, jadi tidak perlu. Nikmati saja tehnya.”

Begitu berkata demikian, Lily membawa Lecty dan Lugh keluar dari ruang tamu.

...Serius, aku dibawa ke sini cuma untuk nungguin mereka?

Ya sudahlah. Aku duduk di sofa dan menikmati teh hangat yang disajikan pelayan. Terakhir kali aku di sini, aku terlalu gugup untuk merasakan aroma dan rasanya.

Kali ini, mungkin aku bisa santai sedikit.

Namun, baru saja aku berpikir begitu—

"Aku kangen sekali padamu, Lily! Begitu kudengar kamu akan pulang, Ayah sampai buru-buru kembali dari selatan... ah."

"Buhoh!?"

Marquis Puridy muncul dengan penuh semangat, dan aku pun tanpa sengaja menyemburkan teh dari hidung dan mulutku.

“Ma–maaf, terima kasih sudah menerima saya, Yang Mulia Marquis Puridy.”

“Umu, santailah.”

Marquis Puridy menjawab sapaku dengan tenang sambil duduk di sofa seberang. ...Tidak, kenapa harus duduk di hadapanku!? Kenapa setiap kali aku datang ke sini, suasananya selalu jadi sekaku ini!?

Sambil mengeluh dalam hati, aku meneguk teh yang kini tak lagi terasa aroma ataupun rasanya.

Alasan aku begitu tegang jelas karena pria di depanku ini adalah ayah dari Lily.

『Kau harus berkenalan dengan Ayah juga suatu saat nanti, ya, Suamiku?』

Ucapan Lily saat kami berpisah di kediaman Duke Lechery terlintas di kepalaku. Aku tak tahu bagaimana masa depan akan berjalan, tapi mau tak mau aku jadi sadar akan hal itu.

Meskipun tentu saja, ini belum waktunya untuk "berkenalan secara resmi".

“Ehem, Hugh-kun. Terima kasih karena sudah menolong putriku waktu itu. Aku ingin mengucapkan rasa terima kasihku secara langsung.”

“Ti–tidak sama sekali, saya tidak melakukan apa-apa. Yang menolong Lily adalah Pangeran Lucas.”

Aku menjawab dengan jawaban standar yang sudah sering terucap. Lecty mungkin akan menegurku lagi karena terlalu merendah, tapi sungguh aku tak mungkin berkata “aku yang menolong” di hadapan Marquis Puridy.

“Memang benar, Yang Mulia Pangeran tidak hanya menolong putriku, tapi juga banyak membantu keluarga Puridy. Namun, aku dengar dari beliau bahwa kamulah yang meminta agar putriku diselamatkan. Maaf baru sekarang aku bisa mengucapkan terima kasih.”

“Tidak, sama sekali tidak apa-apa.”

Aku menunduk sopan, dan Marquis Puridy tersenyum lembut. Ia mengangkat cangkir teh dan meneguknya. Aku pun mengikuti, namun—

“Ngomong-ngomong, apa pendapatmu tentang putriku?”

“Bufuh!”

Sekali lagi aku menyemburkan teh yang hampir kuteguk. Sambil terbatuk-batuk, aku melirik wajah Marquis, yang kini tersenyum geli. Apa dia sengaja, orang ini!?

Sepertinya sisi usil Lily memang diturunkan langsung dari ayahnya.

“Ma–maksud Anda, bagaimana, ya...?”

“Dalam arti apa pun tidak masalah. Sebagai ayah, wajar jika aku ingin tahu tentang kehidupan sosial anakku di Akademi Kerajaan, bukan?”

...Yah, kalau dikatakan begitu, memang masuk akal.

Namun entah mengapa mataku terus saja tertuju pada pedang yang bersandar di sebelah sofa—diletakkan di posisi yang bisa langsung diambil kapan saja.

Untungnya sebelum berangkat dari akademi aku sempat mengganti skill ke <Ninja>, jadi kalaupun harus kabur, mungkin masih bisa...

“Lily... selalu sangat membantu saya. Bahkan hari ini pun, dia yang menyiapkan pakaian untuk pesta malam nanti guna merayakan kesembuhan Yang Mulia Raja. Katanya pakaian yang saya kenakan ini adalah milik Marquis yang sudah tidak dipakai...”

“Lily memang seperti ibunya, berhati lembut dan penuh perhatian. Dia juga punya selera bagus dan sangat pandai di kalangan sosial. Aku pun mempercayakan banyak hal padanya. Sebenarnya, pakaian yang kupakai ini pun Lily yang memilihkannya. Sejak aku menyerahkan urusan wilayah pada istriku dan hidup terpisah, Lily-lah yang sering mengurus berbagai hal untukku.”

“Begitu, ya...”

Ibu Lily, huh... Pasti wanita yang cantik dan cerdas seperti putrinya.

“Putriku memang sedikit keras kepala, tapi bagiku, ia tumbuh menjadi wanita yang sempurna, cantik luar dalam.”

“Ya, saya sangat setuju.”

“Itu sebabnya, kalau kau berniat menikahinya, kumohon jadilah pria yang pantas dulu.”

“Ya... Eh!? Ma–maaf!?”

Tiba-tiba saja topiknya melompat sejauh itu!?

Aku menatapnya kaget, sementara Marquis menurunkan alisnya dengan ekspresi sedikit sedih.

“Dalam surat-suratnya, Lily semakin sering menulis tentangmu. Bahkan aku, yang selama ini disebut tumpul oleh istriku, bisa menyadarinya.”

“Ah... begitu, ya...”

Lily, apa yang kau tulis dalam surat-suratmu itu!? Rasanya lubang luar dan dalam benteng pertahananku makin tertutup...

“Hugh-kun, aku tahu kau tidak membenci putriku. Kalau tidak, kau tak akan berusaha sekuat itu menyelamatkannya hanya karena alasan ‘teman masa kecil’, bukan?”

“Itu... yah...”

Sebenarnya aku mulai menyukai Lily sebagai perempuan justru setelah menolongnya, tapi kalau kukatakan begitu sekarang, pasti tidak dipercaya.

“Tak perlu menyangkal. Aku juga sudah mendengar banyak tentangmu dari Pangeran Lucas. Beliau sangat menghargaimu. Jika beliau benar-benar naik tahta, kau pasti akan mendapat posisi yang layak.”

“Semoga saja begitu...”

Tujuanku sebenarnya hanya hidup damai dan santai. Setelah mati karena kerja berlebihan di kehidupan sebelumnya, aku hanya ingin menikmati hidup tenang di pedesaan.

Tapi akhir-akhir ini... aku sadar aku jadi sedikit lebih serakah.

Jika hidup tenang itu bisa kujalani bersama Lug, Lily, dan Lecty... mungkin tak apa untuk berusaha keras lebih dulu.

Kalau untuk itu aku perlu kedudukan, aku tak keberatan. Tapi justru itu yang membuatku sedikit khawatir.

“Apakah kau tidak percaya pada Pangeran Lucas?”

“Ti–tidak! Bukan begitu...”

Marquis menatap tajam seolah bisa membaca pikiranku. Aku buru-buru menahan diri.

Sial, salah langkah...

Marquis Puridy kini adalah pemimpin utama faksi Pangeran Lucas. Aku bisa saja menimbulkan salah paham.

“Tidak apa-apa. Justru itu bagus. Aku juga berpikir bahwa berhati-hati terhadap beliau adalah hal yang bijak.”

“Begitu, ya...?”

“Karena, jujur saja, beliau itu mencurigakan, bukan?”

...Alasan sesederhana itu!?

Bahkan pemimpin faksinya sendiri merasa pangerannya "mencurigakan"!?

“Kurasa Pangeran juga tidak menginginkan pengikut yang buta dalam kesetiaan. Malah sepertinya beliau lebih menghargai orang-orang seperti kita yang tetap berhati-hati. Dan... sepertinya beliau punya perasaan khusus padamu.”

“Pe–perasaan khusus!?”

Jangan-jangan...!? Tidak, tidak mungkin—meski kalau dipikir lagi, beliau memang sering terlalu dekat secara fisik... Astaga.

“Selama kau mempercayainya, beliau tidak akan mengkhianatimu. Aku bisa menjaminnya. Tolong, percayalah pada Pangeran sampai akhir. Dia sebenarnya anak muda yang sangat biasa.”

“Anak muda biasa...?”

Kalimat itu rasanya aneh, tapi... mungkin saja benar.

Lily pernah bilang bahwa ia dan Lady Lucretia sering bermain ke rumah satu sama lain saat kecil. Mungkin Marquis ini mengenal Lucas kecil.

Selama aku mempercayainya, dia tidak akan mengkhianatiku... ya?

Tapi aku menyadari—aku sebenarnya tidak tahu apa-apa tentangnya.

“Ada satu hal yang ingin kutanyakan. Kenapa Pangeran Lucas ingin menjadi raja?”

Aku yakin bukan hanya karena dia adalah pangeran. Pasti ada alasan yang lebih besar—tujuan atau mimpi yang hanya bisa dicapai dengan menjadi raja.

Entah kenapa... aku merasa dia mirip denganku. Orang yang seharusnya lebih menyukai hidup santai ketimbang tahta.

“Dulu aku pernah bertanya padanya, tapi dia mengelak dengan sangat halus. Namun, mungkin padamu, dia akan jujur.”

Marquis Puridy tersenyum lembut, seolah mengenang masa lalu.

Padaku, ya...

Baiklah. Kalau nanti ada kesempatan bicara empat mata, aku akan menanyakannya langsung—tentu sambil tetap waspada terhadap "perasaan khusus" itu...

Kami pun berbincang cukup lama setelah itu. Tentang rencana faksi Pangeran Lucas ke depan, pandangan terhadap Gereja Ilahi, juga pendapat mengenai Lecty. Percakapan itu sangat berharga.

Kali ini suasananya jauh lebih cair daripada pertemuan sebelumnya, mungkin karena Marquis sangat pandai mengatur arah pembicaraan. Seperti ayah Lily, beliau cerdas dan lihai berbicara—benar-benar ahli komunikasi.

Waktu berlalu cepat, dan pembicaraan kami mulai bergeser dari urusan politik ke hal pribadi—tentang masa kecil Lily.

Tentang saat pertama kali Lily berbicara, atau tentang gambar wajah Marquis yang digambar Lily untuk ulang tahunnya, yang hingga kini masih terpajang di ruang kerjanya...

Kisahnya memang hangat, tapi jujur saja, aku mulai kelelahan terus-terusan mengangguk dan tersenyum. Kasihan juga Lily kalau semua ini kudengar terlalu banyak.

Namun sebagai tamu, aku tak bisa seenaknya memotong pembicaraan. Saat aku masih bingung mencari alasan, pintu akhirnya terbuka—dan Lily muncul.

“Maaf menunggu, Hugh. Sekarang aku—... eh, Ayah?”

Lily yang baru menampakkan kepala dari balik pintu langsung menunjukkan wajah masam saat melihat ayahnya. Sepertinya kedatangan Marquis memang di luar perkiraannya.

“Aku sudah bilang pada para pelayan agar tidak memberitahumu, tapi rupanya...”

Tatapan tajam Lily berkeLilyng ke arah ruangan, dan pelayan yang melayani kami segera mengalihkan pandangan.

“...Ya sudahlah. Ayah, aku ingin Hugh melihat gaun yang akan kupakai untuk pesta malam nanti. Jadi, bisakah Ayah meninggalkan kami dulu? Toh Ayah pasti kabur dari pekerjaan, kan?”

“Ugh... tapi...”

“Tolong pertimbangkan posisimu, Ayah. Sekarang Ayah adalah pemimpin utama faksi Pangeran Lucas. Faksi kita tidak sebesar milik Pangeran Slay, juga tidak seerat faksi Pangeran Blute. Naik turunnya kekuatan faksi tergantung pada Ayah.”

“Itu... memang benar, tapi...?”

Marquis melirik ke arahku dengan canggung. Lily menghela napas kecil.

“Kalau begitu, bagaimana kalau nanti kita bertiga makan malam bersama? Setelah semuanya tenang.”

“Itu ide bagus! Masih banyak yang ingin kubicarakan dengan Hugh-kun. Baiklah, kita lakukan itu. Bagaimana, Hugh-kun?”

“Dengan senang hati, saya akan datang.”

Mendengar jawabanku, Marquis tampak puas, mengangguk dan berdiri dari sofa.

“Lusa malam aku juga akan hadir di pesta kerajaan. Sampai jumpa di sana, Hugh-kun.”

Setelah berkata demikian, Marquis Puridy keluar dengan langkah anggun.

Beberapa saat kemudian, setelah mungkin sempat berbicara sebentar dengan ayahnya di luar, Lily kembali masuk.

Yang langsung menarik perhatianku adalah gaun berwarna biru tua yang dikenakannya—anggun dan menawan. Potongannya sederhana tapi elegan, dengan permata kecil di dada dan sulaman benang perak di bagian bawah yang berkilau seperti bintang di langit malam.

Jika keanggunan dan kecerdasan Lily diwujudkan menjadi pakaian, pasti seperti inilah hasilnya.

“Fufu, karena kamu terdiam dan hanya bisa menatapku, artinya aku menang lagi, kan?”

“Ya, aku menyerah. Dua kali kalah berturut-turut.”

Aku mengangkat kedua tangan tanda menyerah. Seperti pesta sebelumnya, kali ini pun aku lagi-lagi dibuat terpukau.

Dengan senyum puas, Lily lalu bertanya, “Jadi?”

“Boleh aku mendengar pendapatmu?”

“Hmm... Gaun merah tua sebelumnya juga cocok untukmu, tapi kalau harus memilih, aku lebih suka gaun biru tua itu. Entah kenapa, rasanya lebih menggambarkan dirimu, Lily.”

“S-suka...!?”

“Ya, warnanya cocok dengan suasana tenang dan kesan cerdas yang kamu miliki. Kamu kelihatan cantik sekali.”

“S...sungguh? Kalau begitu, aku akan memakai gaun ini ke pesta malam nanti. Sebenarnya aku ingin mencoba beberapa gaun lain dan memperlihatkannya padamu, tapi kalau kamu bilang kamu suka yang ini, ya sudah, aku pilih yang ini.”

“Tidak apa-apa, kita masih punya waktu. Aku bisa menemanimu mencoba semua gaun, kok.”

“Tidak perlu. Aku sendiri juga menyukai gaun ini, dan lagipula tujuan kita hari ini bukan itu. Sekarang masuk ke topik utama—lihatlah gaun milik Lecty.”

“O-oh, baiklah.”

Sebenarnya aku ingin sekali melihat Lily dalam berbagai gaun lainnya, tapi kupikir kalau aku memintanya langsung, rasanya agak memalukan. Lagi pula, sepertinya Lecty sedang menunggu di luar pintu.

Begitu Lily memanggilnya, Lecty menampakkan wajahnya yang memerah malu.

“L-Lily-chan... aku merasa malu sekali...”

“Aduh, kamu ini, sudah sampai sini malah bilang begitu? Ayo cepat masuk, di belakangmu masih ada yang menunggu.”

“Uuh... T-tapi, Hugh-san, jangan tertawa kalau aku terlihat aneh, ya...”

Sambil berkata begitu, Lecty masuk ke dalam ruangan. Ia mengenakan gaun ungu muda yang lembut, tampak anggun bak bunga bangsawan.

Warna itu mengingatkanku pada bunga lilac, sangat serasi dengan rambut peraknya yang berkilau kebiruan. Kalung mutiara sederhana di lehernya memantulkan cahaya lembut, menambah pesonanya.

“U-um... Bagaimana menurutmu, Hugh-san...?”

“Lily, ini tidak bisa dibiarkan. Ia terlalu cantik—nanti semua bangsawan lajang di pesta bisa langsung melamarnya.”

“Eeeh!? M-melamar...!?”

“Walau begitu, sebagai pemeran utama pesta malam nanti, dia tidak bisa berpakaian sembarangan. Lagipula, mungkin saja dia akan masuk ke aula dengan didampingi langsung oleh Yang Mulia Raja. Dan... yah, bahan dasarnya memang terlalu bagus. Aku sudah berusaha menahan diri sebisa mungkin, tahu?”

“Kamu menahan diri... dan hasilnya masih secantik ini...?”

Aku tanpa sadar memandangi Lecty lama-lama.

Memang, dibandingkan dengan gaun biru tua Lily, gaun ini terlihat lebih sederhana. Aksesori pun hanya kalung mutiara. Tapi justru kesederhanaan itu membuat pesona aslinya semakin menonjol.

“H-Hugh-san... jangan menatapku seperti itu... aku malu...”

“Maaf, aku terbawa suasana... Tapi serius, kita harus bagaimana dengan ini...?”

“Yah, satu-satunya cara mungkin meminta Pangeran Lucas agar memohon kepada Raja untuk menjadikan pesta malam itu pesta topeng, masquerade.”

“Itu jelas tidak mungkin...”

Jelas itu hanya lelucon, tapi kalau begitu, kasihan juga kakak iparku nanti yang akan ditodong permintaan aneh begitu. Sepertinya urusan ini perlu kubicarakan dengan Pangeran Lucas.

“...Ngomong-ngomong, apa yang sedang dilakukan Lugh di sana?”

Aku melihat Lugh mengintip dari balik pintu, dan bertanya pada Lily yang sepertinya tahu alasannya.

“Dia juga ingin kamu menilai pakaiannya. Maaf sudah membuatmu menunggu, Lugh, sekarang kamu boleh masuk.”

Mendengar itu, Lugh masuk perlahan dengan wajah gugup.

“... ... ...”

Aku langsung kehilangan kata-kata melihatnya.

Tubuh mungilnya dibalut gaun hijau zamrud yang lembut, desainnya menonjolkan kesan manis dan anggun—benar-benar cocok untuknya. Benang perak yang menyulam gaun itu berpadu sempurna dengan rambut peraknya yang berkilau.

“Cantik... Aku suka... Aku ingin menikahinya sekarang juga.”

Kalimat itu nyaris keluar dari mulutku, tapi untung aku masih sempat menahannya. Itu bukan hal yang seharusnya kukatakan.

“C-cantik banget... eh bukan! Kenapa Lugh memakai gaun, hah!?”

Aku menatap Lily yang kemungkinan besar dalangnya. Di ruang tamu ini ada pelayan keluarga Puridy, dan seharusnya para pedagang serta pembantu yang membantu proses ganti pakaian.

Yah, mengingat keluarga Puridy sekarang berpihak pada Pangeran Lucas, selama tidak ada yang tahu siapa Lugh sebenarnya, mungkin tidak masalah.

“Aku juga terkejut waktu dia minta dipakaikan gaun. Tidak kusangka Lugh punya hobi berpenampilan seperti perempuan.”

“A-ah... begitu...”

Jadi itu alasan mereka, ya... Tapi apakah benar-benar bisa lolos begitu saja...?

“Aku hanya ingin mengejutkanmu, Hugh. Makanya aku memaksa Lily sedikit. Jadi... gimana? Cocok nggak?”

“Cocok banget. Serius, kamu terlihat luar biasa.”

Saking cocoknya, tidak ada yang akan menyangka dia bukan gadis sungguhan—ya, meski sebenarnya dia memang gadis.

Berbeda dari saat aku melihatnya sebagai Putri Lucretia di istana, kali ini rambut peraknya membuat gaun hijau zamrud itu semakin memancar. Bukan pesona kerajaan, melainkan kecantikan alami seorang gadis yang polos dan memikat.

“S-sungguh? Hehehe~”

Lugh tersenyum malu dengan pipi memerah.

Aduh, terlalu manis. Kalau semua berjalan lancar dan aku benar-benar menikah dengannya, aku ingin dia mengenakan gaun ini di resepsi nanti.

“Yah, sepertinya aku kalah telak dari yang asli...”

“Lugh-san, aku iri...”

Kedua gadis itu bergumam pelan, tapi telingaku yang sudah terlatih dengan skill ninja menangkap setiap kata. Sial, aku lupa mereka masih di sini. Malunya bukan main.

Aku berdeham untuk menutupi rasa canggung dan menatap Lily.

“Jangan bilang... kalian benar-benar akan pergi ke pesta malam dengan pakaian itu?”

“Tentu saja tidak. Ini cuma permainan kecil saja. Untuk Lugh, tuksedonya belum jadi, jadi hari ini hanya pengukuran ukuran tubuh saja. Pakaian aslinya akan selesai sebelum pesta.”

Pestanya dua hari lagi, jadi para penjahit benar-benar harus bekerja cepat. Aku sangat berterima kasih pada Lily dan para pengrajin yang mengurus semuanya.

Setelah itu, ketiganya mengganti pakaian mereka kembali ke seragam, dan kami berempat belajar bersama sambil menunggu Alyssa-san datang menjemput. Aku sudah bersiap untuk menemani mereka memilih gaun seharian penuh, tapi ternyata selesai lebih cepat dari dugaanku.

Karena cuaca cerah, kami belajar di gazebo taman keluarga Marquis Puridy. Angin lembut sesekali membawa aroma manis bunga-bunga di taman yang indah itu.

“Lecty, kamu sudah jauh lebih cepat menyelesaikan soal-soalnya dibanding dulu, ya.”

Lugh memuji dengan kagum saat melihat Lecty mengerjakan soal latihan yang sepertinya dibuat sendiri oleh Lily. Dulu, dia kesulitan dengan soal hitungan, tapi sekarang tangannya melaju lancar di atas kertas.

“Terima kasih, Lugh-san. Semua ini berkat Lily-chan yang mengajariku setiap hari.”

“Itu karena kamu juga rajin. Dia sebenarnya pintar, hanya saja sebelumnya tidak pernah punya kesempatan untuk belajar. Begitu diajari, dia langsung menyerap semua dengan cepat seperti spons.”

“Waaah, aku iri~”

Lugh menatapku dengan mata setengah melotot. Haruskah aku menanyainya maksud dari “iri” itu selama satu jam penuh nanti?

Aku juga bukan bodoh, tahu. Di kehidupanku yang lalu aku lulus kuliah, cuma agak lemah sedikit dalam menghafal tahun-tahun sejarah saja...

“Ngomong-ngomong, jadwalnya padat banget, ya. Beberapa hari setelah ujian tengah semester langsung ada pertandingan antarkelas. Biasanya orang kasih jeda dulu.”

Aku mencoba mengalihkan topik karena tidak tahan dengan tatapan Lugh. Ujian tengah minggu depan, lalu minggu berikutnya langsung pertandingan antarkelas. Gila padatnya.

“Tahun lalu pertandingan antarkelas diadakan di semester dua, tapi tahun ini dipercepat karena ada peringatan tiga puluh tahun kemenangan perang.”

“Peringatan kemenangan?”

“Sudah dijelaskan waktu pengumuman hasil ujian, kan? Tahun ini kita akan mengundang akademi dari negara sahabat untuk berpartisipasi dalam acara itu.”

“Aah... kayaknya aku ingat, mungkin.”

“Aduh, kamu ini. Bulan depan juga ada latihan lapangan di luar sekolah. Jadi ya, tidak ada waktu lain kecuali sekarang. Senior-senior kita malah yang paling kasihan, karena kalau kalah dari junior mereka di pertandingan nanti, malu besar.”

“Kesimpulannya, Hugh harus berhenti mengeluh dan mulai belajar, begitu maksudnya.”

“Kesimpulanmu kok maksa banget, sih...”



Chapter 8

Aku akan menjadi seorang Saintess

Hari pesta dansa akhirnya tiba begitu cepat.

Setelah menyelesaikan latihan pagi bersama Lugh dan menuju kafetaria, suasananya terasa jauh lebih ramai dari biasanya. Aku sempat mengira terjadi keributan atau perkelahian, tapi ternyata bukan itu alasannya. Rupanya, perhatian semua orang tertuju pada Lecty dan Lily yang sedang makan di sana.

“Sepertinya rumor sudah menyebar luas, ya.”

“Benar juga…”

Dua hari lalu, para bangsawan diberi tahu bahwa pesta dansa akan diadakan untuk merayakan kesembuhan Yang Mulia Raja. Sejak itu, kabar bahwa “Lecty dan sang Saintess menyembuhkan penyakit Raja” telah menyebar ke seluruh Akademi Kerajaan. 

Lily tetap tenang seperti biasa sambil melanjutkan sarapannya, sementara Lecty tampak tidak nyaman dengan semua tatapan itu.

Aku merasa kasihan pada mereka, tapi hari ini lebih baik kami makan secara terpisah. Bahkan jika aku duduk bersama mereka, perhatian tidak akan berkurang, dan mengingat situasi Lugh, kami tidak boleh mengambil risiko. Hal ini sudah kami sepakati sejak kemarin.

Jadi, kami makan terpisah dan juga pergi ke kelas secara terpisah. Namun, ketika kami tiba di kelas, Lecty langsung diserbu oleh teman-teman sekelasnya dengan berbagai pertanyaan.

“Lecty! Apa benar kau menyembuhkan penyakit Raja!?”

“Jadi benar dong, skill <Saintess> itu punya kekuatan ajaib seperti dalam dongeng!”

“Luar biasa! Saintess kebanggaan kita!”

“Lec-ty! Lec-ty!”

Baik bangsawan maupun rakyat biasa berkerumun di sekitarnya dengan penuh semangat. Sulit dipercaya bahwa hanya beberapa waktu lalu, mereka terbagi dalam kubu Pangeran Slay dan Pangeran Brute, dan nyaris bentrok.

“U-um, a-ada banyak hal yang belum bisa aku ceritakan! T-tolong tenang dulu semuanya!”

Kasihan juga si Lecty, sepertinya dia cukup kewalahan…

Setelah pelajaran pagi berakhir, kami diperbolehkan pulang lebih awal untuk mempersiapkan pesta malam, lalu naik kereta yang dikemudikan Alyssa-san menuju istana.

Awalnya aku mengira kami akan mampir dulu ke kediaman Marquis Puridy untuk berganti pakaian sebelum menuju istana, tapi ternyata semua pakaian pesta kami—baik gaun maupun tuksedo—sudah dikirim langsung ke istana atas perintah Lily.

Sesampainya di sana, kami disambut oleh Tuan Roan dan Merry yang mengenakan seragam pelayan. Lily dan Lecty segera pergi bersama Merry dan Alyssa-san ke ruang ganti untuk mengenakan gaun, sementara aku dan Lugh diarahkan oleh Tuan Roan ke ruangan lain.

Aku sudah berganti ke mode <Ninja> demi berjaga-jaga, dan berkat itu aku menyadari sesuatu yang aneh dari cara berjalan Tuan Roan. Langkahnya terasa agak kaku, tidak natural. Bukan karena cedera… mungkin karena gugup?

…Tunggu dulu. Ini Tuan Roan, wakil komandan Ksatria Kerajaan, seorang <Swordmaster> legendaris, dan dia gugup!?

Perasaan tidak enak langsung muncul di dadaku.

“Ah, Hugh… sebaiknya kau bersiap mental dulu. Ada seseorang yang sangat ingin bertemu dengan kalian berdua. Aku diperintahkan untuk membawamu langsung ke hadapannya sebelum kau berganti pakaian.”

“Pak Roan, maaf… perutku mendadak sakit luar biasa, sepertinya aku mau buang air besar… boleh saya pulang dulu?”

“Mana boleh! Sekalipun kau buang air di jalan, aku tetap akan menyeretmu ke sana! Kalau perlu aku pun ikut buang air biar adil!”

“Aaaah! Tapi aku belum siap secara mental!”

Kalau orang yang ingin bertemu kami cuma Pangeran Lucas, Roan tidak akan seserius ini. Jadi… bisa dipastikan orang itu adalah seseorang dengan kedudukan lebih tinggi—yakni Sang Raja sendiri!

Lugh tampaknya juga menyadarinya. Wajahnya tidak menunjukkan kegugupan, tapi dia beberapa kali melirikku, seolah mengukur reaksiku. Apa dia akan tetap berpura-pura sebagai Lugh di hadapan Raja nanti…?

Roan berhenti di depan salah satu ruang pertemuan istana, bukan aula audiensi atau kamar Raja. Ia mengetuk pintu beberapa kali dengan ritme teratur, dan terdengar suara Lucas dari dalam: “Masuk.”

Tolonglah, semoga yang di dalam hanya Lucas…

Namun begitu pintu terbuka, aku melihat dua pria duduk di sofa. Yang satu memang Lucas. Tapi yang satu lagi adalah—ah, sudah kuduga.

“Aku sudah menunggu kalian berdua.”

Kami melangkah masuk dan berlutut. Pria itu menatap kami dengan tatapan hangat namun tajam—rambut emas berkilau seperti sutra, mata biru tua yang memikat. Tak salah lagi, dialah Raja Lyos Reas, penguasa Kerajaan Ries.

“Senang akhirnya bertemu dengan kalian, Lugh Bector, Hugh Phnosis. Ini pertemuan pribadi, jadi santailah.”

Aku perlahan mengangkat wajah, dan langsung bertatapan mata dengannya. Tatapan itu seolah sedang menilai diriku—dan jantungku hampir loncat keluar karena gugup.

“Mohon jangan menakuti dia, Ayah. Hugh hampir mati karena tegang.”

“Oh, maaf, maaf. Duduklah kalian berdua. Mari minum teh bersama.”

T-teh!? Raja sendiri mengundang minum teh!? Aku terpaku di tempat, tapi Lugh menarik ujung jas seragamku pelan—menyuruhku duduk. Aku menurut saja.

Lugh duduk di samping Raja, dan aku di samping Pangeran Lucas. Di dekat dinding, Marquis Prime ternyata sudah siap menuangkan teh untuk kami.

…Tunggu, Perdana Menteri sendiri yang menuangkan teh!? Tolong, aku tidak siap untuk level kehormatan seperti ini!

Aku memutar pandangan mencari pertolongan, tapi ternyata hanya ada empat orang di ruangan ini: Raja, Lucas, Lugh, dan Perdana Menteri. Roan sudah tidak masuk bersama kami.

Padahal tadi dia bilang akan “buang air bersama” kalau perlu… dasar pengkhianat!

“Sudah lama tidak bertemu, Lugh. Kau baik-baik saja?”

“Ya, Y-Tentu, Yang Mulia! Bagaimana dengan kesehatan Anda sendiri?”

“Berkat Nona Lecty, aku sudah pulih seperti yang kau lihat.”

Raja menepuk lembut kepala Lugh dengan penuh kasih. Wajahnya jauh lebih sehat dari sebelumnya—kulitnya tidak lagi pucat seperti seminggu lalu, ketika ia nyaris di ambang kematian.

Sepertinya untuk saat ini, dia tetap memperlakukan Lugh sebagai “Lugh”. Aku sedikit lega.

“Senang bertemu denganmu, Hugh Plnosis. Seperti yang kau tahu, aku Lyos Ries, Raja Kerajaan ini.”

“Merupakan kehormatan besar bisa bertemu langsung dengan Yang Mulia. Saya Hugh Plnosis, putra dari Mike Phnosis, penguasa wilayah Phnosis.”

“Hmm. Lucas sudah menceritakan banyak tentangmu. Katanya, kau menginginkan sesuatu darinya sebagai imbalan jika dia naik takhta?”

“—!”

Apa!? Bagaimana Raja bisa tahu itu!? Aku menatap Lucas dengan panik, tapi pangeran sialan itu malah menyeringai kecil. Dasar kakak ipar biadab…!

“Benarkah begitu, Hugh Plnosis?”

“…Y-Ya! Aku memang memiliki sesuatu yang sangat kuinginkan—lebih tepatnya, sebuah keinginan yang ingin kucapai!”

Yah, sudahlah! Sekalian saja! Sekarang aku sudah terpojok, jadi tak ada gunanya bersembunyi!

“Begitu. Dan kau yakin keinginan itu bisa terwujud jika Lucas menjadi Raja?”

“Tidak sepenuhnya yakin. Soalnya, jujur saja, Pangeran Lucas agak… mencurigakan.”

“Pffft!”

Lugh hampir tersedak teh di depanku. Bahunya berguncang menahan tawa.

“Hahaha! Dengar itu, Lucas! Dia bilang kau mencurigakan!”

“Yah, aku memang sadar sih reputasiku begitu… Tapi Hugh, kalau aku boleh bilang, mendengar hal itu terus-terusan agak menyakitkan, tahu? Kuharap kehadiranku di sini cukup sebagai bukti bahwa aku mempercayaimu.”

“Maaf, Yang Mulia Pangeran. Aku memang orang yang agak sulit percaya. Karena itu, izinkan aku memohon satu hal: tolong berjanji di hadapan Raja, bahwa ketika Anda benar-benar naik takhta nanti, Anda akan menepati janji Anda kepadaku. Jika Anda bersumpah, aku akan menggunakan seluruh kekuatanku untuk memastikan Anda menjadi Raja berikutnya.”

“…Begitu, ya. Menarik. Bagaimana menurut Anda, Ayah?”

“Anak muda yang berani. Pantas kalian menyukainya. Kadang manusia memang harus berani mengambil risiko, dan dia tampaknya tahu kapan waktu yang tepat untuk itu. Baiklah, Lucas. Aku izinkan kau bersumpah.”

“Sudah dengar sendiri, Hugh. Kau punya izin langsung dari Raja, tahu?”

“Kalau begitu, mohon dituangkan dalam perjanjian tertulis, Yang Mulia.”

“Kau benar-benar tidak mempercayaiku, ya?”

Lucas hanya tertawa kecil sambil menyeruput tehnya.

…Entah bagaimana, aku berhasil melewati ujian ini tanpa kehilangan kepala. Sedikit saja salah bicara tadi, mungkin aku sudah dihukum mati karena tidak sopan. Untung aku memilih jujur.

Setelah itu, Raja berbincang santai dengan Lugh, menanyakan kehidupan sekolah dan hal-hal kecil lainnya. Suasananya cukup hangat, sampai akhirnya…

“Oh ya, kalau tidak salah kau sempat mengalami insomnia, bukan? Sekarang tidurnya sudah nyenyak?”

“Sudah, Yang Mulia! Begitu aku tidur sambil memeluk Hugh, aku langsung bisa tidur nyenyak—ah.”

…Tarik ucapanku tadi.

Pertempuranku yang sebenarnya baru saja dimulai.

*** 

Setelah itu, entah bagaimana aku berhasil mengelabui Yang Mulia Raja… yah, meskipun sebenarnya lebih tepat dibilang beliau berbaik hati membiarkanku lolos. Setelah Raja dan Perdana Menteri meninggalkan ruangan untuk bersiap menghadiri pesta malam, aku menghembuskan napas lega terbesar sepanjang hidupku dan hampir terjatuh dari sofa.

“Ma-maaf ya, Hugh!”

“Tidak apa-apa. Yang penting kepalaku masih menempel di badan…”

Dan itu bukan kiasan—benar-benar nyaris melayang tadi.

“Hei, kau belum lupa kalau aku masih di sini, kan?”

Pangeran Lucas menatapku dari atas sambil tersenyum lembut, secangkir teh di tangannya. Yah, memang tadi sikapku terhadap bangsawan terlalu santai… Aku segera duduk kembali dengan sopan di sofa.

“Bagaimanapun, baguslah karena Ayah akhirnya mengakuimu. Sekarang tinggal aku menjadi Raja, maka keinginanmu hampir bisa dibilang akan terpenuhi.”

“Dan di situlah alasan kenapa aku tidak bisa sepenuhnya mempercayai Yang Mulia.”

“Tolong maklum, itu sudah sifatku.”

Pangeran Lucas mengangkat bahu sambil tersenyum santai.

Benar-benar… kakak ipar yang satu ini memang tidak bisa ditebak.

“Eh, Hugh. Apa sih yang kamu minta pada Pange… kas, eh, Pangeran Lucas?”

Seperti biasa, Lugh nyaris salah ucap dan terdengar seperti menghina, lalu menatapku dengan rasa ingin tahu. Tapi aku tak bisa begitu saja memberitahunya tentang permintaanku waktu itu.

“Fufu, sayang sekali tapi itu rahasia. Hanya antara aku dan Hugh saja—rahasia sesama pria.”

“Eeeh! Curang banget! Aku juga sekarang kan anak laki-laki!”

Lugh menggembungkan pipinya dengan kesal, sementara Pangeran Lucas tertawa lepas. Itu pertama kalinya aku melihatnya tertawa dari hati seperti itu.

…Baron Puridy memang benar. Ia pernah berkata kalau Pangeran Lucas sebenarnya hanyalah remaja biasa. Mungkin barusan aku akhirnya melihat sisi itu dengan mataku sendiri.

“Baiklah, sebaiknya kita juga mulai bersiap.”

“Oh iya, Yang Mulia. Sebenarnya aku mau meminta pendapat Anda tentang sesuatu.”

Aku pun menyampaikan kekhawatiranku mengenai masalah “penampilan Lecty yang terlalu menawan”. Kukatakan, jika dibiarkan begitu saja, ia pasti akan dibanjiri lamaran dari para bangsawan. Mendengar itu, Pangeran Lucas hanya tersenyum kecut.

“Mungkin kau agak berlebihan, tapi ya sudah, biar aku yang urus. Kebetulan aku punya satu ide bagus.”

Setelah mengatakan itu, Pangeran Lucas berdiri dari sofa tanpa menjelaskan lebih lanjut apa rencananya.

Kemudian aku dan Lugh dibawa ke ruang ganti dan mengenakan tuksedo ekor walet yang sudah disiapkan Lily. Karena agak rumit, Alyssa dan Merry membantuku dengan agak kikuk, tapi akhirnya kami berhasil juga berpakaian rapi.

Setelah bergabung kembali dengan Lily yang sudah mengenakan gaun, kami berangkat menuju aula besar tempat pesta diadakan. Sementara itu, Lecty ternyata akan masuk ke aula bersama Yang Mulia Raja dan Pangeran Lucas, jadi kami berpisah.

“Kalau dipikir-pikir, ini pertama kalinya aku ikut pesta dansa resmi, ya…”

Saat pesta di kubu Pangeran Slay dulu, aku datang memang untuk menghancurkannya, jadi sama sekali tidak memikirkan etika pesta.

“Malam ini banyak bangsawan dari seluruh wilayah sekitar ibu kota yang hadir. Sebaiknya kita jaga sikap agar tidak menyinggung siapa pun. Ingat, posisi kita hanya sebagai pendamping Lecty. Jadi lebih baik tetap di pinggir dan tidak menarik perhatian.”

“Oh, tapi biasanya akan ada sesi dansa, kan? Soalnya Yang Mulia Raja katanya menyukai musik.”

“Benar juga…”

Pesta bangsawan memang identik dengan dansa. Untungnya, aku sempat belajar sedikit dari Ibu waktu kecil. Di kampung juga kadang ada festival musik dan tari, meski jelas tidak seformal ini.

“Ahh, aku baru ingat soal itu…”

Lily, yang terkenal tidak punya kemampuan motorik bagus, langsung tampak murung. Sepertinya dia benar-benar berusaha melupakan bagian itu.

“Kalau ada yang mengajakmu menari, tolak saja. Bilang saja kalau kedua kakimu patah parah.”

“Itu kakinya justru nggak baik-baik saja, tahu…”

Ya, tapi mungkin alasan seperti itu cukup ampuh untuk membuat orang mundur, sih.

Begitu kami melangkah ke aula besar, aku langsung terpana oleh kemegahannya. Ukurannya mungkin dua kali lipat dari aula di kediaman Duke Rechery.

Yang paling menonjol adalah langit-langitnya yang tinggi—mengingatkanku pada aula olahraga sekolah di kehidupanku sebelumnya. Beberapa lampu gantung besar memancarkan cahaya yang begitu terang hingga membuat ruangan terasa seperti siang hari.

Dari arah singgasana di panggung, area luas di depannya disediakan untuk dansa, dan di belakangnya berjajar meja-meja penuh makanan. Di sisi panggung, para musisi sudah memainkan musik elegan yang lembut.

Jauh lebih mewah dibandingkan pesta kubu Pangeran Slay yang dulu.

Aula sudah dipenuhi banyak bangsawan yang sedang berbincang santai. Kami melihat wajah yang familiar dan memutuskan untuk mendekatinya.

“Ayah!”

Saat Lily memanggil, Marquis Puridy yang tengah memandang keluar jendela menoleh dan tersenyum hangat.

“Lily! Aku sudah menunggumu. Hugh, dan yang di sana pasti…”

“Nama saya Lugh Bector! Senang bertemu dengan Anda!”

“Ah, senang bertemu juga. Aku Yuri Puridy, ayah Lily. Mohon kerjasamanya.”

Lugh menunduk sopan, dan Marquis Puridy membalas dengan hormat pula. Melihat cara bicaranya, sepertinya Marquis Puridy tahu identitas asli Lugh.

“Pesta akan segera dimulai. Raja akan memberi sambutan dan bersulang, jadi sebaiknya kalian ambil minuman dulu.”

“Baik, Ayah.”

Kami pun menuju meja minuman. Ada dua meja: satu berisi minuman beralkohol, satu lagi minuman ringan.

Secara hukum, kami sudah dianggap dewasa di usia lima belas, jadi seharusnya boleh minum alkohol. Tapi kali ini aku memilih menahan diri dan mengambil segelas jus apel.

“Hah? Hugh, kamu nggak minum alkohol?”

“Siapa tahu nanti ada kejadian tak terduga.”

“Benar juga… Aku juga tidak akan minum.”

Melihat aku dan Lily memilih jus, Lugh sempat ragu tapi akhirnya juga mengambil jus apel.

“Ngomong-ngomong, kau sudah bahas soal Lecty dengan Pangeran Lucas?”

“Sudah. Katanya dia punya ide yang luar biasa.”

“Ide luar biasa, huh… aku penasaran seperti apa itu.”

Lily meletakkan tangan di dagunya, tampak berpikir dalam.

Sesaat setelah kami kembali ke sisi Marquis Puridy, terdengar suara fanfare meriah.

“Itu tanda kalau Raja akan masuk.”

Begitu musik berhenti, pintu besar menuju panggung terbuka. Yang Mulia Raja muncul, mengawal seorang wanita paruh baya yang mengenakan gaun berkilau—mungkin itu Sang Ratu.

Para bangsawan menyambut mereka dengan tepuk tangan meriah. Setelah pasangan kerajaan duduk di singgasana, Pangeran Slay dan Saintess Rosary masuk dengan anggun, diiringi tepuk tangan dan bisik-bisik kekaguman.

“Sekarang giliran mereka…”

Slay dan Rosary duduk, lalu menyusul Pangeran Lucas dan Lecty.

Jadi, inilah “rencana rahasia” Pangeran Lucas, ya… aku sudah menebaknya.

Begitu mereka muncul, aula langsung riuh. Bukan karena penampilan Lecty yang mempesona—melainkan karena sesuatu yang jauh lebih mengejutkan di sebelahnya.

Pangeran Lucas… membuka matanya.

Mata biru tua yang sama indahnya dengan milik Lecty bersinar tajam, menatap lurus ke depan.

Ia dengan percaya diri menuntun Lecty yang tampak sedikit kaku menuruni tangga. Gerakannya begitu alami, mustahil dilakukan oleh seseorang yang buta.

Dia memilih momen ini—malam di mana semua bangsawan dari berbagai kubu hadir—untuk mengungkapkan “pemulihan penglihatannya”. Bukan demi Lecty, tapi jelas ini bagian dari rencana politiknya. Sungguh luar biasa.

Efeknya luar biasa besar. Bahkan setelah mereka duduk, kerumunan masih terus berbisik tanpa henti.

“Apakah… apakah Lecty yang menyembuhkan matanya!?”

“Nggak, aku rasa bukan,” jawab Lugh pelan.

Benar, Lucas sudah memulihkan penglihatannya sejak lama berkat kemampuan khususnya. Lecty tidak melakukan apa pun.

Namun, dari luar terlihat seolah kekuatan suci Lecty-lah yang mengembalikannya.

Itu tentu saja bagian dari perhitungannya—cara cerdas untuk menutupi kekuatan aslinya dengan kisah yang mudah dipercaya.

“Tenang.”

Suara Raja bergema penuh wibawa di seluruh aula, membuat semua orang langsung terdiam.

“Terima kasih telah hadir malam ini. Meski alasannya adalah pesta kesembuhanku, sudah lama kita tidak mengadakan acara seperti ini. Nikmatilah malam ini sepenuhnya.”

Raja mengambil gelas dari tangan Perdana Menteri Prime dan mengangkatnya tinggi-tinggi.

“Seperti yang kalian tahu, aku telah lama menderita penyakit berat. Aku bahkan pernah berada di ambang kematian. Tapi kini aku berdiri di sini, sembuh dan kuat kembali. Semua ini berkat dua Saintess yang hadir di sini malam ini.”

Rosary dan Lecty berdiri dan berjalan ke depan. Rosary melangkah dengan tenang, sementara Lecty begitu tegang hingga hampir tersandung. Aku sampai menahan napas khawatir, tapi syukurlah ia berhasil berdiri di samping Raja tanpa jatuh.

“Saintess Gereja Suci, Rosary Saint. Dan gadis yang dianugerahi Skill <Saintess>, Lecty. Keduanya telah menyelamatkan hidupku dan menyelamatkan kerajaan ini. Untuk dua Saintess ini dan masa depan yang gemilang bagi negeri kita—bersulang!”

Raja mengangkat gelas, dan semua bangsawan menirunya sebelum menyesap minuman mereka. Aku hanya pura-pura minum sambil menahan tangan Lugh agar tidak meminum jusnya dulu, memperhatikan sekitar dengan waspada.

Untungnya, tidak ada yang tiba-tiba kejang atau berubah jadi monster.

“Rasanya tetap menegangkan, ya,” kata Lily sambil tersenyum kecut.

Yah, setelah melihat insiden di pesta sebelumnya, wajar kalau kami waspada.

“Hugh, sekarang boleh minum?”

“Oh, maaf, silakan.”

Begitu kulepaskan tangannya, Lugh langsung meneguk jus apelnya sampai habis lalu menarik napas panjang. Semoga nanti tidak minta ke toilet, sih…

Setelah sambutan Raja berakhir, pesta berlanjut ke sesi pergaulan. Para bangsawan mulai bergerak: sebagian besar menuju Raja untuk memberi salam, sebagian besar lainnya mengerubungi Pangeran Lucas dan Lecty.

Musik lembut mengalun, tapi suasananya benar-benar seperti medan perang sosial. Bahkan Marquis Puridy tampak bersemangat dan langsung menerobos kerumunan sambil berkata,

“Baiklah, sekarang waktunya bekerja keras!”

Dari sudut aula, terlihat jelas perbandingan jumlah orang: sekitar tiga puluh persen menuju Raja, lima puluh persen menuju Lucas dan Lecty. Jelas, perhatian utama malam ini tertuju pada Pangeran Lucas. Membuka matanya di depan publik punya dampak luar biasa.

Memang, selama ini banyak bangsawan yang mengakui kemampuan Lucas tapi ragu mendukungnya karena kebutaannya. Sekarang alasan itu hilang, dan dukungan pun akan mengalir deras.

Sementara itu, Pangeran Slay dan Rosary hanya dikelilingi sedikit bangsawan—mungkin hanya mereka yang memang sudah menjadi pendukung setianya. Jumlahnya terasa terlalu sedikit untuk kubu yang dulu dianggap kuat di kalangan bangsawan.

“Mungkin karena Ayah meninggalkan barisan, koordinasi di kubu Slay jadi berantakan. Bagian itu memang keahlian Ayah.”

“Jadi maksudmu, Marquis Puridy yang sibuk barusan itu…”

“Fufufu.”

Lily, yang pasti sudah mengetahui situasinya, hanya tersenyum tanpa banyak bicara. Yah, wajar saja kalau Marquis Puridy tidak akan pernah memaafkan Pangeran Slay, yang bersekongkol dengan keluarga Rechery...

Kalau kupikir lagi sekarang, tindakan Marquis Puridy yang waktu itu membantu Pangeran Slay di pesta sebelumnya mungkin bukan karena simpati. Ia hanya ingin mencegah kehancuran faksi bangsawan yang bisa terjadi jika sang pangeran langsung dijatuhi hukuman. Itu dilakukan demi menjaga keseimbangan kekuatan politik saat itu.

Sekarang, setelah kesehatan Raja pulih dan situasi negara kembali stabil, kekhawatiran itu sudah tidak relevan lagi. Artinya, Marquis Puridy tidak perlu menahan diri lagi.

Kulihat Marquis Puridy dengan lihai mengarahkan para bangsawan yang berkumpul menuju Pangeran Lucas hingga terbentuk semacam antrean panjang. …Rasanya seperti acara jabat tangan dengan selebritas.

Pangeran Lucas tersenyum ramah dan berbicara dengan setiap orang satu per satu. Di sampingnya, Lecty tampak tegang dan kaku. 

Para bangsawan menegurnya dengan berbagai pertanyaan, tetapi dia nyaris tidak bisa membalas. 

Untungnya, Pangeran Lucas dengan tenang membantu menutupinya setiap kali dia kesulitan.

“Syukurlah, berkat Pangeran Lucas sepertinya semuanya masih terkendali,” kata Lily dengan napas lega dan senyum ringan.

Sampai saat ini, belum ada bangsawan bodoh yang tiba-tiba melamar Lecty di tempat. Semua perhatian tertuju pada Pangeran Lucas, dan itu sangat membantunya.

Saat aku kembali menatap Pangeran Lucas, aku menyadari sesuatu.

“Maaf, Lily. Tolong jaga Lugh sebentar. Aku ada urusan sebentar dengan Pangeran Lucas.”

“Eh? Kok mendadak banget—hei, Hugh!?”

Aku menyerahkan gelasku padanya dan segera menuju ke arah Pangeran Lucas. Kalau ini cuma kekhawatiranku yang berlebihan, tidak apa-apa. Tapi kalau ternyata tidak…

“Pangeran Lucas!”

Aku menembus barisan para bangsawan yang sedang antre, lalu berlutut di depan Pangeran Lucas.

“Aku Hugh, putra dari Mike Phnosis, penguasa wilayah Phnosis! Aku ingin berkonsultasi dengan Yang Mulia mengenai urusan pengelolaan wilayah! Mohon kiranya berkenan meluangkan sedikit waktu!”

Begitu aku menundukkan kepala, suara geram para bangsawan langsung terdengar.

“Siapa anak muda ini!?”

“Wilayah Phnosis? Belum pernah kudengar!”

“Itu wilayah terpencil di timur laut! Pahami tempatmu, dasar kampungan!”

Suara hinaan dan ejekan berhamburan ke arahku dari segala penjuru. Lecty terlihat marah dan hendak berdiri, sementara Marquis Puridy tampak bersiap untuk menolongku—tapi sebelum keduanya sempat bertindak, Pangeran Lucas sudah lebih dulu berbicara.

“Tidak apa-apa. Wilayah Phnosis adalah daerah paling terpencil dari ibu kota. Pasti mereka menghadapi kesulitan yang tak bisa dibayangkan oleh kita yang hidup di sini. Justru karena aku berambisi menjadi Raja berikutnya, aku perlu memahami hal seperti itu. …Maaf, Marquis Puridy, tolong urus sisanya untuk sementara.”

“Dengan senang hati, Yang Mulia!”

“Jadi, kau Hugh Phnosis, ya? Mari kita bicara di ruang lain. Ikutlah denganku.”

“Baik, Yang Mulia!”

Pangeran Lucas langsung menanggapiku, seolah memahami maksud dari “pertunjukan spontan” yang baru saja kulakukan. Aku mengikutinya meninggalkan aula besar.

Kami berjalan cukup jauh menyusuri koridor istana yang semakin sepi.

“Tch…”

Tiba-tiba, Pangeran Lucas menahan kepalanya dan roboh di tempat.

“Yang Mulia!”

Aku segera berlari dan memapah tubuhnya yang lemas. Keringat dingin membasahi dahinya, napasnya tersengal berat.

“Maaf… bisakah kau membantuku ke ruangan di depan sana?”

“Permisi.”

Aku memapah tubuhnya ke salah satu ruang tamu di dekat situ. Setelah memastikan kami berdua aman, aku mengunci pintu dari dalam dan membaringkannya di sofa.

Pangeran Lucas berbaring terlentang, menutupi matanya dengan lengan kirinya.

“Terima kasih, Hugh. Cara yang kau lakukan memang agak kasar, tapi berkat itu aku selamat. Bagaimana kau bisa tahu?”

“Entah kenapa aku merasa Anda sedang menahan diri. Dan saya ingat Anda pernah bilang—kalau menutup mata bisa menekan kekuatan Anda sampai batas tertentu.”

Artinya, tanpa penutup mata, kekuatan itu akan mengamuk tak terkendali. Sekarang, karena dia menatap langsung dengan matanya yang terbuka, semua informasi dan penglihatan luar biasa itu pasti menyerbu pikirannya sekaligus. Tak heran kalau rasa sakitnya begitu hebat.

Syukurlah aku menyadarinya tepat waktu. Kalau aku tidak sedang dalam mode Ninja dan tidak peka terhadap perubahan kecil, mungkin aku tak akan menyadari kondisinya sampai dia benar-benar pingsan di depan para bangsawan.

“Tolong jangan memaksakan diri seperti ini. Lugh pasti akan khawatir.”

“Tidak bisa begitu saja berhenti, Hugh. Malam ini adalah kesempatan sekali seumur hidup. Jarang ada pesta sebesar ini di mana semua bangsawan berkumpul. …Kesempatan seperti ini mungkin hanya akan terulang di pemakaman Ayahku nanti. Kalau aku tidak memaksakan diri sekarang, aku tidak akan pernah bisa mendapatkan tahta itu.”

“Kenapa Anda sampai sejauh itu…?”

“Entahlah, kenapa, ya?”

Pangeran Lucas tersenyum samar. Sepertinya dia tidak berniat memberitahuku alasan sebenarnya. Tapi entah kenapa, aku merasa senyum itu seperti cara untuk menyembunyikan sesuatu yang lebih pribadi.

“Baiklah. Tapi dalam keadaan seperti ini, Anda tidak bisa kembali ke pesta begitu saja. Saya akan memanggil Lecty untuk menyembuhkan Anda. Kalau dia menggunakan skill-nya, rasa sakitnya pasti akan berkurang.”

“Tidak, jangan. Kalau kau memanggil Nona Lecty keluar dari aula, semua orang akan curiga. Lagipula, aku sudah cukup menarik perhatian dengan keluar mendadak. Jangan menambah masalah lagi.”

“Kalau begitu—”

“—kau saja yang menyembuhkanku.”

“………Maaf, apa?”

“Ubah saja skill-mu menjadi Saintess (Santo Perempuan). Kalau kau melakukannya, seharusnya kau bisa melakukan hal yang sama dengan Nona Lecty, bukan?”

“Ah…”

Aku benar-benar tidak terpikir sampai ke situ. Memang, dengan begitu aku tidak perlu memanggil Lecty. Tapi tunggu dulu—

“Skill Saintess? Setidaknya jadikan Saint atau Priest kek…”

“‘Saint’ adalah gelar yang diberikan pada para ksatria suci yang gugur melawan musuh Gereja. ‘Priest’ hanyalah jabatan dalam struktur Gereja, bukan pengguna kekuatan ilahi.”

…Benar juga. Aku hanya terpengaruh pengetahuan dari game di dunia sebelumnya. Di dunia ini, istilah Saint atau Priest tidak otomatis berarti punya kekuatan penyembuhan.

Mengingat aku bisa menggunakan skill Ninja sesuai imajinasiku, tampaknya sistem skill ini memang dipengaruhi oleh “gambaran pribadiku”. Tapi tetap saja, Saintess terdengar paling cocok untuk penyembuhan.

…Tapi tunggu dulu. Semoga aku nggak langsung berubah jadi cewek begitu mengganti skill ke Saintess, kan?

Skill Brainwash aja sudah cukup menakutkan, apalagi ini.

“Hugh, maaf, tapi kita tidak punya banyak waktu. Aku yakin Marquis Puridy sedang menahan para bangsawan sekarang, tapi mungkin saja mereka sudah mulai mengerubungi Nona Lecty.”

“Baiklah.”

Tak ada gunanya ragu-ragu lagi. Kalau pun tubuhku berubah, aku masih bisa mengganti skill dan kembali seperti semula… semoga saja.

Aku menggunakan Ninja untuk memeriksa keadaan sekitar—tidak ada siapa pun. Lalu, aku mengeluarkan cermin kecil dan melepaskan efek Brainwash dari diriku sendiri.

“Hugh Phnosis. Skill-mu adalah… Saintess.”

Klik. Sesuatu terasa berpindah di kepalaku.

Refleks, aku langsung memegang wajah, dada, dan bagian bawah tubuhku satu per satu. …Syukurlah, aku masih laki-laki!

Kucek statusku, dan memang, skill-ku sudah berubah menjadi Saintess tanpa masalah.

Sepertinya tidak harus perempuan untuk menggunakannya.

Skill: Saintess Lv. MAX

Menguasai kekuatan penyembuhan dan pemurnian, serta memperoleh kemampuan untuk mengusir kekuatan jahat.

Penjelasannya sederhana—biasanya yang seperti ini justru sangat kuat. Aku mencoba merasakan batas kemampuan skill ini. Untuk sekarang, yang kubutuhkan hanya kemampuan untuk menghilangkan rasa sakit Pangeran Lucas.

“Kelihatannya berhasil, ya. Baiklah, tolong bantu aku sekarang.”

“Baik, Yang Mulia. Healing!”

Aku mengangkat tangan kananku di atas mata Pangeran Lucas. Cahaya lembut berwarna hijau kekuningan mengalir dari telapak tanganku, menembus tubuhnya perlahan.

“Harusnya rasa sakitnya berkurang sekarang. Ini hanya pertolongan sementara.”

“Sudah cukup. …Ngomong-ngomong, Hugh, apakah kau bisa merasakan sejauh mana kemampuan Saintess-mu?”

“Lumayan. Kalau kupusatkan pikiran, aku bisa tahu garis besar kemampuannya.”

“Kalau begitu, jelaskan padaku tentang Cleanse—skill yang digunakan Nona Lecty kepada Ayahku. Saat kutanya, dia hanya bilang, ‘Entah kenapa aku merasa skill ini bisa menyelamatkan Yang Mulia Raja.’ Sepertinya dia sendiri tidak tahu batas kekuatannya.”

Dia tidak tahu batas kekuatannya…?

Mungkin tingkat pemahaman terhadap skill berbanding lurus dengan levelnya.

…Atau malah sebaliknya: pemahaman yang lebih tinggi adalah yang membuat level skill meningkat.

Cleanse, ya. Dari namanya, efeknya pasti memurnikan tubuh dari hal-hal berbahaya—racun, kutukan, parasit, dan sejenisnya.

…Tunggu dulu.

Tolong, jangan-jangan—

Kenapa efek Cleanse tidak mencakup penyakit!?

“…Hugh. Bisakah kau jujur padaku? Ayahku… benar-benar sakit waktu itu, kan?”

*** 

Setelah selesai mengobati Pangeran Lucas, aku mengganti skill-ku kembali ke 〈Ninja〉 dan kembali ke aula besar.

Pangeran Lucas tampak dikelilingi oleh para bangsawan lagi, seolah tak terjadi apa-apa.

Skill 〈Saintess〉 yang kugunakan tadi hanya bisa meredakan rasa sakitnya sementara. Dalam waktu tak lama, rasa sakit hebat itu pasti akan kembali menyerangnya.

Namun tadi dia bilang, kali ini akan mundur sebelum benar-benar mencapai batasnya, jadi mungkin aku tak perlu terlalu khawatir.

Aku mencari Lugh dan Lily, dan segera menemukan mereka berdiri di tempat yang sama seperti sebelumnya.

“Ah! Hugh, selamat datang kembali!”

“Ya, aku kembali, Lugh.”

Aku menjawab sambutan Lugh yang paling dulu menyadari kehadiranku, lalu menerima gelas yang tadi kutitipkan pada Lily, yang menyambutku dengan ekspresi lega dan berkata, “Selamat datang kembali.”

“Maaf sudah merepotkanmu untuk memegangnya.”

“Tidak apa-apa. Tapi, kamu baik-baik saja? Wajahmu kelihatan pucat sekali.”

“Ah… yah, tidak ada masalah.”

Aku menjawab singkat kekhawatiran Lily.

…Padahal sebenarnya masalahnya justru banyak.

Skill 〈Cleanse〉 yang digunakan Lecty kepada Yang Mulia Raja ternyata tidak memiliki kekuatan untuk menyembuhkan penyakit.

〈Cleanse〉 hanya bisa menghapus “keberadaan asing” dalam tubuh — seperti kekuatan jahat (magical miasma?), racun, dan hal-hal serupa.

Itu berarti kondisi buruk Raja disebabkan oleh sesuatu seperti racun atau zat berbahaya yang terus-menerus diberikan kepadanya.

“Sepertinya Ayahanda sudah lama diracuni sedikit demi sedikit, oleh seseorang. Dan racun itu dibuat sedemikian rupa sehingga akan bereaksi terhadap skill pemulihan, menyebabkan kondisinya tiba-tiba memburuk begitu menerima penyembuhan.”

“Kalau saat itu Ayahanda benar-benar meninggal…”

“Maka karena terlihat seolah skill Saintess yang memperburuk kondisinya, Gereja Ilahi—tidak, para Saintess—pasti akan dituduh. Hubungan antara kerajaan dan Gereja Ilahi akan runtuh sampai ke titik terendah. Kalau di saat yang sama pecah perang saudara, kita akan punya empat kekuatan besar yang saling bertempur. Belum lagi, ada kemungkinan negara-negara tetangga ikut campur dengan dalih membantu Gereja.”

Kalau waktu itu Lecty tidak ada di tempat… hanya membayangkan skenario itu saja membuat bulu kudukku berdiri.

Yang paling menakutkan adalah—tidak ada yang tahu siapa dalang di balik semua ini.

Aku menyapu pandangan ke sekeliling aula.

Yang Mulia Raja terlihat sedang berbincang akrab dengan Ratu dan para bangsawan yang sebaya di atas panggung.

Namun di antara mereka… mungkin saja ada pelakunya, bukan?

Memikirkan hal itu membuat senyum mereka semua tampak palsu di mataku.

…Tidak boleh terus berpikir seperti ini.

Begitu mulai mencurigai semua orang, tidak akan ada habisnya.

Lagipula, Pangeran Lucas sendiri sudah bilang agar aku tidak bertindak sembarangan.

Kalau aku benar-benar mau, aku mungkin bisa menemukan pelakunya, tapi aku tak punya alasan untuk melanggar perintah Pangeran.

Kasus gelap seperti ini… tak ada gunanya kalau aku sengaja mencampurinya.

Lebih baik kulupakan dulu. Itu pilihan paling bijak.

Kami bertiga mengobrol sambil menikmati makanan ringan, sampai akhirnya musik di aula berubah menjadi irama yang lebih cepat.

Lily langsung memanyunkan wajahnya.

“Mulai deh… waktu neraka.”

“Sejauh itu kamu benci menari, ya…”

Tamu-tamu di pesta ini tentu bukan hanya para bangsawan laki-laki.

Banyak pula istri bangsawan dan gadis bangsawan muda.

Sepertinya waktu berbincang sudah berakhir, dan kini saatnya mencari pasangan dansa.

Beberapa bangsawan muda tampak ingin mendekati Lily yang menonjol karena kecantikannya, tapi satu tatapan tajam darinya sudah cukup untuk membuat mereka mundur dengan cepat.

Sepertinya kebenciannya terhadap dansa sudah terkenal di kalangan mereka, karena setelah itu tak ada lagi yang berani mendekat.

Sementara itu, perhatian terbesar tentu tertuju pada Lecty dan Rosary.

Selain Lecty, Rosary—meski memiliki gaya rambut yang aneh—tetaplah gadis yang sangat cantik.

Keduanya dikerumuni oleh banyak bangsawan muda yang ingin mengajak mereka menari.

Ini mulai gawat.

Pangeran Lucas tak mungkin bisa menari karena efek samping skill-nya, dan Marquis Puridy sudah menikah—tidak pantas mengajak gadis seusia anaknya sendiri.

“Pergilah, Hugh.”

“Tolong jaga Lecty untuk sementara, ya?”

“…Baiklah.”

Yah, memang cuma aku yang bisa melakukannya.

Didorong oleh Lugh dan Lily, aku pun menuju ke arah Lecty.

“Lecty.”

“H-Hugh-san!”

Lecty yang dikelilingi para bangsawan itu langsung berseri-seri begitu melihatku.

Karena terburu-buru menghampiriku dengan gaun yang tidak biasa dia kenakan, dia hampir terjatuh, dan aku segera menahan tubuhnya.

“Kau tidak apa-apa?”

“Y-ya!”

Pipi Lecty memerah saat ia tersenyum malu-malu. Untunglah dia tidak terluka.

Walau bukan maksudku, pose kami sekarang terlihat seperti sedang berpelukan—dan tentu saja, tatapan tajam para bangsawan yang mengincarnya langsung menusuk ke arahku.

Dengan telingaku yang tajam karena skill 〈Ninja〉, aku bisa mendengar ejekan-ejekan seperti:

“Lagi-lagi dia!” “Dasar kampungan tak tahu malu!”

Yah, biarlah.

Aku akan “memonopoli” Lecty untuk beberapa saat, jadi aku pantas menerima cibiran itu.

Aku perlahan melepaskan tubuhnya, lalu menekuk satu lutut sambil meletakkan tangan kiri di dada.

Aku tak tahu apakah ini gerakan yang benar, tapi sepertinya cukup terlihat formal.

“Lily, itu gerakan orang yang mau melamar, kan—”

“Ssst. Diam saja dan nikmati pertunjukannya.”

…Kayaknya aku benar-benar salah besar. Ya sudahlah.

Aku mengulurkan tangan kananku ke arah Lecty dan berkata,

“Maukah kau menari denganku?”

“Y-ya! Dengan senang hat—ah, ya ampun!”

Lecty yang wajahnya sudah semerah tomat itu, dengan malu-malu menggenggam tanganku.

Aku pun berdiri dan menuntunnya ke area dansa.

“U-umm, Hugh-san, aku belum pernah menari sama sekali! Kalau aku mengacaukannya, maaf ya!”

“Tenang saja, Lecty. Sebenarnya aku juga belum pernah menari di tempat seperti ini.”

“Sungguh…?”

“Ya. Jadi mungkin aku tidak bisa memimpin dengan baik. Maaf sebelumnya.”

“Tidak apa-apa! Justru aku jadi lega mendengarnya. Walau tarian kita tidak sempurna, kalau bisa menari dengan Hugh-san, aku akan senang sekali!”

“…A-aku juga senang mendengarnya.”

Wajahku memanas saat melihat senyum lembutnya.

Bodoh, kenapa deg-degan begini sih!?

Musik berubah, menandakan dimulainya sesi dansa.

Kami saling menatap, menunduk sedikit, lalu menggenggam tangan.

Tidak ada langkah-langkah yang rumit.

Kami hanya mengayunkan tubuh perlahan mengikuti alunan musik, kadang berjalan berputar kecil, sesekali meniru gerakan pasangan lain.

Bagi orang yang melihat, tarian kami mungkin terlihat canggung dan jelek.

Tapi bagiku, itu tidak masalah.

“Fufu, ini menyenangkan sekali, Hugh-san!”

“Ya, memang.”

Lecty tersenyum lepas, benar-benar menikmati momennya.

Aku pun menyesuaikan langkah, berharap waktu bisa berhenti sejenak agar momen ini bisa berlangsung sedikit lebih lama.

Tentu saja, tarian kami tidak berlangsung selamanya.

Kurang dari sepuluh menit kemudian, musik pun berhenti.

Kami menunduk memberi salam, lalu aku menuntun Lecty kembali ke tempat Lily dan Lugh.

“Selamat datang kembali, Lecty. Aku lihat semuanya.”

“Tadi kalian kelihatan sangat senang, ya,” kata Lugh sambil tersenyum.

“Ya! Aku gugup, tapi karena bersama Hugh-san, aku jadi sangat senang!” jawab Lecty ceria.

“Itu yang paling penting. Hugh, kau juga bagus. Tarianmu… hmm, bisa dibilang unik dan sangat orisinal,” ucap Lily dengan senyum nakal.

“Jadi maksudmu jelek banget, ya?”

“Jangan terlalu sensitif. Di tempat seperti ini, yang penting adalah bersenang-senang. Jujur saja, aku malah sedikit iri pada Lecty.”

Lily tersenyum tipis, tapi senyumnya terlihat agak sepi.

Aku tak menyangka gadis yang tadi begitu membenci dansa bisa mengucapkan kata “iri”.

“Kalau begitu, sekarang giliran Lily!” seru Lugh.

“Eh!? T-tidak, aku—!”

“Sudah, ayo!”

“Lugh! Berhenti—hey, Lecty! Jangan bantu dia mendorongku!”

Lugh mendorong punggung Lily ke arahku, dan dengan bantuan Lecty, gadis itu akhirnya terdorong sampai tepat di depanku.

“Hugh, tolong temani Lily menari, ya?”

“Lily-chan, di pesta seperti ini yang penting bersenang-senang!”

“M-mou!”

Dengan wajah memerah, Lily menutupi separuh wajahnya dengan tangan kiri, lalu pelan-pelan mengulurkan tangan kanannya padaku.

Meski tadi begitu menolak, sepertinya kali ini dia sudah pasrah.

Dia sudah berani melangkah, dan aku harus menjawab keberaniannya.

“Maukah Anda menari denganku, My Lady?”

Aku berlutut satu lutut lagi, meniru sikapku pada Lecty.

“Baiklah, kalau begitu! Dengan senang hati!”

Nada suaranya terdengar setengah kesal, membuatku hampir tertawa.

Melihat sisi lain dari Lily yang biasanya kalem itu terasa menyenangkan juga.

“…Tapi kalau aku menari denganmu, siapa yang akan menemani Lecty? Kalau Lugh menonjol terlalu banyak, itu juga tidak baik…”

Aku melihat ke arah para bangsawan muda yang sudah menunggu kesempatan.

Begitu aku menjauh, mereka pasti langsung menyerbu Lecty.

“Kalau saja Idiot ada di sini, aku bisa mempercayakannya padanya…”

“Benar juga. Aneh, dia tak kelihatan sama sekali.”

Kupikir dia akan hadir malam ini, tapi memang tak tampak di mana pun.

“U-umm, tak apa kok! Kalian berdua saja yang menari! Aku bisa menjaga diri!” kata Lecty cepat-cepat.

“Yah, tapi tetap saja…”

Aku mungkin terdengar terlalu protektif, tapi siapa tahu ada “idiot” lain yang mencoba mendekatinya.

Namun tak mungkin aku terus menari dengan Lecty.

Saat kami masih berpikir, tiba-tiba suasana di sekitar menjadi ramai.

Langkah kaki seseorang mendekat cepat, dan saat kulihat—seorang gadis berambut pirang dengan drill twin-tails berwarna merah muda melambaikan tangan dengan penuh semangat.

“Lecty! Tarianmu tadi terlihat sangat menyenangkan! Sekarang ayo menari denganku!”

“R-Rosary-san!?”

Sang Saintess, Rosary Saint, berlari kecil dan menggenggam kedua tangan Lecty.

Lecty yang sempat bingung akhirnya menjawab dengan ragu,

“U-umm, ini pertama kalinya aku menari, jadi…”

“Aku tahu! Aku juga baru pertama kali, kok! Bahkan tadi aku menginjak kaki pasanganku sampai tujuh kali!”

“Eeeeh…”

“Jadi tidak usah khawatir!”

Rosary tersenyum cerah, sementara Lecty menatap ke bawah dengan wajah pasrah.

Ya, walaupun mereka berdua bisa menggunakan 〈Heal〉, bukan berarti kakinya akan langsung sembuh kalau terus-terusan terinjak.

“Tapi… boleh ya, dua gadis menari bersama di acara seperti ini?” tanyaku.

“Biasanya tidak,” jawab Lily. “Tapi bukankah sekarang tidak apa-apa? Lagipula, berkat kebebasanmu dan Lecty tadi, suasana jadi lebih santai. Lihat saja—Yang Mulia Raja bahkan tersenyum melihat kalian.”

Aku menatap ke arah panggung.

Benar saja, Raja sedang menatap ke arah kami sambil tersenyum hangat, seperti ayah yang sedang menonton anak-anaknya bermain.

“Kupikir Yang Mulia itu orang yang menakutkan, tapi ternyata tidak juga ya.”

“Tidak. Beliau memang menakutkan,” jawab Lily datar.

Dia menatapku sejenak, lalu menarik tanganku dan mulai berjalan.

Aku mengikuti di belakangnya, dan entah kenapa, tanganku refleks terangkat ke leher—sekadar memastikan kepalaku masih menempel dengan benar.

Aku tak tahu apa maksud Lily dengan “menakutkan”, tapi justru karena itu, imajinasiku jadi liar sendiri.

Lebih baik jangan dipikirkan.

Aku menarik napas dalam-dalam dan fokus ke hal yang lebih penting: menikmati dansa bersama Lily.

Kami berdiri saling berhadapan, memberi salam singkat, lalu menggenggam tangan satu sama lain.

“Aku peringatkan dulu, ya. Aku benar-benar payah menari, jadi jangan tertawa. Aku juga cepat capek, dan aku tak punya irama—aku bahkan tidak tahu bagaimana cara menggerakkan tubuh mengikuti musik.”

“Kamu serius menyiapkan alasan sebanyak itu?”

“Karena… aku tidak mau kamu membenciku.”


Lily menundukkan wajahnya dan berbisik pelan. Mungkin sebenarnya dia tidak bermaksud agar aku mendengarnya, tapi sayangnya, aku sedang menggunakan skill 〈Ninja〉 sekarang. Dengan pendengaranku yang terlatih, aku bisa menangkap setiap kata yang keluar dari mulutnya.

“Dasar bodoh. Masa cuma gara-gara kamu nggak bisa menari, aku jadi nggak suka sama kamu, sih?”

“...Kamu nggak akan marah kalau aku nginjek kakimu?”

“Itu sih, mungkin aku agak marah.”

“Mou~!”

Sambil aku tertawa dan bilang kalau itu cuma bercanda, musik pun mulai mengalun. Sepertinya Lily benar-benar tidak pandai menari; dia bahkan kesulitan untuk mengambil satu langkah pertama. Saat aku mulai bergerak dan menggenggam tangannya lembut, barulah dia ikut bergerak dengan sedikit ragu.

Tadi waktu aku menari dengan Lecty, aku yang justru ditarik-tarik olehnya, tapi kali ini kebalikannya — aku yang harus memimpin agar tarian ini bisa berjalan dengan baik. Rasanya menarik juga, karena benar-benar kebalikan dari biasanya.

“Itu... Putri Marquis Puridy menari!”

“Itu menari...? Atau cuma bergoyang?”

“Walaupun cuma bergoyang, tetap saja indah...”

“Siapa pria yang bersamanya?”

Tampaknya reputasi Lily yang tidak bisa menari memang sudah terkenal, karena kami jadi pusat perhatian. Padahal yang kami lakukan hanyalah bergoyang pelan mengikuti irama musik, tapi berkat pesona alami Lily, pemandangan itu tetap terlihat memukau di mata orang lain.

“Lily, kamu nggak apa-apa?”

“Y-ya, aku baik-ba—kyaaa!?”

Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, Lily tersandung dan hampir jatuh.

Aku segera menahan tubuhnya refleks, dan entah bagaimana, pose kami malah terlihat seperti gerakan indah dari pasangan penari di kompetisi figure skating yang pernah kulihat di TV di kehidupan sebelumnya.

Kalau bukan karena 〈Penguatan Fisik〉, mungkin kami berdua sudah jatuh berantakan. Tapi aku berhasil menarik tubuh Lily dengan kuat dan melanjutkan tarian tanpa insiden berarti — yang justru disambut dengan tepuk tangan dari para penonton.

“A-aku kira tadi aku bakal mati...”

“Lebay banget, sih.”

Setiap kali Lily hampir jatuh, aku sigap menahannya — dan setiap kali itu terjadi, para penonton malah mengira itu bagian dari tarian dan kembali bertepuk tangan. Kami terus begitu sampai lagu berakhir, dan pada akhirnya Lily tampak terengah-engah. Padahal kami cuma bergoyang mengikuti musik. Sepertinya dia bukan lelah secara fisik, tapi lebih karena stres mental.

“A-akhirnya selesai juga...”

“Kerja bagus, Lily. Gimana, rasanya?”

Saat kutanya pendapatnya, Lily memalingkan wajahnya dengan pipi sedikit memerah. Melirikku sambil memasang ekspresi angkuh, dia berkata,

“Ya... kalau kamu sangat memaksa, aku mungkin mau menari lagi bersamamu nanti.”

“Kalau gitu, ayo lanjut satu lagu lagi sekarang.”

“Maaf, itu benar-benar mustahil.”

Aku cuma bercanda, tapi jawabannya serius banget — matanya bahkan kehilangan cahaya kehidupan. Sepertinya rasa traumanya pada tarian belum hilang.

Sambil menuntun Lily yang agak limbung, kami kembali ke tempat semula. Di sana sudah ada Lecty dan Rosary — Rosary tampak sangat puas, sementara Lecty duduk sambil memegangi kakinya.

“Tarian tadi menyenangkan sekali ya, Lecty!”

“...Aku diinjak tiga belas kali.”

Lecty melaporkan jumlah korban dengan datar tanpa menanggapi semangat Rosary. Kasihan juga, sih.

Lalu aku bertanya,

“Lugh nggak bareng kalian?”

“Oh, dia tadi masih di sini kok. Aku tadinya mau menari dengannya berikutnya, tapi mungkin dia ke toilet. Oh iya, Tuan Hugh, bagaimana kalau kali ini Anda menari dengan saya?”

“Ah... maaf, Rosary. Aku harus mencari Lugh dulu.”

Aku memang merasa sedikit bersalah menolak ajakannya, tapi aku khawatir dengan Lugh.

Memang ada Alyssa dan Roan di tempat ini, jadi seharusnya tidak ada bahaya, tapi tetap saja...

“Tuan Hugh tampaknya sangat menyayangi Tuan Lugh, ya. Sayang sekali, tapi baiklah, silakan.”

“Terima kasih, Rosary. Semoga nanti kita bisa menari bersama di kesempatan lain.”

“Dengan senang hati!”

Rosary menjawab ceria dan segera mencari “korban” berikutnya — maksudku, pasangan dansa berikutnya.

“Lily, aku boleh tinggalkan semuanya padamu?”

“Tentu saja.”

Setelah mendapat izin, aku pun meninggalkan aula untuk mencari Lugh. Lagipula, sepertinya tidak ada bangsawan yang berani mendekati Lily yang kelelahan dan Lecty yang masih kesakitan.

Aku menelusuri aula dan menemukan Roan berdiri di sisi ruangan, tampaknya sedang berjaga sambil mengawasi kami dari jauh. Saat pandangan kami bertemu, dia memberi isyarat dengan dagunya ke arah balkon. Sepertinya Lugh ada di luar.

Aku membalas dengan anggukan, lalu berjalan ke balkon. Tepat di depan pintu kaca yang menghubungkan aula dan balkon, berdiri Alyssa. Entah dia memang ditugaskan di sana, atau dia sengaja mengikuti pergerakan Lugh.

Begitu melihatku, Alyssa tersenyum nakal dan berkata, “Silakan, nikmati waktunya~.”

Sebenarnya aku agak kesal, tapi tak ada gunanya menanggapi. Baiklah, aku akan benar-benar menikmati waktuku.

Begitu aku membuka pintu dan melangkah keluar, angin malam yang sejuk menyentuh kulitku. Saat aku membuka mata yang sempat menyipit karena cahaya, aku melihat sosok gadis itu — bersandar di pagar balkon, menatap ke langit malam.

Cahaya lembut bulan menerpa rambut peraknya, membuatnya berkilau seindah bintang-bintang di langit. Mata biru tuanya memantulkan sinar bulan dengan aura misterius layaknya laut dalam.

Di wajahnya terlukis sedikit keterkejutan, tapi juga senyum lembut yang elegan.

Balkon itu sunyi, jauh dari keramaian aula. Hanya musik lembut dari dalam yang samar-samar terdengar.

“Kamu ngapain di sini sendirian?”

Aku bertanya sambil mendekat. Lugh menoleh sebentar, lalu kembali menatap bulan.

“Lagi lihat bulan. Mama dulu pernah bilang, kalau orang meninggal, mereka akan pergi ke bulan.”

“Begitu, ya?”

Mungkin itu semacam legenda di daerahnya. Aku sendiri belum pernah mendengar hal seperti itu di wilayah Phnosis, tempat asalku.

“Aku nggak tahu sih. Aku kan belum pernah ke sana.”

Lugh tersenyum kecut, seolah berusaha menyembunyikan sesuatu.

Dulu, dia pernah bermimpi buruk dan terus memanggil ibunya — sepertinya, ibunya memang sudah tiada.

Aku berdiri di sampingnya, ikut menatap ke arah bulan, lalu berkata,

“Kamu tahu nggak, Lugh? Katanya di bulan ada kelinci yang tinggal di sana.”

“Eh? Beneran!?”

“Iya. Kalau kelinci aja bisa tinggal di sana, berarti manusia juga bisa, kan? Jadi nggak aneh kalau orang-orang yang sudah meninggal tinggal di bulan.”

“...Iya ya. Hehe, kamu benar juga!”

Wajah Lugh langsung cerah, dan dia mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi ke arah bulan.

Aku ikut-ikutan mengangkat tanganku juga.

“Kira-kira gimana ya caranya pergi ke bulan?”

“Jauh banget kayaknya... bahkan dengan skill terbang pun kayaknya susah.”

Sebenarnya aku mungkin bisa menggunakan 〈Hipnosis〉 untuk membuat orang percaya mereka sampai di sana, tapi apa gunanya membuktikan sesuatu yang tidak perlu?

Yang penting bukan apakah itu bisa dicapai, tapi...

“Kalau kamu suatu hari pergi ke bulan, aku bakal ikut.”

“Eh...?”

“Boleh nggak?”

Aku menurunkan tangan dan menatap wajah Lugh. Dia menggeleng pelan dan berbisik, “Nggak apa-apa.”

“Kalau kamu ikut, aku jadi nggak takut. Lagian... aku bisa ngenalin kamu ke Mama.”

“Kalau gitu, kamu bakal ngenalin aku sebagai apa?”

“Hmm... teman sekamarku, sahabatku...”

Dia berhenti sebentar, lalu menatapku lurus. Dalam mata birunya yang memantulkan cahaya bulan, aku bisa melihat bayanganku sendiri.

“...dan orang yang sangat berharga bagiku.”

“Wah... jadi deg-degan, nih.”

“Kenapa? Nggak boleh?”

Dia menatapku dengan kepala miring, dan aku menggeleng pelan.

“Boleh, kok.”

Lalu aku mundur satu langkah, menurunkan satu lutut ke lantai, meletakkan tangan kiri di dada, dan mengulurkan tangan kanan padanya.

“Bolehkan aku menari denganmu, tuan putriku satu-satunya — my princess?”

“Iya!”

Lugh tersenyum cerah sambil menggenggam tanganku.

...Ah, aku benar-benar menyukainya. Rasanya ingin memeluknya saat itu juga, tapi aku menahan diri, lalu menautkan tangan kami.

Kami saling menatap, menyelaraskan napas. Tanpa perlu kata-kata, kami bisa saling mengerti langkah yang akan diambil.

Di bawah sinar bulan, di panggung dansa kecil yang hanya milik kami berdua, kami menari perlahan mengikuti alunan musik yang samar dari kejauhan.



Previous Chapter | ToC | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close