Penerjemah: Izhuna
Proffreader: Izhuna
Chapter 4
Gimnasium dipenuhi dengan udara dingin yang terperangkap. Kudengar beberapa sekolah memiliki pemanas di gimnasium mereka, tetapi sekolah kami tidak punya yang seperti itu. Meski begitu, karena ada banyak orang, udaranya lebih hangat daripada di luar. …Walaupun itu juga berarti udaranya pengap, jadi sepertinya aku akan mudah masuk angin di musim seperti ini.
Sambil mendengarkan pidato kepala sekolah, aku mengamati sekeliling dan tampaknya hanya sedikit siswa yang mendengarkan dengan serius. Siswa laki-laki di depanku juga terlihat bosan dan menoleh ke arahku.
“…Hei. Aku selalu berpikir, apa acara seperti ini benar-benar perlu?”
“Aku juga berpikir begitu, tapi tidak akan ada yang berubah meskipun kita mengatakannya, jadi cepatlah menghadap ke depan. Nanti kau ditegur.”
“Aku tahu, sih… tapi dingin sekali.”
Yang sedang menghangatkan ujung jarinya dengan kairo adalah sahabatku, Makizaka Eiji. Sesuai dengan rambutnya yang tertata rapi dan auranya yang ceria, ia punya banyak kenalan. Namun, ia sama sekali bukan orang yang dangkal, dan ia adalah sosok yang telah berkali-kali menolongku… Minori Souta.
(TlN: Kairo itu Kantong penghangat sekali pakai yang populer di Jepang selama musim dingin.)
Di samping itu, saat ini kami sedang berada di tengah-tengah upacara penutupan semester kedua. Sekalipun itu Eiji, jika ia bertingkah seperti ini, ia akan diawasi oleh para Sensei. Mungkin karena ia juga menyadarinya, setelah itu ia tidak lagi menoleh ke arahku. …Meskipun beberapa kali ia mencoba menggangguku tanpa melihatku.
Setelah pidato kepala sekolah dan Sensei bimbingan siswa selesai, waktu pun menjadi bebas. Eiji meregangkan tubuhnya dengan sangat lebar seolah-olah berkata, “Akhirnya selesai juga.”
“Haaah… ngomong-ngomong, Souta.”
“Ada apa?”
“Kau akan pulang ke rumah orang tuamu saat liburan musim dingin, kan?”
“Iya. Kalau tidak, Ayah akan merajuk.”
“Kau bilang tempo hari kalau dia itu oyabaka². Bukankah itu bagus? Berarti kau dicintai.”
“…Yah, memang begitu, sih. Tapi dipeluk di luar di usiaku yang sekarang ini, rasanya agak gimana gitu.”
Eiji tertawa riang. Aku menghela napas sambil berjalan kembali ke kelas bersamanya.
Kedua orang tuaku memang oyabaka. Ibuku masih lebih baik, tetapi Ayahku-lah yang paling parah. Mungkin perlakuannya padaku tidak berubah sejak aku masih SD.
(TLN: Oyabaka (親馬鹿): Istilah dalam bahasa Jepang yang secara harfiah berarti “orang tua bodoh”, digunakan untuk menggambarkan orang tua yang sangat memanjakan atau terlalu membanggakan anak-anaknya secara berlebihan.
Tentu saja, hubungan keluargaku selalu baik sejak dulu. Aku merasa sangat beruntung dalam hal itu.)
“Yah, sepertinya banyak juga orang di dunia ini yang hubungannya tidak baik dengan orang tua mereka. Banyak yang sering mengeluh tentang orang tua mereka, lho. Bukan keluhan seperti yang kau katakan, tapi keluhan yang benar-benar serius.”
“Mungkin juga ada kasus di mana jika hubungan keluarga baik-baik saja, mereka tidak perlu menceritakannya kepada siapa pun.”
“Pasti ada. Aku juga tidak pernah membicarakannya, tapi hubungan keluargaku termasuk baik. Kakak perempuanku juga bukan tiran.”
“Oh iya, kau punya kakak perempuan, ya.”
Eiji memang terasa seperti sosok kakak laki-laki, tapi sebenarnya dia adalah anak bungsu.
“Yup. Yah, kakakku itu bisa diandalkan juga. Kalau ada apa-apa, bilang saja padaku. Misalnya kalau kau ingin dicarikan pakaian yang keren.”
“Baiklah. Aku akan ke sana kapan-kapan.”
Omong-omong, kakak perempuan Eiji bekerja di sebuah toko pakaian. Aku ingin pergi ke sana bersama Nagi suatu saat nanti… tapi rencana itu masih tertunda, jadi aku ingin segera ke sana. Meski begitu, sepertinya paling cepat baru bisa setelah tahun baru.
“Terus, Souta. Boleh aku tanya satu hal lagi?”
“Hm? Apa itu?”
“Kau bilang orang tuamu datang tempo hari, kan?”
“Ah. Iya, mereka datang.”
Bulan lalu, orang tuaku datang berkunjung secara tiba-tiba. Alasannya adalah—karena insiden yang berkaitan dengan kekasih sekaligus tunanganku saat ini, Shinonome Nagi.
Singkatnya, pada hari aku hendak menyatakan perasaanku pada Nagi… aku diberi tahu bahwa Nagi akan bertemu dengan calon pasangan perjodohannya keesokan harinya. Aku terpuruk karena itu, dan Eiji-lah yang menolongku. Lalu, aku menyadari bahwa Nagi sedang mengalami kesalahpahaman dengan orang tuanya, jadi aku pergi ke rumah Nagi keesokan paginya.
Nagi berusaha menyembunyikan jati dirinya yang sebenarnya untuk memenuhi harapan ayahnya. Di sisi lain, ayah Nagi, Shinonome Souichirou-san—menyadari bahwa Nagi memiliki rasa canggung terhadap laki-laki dan berharap putrinya bisa memiliki teman laki-laki yang akrab. Masalah pekerjaan ikut terlibat, ditambah lagi Souichirou-san dan yang lainnya tidak mengenalku… membuat benang kusut menjadi semakin rumit.
Insiden itu berhasil diselesaikan dengan baik—dan masalah baru pun muncul. Yaitu tentang orang tuaku yang kusebutkan tadi.
Karena berbagai alasan, saat ini aku pindah ke Tokyo dan tinggal sendiri. Karena kami tidak bertemu langsung, aku selalu melaporkan kabarku setiap hari kepada orang tuaku. …Meskipun “laporan” itu hanya hal-hal sederhana seperti apakah aku sakit atau tidak.
Namun, aku memutuskan kontak harian itu pada hari itu. Mudah saja untuk mengatakan bahwa aku hanya lupa, tapi aku merasa Ibu dan Ayah akan tahu. Karena Nagi telah menjadi tunanganku, aku ingin membicarakan hal itu secara resmi… dan setelah berkonsultasi dengan Nagi, ia berkata ingin menjelaskan masalah ini dengan mulutnya sendiri.
Karena kejadian itulah, bulan lalu Ayah dan Ibu datang menemuiku. Pada saat itu aku menjelaskan semuanya sekali lagi, Souichirou-san dan yang lainnya juga datang… dan akhirnya, Nagi dan aku resmi menjadi tunangan yang direstui kedua keluarga.
Itulah rangkaian peristiwa di balik apa yang ditanyakan Eiji barusan… tentang kunjungan mendadak orang tuaku.
“Kalau dipikir-pikir, seharusnya aku juga menyapa mereka waktu itu,” pikirku.
“…Kalau dipikir-pikir lagi, kau benar juga. Aku benar-benar lupa karena masalah Nagi, tapi Ibu dan Ayah juga bilang mereka ingin bertemu dengan Eiji.”
Aku tidak pernah punya teman akrab sampai masuk SMA. Eiji adalah teman pertama dan sahabatku. Tentu saja aku sudah menceritakan tentang Eiji pada Ayah dan Ibu, jadi sekarang aku berpikir seharusnya aku mempertemukan mereka. Bukan hanya Eiji, tapi juga kekasih Eiji yang juga menjadi temanku karena dia, Nishizawa Kirika. Dan juga Hayama Hikari, teman Nagi yang kemudian menjadi temanku.
“…Yah, pasti akan ada kesempatan suatu saat nanti.”
“Benar juga. Suatu saat nanti… tidak, hal-hal seperti ini membuatku penasaran. Kau tahu, seperti itu, lho. Bertukar kontak dan bilang ‘Ayo main kapan-kapan’ tapi akhirnya tidak pernah saling menghubungi sama sekali.”
“Sayangnya, lingkup pertemananku sempit, jadi aku tidak begitu paham. Memangnya seperti itu?”
“Iya. Sembilan puluh persen dari teman-temanku waktu SMP sudah tidak pernah saling mengabari lagi.”
Kedengarannya sedikit berlebihan, tapi Eiji memang punya pergaulan yang luas. Karena dia, tipe orang yang punya banyak sekali teman, yang mengatakannya, mungkin itu memang benar.
“Kalau ada orang yang ingin kau jadikan teman akrab, kau harus langsung menentukan hari untuk bermain. Itulah rahasia untuk menjadi akrab. Omong-omong, jika kau ditolak dua atau tiga kali, itu artinya tidak ada harapan.”
“…Kalau dipikir-pikir, Eiji juga dulu menghubungiku setiap hari, kan? Menanyakan apakah aku ada waktu akhir pekan ini atau semacamnya.”
“Yup. Begitulah.”
Tebakanku tampaknya benar. Rupanya memang itu niatnya sejak awal….
“Sebenarnya, kenapa Eiji ingin berteman denganku? Aku berterima kasih karena kau sudah membantuku mencari dompetku, sih.”
Pemicu aku dan Eiji menjadi akrab adalah karena aku kehilangan dompetku di hari pertama masuk sekolah. Saat aku panik mencari di seluruh kelas, Eiji menyapaku.
Saat itu aku hanya berpikir dia orang yang baik… tapi kalau dipikir-pikir lagi, aku tidak tahu kenapa Eiji ingin berteman denganku sejak saat itu. Aku juga agak malu untuk menanyakannya.
Karena ada kesempatan, aku pun bertanya, dan Eiji tertawa.
“Kenapa, ya. Aku tidak pernah memikirkannya.”
“Begitukah?”
“Aku adalah tipe orang yang mengutamakan intuisi. Dan kenyataannya, bersamamu tidak pernah membosankan. …Tapi yah, intuisi itu juga didasarkan pada pengalaman pribadi. Kalau dipikirkan baik-baik, aku pasti akan mengerti.”
Mata Eiji menyipit. Kemudian, ia menatap ke ruang hampa.
“Kau mirip dengan seseorang. Seseorang yang sangat serius, mencoba menanggung semuanya sendirian, dan berusaha keras dengan tulus untuk menjadi orang baik.”
“…Seseorang, ya.”
“Iya. Seseorang.”
Sepertinya ia tidak berniat menyebutkan nama secara spesifik. Setelah berkata begitu, Eiji memejamkan matanya lama, lalu berjalan mendahuluiku.
“Hei, Souta. Agak ganti topik, atau lebih tepatnya kembali ke topik semula.”
“Ada apa?”
“Bolehkah aku juga pergi ke tempat kau dibesarkan?”
“…Hah?”
Sebuah suara seperti itu tanpa sadar keluar dari mulutku karena kata-kata yang sama sekali tidak kuduga, tapi kurasa itu wajar saja.
∆∆∆
“Apakah Makizaka-san dan yang lainnya juga akan pulang kampung bersama?”
“Sepertinya penjelasanku tadi kurang lengkap. Tepatnya, sedikit berbeda.”
Dalam perjalanan pulang. Di sebelahku adalah seorang gadis cantik yang, jika ada seratus orang, seratus orang itu pun akan menoleh untuk melihatnya.
Rambutnya seputih salju pertama. Matanya sebiru lautan, dan raut wajahnya tidak seperti orang Jepang pada umumnya.
Karena penampilannya yang dingin… dan aura yang dipancarkannya, ia terkadang dijuluki 【Putri Es】.
──Shinonome Nagi.
Ia adalah kekasihku, dan juga tunanganku. Syal dan sarung tangan yang kupakai sekarang adalah hadiah Natal darinya. Di musim ini, hari-hari yang dingin masih berlanjut, jadi barang-barang ini sangat membantu.
Nagi sedikit memiringkan kepalanya mendengar kata-kataku. Setiap gerak-geriknya sangat menggemaskan.
Cukup dengan pikiran itu, aku kembali ke percakapan.
“Aku diajak untuk pergi hatsumode¹.”
“Hatsumode… tapi sepertinya akan jadi perjalanan yang cukup jauh, ya.”
“Iya. Aku juga sudah bilang begitu padanya. Katanya bukan pergi tengah malam tanggal tiga puluh satu, tapi pada tanggal satu Januari. Sepertinya pertemuan keluarga besar Eiji dan yang lainnya diadakan pada tanggal dua atau tiga.”
“Begitu rupanya, aku ingin bilang begitu, tapi… tetap saja, bukankah itu jauh?”
“Yah… kurasa itu hanya bisa disebut sebagai sifatnya. Eiji itu sangat lincah dan gampang sekali diajak pergi. Nishizawa juga begitu.”
“Hmm. Kalau dipikir-pikir, aku jadi mengerti. Hayama-san juga punya sisi yang mirip.”
Eiji adalah tipe orang yang akan mengajak bermain setiap kali ada waktu luang. Sebaliknya, saat aku punya waktu luang dan bertanya pada Eiji apakah ia bisa bermain, sembilan dari sepuluh kali ia akan menjawab bisa. Omong-omong, sekitar empat kali di antaranya, Nishizawa juga ada bersamanya, dan mereka sedang berkencan. Aku selalu merasa tidak enak, tapi mereka berdua selalu mengatakan lebih menyenangkan jika ramai.
Dan, sepertinya Nishizawa juga punya sifat yang sama. Nagi mengangguk berkali-kali seolah mengerti.
“Yah, itu pun baru sebatas ‘mungkin akan datang’. Tiket kereta cepat Shinkansen pasti akan cepat penuh di waktu seperti ini. Tapi, dia bilang punya cara lain kalaupun itu terjadi. Aku juga sudah bertanya pada Ibu dan Ayah, dan mereka menyambutnya dengan baik.”
“Begitu, ya. Apakah kamarnya akan cukup?”
“Kurasa begitu. Ada kamar tamu juga, dan Eiji bilang kalaupun mereka menginap, hanya untuk satu malam, jadi kurasa tidak masalah.”
Rumah orang tuaku sebenarnya tidak sempit. Malah, kurasa termasuk luas. …Meskipun tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan rumah Nagi. Tapi tidak akan ada masalah jika hanya untuk teman-teman yang datang menginap.
“Begitu, ya. …Souta-kun.”
“Aku mengerti. Mau coba ajak Hayama juga?”
“Kalau bisa, aku ingin mengajaknya. Tentu saja, mungkin dia sibuk di Tahun Baru, tapi…”
“Iya, aku akan coba menghubunginya. Hayama kan sekarang juga temanku.”
Hayama yang dimaksud adalah Hayama Hikari, yang satu sekolah dengan Nagi. Dia adalah teman Nagi, dan sekarang kurasa aku juga boleh menyebutnya sebagai temanku.
Orang tuaku pasti akan lebih senang jika aku mengajak banyak teman sekaligus. Tentu saja, itu jika jadwal Hayama cocok.
“Iya! Tentu saja!”
Setelah berbicara dengan Nagi, aku berhenti sejenak untuk menghubungi Hayama dan—seketika itu juga balasan datang, ‘Kalau tanggal satu Januari aku bisa dan ingin pergi’. Sepertinya pertemuan keluarga besarnya juga diadakan pada tanggal dua atau setelahnya.
…Mungkin Tahun Baru kali ini akan menjadi ramai.
◆◆◆
Hari ini Nagi datang ke rumahku. Kami akan berangkat ke rumah orang tuaku besok, tapi Nagi sepertinya sudah selesai berkemas. Besok pagi, Souichirou-san dan yang lain akan mengantar kami ke stasiun sekaligus membawakan barang-barang Nagi. Mereka sangat membantu, aku harus benar-benar berterima kasih.
“~~~”
Nagi memotong sayuran sambil bersenandung. Ia sedang menyiapkan makan malam untukku.
“Kelihatannya suasana hatimu sedang bagus, ya.”
“Iya. Aku tertarik dengan tempat di mana Souta-kun tinggal. Tentu saja, aku juga berpikir akan menyenangkan jika Nishizawa-san dan yang lain datang di Tahun Baru dan kita bisa bersama-sama.”
“Benar juga. Aku juga… senang karena akhirnya bisa menunjukkan pada Ayah dan Ibu bahwa aku sudah punya banyak teman.”
Aku baru bisa memiliki teman yang benar-benar bisa disebut teman setelah masuk SMA. Dari sudut pandang itu saja, aku sama seperti Nagi.
Bukannya aku kesepian saat sendirian, jadi Ayah dan Ibu hanya mengkhawatirkanku tanpa ikut campur lebih jauh. Kenyataannya, aku adalah tipe yang bisa menikmati waktu sendirian.
Namun—setelah memiliki teman, dan setelah bertemu Nagi, kurasa aku juga sudah banyak berubah.
Jika mereka melihatku bersenang-senang karena punya teman, Ayah dan Ibu pasti akan merasa lega.
“…Kau pernah bilang kalau kau tidak punya teman, ya.”
“Iya. Tapi, aku punya Ayah dan Ibu. Saat libur dan aku tidak punya kerjaan, mereka sering mengajakku nonton film, dan saat itu aku juga cukup menikmatinya.”
“Pasti ada banyak hal lain juga yang terjadi, kan?”
“…”
Aku sedikit terkejut dengan kata-kata Nagi. Aku tidak menyangka ia akan menanyakannya di sini.
“…Yah, memang banyak hal yang terjadi di tempat itu. Kalau tidak, aku juga tidak akan sampai sejauh ini.”
“…”
“Aku akan menceritakannya di sana, termasuk bagian itu. Memang banyak hal yang terjadi, tapi ada banyak hal menyenangkan juga.”
Entah apakah ia puas dengan jawaban itu, Nagi mengangguk pelan. Aku bisa saja menceritakannya sekarang, tapi jika hanya cerita itu, ia mungkin akan punya perasaan yang tidak baik tentang kampung halamanku. Tapi jika aku juga harus menceritakan hal-hal yang menyenangkan… aku harus menceritakan semuanya. Kalau begitu, lebih baik aku bercerita di sana sambil melihat album foto atau pergi ke tempat-tempat kami bermain dulu agar suasananya lebih terasa.
“Maaf, ya, sepertinya aku menyembunyikan banyak hal. …Yah, memang kenyataannya begitu, sih.”
“Tidak apa-apa. Aku tahu Souta-kun mengatakan itu karena ingin ceritanya jadi menyenangkan. Justru, maafkan keegoisanku.”
“Nagi juga jangan minta maaf. Aku juga senang hanya dengan fakta bahwa kau mau mencoba mengenalku lebih jauh.”
Aku sendiri memang menghindari topik itu karena kupikir itu bukan cerita yang menarik untuk didengar. Tapi… aku benar-benar senang Nagi ingin mengetahuinya.
“Tapi… tidak, sudahlah. Kalau begitu, mari kita sepakat untuk tidak memikirkannya lagi. Ayo berpelukan.”
“…Itu sih hanya karena Nagi yang mau, kan?”
“Fufu, ketahuan, ya?”
Sambil berkata begitu, Nagi mendekat dengan langkah kaki yang ringan. Aku pun bangkit dari kursi untuk menyambutnya.
Saat aku merentangkan tanganku, Nagi melompat ke dalam pelukanku. Begitu erat, seolah akan terdengar suara ‘Gyuu’.
“Souta-kun.”
“…Mau?”
“Iya.”
Nagi menatapku dari bawah… entah kenapa aku bisa menebak maksudnya dan bertanya, dan ia mengangguk pelan.
Tirai diturunkan di atas mata birunya, dan ia sedikit berjinjit. Menghadapi dia yang menunggu seperti itu—aku menyatukan bibir kami.
Sensasi lembut dan kehangatan yang terasa. Perasaan bahagia yang luar biasa mengalir hingga membuat otakku kesemutan dan punggungku bergidik.
Lalu saat aku perlahan melepaskan bibir kami… Nagi tersenyum lembut.
“…Ehehe. Aku akan lanjut memasak dengan semangat, ya.”
“Aku menantikannya. Terima kasih untuk makanannya yang selalu enak.”
Aku mengucapkan terima kasih sambil masih dipenuhi sisa-sisa perasaan bahagia. Urusan makanan sepenuhnya kuserahkan pada Nagi, jadi aku harus benar-benar berterima kasih.
Mendengar kata-kataku, Nagi tersenyum lebih dalam lagi.
“Sama-sama.”
Setelah berkata begitu, Nagi berbalik, mengambil pisau, dan mulai memotong sayuran lagi.
Aku sesekali berbicara dengan Nagi yang memasak sambil bersenandung kecil. Aku menyukai waktu-waktu seperti ini.
∆∆∆
“Kalau begitu permisi, Aku di sebelahmu, ya.”
Yang berkata begitu lalu berbaring di sebelahku… di dalam tempat tidur, adalah Nagi yang mengenakan piyama berbulu halus.
Sejak kami mulai berpacaran, kami jadi sering tidur bersama seperti ini sesekali.
“Akhir-akhir ini dingin, jadi… ah, sepertinya alasan seperti itu tidak perlu, ya. Boleh aku pegang tanganmu?”
“Tentu saja.”
Aku menggenggam tangan yang ia ulurkan. Tangan yang hangat dan lembut. …Padahal aku sudah sering menggenggamnya, tapi anehnya aku masih sedikit gugup.
Saat kami berpegangan tangan, Nagi juga tersenyum dengan mata yang sedikit terpejam senang. Ia meremas-remas pelan seolah menikmati sensasi telapak tanganku. Lalu ia mengulurkan tangannya yang satu lagi dan menyelimuti tanganku.
“Tangan Souta-kun menenangkan. Baik saat digenggam, maupun saat mengelus kepalaku.”
Sambil tetap memegang tanganku, Nagi mengarahkannya ke wajahnya. Telapak tanganku kini berada di pipinya.
“Aku juga suka saat pipiku disentuh seperti ini.”
Nagi menggesekkan pipinya seperti kucing. Karena diarahkan olehnya, aku pun menyentuhnya, dan ia memejamkan mata dengan ekspresi nyaman, pipinya menjadi sangat rileks. …Mungkin aneh jika aku yang bilang, tapi ia punya kelucuan seperti binatang kecil.
“Aku juga suka melakukan ini.”
“Fufu. Permintaan dan penawaran kita cocok. Give and take, ya.”
Aku terus mengelus pipi Nagi selama beberapa saat. Sekitar lima menit kemudian, Nagi tampak puas dan melepaskan tanganku.
“Kalau begitu… sekarang giliranku, ya.”
Kukira sudah selesai, tapi sekarang giliran Nagi yang menyentuh pipiku.
Berbeda dengan pipinya, pipiku tidak lembut. Kupikir tidak menyenangkan menyentuhnya, tapi Nagi sepertinya menikmati ini.
“Kalau disentuh begini jadi tahu, kondisi kulitmu juga semakin membaik, ya.”
“Benarkah? Kalau dipikir-pikir, sepertinya memang begitu… apa karena Nagi yang memasak untukku?”
“Mungkin itu salah satunya, tapi kurasa waktu tidur juga berpengaruh. Saat bersamaku, kau tidur lebih cepat.”
“Ah, sepertinya benar. Waktu tidurku juga jadi lebih awal di hari-hari saat Nagi tidak menginap. Setelah selesai telepon, aku jadi mengantuk secara alami.”
Pada hari-hari saat Nagi tidak menginap, kami hampir setiap hari menelepon. Nagi bercerita kalau ia dipuji oleh Senseinya di tempat les, aku bercerita kalau aku tidur siang karena mengantuk, atau bermain dengan Eiji sepulang sekolah. Hal-hal seperti itu.
Awalnya, setelah selesai menelepon, aku biasanya mandi atau membaca manga, tapi lama-kelamaan aku jadi mengantuk saat telepon akan berakhir, jadi aku mandi dulu baru menelepon Nagi. Setelah itu, aku bersiap untuk tidur. Akhirnya, aku jadi menyelesaikan persiapan tidur sebelum menelepon Nagi, dan belakangan ini, rasa kantuk sudah datang saat telepon akan berakhir, jadi aku langsung mematikan lampu dan tidur.
“Begitu, ya. Aku tidak sadar karena di akhir-akhir telepon aku biasanya sudah mengantuk dan linglung.”
“…Kalau sudah mengantuk, Nagi memang luar biasa. Terutama akhir-akhir ini.”
“A-apa aku mengatakan hal yang aneh?”
Aku tidak bisa langsung menjawab pertanyaan Nagi.
Saat ia mengantuk… terutama belakangan ini, ia sering mengatakan ‘Aku sangat menyukaimu’ dan ‘Aku mencintaimu, Souta-kun’. Beberapa kali ia juga mengatakannya dalam igauan.
Kukira ia mengingatnya… tapi karena ia setengah sadar, mungkin ini juga seperti setengah mengigau.
“…Kurasa tidak aneh, kok?”
“Ugh… rasanya agak memalukan juga kalau tidak ingat sama sekali.”
Bahkan dalam kegelapan, aku bisa melihat pipi Nagi sedikit memerah. Kemudian ia melepaskan tangannya dari pipiku dan meletakkannya untuk menutupi pipinya sendiri.
Lalu mata birunya melirik ke arahku—
“E-eih!”
“Ngh!?”
—Tiba-tiba bibir kami disatukan. Kalau mendadak begini, aku jadi kaget.
Ciuman itu tidak lama, hanya sekitar dua kedipan mata sebelum Nagi menjauh. Wajahnya kini lebih merah dari sebelumnya.
“A-aku pikir, apa rasa malu ini bisa kutimpa dengan rasa bahagia.”
“…Berhasil?”
“A-aku tidak tahu. Tapi sekarang, aku sangat bahagia.”
Dengan pipi yang masih memerah, Nagi menyentuhkan jarinya ke bibirnya sendiri. Gerakan itu terlihat begitu sensual… tanpa sadar aku membuang muka.
Bahkan untuk berciuman… jika aku belum siap menerimanya, aku bisa jadi malu. Tapi karena aku juga merasakan kebahagiaan yang lebih besar, bukan berarti aku tidak suka.
Jantungku berdebar kencang, tidak seperti biasanya sebelum tidur. Aku mencoba bernapas perlahan dan dalam untuk menenangkannya.
“Souta-kun.”
“…Iya.”
Saat namaku dipanggil, aku mengembalikan pandanganku dan melihat Nagi sedikit membuka lengannya. Saat aku memeluknya… aku bisa mendengar detak jantung yang bukan milikku berdebar kencang.
Detak itu perlahan menyatu dengan detak jantungku, dan sedikit demi sedikit menjadi lebih tenang.
Aneh sekali, berpelukan dengan Nagi membuatku gugup, tapi di saat yang sama juga sangat menenangkan. Ada perasaan bahagia juga.
“Aku juga suka memeluk Souta-kun erat-erat.”
“…Aku juga suka.”
“Aku senang.”
Kami pun saling berpelukan. Aku merasakan kehangatan tubuhnya di sekujur tubuhku, dan saat ia menggesekkan pipinya, aku juga merasakan kelembutannya. …Selain itu, aromanya sangat wangi.
Setelah kami berpelukan beberapa saat, aku mendengar suara Nagi menahan kuap kecil. Sepertinya ia sudah mengantuk.
“Sudah waktunya tidur, ya.”
“Iya, ya. Besok juga harus bangun pagi. …Apa boleh tidur seperti ini?”
“Iya, boleh.”
Aku juga berniat begitu. Nagi mengangguk senang dan berkata ‘iya’… perlahan, napasnya menjadi teratur.
“Selamat tidur, Nagi.”
“Selamat tidur, Souta-kun.”
Setelah itu kami memejamkan mata. Posisinya mungkin terlihat tidak nyaman untuk tidur—tapi yang mengejutkan, aku bisa tertidur dengan sangat mudah.
∆∆∆
Saat aku membuka mata di pagi hari, orang yang kucintai sedang tidur di sampingku. Dengan pulas, tampak begitu nyenyak.
Kekasihku──Minori Souta-kun.
Ia ada di sini, di sampingku. Betapa bahagianya hal itu──aku baru benar-benar menyadarinya belakangan ini.
Banyak sekali hal yang telah terjadi. Sejak aku bertemu dengannya.
Aku takut saat tubuhku disentuh oleh orang asing di kereta. Aku ingin meminta tolong, tetapi rasa takut membuat suaraku tidak bisa keluar. Kukira orang-orang di sekitarku akan menolong, tetapi… selain dia, tidak ada seorang pun yang membantuku.
Hanya dia yang menolongku. Sejak kejadian itu, aku menjadi lebih takut pada laki-laki dari sebelumnya… dan aku bersandar padanya.
Benar-benar banyak hal yang terjadi. Yang paling melekat di benakku adalah──hari di mana aku mengkhianatinya.
Aku dihadapkan pada pilihan antara dia yang telah menolongku dan keluargaku, dan aku memilih keluarga. …Keluargaku sangat menyesal setelah mengetahui hal itu, jadi itu adalah pilihan yang tidak membahagiakan siapa pun.
Meskipun begitu, dia kembali menolongku. Bukan hanya itu… dia memberiku kesempatan sekali lagi, padahal aku telah mengkhianatinya. Bukan. Cara mengatakannya seperti ini tidak baik.
Souta-kun tetap menyukaiku. Karena itu, aku juga menjadi jujur pada perasaanku sendiri. …Mengingat apa yang telah kulakukan, ini adalah cerita yang sangat menguntungkan bagiku──dan itu pun, pada hari Natal. Aku pergi ke taman hiburan bersamanya sekali lagi, dan kami memulai semuanya dari awal.
Bukan berarti semua hal itu lenyap begitu saja. Tetapi, itu adalah hal yang kubutuhkan untuk membereskan perasaanku.
Bukan aku yang akan membuatnya bahagia. Melainkan kami akan bahagia bersama.
“──Fufu.”
Sambil mengingat hal itu, aku menggelitik rambutnya dengan jariku saat ia tertidur pulas di depanku.
Souta-kun benar-benar, tampan, baik hati… dan manis.
Tanpa sadar aku terus menatap wajah tidurnya, dan rahasianya adalah, lima menit telah berlalu tanpa kusadari.
Nafsu kecilku pun muncul, dan aku memeluknya erat serta memberikan kecupan di pipinya.
Setelah itu, aku membangunkannya. Agar tidak mengejutkannya, aku menyentuh bahunya perlahan dan menggoyangkannya. Dengan cara ini, kesadaran Souta-kun akan terbangun sedikit demi sedikit.
“…Ngh.”
Ia mengeluarkan suara pelan dan perlahan membuka kelopak matanya. Lalu setelah berkedip beberapa kali… fokus matanya akhirnya kembali.
“Selamat pagi, Souta-kun. Sudah pagi.”
“…Ah. Selamat pagi, Nagi.”
Dengan mata yang masih sayu, Souta-kun merentangkan tangannya. Tanpa ragu, aku melompat ke dalam pelukannya. Souta-kun di pagi hari sangat manja dan menggemaskan.
“Aku akan segera membuat sarapan, jadi Souta-kun bersiap-siap saja untuk berangkat, ya.”
“Terima kasih, Nagi.”
“Sama-sama.”
Percakapan kami yang biasa. Terakhir, aku membenamkan wajahku di leher Souta-kun dan memeluknya erat-erat sebelum pelukan kami berakhir.
Setelah itu, kami sarapan dan memeriksa kembali barang bawaan kami. Meskipun begitu, koperku yang sudah siap ada di rumah dan akan diantarkan oleh Papa dan yang lain, jadi tidak ada masalah.
“Yah… kita kan pulang ke rumah orang tua, jadi kurasa tidak apa-apa kalau ada beberapa barang yang kurang,” kata Souta-kun.
“Aku setuju, tapi berjaga-jaga itu penting, lho. Contohnya… Souta-kun, apa kau sudah membawa tisu saku dan sapu tangan?”
“Ah.”
Souta-kun bersuara pelan dan berjalan cepat ke arah ruang tamu. Saat kembali, di tangannya sudah ada tisu saku dan sapu tangan.
“Aku benar-benar lupa. Terima kasih, Nagi.”
“Fufu, sama-sama. Aku juga terkadang baru ingat setelah diingatkan oleh Susaka-san¹.”
Selain itu, banyak barang yang biasa digunakan sehari-hari yang sulit diganti. Seperti kosmetik… meskipun dalam kasus Souta-kun, ia tidak terlalu banyak menggunakannya. Bagi sebagian orang, sikat gigi, pasta gigi, dan sampo juga termasuk. Jika barang-barang seperti itu terlupakan, stres-stres kecil bisa menumpuk.
Kami melakukan pemeriksaan akhir barang bawaan sambil membicarakan hal-hal seperti itu. Aku merasa sangat bersemangat untuk perjalanan jauh pertamaku bersama Souta-kun.
◆◆◆
Setelah sekitar dua jam di kereta cepat Shinkansen, kami tiba di stasiun. Ini pertama kalinya aku bepergian sejauh ini. Sebenarnya, dari sini masih butuh sekitar tiga puluh menit lagi dengan kereta. Tetapi, Souta-kun bilang itu tidak perlu.
Souta-kun menghela napas pelan saat melihat ke arah pintu masuk stasiun. Di sana—ada ibu Souta-kun, yang akan menjadi ibu mertuaku, Minori Kazumi-sama, dan di sebelahnya ada seorang pria kekar berotot. Beliau adalah ayah Souta-kun, yang akan menjadi ayah mertuaku, Minori Daigo-sama.
“Soutaaaa! Putraku tercintaaa!”
“Ayah. Tolong jangan berteriak. Aku malu.”
Ayah Souta-kun berlari mendekat dan memeluk Souta-kun. Pemandangan yang pernah kulihat belum lama ini.
“Sudah berapa tahun… kita tidak bertemu seperti ini.”
“Belum ada sebulan sejak saat itu, kan.”
“Dasar bodoh. Rasanya sudah seperti dua tahun.”
“Iya, iya.”
Cara bicara Souta-kun terdengar seolah menanggapi seadanya… tapi, ia terlihat sedikit senang. Sebelumnya Souta-kun menyebut orang tuanya oyabaka, tapi kurasa Souta-kun juga sangat menyayangi orang tuanya. Itu adalah hal yang sangat baik dan menghangatkan hati.
“Sudah, Ayah ini. Nagi-chan bisa kaget, kan? Sudah sekitar sebulan ya, Nagi-chan. Apa kabarmu?”
“O-oh. Maaf. Nagi-chan, lama tidak bertemu, ya.”
Ayah Souta-kun melepaskan Souta-kun, dan mereka berdua menatapku. Dilihat kembali pun, mereka tampak sangat awet muda.
Selain itu, ayah Souta-kun… perawakannya tinggi besar. Sekitar satu kepala lebih tinggi dari Souta-kun.
Souta-kun sendiri badannya tidak pendek. Malah, seharusnya lebih tinggi dari rata-rata. Meski begitu, perbedaan tinggi mereka cukup jauh. Mungkin tingginya sekitar seratus sembilan puluh sentimeter. Saat Souta-kun dipeluk seperti itu, ia benar-benar tertutupi. Souta-kun juga tidak kurus dan menurutku postur tubuhnya termasuk bagus. Tangannya juga besar. Tapi, ayah Souta-kun memiliki postur yang lebih besar darinya dan penampilannya lebih menonjol dari orang-orang di sekitarnya. Aku tahu beliau orang yang baik, tapi aku jadi gugup tanpa sadar. Ibu Souta-kun tersenyum kecil melihatku.
“Tidak perlu gugup dengan kami, Nagi-chan. Orang ini juga penakut, lho. Di rumah, dia khawatir dengan bau badan karena usia, sampai menyemprotkan penghilang bau ke seluruh ruangan, bahkan hampir menyemprotkannya ke dirinya sendiri.”
“Apa yang Ayah lakukan…”
Mendengar kata-kata mereka berdua, ayah Souta-kun tertawa kecil. Ia tampak sedikit malu.
“Sekali lagi, lama tidak bertemu. Dan, mulai hari ini saya akan merepotkan Anda untuk beberapa waktu. Saya Shinonome Nagi. Mohon bimbingannya.”
Meskipun aku sudah pernah bertemu mereka sekali, aku harus memberikan salam dengan benar. Karena mulai hari ini aku akan berada dalam perawatan mereka.
Mendengar kata-kataku, mereka berdua menunjukkan senyum yang sangat ramah.
“Mulai hari ini mohon bantuannya ya, Nagi-chan. Mungkin sulit, tapi kami akan senang jika kamu bisa bersantai seperti di rumah sendiri.”
“Mohon bantuannya, Nagi-chan. Penampilanku memang seperti ini, tapi ini adalah otot yang kubangun untuk melindungi keluarga. Tentu saja, Nagi-chan yang akan menjadi istri Souta-kun juga termasuk keluarga. Keluarga itu, Souichirou-san dan yang lainnya juga. Jadi, uhm… aku akan senang jika kamu tidak merasa takut.”
“Fufu.”
Tanpa sadar aku tersenyum. Aku sudah memberitahu mereka berdua bahwa aku memiliki rasa canggung terhadap laki-laki. Mungkin karena itulah mereka begitu memperhatikanku.
“Tentu saja. Mohon bimbingannya. …Dan, pada kesempatan ini, ada sesuatu yang ingin saya minta.”
“Apa itu?”
Mulai hari ini aku akan tinggal di rumah orang tua Souta-kun. Dengan begitu, ada beberapa hal yang menjadi kepikiran. Terutama… cara memanggil ibu dan ayah Souta-kun. Aku tidak bisa selamanya memanggil mereka “ibu Souta-kun”, tapi memanggil nama mereka dengan sebutan “-san” juga… bukannya buruk, tapi terasa sedikit berjarak.
“Mulai hari ini, saya ingin memanggil Anda ‘Ibu Mertua’ dan ‘Ayah Mertua’.”
Bahu mereka berdua terlonjak kaget. Lalu mereka saling berpandangan… dan tersenyum lebar.
“Ibu.”
“Iya… akhirnya, ya.”
“Ayah, Ibu. Aku tahu kalian senang, tapi tolong jawab dulu.”
Mendengar kata-kata Souta-kun, ibunya berkata “Iya juga, ya,” lalu berdeham sekali sebelum menatapku.
“Tentu saja, dengan senang hati. …Aku sudah lama menginginkan seorang putri.”
“Dipanggil ‘Ayah Mertua’ oleh calon istri Souta… satu lagi mimpiku terwujud… Berikutnya adalah agar Souta memanggilku ‘Papa’.”
“Aku tidak akan pernah memanggilmu begitu.”
Souta-kun—memotong ucapan Ayah Mertua sambil berkata begitu, tapi ia tersenyum padaku.
“Begitulah katanya. Baguslah, ya.”
“Iya! Kalau begitu, sekali lagi, mohon bimbingannya! Ibu Mertua, Ayah Mertua!”
“Iya, mohon bantuannya, ya, Nagi-chan.”
“Mohon bantuannya, Nagi-chan.”
Ibu Mertua dan Ayah Mertua membalas dengan senyuman. Perasaan hangat pun muncul di hatiku, dan aku pun ikut tersenyum.
Begitulah, liburan musim dingin kami pun dimulai.
◆◆◆
Setelah selesai bersalaman di stasiun, kami berjalan menuju tempat parkir koin terdekat.
“H-hei. Souta. Nanti kau tidak tersesat, kan? Dulu kan kita sering jalan sambil pegangan tangan?”
“Itu kan cerita waktu aku masih SD kelas rendah. Asal Ayah tahu, aku juga sedang dalam masa puber. Akan kutolak sekuat tenaga.”
“Ayah. Meskipun sudah lama tidak bertemu Souta, nanti kau bisa dibenci, lho.”
“Ugh… maafkan aku, Souta.”
Melihat Ayah Mertua bercanda dengan Souta-kun, senyumku merekah dengan sendirinya.
Karena Souta-kun menunjukkan ekspresi yang jarang kulihat, entah itu bingung atau jengkel. Aku senang karena seolah mengetahui sisi barunya.
Saat itu, Ibu Mertua menyapaku.
“Nagi-chan. Setelah itu, apa Souta tidak merepotkanmu?”
“Tidak, sama sekali tidak merepotkan. Justru sebaliknya, ia sangat membantu saya. Kami juga bisa merayakan Natal berdua, dan setiap hari terasa menyenangkan.”
Saat Natal, aku pergi ke taman hiburan bersama Souta-kun.—Ke taman hiburan tempat aku mengkhianati Souta-kun. Dengan mengulang hari itu, aku bisa kembali melangkah maju.
“Selain itu, ia mengingatkan saya bahwa yang kita berikan pada keluarga bukanlah kerepotan, melainkan kekhawatiran.”
Jika kita terus menahan diri dengan pikiran ‘aku akan merepotkan’, pada akhirnya kita justru akan membuat mereka khawatir.
Karena itu, pada keluarga… pada dia yang adalah keluargaku, aku tidak akan menahan diri.
“Bagi saya, Souta-kun sudah menjadi keluarga. Kami sudah sepakat untuk saling mendukung dan bahagia bersama.”
Saat aku berkata begitu—Ibu Mertua menunjukkan ekspresi terkejut, lalu tiba-tiba menangis tersedu-sedu.
“Kamu, benar-benar bertemu dengan anak yang baik, ya… Ibu senang sekali.”
“T-tunggu, Ibu!?”
Ibu Mertua dengan lembut mengelus kepala Souta-kun. Souta-kun tampak malu dan mencoba menghindar, tetapi Ibu Mertua menahan bahunya dengan tangan yang lain agar ia tidak kabur.
“Ibu curang! Ayah juga ingin mengelus kepala Souta!”
“Ayah kan tadi sudah memeluk Souta!”
Setelah itu, rambut Souta-kun diacak-acak oleh Ibu Mertua. Kali ini, Souta-kun tampak lebih malu dari sebelumnya. Mungkin karena Ibu Mertua menyadarinya, badai itu reda setelah sekitar sepuluh detik.
Keakraban keluarga mereka terlihat lebih jelas daripada saat aku datang ke rumah Souta-kun sebelumnya. Mungkin saat itu mereka berdua masih sedikit canggung satu sama lain. Saat aku tersenyum melihat pemandangan akrab itu, Ayah Mertua menatapku.
“Nagi-chan, terima kasih. Berkat Nagi-chan, Souta juga jadi menunjukkan senyum yang sangat tulus.”
Suara itu terdengar sangat lembut. Suara Souta-kun yang lembut mungkin turunan dari ayahnya, pikirku.
“Saya juga berubah berkat Souta-kun. Sekarang Souta-kun ada di samping saya, saya juga punya teman-teman… Sungguh, saat ini saya sangat bahagia.”
Saat aku berhenti, mereka bertiga juga ikut berhenti. Aku ragu apakah harus mengatakannya setelah kami sampai, tapi kurasa sekarang adalah waktu yang tepat.
“Ada sesuatu yang lupa saya sampaikan saat Anda berdua datang tempo hari.”
Aku menatap lekat-lekat ayah dan ibu Souta-kun.
“Souta-kun telah sangat, sangat sering menolong saya.”
Bahkan awal pertemuan kami pun karena Souta-kun menolongku. Setelah itu, aku bisa akrab dengan Hayama-san juga berkat saran Souta-kun… ia mengajariku pelajaran, dan aku juga mengajarinya. Aku benar-benar banyak ditolong.
“Souta-kun menjadi orang yang baik dan bisa diandalkan, saya rasa itu juga karena sifat dasarnya. Tapi, pengaruh didikan Anda berdua juga sangat besar. Setelah bertemu langsung, saya merasakannya.”
Dan, jika bukan karena Anda berdua—Souta-kun tidak akan pernah lahir.
“Karena itu, terima kasih. Karena telah membesarkan Souta-kun menjadi orang yang lurus.”
Aku terus kepikiran karena lupa menyampaikannya sebelumnya. Tentu saja aku sangat berterima kasih pada Souta-kun dan berusaha menyampaikannya sesering mungkin. Tapi, kesempatan untuk menyampaikannya kepada orang tua Souta-kun sangatlah berharga.
Lalu, orang tua Souta-kun—tersenyum lembut mendengar kata-kataku.
“Sama-sama.”
“Sama-sama.”
Itu adalah kata-kata yang telah menghubungkanku dengannya. Aku merasa sangat senang. Lalu, Ibu Mertua tersenyum menyeringai.
“Nah, kami juga sudah menerima ucapan terima kasih dari Nagi-chan. Sekali lagi terima kasih, ya, Nagi-chan. Karena sudah bersama Souta.”
“S-sama-sama.”
Saat aku menjawab dengan sedikit terbata-bata, Ibu Mertua tertawa senang. Di sebelahnya, Ayah Mertua tersenyum jahil menatap Souta-kun.
“Souta juga jadi sering bercerita dengan sangat gembira sejak bertemu Nagi-chan. Itu benar-benar… pertama kalinya Souta membicarakan seorang gadis.”
Mendengar kata-kata Ayah Mertua, bahu Souta-kun terlonjak kaget.
“Tidak, sebenarnya sejak hari aku bertemu Nagi-chan sudah begitu, tahu? Sebelum itu, sekitar tak lama setelah masuk sekolah, aku sudah tahu tentang Nagi-chan—“
“A-Ayah. Cukup sampai di situ saja…”
Souta-kun menghentikannya di tengah jalan. Tapi, aku sangat penasaran dengan kelanjutannya.
Souta-kun sudah mengenalku sebelum itu. …Yah, kami berada di gerbong kereta yang sama, dan aku selalu merasakan ada yang menatapku, jadi kupikir ia memang sudah tahu tentangku.
Ia menceritakan tentangku kepada orang tuanya. Hal itu membuatku sangat senang. Tanpa sadar aku menatap lekat-lekat ke arah Souta-kun.
“…”
Souta-kun dengan cepat membuang muka.
Aku terus menatap Souta-kun lekat-lekat.
“…………”
Pipi Souta-kun memerah, dan ia menggaruknya dengan jari.
Aku terus, masih terus menatap Souta-kun.
“………………”
Meski begitu aku terus menatapnya lekat-lekat—
“…I-ini bukan hal untuk dibicarakan di luar. Akan kuceritakan setelah kita sampai di rumah.”
“Berhasil!”
Tanpa sadar aku mengepalkan tanganku.
Aku tersentak saat melihat Ibu dan Ayah Mertua menatap kami dengan wajah yang hangat, lalu aku berdeham sekali.
Kemudian aku mengambil tangan Souta-kun dan mulai berbicara untuk mengganti topik.
Saat kami berjalan sambil berbicara, kami segera tiba di tempat parkir koin. Di sana, kami naik ke mobil Ayah Mertua dan menuju ke rumah.
“…Padahal aku sudah bilang akan naik kereta sampai ke stasiun terdekat.”
“Memangnya Ayah ini kau anggap apa! Ayah sudah tidak sabar ingin bertemu kalian satu detik pun lebih cepat!”
“Sudah kuduga Ayah akan bilang begitu.”
Souta-kun menghela napas. Gerak-geriknya itu jarang kulihat… dan sedikit lucu, membuatku tertawa lagi.
Souta-kun yang melihatku tampak sedikit kesal. Tapi, ia tidak benar-benar marah.
Perlahan, ia menyodorkan tangannya, dan aku menggenggamnya. Aku menyilangkan jari-jemariku agar bisa merasakan kehangatannya dengan lebih kuat.
Ekspresi Souta-kun yang sedikit merajuk juga jarang kulihat. Hari ini aku senang karena bisa melihat banyak sisi langka dari Souta-kun.
Aku pun memandangi pemandangan di luar.
Pemandangan yang belum pernah kulihat sebelumnya. …Tentu saja, karena aku tidak sering bepergian jauh selain untuk pertunjukan tari tradisional Jepang, jadi rasanya sangat baru.
“Di sini gedungnya masih banyak, tapi dibandingkan Tokyo, tidak ada yang menarik, kan. Semakin dekat ke rumah, gedungnya akan semakin sedikit. Meskipun tidak sampai disebut pedesaan.”
“Karena ini pemandangan yang jarang aku lihat, hanya dengan melihatnya saja sudah menyenangkan.”
Distrik perbelanjaan dengan toko-toko pribadi, taman, dan danau. Semuanya terasa segar. Meskipun di Tokyo juga ada, suasana dan skalanya sangat berbeda.
“Fufu. Kalau begitu, cobalah pergi ke berbagai tempat dengan Souta. Seperti ke sekolah lamanya.”
“Aku ingin sekali ke sana!”
Sekolah lama Souta-kun… berarti SMP atau SD-nya.
Aku ingin melihatnya. Di tempat seperti apa ia menghabiskan waktunya. Meskipun kurasa akan sulit untuk masuk ke dalam.
“Yah… tidak apa-apa, sih. Aku juga sudah lama ingin melihatnya lagi. Omong-omong Ayah, aku dengar ada pusat perbelanjaan yang baru buka di musim gugur.”
“Ah! Betul, betul. Sudah buka. Ayah pernah ke sana sekali dengan Ibu, dan ramai sekali. Bagaimana kalau kau pergi bermain ke sana dengan Nagi-chan?”
“Benar juga… kalau begitu, mau coba ke sana?”
Mata kami bertemu dengan Souta-kun, dan aku mengangguk-angguk.
Sepertinya akan ada banyak, banyak sekali hal yang menyenangkan.
Mumpung ada kesempatan—aku ingin mengenal Souta-kun lebih banyak lagi.
Dan, menjadi lebih akrab dengannya.
Aku menggenggam tangan Souta-kun dan menatapnya. Saat melakukannya, pipiku mengendur dengan sendirinya. Souta-kun juga balas menatapku dan tersenyum lembut, membuat hatiku dipenuhi rasa bahagia.
◆◆◆
Setelah mobil berjalan beberapa saat, mobil itu berhenti di tempat parkir sebuah rumah.
Aku turun dari mobil sambil membawa koper dan menatap rumah itu dengan saksama.
“Ini rumah Souta-kun, ya.”
Itu adalah sebuah rumah dua lantai yang indah.
“Dibandingkan rumah Nagi, ini jauh lebih kecil,” kata Souta-kun.
“Aku suka karena terasa hangat.”
Rumahku mungkin sedikit terlalu besar. Sampai-sampai tidak akan berfungsi tanpa bantuan asisten rumah tangga. Kudengar ayahku membelinya untuk menunjukkan wibawa karena urusan pekerjaan. Terkadang ada tamu yang berkunjung ke rumah, jadi rumah yang megah katanya diperlukan untuk saat-saat seperti itu.
Aku berhenti berpikir dan sekali lagi melihat rumah keluarga Souta-kun.
Rumah tempat Souta-kun dibesarkan. Mustahil aku tidak menyukainya. Bahkan tanpa mempertimbangkan hal itu, aku benar-benar berpikir ini adalah rumah yang bagus.
Di sebelah pintu masuk, ada beberapa pot tanaman kecil, dan bunga pansy sedang mekar. Seingatku, bunga itu memang kuat terhadap dingin.
“Itu hobi Ibu. Merawat bunga.”
“Benar sekali. Aku menanamnya di belakang, lalu menghias pintu masuk seperti ini dengan bunga-bunga musiman. Cukup menyenangkan, lho.”
“Aku rasa itu hobi yang sangat indah. Aku juga sedikit mendalami ikebana (seni merangkai bunga Jepang), jadi aku sangat suka bunga.”
“Wah! Bagus sekali! Kapan-kapan ajari aku kombinasi bunga yang cocok, ya!”
“Tentu saja.”
Bunga adalah sesuatu yang sangat menawan. Membuatku ingin terus memandanginya. Aku membuat janji seperti itu dengan Ibu Mertua… dan sambil berpikir ingin melihatnya berdua dengan Souta-kun nanti, Ibu Mertua membuka pintu.
“Kalau begitu, sekali lagi—“
Mereka berdua masuk ke dalam rumah, lalu berbalik menghadap kami.
“Selamat datang kembali, Souta. Selamat datang, Nagi-chan.”
“Selamat pulang, dan selamat datang. Kalian berdua, santailah sepuasnya.”
Mereka berdua mengatakannya serempak. Souta-kun tersenyum kecil.
“Aku pulang.”
Sebuah kata yang diucapkan pelan… namun, dengan penuh perasaan. Cahaya hangat terpancar di matanya, dan ekspresinya pun lembut. Ia terlihat sangat bahagia.
“Meskipun hanya untuk waktu yang singkat, mohon bantuannya.”
Aku membungkuk sedikit. Lalu, mereka berdua menunjukkan senyum yang sangat indah… senyum yang merekah.
“Lain kali, Ibu akan bilang ‘selamat datang kembali’ untuk Nagi-chan juga, ya?”
“Kalau kau akan menjadi istri Souta, kau sudah menjadi keluarga. Jangan sungkan, anggap saja seperti di rumah sendiri. …Mungkin sulit, tapi suatu saat nanti, ya.”
Kata-kata itu sekali lagi membuatku bahagia.
“Baik!”
Aku mengangguk dengan mantap.
◆◆◆
Gishiri, gishiri, setiap kali menaiki tangga, terdengar suara kecil. Ibu Mertua berkata, ‘Setelah cuci tangan, bagaimana kalau kalian letakkan barang-barang dulu?’ Saat itu, ada satu hal lagi yang ia tanyakan.
‘Kalian mau tidur di mana? Kamar tamu juga kosong, sih.’
‘Aku akan menginap di kamar Souta-kun.’
Aku langsung menjawab begitu. Aku sudah memutuskannya sejak awal.
“Ah. Asal kau tahu saja, tempat tidur di kamarku kecil, lho? Cuma tempat tidur tunggal.”
“I-itu berarti aku bisa tidur lebih dekat dengan Souta-kun, kan.”
Jika lebih kecil dari tempat tidur biasanya… aku bisa merasakan Souta-kun lebih dekat lagi.
“Kalau begitu. S-sangat aku sambut.”
Mendengar kata-kataku, wajah Souta-kun memerah.
“Begitu, ya.”
Dalam kata-kata yang diucapkan pelan itu, tidak ada sedikit pun niat penolakan. Hal itu membuatku senang lagi.
Kami terus menaiki tangga, dan menuju kamar yang paling dekat. Souta-kun membukanya.
“Ini kamar Souta-kun, ya.”
“Iya. Dibandingkan kamar tidur di apartemenku, ini lebih sempit. Karena banyak barang di sini.”
Seperti yang dikatakan Souta-kun, ruangan ini terasa sedikit lebih kecil dibandingkan kamarnya di sana.
Ada tempat tidur dan meja belajar. Dua lemari pakaian dan satu rak buku. Tapi, bukan berarti sempit.
“Yah, kita juga tidak akan berada di kamar ini dari pagi sampai malam, kan. Belajar juga bisa di kafe atau perpustakaan, dan tugas liburan musim dingin juga bisa dikerjakan di sana. Mohon bersabar sebentar, ya.”
“Tidak, aku yang bilang ingin di sini. Aku tidak punya keluhan apa pun. Selain itu, tinggal di kamar yang sama juga akan menjadi pengalaman yang baik.”
Suatu saat nanti, aku akan tinggal di rumah yang sama dengan Souta-kun. …Aku juga mengerti bahwa hal itu bukan hanya berisi hal-hal yang baik. Pasti akan ada berbagai masalah yang muncul saat tinggal bersama.
Kalau begitu, berbagi kamar berdua sekarang pasti akan menjadi pengalaman yang baik. …Meskipun, aku juga sudah sering tidur di tempat tidur Souta-kun di apartemennya, jadi mungkin tidak banyak berubah.
“Baiklah. Oh ya, lemari yang di sana itu mungkin untukmu, Nagi. Yang biasa kugunakan adalah yang ini.”
“D-disiapkan untukku!?”
“Sepertinya begitu, seingatku aku pernah melihat lemari ini di gudang. …Nanti kita ucapkan terima kasih pada Ayah dan Ibu.”
“Baik!”
Aku menjawab Souta-kun, lalu merapikan barang bawaanku. Meskipun begitu, barangku tidak terlalu banyak. Hanya pakaian ganti, perlengkapan sehari-hari, dan peralatan belajar.
Setelah merapikan semuanya, aku beristirahat sejenak.
“Meja belajar dan rak bukunya juga boleh kau gunakan sesukamu.”
“B-baik. …Apa tidak apa-apa?”
“Hm? Ah. Pakai saja sesukamu.”
Setelah melirik Souta-kun sekilas… aku melihat ke arah rak buku.
“A-apa benar-benar tidak apa-apa?”
“Hm? Tentu saja.”
“…Tidak adakah buku yang tidak ingin kamu perlihatkan? Atau semacamnya?”
“T-tidak ada! Tidak ada, kok!”
Souta-kun menggelengkan kepalanya dengan panik. …Apa benar-benar tidak ada, ya?
Kalau dipikir-pikir, sepertinya di apartemennya juga tidak ada barang-barang seperti itu. …Kupikir mungkin ia pandai menyembunyikannya.
“B-barang-barang seperti itu tidak ada. Lagipula, aku tidak akan meninggalkannya di rumah yang ada orang tuaku.”
“…Begitu, ya. Maaf, aku menanyakan hal yang tidak sopan.”
Itu adalah pertanyaan yang sangat menyangkut privasi, aku tidak seharusnya menanyakannya dengan sembarangan.
“T-tidak. Tidak apa-apa, kok. Aku hanya sedikit kaget. …Tidak menyangka Nagi akan menanyakan hal seperti itu.”
“Aku mendengarnya dari Hayama-san dan Nishizawa-san. Katanya, dari situ kita bisa mengetahui seleranya.”
“Mereka berdua…”
“Selain itu, mereka juga bilang lebih baik memeriksa apakah laci memiliki dasar ganda daripada di bawah tempat tidur, atau memeriksa dengan melepas sampul bukunya.”
“Detailnya aneh sekali. Apa yang mereka ajarkan padamu… Sudah kubilang tidak ada, kan?”
Melihat reaksinya, sepertinya memang benar-benar tidak ada. Nishizawa-san pernah bilang, mungkin ia tipe yang lebih suka versi digital daripada fisik.
Aku tidak bisa menyentuh ponselnya tanpa izin, jadi cukup sampai di sini saja.
Tiba-tiba, saat aku melihat sekeliling ruangan, mataku tertuju pada meja belajar. Ada beberapa bingkai foto di sana.
“Hm… ah. Itu foto upacara masuk dan kelulusan waktu SD dan SMP.”
“Manis sekali. Souta-kun waktu itu juga.”
Saat SD ia masih kecil dan imut. Saat SMP pun masih ada sisa kekanak-kanakannya.
Tapi—
“Souta-kun yang sekarang, tampan dan manis, lho?”
Sulit untuk menjelaskannya dengan kata-kata, tapi….
“Karena aku paling suka dengan Souta-kun yang sekarang.”
Aku tidak ingin menyembunyikan perasaanku bahwa aku menyukainya. Meskipun sedikit memalukan, jika tidak diungkapkan dengan kata-kata, tidak akan tersampaikan. …Dulu aku pernah mencari tahu, katanya perasaan suka yang tidak tersampaikan bisa menjadi salah satu penyebab perceraian pasangan yang sudah lama menikah. Cintanya jadi lebih mudah pudar atau semacamnya.
Karena itu, aku memutuskan untuk mengatakan ‘suka’ pada Souta-kun setidaknya sekali sehari.
…Mohon maafkan jika karena terlalu bersemangat aku jadi mengatakannya berkali-kali. Sekali saja tidak cukup untukku. Selain itu, aku senang karena setiap kali aku mengatakannya, Souta-kun selalu membalas dengan kata ‘aku juga sangat menyukaimu’.
“I-itu satu hal. Tapi aku juga berpikir, andai saja aku bisa bertemu dengan Souta-kun saat ia masih lebih kecil.”
Aku menyampaikan hal itu pada Souta-kun sambil mencoba mendinginkan pipiku yang memanas.
“…Iya, juga.”
Souta-kun tersenyum kecil dan menatap foto itu sambil duduk di tempat tidur.
Tiba-tiba, aku ingin bertanya padanya.
“Souta-kun, boleh aku bertanya?”
“Ada apa?”
Mumpung sudah datang ke kampung halaman Souta-kun, aku ingin tahu lebih banyak tentangnya. Sebenarnya kami harus membicarakan rencana hari ini setelah merapikan barang, jadi aku tidak bisa bertanya terlalu dalam sekarang.
“Dulu, saat hari libur, apa yang biasanya kamu lakukan?”
“…Hmm. Waktu kecil, aku sering pergi bermain dengan Ayah ke taman dekat sini. Waktu masuk SMP, aku sering pergi nonton film atau memancing bersama keluarga.”
Mendengar hari libur yang sangat khas Souta-kun dalam artian yang baik, senyumku merekah.
“Souta-kun sangat menyayangi Ayah dan Ibu Mertua, ya.”
“…Iya. Aku tidak akan menyangkalnya. Hanya saja, cinta yang mereka berikan kembali terlalu kuat, itu yang jadi masalah.”
“Fufu.”
Mengingat interaksi mereka tadi, tanpa sadar aku tertawa.
“Yah, memang benar mereka memikirkanku. Aku masuk ke SMA itu juga karena sifat Ayah yang cenderung terlalu ikut campur, tapi dalam artian tertentu, itu juga karena ia memikirkanku.”
“…Boleh aku mendengar cerita itu lebih detail?”
Aku memiringkan kepala mendengar kata-kata yang baru pertama kali kudengar. Pada saat yang sama, aku teringat bahwa aku belum pernah bertanya lebih dalam mengapa ia masuk ke SMA itu.
“Ah. Apa aku belum menceritakannya, ya. Kalau sekolahnya dekat, mereka bisa dengan mudah datang berkunjung, kan. Selain itu, aku juga ingin mengubah lingkunganku. Kupikir kalau tempatnya berubah, mungkin aku bisa dapat teman. …Sebenarnya ada hal lain juga yang Ayah dan Ibu lakukan untukku, dan ternyata itu adalah keputusan yang tepat.”
Pasti yang ia maksud adalah Makisaka-kun. “Tentu saja,” aku mengangguk setuju.
“Sebenarnya di sekitar sana juga ada kenalan Ayah. Seorang mantan polisi, dan Ayah bilang kalau ada apa-apa aku bisa mengandalkannya. Meskipun jaraknya tidak sampai beberapa menit jalan kaki, dan aku tidak terlalu sering bertemu dengannya. Paling hanya sesekali ia menghubungiku untuk menanyakan kabarku.”
“Jadi begitu rupanya.”
Misteri itu terpecahkan dan aku merasa lega.
“Karena aku akan tinggal sendiri, Ibu mengajariku banyak pekerjaan rumah tangga. …Tapi sepertinya aku tidak jago memasak.”
Sekarang aku mengerti kenapa kamar apartemennya selalu rapi.
Saat aku mengangguk-angguk, Souta-kun tertawa. Telinganya sedikit memerah.
“Memang banyak hal yang sulit, tapi banyak juga hal baik yang terjadi. Bertemu Eiji salah satunya… dan bertemu Nagi juga termasuk.”
Souta-kun menggaruk pipinya dengan sedikit malu. Tapi, matanya menatap lurus ke arahku.
Pipiku mulai terasa panas. Bersamaan dengan itu, perasaan bahagia meluap-luap….
“Ehehe.”
Pipiku jadi rileks tak terkendali. Merasa akan menunjukkan wajah yang konyol, aku menutupinya dengan tangan.
“Aku juga, senang bisa bertemu dengan Souta-kun.”
Aku lalu duduk di tempat tidur dan bersandar pada Souta-kun.
Tercium aroma Souta-kun. Aroma yang sangat kusukai.
“…Souta-kun. Boleh, kah.”
Saat aku merasa sangat, sangat menyukainya sampai kata “suka” saja tidak bisa menggambarkannya. Saat itu, karena kata-kata saja tidak cukup, aku mengungkapkannya dengan tubuhku.
“…Boleh.”
Begitu Souta-kun mengizinkannya, aku langsung memeluknya.
Aku juga suka memeluk Souta-kun erat-erat. Karena aku bisa merasakan seluruh dirinya dengan tubuhku.
Secara alami, Souta-kun juga balas memelukku. …Aku benar-benar sangat mencintainya.
“Aku sangat mencintaimu. Souta-kun.”
“…Aku juga sangat suka padamu.”
Souta-kun bahkan menanggapi kata-kata yang tanpa sadar keluar dari mulutku.
Aku pun menyatukan bibirku dengan Souta-kun. Seperti saat memakan buah atau manisan, rasa manis yang memabukkan menyerang tubuhku. Perasaan senang dan perasaan cinta bercampur aduk, dan tubuhku mulai terasa hangat.
Ah, ini. Tidak bisa berhenti. …Aku jadi tidak ingin berhenti.
“Aku mencintaimu. Aku sangat mencintaimu. Souta-kun. Aku benar-benar senang bisa bertemu denganmu.”
Ciuman yang hanya sekadar sentuhan. Sesuatu yang sederhana seperti ciuman orang tua pada anaknya. Hanya dengan itu saja hatiku sudah dipenuhi dengan kebahagiaan.
Sampai-sampai aku merasa cemas, jika kami melakukan lebih dari ini… apa aku tidak akan hancur karena kebahagiaan.
Tapi, kebahagiaan ini tidak bisa dihentikan.
Secara alami, aku menyatukan telapak tanganku dengan telapak tangan Souta-kun. Karena tangannya sedang bergerak dari punggung ke bahuku, mudah saja untuk menggenggamnya.
Genggaman tangan Souta-kun mengerat. Aku melepaskan bibirku hanya untuk sesaat mengambil napas, lalu mengeratkan genggaman tanganku dan kembali menyatukan bibir kami.
Mata Souta-kun tampak lembut, namun aku merasa seolah ia sedang mencoba menyampaikan sesuatu.
Sebentar lagi—hanya sebentar lagi saja.
Saat aku sedang berpikir seperti itu. Ceklek, pintu terbuka.
Karena kejadian yang tiba-tiba itu, tubuhku membeku.
“Kalian haus, kan? Ibu bawakan minum… an… loh.”
Dengan takut-takut aku menoleh ke belakang. …Ibu Mertua sedang berdiri di sana.
“Ara, ara. Maaf, ya. Jadi ini alasannya kalian tidak menjawab waktu Ibu ketuk pintunya, ya.”
“Ibu mengetuk pintu.” Kata-kata itu masuk dari telinga ke otakku dan menggema di dalam kepalaku.
…Baru sekarang aku sadar, Souta-kun menggenggam tanganku atau mencoba mengatakan sesuatu karena itu.
“Ibu taruh minumannya di sini, ya. …Silakan dilanjutkan, ya?”
Dengan cepat Ibu Mertua meletakkan minuman di atas meja dan pergi.
Setelah memastikan ia pergi—darah seakan surut dari wajahku.
“M-m-m-maafkan aku, Souta-kun.”
“…Yah. Entah kenapa, aku sudah menduga hal seperti ini akan terjadi. Jadi tidak apa-apa.”
Aku telah melakukan hal yang sangat ceroboh. Souta-kun dengan lembut mengelus kepalaku yang sedang merasa bersalah itu.
Setelah itu aku pun merenung, dan memutuskan untuk berciuman hanya sebelum tidur atau saat kami berdua saja di rumah.
◆◇◆
“M-maafkan aku. Sungguh. Maafkan aku.”
“Jangan dipikirkan… yah, aku tidak bisa bilang begitu, sih. Tapi, kalau Ibu, tidak apa-apa, kok.”
Nagi terlihat sangat murung dan terus-menerus meminta maaf sejak tadi. …Mungkin karena ia sendiri bukan tipe orang yang sering membuat kesalahan seperti ini.
“T-tapi. …Tapi.”
Memang, tidak bisa dikatakan Nagi tidak bersalah. Suara langkah kaki dan ketukan pintu tadi terdengar dengan jelas.
Namun….
“Aku juga tidak menghentikannya, kan.”
Aku kesampingkan dulu alasan bahwa aku takut menyakitinya jika aku menyentuhnya sembarangan.
Sederhananya, karena Nagi sangat manis… karena aku ingin melihat sosoknya itu lebih lama lagi. Aku senang karena ia menginginkanku, dan aku ingin melihat sosoknya yang lebih menggemaskan lagi. Aku tidak bisa menghentikannya.
“U-uuh…”
Namun, Nagi hanya bisa membuat wajahnya memerah. Apa aku harus mengganti topik pembicaraan?
Saat aku berpikir apa ada topik lain, aku teringat sesuatu. Sesuatu yang kami bicarakan dalam perjalanan ke sini.
“Ngomong-ngomong, Nagi.”
“B-baik. Ada apa?”
Saat aku memanggil namanya, Nagi langsung duduk bersimpuh dengan tegak di atas tempat tidur.
Aku tersenyum kecut melihatnya, lalu mengulurkan tangan dan meletakkannya di atas kepala Nagi.
“…Aku jatuh cinta pada pandangan pertama padamu.”
Mata Nagi sesaat terbelalak—lalu, blush, kulitnya yang seputih salju berubah menjadi merah padam.
“E-eh…? A-apa maksudmu?”
“Aku pertama kali menyadarimu pada hari upacara penerimaan siswa baru. …Mungkin ini terdengar menjijikkan, tapi sejak hari berikutnya, aku jadi selalu mencarimu dengan mataku.”
Nagi tampak bingung dengan wajah yang sangat merah.
Melihat ada ekspresi lain selain kebingungan dan rasa malu di wajahnya, aku merasa lega… dan melanjutkan ceritaku.
“Kesan pertamaku adalah… kau orang yang sangat cantik. Lebih cantik… dari siapa pun yang pernah kulihat.”
“U-ah… i-itu. Terima kasih.”
Nagi yang wajahnya memerah padam juga sangat menggemaskan. Kukira ia sudah terbiasa dibilang cantik atau manis… tapi ternyata tidak, ya. Di sekolah pun ia sepertinya dianggap sebagai bunga yang sulit digapai.
“Ehehe.”
Nagi meletakkan tangan di pipinya sendiri dan mulai tersenyum. Sepertinya kejadian tadi sudah hilang dari kepalanya, dan aku bersyukur untuk itu.
“Awalnya, aku tidak begitu mengerti perasaan suka pada seseorang… tapi kurasa itulah yang namanya jatuh cinta pada pandangan pertama. Tentu saja setelah itu aku melihat sisi baikmu… seperti saat kau menegur siswa lain agar memberikan tempat duduk untuk seorang nenek, atau saat kau tersenyum pada bayi. Perlahan-lahan aku mengenal kepribadianmu, dan aku jadi tertarik.”
Eiji sudah mengatakannya berkali-kali padaku. Dan itu memang benar.
“A-aku juga… sadar dengan keberadaan Souta-kun, lho?”
“…Hah? Benarkah?”
“I-iya.”
Tidak kusangka Nagi menyadari keberadaanku… oh, begitu ya.
“Kalau dipikir-pikir, siswa SMA selain kita memang jadi sangat sedikit di jalur kereta itu, ya.”
“Iya, ya… Meskipun aku memperlakukan mereka dengan sedikit kasar, tapi niat terselubung orang-orang itu terlalu kentara.”
Kata-katanya itu membuatku teringat pada sesuatu yang selama ini membuatku bertanya-tanya.
“Ngomong-ngomong, kau memang menjauhi semua orang yang mencoba mendekatimu ya, baik laki-laki maupun perempuan.”
“Iya. Dulu waktu SMP ada kejadian. Aku jadi sensitif terhadap niat buruk orang, atau lebih tepatnya niat terselubung yang terlalu jelas. Selain itu, ada juga tatapan yang tidak menyenangkan. Orang-orang seperti itu sudah pasti tidak masuk hitungan.”
Pipiku menegang mendengar kata-kata terakhirnya.
Namun Nagi dengan panik melambaikan tangannya, dan menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Karena tanganku masih berada di kepalanya, rambutnya yang bergerak terasa geli.
“T-tidak. Souta-kun itu berbeda! Maksudku, aku tidak masalah jika hanya wajahku yang dilihat… tapi kebanyakan orang tatapannya turun ke bawah.”
“Ah… begitu rupanya.”
Nagi memang punya postur tubuh yang bagus. Meskipun kebangsaan dan tempat dibesarkannya berbeda, orang tua kandung Nagi… sepertinya bukan dari Jepang, mungkin dari suatu tempat di Barat.
Tentu saja, postur tubuh yang bagus juga merupakan salah satu pesona Nagi. Tapi, itu hanyalah salah satunya.
“Karena itu juga. Aku sebenarnya sudah lama ingin mencoba berbicara dengan Souta-kun. …Meskipun aku tidak punya keberanian sampai saat itu.”
“B-begitu, ya.”
Wajahku mulai terasa panas. Mungkin pemanas yang baru kunyalakan tadi terlalu kuat.
Sambil memikirkan hal itu, aku berulang kali mengelus kepala Nagi untuk mengalihkan perhatian. Saat sedang melakukannya, ia meraih tanganku.
“…D-dan juga.”
Nagi menggenggam tanganku dengan erat. …Seolah menyilangkan jari-jari kami.
Mata biru Nagi menatapku lekat-lekat—
“K-kalau oleh Souta-kun… aku tidak keberatan dilihat sebanyak apa pun. …B-boleh, kok. Bagian selain wajah juga. Kalau Souta-kun ingin melihatnya.”
Glek. Suara aneh nyaris keluar dari tenggorokanku.
“B-bahkan… k-kalau mau menyentuhnya juga.”
“N-Nagi. …Lebih dari itu, nanti berbahaya.”
Aku ditarik oleh tangannya. Saat aku nyaris ditekan ke bagian tubuh Nagi… di mana detak jantungnya bisa dirasakan paling kuat, tanpa sadar aku menyela.
Benang kesabaranku menjerit tegang. Sedikit saja lagi, ia pasti akan putus.
“…I-iya juga, ya. Kejadian tadi juga baru saja terjadi.”
“I-iya… benar.”
Ibu mungkin tidak akan datang lagi… tapi membayangkan jika Ayah yang datang, itu mengerikan. Ia bisa-bisa menyajikan nasi merah untuk makan malam, atau bahkan membelikan jimat keharmonisan rumah tangga.
“Ehm… S-Souta-kun. Ada satu hal lagi yang ingin aku tanyakan.”
“Apa itu?”
Sebelum aku teringat lagi kejadian tadi, Nagi mengubah topik pembicaraan.
“Souta-kun… kenapa kamu menolongku? Maksudku, baik saat menolongku maupun setelahnya, aku tidak merasakan adanya niat terselubung.”
“Kenapa, ya.”
Aku ragu sejenak untuk menjawab. Takut ia akan kecewa.
Namun, aku berpikir kembali bahwa lebih baik aku menceritakan hal seperti ini. Aku menggenggam tangan Nagi dan menatap mata birunya.
“Sebagai ucapan terima kasih.”
“…Hah? Ucapan terima kasih?”
“Iya. Karena aku mendapatkan semangat setiap hari darimu… ini ucapan terima kasih untuk itu. Dengan kata lain—jika aku benar-benar tidak ada hubungan apa-apa denganmu, kurasa aku tidak akan menolong.”
Bahkan saat itu pun aku ragu untuk menolong. Jika tidak ada dorongan itu, aku—
“Fufu.”
Wajahku yang nyaris tertunduk kembali terangkat saat mendengar tawa kecilnya.
“Jadi karena itu, ya. Aku lega.”
Nagi tersenyum lembut… dan merebahkan dirinya padaku.
Nagi ada dalam pelukanku. Kehangatan tubuhnya menjalar ke seluruh tubuhku… ia menatapku dari bawah. Tanpa melepaskan tangannya, Nagi membuka mulutnya perlahan.
“Aku tidak begitu percaya dengan yang namanya ‘kebaikan tanpa pamrih’. Tidak, tepatnya sedikit berbeda. Seperti yang aku katakan tadi, banyak orang yang mendekatiku dengan niat terselubung… tapi banyak dari mereka yang memakai topeng kebaikan. Karena itu, aku selalu penasaran bagaimana dengan Souta-kun. Meskipun aku benar-benar kehilangan kesempatan untuk bertanya.”
Nagi berkata begitu, lalu memelukku erat-erat.
“Aku mengerti sekarang. …Dan juga, aku sangat senang.”
Nagi tertawa kecil.
“Kurasa tidak banyak gadis yang tidak senang jika penampilannya dipuji oleh orang yang disukainya. …Apalagi, aku tahu kalau Souta-kun mengatakannya dari hati.”
Bagiku, Nagi adalah bunga di puncak gunung… sosok yang tidak akan pernah bisa kugapai. Tapi, itu hanyalah dalam imajinasiku. Nagi yang sebenarnya adalah gadis yang canggung dalam berinteraksi dengan orang lain, namun manja… dan sangat menyayangi keluarganya.
Memang benar aku menyukai penampilan Nagi. Tapi, semakin aku mengenalnya… mengenal kepribadiannya, aku jadi semakin menyukainya.
Mata birunya dan tatapanku bertemu… lalu Nagi tersenyum cerah.
“Tapi, itu satu hal. Kurasa Souta-kun yang sekarang, bahkan jika ada orang lain selain aku yang mengalami hal serupa dan dalam kesulitan, kamu pasti akan menolongnya.”
“…Kenapa begitu?”
“Karena Souta-kun adalah orang yang sangat keras pada dirinya sendiri.”
Tangannya yang satu lagi dengan lembut diletakkan di dadaku.
“Kamu berpikir ingin menjadi orang yang pantas untukku, kan. Meskipun aneh jika aku yang mengatakannya.”
Tangan Nagi perlahan turun dari dadaku… dan menyentuh perutku. Terasa sedikit geli.
“…Tubuhmu, jadi lebih kekar dari sebelumnya.”
“K-kau sadar?”
—Sejak aku mulai dekat dengan Nagi, aku mulai sedikit melatih tubuhku. Agar aku bisa menjadi orang yang tidak malu berdiri di sampingnya.
“Fufu. Aku juga sangat suka pada Souta-kun dan sering memperhatikanmu. Dulu kamu lebih kurus, kan.”
“I-iya juga, ya…”
Aku tanpa sadar memalingkan muka dari kata-katanya yang begitu lurus. Tapi, hanya dengan memalingkan muka, aku tidak bisa menghindari serangan lanjutan dari Nagi.
“Aku sadar, kok, semua perubahan Souta-kun. …Aku bahkan tahu kalau detak jantungmu jadi lebih cepat seperti ini.”
Dag, dug, dag, dug, jantungku berdetak kencang. Memikirkan bahwa ia mendengarnya, aku merasakan pipiku semakin memanas.
…Aku tidak bisa menyembunyikan apa pun dari Nagi. Meskipun aku juga tidak berniat melakukannya.
“Karena itu, aku tahu. Souta-kun yang sekarang pasti tidak akan mengabaikan seseorang yang membutuhkan pertolongan. Tidak, kamu tidak akan bisa melakukannya. Meskipun aku tidak ingin kamu terlibat dalam hal berbahaya. …Yah, kurasa Souta-kun yang dulu pun akan tetap menolong, sih.”
“…Kenapa kamu berpikir begitu?”
“Karena aku sudah mengenal Souta-kun.”
Cup, ia menyentuh perutku dengan jarinya. Saat aku mengembalikan pandanganku, mata birunya menatapku dengan gembira.
“Souta-kun itu anak yang baik dan punya rasa tanggung jawab yang kuat. Jika ada gadis yang mengalami hal tidak menyenangkan di depan matanya, kamu bukan orang yang akan membiarkannya. Bahkan jika Souta-kun tidak bisa percaya pada dirimu sendiri, aku percaya padamu.”
Mendengar kata-kata Nagi… aku tidak bisa berkata-kata. Aku rasa aku bukanlah manusia yang tidak punya perasaan sampai harus menyangkalnya. Tapi, untuk mengatakan bahwa aku adalah pria yang pemberani… tidak.
“…Iya, juga.”
Jika Nagi memercayaiku, maka aku juga akan memercayai diriku. Apa pun yang terjadi, mulai sekarang jika ada seseorang yang mengalami hal tidak menyenangkan di depanku, aku pasti akan menolongnya.
“Iya! Karena itu, kamu tidak perlu khawatir.”
Melihat Nagi yang tersenyum cerah… pipiku semakin mengendur.
Sungguh—
“Aku senang bisa bertemu Nagi. Aku merasakannya dari lubuk hatiku.”
Berkat bertemu Nagi, aku bisa banyak berubah. Tentu saja secara mental, juga kemampuan akademisku. Dan yang terpenting.
“Setiap hariku jadi menyenangkan.”
“Aku juga.”
Nagi perlahan melonggarkan pelukannya, mendongak, dan mendekatkan wajahnya padaku.
Wajahnya sangat cantik. Matanya biru, kulitnya putih bersih dan halus. Setiap kali rambutnya yang selembut sutra itu bergerak, tanpa sadar aku jadi ingin menyentuhnya.
Terlihat begitu fantastis, jika berada di dalam hutan mungkin ia akan disangka sebagai peri. Tapi, bukan hanya itu. Ia juga sangat ekspresif dan menggemaskan.
“Bisa bertemu dengan Souta-kun adalah hal terbaik yang terjadi sejak aku lahir di dunia ini. Aku bisa mengatakannya dengan pasti.”
Bibir kami bersentuhan lembut. Perasaan bahagia yang berbeda dari sebelumnya membuat otakku kesemutan.
“Aku sangat suka padamu, Souta-kun.”
“…Aku juga sangat suka padamu.”
Kali ini, giliranku yang menciumnya… dan kami menghabiskan waktu yang tenang berdua.
Saling menceritakan hal-hal yang belum pernah kami ceritakan sebelumnya. Aku merasa kami jadi satu langkah lebih akrab lagi.
∆∆∆
“Aku mau ke minimarket sebentar.”
“Apa aku temani saja?”
Entah kenapa aku ingin minum minuman bersoda, tapi sepertinya tidak ada di rumah. Aku bermaksud pergi ke minimarket, tapi Nagi bertanya seperti itu.
“Hmm… bagaimana, ya. Aku tadinya mau pergi sambil jalan-jalan sebentar. Lagipula sudah sore untuk pergi ke tempat lain.”
“Iya juga, ya. …Kalau begitu, apa aku bicara sebentar dengan Ibu dan Ayah Mertua saja, ya. Aku juga ingin mendengar cerita tentang Souta-kun dari sudut pandang Ibu Mertua.”
Pipiku sedikit menegang mendengar kata-kata Nagi. Tapi… akan bagus jika Nagi dan orang tuaku bisa akrab. Lagipula, cepat atau lambat mereka pasti akan menceritakannya. Tidak ada gunanya menahannya di sini.
“…Iya juga, ya. Mungkin ada hal-hal yang tidak kuingat.”
“Baik! Aku akan coba dengarkan berbagai cerita, ya!”
Aku mengangguk pada Nagi dan mengambil tasku. Aku belum berganti pakaian rumah, jadi aku bisa langsung keluar.
Aku menuruni tangga dan pamit pada orang tuaku. Setelah mengusir Ayah yang mencoba mengikutiku dan berjalan ke pintu depan, Nagi mengikutiku dari belakang dengan langkah kecil.
“Hati-hati di jalan.”
“Iya, aku berangkat.”
Setelah memakai sepatu dan berkata begitu pada Nagi… cup, cup, ia menarik ujung lengan bajuku dengan jarinya. Saat aku mendekat bertanya-tanya ada apa—aroma manis yang lembut tercium, dan sesuatu yang manis dan lembut menyentuh bibirku.
“Ehehe. Ini ciuman ‘hati-hati di jalan’.”
Dengan pipi yang memerah, Nagi tersenyum malu-malu… tanpa sadar aku nyaris memeluknya, tapi aku menahan diri saat melihat dua pasang mata mengintip dari dalam.
Saat aku melotot ke arah sana, mereka berdua dengan cepat kembali ke ruang tamu.
“Hati-hati di jalan, ya.”
“Iya. Nagi juga, jangan terlalu memaksakan diri, ya.”
“Baik!”
Jika hanya melihat bagian ini saja, kami benar-benar terlihat seperti suami istri.
Sambil memikirkan hal itu, aku pun keluar dari rumah.
Meskipun di luar dingin, hatiku terasa hangat dan nyaman.
“…Tidak ada yang berubah, ya.”
Yah, wajar saja, kan, karena belum ada setengah tahun sejak liburan musim panas.
Minimarketnya tidak dekat. Bukan berarti jauh juga, tapi jika Nagi akan mendengar cerita dari orang tuaku, mungkin tidak apa-apa jika aku pulang sedikit lebih lama. Sambil melihat-lihat keadaan taman, apa aku jalan-jalan sekalian ke minimarket yang sedikit lebih jauh, ya.
…Mungkin mulai besok aku akan pergi bersama Nagi, tapi aku ingin melihatnya sedikit sendirian juga.
Aku pun mulai berjalan perlahan.
Tidak bisa disebut desa, tidak bisa juga disebut kota. Lebih condong ke desa, tapi pemandangan kotanya sedikit tanggung untuk itu.
Aku menyukai kota ini. Mungkin wajar saja karena ini adalah kampung halamanku.
Angin yang dingin pun tidak terasa begitu dingin jika ada syal dan sarung tangan pemberian Nagi. Jalanan sepi, tapi bukan berarti tidak ada orang sama sekali.
Pohon-pohon di pinggir jalan semuanya terasa familier. Meskipun aku sudah melihatnya setengah tahun yang lalu, jika musim berganti, penampilannya juga berubah.
Pohon-pohon yang tadinya hijau rimbun kini telah merontokkan semua daunnya, hanya menyisakan ranting-ranting. Nyanyian jangkrik yang dulu terdengar juga sudah tidak ada, sekarang yang terdengar hanyalah suara angin yang berhembus dan suara orang yang sesekali terdengar.
Apa yang disebut perasaan nostalgia itu seperti ini, ya.
Sambil memikirkan hal itu, aku segera tiba di minimarket. …Jaraknya sekitar lima belas menit jalan kaki, jadi tidak bisa dibilang jauh juga.
Di sana aku membeli minuman bersoda dan… karena tiba-tiba merasa rindu, aku juga membeli kopi. Karena aku selalu membeli kopi di sini.
Setelah membeli semua itu, aku berjalan sedikit lebih jauh dan datang ke taman. Karena sudah akhir tahun dan udaranya sangat dingin, tidak ada anak-anak yang bermain.
“Tidak. Apa ini penyebabnya?”
Ada sebuah papan tanda yang dipasang di dekat pintu masuk taman. Aku jarang datang ke sini… atau lebih tepatnya, meskipun datang, aku tidak pernah memperhatikannya, jadi aku tidak sadar.
【Dilarang Bermain Bola & Berteriak! Mengganggu Warga Sekitar!】
“…Karena ada hal seperti ini, anak-anak jadi tidak bermain di luar, ya.”
Mungkin karena waktu kecil aku sering bermain lempar tangkap dengan Ayah, aku merasa sedikit sedih.
Aku masuk ke dalam taman dan duduk di bangku.
“Hari ini dingin, ya.”
Meskipun aku memakai syal dan sarung tangan, suhunya memang rendah. Lagipula sudah waktunya matahari terbenam.
Aku membuka kopi yang kubeli tadi dan meminumnya seteguk. Rasa pahit dan asam yang menyebar di mulut terasa begitu familier.
Dulu, sosok Ayah yang minum kopi di bangku ini terlihat sedikit keren, dan aku menirunya saat kelas enam SD. Aku membelinya di minimarket itu.
Awalnya aku menyerah karena terlalu pahit. Ayah tertawa dan meminum sisanya.
Tapi karena aku sangat ingin bisa meminumnya, aku mulai dari minum cafe au lait.
Pertama, aku membuat cafe au lait dengan banyak susu dan gula di rumah. Lalu perlahan-lahan aku mengurangi jumlah susu dan gulanya… dan saat akan naik ke kelas tiga SMP, aku sudah bisa minum kopi hitam.
Meskipun aku hanya meminumnya beberapa kali sebulan karena tidak baik untuk tubuh jika terlalu banyak.
“…Aku ingin datang ke sini bersama Nagi.”
Tiba-tiba, aku menggumamkan hal itu dan tersenyum kecut.
…Aku juga jadi tidak tahan jika tidak ada Nagi, ya. Padahal tadinya aku berpikir ingin datang sendirian.
“Karena hampir sepanjang waktu aku habiskan bersama Nagi.”
Selain waktu di sekolah, belakangan ini jika Nagi datang ke rumah, kemungkinan besar ia akan menginap. Jika begitu, pada dasarnya kami akan selalu berada di kamar yang sama.
Saat kami bersama, jarak Nagi sangat dekat. Jika aku duduk di sofa, ia akan datang ke sebelahku, dan jika aku duduk di karpet dengan punggung bersandar pada sofa, ia akan duduk dengan manis di sebelahku.
Lalu ia akan bersandar di bahuku—
“…Mengingat ini sendirian rasanya agak menjijikkan, ya. Pikirkan hal lain saja.”
Aku mengubah pikiranku dan meminum kopi yang masih hangat. Langit tampak mendung.
Saat aku sedang melamun memandangi sekitar—aku melihat sekelompok anak laki-laki yang sepertinya siswa SMA sedang berjalan.
…Firasatku tidak enak.
Aku melihat wajah yang sepertinya kukenal tapi juga tidak, dan aku menundukkan wajahku agar tidak mudah terlihat dari arah mereka.
Jika hanya perasaanku saja, itu bagus. Jika bukan—kuharap mereka tidak menyadariku.
“…Loh? Itu Minori, kan?”
Mendengar suara itu, aku pun menghela napas.
◆◇◆
“—begitulah ceritanya. Souta jadi bisa minum kopi hitam.”
“Khas Souta-kun sekali, ya. Souta-kun yang meniru ayahnya… sedikit menggemaskan.”
Aku sedang mendengarkan cerita tentang Souta-kun dari Ayah dan Ibu Mertua di ruang tamu. Saat ini adalah cerita sampai Souta-kun bisa minum kopi hitam.
“Dia benar-benar sangat menyayangi ayahnya, ya. Meskipun saat masuk SMP dia jadi tidak suka ditempel-tempel lagi… karena itu juga, tadi tidak baik kalau Ayah terlalu mencoba menempel padanya.”
“Mengenai hal itu, saya benar-benar menyesal.”
Mendengar kata-kata Ibu Mertua, Ayah Mertua duduk bersimpuh dan menundukkan kepalanya. …Meskipun nadanya ringan, ekspresinya serius, jadi kurasa ia benar-benar tulus.
“Souta-kun masuk ke SMA itu juga karena alasan itu, kan.”
“Iya, benar. Salah satu alasannya. …Meskipun kami ragu sampai akhir. Tinggal sendiri sejak SMA itu kan cukup dini, ya?”
“…Iya, juga.”
Tinggal sendiri saat SMA itu sulit. Uangnya mungkin dikirim oleh orang tuanya, tapi jika tidak bisa menahan diri dan membuat rencana, kurasa akan cepat habis. Selain itu, urusan kehidupan sehari-hari pasti sangat sulit. Jika Souta-kun tidak pandai bersih-bersih dan tidak bisa melakukan pekerjaan rumah sama sekali, kurasa kamarnya akan jadi berantakan sekali. …Bahkan Souta-kun yang seperti itu pun sepertinya tidak bisa menangani urusan memasak.
“Anak itu memang sudah bisa diandalkan sejak dulu. Terlihat dewasa, atau mungkin usia mentalnya lebih tinggi… karena itu juga, mungkin ia jadi tidak punya teman.”
“…!”
“Ah, tidak seharusnya aku berspekulasi saat anaknya tidak ada, ya. Nanti… kalau anak itu sudah bilang boleh, coba tanyakan padanya. Mungkin, itu adalah hal yang bahkan kami pun tidak tahu.”
“Serahkan padaku.”
Sesuatu yang bahkan orang tuanya pun tidak tahu. …Aku harus mendengarkannya dengan saksama.
“Kita kembali ke topik, ya. Alasan Souta tinggal sendiri.”
Aku mengubah pikiranku sejenak dan mengangguk. Aku juga penasaran dengan cerita ini.
“Jika anak itu tidak bisa diandalkan… anak yang bahkan tidak bisa merapikan barang-barangnya, aku juga tidak akan memberikan izin.”
“Tapi, ia bisa melakukannya.”
“Begitulah. Kami akan mengawasinya, dan jika ia terlihat sedikit saja memaksakan diri, kami akan membicarakan untuk kembali lagi, begitu rencananya. …Bukannya Ibu juga tidak mencari-cari alasan untuk melarangnya, sih.”
“Tapi, bukannya memaksakan diri, ia malah bisa mendapatkan teman.”
“Benar. Setidaknya ia terlihat lebih bahagia daripada saat masih di sini.”
Aku mengerti dengan kata-kata Ibu Mertua. Bukannya kehidupannya di sini tidak baik… rumah ini, seharusnya terasa nyaman. Tapi, kehidupan di sana juga sama baiknya.
Dan, karena itu akan menjadi bagian dari pertumbuhannya, orang tuanya pun tidak melarangnya.
“Pada akhirnya, aku berpikir ini adalah yang terbaik. Sifat Ayah yang terlalu protektif juga jadi sedikit lebih tenang.”
“Aku malu sekali…”
…Begitu rupanya. Ayah Mertua terlihat sangat ingin akrab dengan Souta-kun, tapi mungkin itu sudah versi yang ditahan-tahan.
“Meskipun aku sudah tahu… Souta-kun juga menanggung banyak hal, ya.”
Setelah sedikit mengenal Souta-kun, aku kembali berpikir begitu.
Aku sendiri juga mengalami banyak hal dalam hidupku. Aku adalah anak angkat dan bahkan tidak tahu wajah orang tua yang melahirkanku. Orang tuaku yang sekarang, yang mengadopsiku, adalah orang terkenal di industri yang berkaitan dengan kimono dan seni serta budaya tradisional Jepang lainnya. Aku sendiri juga mulai belajar tari tradisional Jepang dan lainnya untuk mewujudkan mimpi Papa.
Tapi, itu sama saja. Souta-kun juga punya kehidupannya sendiri. Cerita yang baru kudengar ini pun hanyalah sebagian dari hidupnya.
Saat aku sedang berpikir begitu, Ibu Mertua tertawa kecil.
“Aku benar-benar senang Nagi-chan yang menjadi kekasih sekaligus tunangan Souta.”
“A-ada apa tiba-tiba?”
“Aku senang karena kamu begitu memikirkan Souta. Pasti, jika Nagi-chan, kamu akan bisa sangat bahagia bersama Souta.”
Ibu Mertua mengulurkan tangannya—dan meletakkannya di atas kepalaku. Cara mengelusnya mirip dengan Souta-kun… bukan. Souta-kun yang meniru cara mengelus ini.
“Tolong jaga anak itu, ya. Dia serius, baik hati, dan punya rasa tanggung jawab yang kuat. Terlihat dewasa, tapi… justru karena itu, ia punya kecenderungan untuk menanggung semuanya sendirian.”
“Serahkan padaku. Kami pasti akan bahagia berdua.”
“Iya. Pernikahannya juga… wajah cucu juga, Ibu nantikan, ya?”
Tubuhku terlonjak kaget mendengar kata-kata Ibu Mertua. …Cu-cucu.
“A-akan aku usahakan.”
“Iya. …Tapi, selama masih SMA, jangan dulu, ya? Ibu yakin kalian tidak akan macam-macam, tapi Ibu akan bilang baik-baik pada Souta juga.”
Ibu Mertua berbisik pelan di telingaku. Karena malu… aku hanya bisa mengangguk dengan wajah yang merah padam.
◆◆◆
“…Syukurlah.”
Setelah berbicara sedikit lagi, Ibu Mertua bertanya, ‘Ibu mau menyiapkan makan malam, kamu mau tetap di ruang tamu? Atau kembali ke kamar?’ Aku sedikit ragu, tapi aku kembali ke kamar.
Salah satu alasannya adalah aku ingin sendirian. Hari ini penuh dengan hal-hal baru dan aku sedikit lelah. Tentu saja, lebih dari itu, aku merasa senang.
Lalu… sedikit saja. Karena aku ingin sedikit meregangkan badan, aku berbaring di tempat tidur.
Saat itu juga—wajahku menjadi panas.
“B-bau Souta-kun terasa sekali.”
Seperti saat tidur bersama Souta-kun, rasa aman pun muncul. Karena ini adalah Ibu dan Ayah Mertua, mereka pasti sudah mencuci dan menjemurnya dengan benar.
…Meskipun begitu, bau Souta-kun terasa sangat kuat. Aroma yang menenangkan.
“…A-apa yang aku lakukan.”
Tanpa sadar, aku nyaris berguling tengkurap. Tidak baik. …Tidak baik.
T-tapi. Sedikit saja.
Aku membenamkan wajahku di bantal itu… dan menarik selimut.
“—Hah.”
Tanpa sadar aku nyaris mengeluarkan suara aneh, dan aku menutup mulutku.
…Ini. Luar biasa. Benar-benar seperti sedang dipeluk oleh Souta-kun.
Bersamaan dengan itu, perasaan yang tadinya kusegel meluap-luap.
“…Aku ingin bertemu Souta-kun.”
Aku sudah mendengar tentang Souta-kun. Tidak banyak, karena mungkin masih banyak hal yang belum ia ceritakan. Tapi—setelah mendengarnya, aku hanya ingin memeluk Souta-kun. Memeluknya erat-erat dan mengelus kepalanya. Aku ingin dielus kepalaku juga. Aku ingin memujinya sambil berkata, “Kamu sudah berjuang sangat keras, ya.” Aku juga ingin sekali lagi mengucapkan terima kasih karena ia sudah menolongku di tengah kesulitan seperti itu.
“…Souta-kun.”
Aku menekan wajahku ke bantal, dan membungkus tubuhku rapat-rapat dengan selimut.
“…Kapan ya dia pulang…”
Berlawanan dengan pikiranku yang cemas, saat wajahku tertanam di bantal seperti ini, aku merasa pipiku menghangat dan senyum muncul tanpa sadar.
Aku tahu ini tidak pantas, tapi aku terus menggulingkan tubuhku dengan senang di tempat tidur, dan waktu pun berlalu begitu saja.
Saat itu, aku mendengar suara langkah kaki yang menjauh dari lantai bawah. Aku langsung merasa sangat, sangat tidak enak. Aku segera bangkit dari tempat tidur. Saat aku memasang telinga baik-baik, samar-samar terdengar suara.
“Eh? Souta, bukannya kamu mau taruh barang dulu?”
…D-Dilihat?
Wajahku terasa panas sekali. Karena, kalau tadi itu…kalau dilihat—
“B-Bukan begitu! Souta-kun!”
Di kamar Souta-kun…ka-karena dia tidak ada, aku jadi terlihat seperti orang mesum!
Tanpa sadar aku berteriak.
◆◇◆
“B-Bu-Bukan begitu! Be-begini! Me-memang benar, aku mengguling-guling di tempat tidur Souta-kun saat dia tidak ada dan menikmati aromanya…jadi aku memang orang mesum! Tapi! Aku bukan orang mesum yang melakukan hal tak senonoh!”
Saat aku kebingungan bagaimana menjelaskan pada Ibu, Nagi datang…dan menarik tanganku kembali ke kamar.
Dengan wajah yang sangat merah, ia pun melontarkan semua itu dengan cepat.
Menurutnya, “orang mesum tingkat atas” itu ya “orang yang sangat mesum”. Entah kenapa fokusku malah tertuju ke sana, dan aku tertawa tanpa sadar.
“Tak apa. Aku tidak salah paham seperti itu…ah, jadi begini. Aku sudah mengetuk pintu, tapi karena tidak ada jawaban…aku merasa sedikit tidak enak, jadi aku tidak masuk.”
Aku sudah sampai di kenop pintu, tapi teringat Ibu tadi datang, jadi aku urungkan.
“Kalau ternyata kamu sedang tidur, aku khawatir akan membangunkanmu.”
“...Be-begitu, ya?”
“Ya…yah, sebenarnya, aku tidak keberatan kamu melakukan apa pun di kamar.”
Wajah Nagi menjadi semerah apel. Sepertinya dia baru saja menembak dirinya sendiri.
“...Uuh.”
“Sebagai tambahan saja, aku benar-benar tidak mempermasalahkannya.”
Aku mengatakan itu kepada Nagi yang menutupi wajahnya dengan tangan, tapi tampaknya tidak terlalu berpengaruh.
Kemudian, Nagi perlahan menurunkan tangannya—dan merentangkan kedua lengannya.
“Tolong peluk aku.”
Wajahnya sangat merah karena malu, dan di matanya tampak lapisan tipis air.
Ekspresi yang jarang kulihat itu membuat jantungku berdetak kencang.
“…”
Nagi menatapku erat, seolah yakin aku akan memeluknya.
…Tentu saja akan kulakukan.
Aku membuka tangan seperti dia, dan seketika Nagi melompat ke dalam pelukanku.
Dia memelukku erat—sangat erat. Sampai-sampai aku terkejut dengan kekuatannya.
Sambil berusaha mengabaikan lembutnya sentuhan yang menyentuh dadaku, aku memeluk punggung Nagi dan menepuknya pelan.
Sepuluh menit berlalu. Sepertinya setelah waktu berjalan, dia mulai tenang, dan perlahan bergumam,
“A-Aku sedikit lepas kendali tadi. Maaf, ya.”
“Tak apa.”
Bagaimanapun juga, selama dia sudah tenang, itu cukup baik. Aku melepas mantelku. Saat hendak menggantungkannya di hanger…
“Ada sesuatu, ya?”
Pertanyaan itu membuatku terhenti.
“…Kenapa kamu berpikir begitu?”
“Entahlah. Rasanya kamu terlihat agak lesu.”
Mendengar itu—aku tidak bisa menahan tawa.
Sungguh, aku tidak bisa menyembunyikan apa pun dari Nagi. Padahal bahkan Ibu pun tidak pernah menyadarinya selama ini, meski baru saja aku bertemu mereka.
Setelah sedikit tertawa, aku menghela napas panjang.
Mungkin Nagi juga akan bertemu mereka. Sebaiknya aku beri tahu.
“Aku bertemu kenalan.”
“Kenalan?”
“Ya. Hanya teman sekelas biasa dulu.”
Nagi mengerutkan alis setelah mendengar jawabanku.
“Mereka agak merepotkan. Kau masih ingat, setelah acara olahraga, aku bilang mulai banyak siswi yang mengajakku bicara, kan?”
“Iya.”
“Saat itulah mereka mulai memperhatikanku. Tidak sampai jadi perundungan, tapi aku sering dijadikan bahan ejekan.”
Sejak masuk SMA banyak hal yang membuatku lupa akan itu…tapi tadi aku bertemu mereka, dan jadi teringat.
“...Kamu tidak cerita pada Ibu, ya?”
“Tidak. Atau lebih tepatnya, aku tidak bisa. Kalau aku cerita pada Ayah, aku tidak tahu apa yang akan dia lakukan. Aku lebih khawatir pada mereka daripada Ayah. Yah, aku juga tidak terlalu memikirkannya…tapi aku rasa Ibu dan Ayah sebenarnya sudah agak menyadarinya.”
Bukan berarti aku menerima kekerasan. Barang-barangku…ya, sempat disembunyikan, tapi dikembalikan setelah pulang sekolah. Aku juga bukan tipe yang terlalu ambil pusing dengan gosip atau omongan buruk.
“…”
“Kamu tak perlu terlalu memikirkan itu. Mereka juga tidak berubah. Tidak kusangka, aku masih bisa diejek karena tidak punya teman.”
Sekarang aku punya Eiiji, dan tentu saja, Nagi. Ejekan seperti itu tidak berdampak apa-apa padaku.
“Souta-kun.”
Nagi memanggil namaku, lalu duduk di tempat tidur.
“Ke sini.”
Aku pun duduk di sampingnya.
Ia menarikku mendekat. Aku hampir jatuh, tapi saat hendak menopang tubuhku dengan tangan…dia berkata, “Lepaskan saja,” dan aku menuruti.
Pofun—wajahku tenggelam di dadanya.
Aroma harum, kehangatan, kelembutan tubuh Nagi…dan detak jantungnya membuatku terdiam.
“N-Nagi?”
“Aku mengerti perasaan Souta-kun. Aku juga tidak ingin membuat Ayah dan Ibu khawatir.”
“…”
“Waktu SMP, aku pernah punya orang yang bisa diajak bicara…tapi belum bisa kusebut sebagai teman.”
Aku terdiam mendengar kata-katanya.
“Aku senang karena dia mau menyapaku. Tapi ternyata, dia hanya ingin pinjam catatan dan uangku.”
“Uang…?”
“Tentu saja tidak kuberikan. Setelah itu, dia tidak pernah menyapaku lagi…bahkan saat kusapa, dia tidak menggubris. Aku sedikit terpukul…dan karena itu juga aku menghindari bersosialisasi dengan orang lain di kereta.”
“Begitu, ya…”
Aku tak menyangka ada kejadian seperti itu, dan hatiku jadi terasa kelam.
Namun Nagi tertawa kecil, membuat fokusku beralih padanya.
“Hehe. Tapi aku sudah tak peduli lagi. Sekarang aku punya Souta-kun, dan juga Hayama-san dan yang lainnya.”
“...Begitu, ya.”
Seandainya aku bisa secepat itu beralih…tapi aku tidak sepandai itu.
“Aku merasakan hal yang sama. Seperti Souta-kun saat ini.”
“…”
Aku tak bisa membalas ucapannya. Kami hanya saling berpandangan. Setelah beberapa detik, Nagi memalingkan wajahnya.
“Maaf. Barusan agak menyebalkan, ya?”
“Tidak, tak masalah.”
“Karena Souta-kun mau bercerita, aku juga ingin bercerita.”
Nagi kembali menatapku dan tersenyum. Jari-jarinya yang ramping dan indah menyentuh kepalaku.
“Souta-kun.”
Ia memanggilku lagi.
Matanya sangat lembut, seperti permukaan air yang dihangatkan sinar matahari.
“Kalau ada hal tidak menyenangkan, seperti hari ini, tolong bilang padaku.”
Tangannya mengusap telingaku.
“Kenangan buruk, lupakan saja lewat diriku. Akan kuganti semuanya dengan kenangan bahagia.”
Nagi melonggarkan pelukannya. Aku pikir dia akan melepasnya, tapi ia malah mencium keningku, lalu kembali memelukku ke dadanya.
Dugun, dugun—detak jantung Nagi terasa begitu jelas.
Suara itu dan kehangatannya menyebar ke seluruh tubuhku. Awan kelam dalam hatiku perlahan menghilang.
“…Terima kasih.”
“Sama-sama.”
Kali ini, aku membiarkan diriku dimanjakan.
Kupeluk Nagi dari belakang.
“…Aku sedikit kesal.”
Tanpa sadar, kata-kata itu meluncur keluar.
“Harusnya cukup dengan mengabaikan mereka. Mereka akan bosan sendiri dan pergi. Sejak dulu aku tahu begitu. Tapi hari ini, aku bertanya pada diriku sendiri, ‘Apa itu benar?’”
Awan kelam sudah lenyap, tapi kelemahanku jadi terlihat jelas.
Padahal aku ingin terlihat keren di depan Nagi. Tapi kenapa ya…kata-kata ini terus keluar.
“‘Apa kamu tidak peduli kalau Nagi dan Eiiji melihatmu seperti ini?’ Aku…berpikir begitu.”
Aku merasa lemah.
Padahal tahu, tak akan ada gunanya mengatakannya.
Padahal tahu, ini hanya akan membuat Nagi merasa tak enak. Tapi aku tak bisa menghentikannya.
“Souta-kun.”
“Pada akhirnya aku…tak bisa berkata apa-apa. Tak bisa.”
Dan itu membuatku kesal.
“Souta-kun. Jangan abaikan perasaanmu lagi.”
“T-Terima—”
Mata Nagi yang lembut menatapku, lalu…
Bibir kami bertemu.
Hanya sebentar. Lalu ia menarik diri.
…Tapi hanya dengan itu, hal-hal lain tak lagi penting.
Kepalaku dipenuhi rasa bahagia.
“Hehe.”
Nagi tertawa, memelukku lagi ke dadanya.
“Aku senang. Aku rasa, Souta-kun yang dulu tidak akan pernah menceritakan hal ini.”
Sudut matanya turun, ujung bibirnya terangkat. Ia benar-benar terlihat bahagia.
“Karena kamu menceritakan ini…karena kamu percaya padaku…aku mencintaimu.”
Kata-katanya menghangatkan hatiku. Memberiku semangat.
Tapi kemudian, ia menghentikan tangannya.
“Kalau aku bertemu lagi dengan orang-orang itu…akan kuhabisi mereka.”
Ia berkata sambil tertawa, tapi…matanya tidak tertawa.
Suhu ruangan seolah turun. Aku teringat kejadian di SMA Nagi dan hanya bisa tersenyum pahit.
“…Aku juga.”
Aku sedikit menjauhkan wajah agar bisa bicara, menatap Nagi.
“Kalau ada orang yang menyakitimu lagi, aku akan membalas mereka.”
“Hehe. Saat itu, tolong bantu aku, ya. Aku akan mengandalkanmu.”
Setelah mengatakan itu, aku menyandarkan tubuhku padanya. Suara detak jantung Nagi terdengar jelas.
Tangannya dengan lembut mengelus kepalaku.
Posisi kami terbalik dari biasanya, tapi…begini saja sudah terasa sangat nyaman.
∆∆∆
"A-aku sedikit gugup, "
"……Iya juga, ya."
Kami sudah selesai makan malam dan juga sudah mandi. ……Tentu saja, secara terpisah.
Setelah itu, kami kembali ke kamar. Tidak ada lagi yang harus dilakukan hari ini selain tidur, tetapi anehnya aku merasa gugup.
Bukannya kami akan melakukan sesuatu yang aneh, kami hanya akan tidur. ……Akan tetapi, ada banyak hal yang berbeda dari biasanya.
Perbedaan terbesarnya adalah ranjang ini merupakan ranjang tunggal (single bed). Ini adalah ranjang yang kugunakan sejak aku masih SD. Ayah sempat bertanya apakah mau menggantinya, tetapi aku menolak karena hanya akan kugunakan selama beberapa hari saat pulang kampung.
Selain itu, membayangkan Nagi juga akan tidur di kamar tempatku tidur sejak kecil…… mungkin wajar jika aku merasa gugup.
"Nagi…… biasanya tidur di sisi dalam, ‘kan."
"I-iya."
Ranjang itu diletakkan di sudut kamar. Nagi berbaring lebih dulu di ranjang dan menutupi dirinya dengan selimut.
"Aku masuk, ya."
"I-iya."
Menyusulnya, aku pun ikut berbaring. Seperti yang kuduga, terasa sedikit sempit, bahu dan tanganku bersentuhan dengan Nagi.
Nagi mengenakan piyama berwarna merah muda yang terlihat hangat dan berbulu halus (mokomoko). Sentuhan kainnya di separuh tubuhku terasa sangat nyaman.
"……Souta-kun, sepertinya kesempitan, ya."
"Tidak. Segini tidak apa-apa, kok."
Aku tertawa mendengar kata-kata Nagi…… dan setelah berpikir sejenak, Nagi pun.
"Eih!"
Dia memelukku.
Tubuhku diselimuti oleh sentuhan piyama yang halus…… dan kelembutan di baliknya.
"Na-Nagi?"
"……Dengan begini, Souta-kun tidak akan jatuh dari ranjang. Selimutnya juga bisa kita pakai bersama."
Seperti yang dikatakan Nagi, dengan begini selimutnya mungkin tidak akan bergeser. ……Akan tetapi.
"I-ini, banyak yang bersentuhan, lho."
"……Bukannya sudah terlambat untuk canggung sekarang."
"Itu, sih…… mungkin benar."
Aku merasa malu dan wajahku menjadi panas.
Kepala Nagi berada kira-kira di dekat leherku. Dia menatapku dengan tatapan dari bawah.
Deg, deg. Deg, deg. Suara detak jantung Nagi dan detak jantungku saling beradu.
"Aku tidak yakin bisa tidur."
"Fufu. Aku juga. Jantungku berdebar-debar."
Nagi berbisik pelan, lalu membenamkan wajahnya di ceruk leherku.
"Tapi, entah kenapa aku merasa tenang."
"……Aku ubah posisi sebentar, ya."
Awalnya aku berbaring telentang. Setelah meminta Nagi melepaskan pelukannya sejenak, aku──menghadap ke arah Nagi, dan memeluk tubuhnya.
"……!"
Setelah menunjukkan ekspresi kaget sesaat, wajah Nagi berseri-seri, dan dia balas memelukku.
"Ini cerita waktu aku masih kecil sekali. Sebelum masuk SD."
Aku berbisik pelan sambil merasakan kehangatan tubuh Nagi dalam dekapanku.
"Waktu tidur bersama Ayah dan Ibu, aku selalu dipeluk seperti ini. ……Karena itu, aku juga merasa sedikit tenang sekarang."
Meskipun setelah masuk SD aku merasa malu dan tidak mau lagi diperlakukan seperti itu.
Nagi terkekeh pelan.
"Dulu waktu kecil, aku juga tidak bisa tidur kalau tidak bersama boneka."
"……Setelah mulai tidur sendiri pun, untuk sementara waktu aku tidak bisa tidur tanpa guling."
"Fufu. Sama, dong. ……Sekarang, akulah gulingnya, ya."
"Dan aku juga ada untukmu, Nagi."
"Iya!"
Nagi memelukku erat-erat. Dia membenamkan wajahnya ke leherku.
"……Besok kita jalan-jalan berdua, ya."
"Aku ingin pergi ke banyak tempat. Tempat yang sering Souta-kun datangi, atau sekolahmu. Meskipun kurasa tidak akan bisa masuk, aku ingin melihatnya."
"Tentu. Ayo kita ke sana."
Waktu kita masih banyak. ……Kita pasti bisa pergi ke berbagai tempat.
Saat aku mengelus kepalanya, Nagi tertawa seolah kegelian. Setelah itu, kami membicarakan banyak hal lainnya. Seperti dulu waktu mau tidur, aku takut hantu. Atau saat musim dingin, aku malas keluar dari selimut sampai hampir terlambat.
Perlahan-lahan, suara Nagi semakin mengecil. Mungkin dia sudah mengantuk.
"Selamat tidur, Nagi."
"……Selamat tidur."
Suu, suu. Tak lama kemudian, aku mulai mendengar suara napasnya yang teratur. Untuk beberapa saat, aku memandangi wajahnya yang tertidur. Saat kubelai pipinya, mulutnya bergerak-gerak dan pipinya mengendur.
"Aku sangat mencintaimu, Nagi."
Nagi yang cantik, imut…… baik hati dan kuat. Aku sangat menyayanginya.
Semua hal tidak menyenangkan yang terjadi hari ini telah kulupakan. Semuanya, semua berkat Nagi.
"……Aku juga sangat mencintaimu."
Aku tidak tahu apakah itu igauan, atau dia masih mendengarku. Tapi, yang mana pun tidak masalah. ……Karena keduanya sama-sama membuatku bahagia.
Kemudian, tanpa sadar aku merasakan kesadaranku mulai memudar. Indera perasa di tangan dan kakiku mulai melemah. Kelopak mataku terasa sangat berat.
Semoga aku bisa bertemu Nagi dalam mimpiku. Sambil berharap begitu, aku pun kehilangan kesadaran.
◆◆◆
Tiba-tiba, aku terbangun di tengah malam. Bukan bangun secara perlahan, melainkan seperti tersentak kaget seolah dijatuhkan dari perahu yang sedang kudayung.
"Nghh……?"
Suara igauan kecil dari sampingku menarik perhatianku.
Bahkan dalam kegelapan, aku bisa melihat rambutnya yang seputih salju. Pemandangan dirinya yang bergerak-gerak gelisah membuat pipiku mengendur, tetapi di saat yang sama aku merasakan sedikit haus di tenggorokan.
Memandangi Nagi yang sedang tidur seperti ini memang menyenangkan, tapi sepertinya aku tidak akan bisa langsung tidur lagi. Waktu juga baru lewat tengah malam, jadi kuputuskan untuk perlahan-lahan turun dari ranjang agar tidak membangunkannya.
Aku berniat minum air di dapur, tetapi aku menyadari ada cahaya yang bocor dari ruang keluarga. Mungkin Ayah dan Ibu masih bangun.
Saat itu, sesosok bayangan muncul dari ruang keluarga. Itu Ibu. Mungkin dia tahu dari suara langkah kakiku.
"Souta, ada apa?"
"Aku terbangun karena sedikit haus. Mau minum air."
"Oh, begitu. Mumpung sudah bangun, mau Ibu buatkan susu hangat?"
"Tidak usah…… umm. Boleh, deh."
Aku sempat akan menolak, tetapi Ibu terlihat agak gelisah. Aku jadi teringat, dulu kalau aku tidak bisa tidur di malam hari, Ibu sering membuatkanku susu hangat, jadi aku memutuskan untuk menerima tawarannya.
"Baiklah. Tunggu di ruang keluarga bersama Ayah, ya."
"Terima kasih, Bu."
"Sama-sama."
Dengan senyum yang tak pernah lepas dari wajahnya, Ibu bergegas ke dapur dengan langkah cepat. Sambil merasakan nostalgia, aku masuk ke ruang keluarga.
"Oh, Souta. Tidak bisa tidur?"
"Bukan tidak bisa tidur…… hanya terbangun saja."
"Oh iya, akhir-akhir ini jam tidurmu jadi lebih awal, ya. Sepertinya bertemu dengan Nagi-chan membuatmu jadi lebih sehat dari sebelumnya, syukurlah."
Aku hanya tersenyum kecut melihat Ayah yang mengangguk-angguk puas sambil melipat tangan, lalu duduk di sebelahnya. Suasana ini, terasa begitu familier.
Kemudian, Ayah melirikku yang duduk di sebelahnya.
"Oh ya, Souta."
"Hm?"
"Hari ini, apa terjadi sesuatu?"
Keheningan menyelimuti ruangan untuk sesaat. Itu karena aku tidak bisa menemukan kata-kata untuk menjawab.
"……Kenapa Ayah berpikir begitu?"
Itulah satu-satunya kalimat yang berhasil kuutarakan. Aku membalas pertanyaan dengan pertanyaan, tetapi Ayah hanya tertawa dan menjawab.
"Saat kau pulang tadi, Ayah merasa ada yang aneh. Perasaan itu hilang setelah kau masuk ke kamar…… jadi Ayah pikir mungkin Nagi-chan melakukan sesuatu. Tapi, sebagai ayah, rasanya tidak benar kalau Ayah mengabaikannya begitu saja."
Aku mendengarkan kata-kata Ayah dengan saksama, dan sedikit terkejut. Setelah pulang dan sebelum masuk ke kamar, aku memang berbicara dengan Ibu, tetapi dengan Ayah, obrolan kami hanya sebatas ‘aku pulang’ dan ‘selamat datang’. Namun, hanya dengan itu saja dia bisa menyadarinya. Apa memang sejelas itu di wajahku…… Nagi juga mengetahuinya.
Aku bimbang. Haruskah aku menceritakannya? Tapi, jika aku menceritakannya, berarti aku harus menceritakan semua hal yang selama ini tidak pernah kuceritakan……
"……Tadi ada sedikit masalah. Tapi sudah selesai, jadi tidak apa-apa, kok."
"Begitu, ya. Syukurlah kalau sudah selesai."
Pada akhirnya, aku memilih untuk tidak bercerita. Tentu saja aku tidak ingin membuat mereka khawatir, dan lagi, aku tidak pernah menceritakan apa yang terjadi sampai aku SMP pada mereka. ……Mereka adalah tipe orang yang akan merasa sangat bersalah jika mengetahuinya. Kalau begitu, lebih baik tidak menceritakannya.
Mata Ayah menatapku lurus-lurus. Biasanya dia santai, tapi sesekali dia menunjukkan ekspresi serius seperti ini.
"Tapi Souta, Ayah akan katakan ini berkali-kali, Ayah dan Ibumu akan selalu menjadi pendukungmu, apa pun yang terjadi."
"……Iya, aku tahu. Aku tahu Ayah dan Ibu bisa diandalkan."
Aku teringat kejadian beberapa waktu lalu. Saat perjodohan Nagi yang kubatalkan masih mengganjal di sudut hatiku, Ayah menyadarinya. Dan Ayah berbicara dengan Souichirou-san untuk menghilangkan kegelisahanku ini.
"Souta itu sudah seperti orang dewasa sejak dulu. Jadi, tidak apa-apa kalau mau lebih banyak bergantung pada kami."
"……Iya. Terima kasih."
"Sama-sama. Kebahagiaan anak adalah kebahagiaan orang tua. Mungkin mustahil untuk menjalani hidup tanpa penyesalan, tapi jangan sampai kau tidak bisa bergerak karena terlalu memikirkan akibatnya. Kalau ada apa-apa, Ayah dan Ibu akan membantumu."
Kata-kata Ayah tidak selugas biasanya. Justru karena itulah, aku tahu dia benar-benar memikirkanku.
Dan justru karena dia adalah Ayah yang seperti itu, ada satu hal yang ingin kutanyakan.
"Ayah. Boleh aku tanya satu hal?"
"Apa itu? Jangankan satu, seratus atau seribu pun boleh."
Berbeda dengan kata-katanya, ekspresinya tidak berubah dari raut serius. Aku mengangguk sekali, lalu perlahan membuka mulut sambil memilih kata-kata di dalam kepala.
"Umm. Kalau Ayah…… apa yang akan Ayah lakukan saat sesuatu yang menakutkan mendekat?"
Aku sendiri merasa pertanyaanku terlalu abstrak. Aku harus menjelaskannya lebih detail. Saat aku berpikir begitu dan hendak membuka mulut lagi, Ayah lebih cepat.
"Tergantung pada wujud hal menakutkan itu, dan juga situasinya. Misalnya, kalau Ayah sendirian dan ada orang menakutkan mendekat, Ayah akan lari. Kalau ada Ibu dan kau, Souta, Ayah akan menggendong kalian dan lari. Kan Ayah melatih tubuh untuk itu."
Saat Ayah mengangkat lengannya sedikit, otot-ototnya menonjol. Dulu aku sering digendong olehnya…… dan aku yakin dia masih bisa melakukannya sekarang, saking bisa diandalkannya.
"Lari itu bukan hal yang memalukan. Kalau kau berpikir itu untuk melindungi dirimu sendiri, itu bisa jadi tindakan yang keren. Terutama karena kalau Ayah tiada, keluarga kita bisa dalam masalah besar…… begitulah jawaban Ayah sebagai seorang ayah."
"……Benar-benar seperti Ayah."
"Tentu saja, karena aku ini ayahmu. ……Tapi, lari bukan satu-satunya jawaban yang benar, Souta."
Jariku sedikit tersentak. Itu adalah kata-kata yang tidak kuduga.
"Tidak ingin lari. Ingin menghadapi. Jika kau berpikir begitu, mencobanya juga sebuah pilihan. Yah, intinya itu soal harga diri seorang pria. Harga diri itu bisa baik dan bisa buruk, tapi semua orang punya sesuatu yang tidak bisa mereka kompromikan. Sama seperti Ayah yang ingin selalu terlihat keren sebagai ayahmu."
"……Sesuatu yang tidak bisa dikompromikan."
"Benar. Misalnya, lari dari sesuatu yang menakutkan. Itu bukan hal yang buruk. ……Tapi, mungkin kalau ada Ibu dan kau di samping Ayah, Ayah pasti akan berusaha menghadapinya."
"……Karena itu keren?"
"Betul. Karena aku ingin menunjukkan sisi kerenku pada Ibu dan juga padamu. Itulah yang namanya harga diri sebagai seorang ayah, dan sebagai seorang pria."
Ayah menatapku seolah berkata, ‘Bagaimana?’. Termasuk sikapnya itu, semuanya benar-benar khas Ayah.
"Yah, ketakutan fisik dan ketakutan mental itu berbeda. Kalau dikejar samurai yang membawa katana, tentu lari adalah pilihan terbaik. Tapi misalnya, kalau kau melawan perundung karena tidak suka diejek, menurut Ayah itu keren. Tentu saja, lari…… menjauh untuk melindungi diri sendiri juga merupakan pilihan yang keren dan bijaksana."
"……!"
Deg. Jantungku berdebar kencang. Meskipun aku berpikir ‘jangan-jangan’, tidak ada kata yang keluar dari mulutku. Namun, entah Ayah menyadari keadaanku atau tidak…… mungkin dia menyadarinya, dia tersenyum padaku.
"Begitulah jawaban dari Ayah. Ada lagi yang mau ditanyakan?"
"……Ah, iya. Terima kasih. Sudah cukup. Aku sudah mendapatkan jawaban yang kuinginkan."
"Begitu? Tidak ada lagi? Seperti, ‘Ayah melakukan apa di hari libur?’ atau ‘Posisi Ayah di tempat kerja seperti apa?’."
"Itu sudah sering kutanyakan untuk PR sekolah waktu SD dulu."
Suasana di sekitar Ayah langsung melembut, dan tanpa sadar keteganganku pun ikut mereda. Kemudian Ayah bangkit berdiri.
"Nah, kalau begitu Ayah mau sikat gigi dan tidur."
"Baik. Selamat tidur, Ayah. ……Terima kasih."
"Selamat tidur, Souta. Dan, sama-sama."
Ayah tersenyum dan kembali ke kamarnya. Hampir bersamaan dengannya, Ibu masuk membawa susu hangat.
"Ini, Souta, sudah jadi."
"Terima kasih, Bu."
Aku menerima susu hangat itu, dan Ibu duduk di tempat Ayah tadi…… di sebelahku.
"Sudah bisa bicara dengan Ayah?"
"Iya. Aku bertanya banyak hal."
Aku menyesap susu hangat itu, merasakan cairan panas mengalir melewati tenggorokan dan masuk ke perutku. Begitu pula hatiku, aku bisa merasakan kehangatan yang perlahan menyebar.
"Tapi, kamu pasti kaget, ‘kan?"
"……Soal yang mana?"
Aku tidak terkejut karena aku sudah menduga Ibu mungkin mendengar pembicaraan kami. Ayah yang lebih dulu pergi ke kamar tidur mungkin juga karena memberi ruang untukku dan Ibu. Sejak pulang ke sini, aku memang selalu bersama Nagi.
Aku bertanya-tanya dari bagian mana dia mulai mendengar──namun jawaban yang kudengar membuat jantungku berdebar kencang.
"Soal melawan perundung itu."
Mulut yang hendak kubuka, kututup kembali. Alasannya adalah agar gejolak emosiku tidak ketahuan…… tapi entah kenapa, rasanya Ayah dan Ibu sudah mengetahui segalanya.
Namun, Ibu tidak mengejarnya lebih jauh dan melanjutkan ceritanya.
"Sebenarnya, ya. Ayahmu itu, waktu sekolah dulu dia sering dirundung."
"……Hah?"
Suara linglung keluar dari mulutku mendengar cerita yang baru pertama kali kudengar. "Kaget, ‘kan?" kata Ibu sambil melanjutkan ceritanya, dan aku hanya bisa mengangguk.
"Ayahmu itu, dulu badannya tidak berotot seperti sekarang dan posturnya juga pendek."
"Baru dengar…… atau lebih tepatnya, rasanya aku belum pernah mendengar cerita masa lalu Ayah dan Ibu."
Kalau dipikir-pikir, memang benar. Aku tahu Ayah dan Ibu adalah teman masa kecil, tapi hanya itu yang pernah kudengar.
"Orang itu, kan, suka sekali pamer keren di depanmu, Souta. Mau dengar ceritanya?"
"……Aku mau dengar."
Aku tidak bisa membayangkan bagaimana Ayah yang ceria dan bisa diandalkan itu dulunya adalah anak yang dirundung. Dan aku ingin tahu.
"Baiklah. Ceritanya pendek, kok. Anggap saja untuk mengisi waktu sampai kau mengantuk."
Aku mengangguk mendengar perkataannya, dan Ibu pun mulai bercerita.
∆∆∆
"Dulu, rumah Ayah dekat dengan rumah Ibu sejak kami kecil. Kami sering bermain bersama, tapi saat menginjak SMP, kami jadi jarang bermain. Biasalah, masa pubertas. Mungkin juga karena Ayah itu tipe rumahan dan Ibu tipe yang suka keluar.
Pada masa itu, postur Ayah termasuk pendek di antara anak laki-laki, dan dia juga penakut. Sementara Ibu, kurasa Ibu termasuk yang pemberani.
Ibu mulai berbicara lagi dengan Ayah──setelah Ibu kebetulan menolongnya saat dia sedang dirundung di belakang gimnasium.
Dia sedang dipalak oleh anak-anak nakal di kelas. Ibu menolongnya karena rasa keadilan, tapi…… ada juga ikatan pertemanan masa kecil. Meskipun kami sudah tidak bermain bersama lagi, bukan berarti Ibu membencinya.
Ibu memanggil Sensei untuk menghentikan mereka, dan setelah itu kami jadi sering berbicara lagi secara alami, lalu kembali akrab.
Setelah itu menyenangkan sekali, lho…… Ibu sering mengajaknya keluar, pergi nonton film bareng, atau berbelanja bersama. ……Tapi, semua itu tidak berlangsung lama."
◆◇◆◇◆
"Tidak berlangsung lama…… kenapa?"
"Ingat orang yang tadi Ibu ceritakan memalak Ayahmu? Targetnya beralih ke Ibu."
Aku menahan napas mendengar kata-kata Ibu. Memalak uang itu satu hal, tapi menargetkan seorang perempuan…… aku tidak menyangka mereka akan sejauh itu.
"Ibu dipanggil lewat surat. Katanya kalau Ibu tidak datang, mereka akan merundung Ayahmu lagi. Jadi, Ibu datang ke tempat yang ditentukan…… dan saat situasi mulai gawat, Ayahmu datang."
"Di saat itu Ayah datang?"
"Iya. Dengan kaki dan tubuh yang gemetar hebat, sambil terus diejek habis-habisan oleh para perundung itu."
Mengingat sosok Ayah yang sekarang, aku sulit membayangkannya…… tapi, aku tahu itu pasti membutuhkan keberanian yang luar biasa. Aku saja, saat bertemu dengan teman sekelasku dulu di taman, bahkan untuk menatap matanya saja sudah kesulitan.
"Orang-orang itu mengejek Ayahmu. Tapi, bagi Ibu, dia terlihat sangat keren."
Aku mengangguk mendengar kata-kata Ibu. Aku tidak bisa membayangkan penampilannya, tapi isinya…… atau lebih tepatnya, inti dirinya tidak berbeda dengan Ayah yang sekarang. Aku pun berpikir itu sangat keren.
"Sejak saat itu, Ayahmu berusaha sangat keras. Katanya agar dia bisa melindungi Ibu jika hal seperti ini terjadi lagi. Dan dia jadi lebih giat lagi saat tahu Ibu mengandungmu, Souta."
"……Ternyata, aku sama sekali tidak mengenal Ayah, ya."
Perasaan tulusku tanpa sadar meluap, dan Ibu tertawa.
"Tentu saja, karena Ayahmu ingin menyembunyikannya. Dia selalu bilang, ‘Aku hanya akan menunjukkan sisi kerenku pada Souta’. Padahal, Ibu suka sisi Ayah yang seperti itu."
"……Begitu, ya."
"Kalau Ayahmu menceritakannya sendiri, kesannya seperti menyombongkan kisah kepahlawanannya, kan? Sepertinya Ayahmu sudah muak mendengar cerita seperti itu dari atasannya di tempat kerja. Makanya Ibu yang menceritakannya."
Aku membalas senyuman Ibu yang terkekeh, lalu menghabiskan susu hangatku.
"Ternyata Ayah lebih suka pamer keren dari yang kukira, ya."
"Tentu saja. Apa kau jadi kecewa?"
"Tentu tidak. Aku tidak kecewa sama sekali. ……Hanya saja, aku jadi lebih, umm, menghormatinya dari sebelumnya."
Aku merasa sedikit malu dan kata-kataku terbata-bata. Namun, saat ini aku tidak ingin menyembunyikan perasaan ini.
"……Aku jadi kembali berpikir, suatu saat nanti, aku ingin menjadi orang seperti Ayah."
"Souta, kan, sayang sekali pada Ayahmu. Sejak dulu, kalau ditanya siapa orang yang kau kagumi, kau selalu menjawab Ayah."
"……Itu, sih, tidak bisa kusangkal."
Alasanku mulai minum kopi tanpa gula pun karena melihat Ayah meminumnya terlihat keren. ……Kalau dipikir-pikir, sejak saat itu Ayah jadi berhenti minum alkohol di rumah. Mungkin dia berpikir itu akan berdampak buruk padaku suatu saat nanti.
Sambil memikirkan hal itu, aku kembali menyesap susu hangatku. Isinya sudah hampir habis, jadi kuteguk semuanya sekaligus.
"Terima kasih, Bu. Sudah menceritakan tentang Ayah. ……Susu hangatnya juga."
"Sama-sama. Ibu juga berterima kasih, ya. Sudah mau menemani Ibu mengobrol."
"Sama-sama."
Benar, Ayah adalah sosok yang kukagumi. Sejak dulu hingga sekarang, selalu.
"Gelasnya taruh saja di situ. Sudah mengantuk, kan?"
"Iya, terima kasih. ……Kalau begitu, aku kembali ke kamar."
"Tentu. ……Souta."
Saat aku berdiri, Ibu memanggilku. Aku menoleh padanya, dan dia tersenyum.
"Souta, Ibu yakin kau akan menghadapi banyak kebimbangan di masa depan. Saat itu terjadi, tanyakan pada hatimu sendiri apa yang sebenarnya ingin kau lakukan. Menjalani hidup tanpa penyesalan itu mungkin sulit, tapi Ibu dan Ayah akan mendukungmu dengan sekuat tenaga. ……Nagi-chan, dan juga ayah serta ibunya, pasti akan melakukan hal yang sama."
"……Iya. Aku akan mengingatnya."
Sambil mengangguk, aku keluar dari ruang keluarga…… sebelum itu, aku menoleh lagi ke arah Ibu.
"Selamat tidur, Souta. Mimpi indah, ya."
"Selamat tidur, Bu. Ibu juga, ya."
Sungguh, aku tidak bisa menandingi mereka. Ibu dan Ayah.
──Pasti mereka sudah tahu segalanya. Dan meskipun begitu, mereka tetap menghormatiku dan memprioritaskanku.
Suatu saat nanti, apakah aku bisa menjadi seperti mereka? Menjadi orang dewasa yang keren seperti itu.
Aku kembali ke kamar sambil terus merenungkan kata-kata Ibu dan Ayah di dalam hati.
Gadis cantik berambut putih itu tertidur lelap di dalam ranjang.
Aku menyelinap masuk ke dalam ranjang dengan hati-hati agar tidak membangunkannya, lalu dia menggesekkan wajahnya ke dadaku. Kukira aku telah membangunkannya…… tapi sepertinya tidak.
"……Nagi."
Aku menggumamkan namanya dalam hati. Saat kusingkirkan rambut yang menutupi wajahnya, dia tersenyum seolah kegelian.
Perasaan yang membuncah dari lubuk hatiku adalah rasa sayang dan cinta padanya.
Terutama sejak pulang hari ini, Nagi sudah banyak sekali membantuku. Waktu yang kuhabiskan untuk bermanja-manja padanya…… aku juga menyukainya.
Akan tetapi.
"……Ayah pasti juga merasakan hal yang sama."
Aku ingin menunjukkan sisi kerenku pada Nagi. Aku ingin dia berpikir bahwa aku keren.
Perasaan inilah yang mungkin disebut Ayah sebagai ‘harga diri seorang pria’. Ini adalah sesuatu yang mungkin tidak bisa kubuang begitu saja. Aku pun tidak ingin membuangnya.
"──Syukurlah. Aku bisa bicara dengan Ayah dan Ibu."
Aku merasa seolah beban yang mengganjal di hatiku telah terangkat. Aku merasa jauh lebih lega dari sebelumnya.
Setelah itu, saat aku memejamkan mata, aku terbuai ke dalam lautan tidur dengan begitu mudah, tidak seperti biasanya.
◆◆◆
Aku terbangun secara alami. Ini adalah hal yang cukup langka bagiku. Terbangun di tengah malam kemarin juga langka, tetapi tidak seperti saat itu, kepalaku terasa berkabut dan pusing.
Biasanya aku dibangunkan oleh alarm untuk pergi ke sekolah…… dan belakangan ini, sering juga dibangunkan oleh Nagi. Di hari libur pun aku mengandalkan alarm karena harus mengerjakan pekerjaan rumah atau pergi berbelanja.
Aroma manis yang lembut menggelitik hidungku, dan aku membuka mata.
Bahkan dengan mata yang masih mengantuk, aku langsung tahu. Apa yang ada di hadapanku.
Wajah Nagi, dengan rambut seputih salju dan mata birunya.
Dalam pandanganku yang kabur, mata birunya yang sedalam lautan menatapku.
"Selamat pagi, Souta-kun."
"……Nagi?"
"Iya, ini aku. Nagimu, Souta-kun."
Aku memeluknya──gadis yang menjawab sambil tertawa itu. Begitu saja, tanpa alasan.
"So-Souta-kun?"
"……Nagi."
Dalam pikiranku yang masih kabur, aku memeluk Nagi.
"Fufu. Souta-kun, masih mengantuk, ya?"
Aku mengangguk mendengar pertanyaannya. Suara tawa Nagi terasa sangat nyaman di telinga.
"Aku mengerti. Waktunya juga masih pagi…… bagaimana kalau kita tidur lagi berdua?"
Setelah mengatakan itu…… aku dipeluk erat-erat.
Seluruh tubuhku diselimuti oleh sesuatu yang hangat dan lembut, membuatku merasa tenang dari lubuk hati.
"Kalau begitu, selamat tidur, Souta-kun."
"……Selamat tidur."
Seketika, kesadaranku kembali tenggelam ke dasar lautan.
"……Aku mencintaimu."
"Iya. Aku juga mencintaimu."
Begitulah, sambil meninggalkan kata-kata itu.
◆◆◆
Deg! Mataku tiba-tiba terbuka.
Rasanya aku telah melakukan sesuatu yang sangat memalukan. ……Tidak, aku memang melakukannya. Sangat memalukan.
Meskipun aku masih mengantuk, aku masih mengingatnya. Apa yang sebenarnya kulakukan ini, ya ampun. ……Padahal baru semalam aku berpikir ingin menunjukkan sisi kerenku pada Nagi.
Wajahku terasa panas──aku melihat Nagi yang tertidur dalam dekapanku.
Dia tertidur lelap, terlihat sangat nyaman. Sosoknya tampak seperti boneka yang indah.
Saat kusentuh rambutnya, dia menggeliat seolah kegelian. Pemandangan itu begitu imut…… dan menggemaskan. Sedikit rasa iseng pun muncul di hatiku.
……Dia tidak akan bangun, kan?
Perlahan, kugeser tanganku dan menyentuh pipinya.
Sangat nyaman disentuh. Halus seperti sutra…… dan kenyal.
Aku memang punya beberapa kesempatan untuk menyentuhnya saat dia bangun. Tapi ini pertama kalinya aku menyentuhnya dengan saksama seperti ini.
Saat aku menusuk-nusuknya dengan jari dan mengelusnya dengan telapak tangan, aku menyadari sesuatu. Sudut bibir Nagi terangkat.
"……Kau sudah bangun?"
Saat aku mengatakannya…… senyum merekah dari bibir Nagi.
"Fufu. Ketahuan, ya?"
"Se-sejak kapan……"
"Baru saja."
Mata Nagi terbuka──dan mata birunya yang seindah permata menatapku.
Matanya yang lembut menatapku lekat-lekat.
"Pipiku terasa hangat…… dan nyaman. Jadi aku terbangun."
"Ma-maaf."
Tanganku ternyata masih mengelus pipinya, dan saat aku hendak menariknya──tangan Nagi menahannya.
Dia menempelkan tanganku ke pipinya, lalu tersenyum.
"Lagi. Sentuh aku lebih banyak lagi."
Zleb. Kata-kata itu, dengan lembut membelai hatiku.
"Aku suka disentuh oleh Souta-kun. Rasanya hangat, nyaman, dan lembut. ……Aku jadi merasa bahagia."
Tangan Nagi mengelus punggung tanganku. Sedikit geli.
"Disentuh pipinya, dielus kepalanya…… dipeluk, ataupun dicium. Semuanya, aku suka semuanya."
Tangan Nagi perlahan mengambil tanganku──dan mendekapnya ke dadanya.
Dia menekannya dengan erat──dan sensasi lembut terasa di telapak tanganku.
"Na-Nagi……"
"Tidak apa-apa, kok, kalau itu Souta-kun………… padahal kukira kau akan menyentuhnya diam-diam."
Nagi bergumam dengan nada sedikit merajuk.
"Meskipun aku juga berpikir Souta-kun tidak mungkin melakukannya. ……Tapi tidak apa-apa, lho, kalau kau sedikit ragu-ragu."
Sambil mendengar kata-katanya, aku bisa merasakan darah naik ke wajahku. Bahkan telingaku pun ikut memanas.
Sensasi lembut yang menjalar dari telapak tanganku──dan detak jantungnya yang berdebar kencang, memenuhi kepalaku.
"I-ini masih termasuk sentuhan fisik, kok. ……Aku hanya melakukannya dengan Souta-kun, dan tidak akan dengan yang lain."
Wajah Nagi memerah padam, tetapi senyumnya tidak luntur.
"Untuk hal-hal seperti ini kau sepertinya sering menahan diri…… jadi kupikir aku harus memberitahumu."
"Be-begitu, ya."
"Kita harus terbiasa sedikit demi sedikit…… kalau tidak, nanti saat waktunya tiba, bisa gawat."
Jantungku mulai berdebar begitu kencang sampai terasa sakit. Panas tubuhku meningkat, dan saat keringat nyaris menetes di dahiku──ponselku bergetar, vrrr.
Aku pun terkejut dan tubuhku menegang.
──Tenagaku, tanpa sadar ku salurkan.
Mata Nagi terbelalak kaget…… dan saat aku menundukkan pandanganku, jariku telah tenggelam.
Munyuri.
……Kalau diibaratkan, rasanya seperti menggenggam permen kapas, atau seperti meremas puding dengan tangan. Begitulah rasanya. Sambil memikirkan hal konyol itu, aku melepaskan tanganku.
"Ma…… maaf. Aku kaget jadi tidak sengaja menekan."
"Ti-tidak apa-apa……"
Wajah Nagi merah padam, tetapi──dia tidak marah.
"Ka-kalau itu Souta-kun, tidak apa-apa, kok. ……Me-memang sedikit sakit, tapi kalau kupikir itu karena Souta-kun…… aku tidak membencinya."
Bahkan──dia tersenyum lembut seperti sebelumnya.
"Ka-kalau mau…… disentuh lagi, juga boleh, lho?"
Kepalaku pening. Grap. Hatiku goyah.
Ini──berbahaya.
Jika salah langkah, aku bisa jadi bergantung pada Nagi. Padahal, aku sudah merasa tidak bisa hidup lagi tanpanya.
……Bukankah sudah terlambat?
Tidak. Tentu saja tidak. Tidak, seharusnya.
"Le-lebih dari ini. Aku benar-benar tidak akan bisa… menahan diri lagi. ……Ibu dan Ayah juga ada di rumah."
"……Iya juga, ya."
Jika aku tidak bisa menahan diri, akal sehatku pasti akan melayang. Aku bahkan mungkin akan lupa kalau Ayah dan Ibu ada di rumah. Aku bisa memastikannya.
Nagi tertawa kecil dan mendekat padaku.
"Kalau begini terus rasanya bisa malu, jadi. Tolong peluk aku erat-erat sekali saja."
"……Iya."
Nagi mengulurkan tangannya, jadi aku menarik tangannya dan memeluknya.
“Mari kita nikmati hari ini juga ya, Souta-kun.”
“Ya. ...Ayo kita nikmati sepuasnya.”
Aku dipeluk dengan erat. Untuk membalasnya, aku pun ikut memeluknya.
Lalu, kami berdua berjalan menuju ruang keluarga, tetapi—.
Sensasi yang tertinggal di telapak tanganku tidak kunjung hilang dengan mudah.
Omong-omong, notifikasi tadi berasal dari Ibu, isinya, “Kalau sudah bangun, balas ya. Mau Ibu siapkan makanan.”
◆◆◆
“Ini jalan yang biasa kita lewati waktu pergi sekolah. Waktu SD.”
“Wah... jadi setiap hari kamu lewat sini, ya.”
Ini hanya jalan biasa, tidak ada yang baru. Seharusnya begitu, tetapi Nagi tampak menikmati pemandangan sekitar dengan penuh minat.
“Kalau aku, waktu SD selalu diantar oleh supir. Jadi, hal seperti ini terasa baru bagiku. Ah, bendera keselamatan lalu lintas ini yang dipakai oleh para sukarelawan, kan?”
“Benar. Dulu ada kakek-kakek yang setiap hari menjaga kami. Kira-kira beliau masih sehat, tidak ya?”
Saat sedang bernostalgia, tiba-tiba sebuah bayangan melesat dari ujung jalan.
“Waf!”
“Uwaah... Haku!”
Itu adalah seekor anjing besar, putih bersih, dan berbulu lebat. Itu Haku.
“...Oh, Souta-kun. Kamu sudah pulang, ya. Pantas saja Haku tiba-tiba berlari.”
“Lama tidak bertemu, Shirayama-san.”
Lalu, dari belakangnya muncul seorang nenek. Beliau adalah Shirayama-san. Syukurlah beliau juga tampak sehat.
“...Eh, umm. Selamat siang.”
“Iya, selamat siang.”
Nagi tampak bingung, jadi sambil mengelus Haku, aku memperkenalkannya.
“Shirayama-san, ini Nagi, pacar sekaligus tunangan saya.”
“Sa-saya Shinonome Nagi. Senang berkenalan dengan Anda!”
“Astaga!? Souta-kun, kamu sudah menikah?”
“Ah, tidak. Masih tunangan... tapi kami berencana untuk menikah suatu saat nanti.”
“Oh, begitu, begitu. Baguslah. Beruntung sekali kamu bisa bertemu dengan gadis secantik ini.”
Shirayama-san tersenyum lebar, dan pipiku pun ikut mengendur.
“Nagi, ini Shirayama-san. Dan anjing ini namanya Haku. Sejak dulu dia sudah jinak padaku.”
“Halo, saya Shirayama. Souta-kun ini sering sekali menemani Haku bermain, lho.”
“O-oh, begitu ya.”
Haku adalah anjing jenis Samoyed dan ukurannya cukup besar. Tapi dia ramah pada manusia, dan sering tersenyum, membuatnya sangat menggemaskan.
“Souta-kun juga sudah besar, ya. Dulu padahal kecil sekali.”
“Iya... padahal baru sekitar dua tahun tidak bertemu.”
Saat aku mengelus-elus Haku, dia menyandarkan wajahnya dengan senang. Aku senang dia masih mengingatku.
“Salaman.”
“Waf.”
“Pintar sekali.”
Haku dengan patuh meletakkan cakarnya di tanganku. Saat aku mengelus bulunya yang lebat lagi, Haku menyipitkan matanya seolah menikmati.
“A-aku juga. Bolehkah aku coba mengelusnya?”
“Tentu, tentu saja. Haku ini ramah, kok. Dia tidak akan menggigit, jadi tenang saja.”
Mendengar kata-kata Shirayama-san, Nagi mengangguk dan berjongkok. Lalu, dia mengulurkan tangannya ke arah Haku. Haku mengendus-endus telapak tangan Nagi... lalu menyandarkan wajahnya. Sepertinya izin untuk mengelus sudah diberikan.
“Pa-permisi!”
Nagi berkata dengan sopan sebelum mulai mengelus kepala Haku.
Detik berikutnya, mata Nagi berbinar-binar.
“Wah... lembut sekali.”
Nagi mengelus kepala Haku, lalu punggungnya... dan memeluknya dengan gemas. Mungkin orang akan berpikir itu berlebihan untuk anjing biasa. Tapi Haku dari dulu memang suka dielus, jadi tidak masalah.
“...Manisnya.”
“Hehe, terima kasih ya.”
Melihat Nagi dan Haku bermain bersama, tiba-tiba sebuah ide terlintas di benakku.
“Shirayama-san, bolehkah kami mengambil foto bersama Haku?”
“Tentu saja. Ambil saja sebanyak yang kalian mau.”
“Terima kasih. Nagi, boleh kita foto?”
“Tentu saja boleh. Nanti aku juga minta tolong difotokan, ya.”
Sambil mengelus Haku, Nagi menatapku dan tersenyum. Haku pun ikut menatapku... dan wajahnya seperti tersenyum. Itulah yang disebut Samoyed Smile.
...Ya. Hasil fotonya bagus sekali.
“Bolehkah aku menjadikannya wallpaper atau foto profil?”
“Tentu! Aku juga berencana begitu!”
Setelah mendapat izin dari Nagi... aku kembali menatap foto itu.
Haku tentu saja, tapi Nagi juga sangat manis... rasanya hanya dengan ini saja aku bisa semangat untuk tahun depan.
◆◇◆
Di waktu yang sama. Kediaman Makisaka.
“...Oh. Pasangan itu mesra-mesraan lagi, ya?”
“Ada apa? Minorin dan Nagirin?”
“Iya. Nih, lihat.”
Saat aku menunjukkan ponselku pada Kirika, ponselku langsung direbut.
“Wah! Lucunya! Anjing apa ini! Nagirin juga imut banget!”
“Kalau tidak salah itu Samoyed? Lihat, foto profil Shinonome sudah jadi Souta, lho.”
“Serius! Wah! Minorin juga kelihatannya senang, ya!”
Sepertinya mereka juga sedang bersenang-senang di sana.
“Kira-kira mereka ketemu di sana, ya? Apa kita bisa ketemu mereka waktu kita ke sana?”
“Entahlah... Yosh, kita juga pergi ke kafe anjing, yuk!”
“Ayo! Pergi! Ah, boleh panggil Hikari juga?”
“Boleh! Panggil saja! Kita kirimi mereka foto-foto kita!”
Syukurlah, sungguh. Sempat terpikir entah akan jadi apa, tapi sekarang mereka bisa tertawa seperti itu.
“...Syukurlah, sahabat.”
“Hmm? Kamu bilang apa?”
“Bukan apa-apa. Cuma bicara sendiri.”
“Hmph... sahabat, ya.”
“Ternyata kamu dengar. Lupakan saja.”
Kirika tertawa senang sambil berkata, “Nggak mau, ah.”
“Eiji juga keren, lho. Waktu itu.”
“...Tentu saja. Aku kan pacarnya Kirika.”
“Wow! Berani juga kamu ngomong gitu! Ya iyalah. Kan pacarku yang paling kubanggakan.”
Melihat Kirika yang tertawa riang, aku sekali lagi melihat foto Souta dan teman-temannya.
“Kalau begini terus, aku bisa salah mengira kamu dan Shinonome waktu mau mengontak,”
Hanya itu yang kukirim. Tak lama kemudian, foto profil keduanya berubah menjadi foto yang sama—foto mereka berdua dengan seekor anjing Samoyed di antara mereka.
◆◇◆
“...Hei, Nagi.”
“Ada apa?”
“Jarak kita tidak terlalu dekat?”
“Bukannya seperti biasa?”
“Itu... memang benar, sih.”
Setelah berpisah dengan Shirayama-san dan Haku, saat berjalan beberapa saat, aku merasakan sesuatu yang aneh. Tidak, menyebutnya aneh mungkin sedikit keliru. Aku merasa aneh karena tidak merasa aneh.
Lebih spesifiknya, Nagi berada pada jarak yang biasanya kami pertahankan di rumah.
Bahu kami bersentuhan, tangan kami bertautan erat... dan dari balik mantel tebal, sesuatu yang lembut menyentuh sikuku. Aku bisa merasakan kehangatan tubuh Nagi dari sisi kananku.
Yang aneh adalah, hal itu sama sekali tidak membuatku sulit berjalan.
Langkah kami secara alami selaras, dan kami bisa berjalan sambil berbincang seperti biasa. Itulah mengapa aku tidak bisa merasakan keanehan. Jarak kami bukan hanya sedikit, tapi sangat dekat. Saat aku berhenti dan menoleh ke kanan, wajah Nagi berada tepat di sana.
“...E-eh, begini. Bagaimanapun juga, ini di luar.”
“Tidak ada orang yang melihat, kok.”
Seperti yang Nagi katakan, daerah ini memang tidak terlalu ramai. Tapi, jika ditanya apakah selalu tidak ada orang, itu meragukan.
“Siapa pun bisa datang kapan saja, lho.”
“Ka-kalau begitu, kita pamerkan saja!”
“Pamerkan katanya...”
Mendengar kata-kata itu, aku tersenyum masam—dan akhirnya aku menyadari maksud Nagi.
Pandangan kami bertemu. Matanya menatapku dengan lembut.
“Kalau pun kita bertemu dengan kenalan Souta-kun, mereka akan langsung tahu. ...Bahwa hubungan kita lebih dari sekadar sepasang kekasih.”
Berhenti sejenak, Nagi berjinjit—dan dengan lembut, mengecup pipiku.
“Dengan dalih seperti itu, kupikir tidak apa-apa melakukan hal seperti ini di luar,” katanya.
“...Nagi, kamu ahli siasat, ya.”
“Hehe. Aku ini cukup licik, lho. Terutama kalau menyangkut Souta-kun.”
Menumpukan dagunya di bahuku, Nagi terkekeh.
“Kalau hanya untuk hari ini, mungkin tidak apa-apa.”
“Iya! ...Tidak hanya hari ini juga boleh, lho.”
“Ja-jantungku tidak akan kuat.”
“Sayang sekali.”
Bertolak belakang dengan kata-katanya, ekspresinya tampak begitu senang. Tanpa sadar, pipiku pun ikut mengendur.
“...Sekolah tinggal lima menit lagi dari sini.”
“Iya!”
Nagi melepaskan wajahnya, dan kami kembali bergandengan tangan.
“Hangat sekali. Tangan Souta-kun.”
Tangan itu diangkat perlahan. Bersamaan dengan itu, tanganku pun ikut terangkat.
Aku merasakan sensasi kenyal di punggung tanganku. Rupanya tanganku ditempelkan ke pipi Nagi.
Omong-omong, saat ini kami tidak memakai sarung tangan. Karena matahari bersinar dan udaranya tidak terlalu dingin. Selain itu... kalau memakai sarung tangan, sensasi saat bergandengan dengan Nagi jadi kurang terasa. Tadinya aku berencana akan memakainya jika cuaca menjadi lebih dingin.
“Punggung tangannya agak dingin, ya.”
“...Mungkin karena terus bergandengan dengan Nagi, jadi telapak tanganku lebih menyimpan panas.”
“Itu juga benar, ya.”
Saat aku menggelitik pipinya dengan ibu jari, Nagi menyipitkan mata dan tubuhnya bergetar senang.
“Agak geli.”
“Maaf.”
“Tidak. Aku senang, kok.”
Nagi kembali memegang tanganku... dan menatap lekat punggung tanganku.
“Nagi?”
“...”
Perlahan, wajahnya mendekat ke tanganku.
Di punggung tanganku, terasa sensasi yang berbeda dari pipinya. Sensasi yang lembut dan hangat.
“Hh...”
“Baiklah. Sekarang, ayo kita benar-benar pergi, Souta-kun.”
Nagi menatap wajahku, mengangguk puas, dan hendak mulai berjalan... seolah menyembunyikan pipinya yang memerah.
“Nagi.”
Aku memanggilnya yang hendak pergi.
“Ada ap—“
Bersamaan dengan dia berbalik, aku menempelkan bibirku di dahinya. Aku bisa merasakan suhu tubuh Nagi melalui bibirku. Agak panas.
“...!”
“A-ayo pergi. Jangan berhenti terus... nanti kalau ada yang lihat bisa aneh.”
“...Iya!”
Akhirnya, kami pun mulai berjalan. Sekali aku melirik Nagi, mata kami bertemu, dan Nagi tersenyum kecil.
—Wajahnya memerah, bahkan sampai ke telinganya.
◆◆◆
“Ini SD tempat Souta-kun dulu bersekolah, ya.”
“Iya. Meskipun cuma SD biasa, sih. ...Mungkin agak kecil?”
“Mungkin juga, ya. Sepertinya lebih kecil dari sekolahku dulu.”
Daerah sini memang tidak terlalu banyak anak-anak. Yah, tapi kurasa sekolah ini tidak akan sampai ditutup.
Yang sedang berlari di lapangan itu sepertinya klub sepak bola. Jumlahnya lebih sedikit dari ingatanku. Seingatku, dulu mereka bekerja sama dengan klub sepak bola lokal untuk berbagai kegiatan.
Saat itu... mataku bertemu dengan seorang Sensei perempuan yang berada di dekat lapangan.
“Orang itu,” gumamku.
Bersamaan dengan itu, orang tersebut berlari ke arah kami.
“...! Benar, kan, Souta-kun.”
Seorang Sensei perempuan yang sangat awet muda. ...Ah. Benar juga.
“Lama tidak bertemu, Nitta-sensei.”
“Lama sekali, ya. Kamu sehat?”
“Iya, tidak pernah sakit parah. sensei juga sepertinya sehat, syukurlah.”
“...Yah, banyak yang terjadi, sih, tapi aku sehat.”
Setelah berbincang sampai di situ, aku melihat Nagi yang tampak gelisah.
“Sensei. Ini tunangan saya, Shinonome Nagi.”
“Sa-saya Shinonome Nagi, seperti yang diperkenalkan. Senang berkenalan dengan Anda.”
“...Tunangan?”
Aku sudah menduga akan ditanya seperti itu, dan baru saja akan membuka mulut untuk menjelaskan... tapi Nagi lebih cepat.
“Ka-kami mengalami berbagai hal. Dan saya akan menghabiskan masa depan saya bersama Souta-kun. ...Karena ada beberapa urusan keluarga juga.”
“Yah, begitulah. Ceritanya panjang.”
“Wah. Jangan-jangan pernikahan politik?”
Mungkin Sensei tidak bermaksud buruk mengatakannya. Tapi, mendengar itu, aku jadi terdiam.
...Dan Sensei pun, melihat wajahku, menunjukkan ekspresi seolah baru saja melakukan kesalahan.
Sementara itu, Nagi yang ada di sampingku—
“Tidak. Justru sebaliknya,” jawabnya dengan tenang.
“Saya sempat berselisih dengan keluarga, dan sebagian besar karena kesalahan saya sendiri, saya hampir saja dijodohkan. Tapi, Souta-kun menghancurkan dan memperbaiki semuanya. Jadi, agar tidak ada lagi perjodohan yang datang, kami...”
Dia tidak menjelaskannya dengan datar. ...Tapi juga tidak sedang menahan rasa sakit.
“Jadi, ini bukan pernikahan politik, melainkan pertunangan untuk mencegah pernikahan politik. ...Meskipun ayah saya yang sekarang mungkin tidak akan menerima perjodohan lagi, tapi ini juga untuk meringankan beban mental saya.”
“...Maafkan aku. Perkataan aku tadi kurang peka.”
“Tidak apa-apa, saya sudah bisa melupakannya. ...Pertunangan ini tentu saja bukan karena terpaksa, saya dan Souta-kun saling mencintai. Lagi pula, saya sudah berjanji pada Souta-kun. Untuk bahagia bersama.”
“Hah,” tanpa sadar, aku menghela napas.
...Dia kuat.
Padahal belum lama sejak kejadian itu, Nagi sudah menjadi sangat kuat. Mungkin karena kami pergi ke taman hiburan sekali lagi, dia jadi bisa benar-benar melupakannya. Dan juga—
“Kamu jadi semakin cantik.”
“Hah?”
“Ah... tidak. Bukan apa-apa.”
Tanpa sadar aku mengucapkannya.
Dibandingkan saat aku hanya memandanginya dari jauh sebelum kami berbicara, sekarang dia terlihat jauh, jauh lebih cantik. Ini bukan hanya perasaanku. Sama sekali bukan.
“Apa aku... jadi lebih cantik?”
“...Ya. Sangat.”
Kalau sekarang, kurasa aku bisa menghabiskan seharian hanya dengan menatap wajah Nagi tanpa menyadarinya... tapi karena kedengarannya agak menyeramkan, aku tidak mengatakannya.
“So-Souta-kun juga... jadi lebih tampan. Bahkan sekarang pun, saat mata kita bertemu, selain merasa tenang... jantungku juga berdebar-debar.”
“Pemandangan ini terlalu menyilaukan bagiku yang sudah berumur tiga puluhan.”
“Aku terkesiap mendengar kata-kata itu, dan ketika aku menoleh ke samping... di seberang pagar, Sensei tampak sedang meneteskan air mata dalam diam.”
“S-Sensei?”
“Maaf, ya. Tahun ini umurku sudah tiga puluh satu, tapi pacar seorang pun tak punya... Hari liburku habis untuk kegiatan klub, jadi aku tidak bisa ikut acara perjodohan, dan tidak ada kesempatan bertemu orang baru...”
“S-semangat ya, Sensei...?”
Sepertinya Sensei juga punya banyak masalah. Padahal kupikir orang sebaik Sensei sudah lama menikah. Aku juga ingat beliau sangat baik padaku.
Saat aku dan Nagi tersenyum kecut mendengar kata-kata Sensei... tiba-tiba, raut wajahnya berubah.
“Dan juga, Souta-kun. Ada sesuatu yang sudah lama mengganjal pikiranku. Sesuatu yang harus kusampaikan padamu. Mungkin ini hanya akan memuaskan diriku sendiri, tapi maukah kau mendengarkannya?”
Dengan ekspresi serius, beliau menatapku. Tanpa ragu, aku menganggukkan kepala.
“Aku adalah Sensei yang gagal... Aku tidak bisa membuatmu melewati tahun terakhir masa sekolah dasarmu yang hanya sekali seumur hidup itu dengan menyenangkan.”
“Bukan begitu—“
“Tidak, memang begitu. Sejak saat itu, aku selalu mengkhawatirkanmu, Souta-kun. Aku merasa bersalah karena tidak bisa membantumu di saat-saat terpenting.”
Dari setiap ujung katanya, terpancar penyesalan yang mendalam.
Saat itu, Nagi mengangkat tangannya sedikit.
“Maaf. Bolehkah aku bertanya sedikit?”
“Tentu.”
Nagi seharusnya belum begitu paham situasinya.
“Kau ingat kan, cerita yang kemarin?”
“...Cerita tentang kau yang sering diejek itu, kan?”
“Iya. Sebenarnya itu sudah terjadi sejak aku SD. Nitta-sensei adalah wali kelasku saat kelas enam, dan beliau banyak membantuku. Beliau sering menegur mereka.”
“...Meski begitu, aku tidak bisa mengubah mereka.”
Memang benar, mereka tidak berubah meskipun sudah ditegur Sensei. Tapi...
“Aku senang sekali, Bu. Kalau tidak ada Sensei, pasti keadaannya akan jauh lebih buruk.”
Kenyataannya, saat kelas enam SD, frekuensi ejekan itu memang sudah berkurang.
“Aku hanya bisa berterima kasih pada Nitta-sensei. Sungguh.”
“Souta-kun...”
“Karena itu, izinkan aku mengatakannya sekali lagi. Terima kasih.”
Aku melepaskan genggaman tangan Nagi sejenak, lalu menundukkan kepalaku.
“Tapi, aku...”
“Sensei. Dalam situasi seperti ini, satu kata saja sudah cukup.”
Mendengar kata-kata Nagi, Sensei terdiam.
Lalu—
“Sama-sama.”
Begitulah jawaban beliau.
“...Sudah berapa tahun ya, aku tidak mengatakan ‘sama-sama’.”
“Di rumahku, aku diajari begitu. Kalau ada yang berterima kasih, terimalah dengan tulus. Katanya, itu akan membuat perasaan jauh lebih baik.”
“Sejak dulu aku sudah berpikir, kau benar-benar tumbuh di keluarga yang baik, ya.”
“Iya. Tentu saja, di keluarga yang sangat baik.”
Kalau saja Ayah dan Ibu tidak ada, mungkin aku sudah salah jalan.
Sensei tersenyum kecil dan menoleh ke arah lapangan.
“Aku harus segera kembali. Kalau bicara lebih lama lagi, bisa-bisa aku dapat keluhan dari orang tua murid. ...Terakhir.”
Sensei menatapku.
“Aku tahu ini semua terjadi karena banyak kebetulan, tapi terima kasih, Souta-kun. Aku senang bisa berbicara denganmu.”
“...Sama-sama.”
Sejujurnya, aku sedikit ragu mengatakan ini pada Sensei. Tapi karena kejadian tadi, pilihan untuk tidak mengatakannya sudah hilang.
“Lalu—Nagi-chan, boleh kupanggil begitu?”
“Iya. Panggil saja sesukanya.”
“Baiklah, Nagi-chan... Nagi-chan.”
Sensei tersenyum lembut pada Nagi.
“Dia adalah salah satu dari lima anak terbaik yang pernah kukenal. Dari lubuk hatiku, aku berharap dia bahagia. ...Dan tentu saja, aku juga berharap Nagi-chan, orang yang dia inginkan untuk berada di sampingnya, juga akan bahagia.”
Nagi mendengarkan kata-kata Sensei dengan saksama.
“Kalian masih sangat muda, jadi kalian akan mengalami banyak hal. Mungkin tidak semuanya menyenangkan. Pasti akan ada hal-hal sedih dan menyakitkan. Tapi, meskipun begitu...”
Sensei tidak berubah sama sekali sejak saat itu.
“Nikmatilah. Jalan panjang yang bernama kehidupan ini... bersama dengannya.”
Kata-kata itu—sama seperti yang beliau ucapkan padaku di hari kelulusan.
“Baik. Akan saya nikmati. Jalan yang sangat panjang ini.”
Nagi menatap lurus ke arah Sensei dan menjawab seperti itu.
“Jika bersama Souta-kun, aku pasti bisa bahagia. ...Aku yakin bisa menjalani hari-hari yang menyenangkan.”
Nagi menatapku dan tersenyum lembut.
“Hari esok akan lebih menyenangkan dari hari ini. Lusa akan lebih menyenangkan dari besok. Karena, aku punya Souta-kun... dan Souta-kun punya aku.”
Tidak ada sedikit pun keraguan di matanya. Hal itu membuatku semakin bahagia. Saat aku meletakkan tanganku di atas kepalanya, Nagi memejamkan mata dengan senang.
“Souta-kun. Caramu mengelus kepalaku seperti ini juga semakin mahir dari hari ke hari, lho.”
“...Benarkah?”
“Iya. Sekarang, saat dielus seperti ini, rasanya senang, bahagia... sampai-sampai aku hampir tertidur.”
Seperti kata Nagi, matanya memang terlihat sedikit mengantuk.
Sensei melihat kami dan tertawa, “Sepertinya kalian sudah paham tanpa perlu kukatakan, ya.”
“Baiklah, aku kembali dulu. Akhir-akhir ini cuaca sangat dingin, jadi jangan sampai kalian berdua masuk angin, ya.”
“Baik. Sensei juga hati-hati.”
Setelah melihat Nagi menundukkan kepalanya sedikit, Sensei kembali ke lapangan.
“...Beliau Sensei yang baik, ya.”
“Iya. Sensei yang sangat baik.”
Nagi menatapku dengan tatapan yang sedikit sendu.
“Nagi?”
“Seperti yang kukatakan kemarin. Aku berharap bisa bertemu dengan Souta-kun jauh lebih awal.”
“...Aku juga pernah berpikir begitu. Tapi kalau begitu, apa kita bisa jadi sedekat ini, ya?”
“Pasti bisa.”
Tanpa jeda, Nagi menjawab kata-kataku.
“Karena, ini adalah aku dan Souta-kun.”
Di matanya—dan juga di wajahnya, tidak ada sedikit pun kesuraman.
“Kau benar juga.”
Pasti... tidak. Aku yakin aku juga akan jatuh cinta pada Nagi pada pandangan pertama. Lalu setelah mengenal sifatnya lebih dalam, aku akan semakin menyukainya.
Aku jadi ingin sedikit melihat dunia yang seperti itu juga, tapi...
“Aku sudah cukup bahagia dengan saat ini. Karena aku bisa bersama Nagi seperti ini.”
“Fufu. Kamu benar juga, ya. Yang pasti, saat inilah yang terbaik.”
Nagi menyilangkan jemarinya dengan jemariku, lalu mulai berjalan.
“Selanjutnya kita mau ke mana?”
“Hmm... SMP juga tidak terlalu jauh, tapi dari sini mal perbelanjaan lebih dekat. Perutku juga sudah mulai lapar, bagaimana kalau kita ke sana?”
“Setuju! Aku juga ingin lihat-lihat baju!”
“Baiklah.”
Sambil berbincang seperti itu... kata-kata Nagi terus terulang di kepalaku.
‘Hari esok akan lebih menyenangkan dari hari ini. Lusa akan lebih menyenangkan dari besok. Karena, aku punya Souta-kun... dan Souta-kun punya aku.’
Aku merasa sangat senang sampai pipiku hampir mengendur.
“Nagi.”
“Kenapa?”
“Aku sangat mencintaimu.”
Saat aku mengeratkan genggaman tanganku sedikit, Nagi membalasnya dengan kekuatan yang sama.
“Aku juga sangat mencintaimu, Souta-kun.”
Hanya sebuah percakapan singkat yang terdiri dari dua atau tiga kalimat.
Hanya dengan itu saja, hatiku menjadi hangat dan dipenuhi oleh kebahagiaan.
∆∆∆
Tentu, ini adalah terjemahannya dalam bahasa Indonesia.
“...! Besar sekali, ya!”
“Di sekitar sini, mungkin ini satu-satunya fasilitas yang besar. Ditambah lagi ini akhir tahun, sepertinya orang-orang juga ramai.”
Jumlah orang yang keluar masuk mal sangat banyak... Mungkin bagi sebagian orang, melihatnya saja sudah membuat muak.
Namun, senyuman Nagi tidak pudar, ia memandangi bagian luar gedung dengan raut gembira.
“Kalau begitu... kita harus berpegangan tangan lebih erat lagi, ya.”
Nagi berkata begitu sambil menggenggam tanganku dengan erat... dan membawanya seakan-akan untuk memeluk dadanya sendiri.
“Kau benar.”
“Iya! Kalau tidak menempel, nanti kita bisa terpisah!”
Meskipun aku berpikir... bukankah itu hal yang wajar, tapi tak bisa dipungkiri aku juga senang bisa melihat senyuman Nagi. Kehangatan Nagi juga ikut tersalurkan, jadi aku tidak bisa menghentikannya.
Yah, untuk hari ini saja mungkin tidak apa-apa.
Seharusnya aku memikirkan waktu dan tempat yang tepat, tapi mulai besok kembali seperti biasa saja mungkin tidak masalah.
...Apa maksudnya “seperti biasa”? Hanya berjalan berdampingan... itu tidak ada bedanya dengan sebelum kami pacaran.
Kalau begitu, berpegangan tangan masih tidak apa-apa? Jika memang begitu, apakah cara kami berpegangan tangan tadi masih termasuk aman? Padahal kami sangat berdekatan.
Tidak bisa. Aku jadi tidak mengerti lagi. Nanti coba kutanyakan pada Eiji.
Saat berpikir sampai di sana, aku menggelengkan kepala.
Tidak baik. Melamun saat sedang bersama Nagi.
Terlebih lagi, melamun saat kami sedang pergi berdua... ini sangat tidak tulus.
Meskipun berpikir begitu, saat aku melihat Nagi yang ada tepat di sebelahku... ia sedang menatapku lekat-lekat. Bibirnya tersenyum tipis.
Kalau kulihat baik-baik, posisi kami juga sudah sedikit bergeser ke pinggir jalan. Mungkin Nagi yang menuntunku agar tidak menghalangi pejalan kaki.
“...Maaf. Aku sedang melamun sedikit.”
“Fufu, tidak apa-apa, kok. Aku juga suka wajah Souta-kun saat sedang berpikir.”
Senyum lembutnya itu membuat jantungku berdebar, dan kata-katanya seolah membelai lembut jantungku yang berdebar itu.
Sampai aku bertemu Nagi, aku hampir tidak pernah... menerima kata-kata penuh kasih sayang seperti ini dari orang lain selain keluargaku. Eiji memang sering mengatakannya sambil bercanda, sih.
Mungkin karena itulah. Rasanya sangat, sangat aneh.
Kata-kata itu membuat jantungku terkejut, denyutnya semakin cepat... namun anehnya, tubuhku terasa hangat secara perlahan, seolah ada kehangatan dari dada yang mengalir mengikuti pembuluh darah.
Saat dipuji keluarga, aku hanya merasa senang. Tapi saat Nagi yang mengatakan kata-kata seperti ini, selain rasa senang, berbagai macam perasaan lain ikut membengkak dan bercampur aduk. Tidak ada satu pun emosi negatif di dalamnya.
...Mungkin ini sudah sangat terlambat, tapi.
“Aku bahagia.”
Aku hanya bisa menggambarkannya dengan satu kata: bahagia.
Aku tidak tahu kata-kata lain. Mungkin kosakata-ku memang kurang.
“Aku juga.”
Jari telunjuk Nagi perlahan menekuk dan mengelus punggung tanganku.
Tidak geli, juga tidak sakit. Nagi hanya terus mengelusnya dengan penuh kasih sayang.
“Mungkin ini kata-kata yang biasa saja... tapi di antara semua waktu selama aku hidup, saat inilah yang paling membahagiakan. Aku bahagia, sungguh.”
Senyum Nagi tidak pernah pudar.
Dulu, aku selalu melihatnya dengan wajah tanpa ekspresi. Tapi, sekarang ia jauh lebih... jauh lebih menawan.
Tanpa sadar aku menatap wajah Nagi lekat-lekat.
Lalu, Nagi sedikit menggembungkan pipinya.
“Akhir-akhir ini, aku kerepotan lho? Saat tidak bisa bertemu Souta-kun... bahkan saat sendirian, aku jadi teringat Souta-kun dan tanpa sadar tersenyum. Kalau tidak menekan pipi seperti ini, senyumnya tidak mau hilang.”
Nagi menekan pipinya dengan tangannya yang satu lagi. Setiap gerak-geriknya terlihat menggemaskan.
“Aku jadi sedikit malu saat Suzaka-san memberitahuku dan aku baru sadar.”
“...Begitu, ya.”
“Tapi, aku tidak benci, kok. Rasanya seperti sedang bersama Souta-kun. Karena itu, aku bisa berusaha keras kapan pun.”
Berusaha keras... ya. Nagi memang selalu berusaha sangat keras. Baik dalam belajar maupun dalam les tari tradisional Jepang.
“...Apa ada sesuatu yang kau inginkan?”
“Sesuatu yang kuinginkan?”
Aku sendiri merasa kata-kataku tadi tiba-tiba. Wajar jika Nagi bingung.
Setelah memiringkan kepalanya sejenak, mata Nagi terbuka lebar seolah baru saja mendapatkan ide.
“Ada satu. Aku menemukannya.”
“Oh, apa itu?”
Kira-kira apa yang Nagi inginkan, ya. Semoga saja sesuatu yang bisa dibeli di sini.
Saat aku menunggu kata-kata Nagi, ia mengetuk-ngetuk punggung tanganku dengan jarinya—dan dengan tatapan matanya, ia memberitahuku untuk mendekatkan telingaku. Saat aku sedikit menundukkan kepala, Nagi melepaskan tangannya, lalu menangkupkan kedua tangannya membentuk corong di telingaku.
“Aku ingin Souta-kun.”
Mendengar bisikan pelan itu—kupikir napasku akan berhenti.
Tidak, napasku benar-benar berhenti. Hanya untuk beberapa detik.
Sementara Nagi... ia tidak tertawa. Ia hanya menatapku lekat-lekat.
Tidak ada kata-kata seperti ‘bercanda, lho’ atau ‘aku bohong’.
“...N-nanti.”
Tenggorokanku tercekat, hampir tidak bisa bersuara. Aku berdeham pelan.
Anggap saja aku tidak melihat sudut bibir Nagi yang terangkat naik.
Lalu, sekali lagi, aku memaksakan diri untuk berbicara.
“Nanti, setelah kita pulang, ya. Di sini banyak orang.”
“...!”
Entah bagaimana aku berhasil menatap matanya dan berkata begitu, Nagi pun membelalakkan matanya. Wajahnya yang pucat pasi perlahan berubah menjadi merah padam. Mulutnya membuka dan menutup dengan panik seolah ingin mengatakan sesuatu, lalu berhenti.
Nagi mengatupkan bibirnya sekali, lalu meraih lenganku.
“Ikut aku sebentar, Souta-kun.”
“...Nagi?”
Padahal mal perbelanjaan sudah ada di depan mata... tetapi, Nagi mulai berjalan ke arah yang sama sekali berbeda.
Sebuah tempat yang berjarak sekitar lima menit berjalan kaki. Di sana, Nagi melihat sekeliling dengan gelisah seolah sedang mencari sesuatu.
“Kalau di sana...”
Aku berjalan sambil ditarik lengannya oleh Nagi. Tempat yang ia tuju ternyata adalah—sebuah gang belakang. Bukan, meskipun disebut gang belakang, tempatnya tidak terlalu dalam, hanya sebuah tempat setelah berbelok dua kali dari jalan besar. Setidaknya tidak ada orang yang melihat.
“Nagi?”
“Maafkan aku. Souta-kun yang tadi itu sangat menggemaskan, aku jadi tidak tahan lagi.”
Nagi melepaskan tangannya sejenak. Kehangatan Nagi masih sedikit tersisa di lenganku.
Mata biru Nagi menatapku lekat-lekat.
“Sudah kuduga sekarang juga aku ingin Souta-kun.”
Nagi menggenggam tangannya dengan erat, seolah mengumpulkan segenap keberaniannya.
“Cium. Tolong cium aku.”
Tanpa sadar aku meragukan pendengaranku sendiri.
“...?!”
“Aku tahu. Kita harus memperhatikan waktu dan tempat yang tepat. Tapi, untuk hari ini... untuk sekarang saja, aku mohon.”
Wajah Nagi memerah panas, dan matanya menyiratkan gairah.
Ini adalah gang belakang. Namun, kami tidak masuk terlalu dalam. Ini adalah tempat yang bisa dilihat jika orang memang ingin melihat, tapi bukan tempat yang sengaja dilihat orang.
Tentu saja, kemungkinan ada orang yang masuk tidaklah nol. Atau lebih tepatnya, jalanan yang sepi berarti tempat itu juga berbahaya.
...Tapi, rasanya kejam juga jika aku membuat Nagi menunggu lebih lama lagi.
Setelah melihat sekeliling sekali untuk memastikan tidak ada siapa-siapa... aku kembali menatap Nagi.
“Nagi. Nanti aku akan menceramahimu, ya.”
“Iya. Marahi aku sepuasnya.”
“Dan aku yang tidak bisa menahan diri ini juga... tolong marahi aku.”
“Walaupun hatiku akan sakit, aku akan berusaha keras memarahimu.”
Aku merengkuhnya dengan tangan kananku agar punggung Nagi tidak membentur dinding, lalu menyatukan bibir kami.
“...Mmh.”
Meskipun kami mengenakan pakaian tebal, kelembutan Nagi terasa meresap ke seluruh tubuhku. Tangan kiri Nagi berkelana, dan saat aku mendekatkan tanganku, jemarinya langsung bertautan erat dengan jemariku.
Napas manis yang keluar dari bibir Nagi menyapu pipiku dan menggelitik telingaku.
Kenikmatan manis menjalar di tulang punggungku, membuatku merinding.
Ini—tidak baik.
“...Sedikit, lagi.”
Sesuai permintaan Nagi, aku kembali menyatukan bibir kami.
Di balik kelopak matanya yang sedikit terbuka, tampak mata birunya yang sayu dan penuh gairah.
“Aku sangat, suka padamu.”
Tidak, baik.
Ciuman di tempat yang tidak biasa. Perasaan bersalah karena melakukan hal terlarang membelai hatiku dan menciptakan kenikmatan yang manis. Fakta bahwa Nagi memintanya meskipun kami berada di luar, membuat otakku mengeluarkan zat kebahagiaan.
Pikiranku menjadi kabur, dan terwarnai oleh Nagi. Dan hal itu—malah membuatku merasa senang.
Meski begitu.
“...Ah.”
Aku melepaskan bibirku dari Nagi. Karena ini tempat yang tidak terkena sinar matahari, udara yang lembap memenuhi paru-paruku.
Tapi justru karena itulah, pikiranku menjadi lebih jernih.
Untuk sesaat kami hanya saling menatap. Gairah di mata birunya perlahan memudar.
“...M-maafkan aku.”
“...Tidak. Aku juga kaki tangannya.”
Ini bukan berarti hanya Nagi yang salah. Aku juga telah memberinya izin.
“Untuk sekarang, ayo kita kembali. Tempatnya tidak bagus.”
“B-baik!”
Aku menggandeng tangan Nagi dan keluar dari gang belakang itu. Untungnya, kami bisa keluar dari sana tanpa terjadi apa-apa.
“U-umm... aku benar-benar minta maaf.”
“Jangan minta maaf. Aku juga punya tanggung jawab.”
Meskipun aku berkata begitu, awan di mata Nagi tidak kunjung hilang.
“T-tapi.”
“Aku juga... senang karena Nagi memintanya. Tapi, itu urusan lain. Tempat sepi seperti tadi itu berbahaya. Mari kita sama-sama berhati-hati.”
“B-baik.”
Kali ini kami beruntung tidak bertemu siapa pun, tapi kalau sampai ada yang melihat... apalagi kalau yang melihat itu berandalan, aku jadi tidak tenang memikirkannya.
“Iya, ya. Sebenarnya, aku tahu kalau hari ini akan baik-baik saja. Tapi aku akan berhati-hati.”
“...?”
Aku tidak begitu mengerti apa maksudnya hari ini akan baik-baik saja, tapi Nagi memeluk lenganku dengan erat dan mulai berjalan.
“Kalau begitu, ayo kita pergi.”
“Ah, iya... Awalnya mau bagaimana? Ada banyak pilihan. Mau lihat baju, makan, atau yang lainnya.”
“Karena waktunya sudah pas, bolehkah kita makan dulu?”
“Baiklah. Pilihan makannya juga banyak, ayo kita putuskan sambil lihat peta bersama.”
“Iya!”
Meskipun banyak hal yang terjadi, akhirnya, kami berhasil masuk ke dalam mal perbelanjaan.
◆◆◆
“Mmh...”
Nagi sedang berjuang keras menghadapi hamburger. Entah karena kertas pembungkusnya yang tidak mau diam, ada sedikit saus menempel di ujung hidungnya.
“Nagi.”
“Ah, terima kasih... Enak sih, tapi sulit sekali makannya.”
Saat aku menyeka ujung hidungnya dengan tisu, pipi Nagi memerah. Padahal ia sangat rapi saat makan ikan, tapi sepertinya ia tidak pandai makan makanan seperti ini. Menggemaskan.
Meskipun begitu, dulu aku juga seperti Nagi, jadi aku menahan diri untuk tidak tersenyum terlalu lebar.
“Tapi, Nagi belum pernah makan hamburger, ya. Entah kenapa aku bisa mengerti, sih.”
“Citra makanan tidak sehat sepertinya lebih dulu muncul, ya. Tapi meskipun belum pernah makan, kurasa aku bisa membuatnya kalau mau. ...Lain kali mau kubuatkan?”
“...Aku penasaran dengan hamburger buatan Nagi. Tentu saja, aku mau.”
“Fufu, baiklah. Kalau begitu ayo kita buat saat liburan musim dingin nanti.”
Bersama dengan janji itu, kami melanjutkan makan. Omong-omong, Nagi sempat makan beberapa potong kentang goreng dan menunjukkan raut sedikit tidak suka sambil berkata, ‘Ini... kadar garamnya agak kuat, ya’, jadi aku menukarnya dengan nugetku. Kentangnya memang terasa sedikit lebih asin.
Saat kami sedang makan—entah kenapa, aku jadi sedikit khawatir dengan tatapan orang-orang di sekitar.
Pujasera itu penuh dengan orang karena bertepatan dengan jam makan siang. Kehadiran Nagi di tengah keramaian itu sangat mencolok. Terlebih lagi... di sekitar sekolah Nagi cukup terkenal, tapi di daerah ini wajahnya mungkin baru pertama kali dilihat. Tua, muda, pria, dan wanita, semuanya memperhatikan Nagi.
Untungnya, sepertinya tidak ada kenalanku.
“...Nagi, kurasa tidak apa-apa, tapi usahakan jangan terlalu jauh dariku, ya.”
“Tentu saja.”
Meskipun aku bilang tua, muda, pria, dan wanita memperhatikannya, tapi tatapan dari orang-orang muda yang terlihat seperti pelajar memang terasa lebih kuat. ...Kalau hanya sekadar ‘orang itu cantik, ya’ sih tidak masalah. Tapi banyak juga laki-laki yang melontarkan ucapan yang sedikit tidak senonoh. Kalau saja Nagi di sini sendirian, aku yakin sembilan dari sepuluh kemungkinan ia akan digoda.
“Maaf, Nagi. Aku tidak menyangka kau akan semenarik ini.”
“Jangan khawatir, Souta-kun. Bisa dibilang ini sudah biasa, kok.”
“Tapi...”
Secara perasaan, ini sama sekali bukan hal yang menyenangkan. Nagi terkekeh mendengar kata-kataku.
∆∆∆
“Kalau begitu, Souta-kun.”
“Ada apa?”
“Tolong buka mulutnya. Aku akan menyuapimu ‘a~n’ seperti biasa.”
Aku sempat terkejut sesaat mendengar kata-kata Nagi... tapi aku langsung mengerti maksudnya.
Aku pun patuh membuka mulut. Lalu, Nagi tersenyum—dan memasukkan nuget yang sudah ia gigit sebagian ke dalam mulutku. Bukan dengan cara melemparkannya, tapi ia benar-benar memasukkan jarinya ke dalam mulutku.
“Enak? Souta-kun.”
“...Iya. Enak.”
Tentu saja, biasanya kami tidak sampai sejauh ini. Ia tidak pernah sengaja menyuapiku makanan yang sudah ia makan sebagian, apalagi sampai mendorongnya dengan jari ke dalam mulutku. ...Lagipula, biasanya kami jarang sekali makan hidangan yang harus dimakan dengan tangan.
Dan, cara ini ternyata sangat efektif. Suasana di sekitar menjadi riuh, dan terdengar beberapa suara yang terdengar kecewa. Walaupun kami jadi pusat perhatian, tatapan-tatapan itu tidak lagi berisi niat buruk seperti sebelumnya.
“S-Souta-kun.”
“...Nagi?”
Namaku dipanggil lagi, dan tanpa sadar aku balas memanggil namanya. Entah kenapa aku merasa dejavu.
“T-tolong, aku juga mau satu potong kentang.”
“Boleh?”
“Iya. Kalau banyak sepertinya kurang cocok untuk tubuhku, tapi kalau satu potong masih dalam batas yang bisa kunikmati.”
“Baiklah.”
Aku mengambil sepotong kentang goreng dan menyodorkannya pada Nagi. Orang-orang di sekitar menatap kami dengan pandangan seolah berkata, ‘seriusan, nih’... aku sendiri bisa merasakan wajahku memanas. Wajah Nagi juga memerah. Tapi kami tidak berhenti... perlahan ia mendekatkan wajahnya.
Namun, di sini terjadi sedikit salah perhitungan. Aku mengira Nagi akan menggigit kentang itu di bagian tengahnya... tapi ternyata Nagi menggigitnya dengan lebih bersemangat dari yang kuduga.
Singkatnya, apa yang ingin kukatakan adalah. Bibir Nagi menyentuh jariku. Rasanya lembut... seolah-olah, ia mencium jariku.
Sepertinya Nagi juga tidak menduga sampai sejauh itu, gerakannya pun membeku. Keheningan menyelimuti kami selama beberapa detik.
Setelah itu, wajah Nagi langsung memerah padam dan ia menjauhkan diri dari jariku. Ia mengunyah kentang itu baik-baik lalu menelannya sebelum membuka mulut; mungkin ini adalah hasil dari kepribadian dan didikan keluarganya.
“M-maafkan aku.”
“T-tidak, aku tidak apa-apa, kok.”
Jantungku berdebar kencang. Mungkin tidak akan jadi seperti ini kalau kami di rumah. Sekarang kami berada di luar, dan terlebih lagi dalam situasi yang menjadi pusat perhatian.
“G-gila... bikin iri aja.”
“Kyaa, lihat nggak? Eh, kamu lihat yang barusan, kan? Dia cium jarinya, kan!”
“Berani juga, ya. Pasangan yang masih polos itu menggemaskan, ya...”
“Lu-lucu, apa itu, lucu bangeeet!”
Suara-suara di sekitar terasa begitu bergema di gendang telingaku. Wajahku, wajahku terasa sangat panas.
“...E-enak, ya.”
“I-iya, ya.”
Entah bagaimana aku berhasil membalas gumaman Nagi yang berusaha mengubah suasana, lalu menghabiskan sisa hamburgerku.
Meski begitu, panas di wajahku tidak kunjung reda, dan jantungku yang berdebar kencang juga tidak mau tenang. ...Padahal tadi, kami juga sudah berciuman meskipun di tempat yang tidak ada orang. Biasanya kami juga berpelukan, atau setidaknya berpegangan tangan saat di luar.
Tapi—saat tanganku hendak mengambil minuman, tanganku menyentuh tangannya, dan kami berdua sama-sama terlonjak kaget. Minuman kami diletakkan berdekatan, dan kebetulan kami hendak mengambilnya di waktu yang bersamaan.
“M-maafkan aku.”
“Tidak... hal seperti ini jangan dipikirkan. Kita berdua.”
Sambil berusaha untuk tidak mendengarkan suara-suara di sekitar, aku membasahi mulutku yang kering dengan minuman.
“...Aku.”
Nagi juga meminum minumannya, lalu berbisik pelan. Mungkin dengan suara yang hanya bisa kudengar.
“Itu, kita kadang-kadang melihatnya, kan. Orang-orang yang tidak peduli dengan tatapan orang lain... itu. Berciuman, atau berjalan sambil merangkul pinggang pasangannya.”
“Ah, iya. Ada, ya.”
“Orang-orang itu hebat sekali, ya. ...Bagi aku, setidaknya untuk sekarang sepertinya sulit.”
“...Orang-orang seperti itu mungkin tidak apa-apa karena sudah masuk ke dunia mereka berdua, kan? Lagipula yang seperti itu... aku juga merasa agak sulit melakukannya.”
Aku sih hanya berpikir ‘hebat, ya’, tapi mungkin ada orang yang merasa tidak nyaman melihatnya.
Dan juga—
“Aku... tidak terlalu ingin berciuman di luar.”
“Eh, kenapa? Apa karena ada orang lain yang melihat?”
“Begitulah. Dan juga...”
Aku tidak bisa menemukan kata-kata yang tepat, jadi aku berdeham sekali sebelum melanjutkan.
“Aku tidak terlalu ingin memperlihatkan sisi imut Nagi pada orang lain.”
“...!”
“Rasa posesif, mungkin. Maaf.”
Mengatakannya lagi membuatku malu, aku pun menutupi wajah dengan tangan dan menunduk.
“B-begitu, ya. ...Tidak, aku senang. Itu, sangat senang.”
Mendengar kata-kata itu, aku mengangkat wajahku sejenak dan melihat Nagi menyeka bibirnya dengan tisu saku, lalu menutupi mulutnya dengan lengan bajunya agar tidak terlihat orang lain.
“Maafkan aku. Aku terlalu senang, rasanya aku bisa gila.”
“...Begitu, ya.”
Kami berdua tetap dalam posisi seperti itu untuk beberapa saat.
Sepertinya butuh waktu agak lama sampai panas di wajahku dan Nagi mereda.
◆◆◆
Setelah selesai makan siang, kami mendatangi sebuah toko pakaian di dalam mal perbelanjaan.
“Souta-kun lebih suka yang mana?”
Nagi menunjukkan sebuah mantel tebal berwarna putih bersih dan sebuah kardigan berwarna cokelat. Mantel tebal itu memiliki tudung dengan hiasan bulu putih di tepinya.
“Kalau lebih suka kardigan, kurasa topi rajut yang ini cocok.”
Lalu Nagi menunjukkan sebuah topi rajut hitam. Setelah matanya bergerak-gerak memilih di antara keduanya, ia mengarahkan pandangannya padaku.
Matanya seolah berkata bahwa ia ingin aku yang memutuskan.
Sejujurnya aku ingin mengatakan keduanya cocok untuknya, tapi kurasa bukan itu jawaban yang ia inginkan saat ini.
“Menurutku kardigan dan topi rajut itu akan cocok untuk Nagi.”
“Baik! Kalau begitu aku akan mencobanya. ...Ah, maaf. Bisa tolong kembalikan mantelnya ke tempat semula?”
“Oh, baiklah. Tapi apa tidak apa-apa?”
“Tentu. Aku juga merasa yang ini lebih cocok untukku.”
Aku mengangguk mendengar kata-katanya dan menerima mantel itu. Setelah itu, Nagi masuk ke dalam kamar pas.
Aku mengembalikan mantel itu ke tempatnya semula dan menunggu di depan kamar pas.
Di dalam toko ramai oleh pengunjung, dan karena area ini menjual pakaian wanita, sebagian besarnya adalah wanita. Meskipun aku merasa sedikit canggung, menunggu Nagi sama sekali bukan waktu yang tidak menyenangkan.
Tiba-tiba, seorang pegawai toko wanita mendekatiku.
“Pacarnya cantik sekali, ya.”
“Pa-pacar... ah, terima kasih. Itu, sebenarnya dia kekasih sekaligus calon tunanganku.”
Mungkin tidak perlu diralat, tapi aku terlanjur mengatakannya. Kupikir, kalau Nagi mungkin akan berkata seperti itu.
Mendengar kata-kataku, pegawai toko itu mendekat dengan antusias.
“Calon tunangan, ya? Kulit dan rambutnya indah sekali... Tadi bahasa Jepangnya juga fasih sekali, apa dia orang asing? Di mana kalian bertemu?”
“T-tidak, itu. Dia lahir dan besar di Jepang, kok.”
Pegawai toko ini antusias sekali, ya.
Kalau dipikir-pikir, Eiji pernah bilang.
‘Wanita itu, berapapun usianya, adalah makhluk yang suka dengan cerita cinta...’
Katanya. Seingatku, ia pernah bilang kalau suasana jadi heboh saat ia memberitahu di pertemuan tahun baru bahwa ia sudah berpacaran dengan Nishizawa. Mereka berdua ikut pertemuan keluarga masing-masing untuk mengincar angpau, tapi akhirnya malah ditanyai macam-macam.
“Kalau boleh tahu, apa yang membuat calon suami jatuh cinta pada calon istrinya?”
“Ca-calon suami...”
Suatu saat nanti mungkin akan begitu... tidak, pasti akan begitu.
Meskipun aku tahu ini hanyalah basa-basi untuk melayani pelanggan, tapi rasanya geli juga saat benar-benar dipanggil seperti itu.
Saat aku bingung harus berbuat apa, pegawai toko itu melanjutkan kata-katanya dengan wajah berbinar.
“Akan saya bawakan pakaian yang sesuai dengan selera calon suami! Tolong! Tolong ceritakan!”
Tekanannya luar biasa. Tanpa sadar aku mundur selangkah.
Yah... sedikit saja mungkin tidak apa-apa. Nagi juga sepertinya belum akan keluar, dan selama tidak melanggar privasinya, kurasa tidak masalah.
“Emm, ada banyak hal sih. Tapi awalnya, aku jatuh cinta pada pandangan pertama.”
Lagipula, bagus juga kalau pegawai toko bisa membawakan pakaian yang direkomendasikan.
Aku awam soal fesyen, dan Nagi sepertinya juga tidak terlalu percaya diri. Karena itu, kami tadi sempat berdiskusi untuk membeli beberapa pakaian yang direkomendasikan oleh pegawai toko.
Kami memang ingin memilih berdua dengan santai, tapi tidak ada salahnya juga melakukannya setelah mendengar rekomendasi dari pegawai toko.
Dan mungkin, dari posisi pegawai toko tadi, sepertinya ia mendengar percakapan kami. Mungkin karena itulah ia menghampiriku. Bagaimanapun juga, ia sedang bekerja. Kalau aku bercerita sedikit, ia pasti akan puas dan memilihkan pakaian yang direkomendasikan.
...Begitulah yang kupikirkan saat itu.
“Matanya yang biru seperti lautan, dan rambutnya yang seputih salju. Kulitnya juga sangat indah, awalnya aku sampai tidak bisa berhenti memandanginya.”
“Hm, hm. Ada lagi!?”
“I-itu, ya. Awalnya aku hanya berpikir dia cantik, tapi setelah beberapa lama memperhatikannya, aku jadi tahu kalau hatinya juga cantik dan baik. Saat berinteraksi dengannya, ternyata ada sisi imutnya juga.”
“Begitu, ya!? Itu yang namanya gap moe, ya!”
...Kupikir kalau aku sudah bercerita sebanyak ini, pasti sudah cukup.
“Ada lagi! Apa tidak ada yang lain!”
Namun. Pegawai toko itu mendekat dengan napas terengah-engah, seolah berkata masih belum cukup, dan terus bertanya padaku.
◆◇◆
“Lalu, dia tidak pernah berhenti berusaha. Di situlah aku kembali jatuh cinta... atau lebih tepatnya. Aku suka melihat orang yang sedang berusaha keras. Terutama saat melihatnya berusaha keras, ia terlihat semakin cantik.”
“Luar biasa, ya! Calon istrinya! Sudah secantik itu tapi tidak pernah berpuas diri dan terus berusaha! Menurut saya itu benar-benar mengagumkan!”
...Semuanya.
Semuanya, terdengar. Souta-kun. Aku bisa mendengarnya.
Pipiku yang terasa panas ini jelas bukan karena pemanas ruangan.
Dipuji oleh Souta-kun itu rasanya sangat senang.
Senang, tapi.
Rasa malu yang sama besarnya berputar-putar di kepalaku.
Aku bisa menebak alasan Souta-kun mau bercerita. Mungkin karena tadi kami sempat bicara untuk meminta pegawai toko memilihkan beberapa pakaian untuk kami.
Ia pasti menceritakannya karena ia ingat dengan baik tentang hal itu.
Ia hanya menceritakan kesannya tentangku agar privasiku tidak digali terlalu dalam. Hampir tidak ada episode spesifik yang diceritakan. Tetapi...
“Bukan begitu, Souta-kun.”
Aku bergumam di dalam mulut. Agar suaranya tidak terdengar keluar.
Kurasa Souta-kun berpikir ini adalah basa-basi dari pegawai toko. Memuji pasangan pelanggan agar dompet mereka lebih longgar. Memang, alasan itu mungkin tidak sepenuhnya salah.
Tapi pegawai toko itu mungkin hanya ingin mendengar cerita dengan dalih pekerjaan. Aku tahu karena aku juga sering ditanyai di sekolah. Anak perempuan lebih sering datang untuk bertanya daripada anak laki-laki. ...Mungkin karena banyak anak laki-laki yang menatapku dengan aneh, dan Hayama-san selalu mengusir mereka.
Tapi kalaupun itu dikesampingkan, kebanyakan anak perempuan pasti suka mendengar cerita tentang percintaan.
Mungkin Souta-kun sudah sedikit menduganya. Tapi sepertinya Souta-kun tidak tahu seberapa sukanya anak perempuan dengan cerita semacam ini. Mungkin di sekolah, Sakasaka-san yang biasanya menangani hal ini.
“Ba-bagaimana ini.”
Aku benar-benar kehilangan waktu yang tepat untuk keluar.
Kalau begini terus, mungkin aku harus terus mendengarkannya memujiku. Sampai Souta-kun kehabisan kata-kata untuk menyebutkan hal-hal yang ia... su-sukai dariku. Mungkin ia akan berusaha bercerita sampai sejauh itu. Mungkin.
Aku tidak tahan. Bukan hanya wajahku, tapi seluruh tubuhku menjadi merah padam.
Saat itulah.
“Hei! Kau, lagi-lagi mengganggu pelanggan!”
“Kya! ...T-tidak, bukan begitu. Aku hanya memahami selera pelanggan! Manajer!”
Manajer.
Kata itu membuatku mengerti segalanya.
“Bagaimana bisa seorang pelayan menyusahkan pelanggan? ...Haa. Kau sudah mencari tahu selera mereka, kan? Cepat siapkan pakaian yang cocok untuk pelanggan!”
“Baik!”
Terdengar langkah kaki yang cekatan, lalu suara napas lega dari wanita itu.
“Mohon maaf. Anak itu, kalau melihat pasangan atau suami istri, dia langsung ingin bicara dengan mereka. ...Tapi selera busananya bagus, jadi tolong percayai dia dalam hal itu.”
“Y-ya, terima kasih.”
Keheningan singkat. Setelah itu... terdengar suara Souta menarik napas.
“A-apa semuanya terdengar, Nagi?”
Aku membuka tirai. Souta ada tepat di depanku.
Souta langsung hendak menundukkan kepala, tapi aku menghentikannya dengan tatapan mata.
Aku tahu. Souta tidak salah.
Tidak salah, tapi.
“...Souta jahat.”
Untuk menyampaikan rasa maluku, aku mengatakannya tanpa menyembunyikan wajahku yang memerah.
∆∆∆
Pikiranku berhenti.
“...Souta jahat.”
Mata itu sedikit berkaca-kaca. Pipinya merah padam, dan bibirnya sedikit bergetar.
Dia lebih malu daripada kejadian di food court tadi.
Aku tahu aku tidak boleh merasakan perasaan ini—tapi aku berpikir, dia lucu.
“Kamu jahat, Souta-kun.”
“I-iya, itu, ya.”
Aku mencoba menjawab kata-kata yang diucapkan ulang itu, tapi pipiku seolah-olah akan melengkung... kepalaku juga tidak bisa berpikir, dan kata-kata tidak bisa keluar dengan baik.
“Sudah, Souta-kun...”
Mungkin aku bersyukur karena bisa merasakan sesuatu selain kemarahan dalam ekspresinya itu.
Nagi memberi isyarat padaku. Aku mendekat selangkah, lalu dia menunjuk bahuku, meminta untuk mendekatkan telinga.
Aku menurut dan mendekatkan telingaku. Seperti tadi, Nagi membuat saluran suara dengan kedua tangannya yang dibentuk seperti tabung dan menempelkannya ke telingaku.
“Pulang nanti—“
Getaran dingin menjalar di punggungku.
Suara Nagi sangat indah. Ringan dan jernih seperti lonceng yang bergulir, nyaman didengar. Suara yang ingin kudengar selamanya... tapi.
“Bersiaplah. Setelah kita pulang, ini giliranku.”
Suara yang bercampur dengan napasnya melewati telingaku dan menggelitik otakku.
Sensasi menyenangkan yang menusuk-nusuk menjalar di punggungku, dan karena itu, semua bulu romaku berdiri.
“Na-Nagi. I-itu...”
“......!”
Nagi mendengar kata-kata yang berhasil kuucapkan, menatapku... dan tertawa kecil.
Napasnya menyentuh telingaku, membuatku ingin gemetar.
“Souta-kun, telingamu lemah, ya?”
Tangan Nagi perlahan membelai punggung tanganku. Rasa geli dan... sesuatu yang bercampur di dalamnya membuat bulu kudukku merinding. Punggung tangan itu dengan lembut—
“Fufu. Aku tahu hal yang menarik.”
Dan akhirnya Nagi menjauh.
Aku hanya merasakan firasat yang sangat, sangat buruk. ...Apakah aku akan bisa bertahan malam ini? Aku harus bertahan. Bertahanlah, rasionalku.
“Muda sekali, ya.”
Nagi terkejut mendengar kata-kata manajer toko. Dia berdeham kecil.
“...M-maafkan aku, Souta-kun.”
Nagi kembali menatapku dan berputar satu kali.
“Sekali lagi, bagaimana menurutmu? Apa ini cocok untukku?”
“...Ya. Kurasa sangat cocok.”
Warna kardigan menonjolkan suasana tenang Nagi, sementara topi kupluk hitam sedikit memancarkan suasana kekanak-kanakan.
“Kurasa Nagi itu cantik, jadi apa saja cocok untuknya. Tentu saja ada yang paling cocok di antara semuanya.”
“Fufu. Terima kasih.”
Itu bukan basa-basi sama sekali. Itu adalah perasaanku yang sebenarnya.
Mengenakan pakaian berwarna kalem akan menonjolkan kedewasaan Nagi dan membuatnya terlihat lebih cantik.
Sebaliknya, kurasa gaun dengan warna yang cenderung manis juga akan cocok. Gaya kasual juga... suasananya pasti akan sangat berubah, tapi kurasa tetap akan cocok.
“Oh, ngomong-ngomong, jangan khawatir soal uang. Ayah bilang aku boleh membeli sebanyak yang aku suka, jadi aku punya uang tunai. ...Meskipun begitu, karena uang tunai berbahaya, jadi pakai kartu.”
“Begitukah?”
“Aku tidak terlalu punya keinginan membeli barang sampai sekarang. ...Tentu saja, aku tidak berniat boros. Tapi membeli beberapa pakaian musim dingin tidak masalah sama sekali. Hari-hari dingin masih akan berlanjut.”
Aku juga tidak berpikir Nagi akan boros.
Nagi mengangkat sedikit sudut mulutnya dan melanjutkan.
“Ayah bilang saat aku sedang menyiapkan barang, ‘Tugas pelajar adalah bersenang-senang. Ayah bekerja agar keluarga tidak kekurangan’.”
Ayah mertua, Souta, menggunakan kata ganti orang pertama ‘Ayah’ di depan Nagi.
Di saat yang sama aku berpikir begitu, aku juga merasa itu adalah kata-kata khas Ayah mertua.
“Kamu dipercaya, ya.”
Meskipun itu hal yang wajar, aku jadi senang dan mengatakannya.
Ayah mertua tahu bahwa Nagi melakukan studinya dengan baik dan tidak boros uang. Ia memberikannya karena ia tahu Nagi memiliki rasa tanggung jawab yang kuat. Tentu saja, mungkin juga ia murni hanya mempercayai Nagi sebagai keluarganya.
Bagaimanapun, Ayah mertua juga benar-benar memperhatikan Nagi.
Aku senang mengetahuinya.
“Ya!”
Nagi juga mengangguk sambil tersenyum.
Setelah itu, Nagi mencoba berbagai pakaian... lalu, aku juga mencoba berbagai pakaian di toko pakaian pria.
Tidak terasa, hari sudah sore.
Aku berjanji pada Nagi untuk pergi ke berbagai tempat lagi besok, lalu kami pulang.
Hari ini adalah hari yang menyenangkan. Kari buatan ibu untuk makan malam juga enak.
Namun, aku cukup banyak berjalan sehingga kakiku tanpa sadar terasa lelah. ...Yah, aku berjalan terus sejak pagi, dan sorenya juga berkeliling toko pakaian, topi, dan tas. Hampir sepanjang waktu aku berjalan atau berdiri, jadi wajar jika aku lelah.
Karena itu, mandi terasa sangat nyaman. Rasanya semua kelelahan keluar dari tubuhku, sampai-sampai aku sedikit mengantuk. Aku memijat kakiku sendiri untuk menghilangkan kantuk, tapi tidak terlalu efektif.
“Fiuh. Airnya enak sekali.”
“Fufu. Selamat beristirahat, Souta-kun. Terima kasih sudah menemaniku banyak hari ini.”
“Sama-sama. ...Tapi, aku juga bersenang-senang, kok. Aku juga bisa pergi ke tempat-tempat yang sudah lama tidak kukunjungi, jadi kita impas. Aku yang seharusnya berterima kasih.”
“Fufu, sama-sama.”
Nagi sudah mandi duluan, jadi dia sudah memakai piyama seperti biasa. Dia duduk di tempat tidur dan menepuk-nepuk tempat di sebelahnya dengan lembut. Aku duduk di sebelah Nagi seperti yang diminta.
“Souta-kun.”
Mata birunya menatapku. Mata sebiru laut yang tak berujung. Saat ditatap, rasanya aku bisa tenggelam sampai ke dasar. Tapi aku tidak meronta. Aku bahkan tidak bisa berpikir untuk meronta. Aku tenggelam sampai ke dasar karena... tempat itu sangat nyaman dan menerima. Aku ingin menyerahkan diriku.
Mata itu sedikit tertutup... dan berhenti di sana. Nagi tersenyum tipis dan menyipitkan matanya.
“Kamu ingat apa yang kukatakan siang ini, kan?”
“...Siang?”
“Ya!”
Di benakku ada wajah pelayan toko itu. Pelayan toko yang banyak bicara.
Dan, pada saat yang sama, yang teringat adalah... aku memuji dia habis-habisan di depan Nagi. Dan, kata-katanya, ‘Setelah kita pulang, ini giliranku.’
“Ah—. Ngomong-ngomong, bagaimana kalau aku bilang aku lupa?”
“Aku akan mengingatkannya. ...Malam masih panjang, kok. Kita punya banyak waktu, jadi aku akan mengingatkanmu pelan-pelan.”
Senyum manisnya tidak bisa dibantah. Sepertinya aku harus menyerah dengan patuh. Yah, bukan berarti aku benar-benar berniat bilang aku lupa sih.
“Sa-sangat bercanda. Aku ingat kok.”
“Baguslah kalau begitu. Tapi, sebelum itu.”
Nagi berkata begitu dan melepaskan tangannya dari tanganku. Tangannya menepuk-nepuk pahanya sendiri.
“Bagaimana kalau kita bersihkan telingamu?”
Dan, di tangan yang selama ini tersembunyi, tergenggam sebuah korek kuping.
“...Eh? Sejak kapan?”
“Sebenarnya aku membawanya. Aku ingin membersihkan telinga Souta-kun selama di sini.”
Nagi berbicara dengan bangga. Aku kebingungan dengan kejadian yang tiba-tiba ini. Namun, Nagi tetap mempertahankan senyumnya. Dia menepuk-nepuk pahanya lagi.
“Kemarilah, Souta-kun. Atau, kamu lebih suka dipaksa?”
Tawa kecil keluar dari bibir lembutnya.
Aku tidak bisa menang. Meskipun kupikir ini bukan soal menang atau kalah. Mungkin, apa pun yang kukatakan, tidak ada cara untuk kabur dari Nagi sekarang. ...Aku sendiri juga kurang memiliki keinginan untuk kabur.
Aku membalikkan badan, membelakangi Nagi. Awalnya aku berniat meletakkan kepala sejauh mungkin dari tubuh bagian atas Nagi, tapi tangannya menuntunku sehingga kepalaku berakhir di bagian tengah pahanya.
“Ti-tidak berat, kan?”
“Tidak berat sama sekali. Aku lebih kuat dari yang Souta-kun bayangkan, tahu. Berikan lebih banyak bobot. Nanti lehermu pegal, lho?”
Yang menyentuh pipiku hingga telinga adalah sentuhan yang lembut dan empuk. Itu piyama Nagi.
Nagi dengan lembut membelai pipiku.
“Kalau tidak cepat, nanti kugelitikin, lho?”
Aku tersentak mendengar kata-kata itu dan mengendurkan otot leherku. Namun, Nagi terus membelai pipiku. Sepertinya dia tahu segalanya tentang diriku... Sekali aku melihat ke arah Nagi, mata birunya seolah mengatakan untuk melepaskan semua ketegangan.
Aku menurut dan benar-benar melepaskan semua ketegangan. Kemudian, Nagi mengangguk puas dan meluncurkan tangannya ke telingaku.
“Kalau begitu, mari kita mulai membersihkan telingamu, ya?”
“...Tolong.”
Jujur, ini sangat memalukan. Tapi, mendengar suara Nagi yang terdengar senang, aku tidak bisa menolak... Meskipun aku mencoba membuat alasan, perasaan yang bergejolak di lubuk hatiku bukan hanya rasa malu.
Dia sedang memangku kepalaku di pahanya—mana mungkin aku tidak senang?
Perlahan, korek kuping ditekan ke tepi telingaku. Dari situ, korek kuping itu perlahan menelusuri alur-alur di dalamnya.
“Kalau sakit, bilang ya.”
“Oke.”
Suara Nagi bergema di ruangan yang hening, dan korek kuping itu masuk lebih dalam ke telingaku.
“Uh...”
Sensasi yang berbeda dari yang kubiasakan. Sensasi geli bercampur dengan sesuatu yang lain membuatku hampir mengeluarkan suara.
“Fufu.”
Tentu saja Nagi menyadari hal itu... Aku hanya menggerakkan mata untuk melihat Nagi, dan dia tampak tersenyum tipis.
“Tidak apa-apa, lho? Tidak perlu menahan suaramu. Hanya aku yang mendengarnya.”
“T-tidak. Itu memalukan.”
“Begitukah? Sayang sekali.”
Nagi berkata, “Kalau begitu, aku lanjutkan, ya,” dan menggerakkan tangannya.
“Mmm...”
Korek kuping menggelitik bagian dalam telingaku. Meskipun sesaat aku mengeluarkan suara, setelah itu aku sedikit demi sedikit terbiasa. Dan akhirnya, rasa geli berubah menjadi rasa nyaman.
Kriuk... kriuk, dan. Sedikit demi sedikit, telingaku dibersihkan dengan hati-hati.
Sisi tangannya diletakkan di pipiku, dan dari situ, suhu tubuh Nagi menjalar.
“Nyaman.”
“Baguslah.”
Tentu saja ada rasa malu. Tapi, lebih dari itu, terasa nyaman. Perasaan seperti ini tidak akan tersampaikan jika tidak diucapkan.
Nagi sesekali menghentikan tangannya, dan setiap kali itu, dia membelai pipiku. Dilingkupi oleh kehangatan manusia yang berbeda dari pemanas ruangan, kehangatan itu meresap tidak hanya ke tubuhku, tapi juga ke hatiku.
Waktu yang sangat nyaman dan membahagiakan, seolah otakku akan meleleh. Tapi, waktu seperti itu tidak berlangsung lama. Korek kuping ditarik dari telinga kananku, dan aku tahu itu sudah berakhir.
“Baiklah, Souta-kun. Hadapkan ke sisi lain.”
“Ah. ...Eh?”
Aku mengangguk tanpa sadar. Tapi sisi lain, artinya...
Menghadap Nagi? Berarti, menghadap perut Nagi?
Tidak, itu terlalu banyak stimulasi. Meskipun sedikit repot, aku akan memindahkan seluruh tubuhku ke sisi kiri Nagi. Aku berpikir begitu dan hendak bangun... tapi Nagi dengan lembut memegang lenganku.
“Souta-kun?”
“...Apa?”
“Hadapkan ke sini, ya?”
Nagi tersenyum manis dan menarikku mendekat. Kepalaku kembali mendarat di paha lembutnya.
“T-tapi...”
“Kita kan sudah tidur bersama. Ini tidak ada bedanya.”
“Iya, mungkin begitu, tapi...”
Tapi entah kenapa, ini terasa agak memalukan.
Nagi tahu atau tidak tentang perasaanku itu... tidak, dia pasti tahu. Karena itu Nagi.
Meskipun begitu, dia tetap tersenyum manis ke arahku.
“Ba-baiklah. Baiklah, aku mengerti.”
Entah kenapa aku merasa tertekan dan mengangguk.
Dengan Nagi yang terlihat puas di sampingku, aku mengubah posisi tubuhku, sebisa mungkin meletakkan kepalaku di dekat lututnya.
Di dekat lututnya, maksudku. Aku berbaring di sana, sejauh mungkin dari tubuh Nagi.
Karena ini disebut pangkuan lutut, ini juga aman. Bahkan, menurut namanya, ini lebih tepat.
Aku meyakinkan diriku sendiri.
“Sudah, mau bagaimana lagi.”
Aku merasa lega karena kata-kata Nagi itu berarti aku diizinkan.
---Aku lengah.
“Anak nakal seperti itu akan kuberi ini.”
Nagi memegang tubuhku dan menarikku dengan kekuatan luar biasa. Kekuatan itu begitu besar sampai wajahku menempel erat di tubuhnya.
Ujung hidungku menyentuh perut Nagi.
Aroma manis yang menguar semakin kuat. Bau manis sabun mandi dan pewangi pakaian yang bercampur. Dan, sensasi empuk piyama yang menyentuh ujung hidungku.
Kepalaku pusing, dan rasionalku perlahan-lahan meleleh.
Namun, itu belum berakhir.
Lembut dan... sesuatu yang berat menempel di pipiku.
“Kamu tidak bisa kabur lagi, Souta-kun.”
Meskipun kata-kata Nagi masuk ke telingaku, aku tidak bisa menjawab, tapi entah kenapa pikiranku tidak berhenti.
Apakah dia menyadarinya dan melakukan ini... Mungkin, dia menyadarinya dan melakukannya.
Aku pernah mendengar di suatu tempat... bahwa orang dengan dada besar tidak bisa melihat kakinya sendiri.
Kepalaku saat ini berada di dekat paha, cukup masuk ke dalam hingga menyentuh perut. Nagi mungkin membungkuk karena sulit melihat telingaku... dan itu mengenai.
Saat aku memikirkannya, sensasi lembut yang menempel di pipiku tidak hilang. ...Rasanya lebih kuat daripada tadi.
“...Masih sedikit sulit melihatnya, ya.”
“Tu-tunggu!”
Wajahku sedikit digerakkan.
Meskipun hanya bagian pipi yang dekat dengan telinga yang bersentuhan... sesuatu yang lembut merambah hingga dekat mata kiriku. Pandanganku separuh terhalang.
Sensasi piyama yang hangat, lembut, dan empuk. Namun di baliknya, aku bisa merasakan kelembutan yang berbeda.
Aroma manis yang berbeda dari sebelumnya menusuk hidungku, merangsang otak... dan hatiku.
Benang rasionalku mulai putus. Terdengar suara benang yang dipintal dan dianyam itu putus satu per satu.
“...Ba-baiklah. Baiklah, aku mengerti, aku tidak akan lari. Terlalu banyak yang menyentuh, aku tidak bisa menahan diri... aku hanya ingin kamu menjauh sedikit saja. Kalau tidak... aku akan menyakiti Nagi.”
Aku takut jika benang rasionalku putus seperti ini, aku akan melakukan sesuatu yang buruk padanya.
Ketika aku berhasil mengucapkan kata-kata itu berturut-turut, suara tawa yang ringan seperti lonceng terdengar di telingaku.
“...Fufu. Baiklah.”
Dan akhirnya aku—akhirnya aku dibebaskan.
Jantungku masih berdebar kencang.
Aku berbaring telentang dan menghela napas panjang.
“Maafkan aku, Souta-kun. Aku ingin sedikit nakal.”
“...Uhm, aku ingin mengatakan, ini bukan berarti aku tidak suka atau semacamnya, ya.”
Aku juga seorang siswa SMA yang relatif sehat, dan tentu saja aku memiliki berbagai keinginan. Aku tidak tahu tentang orang lain, jadi aku tidak tahu apakah itu wajar atau tidak.
Nagi mencondongkan tubuhnya, mengintip wajahku.
Wajahnya merah padam... Mungkin, aku juga merah.
“Souta-kun.”
Bibir tipis Nagi sedikit bergerak, memanggilku dengan gumaman.
“Ada satu hal yang ingin kukatakan.”
“Apa?”
Aku menjawab Nagi seolah menyembunyikan rasa maluku. Sambil sebisa mungkin mengalihkan pandanganku ke arah lain.
Aku hampir tertarik untuk melihat ke sana tanpa sadar, jadi sedikit berbahaya.
“Aku tidak akan pernah terluka oleh Souta-kun. Apa pun yang kamu lakukan padaku.”
“Itu...”
Aku hendak bertanya apa maksudnya. Namun, aku tidak bisa melakukannya.
Tanpa kusadari, wajah Nagi sudah ada di depanku—karena bibirnya menempel.
Itu adalah momen yang tepat saat aku hendak menarik napas, dan juga saat aku hendak mengucapkan kata-kata. Mulutku sedikit terbuka.
Sesaat. Itu benar-benar hanya sesaat.
---Ciuman yang berbeda dari biasanya.
Saat aku menyadari itu, getaran seperti disambar petir menjalar ke seluruh tubuhku. Aku benar-benar berpikir jantungku berhenti berdetak.
“Aku yakin aku akan senang apa pun yang Souta-kun lakukan padaku. ...Ah, ada pengecualian, ya. Seperti selingkuh, atau hal semacam itu.”
“Ti-tidak akan. Aku tidak akan pernah melakukan hal yang membuat Nagi sedih seperti itu.”
“Ya, aku tahu.”
Kepalaku masih kacau karena kejadian barusan. Meskipun begitu, saat aku berhasil menjawab, mata biru Nagi yang lembap menatap lurus ke arahku.
“Aku tahu. Aku sangat merasakan bahwa Souta-kun sangat peduli padaku.”
Jari Nagi dengan lembut diletakkan di bibirku.
“Aku juga senang dengan itu. Tapi aku tidak serapuh itu, lho.”
Jari-jari yang ramping dan cantik itu dengan lembut menyentuh bibirku. Kuku-kukunya juga terawat rapi, tidak menusuk kulit.
“Terutama jika itu tentang Souta-kun, aku akan menerima apa pun. Bahkan jika itu sedikit menyakitkan.”
“...Bagaimana jika tidak hanya sedikit?”
“Aku akan menerima semuanya. ...Meskipun aku ingin mengatakan itu.”
Jari Nagi kembali dan menyentuh bibirnya yang lembut.
Ciuman tidak langsung. Aku ingin mengatakan, ‘Sudah biasa,’ tapi... jantungku tetap berdegup kencang dan cepat. Di tengah itu, aku berkonsentrasi agar tidak melewatkan kata-katanya.
“Itu tidak akan baik untuk kesehatan mental Souta-kun. Jadi, jika itu benar-benar terjadi, aku berencana untuk mencari cara lain yang Souta-kun sukai.”
“B-bukan, itu hanya perumpamaan saja, bukan berarti aku benar-benar suka hal seperti itu, ya?”
“Benarkah? Bagiku tidak masalah jika lebamnya bertahan beberapa hari.”
Meninggalkan lebam di kulit putih Nagi... aku tidak mau. Lagipula, aku tidak punya hobi melihat orang kesakitan dan senang.
“Kalau begitu, ketika saatnya tiba, jangan sungkan memberitahuku apa yang Souta-kun suka.”
“............Nagi juga, ya.”
“Ya!”
Dia menjawab dengan senyum polos dan jujur seperti anak kecil. Meskipun isinya bertolak belakang.
Mengingat kembali isi percakapan barusan, panas yang sempat mereda kembali berkobar. Lalu aku memalingkan wajah seolah menyembunyikan rasa malu.
“Bisa lanjutkan?”
“Tentu saja!”
Sambil mendengarkan kata-kata Nagi, aku memejamkan mata.
“Setelah selesai, kali ini giliranku, ya.”
Ngomong-ngomong, membersihkan telinga tadi seolah-olah hanya pembuka. Apa yang akan dia lakukan setelah membersihkan telinga?
Aku hampir gemetar tanpa sadar.
Apakah rasionalku akan mampu bertahan?
“Berakhir... ya. Sedikit sedih,” kata Nagi.
Sensasi geli yang nyaman itu menghilang. Nagi mengangkat tangannya, dan beban ringan di kepalaku lenyap.
“Berakhir, ya,” kataku.
“Fufu. Souta-kun juga sedih?” tanya Nagi.
“...Sedikit saja.” Aku tersenyum pahit saat mengatakannya sendiri.
Aku tahu aku terlalu memanjakan Nagi—tapi aku tidak bisa berhenti. Aku bahkan berpikir aku tidak ingin berhenti.
“Kalau begitu, lain kali aku yang akan membersihkan telingamu, ya?” tawar Nagi.
“T-tidak. Itu tidak enak.”
“Aku ingin melakukannya. Aku ingin melakukannya, dan Souta-kun juga ingin dilakukan. Itu cocok, kan?”
Namun... Aku berpikir, bukankah ini terlalu banyak menerima kebaikan dari Nagi? Saat itu, aku teringat bahwa aku masih berada di pangkuan Nagi, jadi aku bangkit.
Pada saat yang sama, sebuah ide bagus muncul di benakku.
“Kalau begitu, aku juga akan membersihkan telinga Nagi.”
Nagi sesaat melebarkan matanya karena terkejut. ...Lalu, dia menyipitkan matanya dan tersenyum.
“Baik, tolong. Tapi hari ini aku sudah membersihkannya sebelum Souta-kun datang, jadi lain kali ya.”
“Ah. Oke. Lain kali izinkan aku, ya?”
Nagi bergumam “Iya” dengan sedikit napas, dan aku mengangguk puas.
Nah—seharusnya ini sudah waktunya tidur.
Meskipun terasa sedikit awal, akhir-akhir ini aku juga jadi tidur sekitar jam sepuluh malam karena Nagi. Yah, kami saling memengaruhi. Nagi juga dulunya tidur sekitar jam sembilan malam, tapi jadi larut karena aku.
“Souta-kun,” Nagi memanggil namaku.
Itu adalah hal yang sangat biasa akhir-akhir ini, bahkan sering kali dia memanggilku berkali-kali setiap hari.
Tapi... jika ditanya apakah aku sudah sepenuhnya terbiasa, aku tidak bisa mengangguk dengan jujur.
Setiap kali dia memanggilku dengan suara ringannya itu, detak jantungku sedikit lebih cepat. Tentu saja, aku sudah lebih terbiasa dibandingkan awalnya.
Ada berbagai jenis suara saat dia memanggilku.
Ketika dia bertanya apa yang akan kami makan malam ini.
Ketika dia ingin menceritakan hal-hal menyenangkan yang terjadi hari ini.
Ketika dia tidak ada pekerjaan dan ingin bicara sesuatu.
Dan, ketika dia ingin bermanja-manja.
Semuanya memiliki nada suara yang sedikit berbeda. Itu juga berubah tergantung pada emosi Nagi saat itu, jadi aku tidak bisa menebak semuanya hanya dari namanya dipanggil. Tapi, aku bisa menebak sampai batas tertentu.
Dan, kali ini, suara Nagi yang memanggilku—
“Kemarilah.”
Itu adalah nada suara yang belum pernah kudengar sebelumnya. Kata-kata yang mengikuti juga bernada yang jarang kudengar.
Seperti saat dia bermanja-manja, tapi sedikit berbeda.
Setelah memanggilku, Nagi duduk di bagian belakang tempat tidur, bersandar di dinding, dan berkata demikian.
“Ah,” kataku.
Aku punya firasat buruk, tapi tidak ada alasan untuk tidak menurut.
“Ah, Souta-kun, tidurlah menghadap ke sana.”
“...? Oke,” jawabku.
Seperti yang Nagi katakan, aku tidur menghadap ke arah yang berlawanan dari dinding. Bisa juga dibilang berlawanan dengan Nagi.
Aku berpikir apa yang akan dia lakukan, tapi aku sama sekali tidak bisa membayangkannya.
“Souta-kun,” bisiknya tiba-tiba di telingaku.
Berbagai emosi melintas di seluruh tubuhku. Aku mencoba berbalik, tapi kata-kata yang diucapkannya membuatku—tidak bisa—tenang.
“Jangan terlalu banyak bergerak.”
Karena kata-kata itu juga dibisikkan di telingaku. Mana mungkin aku bisa tenang.
Ditambah lagi, napas Nagi menggelitik telingaku. Aku hampir mengeluarkan suara, jadi aku menutup mulutku dengan tangan.
Namun, Nagi tidak berhenti.
“Hari ini, Souta-kun sangat nakal padaku. Ini balas dendamku.”
Bukan suara Nagi yang biasa. Suara bisikan yang menahan volume hingga batas maksimal.
Setiap kali Nagi tertawa kecil, napasnya mengenai telingaku, membuat punggungku merinding.
“Jadi, mulai sekarang aku akan mengatakan banyak hal yang kusukai dari Souta-kun.”
Aku hendak bertanya apakah dia serius, tapi aku mengurungkan niatku.
Jika aku bersuara sekarang... sepertinya aku hanya bisa mengeluarkan suara yang aneh.
Sementara aku melakukan itu, Nagi melanjutkan dengan gembira.
“Bersiaplah, ya. Ada begitu banyak hal yang kusukai dari Souta-kun, tidak terhitung jumlahnya.”
Dengan kata-kata itu sebagai pemicu—dimulailah waktu yang seperti neraka sekaligus surga, waktu di mana aku merasa akan mati karena senang dan malu.
Suara Nagi menarik napas terdengar sangat dekat.
“Souta-kun sangat perhatian. Aku tahu kamu selalu berada di dekat pintu untuk memindahkanku ke tempat yang aman di awal-awal.”
Bahkan suara napas yang bercampur dengan suaranya pun bisa kudengar. Begitu dekat wajahnya dengan telingaku.
“Karena berada di depan pintu, kamu harus turun dan naik untuk orang-orang yang naik turun di setiap stasiun. Sekali dua kali mungkin tidak masalah, tapi melakukannya setiap pagi dan sore setiap hari pasti sangat merepotkan. Tapi, Souta-kun tidak pernah membahasnya sendiri. Apalagi, dia tidak pernah mengatakan, ‘Mari kita hentikan saja’. Aku benar-benar sangat menghargai perhatian kecilmu itu dari lubuk hatiku. ...Aku sangat menyukainya.”
Suara lembut dan manis menggelitik gendang telingaku, membuat tubuhku gemetar. Namun dia tidak berhenti.
Gawat. Aku pikir aku akan menyela jika sudah terbiasa sedikit... tapi sama sekali tidak ada tanda-tanda aku akan terbiasa.
“Ah, tapi, mengabaikan dirimu sendiri itu tidak baik. Seperti soal makanan. ...Mulai sekarang, aku akan melengkapi kekurangan Souta-kun, jadi tidak apa-apa.”
Suara kecil lidah bergerak, dan bisikan itu perlahan membelai gendang telingaku.
Ditambah lagi napasnya, sensasi seperti otakku akan korsleting menyerangku.
Tidak hanya itu—suhu tubuhnya menjalar dari seluruh punggungku.
Dan, dari bahuku, terdengar detak jantung yang bukan milikku.
“Aku sangat menyukaimu, Souta-kun.”
Kata-kata itu, yang diucapkan cukup sering, membuat jantungku berdetak kencang lagi, dan zat kebahagiaan mengalir di seluruh tubuhku. Karena itu, bahkan tanganku pun terasa mati rasa.
“Fufu. Aku juga suka Souta-kun yang menggeliat seperti itu, itu lucu.”
“Uh...”
Sesuatu yang lembut menyentuh daun telingaku.
Aku tidak butuh waktu lama untuk memahami bahwa dia baru saja menciumku dengan lembut.
Sungguh—berbagai hal, gawat.
Benang rasionalku ada di genggamannya. Jika dia menguatkan genggamannya, benang itu akan putus dengan mudah.
Namun, dia tidak pernah menguatkan genggamannya, melainkan membelai benang itu dengan lembut. ...Kadang-kadang, dia bermain-main dengan benang yang tegang seperti busur panah.
Aku tanpa sadar memejamkan mata.
“Aku juga sangat menyukai Souta-kun yang terus berusaha. Melihatmu membuatku merasa keren, dan aku jadi ingin berusaha juga.”
Namun, memejamkan mata adalah langkah yang buruk.
Karena pandanganku terhalang, indra lain menjadi lebih tajam. Napas yang menyentuh telingaku... dan suara itu, terdengar lebih jelas. Tentu saja, suhu tubuhnya yang kurasakan di punggungku juga.
“...Haa,” Nagi menghela napas kecil. Bukan helaan napas negatif seperti putus asa atau semacamnya.
Seolah, itu adalah helaan napas yang mengeluarkan emosi yang meluap-luap.
Dan... jika dia menghela napas, tentu saja itu akan mengenai telingaku.
“Ah, maafkan aku.”
Aku gemetar hebat tanpa sadar, dan Nagi juga meminta maaf karena itu tidak disengaja.
“Ada banyak lagi hal yang kusukai dari Souta-kun... Tanpa sadar, perasaanku meluap.”
Bersamaan dengan kata-kata itu, suhu tubuh yang kurasakan di punggung dan detak jantung yang kurasakan di bahu menghilang. Kehadiran yang ada di dekat telingaku juga menjauh.
“Souta-kun. Hadap ke sini,” kata Nagi.
Itu suara Nagi yang biasa. Sambil merasa lega, aku berbalik dan melihat...
“Peluk aku, Souta-kun,” kata Nagi.
Nagi merentangkan tangannya, menungguku.
Wajahnya tampak yakin bahwa dia tidak akan ditolak... Aku sedikit ragu.
“Souta-kun?”
“...Aku bilang duluan. Jangan pedulikan apa pun.”
Aku hanya mengatakan itu. Meskipun ada beberapa ketidaknyamanan untuk memeluk Nagi saat ini, aku tidak punya pilihan untuk menolak pelukannya.
“Baik,” jawabnya.
Kata-katanya lembut, namun dia meraih tanganku seolah tidak bisa menunggu lagi, dan menarikku mendekat. Aku juga menggenggam tangannya, mendekatkan tubuhku padanya... dan kami berpelukan.
“Hehehe,” Nagi memelukku erat dan tertawa.
---Kemudian dia meletakkan dagunya di bahuku. Napasnya kembali menyentuh telingaku—
“Aku tahu, kok, Souta-kun.”
---Dug, dan. Jantungku berdetak kencang.
“...Sudah. Aku yang bilang tidak perlu menahan diri, kan?”
Tangan Nagi melepaskan punggungku. Tanpa mengalihkan pandangan, dia mencari tanganku dan menggenggamnya lagi. Aku tidak cukup bodoh untuk tidak mengerti apa yang ingin dia katakan.
“Souta-kun boleh melakukan apa pun yang kamu mau.”
Nagi menarik wajahnya dari bahuku dan menyatukan dahinya dengan dahiku.
Wajahnya merah padam.
Tangan yang menggenggam tanganku, diletakkan di dadanya—sekali, tangan Nagi perlahan melepaskan genggamannya. Dan kemudian, dia kembali memeluk tanganku dari atas, seolah melapisi.
“Na...gi...?”
“Kamu tidak perlu sungkan padaku.”
Di dalam telapak tanganku. Ada sentuhan yang hangat dan lembut.
“Kamu boleh menyentuhnya lebih kuat, kok.”
Nagi tertawa kecil, dan wajahnya semakin mendekat.
---Bibir kami berciuman.
Dilingkupi aroma manis, pikiranku sangat terguncang.
“Tapi...”
“Fufu. Jangan terlalu takut. Tidak apa-apa, kok.”
Sekali lagi, bibir Nagi menyentuh bibirku. Bibir yang basah dan lembut.
Setelah itu, bibir kami berciuman berkali-kali.
Setiap kali itu, benang rasionalku terasa meleleh, dan kepalaku memanas seperti mendidih. Namun dia tidak berhenti.
“Mmm... a-aku, mencintaimu.”
Kata-kata yang diucapkan di sela-sela ciuman itu menggelitik punggungku.
Hampir tidak ada rasionalitas yang tersisa.
Aku ingin menyerahkan diriku pada keinginanku. Namun, pada saat yang sama, rasionalitasku di sudut hatiku membunyikan alarm bahwa itu tidak boleh.
Mengapa tidak boleh? Apakah karena kami masih pelajar? ...Apakah karena aku berpikir hal-hal seperti itu harus dilakukan setelah dewasa?
Bagaimana dengan nilai-nilai modern? Bagaimana dengan siswa SMA? Tentu saja, kontrasepsi adalah prasyarat.
Tidak, bukan itu. Hal-hal seperti ini tidak boleh diputuskan dengan mengikuti orang lain.
Yang penting adalah, apa yang kurasakan terhadap Nagi. ...Bagaimana Nagi merasakan diriku, sudah sering dia katakan.
“Aku juga... sangat menyukaimu, Nagi.”
Saat aku menjawab begitu, mata Nagi sayu. Pipinya mengendur dengan tidak teratur.
“Mmm. ...Aku sangat menyukaimu. Aku sangat menyukai Souta-kun.”
Setiap kali bibir kami berciuman, aroma manis menusuk kepalaku, dan hatiku dipenuhi kebahagiaan. Bahkan satu ciuman singkat pun sudah penuh kebahagiaan, apalagi berulang kali bibir kami bersentuhan seperti ini, aku berpikir aku akan gila karena kebahagiaan.
“Aku ingin... lebih bahagia bersama Souta-kun...”
Kata-kata itu perlahan meresap ke dalam hatiku.
Aku—
“Nagi,” panggilku sekali. Lalu, kami kembali berciuman.
Mungkin menyadari perubahan dalam diriku, mata Nagi sedikit lebih fokus.
Setelah menarik napas dalam-dalam dan mengeluarkannya, aku perlahan membuka mulutku.
“Uhm, begini,” kataku.
“Ya,” jawab Nagi.
“Aku, dari lubuk hatiku ingin bahagia bersama Nagi. Melakukannya... seperti ini, kurasa tidak buruk juga. Sejujurnya, aku juga ingin. Tapi—“
Aku mencoba melepaskan tanganku, namun tidak bisa karena Nagi menggenggamnya.
“Di sini... tolong tetap seperti ini. Aku merasa aman jika ada tangan Souta-kun.”
“...B-baiklah,” kataku.
Jujur saja, aku hampir terbawa kesadaran ke sana, tapi aku berhasil mengalihkan kesadaranku dari sana dan melanjutkan berbicara pada Nagi.
“Mungkin di sini, aku akan banyak membebani Nagi. ...Tempat tidurnya juga sempit, dan ini rumah orang tua. Nagi mungkin akan bilang tidak apa-apa, tapi...”
“Ya. Aku tidak masalah dalam situasi apa pun... kok?” Nagi tersenyum manis dan memeluk lenganku erat-erat. Aku merasakan detak jantungnya yang semakin cepat... dan berhasil, berhasil menyingkirkan pemikiran tentang “lembut” ke sudut pikiranku.
“Aku... ingin melakukannya dengan benar bersama Nagi. Di tempat yang tidak ada masalah apa pun.”
Aku tahu Nagi juga mengatakan semuanya dengan kesiapan penuh.
Aku juga tahu bahwa kata-kata ini... mungkin akan menginjak-injak kesiapan itu.
Meski begitu, aku—karena ini adalah kali pertama bagi kami berdua dalam hidup, aku tidak ingin berkompromi.
“Fufu. Aku tahu,” Nagi tertawa.
“Maafkan aku. Aku sedikit nakal, ya.”
“Na-nakal, maksudmu...”
“Tentu saja aku serius, semuanya. Hanya saja, aku tahu aku dicintai tidak peduli apa yang terjadi.”
Nagi dengan lembut menciumku.
“Jika tidak dilakukan pun, aku tahu Souta-kun benar-benar mencintaiku. Jika dilakukan, aku tahu aku yang terpantul di mata Souta-kun itu menarik.”
Tangan Nagi dengan lembut diletakkan di pipiku.
“Benar-benar... lucu. Dan, keren. Souta-kun.”
“...Tapi,” kataku.
“Fufu. Jangan memasang wajah seperti itu. Bagiku, ini bisa dibilang hasil terbaik, lho,” kata Nagi.
“Lihat,” kata Nagi, dan aku melihat ke sana.
Tanganku masih berada di dada Nagi. ...Tapi, Nagi sudah berhenti memeluk tanganku tanpa kusadari.
“Souta-kun. Kamu tidak melepaskan tanganmu.”
“---Uh, m-maaf.”
“Tidak perlu meminta maaf. Justru, kamu boleh menyentuhnya lebih banyak.”
Nagi merentangkan tangannya, mengundangku lagi. Aku sedikit ragu.
Namun, Nagi terus menunggu. Aku perlahan mengulurkan salah satu tanganku ke sana.
Tentu saja, tanpa dihalangi oleh siapa pun... tempat itu tertutup oleh telapak tanganku.
“Mmm...”
“S-sakitkah?”
“Tidak. ...Hanya saja, rasanya berbeda dengan saat aku menekannya atau menyentuhnya sendiri—“
Kata-kata Nagi terhenti di sana, dan dia menutup mulutnya sendiri.
“I-itu, tolong lupakan saja,” katanya.
“A-ah,” kataku.
Melupakan... apakah aku bisa? Tidak, aku harus melupakannya. Karena dia bilang begitu.
Namun begitu—
“A-kalau ada kesan, aku akan senang jika kamu mengatakannya,” kata Nagi.
“...Besar. Dan, beratnya... luar biasa. Yah, kurasa bahuku pegal karena itu.”
“Benar. Sakit bahu juga salah satu masalahku. Meskipun begitu, peregangan dan pijat diri sendiri bisa mengatasinya sampai batas tertentu.” Nagi menjelaskan dengan gembira. Haruskah aku juga memijat bahunya jika ada waktu luang?
Aku berpikir tentang ukuran dan berat yang ada di telapak tanganku. Kemudian... ini juga harus kuucapkan.
“Lembut,” kataku.
“Fufu. Apakah sesuai selera Souta-kun?” tanya Nagi.
“...Bukan soal seleraku. Aku menyukai semuanya karena itu Nagi.”
Wajahku terasa terbakar karena malu.
Namun—apakah ini sifat laki-laki yang tetap merasa senang?
“Apakah kamu mau menyentuhnya langsung?” tanya Nagi.
“I-itu. Aku akan menarik semua perkataanku sebelumnya, jadi aku tidak mau.”
“Baiklah,” kata Nagi.
Di telapak tanganku terasa empuk, dan di dalamnya... terasa lembut.
Untuk saat ini, aku melepaskan tanganku dari sana.
“Souta-kun,” panggil Nagi.
“Ada apa?” tanyaku.
“Aku menantikan saat itu, ya,” kata Nagi.
Mendengar kata-kata itu, aku sedikit terdiam...
“...Ya. Aku akan berusaha,” jawabku.
Aku mengatakan itu, dan meyakinkan diriku sendiri untuk bersiap-siap karena waktu itu tidak akan lama lagi.
Begitulah malam yang panjang—malam yang panjang itu akan segera berakhir.
∆∆∆
“Nagi-chan, kamu benar-benar pandai memasak, ya. Apa kamu belajar dari ibumu?” tanya Ibu mertua.
“Terima kasih. Selain dari ibu, aku juga belajar sedikit dari Suzaka-san... asisten rumah tangga,” jawab Nagi.
Sehari sebelum malam Tahun Baru. Siang hari, aku dan Souta-kun mengerjakan PR liburan musim dingin.
Dan, menjelang sore, aku memasak bersama ibu mertua. Makan malam hari ini adalah nikujaga.
“Asisten rumah tangga... memangnya nona muda... Ngomong-ngomong, bagaimana kabar Chie-san, ibumu, setelah itu? Terakhir kali aku bertemu dengannya, dia bertanya padaku bagaimana cara untuk akrab dengan Nagi-chan.”
“...Ah, jadi itu sebabnya Ibu sering ikut memasak belakangan ini saat tidak sibuk.” Belakangan ini, lebih tepatnya, setelah aku bertemu dengan orang tua Souta-kun.
“Terima kasih. Aku sering berbicara dengan Ibu saat memasak, jadi belakangan ini kami bisa akrab.”
“Fufu, sama-sama. Kupikir aku lancang, tapi senang sudah mengatakannya.”
Setelah pulang nanti, aku juga akan banyak bicara dengan Ibu... Mama.
Sambil memutuskan itu, aku melanjutkan percakapan dengan ibu mertua.
“Bagaimana di sini? Dibandingkan Tokyo, kafe-kafe modis juga sedikit, dan aku sedikit cemas, tapi...”
“Aku bersenang-senang, kok. Ini kan tanah tempat Souta-kun dibesarkan. Aku bisa berbicara dengan guru wali kelas Souta-kun di sekolah dasar yang dia datangi, dan aku bisa berbelanja banyak di pusat perbelanjaan. Dan, aku juga bisa bermain dengan anjing yang akrab dengan Souta-kun.”
Mengingatnya membuat pipiku tanpa sadar mengendur.
Beberapa hari terakhir ini sangat menyenangkan, terutama karena aku bisa belajar banyak tentang Souta-kun.
“Sejujurnya aku ingin meneliti sejarah daerah ini... karena aku juga suka hal-hal seperti itu.”
“Perpustakaan tutup saat libur akhir tahun dan Tahun Baru, ya.”
“Ya, sayang sekali... Tapi, sebagai gantinya Souta-kun banyak bercerita. Tentang cerita rakyat dan sejarah daerah ini.”
“Anak itu juga suka hal-hal seperti itu, ya. Senang sekali anak yang memiliki hobi yang sama akan menjadi menantuku,” kata ibu mertua.
Hatiku terasa hangat mendengar kata-kata ibu mertua. Benar-benar begitu.
Sejak awal, aku menyukai sejarah Jepang. Setelah menekuni tarian tradisional Jepang, aku jadi tahu sejarah Jepang dan merasa itu menarik.
Karena itu, awalnya aku sedikit cemas. Ada orang yang bisa menikmati cerita sejarah seperti ini, ada juga yang tidak. Tentu saja bukan berarti orang yang tidak menikmatinya itu buruk. Ini seperti membaca novel atau komik, atau menyukai olahraga. Setiap orang boleh menikmatinya sendiri, dan orang-orang yang menyukainya boleh berkumpul dan berbicara. Aku tidak ingin memaksakan hal yang tidak disukai orang lain.
Karena itulah, aku benar-benar senang Souta-kun juga menyukai hal-hal ini.
“Dan, film yang kami tonton kemarin juga menarik. Sampai sekarang aku tidak terlalu... Aku pernah menontonnya sekali di rumah bersama Souta-kun, tapi di bioskop, kekuatannya memang berbeda.”
“Oh, bagus sekali! Aku jadi ingat dulu kami bertiga kadang-kadang menonton film. Meskipun bisa menonton di rumah, ada kesenangan yang hanya bisa didapatkan di bioskop, ya. Kalian makan popcorn?”
“Ya! Aku rasa karamel, dan Souta-kun rasa asin. Keduanya enak!”
“Begitu! Baguslah!” Ibu mertua tersenyum lembut dan manis. Karena keluarga, senyum Souta-kun dan orang tuanya mirip. Senyum yang sangat lembut dan hangat.
Rumah ini hangat. Di luar... di sekolah, aku yakin Souta-kun mengalami banyak hal sulit. Pasti masih banyak hal yang belum dia ceritakan kepada orang tuanya.
Tapi, meskipun begitu, kurasa Souta-kun bisa bertahan karena ada rumah yang hangat... keluarga yang hangat.
...Aku juga, mulai sekarang harus sangat bahagia bersama Souta-kun.
“Ibu mertua. Bisakah aku bertanya sesuatu?”
“Ada apa? Kenapa?”
“Aku ingin tahu bumbu favorit Souta-kun, atau semacamnya. Aku sudah mulai mengerti, tapi kurasa Ibu mertua lebih tahu.”
“Fufu,” Ibu mertua tertawa mendengar kata-kataku.
“Tidak perlu terburu-buru,” katanya. Lalu, tangannya dengan lembut diletakkan di kepalaku.
“Mulai sekarang, kamu bisa mencari tahu banyak hal. Selera makan juga akan berubah seiring bertambahnya usia. Mungkin, kalau hanya untuk saat ini, Nagi-chan mungkin lebih menguasai selera makan Souta daripada ibunya?”
“...Begitukah?” tanyaku.
“Begitu. Kan, ada pepatah ‘Masakan itu cinta’?” Ibu mertua mengelus kepalaku dengan lembut, dan melanjutkan dengan suara yang lembut. ...Aku teringat, Souta-kun juga menatapku dengan suara dan tatapan lembut seperti ini.
“Karena ada cinta, kamu akan mencoba berbagai hal untuk mengetahui masakan apa yang disukai pasanganmu, bumbu apa yang disukai. Kamu ingin memberi mereka makanan yang lebih enak dari sekarang. Karena itu, kamu bisa membuat masakan yang enak.”
“...Cinta,” gumamku pelan, dan ibu mertua menjawab dengan gembira, “Ya.”
“Aku juga sangat menyayangi Souta. Aku ingin dia menjadi yang paling bahagia di dunia ini. ...Sebenarnya. Jika Souta punya pacar, ada satu hal yang ingin kuperiksa.”
“Apa itu?”
“Apakah dia lebih mencintai Souta daripada ibunya. Kalau dia sangat mencintai Souta, aku berpikir anak itu tidak akan terluka di masa depan. ...Tak perlu dikatakan lagi, Nagi-chan, aku bisa merasakan bahwa kamu sangat menyayangi anak itu.”
Aku tanpa sadar tersentak, dan ibu mertua menambahkan kata-kata sambil menatapku dengan mata lembut. Dia tidak pernah mengalihkan pandangannya dariku.
“Pertanyaan tadi juga begitu. Jika tidak sangat menyayangi Souta, kamu tidak akan bisa memikirkan hal itu.”
Kata-kata itu ceria dan terdengar sangat bahagia. Baguslah perasaanku bahwa aku mencintai Souta-kun tersampaikan.
“Dan, Nagi-chan saat itu sedikit mencemaskan, tapi sekarang aku yakin dia benar-benar baik-baik saja. ...Bagaimana ya mengatakannya. Mencintai dan dicintai. Bukan hanya itu, tapi rasa mencintai diri sendiri juga semakin kuat, begitu mungkin ya.”
“......!”
“Saat itu, aku merasakan semacam pengorbanan diri... yang sedikit mirip pada Nagi-chan. Dia lebih memikirkan Souta daripada dirinya sendiri. Aku pikir tidak apa-apa karena Ibu Nagi-chan dan Souta juga bersamanya... Aku senang dia benar-benar baik-baik saja. Kalau masih berlanjut, aku pasti sudah mengatakannya sendiri.”
“Ya. Berkat Souta-kun, aku menyadarinya. Saat itu aku memang hanya mengejar kebahagiaan Souta-kun, tapi setelah melakukan berbagai hal lagi... kami memutuskan untuk bahagia bersama.”
Aku teringat kejadian saat kami mengulang hari di taman hiburan.
Dosa tetaplah dosa. Fakta bahwa aku menyakiti Souta-kun tidak akan hilang.
Tapi, aku tidak boleh terlarut di dalamnya. Itu akan menghalangi kebahagiaan. Sama seperti aku ingin Souta-kun tersenyum, dia juga ingin aku tersenyum.
“Ya, senyummu bagus,” Ibu mertua memujiku bahkan ketika pipiku mengendur. Tapi, senyum ibu mertua terputus dan menjadi serius.
“Ngomong-ngomong, ada satu hal yang ingin kubicarakan juga dengan Nagi-chan...”
“Apa itu?” tanyaku.
“Lihat, anak itu pemalu, kan? Aku pikir dia akan baik-baik saja pada saatnya, tapi apakah dia bisa melakukannya dengan baik? ...Oh? Sepertinya dia baik-baik saja, ya?”
Bahuku tersentak mendengar kata-kata ibu mertua. Tanpa perlu diucapkan, itu sudah terlihat di wajahku. ...Aku teringat kejadian semalam.
“Apakah anak itu bisa mengatakan ‘suka’ lebih dari yang Ibu kira?”
“S-Souta-kun juga sering bilang dia sangat menyukaiku.”
“Oh, oh. Kalau begitu sepertinya tidak ada masalah, ya? ...Aku akan mengatakannya lagi karena kalian lebih akrab dari yang Ibu kira, tapi pastikan untuk menggunakan kontrasepsi dengan benar, ya?”
“I-itu... B-belum, kami belum melakukan hal semacam itu. ...Tapi, uhm, suatu saat tentu saja aku berniat begitu.”
“Maafkan aku, tapi hal seperti ini penting.”
“T-tidak. Aku mengerti bahwa hal seperti itu tidak perlu malu,” kataku.
Hamil saat masih pelajar benar-benar masalah besar. Kudengar di sekolah Nishizawa-san, ada senior yang dikeluarkan tahun lalu karena hamil. Peringatan seperti ini penting. Mama juga mengatakan hal yang serupa.
“Senang mendengarnya. ...Tapi, selalu ada kemungkinan yang terburuk. Jika itu terjadi, pastikan untuk berkonsultasi, ya.”
“Tentu saja.”
Hal terburuk adalah memendam masalah sendirian dalam keadaan darurat. Jika... meskipun aku pikir tidak apa-apa, aku bertekad untuk berkonsultasi jika itu terjadi.
“Tapi, terlepas dari itu,” kata ibu mertua, mengubah ekspresi seriusnya menjadi senyum lagi.
“Ketika kamu sudah dewasa... mungkin masih terlalu cepat, tapi jika kamu punya anak, beri tahu aku ya. Aku pasti akan membantumu.”
“...Ya!”
“Fufu. Aku tidak sabar menunggu untuk melihat wajah cucuku nanti.”
Dan kami kembali memasak.
Nikujaga yang kami buat sangat enak, dan sangat disukai Souta-kun dan yang lainnya.
∆∆∆
“Nagi-chan, menurutmu bagaimana kondisi Souta di sana?”
Setelah selesai makan. Hari ini Souta-kun dan ibu mertua sedang mencuci piring. Aku sempat berpikir untuk membantu, tapi kurasa mengganggu waktu mereka berdua juga tidak tepat, jadi aku bersama ayah mertua di ruang tamu.
“Dia terlihat bahagia setiap hari. Tentu saja ada aku, dan juga Makisaka-san... teman-temannya juga ada,” jawab Nagi.
Aku tahu Souta-kun menghubungi orang tuanya setiap hari. Tapi, karena hanya bisa mendengarnya langsung dari Souta-kun, mungkin ayah mertua penasaran bagaimana terlihat dari sudut pandang lain.
“Seingatku, setelah Tahun Baru... teman-teman Souta-kun akan datang pada tanggal satu, jadi tolong lihatlah mereka saat itu. Mereka semua anak yang sangat baik dan menyenangkan untuk diajak bersama. Kalian juga bisa mendengar banyak cerita tentang Souta-kun dari mereka.” Kemarin, Makisaka-san, Nishizawa-san, dan Hayama-san menghubungi. Mereka berhasil mendapatkan tiket shinkansen. ...Jika tidak berhasil, kakak Makisaka-san berencana mengantar mereka. Meskipun jaraknya cukup jauh, tapi kakaknya suka bepergian dengan mobil, katanya. Namun, rasanya tidak enak jika mereka harus berkendara berjam-jam. Senang sekali ada kursi shinkansen yang kosong.
Ayah mertua mengangguk mendengar kata-kataku... dan menyipitkan matanya seolah mengingat sesuatu.
“Kamu dengar Souta tidak punya teman, kan? Nagi-chan,” tanya ayah mertua.
“Ya, aku dengar,” jawab Nagi.
“Dulu, dia sering bermain dengan Ayah dan Ibu. Sampai Souta sekitar kelas tiga SD, kami sering bermain bola tangkap di taman dekat rumah. Setelah dia besar pun, kami pergi menonton film atau bermain bowling.”
“Souta-kun akrab dengan kalian, ya. Baik ayah mertua maupun ibu mertua.”
“Sangat akrab. ...Tapi, ada hal yang kupikirkan sekarang.” Suaranya tidak ceria seperti biasanya. Ada sedikit nada melankolis di dalamnya.
“Souta adalah anak yang tidak keberatan sendirian, bahkan jika dia tidak punya teman. ...Tapi, kadang-kadang aku berpikir, apakah Ayah dan Ibu yang membuatnya seperti itu?” Aku mendengarkan sambil mengangguk-angguk. Aku tidak ingin mengganggu kelanjutan kata-katanya.
“Karena ada keluarga, teman tidak diperlukan. ...Apakah kami menanamkan pikiran seperti itu di suatu tempat di hati Souta? Hidup sendiri juga salah satu alasannya untuk menghilangkan pikiran itu.”
“...Begitu,” gumamku tanpa sadar dan mengerti. Ada alasan lain mengapa dia hidup sendiri.
“Jadi... kupikir Ayah dan Ibu terlalu memanjakannya. Tapi, kami tidak bisa menahan diri untuk tidak memanjakannya. Kenapa anak sendiri bisa selucu ini, ya? Aku bahkan pernah dimarahi atasan di kantor karena terlalu sering membanggakannya setiap hari.”
Kata-kata itu membuatku terkikik dan menghela napas. Aku tahu bahwa ibu mertua, dan juga ayah mertua, sangat menyayangi Souta-kun.
“Dengan perasaan seperti itu... yah, begitulah. Aku senang Souta punya teman, dan ada Nagi-chan di sisinya sebagai kekasih sekaligus tunangannya.” Mata ayah mertua menatap lurus ke arahku. Tatapannya sangat lembut.
“Souta, tolong jaga dia mulai sekarang, ya. ...Kalau dihitung tahun ini, Nagi-chan pasti menghabiskan waktu lebih lama dengan Souta daripada Ayah atau Ibu, dan mungkin tahun depan juga sama.”
“Tentu saja serahkan padaku. Kami pasti akan bahagia bersama.”
Sekali lagi, ayah mertua mempercayakan Souta kepadaku. Dia pasti sangat menyayangi Souta-kun dan khawatir padanya. ...Tapi, terlepas dari itu.
“Aku telah banyak berubah sejak bertemu Souta-kun.” Kata-kata yang tiba-tiba itu membuat ayah mertua memiringkan kepalanya. Aku melanjutkan.
“Aku berubah karena kebaikan Souta-kun, karena keandalannya... dan karena menyentuh hatinya yang penuh kasih sayang. Berkat Souta-kun, aku sangat bahagia sekarang. ...Tapi, aku tidak hanya berterima kasih pada Souta-kun.” Tentu saja, Souta-kun yang paling istimewa. Namun, ada banyak orang lain selain Souta-kun yang harus kuberi terima kasih.
“Teman-temanku seperti Hayama-san, Nishizawa-san, Makisaka-san. Dan, para asisten rumah tangga... di antara mereka, Suzaka-san bisa dibilang seperti orang tua keduaku. Dan, yang tidak boleh kulupakan adalah Ibu dan Ayahku.” Aku ada sekarang ini karena mereka. Di antara mereka, Papa dan Mama... dan Suzaka-san juga orang yang istimewa. Jika dibilang semuanya istimewa, memang istimewa, tapi terutama dalam hal pembentukan kepribadian.
“Cara bicaraku diturunkan dari ibuku. Ayahkulah yang mengajariku cara berusaha. Suzaka-sanlah yang mengajariku pekerjaan rumah tangga dan mendengarkan keluh kesahku.” Tiga orang inilah yang membentuk diriku sebelum bertemu Souta-kun. Itu berarti, aku ada sekarang ini juga berkat mereka bertiga. ...Pada akhirnya, jika dibilang tidak boleh ada satu pun yang kurang, memang begitu.
“Ketika aku berbicara dengan ayah mertua dan ibu mertua, orang tua Souta-kun, ada bayangan Souta-kun di suatu tempat. ...Tidak. Mungkin lebih tepat mengatakan ada bayangan kalian berdua di Souta-kun.” Aku juga jadi agak panjang lebar. Jadi, intinya adalah.
“Sekarang, aku tentu saja, dan juga Souta-kun, bahagia. Kebahagiaan itu tidak hanya kubuat sendiri. Itu juga berkat ayah mertua dan ibu mertua.” Mungkin seperti yang dikatakan ayah mertua, Souta-kun merasa tidak butuh teman karena ada keluarga. Tapi—
“Keputusan ayah mertua dan ibu mertua untuk membiarkan Souta-kun hidup sendiri, itu benar. Souta-kun terlihat sangat bahagia sekarang, jadi menurutku itu bagus.” Ayah mertua melebarkan matanya. Lalu, dia tertawa.
“Hahaha... Terima kasih, Nagi-chan. Memang mungkin begitu. Sekarang, anak itu bisa tertawa. Dia bahagia. Kalau begitu, aneh jika aku masih menyesalinya.” Lalu dia mengangguk-angguk berkali-kali, seolah memahami.
“Aku tidak sengaja mendengar pembicaraanmu dengan Ibu tadi... Tapi, kalau kalian berdua, Souta dan Nagi-chan, apa pun yang terjadi pasti akan baik-baik saja. Aku jadi tenang.” Suaranya ceria, namun sangat lembut dan hangat.
“Awalnya memang begitu, tapi sekali lagi... jika ada masalah, jangan ragu untuk mengandalkan kami. Tentu saja orang tua Nagi-chan, dan juga kami.”
“Ya! Tentu saja aku akan banyak mengandalkan kalian dan berkonsultasi!”
“Aku sangat berharap begitu. Kami tidak akan ragu untuk membantu agar anak itu dan Nagi-chan bisa bahagia,” kata ayah mertua, tertawa riang. Saat itulah Souta-kun dan yang lainnya kembali, dan kami kembali berbicara tentang berbagai hal.
∆∆∆
Malam Tahun Baru ini dihabiskan dengan cara yang spesial bagi Souta dan Nagi. Setelah menyelesaikan tugas sekolah di pagi hari, mereka menghabiskan sisa hari yang santai di kamar, melihat-lihat album foto dan menikmati kebersamaan.
Saat malam tiba, mereka makan soba Tahun Baru, lalu kembali ke kamar. Suara jarum jam berdetak memenuhi ruangan, bersahutan dengan dentangan lonceng tahun baru dari televisi. Di samping Souta, Nagi dengan lembut menggenggam tangannya, sesekali membelai atau menggelitik telapak tangannya. Nagi bahkan meletakkan tangan Souta di pipinya yang montok, membuat Souta membelainya lembut. Nagi mengeluarkan suara-suara kecil penuh kebahagiaan, menikmati sentuhan itu. Meski tanpa kata-kata, momen tenang ini sangat mereka nikmati.
Alarm ponsel berdering, menandakan lonceng Tahun Baru akan berdentang untuk terakhir kalinya. Tahun telah berganti. Nagi berdiri, melepaskan tangan Souta, dan memperbaiki postur tubuhnya. Souta pun berdiri menghadapnya.
“Selamat Tahun Baru, Souta-kun,”
“Ah, selamat Tahun Baru, Nagi,”
Setelah saling membungkuk dan bertatapan, Nagi tersenyum lembut. “Berkat Souta-kun, tahun lalu adalah tahun paling bahagia yang pernah kumiliki.”
“Aku juga, Nagi. Tahun ini menyenangkan dan paling bahagia berkatmu.”
Nagi mendekatkan wajahnya, dan Souta memeluk punggungnya, lalu menciumnya. Aroma manis Nagi yang menenangkan memenuhi benaknya.
“Meskipun kita baru bertemu sejak September tahun lalu, aku sudah sebahagia ini,”
“Baru tiga bulan, ya?”
“Fufu, rasanya sudah tiga tahun kita bersama,”
Dalam tiga bulan singkat itu, mereka berpacaran dan bahkan bertunangan. Hidup memang penuh kejutan. Jalan mereka masih panjang, dengan dua pertiga masa SMA, masa kuliah, dan masa depan setelahnya. Souta tahu akan ada kesulitan, tapi kebahagiaan yang menanti membuat semuanya terasa menyenangkan.
“Tahun ini aku akan membuatmu lebih bahagia lagi, jadi bersiaplah,”
“Aku juga akan berusaha lebih keras untuk membuatmu bahagia, Nagi,”
Souta yakin, bersama Nagi, mereka bisa melewati apa pun. Nagi kemudian menyandarkan pipinya yang lembut ke pipi Souta.
“Aku mencintaimu, Souta-kun. Aku tidak akan pernah melepaskanmu, apa pun yang terjadi,”
“Aku juga tidak akan melepaskanmu, dan aku akan membuatmu bahagia,”
“Aku juga, aku akan membuatmu bahagia, Souta-kun, pasti. Dan kita berdua akan bahagia.”
Souta tidak menyesal telah merusak perjodohan Nagi sebelumnya, dan ia sangat yakin bisa membahagiakan Nagi.
“Aku mencintaimu, Nagi,”
“Ya!”
Souta bertekad tidak akan pernah membiarkan senyum Nagi memudar. Nagi kembali menciumnya, lalu memeluknya erat. Bibir Nagi meluncur di wajah Souta, menggesek pipinya, lalu berhenti di daun telinganya.
“Aku mencintaimu,” bisiknya, membuat Souta hampir gemetar.
Nagi menjauh, tersenyum seolah tak terjadi apa-apa. “Fufu, kalau begitu, mari kita ucapkan salam Tahun Baru kepada Ibu dan Ayah Mertua.”
“Baiklah. Setelah itu, kita telepon Souichirou-san dan yang lainnya.”
Menyadari bahwa dia tidak bisa menang melawan Nagi di awal tahun baru ini, mereka berdua menuju ruang tamu.
∆∆∆
“Oh, mereka datang,”
“Mereka datang,”
“Selamat Tahun Baru, Souichirou-san, Chie-san,”
“Selamat Tahun Baru, Papa, Mama,”
Setelah mengucapkan salam Tahun Baru kepada orang tua Souta dan melakukan panggilan singkat dengan Eiji dan yang lainnya, Souta dan Nagi melakukan panggilan video dengan Souichirou-san dan Chie-san atas saran Chie-san. Rupanya, selama Souta berbicara dengan Eiji, orang tuanya sudah menelepon Souichirou-san untuk mengucapkan selamat Tahun Baru.
Mereka duduk berjejer di kursi di depan meja belajar. Meskipun terasa sedikit sempit, tidak akan masalah karena panggilan itu tidak akan berlangsung lama. Dari smartphone yang diletakkan di meja, Souichirou-san dan Chie-san terlihat di layar, sepertinya mereka menggunakan PC. Setelah saling menyapa, Souichirou-san angkat bicara.
“Ngomong-ngomong, Nagi. Sepertinya kamu memanggil orang tua Souta sebagai Ibu dan Ayah Mertua. Senang melihat kalian rukun,”
“Fufu, mereka berdua membanggakannya,”
“Ya, mereka berdua sangat baik, dan menyenangkan bisa mendengar berbagai cerita tentang Souta-kun,” jawab Nagi, melirik Souta. Souta tahu itu berarti dia juga harus melakukan hal yang sama.
“So-Souichirou-san, Chie-san,”
“Ada apa?”
“Fufu, ada apa?” Chie-san bertanya dengan senyum.
“Bolehkah aku memanggil kalian Ayah dan Ibu Mertua juga?”
Entah bagaimana, Souta merasa sedikit terbawa, tapi ia memang ingin memanggil mereka seperti itu sejak melihat Nagi memanggil orang tuanya. Ini adalah kesempatan yang baik. Souta ingin rukun dengan mereka seperti Nagi rukun dengan orang tuanya.
Mendengar itu, Souichirou-san tiba-tiba memejamkan mata dan memijat pelipisnya.
“Fufu, Souichirou-san sudah iri sejak orang tua Souta-kun memanggilnya begitu. Dia sangat ingin Souta-kun memanggilnya sama. Dia gelisah sampai telepon ini datang,”
“Chie... A-Aku juga ingin rukun dengan Souta-kun. Kau sudah seperti anak sendiri bagiku,”
“Begitu...?” Souta bergumam. Ia berpikir, seandainya ia tahu, ia akan mengatakannya lebih awal.
Souta menundukkan kepala di depan mereka berdua. “Kalau begitu, sekali lagi, mohon bimbingannya, Ayah Mertua, Ibu Mertua.”
“Ah, mohon bimbingannya, Souta-kun,”
“Fufu, mohon bimbingannya. Mari kita terus rukun,”
Souta merasa senyum Chie-san, atau lebih tepatnya Ibu Mertua, semakin lebar. Tidak hanya Ibu Mertua, suasana Ayah Mertua juga terlihat lebih santai. Souta rasa itu bukan hanya perasaannya saja.
“Baiklah, sudah larut malam, jadi kita tidak bisa bicara terlalu lama,”
“Kalau biasanya, Nagi sudah mulai mengantuk,”
Seperti yang dikatakan Ibu Mertua, mata Nagi sudah sedikit mengantuk. Biasanya Nagi berusaha tetap terjaga hingga jam dua belas di akhir tahun, tetapi sekarang ia sudah mencapai batasnya.
“Kami juga menunggu kedatanganmu di sini, Souta-kun,”
“Ya, kami akan segera berkunjung,”
“Tidak perlu terlalu kaku... meskipun mungkin masih sedikit sulit sekarang,” kata Ibu Mertua.
“Ba-baiklah. Aku akan berusaha,” jawab Souta. Ia harus berusaha sedikit demi sedikit agar bisa bersikap normal. Karena mereka sudah menjadi keluarga.
“Kalau begitu, selamat tidur, kalian berdua,”
“Selamat tidur,”
“Ya, selamat tidur,”
“Selamat tidur...” Nagi sudah benar-benar mengantuk, bicaranya pun sedikit kacau.
Setelah mengucapkan salam dan menutup telepon, Nagi roboh ke arah Souta seperti boneka yang putus talinya.
“Nagi, mau tidur sekarang?”
“...Mm,” Nagi menggelengkan kepalanya pelan. Dia terlihat seperti anak kecil.
“Karena sudah di sini, aku akan tetap terjaga.”
“Benarkah?”
“Ya,” jawabnya, meskipun matanya sudah setengah terpejam.
Souta tersenyum tipis dan memeluk tubuhnya. “Tapi besok kita harus bangun pagi. Eiji dan yang lainnya akan tiba sebelum tengah hari, kita akan menjemput mereka, kan?”
“Aku akan pergi...”
Dia benar-benar mengantuk. Souta memutuskan untuk menggendongnya. Ia melingkarkan tangan di bawah lutut dan punggung Nagi. Tempat tidur sudah dekat, jadi itu tidak masalah.
“Aku akan mengangkatmu. Pegangan, ya.”
“Ba-baik,” tangan Nagi dengan lembut menggenggam baju Souta, tetapi kekuatannya sangat lemah. Yah, tidak apa-apa.
Souta sedikit kehilangan keseimbangan saat mengangkatnya dari kursi, tetapi akhirnya berhasil membawa Nagi ke tempat tidur. Ia mematikan lampu dan berbaring di sampingnya. Nagi, yang setengah tidur, merentangkan tangannya.
“...Peluk,” suaranya mengantuk dan manja, tetapi tidak ada kepura-puraan dalam nada suaranya. Dia seperti anak kecil yang bermanja kepada orang tuanya... namun sedikit berbeda. Sambil bermanja, seolah dia ingin dibelai juga, ada sedikit cahaya kasih sayang di matanya. Souta merespons dengan melingkarkan lengannya di punggung Nagi. Lengan yang lain melingkar dari bawah bahunya ke bagian belakang kepala Nagi, membelai rambutnya seolah menyisirnya. Rambutnya yang halus tidak kusut sama sekali, dan saat dibelai, pipi Nagi melunak.
“Baunya enak,” Nagi bergumam puas. Souta tersenyum tipis dan memeluk tubuhnya yang ramping namun lembut. Detak jantung Nagi terdengar, dan kehangatannya terasa, menenangkan Souta. Berpelukan dengan Nagi memberinya rasa damai. Ini aneh, karena dalam beberapa kasus, ini bisa merangsang hal-hal yang berlawanan dengan pikiran.
Souta sedikit menjauhkan tubuhnya dari Nagi. Tepat di depannya ada wajah yang cantik, dan Nagi sedikit memajukan bibirnya. Sungguh sedikit. Souta membelai pipinya dan mencium bibirnya. Setiap kali, ia terkejut dengan kelembutan itu. Ia ingin terus melakukannya, kebahagiaan meluap begitu saja. Namun, ia tidak bisa memaksakan Nagi yang sudah mengantuk. Dan meskipun hanya sesaat, hatinya sudah dipenuhi kebahagiaan.
“Selamat tidur, Nagi,”
“Selamat tidur, Souta-kun,”
Begitulah cara mereka menyambut Tahun Baru. Sebuah permulaan yang menyenangkan, membahagiakan, dan penuh kebahagiaan.
∆∆∆
“Oh, mereka datang,”
“Mereka datang,”
Tiga sosok mendekat dari stasiun. Melihat mereka, pipi Souta secara alami tersenyum. Nagi-lah yang pertama melihat mereka, dan berlari mendekat.
“Nagirin Minori-n, selamat tahun baru! Semoga tahun ini menyenangkan!”
“Selamat Tahun Baru, Nishizawa-san. Dan Hayama-san. Makisaka-san juga,”
“Selamat Tahun Baru, kalian bertiga,”
“Oh! Selamat Tahun Baru!”
“Selamat Tahun Baru. Sudah lama tidak naik shinkansen,”
Gadis dengan rambut cokelat muda bergelombang itu adalah Nishizawa Kirika. Dia adalah teman masa kecil sekaligus kekasih Makisaka Eiji.
Lalu, gadis dengan rambut pirang yang dikuncir kuda adalah Hayama Hikari. Dia teman Nagi, dan juga temanku.
“Rasanya sudah lama ya kita berlima tidak berkumpul seperti ini.”
“Iya, nih. Soalnya kita juga menikmati liburan musim dingin dengan berbagai cara, sih.”
Setelah berkata begitu, aku menoleh ke belakang. Ke arah dua orang yang sengaja mundur selangkah untuk memberi kami ruang.
“Ayah, Ibu. Mereka bertiga ini teman-temanku.”
“Perkenalkan! Aku teman terbaik dan sahabat satu-satunya Souta, Eiji Makisaka! Senang bertemu dengan Anda!”
“Aku Kirika Nishizawa, teman Minorin dan yang lainnya, sekaligus kekasih Eiji! Senang bisa bersama Anda hari ini!”
“Perkenalkan. Aku Hikari Hayama, teman Umii-kun dan Nagi. Senang bertemu dengan Anda.”
Eiji dan Nishizawa menyapa dengan ceria seperti biasa, sementara Hayama menyapa dengan sangat sopan hingga membuatku sedikit terkejut. Nagi tampak sedikit membelalakkan matanya.
“... Soalnya rambutku begini, kesan pertamaku harus terlihat serius, kan,” bisik Hayama pelan, dan Nagi tersenyum seolah mengerti. Kemudian, ayah dan ibu yang tadinya terkejut, balas menyapa.
“Terima kasih sudah berteman baik dengan Souta! Aku ayahnya Souta! Mohon terus jaga Souta ya, aduh!”
“Ayah, semangatmu terlalu berlebihan. Maaf ya, orang ini terlalu menyayangi Souta... Ah, aku ibunya Souta. Dibandingkan Tokyo, di sini memang terasa seperti pedesaan, tapi semoga kalian menikmati waktu di sini ya.”
“Kami sudah dengar ceritanya dari Souta, jadi tidak apa-apa! Lagipula, aku jadi penasaran dan tidak sabar ingin melihat tempat tinggal Souta!”
... Syukurlah aku sudah memberitahu Eiji dan yang lain sebelumnya bahwa orang tuaku itu oyabaka (terlalu memanjakan anak).
“Syukurlah. Oh ya, kalau tidak keberatan, apa kalian bisa menceritakan kisah-kisah tentang Souta saat di perjalanan atau saat ada waktu luang?”
“Tentu saja! Aku dan Eiji sudah banyak sekali merepotkan Minorin!”
“Aku juga cukup banyak merepotkannya, jadi aku bisa cerita banyak hal.”
Mendengar ucapan mereka berdua, ibu tersenyum, sementara ayah menangis... Sebelum Eiji dan yang lain merasa canggung, ibu kembali melayangkan satu pukulan chop untuk menghentikan air mata ayah.
◆◆◆
“Taraa! Bagaimana, bagaimana!? Cocok tidak?”
“Oh, bagus kok. Bagaimana dengan yang ini?”
“Memang pacarku yang terbaik! Cocok sekali!”
Setelah sampai di rumah dan makan siang sedikit lebih awal, kami pun berganti pakaian dengan furisode dan hakama untuk menyambut kunjungan pertama ke kuil di tahun baru.
“Maaf ya, ini pakaian bekas.”
“Tidak apa-apa, terima kasih banyak. Ini sangat cantik.”
Kimono yang dikenakan Hayama dan Nishizawa adalah milik ibu saat beliau masih muda. Beliau memang pandai merawat barang.
Lalu, hakama yang aku dan Eiji kenakan adalah milik ayah. ... Dulu ayah tidak sekekar sekarang, jadi ukurannya pas untuk kami.
Sementara itu, Nagi membawa kimononya sendiri. Yah, memang perusahaan yang dikelola oleh Souichirou-san... ayah mertuaku, juga berpusat pada produk kimono.
“Souta-kun, kamu tampan sekali.”
“Terima kasih. Nagi juga sangat cocok memakainya. Cantik sekali.”
Nagi tidak mengenakan kimono yang ia pakai saat pertunjukan... melainkan furisode berwarna biru langit dengan motif bunga botan. Rambutnya juga disanggul dan diikat dengan kanzashi (tusuk konde).
“Hayama juga cocok.”
“Makasih. ... Aku baru pertama kali pakai kimono, tapi ternyata luar biasa ya. Nagi, makasih juga sudah bantu.”
“Sama-sama. Aku sudah sangat terbiasa sampai bisa memakainya sambil tutup mata.”
Nagi membantu Hayama dan Nishizawa mengenakan kimono mereka. Sementara aku dan Eiji dibantu oleh ayah.
Sebagai informasi, Hayama mengenakan furisode putih dengan motif utama bunga krisan, sedangkan Nishizawa mengenakan furisode merah dengan motif bunga sakura.
“Wah, bagus sekali! Boleh ibu foto kalian di depan pintu masuk?”
“Boleh. ... Boleh, kan?”
“Tentu saja.”
“Tentu!”
“Oh, boleh saja.”
“Boleh.”
Maka, kami pun berpindah tempat ke pintu masuk. Di sana, kami berbaris.
Aku di tengah, diapit oleh Nagi dan Eiji. Di sebelah Eiji ada Nishizawa, dan di sebelah Nagi ada Hayama.
Melihat kami, ibu mengangkat kameranya—lalu menurunkannya lagi. Beliau mengeluarkan sapu tangan dan menyeka matanya. Aku kaget melihatnya tiba-tiba begitu.
“... Ibu?”
“Maaf ya, mungkin karena sudah tua. ... Aku hanya merasa sedikit terharu. Tidak kusangka... bukan, bukan tidak kusangka. Aku tahu hari seperti ini akan datang, tapi ternyata rasanya jauh lebih membahagiakan dari yang kubayangkan.”
Di samping ibu, ayah tersenyum. ... Aku selalu berpikir, inilah sisi lain dari ayah.
“Ayah juga senang sekali lho, Souta. Dikelilingi oleh teman-teman sebanyak ini...”
... Sumpah, aku malu sekali. Dikatakan seperti itu di depan Eiji dan yang lain.
Tapi, aku bukannya tidak tahu betapa khawatirnya ayah dan ibu padaku. Aku juga tahu teman-temanku bukanlah tipe orang yang akan mengolok-olokku dalam situasi seperti ini.
“Karena ada Eiji dan yang lain, akhir-akhir ini setiap hari jadi menyenangkan.”
Wajahku terasa panas. Tapi, mumpung Eiji dan yang lain ada di sini, aku ingin mengatakannya.
“Di sekolah, karena ada Eiji, hari-hariku jadi menyenangkan, tidak seperti waktu SD atau SMP. Nishizawa dan Hayama juga, saat kami belajar kelompok bersama suasananya jadi ramai dan menyenangkan. Syukurlah ayah dan ibu menyewakan kamar yang lebih luas ‘supaya bisa mengundang teman’. ... Dan juga, ada Nagi. Akhir-akhir ini dia sering menginap di hari libur, dan di hari lain pun kami sering teleponan. Karena itu, setiap hariku menyenangkan. Aku.”
“...Begitu ya. Syukurlah, Souta.”
Wajahku terasa panas—tapi Nagi tersenyum di sampingku dan menggenggam tanganku. Dengan ragu, aku melirik ke samping, Eiji dan yang lain juga tersenyum.
“Aku juga senang kok. Bersamamu tidak pernah membosankan. Apalagi akhir-akhir ini.”
“Kamu juga sudah membantuku belajar, itu sangat menolong! Serius deh. Kalau tidak ada Minorin dan Nagirin, aku bisa-bisa tidak naik kelas! Sambil menyeret Eiji juga!”
“Aku juga senang. Melihat kalian memang tidak membosankan, itu benar. Dibandingkan mereka berdua, aku memang baru sebentar mengobrol denganmu... tapi aku lebih nyaman denganmu daripada anak laki-laki lain, dan karena kamu sudah punya pacar, aku jadi tidak perlu khawatir yang aneh-aneh lagi.”
Kata-kata Eiji dan yang lain membuat pipiku semakin panas... tapi tak bisa dipungkiri aku juga merasa senang.
“... Begitulah.”
“Ayah juga senang. Kamu punya banyak teman yang baik.”
Sambil berkata begitu, ayah mengambil alih kamera dari ibu.
“Biar ayah yang ambil fotonya! Semuanya, sudah siap?”
“Ya, kapan saja.”
“Baiklah, ayo! Satu, dua, tiga, senyum!”
◆◆◆
“... Maaf ya, sudah merepotkan kalian.”
“Punya orang tua yang baik itu bagus, kan. Kita juga sudah ditraktir makan!”
“Kita juga dipinjami furisode! Masakannya juga enak! Lagipula, ibumu cantik dan postur tubuh serta otot ayahmu juga luar biasa, kan?”
“Aku setuju. Tapi mereka orang yang sangat baik ya. Terlihat sekali betapa mereka menyayangi Umii-kun.”
Setelah selesai berfoto, kami berjalan menuju kuil untuk kunjungan pertama di tahun baru.
“Tadi sambil makan siang juga banyak ditanya, ya. Nanti malam enaknya cerita apa ya tentang Minorin! Ah, bagaimana kalau cerita yang itu? Waktu kita pergi makan parfait berdua.”
“Itu sepertinya akan menimbulkan kecurigaan aneh pada orang tuaku.”
“Ah, tapi boleh juga, kan? Dari situ lanjut ke alur cerita waktu Shinonome menjemputmu saat hujan... sepertinya Souta belum cerita soal itu, kan?”
“Kau juga ikut-ikutan. Memang aku belum cerita, sih.”
Aku hanya bisa menghela napas melihat mereka berdua mulai iseng... lalu Hayama tersenyum licik.
“Kalau begitu, aku cerita yang itu saja deh. Waktu aku mengintip ke dapur dan melihat Umii-kun mengelus kepala Nagi atau memeluknya.”
“Eh!?”
“Tunggu, tunggu, tunggu. Tunggu dulu, aku baru dengar soal itu?”
“Aku juga baru dengar. Hah? Souta. Maksudnya apa itu?”
“... Jadi rumit begini.”
Saat aku mengelus kepalanya, aku dan Nagi sadar. Tapi saat memeluknya, kami tidak sadar.
Hayama tersenyum dengan wajah puas. ... Yah, kurasa ayah dan ibu tidak akan terlalu kaget lagi dengan hal seperti ini.
Sambil mengobrol seperti itu, kami pun tiba di kuil. Dan Eiji serta yang lainnya memasang wajah kaku.
“... Ramai sekali, ya?”
“Kalau bicara soal kuil terkenal di sekitar sini, ya cuma di sini. Makanya semua penduduk sekitar datang ke sini untuk berdoa.”
“Begitu ya... yah, kita tunggu saja dengan sabar! Sepertinya tidak akan sampai menunggu dua atau tiga jam juga, kan.”
Doanya sendiri tidak akan lama, jadi mungkin tidak akan menunggu selama itu. Kalau sambil mengobrol, waktu akan terasa cepat.
Hanya saja... karena ramai, aku khawatir akan bertemu dengan ‘mereka’. Tapi sebaliknya, karena ramai, mungkin kami tidak akan mudah ditemukan. Kalaupun ditemukan, orang banyak bisa menjadi dinding penghalang.
“Oh iya! Kalian berdua! Anjing lucu yang tadi itu apa!? Lucu banget!”
“Hm? Oh, maksudmu Haku.”
“Namanya Haku-chan!? Bulunya itu lho! Benar-benar halus menggemaskan!”
“Fufu. Lucu sekali ya. Bulunya halus dan lembut, dan aromanya seperti matahari.”
“Bikin iri! Eh, eh, setelah dari kuil, apa kita bisa menemuinya?”
“Menemui Haku? ... Entahlah. Aku tahu rumah pemiliknya, Shirayama-san. Atau mungkin kita bisa bertemu saat dia jalan-jalan.”
“Aku sih tidak melarang, tapi Kirika, kamu harus ganti baju dulu. Itu kan baju pinjaman.”
“Oh iya juga! Selesai ini aku harus cepat-cepat ganti baju!”
“... Bisa jadi mereka juga sedang sibuk, jadi kalau begitu kita harus rela ya?”
“Tentu!”
Bisa jadi Shirayama-san sedang pergi ke acara kumpul keluarga. Atau mungkin rumah Shirayama-san yang menjadi tempat berkumpul. Kalau begitu, ya mau bagaimana lagi.
“... Anjing, ya.”
“Hayama-san tidak suka anjing?”
“Bukan begitu, aku suka kok. Aku jadi teringat anjing yang dulu dipelihara di rumah kakekku. Dia sudah pergi ke surga waktu aku masih SD.”
“Begitu ya... maafkan aku, Hayama-san.”
“Jangan minta maaf. Aku hanya sedikit bernostalgia saja.”
Mendengar kata-kata Nagi, Hayama tersenyum. Lalu ia menatap Nagi lekat-lekat.
“Ngomong-ngomong. Ada satu hal yang ingin kutanyakan pada Nagi.”
“Ada apa ya?”
“Sampai kapan kamu akan memanggilku dengan nama keluarga ditambah ‘-san’?”
“...!”
Benar juga, Nagi masih memanggil Hayama dengan tambahan ‘-san’. Selain tambahan ‘-san’... aku juga sedikit penasaran kenapa dia masih memanggilnya dengan nama keluarga.
“Yah, mungkin kamu hanya bingung mencari waktu yang pas. Panggil saja aku dengan nama depan. ... Kalau bisa, jangan pakai ‘-san’ juga, aku akan senang. Rasanya seperti ada jarak.”
“Ooh! Manisnya Hikarun! Tapi aku juga penasaran lho. Nagirin. Dan juga Minorin!”
“Aku juga?”
Serangan tak terduga datang ke arahku. Aku pun refleks bertanya balik.
“Ya, soalnya aku kan memanggilmu Minorin.”
“... Bukankah itu termasuk panggilan nama keluarga?”
“Mungkin sih. Tapi, nama Souta kan susah dibuat nama panggilan. Jadinya Aorin atau semacamnya, memangnya tidak apa-apa?”
“... Aku jadi tidak tahu itu siapa, dan bentuk aslinya sudah banyak berubah ya.”
Kalau tidak salah, Nishizawa dulu juga pernah bingung soal panggilan. Seharusnya dia memanggilku dengan nama depan seperti Nagi atau Hayama.
“Kalau begitu, sekalian saja kita semua saling panggil nama depan? Tidak ada yang keberatan, kan?”
“Setuju. Sangat setuju.”
“Yah, kalau begini terus sepertinya panggilan nama keluarga akan jadi kebiasaan.”
Aku mengangguk mendengar perkataan mereka bertiga. Ada benarnya juga.
“Baiklah, begitu saja.”
“Emm, baiklah. Kalau begitu—Hikari-chan dan Kirika-chan. Untuk Eiji... sepertinya lebih mudah memanggil Eiji-san, bagaimana?”
“Hm? Oh. Rasanya aneh juga dipanggil sama seperti Souta. ... Aku akan panggil Nagi-san dan Hikari-san.”
“Tumben kamu pakai ‘-san’.”
Setidaknya, aku belum pernah mendengar Eiji memanggil seseorang dengan tambahan ‘-san’. Eiji tertawa mendengar perkataanku.
“Aku biasanya memanggil perempuan selain Kirika dengan nama keluarganya.”
“Sebaliknya, aku memanggil Eiji dengan nama depan karena dia spesial buatku.”
“... Benar juga ya.”
Aku ingat Nishizawa pernah bilang dia akan membuat nama panggilan untuk orang yang ingin dia ajak berteman akrab. Memikirkan bahwa dia tidak membuat nama panggilan untuk Eiji karena mereka adalah teman masa kecil sekaligus kekasih, memang terasa spesial.
“Yah, aku juga tidak apa-apa. Bagaimana dengan Nagi?”
“Aku juga tidak apa-apa. Kalau begitu, Hikari-chan...”
“Yang belum kupanggil nama depan itu kalian berdua, ya. Aku akan panggil Souta dan Eiji.”
“Oh, tentu saja.”
“Aku juga tidak masalah.”
Karena Nishizawa menggunakan nama panggilan untuk semua orang kecuali Eiji, sepertinya panggilan untuk yang lain tidak akan berubah. Kalau begitu, yang tersisa... adalah aku.
“Kalau begitu aku... boleh panggil Kirika dan Hikari, kan?”
“Oh! Akhirnya!”
“Oke.”
Dan begitu, cara kami memanggil satu sama lain pun berubah. Rasanya sedikit aneh, tapi aku yakin akan segera terbiasa.
Sambil kami mengobrol, antrean pun maju. ... Tiba-tiba, Hikari melihat ke sekeliling.
“Ngomong-ngomong, kita cukup mencolok ya.”
“Yah, soalnya kan banyak yang datang ke kuil pakai baju biasa. Lagipula, di sini kan isinya orang-orang dengan visual yang oke? Kumpulan gadis-gadis cantik dan pria-pria tampan, kan?”
“Bukannya itu karena suara Kirika yang paling keras?”
“Oh? Apa katamu? Mau mulut berisikmu ini kubungkam?”
“Ancaman macam apa itu... Maaf. Maaf, makanya jangan diam-diam mendekatkan wajahmu begitu. Soalnya kamu cantik.”
“Ehee~”
“... Tiba-tiba mereka mesra-mesraan.”
“Aku paling tidak mau dengar itu darimu.”
Meski begitu, ada benarnya juga ucapan Kirika. Nagi tentu saja, tapi Kirika dan Hikari juga termasuk gadis yang sangat cantik. Sudah cantik, ditambah lagi mengenakan furisode. Tentu saja akan menarik perhatian.
Selain itu, Eiji juga punya wajah yang tampan. Ditambah dengan kepribadiannya yang ceria, mungkin penggemarnya juga banyak. Walaupun dia tidak pernah terlihat begitu senang saat diajak bicara oleh gadis lain. Eiji kan hanya setia pada Kirika.
“... Menarik perhatian, ya.”
“Souta-kun.”
“Tidak, tidak apa-apa. Sepertinya ‘mereka’ tidak ada di sekitar sini.”
Aku sudah menceritakan tentang ‘mereka’ pada Nagi, jadi mungkin dia bisa menebak apa yang kupikirkan.
“Ada apa?”
“... Aku ingin bilang tidak apa-apa, tapi. Sebaiknya aku ceritakan saja.”
Aku tidak mau menceritakannya... lebih tepatnya, ini bukan sesuatu yang biasa diceritakan pada orang lain. Bukan cerita yang menyenangkan. Tapi, akan jadi yang terburuk jika karena itu semua orang jadi ikut mengalami hal yang tidak menyenangkan.
“Aku sampai SMP... ah. Bukan sampai taraf perundungan sih, tapi aku sering diejek oleh sebagian murid.”
Mendengar kata-kataku, alis Kirika terangkat sedikit, dan wajah Eiji berubah menjadi serius.
“... Ceritakan detailnya.”
“Eh? Ti-tidak. Akan kuceritakan singkat saja. Ini bukan cerita yang menyenangkan.”
“... Maaf. Aku refleks mengatakannya.”
“Tidak apa-apa sih. Yah, singkatnya, aku sering diejek seperti ‘penyendiri’ atau... ‘mata keranjang’.”
Setelah itu, aku menjelaskan secara singkat kejadiannya. Waktu SD, aku sempat menonjol saat pekan olahraga, dan setelahnya sempat didekati oleh para gadis untuk sementara waktu. Hal itu membuat beberapa orang tidak suka dan mulai mengejekku dengan cara yang sedikit keterlaluan. Aku juga bercerita bahwa belum lama ini aku bertemu mereka lagi, dan mereka sama sekali tidak berubah.
“Begitulah ceritanya. Kurasa tidak akan apa-apa, tapi kalau sampai ketahuan... yah, benar juga. Aku akan bersembunyi di belakang Eiji.”
“Ya, lakukan saja.”
Ucap Eiji sambil mengerutkan kening. Suaranya yang beberapa tingkat lebih rendah dari biasanya membuatku sedikit terkejut.
“Eiji itu paling benci orang yang seperti itu. Aku juga, sih.”
“Aku juga benci. Lagian, iri pada orang lain lalu menghinanya, itu kan jelas-jelas perundungan. Aku benci karena itu benar-benar bikin muak.”
Kata-kata mereka berdua membuat hatiku sedikit lebih ringan. Nagi terus menggenggam tanganku di sampingku.
“Yah, yang terbaik adalah tidak bertemu mereka, tapi ini untuk jaga-jaga saja.”
“... Benar juga. Makasih sudah cerita.”
“Eiji, wajahmu seram lho. Tunjukkan wajah itu nanti saat bertemu mereka.”
Sebuah tangan terulur dari belakang Eiji, dan Kirika mulai mencubit-cubit pipi Eiji.
“Ya. Setidaknya kalau sudah sampai sini, selama di kuil kita akan aman.”
“... Yah, benar juga sih.”
Di tengah keramaian ini, kalaupun mereka menemukanku, mereka tidak akan bisa mendekat. Kalau begitu... aku harus waspada saat kami selesai dari sini.
Karena suasana menjadi sedikit berat, kami pun mengganti topik pembicaraan. Kami saling bercerita tentang apa yang kami lakukan selama liburan musim dingin.
Aku bercerita saat pergi ke SD bersama Nagi dan bertemu dengan wali kelasku dulu, juga saat kami pergi membeli baju bersama.
Eiji dan yang lainnya juga punya cerita sendiri. Di hari pertama liburan, mereka karaoke dari pagi di paket free time, mencoba bernyanyi sampai batas kemampuan hingga tenggorokan mereka hampir rusak, dan juga memenangkan banyak boneka dari mesin capit di game center. Selain itu, setelah melihat foto kami dengan Haku, mereka juga pergi ke kafe anjing. Katanya, Hikari juga hampir selalu ikut bersama mereka.
Sambil mengobrol seperti itu, antrean terus maju—dan tak lama lagi giliran kami untuk berdoa.
“Tahun ini mau minta apa ya~. Semoga bisa makan banyak makanan enak, mungkin?”
“Memangnya hal seperti itu diminta pada dewa?”
“Oh? Kalau Hikarun sendiri mau minta apa?”
“Aku... yah. Mungkin berharap ada orang baik yang muncul? Aku kurang beruntung soal pria. Seringnya yang mendekat itu pria yang hanya lihat penampilan luarku. Penampilanku kan begini, jadi mungkin setengahnya salahku sendiri juga sih.”
“Kalau Hikari-chan, aku yakin orang itu akan muncul tidak lama lagi.”
Nagi tersenyum sambil membalas ucapan Hikari. Kirika juga menyahut dengan semangat, “Betul itu!”. Mendengar itu... Hikari tertawa dengan pipi yang sedikit memerah.
“Yah, sebenarnya tidak masalah juga sih. Aku sudah merasa nyaman dengan anggota kita yang sekarang ini.”
“Hmm! Hikarun bilang sesuatu yang bikin senang ya!”
“Wa, eh, jangan tiba-tiba memeluk, aku kaget tahu.”
Kirika memeluk Hikari dengan gembira. Dan sepertinya, Hikari juga tidak tampak keberatan.
“Fufu. Akrab sekali ya kalian.”
“Nagirin juga mau?”
“Nanti saja, ya. Sudah waktunya berdoa.”
Mendengar kata-kata Nagi, mereka berdua menoleh ke depan, dan orang di depan kami baru saja selesai berdoa.
“Maaf, maaf. Kalau begitu, ayo kita mulai. Siapa yang mau membunyikan lonceng?”
“Souta mau?”
“Aku? ... Yah, boleh saja.”
Meskipun ditunjuk tiba-tiba, menghabiskan waktu terlalu lama untuk berpikir di sini akan mengganggu orang di belakang. Karena sepertinya tidak ada orang lain yang mau, akhirnya aku yang membunyikan lonceng.
Setelah itu, aku memasukkan koin persembahan, membungkuk dua kali, dan bertepuk tangan dua kali. Lalu, aku menggumamkan permohonan di dalam hati. Aku sudah memutuskan apa yang akan kuminta.
Semoga tidak ada yang sakit dan semua bisa menjalani tahun yang sehat. Dan juga... semoga tahun ini aku bisa terus bersama Nagi dan yang lain, dan semoga menjadi tahun tanpa masalah besar atau kemalangan.
Masalah kecil mungkin bisa kami atasi bersama Nagi dan yang lain. Tapi, kalau masalahnya lebih dari itu, aku tidak punya pilihan selain memintanya pada dewa.
Setelah membungkuk sekali, aku menoleh ke samping dan melihat Nagi masih memejamkan mata untuk berdoa.
Bulu matanya panjang, dan saat matanya terpejam, itu terlihat semakin jelas.
Tentu saja aku menyukai ekspresinya yang biasa, yang menunjukkan perasaannya.
Tapi, melihatnya berdoa dengan mata terpejam seperti ini—terlihat cantik, ya. Sangat.
Dipadu dengan penampilannya dalam kimono yang sangat cocok, membuatnya terlihat sangat memukau.
Setelah beberapa saat menatapnya, dia menyelesaikan doanya dan membungkuk sekali.
“... Ada apa?”
“Tidak... aku hanya berpikir lagi kalau kamu sangat cantik. Ayo kita pergi.”
Sepertinya Eiji dan yang lainnya juga sudah selesai berdoa, jadi kami menyingkir ke jalur samping. Lalu Nagi bertanya dengan gembira.
“Fufu. Souta-kun meminta apa?”
“Semoga tidak ada yang sakit. Dan juga, semoga tidak ada masalah besar yang terjadi... dan aku bisa terus bersama Nagi dan yang lain. Kalau Nagi?”
“Aku bukan hanya memohon, tapi juga berterima kasih.”
“Berterima kasih?”
Nagi menjawab “iya” dengan suara ceria.
“Aku berterima kasih karena telah dipertemukan dengan Souta-kun. Tahun lalu aku banyak sekali dibantu oleh Souta-kun dan yang lain, tapi kalau dari awal aku tidak bertemu dengan Souta-kun... aku tidak akan bisa menjalani tahun yang begitu membahagiakan.”
“... Benar juga ya. Aku juga, harus berterima kasih karena telah dipertemukan dengan Nagi, dan dengan kalian semua.”
Tentu saja Nagi, juga Eiji dan yang lain. Aku benar-benar harus berterima kasih.
“Sisanya sama seperti Souta-kun, berdoa agar tidak ada penyakit atau masalah.”
Lalu dia tertawa kecil.
“Aku sempat berpikir untuk berdoa ‘semoga Souta-kun bisa hidup bahagia’... tapi aku urungkan. Karena yang akan membuat Souta-kun bahagia bukanlah dewa, melainkan aku.”
“... Benar juga. Yang akan membuat Nagi bahagia juga adalah aku.”
Kami terus berbicara seperti itu, tapi karena Kirika dan yang lainnya menatap kami dengan tatapan jengkel, kami pun menyudahinya.
“E-Eiji dan yang lain akhirnya minta apa?”
“Aku... jodoh pekerjaan, mungkin? Aku sedang mencari kerja paruh waktu, jadi aku berdoa semoga bisa menemukan pekerjaan yang bagus. Aku kadang-kadang kerja paruh waktu di tempat kakakku, tapi tidak enak juga kalau terus-terusan bergantung pada keluarga.”
“Aku berdoa semoga bisa makan banyak makanan enak!”
“Aku sih berdoa agar keadaan tetap seperti sekarang. Semoga tahun ini kita berlima bisa terus bersama, begitu. Ditambah dengan jodoh yang baik, mungkin.”
“Fufu. Permohonan yang bagus sekali ya.”
Permohonan yang sangat khas dari mereka bertiga. Semoga tahun ini kami berlima... mungkin anggotanya akan bertambah, tapi untuk saat ini aku ingin anggota ini tidak ada yang berkurang.
Dan juga, kata-kata Eiji membuatku sedikit berpikir.
... Kerja paruh waktu. Mungkin aku juga sebaiknya mulai mencarinya. Ke depannya aku pasti akan pergi ke berbagai tempat dengan Nagi, dan pasti akan ada banyak keperluan. ... Mungkin juga akan ada kesempatan untuk membeli hadiah.
Sambil memikirkan hal itu, kami berlima berjalan mengikuti arahan. Lalu, kami tiba di juyosho, tempat penjualan omamori (jimat) dan omikuji (kertas ramalan).
“Aku mau beli jimat sebentar.”
Meskipun ada antrean, ini hanya untuk membeli jadi tidak akan memakan waktu selama berdoa. Aku bergumam begitu, tapi Kirika menyeringai mendengar kata-kataku.
“Oh? Mau beli? Mau beli jimat kesuburan atau kelancaran persalinan? Katanya Nagirin kan ingin punya anak?”
“Ki-Kirika-chan! I-itu kan aku cuma salah bicara saja!”
Wajah Nagi menjadi merah padam. Benar juga... saat aku baru mulai berpacaran dengan Nagi, dia sempat mengatakan itu saat sedang lepas kendali.
“Su-sudah ah! Tahun ini aku tidak akan mengajarimu pelajaran lagi!”
“Aku benar-benar minta maaf, tolong jangan lakukan itu...”
“Aku juga tidak bisa banyak bicara sih, tapi sebaiknya kamu belajar lebih giat dari biasanya.”
Aku tidak bisa menahan tawa melihat interaksi mereka. Hikari juga tertawa kecil di samping Nagi.
Setelah itu, kami membeli jimat. Jimat kesehatan dan jimat keselamatan rumah untuk ibu dan ayah. Nagi juga membeli jimat yang sama.
Eiji membeli jimat keberuntungan finansial, Kirika jimat keberhasilan akademis. Hikari jimat untuk jodoh yang baik. ... Kirika sempat mau membelikan kami jimat keharmonisan rumah tangga, tapi aku menolaknya. Aku pikir kalau kami membelinya padahal belum menikah, justru khasiatnya akan hilang.
Setelah itu, untuk mencoba peruntungan, kami semua menarik omikuji.
“Oh! Aku dapat Daikichi (Keberuntungan Besar)!”
“Aku Chukichi (Keberuntungan Sedang)! Kalah dari Eiji!”
“Aku Shokichi (Keberuntungan Kecil). ... Lumayan, lah?”
“Aku Suekichi (Keberuntungan Akhir). Kalau Souta-kun—“
Nagi bertanya, dan aku hanya bisa tersenyum pahit sambil menunjukkan hasil omikuji-ku.
“...Kyou (Sial).”
“... Eh, serius? Kyou? Aku baru pertama kali lihat.”
“Wah... boleh lihat sebentar? Ah, tapi sepertinya isinya tidak terlalu buruk?”
Aku juga baru pertama kali mendapatkannya. Kami semua melihat isinya bersama-sama.
... Untuk orang yang ditunggu dan perjodohan, tertulis ‘ada di dekatmu’, jadi sepertinya tidak masalah. Untuk akademis, ‘harus berusaha lebih keras’. Yang lainnya juga tidak terlihat begitu buruk... tapi ada satu poin yang membuatku khawatir.
“’Pertikaian, awalnya berbahaya’, ya.”
“Aku tidak bisa membayangkan Souta berkelahi sih. Mungkin tidak usah terlalu dipikirkan?”
“Untuk penyakit juga tertulis ‘harus berhati-hati’... tapi kan kita sudah rajin cuci tangan dan berkumur, jadi pasti tidak apa-apa. Lagipula, ada kami juga.”
“Yah, benar juga. Katanya kan penyakit itu datang dari pikiran, jadi aku akan menyimpannya di kepala saja.”
“Betul, betul! Di ramalanku saja untuk akademis tertulis ‘berusahalah dengan sangat keras’! Jangan terlalu dipikirkan, jangan dipikirkan!”
“Eh, Kirika harus benar-benar berusaha ya? Sepertinya bulan depan kalian juga ada ujian akhir semester, kan?”
“Ugh... jangan ingatkan aku. Nanti pulang aku kerjakan tugasnya. Itu, Nagirin.”
“Fufu. Setelah liburan musim dingin selesai, ayo kita belajar bersama ya.”
Nagi tersenyum dan meraih tanganku.
“Semua akan baik-baik saja karena kami ada di sini, Souta-kun.”
“... Ya. Terima kasih.”
“Sama-sama.”
Hasil omikuji-nya memang tidak bisa dibilang bagus... tapi kata-kata Nagi dan yang lain menyelamatkanku.
Namun, aku akan segera tahu bahwa hasil omikuji itu benar.
◆◆◆
“.........!”
Begitu keluar dari kuil, aku langsung berhenti melangkah. Melihatku yang tiba-tiba berhenti, Eiji mengerutkan kening.
“Ada apa? Jangan-jangan mereka ada?”
“... Ya. Maaf, Eiji.”
Eiji mengangguk pelan dan mengedarkan pandangannya ke sekitar.
“Oke. Sini, di belakangku. Yang mana orangnya?”
Mendengar itu, aku bersembunyi di belakangnya. Nagi juga, atas suruhan Kirika, bersembunyi di belakangnya.
“Gerombolan lima orang yang berjalan dari ujung sana.”
“... Mereka ya. Berjalan berjejer lima orang begitu cara jalan yang hebat juga ya.”
“Begitu ya. Kadang-kadang memang ada tipe yang seperti itu.”
Sekelompok pria berjalan berjejer dari ujung jalan. Mereka sampai meluber ke jalan raya, tapi mereka tidak menunjukkan tanda-tanda peduli. Mereka berjalan seolah-olah itu adalah hal yang wajar.
“Yah, untuk sementara yang penting kalian berdua yang paling mencolok sembunyi dulu. Kalau ada Eiji, tidak akan ada yang berani menggoda juga kan.”
“Benar juga. Itu pun kalau lawan punya akal sehat.”
Kami terus berjalan perlahan. Lawan berada di seberang jalan, tapi ini bukan jalan besar melainkan jalan kecil. Jalan yang bahkan tidak punya lampu lalu lintas, dan selama tidak ada mobil, mereka bisa dengan mudah menyeberang ke sini.
Deg, deg, jantungku berdebar kencang. Aku merasa sedikit mual.
... Tidak apa-apa. Selama mereka tidak melihatku, mereka tidak akan menyapaku... seharusnya.
Eiji, Kirika, dan Hikari berjalan seolah melindungiku dan Nagi. Berkat mereka, seharusnya aku dan Nagi tidak terlihat dari seberang sana.
Karena tidak terlihat, seharusnya tidak apa-apa. Tapi entah kenapa, hasil omikuji tadi terus terlintas di benakku.
──Pertikaian, awalnya berbahaya.
"Permisi. Onee-san, kau menjatuhkan ini."
"Hah?"
Tap, tap, tap, dari seberang jalan seorang pria berlari kemari. Ia berlari ke arah sedikit di belakang kami... lalu, setelah memungut sesuatu, ia mendekat dan──berbicara kepada Hikari. Kemudian ia menunjukkan sesuatu... sehelai kain seperti sapu tangan.
"...Ah, itu bukan milikku."
"Lho? Kalau begitu, mungkin orang lain yang menjatuhkannya, ya?"
Eiji saling berpandangan dengan Kirika. Kemudian ia sedikit bergeser, mencoba membuat kami lebih sulit untuk dilihat dari depan maupun belakang, meskipun itu adalah hal yang sulit dilakukan.
"Lagipula, Onee-san cantik sekali, ya. Pulang dari Hatsumode?"
"Ah, iya. Maaf, kami sedang terburu-buru."
"Ayolah, sebentar saja tidak apa-apa, kan? Aku jatuh cinta pada pandangan pertama dengan Onee-san."
"Wah-wah, ada apa ini?"
Seiring dengan ucapan itu, sisa pria lainnya datang dari seberang... ini sudah jelas sebuah upaya untuk menggoda.
Eiji mendecakkan lidahnya pelan. Ia masih berusaha menyembunyikanku... tetapi dengan jarak sedekat ini, tidak mungkin aku tidak ketahuan.
"Eh, tunggu, tunggu. Gadis di belakang itu luar biasa... Hah? Souta?"
"...Souta. Mundurlah."
Eiji bergumam pelan. Kemudian, ia berdiri di hadapanku.
"Hah? Serius, itu benar-benar Souta."
"Lagian kenapa kau bisa bersama gadis secantik itu? Hah?"
"Apakah ada urusan dengan temanku?"
Di tengah suasana yang tegang, Eiji membalas ucapan mereka tanpa gentar.
"Urusan? Ah, bisa dibilang urusan, ya? Bisa pinjamkan mereka sebentar? Tidak akan kami apa-apakan, kok."
"...Kami ada urusan setelah ini, jadi tentu saja kami menolak."
"Sudahlah, jangan kaku begitu. Lihat, para gadis juga jangan waspada begitu. Kami ini... yah? Semacam teman dia?"
Terdengar suara kertakan gigi. Aku pikir itu adalah suara kertakan gigiku sendiri tanpa kusadari──tetapi ternyata bukan.
Nagi sedang mengertakkan giginya dengan kuat. Tangannya yang terkepal begitu erat hingga memutih.
"Kalau begitu, aku yang lebih berhak. Aku adalah sahabat karibnya."
"...Hah? Sahabat karib?"
Merespons ucapan Eiji yang dilontarkan dengan nada kesal──mereka mengulangi kata-kata itu.
Lalu, mereka tertawa. Seolah-olah baru saja mendengar lelucon yang sangat lucu.
"Pfft... khkh, hahaha! Sahabat karib, sahabat karib, ya. Memang, sebutan itu berguna sekali, ya."
"...Apa maksudmu?"
"Aku paham. Dia itu berguna sekali setelah membolos kelas, kan? Karena dia anak rajin, catatannya lengkap semua, dan buku latihannya pun dikerjakan dengan patuh."
"Mungkin juga kalau jadi sahabat karibnya, kita bisa ditraktir macam-macam? Lihat saja, rumahnya kan kelihatannya cukup kaya."
"Benar juga. Dia juga membawa tiga gadis, semuanya sangat cantik. Kalau dia suka perempuan, pasti dia rela mengeluarkan uang, kan."
Melihat mereka yang seenaknya melanjutkan percakapan, Eiji memasang ekspresi seolah melihat sesuatu yang tidak dapat dipercaya.
...Tidak, bukan hanya Eiji. Kirika dan Hikari──juga Nagi. Mereka semua mengerutkan kening dan menatap tajam ke arah para pria itu.
"...Kalian."
"Eh, apa? Atau jangan-jangan kau sungguhan... menjadi sahabat karib orang seperti ini? Khkh, eh, serius?"
"Tidak mungkin. Lagipula lihat, Souta juga tidak mengatakan apa-apa waktu itu, kan. Hari ini pun dia hanya diam saja. Coba katakan sesuatu? Ayo, katakan kalau kita ini teman."
"──Tolong hentikan candaanmu."
Itu adalah suara yang dingin, seolah mampu membekukan udara itu sendiri.
"Sejak tadi aku dengarkan, kalian bicara seenaknya. Sikap angkuh yang bahkan tidak merasa malu atas perbuatan sendiri... Semuanya benar-benar membuatku muak."
"Wah-wah, berani juga kau bicara, ya. Meskipun aku tidak mengerti setengah dari yang kau katakan."
"Lagian, daripada bersama anak rajin begitu, kenapa tidak ikut kami saja? Di sini lebih menyenang──"
"Aku menolak."
Meski begitu, entah mereka menyadari atau tidak kemarahan Nagi yang meluap... mereka masih tersenyum tipis dengan angkuh.
"Meskipun bicaramu ketus, kau benar-benar gadis yang manis, ya. Siapa namamu?"
"Aku tidak punya nama untuk diperkenalkan kepada orang yang tidak punya sopan santun. Akan tetapi, aku akan mengatakan ini."
Nagi melangkah maju satu langkah di depanku. Menggenggam tanganku dengan erat.
"Aku adalah kekasihnya──Souta-kun. Dan juga, tunangannya... Aku tidak akan memaafkan siapa pun yang menghinanya lebih dari ini."
"...Oi, oi. Bohong, kan? Dengan orang membosankan seperti itu?"
"Apakah kau tidak mendengar perkataanku?"
Salah satu dari mereka bergidik. Begitu dinginnya suara Nagi.
"Untuk jaga-jaga, akan kusampaikan sekali lagi. Aku tidak akan memaafkan penghinaan terhadapnya."
"Aku juga tidak bisa memaafkannya lebih dari ini."
Nagi dan Eiji menatap tajam ke arah mereka. ...Perkataan dan tindakan mereka perlahan-lahan mengikis rasa takut yang telah mengakar di lubuk hatiku.
"A-apa-apaan ini. Sialan."
"Kau hanya mengandalkan orang lain karena tidak bisa melakukan apa-apa sendirian, ya?"
"...Brengsek."
"Eiji."
Aku memanggil namanya. Nama sahabat karibku yang marah demi diriku.
Ketika aku memanggilnya, ia tampak ragu sejenak, lalu menarik kembali kakinya yang hampir melangkah maju ke arah mereka.
"Nagi juga, terima kasih."
Kemudian aku menatap Nagi. Mata birunya yang jernih menatapku lekat──lalu, ia mengangguk.
Aku teringat malam itu. Hari ketika aku berbicara dengan ayah dan yang lainnya.
Aku sangat senang Nagi dan Eiji marah demi diriku... Akan tetapi, aku juga punya harga diri sebagai seorang pria.
"Sebagai tunangan Nagi, aku tidak ingin menunjukkan sisi yang memalukan."
"Hah? A-apa, kau mau berkelahi? Kau yang tidak bisa melakukan apa-apa tanpa teman."
"Ya. Memang benar, dulu aku tidak bisa melakukan apa-apa tanpa teman."
Mungkin dia mengatakannya dengan niat memprovokasi. Tapi, itu adalah sebuah fakta.
"Aku yang sekarang tidak sendirian... Aku sudah berbeda dari diriku di masa lalu."
Aku melontarkan kata-kata itu kepada mereka──dan juga, kepada diriku sendiri.
"Maaf, ya. Sebenarnya aku sudah tidak sendirian lagi. Sekarang aku menjalani hari-hariku dengan menyenangkan."
"Hah! L-lalu kenapa memangnya!"
"Kalau ditanya kenapa, memang agak sulit menjelaskannya."
Apa yang sebenarnya ingin aku katakan pada mereka? Apa yang ingin aku sampaikan?
...Yah, jika harus dikatakan.
"Sekarang, aku hidup dengan bahagia."
"Hah? Ada apa tiba-tiba?"
"Dulu ada satu hal yang selalu mengganjal di hatiku... yaitu, apakah aku akan kembali merasa takut jika bertemu kalian lagi. Kenyataannya, aku memang takut. Termasuk saat kita bertemu di taman tempo hari... Dan karena itu, aku merasa sangat kesal."
Pada diriku yang tidak bisa membalas apa pun. Jika aku tidak bisa bertemu mereka seperti ini, hal itu pasti akan menjadi penyesalan seumur hidup.
Ini
"Terima kasih. Berkat kalian, aku jadi teringat bahwa aku punya teman-teman yang bisa diandalkan, dan juga keluarga yang bisa diandalkan."
"H-hah? Apa kau bercanda?"
"Aku serius. …Aku bukan lagi diriku yang dulu, yang selalu kalian permainkan. Aku bukan lagi diriku yang tidak bisa membalas ucapan apa pun."
Aku berbeda dari diriku saat itu, dan juga berbeda dari diriku beberapa hari yang lalu. Pada saat ini, aku merasa yakin.
"A-apa yang kau katakan! Kau yang selalu sendirian! Kau yang tergila-gila pada gadis!"
"Aku tidak lagi sendirian. Lagipula aku tidak pernah tergila-gila seperti itu... tapi sekarang, aku memiliki seseorang yang berharga."
Aku menatap Nagi. Aura tajamnya yang tadi telah hilang, dan saat menatapku, pipinya sedikit mengendur seolah tersenyum.
"Aku tidak akan lari ataupun bersembunyi. Demi menjadi orang yang keren dan bisa diandalkan, seperti yang aku inginkan."
"A-apa-apaan yang kau katakan, tidak ada artinya sama sekali. Dasar... p-pria penyendiri!"
Mendengar perkataannya──Kirika tertawa dengan ekspresi tidak habis pikir.
"‘Penyendiri’, ya? Kudengar akhir-akhir ini Souta sering diajak bicara di sekolah, lho. Bukannya dia tidak bisa berbicara dengan orang lain."
"K-kau... Dasar muka jelek!"
Mendengar ucapan selanjutnya, kali ini giliran Hikari yang memasang wajah tidak habis pikir.
"...Yah, menurutku penampilannya cukup bagus, lho. Nagi yang bilang, tapi sepertinya akhir-akhir ini dia juga memperhatikan penampilannya, rambutnya ditata, bukankah dia tipe pria tampan yang menyegarkan?"
"Guh... d-dasar lemah!"
Dan kemudian, Eiji menghela napas dengan ekspresi tidak habis pikir.
Tentu, ini adalah terjemahan dari kelanjutan teks tersebut.
"Itu kan hinaan yang bahkan anak SD saja tidak akan pakai. Apa maksudnya ‘lemah’? Kedengarannya seperti alasan orang yang kalah saja."
"A-apa katamu!? D-dasar... kurus kerempeng!"
Dan, akhirnya Nagi tertawa.
"Kau benar-benar tidak melihat Souta yang sekarang, ya. Souta yang sekarang sudah cukup berotot, lho. Aku tahu karena aku sudah beberapa kali melihat dan menyentuhnya."
"H-hah!?"
Dia goyah mendengar perkataan Nagi. Teman-temannya yang lain pun tampak sama, mata mereka bergerak-gerak gelisah.
Kemudian, bahunya bergetar hebat──dan ia mengangkat kepalan tangannya.
"K-kalian, jangan meremehkan ka──"
"Yang meremehkan... tidak, yang mencoba meremehkan adalah kau."
Sebelum kepalan tangan itu terayun, aku menangkap dan menghentikan pergelangan tangannya.
"Brengsek, apa yang kau lakukan! Kalian!"
"...Oh, ada apa? Kalau mau berkelahi, kami akan jadi lawanmu?"
Saat dia memanggil teman-temannya, Eiji mengambil posisi siaga. ...Sangat keren.
"Maaf ya, Kirika. Aku mungkin akan melanggar janjiku."
"Tidak apa-apa! Kalau diserang, lawan saja! Asal kau tahu, Eiji, melawan lima orang itu mudah bagimu, kan."
"Tentu saja. Aku bahkan pernah melawan sekitar sepuluh orang."
"Informasi baru yang belum pernah kudengar lagi... Jadi, apa kita benar-benar akan melakukannya? Kita masih di depan kuil, dan banyak orang."
Meskipun kami sudah berjalan sedikit, kuilnya masih terlihat, dan para pengunjung Hatsumode sedang menatap ke arah kami. Jika keributan ini berlanjut, polisi bisa dipanggil. Sebenarnya tidak masalah bagi kami karena kami tidak melakukan apa-apa.
"...Cih."
Dia mendecakkan lidah dan mengibaskan tanganku.
"Sudah, sudah! Kita pulang!"
"O-oi. Apa tidak apa-apa? Dipermalukan oleh orang seperti Souta."
"Berisik! Jangan sebut namanya lagi!"
Sambil menghentakkan kaki dengan kasar, mereka pun pergi.
Aku menatap mereka sampai sosoknya tidak terlihat lagi──lalu menghela napas panjang.
"...Aku terselamatkan. Terima kasih, semuanya."
"Fufu. Kerja bagus, Souta-kun. Tadi itu keren sekali."
"Ah... maaf, Nagi, aku tadi menggenggam tanganmu sangat erat."
"Hal seperti ini tidak apa-apa, kok."
Aku juga menggenggam tangan Nagi dengan erat, dan karena itu tangannya menjadi pucat. Saat aku buru-buru melepaskannya, warna darah segera kembali ke tangannya.
"Aku juga jadi lega."
"Woaah! Bagian akhir tadi keren sekali, kalian berdua!"
"Iya. Meskipun aku sedikit takut kalau-kalau jadi masalah besar."
Eiji, Kirika, dan Hikari menyambung dengan senyum lembut. Berkat mereka, aku bisa memberanikan diri.
"Eiji. Sungguh, terima kasih. Kau membuatku merasa sangat kuat."
"Ya, sama-sama."
"Kirika dan Hikari juga, terima kasih sudah membelaku."
"Memang ucapan mereka tidak masuk akal, sih. Tapi di saat seperti ini, jawabannya ‘sama-sama’, kan?"
"Kalau begitu aku juga, sama-sama. Aku merasa lega melihat mereka lari tunggang-langgang pada akhirnya."
Aku tersenyum mendengar kata-kata itu, lalu menatap Nagi sekali lagi.
"Terima kasih, Nagi. Sudah ada di sisiku. ...Tapi, aku juga membuatmu takut. Maaf, ya."
"Aku akan jawab, sama-sama. Tapi, aku sama sekali tidak takut, kok. Karena aku percaya Souta akan melindungiku."
Kemudian Nagi kembali menggenggam tanganku.
"Kau benar-benar sudah berjuang keras, Souta. Aku sangat bangga padamu."
"...Karena aku tunangan Nagi."
"Iya! Fufu, kau tunangan kebanggaanku!"
Untuk ke depannya... tentu aku tahu aku tidak boleh terlalu memikirkannya.
Aku akan berusaha. Agar bisa terus menjadi tunangan kebanggaan Nagi.
◆◆◆
"Lucunyaa! Empuk dan berbulu!"
"...Manis."
"Fufu. Manis sekali, ya."
Setelah selesai dari Hatsumode dan pulang untuk berganti pakaian, sesuai janji, kami pergi mencari Haku... dan berhasil bertemu dengannya.
"Terima kasih, Shirayama-san. Tiba-tiba mengganggu kamu saat sedang berjalan-jalan."
"Tidak apa-apa, tidak apa-apa. Kalau teman-teman Souta, aku sangat menyambutnya. Lagipula, kalian semua berkumpul, gadis-gadis cantik dan pria-pria tampan. Tentu saja, termasuk Souta juga, kan?"
"A-ah, terima kasih."
Aku merasa sungkan dimasukkan ke dalam golongan itu... tapi sudahlah, aku melihat ketiga gadis itu bermain dengan Haku. Aku senang mereka terlihat menikmatinya.
Kemudian, aku mendekati Eiji yang juga sedang melihat mereka di sebelahku. Aku berbicara dengan suara pelan agar tidak mengganggu mereka bertiga.
"Eiji. ...Tidak apa-apa kalau kau tidak mau cerita, tapi boleh aku bertanya tentang yang tadi?"
"Hm? Oh... yang tadi, ya. Tunggu sebentar."
Setelah berpikir sejenak, Eiji melihat ke arah ketiga gadis itu... ke arah Kirika.
"Kirika."
"Apa? Kenapa?"
"Boleh aku ceritakan pada Souta?"
"Boleh. Tentang hal itu, kan?"
Sepertinya ini berhubungan dengan Kirika. Tadi dia juga menyebut soal janji.
"Terus terang saja, Kirika itu dari dulu anak yang sering diintimidasi."
"...Benarkah?"
"Ya. Dulu dia lebih muram daripada sekarang, dan temannya sedikit. Sedangkan aku tidak banyak berubah dari dulu. Tidak, dulu aku bahkan lebih menjadi pusat perhatian di kelas. Temanku banyak, dan walau aku sendiri yang bilang, aku cukup populer. ...Meskipun populer, aku akrab dengan seorang gadis yang tidak menonjol di kelas. Banyak gadis yang tidak suka dengan itu dan mencari-cari masalah dengan Kirika."
"...Begitu, ya."
Eiji berbicara sambil menatap ke kejauhan. Kalau dipikir-pikir, saat aku bercerita bahwa aku pernah mengalami hal seperti perundungan, reaksi Kirika memang paling besar. ...Mungkin karena itu.
"Tentu saja aku selalu menghentikannya setiap kali aku melihat. Tapi saat SMP... ada masa di mana dia diincar oleh seorang gadis yang cukup merepotkan. Kakak laki-laki gadis itu adalah berandalan, dan dia punya banyak teman yang kasar."
"...Berarti yang kau katakan tadi juga?"
"Ya. Ini bukan sesuatu yang bisa dibanggakan, tapi gadis itu menyukaiku. Saat aku menolaknya, aku pernah melawan sekitar sepuluh orang temannya. Aku babak belur, tapi entah bagaimana berhasil mengalahkan mereka semua. Kejadian itu menjadi masalah di sekolah, tapi setelah melihat situasinya, mereka yang dinyatakan bersalah. ...Tapi, aku terluka cukup parah."
Eiji tersenyum seolah bernostalgia. Namun, senyum itu lebih terlihat seperti mencela diri sendiri.
"Aku membuat Kirika sangat khawatir. Meskipun ada bagian yang tidak bisa dihindari, dia berharap kalau bisa aku tidak terluka lagi. ...Yah, karena kejadian-kejadian seperti itulah aku dan Kirika akhirnya berpacaran."
"...Begitu. Jadi itu pemicunya."
"Ya. Kirika mulai menjadi seperti sekarang juga karena kejadian itu. Agar dia tidak diintimidasi lagi. Dan aku juga berjanji tidak akan berkelahi sampai adu fisik lagi. Tadi aku hampir melanggarnya, tapi itu situasi darurat."
Titik-titik misteri kini terhubung menjadi sebuah garis. Namun, dengan begitu, muncul pertanyaan baru.
"Lalu kenapa kalian masuk SMA yang berbeda?"
"...Ah. Satu alasan sederhana adalah kemampuan akademis. Kirika, sama sepertimu sekarang, sebenarnya rajin, tapi entah kenapa dia tidak pandai dalam pelajaran. Mungkin dia tidak tahu cara belajar yang benar. Sebenarnya, akhir-akhir ini pelajarannya berjalan cukup baik. Itu semua berkat kalian, Souta."
"Tidak, aku rasa itu juga karena Kirika sendiri yang berusaha keras."
"Tentu saja. Tapi, aku tidak bisa melakukannya untuknya. Terima kasih, ya."
"...Sama-sama."
Saat aku menerima ucapan terima kasihnya, Eiji tertawa. Setelah tersenyum sejenak, dia kembali ke topik pembicaraan.
"Lalu, ada satu alasan lagi. Kami terlalu sering bersama, jadi seperti ada sedikit ketergantungan. Dia bilang, kami harus mencari teman yang benar-benar akrab."
"Begitu. Sulit membayangkan kalian berdua tidak punya teman yang sangat akrab, tapi memang, itu terdengar seperti sesuatu yang akan dikatakan Kirika."
Aku sudah berkali-kali melihat betapa mesranya Eiji dan Kirika. Hubungan mereka yang setara dan saling menghormati sangat nyaman untuk dilihat.
Itu mungkin juga karena usaha Kirika. Tentu saja, Eiji pasti juga berusaha tidak kalah kerasnya.
"Karena hal-hal seperti itulah aku cukup terbiasa berkelahi."
"Selama ada alasan untuk melindungi orang yang berharga, aku tidak akan menyalahkannya. Justru menurutku itu hebat."
"Terima kasih. ...Tapi, aku yang sekarang pada dasarnya bisa mengatasi sesuatu sebelum terjadi. Aku yang dulu hanya berpikir yang penting masalahnya selesai."
Kata-kata Eiji mengingatkanku pada kejadian hari itu.
Sebelum sesuatu terjadi──memang benar, insiden Nagi berhasil diselesaikan oleh Eiji tepat sebelum terjadi. Dia bahkan menelepon untuk menanyakan hasilnya, dan datang ke rumah karena aku tidak menjawab... itu mungkin adalah tindakan terbaik yang bisa dia bayangkan. Dan yang terburuk pun bisa dihindari.
"...Rasanya aku mulai mengerti tentangmu, Eiji."
"Aku juga jadi lebih mengerti tentangmu, Souta. Termasuk kenapa aku bisa akrab denganmu. Intuisiku kini menjadi keyakinan."
"Kenapa?"
"Karena kau mirip dengan seseorang──mirip dengan Kirika."
Eiji tertawa kecil, namun menatap lurus ke arahku.
"Selama ini melalui banyak hal dengan Kirika, aku sudah berpikir berkali-kali. Kenapa orang yang sudah hidup dengan serius dan berjuang setiap hari harus mengalami hal yang buruk."
"...!"
"Dunia ini tidak adil. Sialan. Aku tahu itu. Aku tahu, tapi aku tidak mau menerimanya. ...Setidaknya, tidak di sekitarku."
Fuuu, Eiji menghela napas. Seolah membuang semua amarah yang kembali menyala.
"Aku menyukaimu sebagai pribadi. Kau mungkin tidak begitu menonjol di sekolah, tapi perhatianmu pada hal-hal kecil dan kebaikanmu terlihat jelas. Kau mengerjakan tugas yang lupa dikerjakan oleh petugas piket, atau menggantikan anggota komite yang absen. Aku juga tahu kau menyiram bunga yang hampir layu karena anggota komite kebersihan lupa menyiramnya."
"K-kau ternyata cukup memperhatikanku, ya?"
"Tentu. Karena itu, aku tidak suka. Melihatmu mengalami hal yang tidak adil."
Kemudian, ekspresinya kembali melembut.
"Karena latar belakang yang kuceritakan tadi, aku sebenarnya memutuskan untuk membatasi jumlah teman yang benar-benar akrab... hanya dengan orang seperti Kirika, yang rajin... dan justru dirugikan karena terlalu baik."
"Jadi karena itu kau mau berteman akrab denganku."
"Ya. Tapi jangan salah paham. Benar juga bahwa aku senang saat bersamamu. Aku tidak sehebat itu untuk bisa hidup dengan terus-menerus waspada, dan aku juga tidak mau menjalani hidup seperti itu."
Dia sengaja menambahkan kata-kata itu agar aku tidak khawatir. Aku pun tanpa sadar tertawa.
"...Eiji, kau itu benar-benar baik, ya."
"Tentu saja, kan? Aku ini orang baik, tahu?"
"Ya, aku tahu. Aku hanya memastikannya kembali."
Aku senang Eiji dan yang lainnya datang hari ini. Aku bisa menjadi lebih akrab dengan mereka daripada sebelumnya.
──Tiba-tiba, Shirayama-san muncul di sebelahku.
"Kau punya teman-teman yang baik, ya, Souta."
"N-Nyonya Hakusan. Maaf, tiba-tiba saya malah asyik mengobrol dengan teman."
"Tidak apa-apa. Meskipun aku jadi tidak sengaja menguping."
Shirayama-san tertawa riang. Kemudian dia menatap Eiji.
"Tolong jaga anak ini, ya. Dia sudah bermain dengan Haku sejak Haku masih kecil, sudah seperti cucuku sendiri."
"Tentu saja. Kami akan terus... bahkan sampai dewasa nanti, aku rasa kami akan terus berteman akrab."
"Begitu, ya. Syukurlah, Souta."
"Iya... sungguh."
Aku melihat Nagi dan yang lain bermain dengan Haku, lalu menatap Eiji.
"Terima kasih, sahabat. Sudah datang sejauh ini."
"Sama-sama, sahabat. Aku juga senang, kok."
Saat aku mengulurkan kepalan tanganku, Eiji mengetukkannya dengan kepalan tangannya.
──Liburan musim dingin... sedikit demi sedikit mendekati akhirnya.
∆∆∆
Setelah Hatsumode selesai dan aku bermain sepuasnya dengan Eiji dan yang lain, mereka pun pulang. Kemudian, setelah tiga hari pertama di tahun baru berlalu, hari untuk kembali ke Tokyo pun tiba dalam sekejap.
"Sudah mau pulang, ya... Apa ayah boleh ikut?"
"Ayah kan ada pekerjaan. ...Aku akan kembali lagi nanti. Lagipula, Ayah boleh datang kapan saja."
"Baiklah... setiap minggu. Tidak, aku akan datang tiga kali seminggu, Souta."
"Nanti uang Ayah cepat habis, lho."
Ayah dan ibu mengantarku ke stasiun dengan mobil──aku memeluk ayah sekali.
"Tentu saja itu bercanda. ...Souta, jaga dirimu baik-baik, ya."
"Iya. Ayah juga, jangan terlalu memaksakan diri dalam bekerja."
"Hanya dengan kata-kata itu, ayah sepertinya bisa kerja 30 hari berturut-turut."
"Ibu bisa pingsan karena khawatir, jadi jangan pernah lakukan itu."
Kemudian aku melepaskan pelukanku. Ayah menatap Nagi.
"Nagi-chan."
"Iya."
"Hiduplah dengan bahagia bersama Souta, ya. Banyak hal yang hanya bisa dilakukan selagi masih pelajar. Tentu saja, hargai juga waktumu bersama keluarga. Tolong sampaikan salamku untuk Souichiro-san dan Chie-san."
"Baik. Akhir tahun ini, silakan datang berkunjung. Papa dan Mama pasti akan senang. Tentu saja, kami juga sangat menyambut Anda di lain waktu."
"Terima kasih. Kalau begitu, aku dan ibu akan berkunjung nanti."
Kemudian, ibu menatapku. ...Kali ini aku memeluk ibu.
"Souta. ...Dalam hidup, siapa yang paling menikmatinya, dialah pemenangnya. Seperti yang ayahmu katakan, banyak hal yang hanya bisa dilakukan selagi muda. Kalau ada hal yang ingin kau coba, lakukan saja dulu. Kalau ada masalah, bicarakan dengan kami atau Nagi-chan dan keluarganya."
"...Iya. Terima kasih, Bu. Masakannya enak sekali."
"Syukurlah kalau begitu. ...Mungkin tidak akan sering terjadi, tapi kalau Nagi-chan tidak ada, kau harus tetap makan dengan benar, ya. Oh, dan ibu sangat senang kalian akrab, tapi kalian harus pakai kontrasepsi, ya."
"Akan kuingat baik-baik."
Kata-kata terakhir itu diucapkan dengan pelan agar tidak terdengar oleh orang lain. Setelah melepaskan pelukan, kali ini ibu yang memeluk Nagi.
"Tolong jaga Souta, ya. Berbahagialah kalian berdua. Aku akan sering menghubungimu sama seperti aku menghubungi Souta. Kalau kau ingin menambah variasi masakan, katakan saja. Aku bisa memberimu saran."
"Baik, terima kasih banyak. Aku juga akan mengambil banyak foto bersama Souta-kun dan mengirimkannya pada Ibu."
"Iya, tolong, ya."
Nagi dan ibu berpisah. Kemudian aku menggandeng tangan Nagi.
"Kalau begitu, ayo kita berangkat."
"Iya. Kalau begitu, Ibu, Ayah. Kami berangkat."
"Kami berangkat, Ibu Mertua, Ayah Mertua."
"Hati-hati di jalan, Souta, Nagi-chan."
"Hati-hati di jalan, Souta, Nagi-chan."
Kami melambaikan tangan pada mereka berdua, lalu masuk ke dalam stasiun.
Sampai sosok kami tidak terlihat lagi, mereka berdua terus melambaikan tangan.
◆◆◆
"Sudah pulang, ya."
"Sepertinya belum terlalu lama, tapi rasanya jadi rindu, ya."
Kami pulang ke rumah dan menyalakan lampu. Udaranya sedikit dingin, sepertinya aku harus membuka jendela untuk sirkulasi udara.
"Lagipula, apa tidak apa-apa? Aku pikir kau akan pulang ke rumahmu sendiri hari ini."
"Hari ini spesial. Aku sudah dapat izin dari papa dan mama, jadi tidak apa-apa. Sebelum makan malam... kita cuci tangan dulu, ya."
Hari ini Nagi juga menginap di rumahku. Aku baru diberi tahu tadi dan sedikit terkejut. Tentu saja aku senang.
"Souta-kun."
Setelah selesai mencuci tangan dan berkumur, Nagi memanggilku. Saat aku berbalik bertanya ada apa──aroma bunga yang manis dan lembut menggelitik hidungku.
"──Ngh."
Aku dicium. Sebuah serangan tiba-tiba... dan karena aku baru saja berkumur, sensasi bibirnya yang lebih dingin dari biasanya membuat jantungku berdebar kencang.
"Entah kenapa, rasanya sudah lama sekali. Ciuman seperti ini denganmu, Souta-kun."
"...Meskipun kita memang melakukannya sebelum tidur, tapi di sini kita hanya berdua, ya."
"Iya. Kapan saja, sebanyak apa pun, kita bisa berciuman. Tapi aku akan menahan diri karena nanti bisa tidak ada batasnya."
Nagi tersenyum. Kemudian dia merentangkan tangannya.
"Aku mau peluk."
"Iya, aku juga baru saja ingin melakukannya."
Aku meraih tangannya dan menariknya mendekat. Lalu memeluknya dengan erat.
"Menyenangkan sekali. Kampung halamanmu, Souta-kun."
"Aku juga senang. Aku bisa bertemu Haku dan guruku... dan aku juga berhasil mengatasi traumaku."
"...Itu adalah trauma bagimu, kan, Souta-kun."
"Rasanya agak terlalu lemah untuk disebut trauma... tapi, yah, begitulah."
Jika memikirkan arti asli dari kata trauma, ini memang terasa agak lemah. Kilas balik juga... sudah banyak berkurang sejak aku bertemu Nagi, dan sebelum itu pun ada Eiji.
"Meskipun tidak semuanya... aku jadi tahu banyak hal tentangmu, Souta-kun. Hal-hal yang kau anggap menyenangkan... dan juga hal-hal yang kupikir mungkin tidak menyenangkan bagimu."
"Benar. Kalau harus semuanya, aku harus menceritakan seluruh pengalamanku, itu bisa butuh waktu bertahun-tahun. Tentu ada juga yang sudah kulupakan. Tapi mungkin aku akan teringat sedikit demi sedikit, dan saat itu terjadi, aku akan menceritakannya padamu."
"Tentu. Aku ingin tahu segalanya tentangmu."
Saat aku mengangguk, Nagi memelukku lebih erat.
"Ceritakan juga tentangmu padaku, Nagi. Tentu saja, saat kau teringat saja tidak apa-apa."
"...Iya, benar. Suatu saat, aku ingin memperkenalkanmu pada guru tari tradisional Jepang-ku. Oh, benar juga. Ada beberapa video tarianku yang tersimpan di rumah. Lain kali, kita tonton di rumahku, ya? Meskipun agak memalukan."
"Iya, aku mau sekali melihatnya."
Sambil menjawab, aku memeluk Nagi lebih erat. Aku berharap bisa mengenal Nagi sedikit demi sedikit mulai dari sekarang.
Kemudian, kekuatan di lengan Nagi mengendur, dan pelukan kami terlepas.
"Untuk sementara, pengisian ulang ‘komponen Souta-kun’ selesai. Ayo kita makan. Setelah itu mandi──"
Mata biru Nagi menatapku lurus. Mata yang biru dan lurus tanpa batas.
──Di dalamnya, aku melihat warna yang belum pernah kulihat sebelumnya.
"Ayo kita ke tempat tidur berdua."
"...Iya. Ayo."
Aku tidak cukup bodoh untuk tidak mengerti apa arti kata-kata itu. Kemudian kami pun berjalan menuju dapur.
◆◆◆
Makan malam kami adalah tumis salmon, sup miso, dan kinpira gobo. Tentu saja rasanya sangat lezat. Aku sudah berkali-kali mengatakan pada Nagi bahwa masakannya enak.
Kami makan malam sedikit lebih awal, bersantai sejenak, lalu mandi. ...Nagi masuk lebih dulu, kemudian aku. Ini kebalikan dari biasanya, tapi ada alasannya.
Aku berjalan ke kamar sambil mengeringkan rambutku dengan handuk. Sesuatu yang biasanya tidak kulakukan.
Saat aku masuk ke kamar──di atas tempat tidur, dia sedang duduk.
"Selamat datang kembali, Souta-kun. Silakan ke sini."
"Iya. Aku pulang."
Sesuai ucapan Nagi, aku duduk di atas bantal duduk yang diletakkan di depan tempat tidur. Sebenarnya tidak apa-apa duduk langsung di karpet, tapi sepertinya dia sengaja menyiapkannya untukku.
Kemudian, saat aku duduk, Nagi tersenyum dan mengeluarkan pengering rambut.
"Aku keringkan, ya. Kalau terlalu panas, katakan saja."
"Tolong, ya."
Setelah percakapan singkat, pengering rambut dinyalakan.
Aku tidak mengeringkan rambutku sendiri karena Nagi mengatakan dia yang ingin mengeringkannya.
Angin panas mengenai kepalaku. Awalnya terasa jauh, lalu perlahan mendekat, dan berhenti pada jarak yang pas. Kemudian rambutku dikeringkan seolah dielus. Rasanya sangat hangat, dan hatiku pun ikut terisi.
"Apa kau merasa nyaman, Souta-kun?"
"Iya, nyaman sekali."
Rasanya sangat nyaman sampai-sampai aku bisa tertidur jika memejamkan mata. Meskipun aku tidak boleh tidur sekarang.
Rambutku terus dikeringkan selama beberapa saat. Rambutku tidak sepanjang rambut Nagi, jadi cepat kering.
Suara pengering rambut berhenti, dan Nagi mengelus rambutku yang halus. Kemudian, dia membenamkan wajahnya di kepalaku.
"Souta-kun, wangimu harum."
"Yah... kan baru selesai mandi."
"Tentu aku pikir itu salah satunya. Wangi dari sampo dan kondisioner. Tapi, wangi khas dirimu juga tercium, lho. Fufu."
Aku dipeluk oleh Nagi dari belakang. Setelah sekitar satu menit, dia melepaskanku.
"Souta-kun, ke sini."
Atas permintaan Nagi, aku naik ke tempat tidur. Nagi menggenggam tanganku erat.
Kami saling menatap di atas tempat tidur. Bagaikan mengalir──bibir kami bertemu.
"Ngh... Fufu. Aku suka berciuman denganmu, Souta-kun."
"Aku juga suka. Kebahagiaan meluap dan tidak bisa berhenti."
"Sama. Rasa cinta dan bahagia membuat kepala dan hatiku dipenuhi olehmu... rasanya melayang."
Dia lalu mengulurkan tangan dan mengelus pipiku. Aku pun meletakkan tanganku di pipinya.
"Apa yang akan terjadi setelah ini, ya. ...Aku sedikit cemas, apakah aku akan jadi gila karena terlalu bahagia."
"...Entahlah. Aku juga tidak tahu, tapi... aku juga punya sedikit kecemasan. Kudengar beban lebih banyak ada di pihak perempuan."
"Pasti akan baik-baik saja. ...Tapi, tolong jangan berhenti di tengah jalan, ya."
"Akan kucoba sebisaku."
Nagi tertawa kecil. Kemudian dia menggeser tangannya ke bawah──dan berhenti di depan dadaku.
"Jantungmu berdebar kencang sekali, Souta."
"...Yah, aku cukup gugup."
"Fufu, pembohong. Kau sangat gugup, kan."
Aku hanya bisa terdiam mendengar kata-kata Nagi. ...Dalam situasi ini, mustahil untuk tidak gugup.
"Aku juga sama, Souta-kun. ...Coba sentuh."
"...Permisi."
Atas permintaan Nagi, aku menurunkan tanganku. Dan──meletakkannya di atas dadanya.
Dag, dug, dag, dug, suara jantung yang kencang dan cepat terdengar.
"Sama, kan. Jadi... mari kita nikmati kegugupan ini bersama-sama."
Nagi mendekatkan wajahnya... dan menyentuhkan kening kami. Aku mengangguk pada kata-katanya, dan sekali lagi menyatukan bibir kami.
"Hei, Souta-kun."
Aku dipeluk, dan tubuh kami menyatu. Aku bisa merasakan kehangatan dan kelembutan tubuh Nagi. Dan juga──detak jantungnya.
Nagi merangkai kata-katanya dengan perlahan. Akhirnya, detak jantungku dan detak jantungnya bersatu.
"──Aku mencintaimu. Aku akan mencintaimu seumur hidupku... Bukan. Bahkan jika kehidupan ini berakhir, dan aku menyambut kehidupan selanjutnya, aku akan terus mencintaimu dan berada di sisimu."
Matanya biru seperti lautan. Rambutnya seputih salju, kulitnya seputih susu.
Bibirnya berwarna merah ceri yang sehat. Suaranya yang keluar dari sana sejernih aliran sungai.
"Bahkan jika di kehidupan selanjutnya aku tidak terlahir sebagai manusia. Aku akan menemukanmu, Souta-kun, dan berada di sisimu. Dalam wujud apa pun, aku akan ada di sisimu... Mungkin ini terdengar berlebihan, ya."
"Sama sekali tidak berlebihan."
Aku memeluk tubuhnya. Tubuh yang ramping dan seolah akan mudah patah──namun, sama sekali tidak rapuh.
"Aku juga merasakan hal yang sama. Di kehidupan selanjutnya dan kehidupan setelahnya lagi, aku pasti akan menemukan Nagi dan berada di sisimu. Dan, di kehidupan selanjutnya pun, aku akan membuatmu bahagia. Aku janji."
"Aku senang sekali."
Cahaya hangat menyala di dalam mata birunya. Tak lama kemudian, selaput tipis terbentuk di matanya.
"Karena senang, karena bahagia──rasanya... akan meluap."
"Bahkan jika kebahagiaan itu meluap, aku yang akan menampungnya. Aku ingin kau merasa tenang."
"Kalau begitu, aku tenang. Dengan tenang──aku akan dipenuhi oleh kebahagiaan."
Selaput di matanya bergetar, lalu membesar. Akhirnya, ia mengalir membasahi pipinya.
"Aku sangat mencintaimu, Souta-kun. ...Aku mencintaimu."
Bukan hanya air mata, kebahagiaannya juga meluap dalam bentuk kata-kata. Seperti waktu itu, gaya bicaranya yang sopan pun menghilang. Itu juga merupakan salah satu sisi dari Nagi. Aku menerima sisi dirinya itu, dan mencium bibirnya berkali-kali.
"Aku juga sangat mencintaimu, Nagi."
Di dalam kamar, hanya suara dan napas kami, serta detak jantung yang menyatu yang terus menggema. Selain itu, tidak ada lagi yang terdengar.
◆◆◆
Di dalam kereta yang berguncang dengan suara ‘gatan-goton’. Berlawanan dengan cuaca di luar, di dalam gerbong yang pemanasnya bekerja dengan baik, ditambah dengan kerumunan orang, udara terasa begitu panas hingga keringat perlahan membasahi kulit. Bahkan untuk bernapas saja rasanya sudah muak.
Tidak aneh jika seseorang merasa malas untuk pergi ke sekolah setiap hari. Terutama setelah liburan seperti ini. Meski begitu, aku tidak membenci waktu-waktu seperti ini.
Itu karena kehadiran seorang gadis yang selalu naik dari stasiun tertentu.
Rambutnya putih, matanya biru dan sangat indah. Wajahnya sangat rupawan, dan dia memiliki aura yang hangat. Tatapan matanya sangat lembut, dan ekspresinya kaya. Meskipun tidak selalu... dia akan tersenyum ceria saat menemukanku, dan saat aku mendekat, dengan lembut ia akan mengaitkan jari kelingkingnya.
Sikapnya itu begitu manis, cantik, dan menggemaskan.
"Selamat pagi, Souta-kun."
"Selamat pagi, Nagi."
Shinonome Nagi. Kekasihku, dan juga tunanganku.
Kecantikannya bukan hanya dari penampilan. Hatinya juga cantik.
"Uu, ah!"
Tiba-tiba terdengar suara anak kecil... antara bayi dan balita. Saat kulihat, sebuah tangan mungil sedang memegang gagang tasnya.
"M-maafkan saya. Akan segera saya lepaskan. Sayang, tidak boleh."
"Tidak apa-apa, kok. Manis sekali, ya."
Seorang wanita yang tampaknya adalah ibunya sedang menggendong anak berusia sekitar satu tahun. Anak itu... melihat Nagi, lalu tertawa riang.
"...Mungkinkah. Anu, apakah Anda naik kereta ini sekitar akhir Juni tahun lalu?"
"Ah. Iya. ...A-Anda ingat? Waktu itu, maafkan saya. Saya masih belum tahu cara menenangkannya."
"Tentu saja saya ingat. Karena saya pikir dia anak yang sangat manis."
Nagi tersenyum dengan lembut dan hangat. Anak itu pun ikut tersenyum senang.
"Ah, terima kasih."
"Fufu."
Saat Nagi melambaikan tangannya, anak itu pun membalas lambaiannya dengan senyuman. Benar-benar menggemaskan.
"Saya berdoa dari lubuk hati terdalam agar anak itu tumbuh dengan sehat."
"...Anu, maafkan saya. Suasana Anda sedikit... tidak, sepertinya berubah cukup banyak, ya?"
Rupanya ibu itu juga mengingat Nagi. ...Yah, kalau Nagi, tidak aneh jika orang mengingatnya.
"Iya, benar. Saya sendiri merasa sudah banyak berubah sejak saat itu. ...Karena saya bertemu dengannya."
Mata Nagi beralih padaku. Ibu itu juga menoleh ke arahku, jadi aku sedikit mengangguk. Kemudian saat aku mencoba melambaikan tangan pada anak itu, dia membalasnya dengan senyuman. Manisnya.
"...Anda diberkahi dengan pertemuan yang baik, ya."
"Iya, kami berdua."
"...Iya! Memang ada banyak kesulitan, tapi anak ini manis sekali, lho."
Saat Nagi sejenak menatap anak itu, sang ibu mengangguk dengan senyum yang sangat indah dan melanjutkan ceritanya.
Setelah itu, sampai kami tiba di stasiun tujuan, ibu itu menceritakan kenangan-kenangan termanis tentang anaknya. Sepertinya, tujuan mereka lebih dekat. Mereka turun dari kereta lebih dulu. Sampai tidak terlihat lagi, anak itu dan ibunya terus melambaikan tangan.
"...Manis sekali, ya. Bayi, dan juga anak kecil."
"Benar-benar manis."
Aku setuju dari lubuk hatiku pada gumaman Nagi dan mengangguk. Nagi tersenyum puas.
"Souta-kun ingin punya berapa anak?"
Itu adalah pertanyaan yang pernah diajukan padaku. Karena ini yang kedua kalinya... dan dia tidak sedikit lepas kendali seperti waktu itu, aku berpikir dengan perlahan.
"Berapa pun... aku ingin bilang begitu, tapi kalau terlalu banyak, kasihan juga anak-anaknya."
"Menurutku itu juga akan menyenangkan."
"Aku juga setuju. ...Tapi, yah. Kurasa dua atau tiga orang itu bagus."
"Hmm. Aku juga setuju... tapi boleh aku tahu alasannya?"
"Tanganku hanya ada dua. Kalau mau memeluk sekaligus, paling banyak hanya sebatas itu yang bisa kulakukan."
Nagi membelalakkan matanya, lalu tertawa kecil.
"Ngomong-ngomong, di dalam objek yang dipeluk itu, ada aku juga, kan?"
"Tentu saja. Dalam pelukanku, aku membayangkan kau sedang memeluk anak-anak kita."
"Aku bisa membayangkannya. Terlihat sangat bahagia."
Saat kami sedang berbincang seperti itu──stasiun tujuan Nagi pun tiba.
"Sudah sampai, ya. Seperti biasa, cepat sekali."
"Benar. Kalau begitu, Nagi, sampai jumpa sepulang sekolah di kafe."
"Iya. Sampai jumpa sepulang sekolah."
Terakhir, kami mengaitkan jari kelingking dengan erat, lalu aku melepas kepergian Nagi.
◆◆◆
"Katanya tadi pagi ada pelecehan di kereta. Souta, kau tahu sesuatu?"
"Tidak tahu. ...Asal kau tahu, kali ini aku benar-benar tidak tahu."
Aku menjawab temanku, Makisaka Eiji. Berbeda dari waktu itu, aku menjawab sambil menatap matanya lekat-lekat.
"Yah, kurasa begitu. Ngomong-ngomong, kali ini aku yang tahu. Katanya pelakunya berhasil ditangkap di tempat."
"Oh, ya? Begitu, ya."
Tentu saja aku punya kesan buruk pada kata pelecehan. Tanpa sadar nada bicaraku meninggi mendengar perkataannya.
"Katanya, pelakunya adalah pria paruh baya dan sudah sering melakukannya. Seorang siswa SMA yang ada di dekatnya yang menolong. Ah, sekolahnya beda dengan kita."
"...Cerita yang pernah kudengar di suatu tempat."
"Déjà vu-nya masih berlanjut, lho. Ini masih rumor, sih. Katanya siswa SMA yang menangkap pelaku itu diwawancarai karena kebetulan ada reporter berita online di sana. Coba tebak dia bilang apa?"
"Sama sekali tidak bisa menebak... apa?"
Eiji menyeringai. Alasannya──aku paham dari kata-kata selanjutnya.
"’Dulu, aku pernah melihat orang ini melakukan pelecehan. Waktu itu, seorang siswa SMA seumuran saya menolong dengan berteriak kencang. Saya mendapat keberanian dari situ, dan berpikir kalau melihatnya lagi, aku akan bertindak.’ Begitu katanya. Cerita yang pernah kau dengar di suatu tempat, kan?"
"...Entahlah. Cerita yang mirip kan banyak di dunia ini."
"Kau tidak bisa menahan senyummu, lho."
"Berisik. Sesi belajar hari ini kubatalkan."
"Maafkan aku,aku tidak mau tinggal kelas, mohon ampuni aku."
"Kau kan tidak akan tinggal kelas lagi..."
Saat kami sedang berbincang seperti itu, bel tanda dimulainya wali kelas berbunyi.
Hari ini pun, sebuah rutinitas baru dimulai.
◆◇◆
(Sudut Pandang Nagi)
Sepulang sekolah. Untuk persiapan ujian akhir semester bulan depan, kami datang ke kafe.
"Ngomong-ngomong, kalian sudah lihat artikel berita online yang baru keluar tadi?"
"...? Ada apa, ya?"
"Ah. Kirika. Sebaiknya jangan perlihatkan itu pada Nagi, deh."
Obrolan santai sebelum Souta dan yang lain datang. Saat aku bereaksi pada ucapan Kirika-chan, Hikari-chan menghentikannya. Aku penasaran, jadi aku menatap lekat-lekat pada Kirika-chan.
"...Ah, itu. Maaf. Mungkin ini tidak sopan, tapi sepertinya ada insiden pelecehan."
"...Pelecehan, ya. Aku sudah berhasil mengatasinya, jadi tidak apa-apa. Meskipun tidak berubah bahwa aku sangat membencinya."
"Begitu, ya. Aku juga benci sekali pelecehan."
"Aku juga. Nah, katanya pelaku pelecehan itu berhasil ditangkap. Ngomong-ngomong, dari kesaksian orang sekitar, sepertinya dia sudah sering melakukannya. Terus, ada seorang siswa SMA yang menangkapnya di tempat. Wawancaranya itu yang membuatku sedikit penasaran."
"Apa yang dia katakan?"
Semua sebelumnya hanyalah pengantar, dan inilah yang ingin dia ceritakan. Saat aku bertanya, Kirika-chan menyeringai.
"Singkatnya, ‘Dulu ada seorang siswa SMA yang menolong siswi korban pelecehan ini dengan berteriak kencang, dan aku mendapat keberanian dari situ.’ Pernah dengar di suatu tempat, kan?"
"...Bukan hanya pernah dengar, tapi pernah mengalaminya. Aku sangat mengingatnya."
Kirika-chan menyeringai. Terbawa suasana──aku pun ikut tertawa karena bahagia.
Bukan berarti itu sudah pasti. Tapi, jika... tindakan beraninya tersampaikan kepada orang lain, aku akan sangat senang.
"Bagus, ya, kalau tindakan baik seperti ini menyebar luas."
"Iya, sungguh."
Saat aku setuju dengan perkataan Hikari-chan──pintu kafe terbuka, dan terdengar suara lonceng ‘karan-kolon’.
Saat aku menoleh, terlihat dua orang siswa laki-laki. Satu adalah kekasih Kirika-chan, Eiji-san.
Dan, satu lagi adalah──
"Souta-kun."
Kekasih yang sangat kucintai, tunanganku──dan juga teman pertamaku, Minori Souta-kun.
Meskipun aku bertemu dengannya setiap hari, sampai sekarang pun aku masih memanggil namanya karena bahagia setiap kali melihat wajahnya.
Dia juga menatapku dan tersenyum lembut.
"Nagi."
"...Apa mereka akhirnya tidak menciptakan suasana suami-istri hanya dengan saling memanggil nama?"
"Benar-benar seperti istri yang menyambut suaminya pulang dari perjalanan dinas jangka panjang."
Aku tertawa kecil mendengar suara dari sampingku. Souta mendekat... aku sangat ingin menciumnya, tapi untuk saat ini aku menahan diri.
Souta duduk di sebelahku, dan diam-diam mengaitkan jari kelingkingnya. Hanya dengan itu saja aku sudah sangat bahagia.
"Maaf membuat kalian menunggu. Setelah pesan, kita mulai saja?"
"Iya! Ayo kita belajar yang banyak. Sampai Kirika-chan bisa dapat peringkat teratas di angkatan."
"Tolong aku, Hikarun! Aku akan dijadikan seperti Nona Nishizawa yang gila belajar!"
"Itu kan hal yang bagus. Ayo, kita mulai."
"Penghianat! Eiji, tolong!"
"Oke. Kalau begitu, pertama kasih tahu dulu cakupan ujiannya sampai mana. Nanti kubantu."
"Baru kali ini aku lihat Eiji yang sama sekali tidak niat menolong."
"Baik, Kirika-chan. Tolong simpan dulu ponselnya. Karena akan mengganggu belajar."
"Ugh... aku akan berusaha... setelah selesai aku mau pesan parfait."
"Nanti gemuk, lho."
"Oke, kau sudah kelewatan, Eiji. Akan kusumpalkan semua cokelat di parfait itu ke mulutmu."
"Hentikan! Sudah kubilang kan aku tidak suka manis!"
Tanpa sadar aku tersenyum melihat percakapan mereka.
Satu tahun yang lalu... bahkan di akhir liburan musim panas, jika ada yang mengatakan ini padaku, aku pasti tidak akan percaya.
Kehidupan sehari-hari yang kelabu──aku tidak bisa menyebutnya begitu. Waktu itu pun aku sibuk dengan banyak hal, terutama tari tradisional Jepang. Tapi, aku yang waktu itu sendirian.
Akan tetapi, sekarang berbeda.
Aku punya teman seperti Hikari-chan, Kirika-chan, dan Eiji-san.
Dan──Souta. Teman terbaikku yang sangat, sangat kucintai.
Inilah rutinitas baruku yang kusambut setelah sedikit demi sedikit berubah.
Mungkin di masa depan pun akan terus berubah sedikit demi sedikit. Karena tidak ada yang tidak berubah, pasti akan ada perubahan.
Akan tetapi, ada satu hal yang tidak akan pernah berubah. Yaitu, satu tahun, lima tahun, sepuluh tahun, bahkan lima puluh tahun lagi, Souta akan selalu ada di sampingku. Saat itu, aku dan dia pasti sedang tertawa.
Jika boleh berharap, aku ingin saat itu kami masih bisa bermain bersama teman-teman ini.
"Nagi, ada apa?"
Aku tersadar saat Souta-kun memanggilku. Setelah berkedip panjang, aku menatap sosoknya yang kucintai.
"Tidak apa-apa. Aku hanya sedang sedikit bernostalgia, merasa betapa bahagianya diriku."
Memikirkan masa depan memang penting, tapi masa sekarang jauh lebih penting. Karena waktu tidak akan berhenti untuk kita.
Aku menanamkan itu di dalam hati, dan membalasnya dengan senyum yang paling cerah.
──Semoga seluruh perasaan bahagia ini tersampaikan padanya.
Aku tidak tahu apakah perasaan itu tersampaikan atau tidak. Akan tetapi, senyum yang dia berikan padaku juga merupakan senyum yang paling cerah.









Post a Comment