Penerjemah: Flykitty
Proffreader: Flykitty
Chapter 1
Promise ‐ Aku pernah jatuh cinta. Itu saja sudah membuatku bahagia.
Setiap kali aku melihat bunga sakura, aku teringat sesuatu kenangan. Tentang orang yang pertama kali aku cintai dengan sungguh-sungguh. Semua waktu yang kita habiskan bersama.
❀
"Hey, Hikari, itu sangat indah ya."
Melihat pola sayap yang digambar di lengan Yuzuki Hikari, Ai bersinar dengan mata yang berkilau. Senyumnya yang cerah membuatnya terlihat lebih muda daripada kesan penampilannya.
Suara dan kata-katanya pun terdengar begitu jernih dan tulus.
Tiba-tiba, dada Hikari berdebar kencang.
Ah, mungkin wajahku memerah.
Rasanya sudah lama sekali.
Lebih tepatnya, sudah empat tahun.
Pada hari-hari yang jauh ketika aku bersama sensei, aku merasakannya hampir setiap hari.
Namun, Hikari kini sudah lebih dari dua puluh tahun, jadi sedikit memalukan merasa tersentuh oleh seorang gadis yang terlihat sekitar berumur lima belas tahunan.
Oleh karena itu, aku berpura-pura tidak peduli dan sedikit menolehkan kepalaku secara lembut.
"Apakah itu maksudmu?"
Sebenarnya aku tahu, tetapi berpura-pura tidak tahu sebagai bumbu dalam percakapan.
Yah, ini hanya untuk menyembunyikan rasa malu.
Karena Ai juga mengatakan hal yang sama dengan sensei.
"Ini disebut tato, bukan?"
"Ini adalah body paint. Berbeda dengan tato asli, ini bisa langsung dihapus. Aku yang menggambarnya. Aku suka hal-hal seperti ini."
"Wah, keren~. Aku juga ingin mencobanya."
Hikari dan Ai berada di sebuah toko seleksi yang terletak di sebuah gang dari jalan utama.
Di ruang ganti yang cukup luas untuk ukuran toko, mereka mengadakan pertunjukan fashion yang meriah dengan suara ceria dari dua gadis.
Modelnya terlihat sangat cantik seperti malaikat yang pernah aku lihat dalam buku cerita semasa kecil, dan itu luar biasa.
"Sekarang, Ai, cobalah berputar-putar."
"Begini?"
Ai yang berputar berulang kali sesuai perintah Hikari dengan rok mini putih yang dikenakannya, mengembang lembut seolah membawa suasana musim semi.
Dia memadukannya dengan atasan hitam berkerah ruffle.
Kesannya sedikit manis dan feminin.
"Ya. Ya, ya, ya. Bagus. Ai, sempurna. Sangat lucu."
Hikari ragu untuk bertepuk tangan, tetapi akhirnya dia hanya memberi jari telunjuk ke atas sebagai tanda "bagus." Ai, seperti biasa, tersenyum malu.
"Karena bahan ini bagus, jadi apapun pasti cocok. Oh, berikutnya ini. Yang pink ini."
"Baik! Serahkan padaku."
Kali ini, Hikari memilih rok dengan cetakan bunga kecil yang tersebar di roknya. Dengan pola bunga pink, sepertinya ini merujuk pada musim semi, ini lumayan menarik perhatianku sejak memasuki toko.
Hikari juga orang Jepang, jadi dia menyukai sakura. Jujur saja dia tidak terlalu memahami tentang semangat Jepang, tetapi dia sudah melihat bunga sakura sejak kecil.
Padahal, sebenarnya bukan itu alasannya.
Yang diingat saat melihat sakura bukanlah butiran cahaya berwarna pink, melainkan janggut yang terlewat dicukur. Bau rokok. Jari-jari yang sangat cantik. Jas putih yang kusut, dan hal-hal semacam itu.
Musim semi kembali datang.
Ini adalah musim semi keempat sejak aku mengucapkan selamat tinggal kepada sensei.
Dan, musim semi sekali seumur hidup yang dijanjikan untuk bertemu lagi.
Begitulah, menjadikan Ai sebagai boneka yang bisa diganti -ganti pakaian juga merupakan bagian dari persiapan untuk memenuhi janji itu.
"Hey, hey, Dia, mana menurutmu yang paling imut?"
Sambil bertanya, Ai membuka kancing rok.
"Aku tidak melihat, jadi aku tidak tahu."
Boneka kelinci yang membelakangi para gadis yang sedang mengadakan fashion show itu seolah-olah sedang berhadapan dengan dinding, dan sepertinya ia memutuskan untuk menjawab pertanyaan itu dengan sembarangan.
Dari punggungnya yang melengkung, tercium nuansa kesepian dan melankolis.
"Lihatlah. Ayo, ayo."
"Kamu kan, seorang wanita. Kenapa sih kamu tidak punya rasa malu sedikit saja?"
"Jangan-jangan, kamu malu? Kenapa? Kita selalu ganti baju di samping satu sama lain. Apa karena tempatnya?"
"Bukan. Bukan soal malu atau apa. Sebaliknya, bagaimana kalau kamu yang malu?"
"Kalau Dia yang memujiku dan bilang aku imut banget, aku bisa-bisa malu lho."
"Berani-beraninya kamu bicara begitu. Jelek banget."
"Hah? Aku tidak jelek. Tolong perbaiki kata-katamu. Sekarang juga."
Gyak gyak, gyak gyak.
Melihat Ai yang benar-benar marah dengan kata-kata Dia, Hikari angkat tangan dengan hormat sambil berkata "iya". Sebenarnya, ini mungkin hal yang seharusnya ditanyakan lebih awal.
Ngomong-ngomong, Hikari sudah sangat terbiasa dengan boneka yang berbicara ini.
"Aku penasaran, hubungan antara Ai-chan dan Dia-kun itu seperti apa? Apa itu seperti malaikat dan iblis. Biasanya, dua hal itu tidak saling bersama, kan?"
"Hmm, iya. Kata ‘partner’ mungkin yang paling mendekati."
Dengan tanda peace, Ai membuat tanda perdamaian.
Terdengar bunyi kilauan, dan cahaya bintang yang mirip dengan biru di kedua mata Ai yang berkelap-kelip.
"Walau tidak mau, aku hanya ditangkap dan dipaksa oleh Ai. Jangan percaya kata-katanya."
"Tapi, kan. Walaupun dipaksa aku tidak memperlakukanmu dengan buruk."
"Huh, kau tidak menyadarinya itu ya, hebat sekali."
"Jadi, itu artinya kalian sangat akrab, ya?"
"Oh, mungkinkah itu. Hikari-san, kamu pandai membaca situasi?"
"Di mananya? Aku sarankan kamu untuk melakukan pemeriksaan penglihatan di dokter mata."
Meskipun kata-kata yang dipertukarkan tampak bertentangan, melihat Ai dan yang lainnya yang tampak akrab membuat Hikari merasakan kegelisahan yang semakin dalam.
Meski kata-kata mereka terlihat bertentangan, melihat Ai dan yang lainnya yang tampak akrab membuat Hikari merasakan kegelisahan lebih dalam.
Jarak yang sama sekali tidak ada rasa sungkan itu, terasa manis.
"Tapi, rasanya kalian berdua terlihat sangat akrab, sampai-sampai aku merasa sedikit iri. Bertemu dengan orang seperti itu sulit, kan?"
"Hikari-san dan aku juga sudah akrab kok."
"Hmm, benarkah?"
"Iya, benar."
"Kalau begitu, aku senang."
Setelah itu, kelompok Hikari menghabiskan hampir satu jam di ruang ganti.
Mereka mencoba berbagai gaya, tidak hanya pakaian yang feminim yang disukai Hikari, tetapi juga gaya kasual yang cantik dengan tank top yang menonjolkan bahu dan rok denim dengan desain tiered. Gaya seperti pria dengan kombinasi kemeja bergaris dan overall. Gaya campuran olahraga dengan tambahan jaket nilon, dan masih banyak lagi.
"Eh, ini. Lucu."
Di tengah-tengah itu, Ai yang sedang mencari di rak mengambil clip sepatu yang menyerupai bunga mawar putih.
"Ini, untuk apa ya?"
"Oh, itu item yang dipasang di sepatu pumps agar kaki terlihat lebih stylish. Sering digunakan di acara pernikahan. Mau yang ini?"
"Tidak, aku hanya suka bunga mawar saja."
"Hmm. Mau aku belikan sekalian?"
"Eh? Tidak usah. Aku tidak bermaksud seperti itu."
"Tidak apa-apa, tidak apa-apa. Sebagai ucapan terima kasih karena sudah menemaniku berbelanja. Itu akan cocok untuk Ai-chan, jadi aku beli saja. Kalau ada yang lain yang kamu mau, bilang saja. Serahkan pada kakak."
Sambil berbicara seperti itu, hati Hikari dipenuhi dengan perasaan aneh sekaligus senang.
Bisa berbelanja santai dengan gadis yang baru ditemuinya. Sekarang, dirinya yang tersenyum. Mengizinkan seseorang mengetahui cintanya pada sensei.
Bukan sendirian, tetapi bersama seseorang untuk bertemu sensei.
Hal yang tak terbayangkan oleh Hikari yang dulu sendirian sebelum bertemu sensei.
❀
Hmm, sejak kapan aku menjadi sendirian dan tidak bisa bergaul dengan kelompok?
Mungkin sekitar saat aku masuk SMP, sepertinya aku memiliki beberapa teman yang bisa disebut sebagai sahabat, tetapi tiba-tiba tidak ada lagi anak-anak yang menyapaku di sekolah.
Alasannya, yah, banyak hal.
Sifatku yang terlalu blak-blakan dan sikapku yang santai. Selain itu, mungkin juga karena body painting yang aku coba setelah melihatnya di televisi dan merasa itu keren. Ternyata, itu yang jadi masalah.
(TL/N: Body painting itu singkatnya melukis dengan media yaitu tubuh seseorang.)
SMA tempatku masuk tidak memiliki ketatnya tradisi sekolah, malah memiliki suasana yang bebas sebagai daya tarik untuk merekrut siswa. Karena itu, ada banyak anak dengan berbagai penampilan di dalam sekolah. Anak yang mewarnai rambutnya, yang membiarkan kuku panjang, yang mengenakan seragam dengan cara yang tidak rapi, yang memakai anting, dan lainnya.
Di antara mereka, hanya aku yang dianggap aneh.
Mungkin karena body painting itu tidak familiar bagi kebanyakan orang.
Orang dewasa menunjukkan ekspresi tidak suka, sama seperti mereka yang berhadapan dengan siswa yang merokok, minum alkohol, atau terlibat dalam kekerasan dan pencurian, mereka semua terlihat tidak senang.
Kepala bimbingan siswa, Asazuki, sangat cerewet.
"Yukizaki, kamu masih menggambar hal seperti itu? Aku sudah bilang untuk menghapusnya sebelumnya."
"Itu tidak melanggar peraturan sekolah, kan? Sekolah kami bebas dalam hal itu."
"Meski tidak tertulis dalam peraturan, kamu tahu itu adalah hal yang tidak boleh dilakukan."
"Aku tidak mengganggu siapa pun, kan? Apa bedanya dengan mewarnai rambut?"
"Kenapa kamu tidak bisa meminta maaf dengan tulus?"
Entah karena salah paham bahwa sikap guru adalah pembenaran, teman-temanku pun ikut menertawakan.
("Kita sudah SMA, ayo jadi dewasa. Berisik. Apa kamu tidak sadar bahwa berusaha tampil keren malah terlihat jelek? Berisik, berisik. Yukizaki, kamu tidak bisa membaca suasana, ya? Berisik, berisik, berisik.")
Aku menutupi telingaku dan terus mengucapkan kutukan untuk menjauhkan orang lain.
Saat aku bersikeras seperti itu, sudah pasti satu atau dua orang mulai menjauh.
Ketika semua suara cacian menghilang, suasana menjadi sangat tenang.
Dunia yang tenang itu sangat damai dan lembut, tanpa ada yang bisa menyakitiku.
Tempat yang tidak terdengar suara lain itu sebaliknya menyoroti kesendirianku.
Akhirnya, saat aku mulai berpikir, "Ah, aku mungkin malas untuk pergi ke sekolah, mungkin aku bolos aja kali," aku mulai memperhatikan hanya satu guru di antara banyak guru yang ada, pada saat yang sama dengan musim bunga yang sama.
Ya, itu adalah musim semi.
Musim di mana berbagai hal mulai tumbuh.
Saat berpura-pura tidur di waktu istirahat, entah sejak kapan aku benar-benar tidur terlelap. Cuaca musim semi sangat bersahabat dengan rasa kantuk, dan sedikit saja lengah, aku langsung tidur terlelap.
"Sayap di lengan ini, itu body painting, ya? Bagus sekali. Siapa yang menggambarnya untukmu?"
Entah sudah berapa lama aku tidur, suara itu membuatku sedikit membuka mata yang kelelahan.
Aroma musim semi yang sedikit bercampur dengan bau rokok membuat hidungku tidak nyaman.
"...Aku yang menggambarnya."
"Wow. Hebat sekali, kamu memiliki bakat seperti itu ya."
Dengan suara yang sama sekali tidak mengandung niat buruk, aku terkejut dan semua rasa kantukku menghilang.
Di depanku ada wajah seorang pria dengan rambut acak-acakan dan janggut yang belum dicukur.
Mungkin secara umum masih tergolong muda, tetapi bagi seorang siswi SMA, janggut yang belum dicukur adalah tanda kedewasaan.
Karena itu, kesan pertama yang aku dapat adalah: rokok, dewasa, rambut acak-acakan, janggut.
Oh, dan juga jarinya yang sangat cantik. Panjang dan ramping, tetapi tetap memiliki kekhasan seorang pria. Tidak buruk. Aku tidak membencinya. Hmm, mungkin ini sedikit menarik.
Lalu, siapa orang ini?
Karena dia mengenakan jas putih, aku awalnya mengira dia adalah seorang dokter, tetapi segera aku menyadari bahwa dia adalah seorang guru. Ini adalah sekolah, dan dari pria itu hanya tercium bau rokok, tidak ada bau pahit obat yang biasanya dikenakan oleh dokter.
"Kenapa kamu memujiku?"
"Aku pikir itu indah. Apakah ada yang salah?"
"Semua orang pasti akan memarahiku jika melihat ini. Mereka akan bilang untuk berhenti melakukan hal seperti itu."
"Aku rasa itu tidak apa-apa. Lagi pula, kamu tidak mengganggu siapa pun, kan? Itu bukan pelanggaran peraturan sekolah."
"Itu benar. Aku juga sudah bilang berkali-kali, tetapi tidak ada yang mendengarkanku."
"Apa yang kamu maksud itu guru bimbingan siswa, Asazuki?"
Iya, Hikari mengangguk kuat.
"Dia sangat ketat soal hal-hal seperti itu. Tapi, dibandingkan dengan apa yang aku lakukan saat seumur kamu, itu terlihat lucu. Dulu, aku dan sahabatku pernah diam-diam masuk ke kolam renang di tengah malam. Bahkan, waktu kecil, kami pernah mencari hantu dan dibawa pulang oleh polisi."
"Apakah seorang guru boleh membanggakan hal-hal seperti itu kepada muridnya?"
"Ah, mungkin ini tidak baik. Tolong, jangan beri tahu Asazuki-sensei, ya. Nanti aku akan dimarahi."
Pria dewasa itu adalah seorang guru yang aneh, dengan jari telunjuk di bibirnya, tersenyum nakal.
Dia sama sekali tidak terlihat dewasa. Cara dia bercerita tentang masa kecilnya yang penuh kegagalan dan kesalahan dengan bangga seperti sebuah kisah kepahlawanan, lebih mirip anak laki-laki daripada pria dewasa.
Kenapa ya, anak laki-laki suka membanggakan luka mereka?
Berbeda dengan perempuan.
Semua hal yang tidak menyenangkan disembunyikan di balik rok.
"...Guru yang aneh."
Aku tidak bisa menahan diri untuk mengatakannya.
Dia tertawa lagi, "Nahahaha."
"Kenapa kamu tertawa?"
"Karena aku sendiri berpikir begitu."
Percakapan singkat itu, bagaimanapun, menjadi sesuatu yang istimewa bagi Hikari.
Sejak hari berikutnya, Hikari mulai mengikuti pria itu dengan pandangannya.
Namanya segera diketahui.
Teman sekelasnya memanggilnya Narumi-sensei.
Dia tampaknya adalah guru biologi yang baru saja ditugaskan di sekolah Hikari.
Jika dilihat dengan seksama, dia memiliki wajah yang tampan, tetapi sepertinya dia tidak terlalu memperhatikan penampilannya, sehingga terlihat kurang menonjol.
Setelah mendengarkan rumor yang dibisikkan orang lain, ternyata usianya sudah dua puluh enam tahun.
Ternyata sepuluh tahun lebih tua dari Hikari.
"Jauh sekali."
Dengan perasaan putus asa, aku tidak bisa menahan diri untuk menggumam.
Di jalan pulang seperti biasa, Hikari melihat ke atas ke langit berwarna ungu muda dengan bintang paling terang yang bersinar.
Meski dia mengulurkan tangannya sekuat mungkin, jari Hikari tidak bisa menyentuh cahaya itu.
Bagi seorang siswa SMA seperti Hikari, keberadaan lawan jenis yang sepuluh tahun lebih tua terasa jauh seperti bintang tetap "Ross 154" yang bersinar sepuluh tahun cahaya dari Bumi.
Jika demikian, guru mungkin seperti makhluk asing bagi siswa.
Tapi, tetap saja. Hmm, jika begitu.
Sebagai gantinya, Hikari memutuskan untuk bersikap lebih terbuka.
Meskipun hubungan antar jenis kelamin antara guru dan murid dilarang, tidak ada salahnya mencoba menjalin komunikasi antar galaksi.
Tentu saja, tidak ada bahasa lain yang bisa digunakan selain bahasa Jepang, karena aku tidak bisa berbahasa Inggris, Mandarin, ataupun Jerman.
Meskipun menggunakan pengubah suara seperti kipas angin untuk mengubah suara menjadi "Kami adalah makhluk luar angkasa," itu sudah cukup.
Yah, tidak apa-apa. Apa pun itu.
Aku akan mendekatinya dengan perlahan, sesuai dengan irama ku sendiri.
Dahulu, manusia yang mengagumi ruang angkasa menghabiskan puluhan, bahkan ratusan tahun untuk menginjakkan kaki di bulan.
Aku percaya bahwa tidak ada yang benar-benar mustahil di dunia ini.
Yang terpenting, di bawah musim semi yang mekar, Hikari telah menemukan cinta pertamanya.
Saat itu, aku sudah merasa itu cukup.
❀
Setelah menyelesaikan fashion show yang diadakan oleh Ai dengan banyak waktu yang sudah dihabiskan, Hikari membeli barang-barang yang terlihat disukai Ai, yakni hoodie berbahan kain yang terkenal di kalangan dunia malaikat. Rok bunga berwarna pink. Klip sepatu yang menyerupai mawar putih.
Kemudian, blus transparan yang dipilih Hikari dengan rok kotak-kotak besar yang dilengkapi sabuk.
Hikari mengenakan pakaian yang dipilihnya sesuai permintaan, sementara Ai menyelesaikan pembayaran.
"Apakah kamu yakin membeli sebanyak ini? Uang itu sulit didapat, kan?"
"Jangan khawatir. Lagipula, uang kerja paruh waktu ini sudah tidak ada gunanya bagiku. Sisa uangnya bisa kamu bawa saja, ya. Gunakan untuk biaya perjalananmu."
Hikari mengucapkan itu dengan puas.
Melihat isi dompetnya yang benar-benar kosong membuatnya sangat senang.
Hikari adalah seorang gadis.
Dia sudah beberapa kali meredakan stres yang terakumulasi seperti ini.
Ketika Ai keluar dengan membawa tas kertas bertuliskan logo toko, dia perlahan membuka pintu kaca dengan bahunya, dan angin lembut menggerakkan ujung rok Hikari sedikit.
Langit biru, udara segar, cahaya yang berkilauan.
Dunia dipenuhi dengan musim semi yang sedang mekar hari ini.
"Seharusnya aku lebih mudah jika dimasukkan ke dalam ransel, kenapa harus dibawa dengan tangan?"
Hanya Dia yang tampaknya merasa sedikit tidak nyaman dalam pelukan Ai, Dia mengeluh.
"Chit chit chit. Kamu tidak mengerti ya, Dia. Beratnya harta rampasan itu sebanding dengan kebahagiaan seorang gadis. Kebahagiaan selalu ingin dirasakan dengan tangan ini."
"Ya, Dia. Sabar saja."
"Yah, hanya sedikit lagi jadi tahan saja──"
"Baiklah. Selanjutnya mungkin pakaian dalam."
"Hah? Pakaian dalam!?," teriak Dia dengan panik.
"Ah, ah, ah~. Kenapa Dia harus berontak seperti itu? Nanti bisa terjatuh lho."
"Mengapa pakaian dalam dibutuhkan?"
Dia bertanya kepada Hikari, mengabaikan suara Ai.
"Eh? Karena kita akan bertarung, jadi pakaian dalam untuk bertarung itu perlu, kan? Mungkin saja bisa ditunjukkan kepada sensei. Pakaian dalam yang sangat imut juga penting."
"Tidak akan aku izinkan. Aku tidak akan pernah mengizinkannya. Kesempatan seperti itu tidak akan datang dua kali lagi. Aku akan mencegahnya dengan tegas."
"Apakah itu rasa cemburu?"
Dengan setengah bingung dan setengah menggoda, Hikari memiringkan kepalanya.
Ah, percakapan ini tidak berjalan baik, Dia merasa kesal.
"Ai, jangan tinggal diam, tolong tolak dengan tegas. Kamu yang akan memakainya bukan?."
"Jika Hikari-san ingin seperti itu, aku akan mengabulkannya. Itu adalah tugasku."
"Hebat, Ai-chan. Kamu mengerti ya."
Dipuji, Ai merasa malu dan menggaruk belakang kepalanya.
"Hehehe."
Sementara itu, "Ugaaa" Dia semakin marah.
Dia sangat marah.
"Jangan bersikap malu di situ. Titik malu mu aneh banget."
"Baiklah, baiklah, Dia-kun. Tenangkan dirimu."
"Jika kamu ingin begitu, lupakan soal pakaian dalamnya."
"Itu tidak mungkin."
"Kenapa?"
"Dia. Sabar saja. Jika kamu jatuh, itu bukan urusanku, ya? Kamu memang penakut."
"Tempat itu terlihat bagus, kan? Ai-chan, ayo masuk."
Hikari menunjuk ke arah yang dia tunjukkan, sementara Dia mengabaikan kemarahan dengan anggun.
Satu langkah.
Dua langkah.
Pada langkah ketiga, dia berputar.
Pakaian rok yang mengembang membuatnya terlihat seperti peri dari dongeng.
"Semoga ada pakaian dalam yang sangat imut yang membuat sensei senang."
"Wow, Ai-chan berani sekali."
"Kamu tahu, kamu pasti tidak mengerti. Kamu berbicara omong kosong."
Hembusan napas Dia yang keluar terasa lebih berat daripada awan di atas kepalanya.
"Ai-chan, pakaian dalam seperti apa yang kamu suka?"
"Jangan provokasi aku. Hentikan itu, aku adalah perempuan yang terobsesi dengan warna."
"Aku bukan perempuan yang terobsesi dengan warna. Aku adalah gadis murni yang jatuh cinta pada sensei."
"Hikari-san, Hikari-san. Apakah pakaian dalam ini sangat imut?"
"Tunggu, tunggu, tunggu. Aku bilang jangan masuk. Dengar, hei. Dengarkan pembicaraanku."
Akhirnya, meskipun Dia protes, Ai dan Hikari tetap masuk ke toko untuk membeli pakaian dalam.
Hikari berpikir mungkin dia sudah sedikit menggoda, lalu melihat Ai yang memiliki ekspresi nakal yang sama, dan dia mengerti. Ah, jadi begitu.
Sepertinya, dia juga menikmati situasi ini.
Mereka adalah teman komplotan.
Ketika Hikari tersenyum, Ai juga membalas dengan senyum.
Perasaan ini kadang-kadang bisa dibagi seperti es krim manis.
Jika selalu sendirian, ada banyak hal yang tidak akan pernah diketahui.
Itu juga sesuatu yang bisa aku pelajari karena berada di samping sensei.
❀
Di depan SMA yang Hikari jalani, ada pemberhentian bus, tetapi saat itu dia tidak naik bus di sana, melainkan selalu berjalan ke pemberhentian berikutnya.
Alasannya, tentu saja, beragam.
Karena dia merasa khawatir tentang peningkatan berat badan akibat kurangnya olahraga.
Karena dia tidak suka melihat teman-teman sebayanya yang tampak ceria berbicara dengan teman-teman mereka.
Karena jalanan dengan pohon sakura menuju pemberhentian berikutnya sangat indah dan dia menyukainya.
Dan satu alasan lagi.
Hanya dengan melihat punggungnya yang sedikit membungkuk, Hikari sudah merasa senang.
"Ah, hari ini dia juga ada," pikirnya, wajahnya tidak bisa menahan senyum.
Di sore hari, rambutnya yang berantakan, serta jas lab yang masih dikenakan kusut. Kaos kaki yang terlihat seperti dibeli di toko 100 yen. Janggutnya yang tidak terawat lebih panjang dari pagi. Jari-jarinya yang tampak sangat cantik. Dan bulu mata yang ternyata cukup panjang.
Ketika dia melihat wajahnya yang melihat ke arah pohon sakura, tiba-tiba saja hati Hikari terasa sedikit sesak.
"Ah, sudah, sudah. Tidak bisa."
Dia tidak bisa menahan diri.
Dia sedikit mempercepat langkahnya.
Saat mendekat, aroma rokok semakin kuat seolah menutup keindahan musim semi.
Dengan lembut, Hikari menggenggam ujung jas labnya.
Jari-jarinya merasa kesemutan, dan jantungnya berdegup kencang merayakan cintanya.
"Hei, kamu merokok lagi, kan? Aku bilang itu buruk untuk kesehatan, seharusnya kamu berhenti."
"Oh, itu kamu, Yuzuki. Hari ini kamu juga berjalan kaki, ya?"
"Ya. Apakah sensei sendirian?"
"Ya, begitulah."
"Kalau begitu, karena aku merasa kasihan, aku akan menemanimu sampai setengah jalan."
Inilah alasan terbesarnya.
Satu-satunya waktu ketika mereka bisa berdua tanpa gangguan, momen singkat yang paling bahagia bagi Yuzuki Hikari dalam sehari. Sebenarnya, dia ingin menggenggam tangannya setidaknya sekali saja, tetapi karena sikapnya yang sangat berhati-hati, itu tidak pernah terjadi. Mungkin, karena Hikari adalah siswi dan seorang gadis, dia merasa perlu waspada.
Hanya dalam hal itu, dia tampak seperti orang dewasa yang baik. Sungguh licik.
"Sensei, kamu menguap saat pertemuan sekolah, ya? Apa kamu kurang tidur?"
Biasanya, mereka berbicara tentang hal-hal sepele, seperti saling mengajari nama-nama bunga yang tumbuh di pinggir jalan, dan meskipun mereka mengingat fakta bahwa mereka berbicara, isi percakapan itu cepat terlupakan.
"Musim semi itu hangat, jadi aku mudah mengantuk. Ada pepatah 'Musim semi tidur, tidak ingat pagi’.'"
"Itu terdengar seperti alasan. Apa kamu tidak main game di smartphone sampai larut malam?"
"Ada event yang berakhir besok. Jika kelewatan, aku tidak tahu kapan akan direkam lagi."
"Kan, aku sudah bilang. Karena kamu bertukar informasi dengan anak laki-laki saat istirahat, jadi aku langsung curiga."
Saat dia menyadari makna dari kata-kata yang baru saja diucapkannya, perasaan cemas mulai mengalir seperti keringat di punggung Hikari. Dia merasa haus. Wajahnya terasa panas.
Telinganya bahkan terasa seperti terbakar.
"T-tidak begitu."
"Eh? Apa maksudnya?"
"Bukan begitu. Hanya karena sensei terlihat tidak terawat, aku hanya kawatir padamu. Bukan berarti aku hanya melihat sensei, tahu?"
"Yuzuki, kamu sangat blak-blakan ya."
"Ah, maaf."
Sebenarnya aku tidak perlu minta maaf, tetapi Narumi tertawa dan mengusap kepala Hikari dengan kasar.
Sentuhan yang kasar itu, baginya, adalah perhatian dengan cara yang canggung.
Rambutnya berantakan, dan lebih dari itu, dia sangat tidak suka disentuh oleh pria, tetapi anehnya, jika itu adalah sensei, dia merasa baik-baik saja.
Bahkan, dia berpikir ingin lebih banyak disentuh.
Tangan besar itu, yang lebih ramping dan lebih panjang daripada tangan Hikari, tetapi tetap terasa kasar, serta suhu tangan yang berbeda dan panasnya telapak tangan, semua itu terasa nyaman.
Setelah menikmati momen itu, Hikari berpura-pura cemberut.
"Sensei, itu bisa dianggap sebagai pelecehan seksual lho."
"Eh? Maafkan aku."
Dengan itu, jari-jari Narumi menjauh.
"Aku sih tidak masalah, tapi jangan lakukan pada anak-anak lain tahu."
Lebih dari setengah perkataannya adalah cara untuk menyembunyikan rasa malunya.
Sisanya adalah perasaan kepemilikan atau cemburu.
"Apakah itu tidak masalah bagi Yuzuki?"
"Nggak masalah kok."
"Begitu ya, terima kasih."
"…… Ya."
Rasanya suasana menjadi canggung. Alih-alih menggaruk-garuk tubuhnya, Hikari melompat satu langkah lebih maju dari Narumi. Dia melompat, dan rok mengembang. Hatinya juga terasa ringan.
Dengan sepatu loafersnya, dia mengetuk aspal dengan kuat.
Kelopak bunga sakura yang jatuh terkejut dan melompat bersamaan dengan suara ketukan yang ceria.
Namun, Hikari tidak melihat ke bawah, melainkan terus memandang ke langit.
"Sakura nya, indah ya?"
"Ya, sangat indah."
Kilauan dari warna sakura menari-nari seolah menghiasi masa depan.
Dulu, saat berjalan sendirian, dia tidak pernah memikirkan jalan pulang ini.
"Pastinya, karena aku melihatnya bersama sensei."
"Kamu berkata blak-blakan lagi. Yuzuki."
"Hehehe."
Pada masa itu, Yuzuki Hikari berada dalam musim semi yang nyata.
Musim semi yang biru itu mungkin hanya sejauh beberapa ratus meter dari pemberhentian ke pemberhentian berikutnya. Mungkin itu adalah sesuatu yang biasa saja.
Seperti batu kecil yang tergeletak di pinggir jalan yang mereka lalui.
Jika dia mengangkat kakinya, dia bisa dengan mudah menendangnya.
Tetapi, setiap momen itu memang terasa istimewa.
Seperti bunga yang tumbuh dalam cahaya, air, dan udara yang melimpah, di dalam diri Hikari juga perlahan-lahan mengumpulkan sesuatu yang hangat dan mulai tumbuh.
❀
"Yuzuki, tolong lepaskan aku sebentar."
"Gak mau."
"Sulit nih. Setidaknya, tolong jangan tarik jas labku.
Narumi mengeluarkan suara seolah menegur karena jas labnya ditarik dengan kuat, membuatnya sulit berjalan. Namun, Hikari tetap tidak mau mendengarkan. Bahkan, dia menggenggamnya lebih erat.
"Aah, hei! Aku bilang lepaskan!"
"Tidak mau. Karena aku sedih. Aku akan lulus besok."
"Aku tahu itu."
"Setelah ini, kita tidak bisa pulang bersama lagi."
"Memang begitu."
"Sensei tidak merasakan apa-apa ya?"
Hikari dan Narumi tidak banyak berinteraksi di sekolah.
Wali kelas Hikari selama tiga tahun adalah guru yang berbeda, dan Narumi menjadi pembimbing klub yang diisi oleh anggota laki-laki.
Narumi yang masih muda dan kurang pengalaman tidak mendapatkan tanggung jawab seperti bimbingan karir atau kepala tahun ajaran, dan setelah Hikari naik ke jenjang tertinggi dan memilih jurusan desain, bahkan pelajaran biologi yang dia pelajari pun tidak berguna.
Jadi, ini hanya waktu singkat pulang bersama, inilah yang menjadi ikatan mereka.
"Sebenarnya, aku benci sekolah."
Hikari berbisik, tidak berani menatap wajah Narumi.
Dia tidak memiliki keberanian untuk melihat wajahnya langsung dan mengatakannya.
"Aku tahu, mungkin. Aku tidak punya teman. Aku mengerti itu adalah rasa cemburu, tapi melihat anak-anak yang tampak ceria berbicara membuatku sangat kesal. Namun, sejak aku mulai pulang dengan sensei, semuanya menjadi lebih baik. Sekolah jadi sedikit lebih menyenangkan. Meskipun aku masih benci seragamnya."
"Kenapa? Seragam di sekolah kita terkenal lucu. Banyak siswi yang masuk sekolah ini hanya karena itu."
"Jika aku masih mengenakan seragam, aku tidak bisa mendekat lebih jauh lagi ke sensei. Namun, jika aku tidak mengenakan seragam, aku tidak akan bisa berbicara dengan sensei atau pulang bersama lagi."
Angin yang menghembus pipinya terasa sedikit lebih dingin dari kemarin.
"… Karena, alasannya akan hilang."
Kata-kata yang diucapkannya mengembang putih dan perlahan-lahan larut ke udara.
Sore di awal Maret sangat dingin, seakan salju bisa turun, tetapi yang bergetar di langit oren bukanlah salju, melainkan kuncup sakura yang mulai mengembang.
Masih ada sedikit waktu sebelum bunga-bunga itu mekar.
Namun, dari dalam hati Hikari, ada perasaan berwarna pink yang mengalir tak tertahankan.
"Jadi, aku ingin sebuah alasan baru. Aku, tentang sensei—"
"Rasanya itu menyenangkan, tapi setelah masuk universitas, akan ada banyak pria baik."
Narumi memotong kata-katanya.
Ketika Hikari melihat ke arahnya dengan cemas, Narumi terlihat bingung, dengan raut wajah dewasa yang jarang ditunjukkannya.
"Kamu, cantik. Kamu pasti bisa mendapatkan pacar dengan cepat. Setelah itu, kamu akan melupakan orang tua yang seperti ini."
"Aku bahkan tidak diberi kesempatan untuk mengucapkan semuanya."
Hikari cemberut dengan reaksi yang tidak memuaskan dari sensei nya.
"Aku adalah Yuzuki-sensei. Biarkan aku tetap menjadi 'sensei' untuk murid yang lucu ini hingga akhir. Karena, aku cukup suka mendengar suara polosmu memanggilku 'sensei, sensei.'"
"Cih."
"Maaf ya, kalau aku adalah orang dewasa yang membosankan."
"Sudahlah. Jika begitu, jika aku lulus besok, maukah kamu memikirkannya sedikit saja?"
"Anak-anak bukan seleraku."
"Delapan belas tahun itu anak-anak? Lagipula, aku sudah dewasa."
"Ini bukan masalah usia. Selama kamu masih pelajar, kamu adalah anak-anak. Kamu akan menjadi mahasiswa mulai bulan April. Dan, ah, itu tidak bisa dihindari. Sepertinya kamu tidak mau mengerti, jadi aku akan bilang. Dengar, Yuzuki. Aku—"
"Tunggu."
Hikari menarik jas lab Narumi lebih kuat dari sebelumnya.
"Jangan katakan lebih dari itu sekarang."
Jas lab Narumi yang biasanya kusut tampak sangat bersih, mungkin karena dia membawanya ke laundry untuk bersiap menghadapi hari besok.
Meskipun rapi, itu adalah karya tangan seorang pemula.
Hanya dari hal kecil itu, Hikari menyadarinya.
Hanya dari hal kecil itu, dia merasa sangat sedih.
Sensei, lebih cocok mengenakan jas lab yang kusut dan penuh kerutan.
"Bisakah aku mendapatkan jawaban yang tepat sedikit lebih lama? Sampai aku lulus universitas, misalnya. Setelah aku lulus, aku akan datang menemuimu lagi. Saat itu, biarkan aku mengungkapkan perasaanku lagi. Aku akan terlihat sangat cantik dan membuatmu terkejut. Mungkin saat itu, perasaanmu juga akan berubah."
"Empat tahun yang paling cepat. Saat itu, aku sudah melewati usia tiga puluh. Baik aku maupun kamu mungkin sudah melupakan hari ini."
"Itu tidak mungkin. Aku pasti tidak akan melupakannya. Bahkan jika aku mati, aku tidak akan melupakan hari ini."
Noda hitam menetes ke aspal, menyebar.
Dengan alasan yang berbeda dari sebelumnya, Hikari tidak bisa mengangkat wajahnya.
Tolong, tolong. Sensei.
Setidaknya, berikan aku satu janji.
Jika begitu, aku bisa berjuang meskipun tanpa kehadiran sensei besok.
Entah bagaimana perasaannya tersampaikan, Narumi mengusap kepala Hikari seperti yang dilakukannya dulu. Tangan yang kasarnya dan rasa canggungnya, rambutnya yang berantakan.
Ukuran dan kekuatan telapak tangan yang tidak berubah, serta kehangatan yang ada di sana.
Yang berubah, tidak, yang menjadi lebih kuat hanyalah perasaan Hikari.
Berapa lama waktu telah berlalu?
Setelah beberapa saat terdiam dengan raut wajah bingung, Narumi mengeluarkan suara desahan sebagai tanda menyerah.
"Aku ingin melihat sakura lagi."
"Eh?"
"Tahun ini sakura mekar terlambat, dan masih dalam bentuk kuncup."
"Ya, benar."
"Aku berpikir, tidak buruk jika berjalan di bawah sakura yang mekar lagi bersama Yuzuki. Pulang bersamamu sangat menyenangkan. Jadi, datanglah menemuiku lagi saat bunga sakura mekar."
Hikari mengangguk berulang kali mendengar suara lembut yang datang dari atas. Dia mengangguk berkali-kali.
"Namun, aku rasa perasaanku tidak akan berubah."
"Itu tidak masalah. Terima kasih, sensei. Aku akan datang menemuimu lagi empat tahun kemudian. Saat itu, aku akan memberikan ciuman pertamaku sebagai hadiah. Kamu bisa menantikannya."
"Jangan bicara hal bodoh."
Akhirnya, Hikari melepaskan ujung jas labnya. Karena Narumi mengulurkan tangannya ke arahnya. Menggenggam tangan itu sebagai pengganti jas lab. Sebuah jabat tangan untuk menjanjikan perpisahan dan pertemuan kembali.
Tangan yang selalu ingin dia sentuh terasa lebih maskulin dari yang dia bayangkan.
"… Selamat atas kelulusannya, Yuzuki."
Dan di musim semi empat tahun kemudian, Yuzuki Hikari menepati janjinya yang berada di dalam bus.
Dia akan pergi menemui orang yang sangat dia cintai.
❀
Di halte bus yang berjarak beberapa ratus meter dari sekolah, Hikari dan teman-temannya turun dari bus.
Angin yang membawa kilau oranye berkilauan mengusap pipi Ai. Hikari mengetahui arah angin dari aliran rambut Ai yang basah oleh warna oranye.
Di depan mereka, ada pohon sakura yang mekar dengan indah.
"Hei, Hikari-san. Sekolahmu yang mana?"
Saat Ai bertanya untuk memastikan arah tujuan, tiba-tiba.
"Eh? Sensei?"
Desahan Hikari bukanlah jawaban untuk pertanyaan itu.
Seorang pria berpakaian jas putih berjalan menuju halte tempat Hikari berada.
"Sensei, sensei, sensei. Itu benar-benar sensei kan."
"Ah, Hikari-san. Tunggu. Jangan, belum boleh!!"
Mengabaikan larangan Ai, Hikari berlari menuju Narumi tanpa berpikir.
Di mata Hikari, hanya ada satu sosok itu yang tercermin.
Tidak mungkin untuk dia menahan diri.
Sudah lama sekali. Aku merindukanmu. Apa kabar sensei? Masih mengenakan jas putih yang kusut itu? Rambutmu masih acak-acakan, ya? Kumismu juga. Sudah berhenti merokok kah? Postur tubuhmu juga tidak berubah.
Kau tahu, aku ingin sekali banyak berbicara denganmu.
Aku punya banyak pertanyaan.
Perasaan itu menjadi kata-kata, muncul satu per satu di kepalaku. Namun, dari yang muncul itu, seperti gelembung sabun, menghilang. Karena aku masih ingin mengatakan lebih banyak.
Ada satu hal paling penting yang harus aku sampaikan.
"Sensei, aku. Aku masih..."
Namun, perasaan berharga Hikari tidak dapat terucap.
Oleh karena itu, tidak tersampaikan.
"──Eh?"
Di depan mataku, ada sensei.
Seharusnya, jaraknya cukup dekat. Bahkan bisa untuk berbicara secara rahasia. Tidak pernah aku mendekatinya seperti ini, bahkan saat aku masih SMA.
Namun, sosok Hikari tidak tercermin di mata Narumi.
Narumi terus berjalan melewati Hikari.
Tidak, ia melintas melewati tubuh Hikari.
Tanpa sepatah kata pun, tanpa satu tatapan, pergi jauh. Dan itu.
"Ah, ahahahahahaha"
Suara tawa itu tidak sengaja keluar dari Hikari.
Meskipun tertawa begitu dekat, Narumi bahkan tidak menoleh.
"──hahahahaha, aaaaaaaaaaaah. hik, hiks, hiks, hiks..."
Tawa itu segera berubah menjadi tangisan.
Karena, ini sangat menyedihkan, menyakitkan, dan penuh penyesalan. Di dalam Hikari, ada sesuatu yang gelap berputar, tetapi tidak ada satu pun air mata yang bisa mengalir.
Realitas itu semakin melukai Hikari dengan lebih kuat.
Hikari menatap langit sore yang dihiasi kelopak sakura, seolah menahan air mata yang tak mengalir.
Seharusnya, aku sudah mengerti.
Tetapi, sekarang aku akhirnya merasakannya dengan jelas.
"Aku, sudah mati ya."
"Ya. Hikari-san yang kini menyambut kematian jasadnya adalah orang mati. ──Seperti yang orang sebut hantu."
Keputusasaan yang Hikari lemparkan ke tanah, diambil dengan lembut oleh seorang gadis yang berdiri di sampingnya.
Sosoknya yang disinari matahari senja begitu cantik, seolah tidak berasal dari dunia ini.
"Dan yang akan diberikan malaikat kepada hantu adalah sedikit penangguhan hingga jiwa mati."
Cermin lengkung di persimpangan, jendela bus yang melintas, layar ponsel yang diangkat seseorang. Mata sensei.
Selain mata biru milik gadis bernama Ai, sosok Hikari tidak akan pernah tercermin lagi di semua itu.
❀
Hikari Yuzuki kehilangan nyawanya sekitar dua minggu yang lalu, penyebabnya adalah kecelakaan lalu lintas.
Bagi Hikari, itu adalah kemalangan terbesar dalam hidupnya, tetapi bagi banyak orang yang melihatnya di televisi, itu tampaknya bukan hal besar.
Dalam satu hari, nama "Hikari Yuzuki" hilang dari berita televisi dan artikel koran.
Dunia ini sudah penuh dengan tragedi atau komedi, dengan topik berikutnya yang terus bermunculan.
Dengan cepat, dunia akan melupakan Hikari dan menjadikannya bagian dari masa lalu.
Sebagai hantu, Hikari tidak tahan melihat orang tuanya yang berduka, jadi dia memutuskan untuk berkeliling kota. Sejauh apapun dia berjalan, dia tidak merasa lelah, lapar, atau mengantuk.
Dan, seperti saat di masa SMA, tidak ada yang menyapanya.
Tidak ada tempat tujuan, tidak ada tempat tinggal.
Namun dia terus berjalan, karena dia takut untuk berhenti.
Yang paling penting, dia merasa menyesal.
Padahal dia sudah berhasil lulus universitas.
Bahkan dia sudah mendapatkan pekerjaan.
Akhirnya, saatnya tiba untuk memenuhi janji dengan sensei-nya.
Dengan berbagai emosi yang berkecamuk di dadanya sebagai bahan bakar, dia terus berjalan hingga pagi ini tiba.
"Ah, ketemu. Itu dia, kan, Dia?"
"Tentu saja, aku bisa melihatnya dari sini."
"Apa-apaan itu? Menyebalkan."
Suara itu berasal dari seorang gadis yang sangat cantik, lebih cantik dari yang pernah Hikari lihat.
Kecantikan yang terlalu sempurna itu bahkan terasa begitu memaksa, seperti kekuatan yang besar.
"──Eh?"
Hikari terlambat menyadari bahwa satu-satunya tempat yang membuatnya merasa ada hanyalah dalam mata gadis itu yang bersinar biru.
"Apakah kamu bisa melihatku?"
"Ya, tentu saja. Aku bisa melihatmu dengan sangat jelas."
Gadis itu membuat lingkaran dengan jari telunjuk dan ibu jarinya, seolah-olah menutupi Hikari dalam lingkaran itu, lalu tersenyum lebar dan mengangguk.
"Mengapa?"
"Itulah keberadaanku. Aku datang ke sini untukmu, yang sudah mati, untuk memenuhi tugasku."
"Tugas? Apa itu?"
Sejak tadi, hanya Hikari yang bertanya.
Meski begitu, gadis cantik itu terus berbicara tanpa menunjukkan ketidaksenangan.
"Pernahkah kamu mendengar cerita ini? Tentang seorang gadis cantik yang bisa mempertemukanmu kembali dengan orang yang sudah meninggal."
"Kata 'cantik' itu tidak perlu."
Boneka di sebelah gadis itu langsung menyela dengan tajam, "Tentu saja perlu," gadis itu menggembungkan pipinya dengan kesal.
"Nyatanya, lihat saja, aku memang gadis cantik."
Hikari kebingungan,dan tak bisa berkata apa-apa.
Itu mungkin hal yang paling mengejutkan baginya hari ini.
"Boneka itu berbicara. Dan suaranya sangat keren."
Pada saat itu, pikiran Hikari sudah jauh melampaui batas kemampuannya untuk memahami.
"Maaf, tapi kami sudah mendengar komentar seperti itu ribuan kali, jadi aku tak tertarik untuk menanggapinya."
"Ya ampun, kenapa kamu selalu sinis sih, Dia?"
Gadis itu mulai menggosok pipi boneka kelinci yang sinis itu. Gosok, gosok, gosok. Kelinci itu tampak sedikit terganggu. Haha.
Setelah sekitar lima detik lebih, gadis itu akhirnya berhenti.
"Maaf ya, kakak. Dia itu iblis, jadi dia memang punya sifat buruk. Tapi tenang, aku sudah menghukumnya dengan baik, jadi tolong maafkan Dia."
Gadis itu tersenyum lebar pada Hikari, yang hanya bisa melihat interaksi mereka dari luar.
"Iblis?"
"Ya. Namanya Dia, dia iblis. Sedangkan aku, aku malaikat bernama Ai."
Ai menusuk pipi Dia sekali lagi dengan pandangannya, dan Hikari sekali lagi terpesona olehnya.
"Lalu, tentang rumor yang tadi aku tanyakan, kamu tahu, kan?"
"Aku pernah mendengar, meskipun hanya sekilas."
Ada legenda urban yang berkembang di internet dan percakapan orang-orang, tentang seorang gadis yang bisa mempertemukan mu kembali dengan orang yang sudah mati, sekali lagi.
"Itu kamu bukan?"
"Benar sekali."
Hikari memandang bayangan di atas aspal yang bergoyang karena panas matahari. Hanya bayangan gadis itu dan boneka kelincinya yang terlihat.
Gadis itu menyebut dirinya sebagai malaikat, tidak seperti Hikari, tampaknya dia memiliki wujud fisik, begitu pula dengan boneka kelinci yang dikatakan sebagai iblis itu.
Dan di situ, sekali lagi, Hikari merasa terasingkan.
"Jadi, bisakah kamu memberitahuku?"
"Apa?"
"Ke mana kamu ingin pergi terakhir kali? Siapa yang ingin kamu temui? Hal terakhir yang ingin kamu lakukan sebelum jiwamu benar-benar mati. Beritahu aku, aku akan membantumu melakukannya."
Ai, sang malaikat, mengatakan bahwa tugasnya adalah memutuskan ikatan yang membuat jiwa orang mati tetap terikat pada dunia ini.
"Jadi, apa penyesalan terbesarmu?"
Suara Ai bergema lembut dan jernih seperti lonceng, masuk ke dalam jiwa Hikari Yuzuki.
Saat mendengar kata "penyesalan", yang terlintas di benak Hikari hanyalah wajah seorang pria.
Janji yang mereka buat, yang tidak boleh ia langgar.
Setelah kehilangan segalanya, hanya itu yang tersisa di dalam dirinya.
❀
"Ai-chan. Aku diabaikan oleh sensei. Ini benar-benar menyakitkan."
Ketika punggung Narumi semakin jauh dan menjadi bayangan kecil, Hikari akhirnya tersenyum seolah-olah berusaha tegar.
Mata Hikari tidak berisi air mata, tetapi senyumnya yang sedih membuat orang yang melihatnya merasa seolah ia sedang menangis.
"Itu bukan pengabaian. Sensei hanya tidak menyadari bahwa Hikari-san ada di sini. Tapi, kita masih ada waktu. Mari kita kejar dia sekarang."
"Kali ini, apakah dia akan menyadarinya? Aku tidak bisa lagi mencobanya. Aku merasa sangat patah semangat."
"Itulah sebabnya aku ada di sini."
"Begitu, ya."
Seolah mengusir kesedihan, Hikari mengusap matanya dengan cepat.
"Apa yang harus aku lakukan sekarang?"
"Itu mudah, jadi kamu tidak perlu tegang, rileks saja. Baik? Ulangi kata-kataku dengan kata-katamu sendiri. Dengan itu, kamu akan menjadi diriku."
Tiba-tiba, suasana yang mengelilingi Ai dan suara yang dikeluarkannya berubah menjadi sesuatu yang suci dalam sekejap.
Akhirnya, Hikari benar-benar memahami bahwa gadis di depannya adalah sosok yang berbeda.
Dan dari bibir merah Ai, keajaiban indah yang terikat dengan suhu dan warna Ai diucapkan.
"Aku adalah kamu."
"Aku adalah Ai-chan."
"Kamu adalah aku."
"Ai-chan adalah aku."
Tiba-tiba, cahaya melimpah memenuhi mata Hikari.
Itu mirip dengan pemandangan yang ia lihat saat dilahirkan ke dunia ini. Meskipun itu adalah kenangan yang sudah lama hilang, entah kenapa, Hikari teringat dengan jelas saat ia pertama kali menangis.
Dan ketika ia kembali mendapatkan pandangannya, ia tersenyum bahagia pada cerahnya bunga sakura yang sama seperti yang pernah dilihatnya.
Ia merasakan hembusan angin.
Ia merasakan kehangatan dari cahaya matahari.
Detak jantungnya yang merindukan cinta.
Kehidupan yang seharusnya telah hilang kini, dengan jelas, ada sepenuhnya di dalam tangan Hikari.
"Yuk, Hikari-san. Pergilah dan ucapkan selamat tinggal kepada orang yang kamu cintai."
Di depannya, ada seorang malaikat tanpa sayap yang berpakaian putih bersih dengan mata merah.
Dia tersenyum dengan sangat lembut.
Mengapa dunia ini begitu tidak adil dan kejam, tetapi juga sangat indah?
❀
Kehidupan sehari-hari itu, entah kenapa, mirip dengan ombak.
Seperti jejak kaki yang terhapus oleh ombak di pantai, peristiwa kemarin perlahan-lahan memudar dari ingatan orang, merata, dan pada suatu saat bahkan kenangan yang seharusnya terukir kuat pun dicuri.
Namun, Narumi setiap tahun, hanya sekali, saat musim sakura, selalu teringat pada mantan muridnya.
Dalam empat tahun ini, dia telah mengajar ratusan siswa, di antaranya banyak yang merepotkan, tetapi hanya satu gadis yang dengan polos menarik jas labnya sambil memanggil "sensei, sensei."
Meskipun dia tidak bisa membalas perasaan itu, gadis yang sangat mengaguminya tetap terlihat sangat menggemaskan, dan dia pun mendengarkan beberapa permintaannya yang egois.
Berkali-kali, mereka berjalan bersama.
Oleh karena itu, hanya pada waktu ini, merasa kesepian itu sangat mengganggu dirinya.
Setiap kali angin berhembus, ruang kosong di sampingnya begitu mencolok.
"Sudah empat tahun, ya. Lebih cepat berlalu dari yang kubayangkan."
Dia mengeluarkan kotak rokok dari saku dadanya, tetapi segera menyadari bahwa dia tidak memiliki korek apai, lalu menggerutu. ‘Hah, di mana aku meletakkannya ya’?
Sebenarnya, merokok di jalanan dilarang oleh peraturan.
Sebagai seorang guru, dia tidak bisa melanggar aturan itu.
Dia memasukkan kembali rokoknya ke sakunya, dan saat itu, hidungnya bersin karena kedinginan.
Saat itu juga, angin kencang bertiup seolah mendorong punggung Narumi.
Terlihat bunga sakura bermekaran.
Berkibar-kibar, seolah dunia ini adalah tempat yang indah dengan sakura yang menari.
Ya, dunia ini memang indah.
Muridnya yang memanggilnya guru menarik ujung jas labnya, mengeluh dan merajuk, tetapi sebenarnya tersenyum, sehingga Narumi pun tertawa seolah tak percaya.
Namun, keindahan itu adalah kenangan yang telah berlalu.
Sudah seharusnya tidak bisa diraih lagi.
"Bodohnya Yuzuki. Walau itu adalah janji yang kamu buat, kamu melanggarnya sesuka hatimu."
"Siapa yang bodoh?"
"Whoa!"
Tiba-tiba, jas labnya ditarik dari belakang, dan Narumi mengeluarkan suara terkejut.
Tubuhnya masih mengingat sensasi yang nostalgia itu.
"Ahahaha. Kamu hampir jatuh ya."
"Oi, itu bahaya, lho? Sudah berapa kali aku bilang jangan menarik jas labku, Yuzuki?"
Dia mengucapkannya secara refleks, lalu menyadarinya.
Hikari Yuzuki sudah tidak ada di dunia ini.
Beberapa hari yang lalu, Narumi menghadiri pemakaman mantan muridnya. Wanita yang lebih muda sepuluh tahun darinya itu, meskipun mengalami kecelakaan, dia terlihat sangat cantik seperti sedang tidur di dalam peti mati.
Seperti yang dia katakan sebelumnya, empat tahun telah mengubah gadis itu menjadi wanita yang sangat cantik.
Ada mahasiswa yang menangis banyak untuknya.
Namun, Yuzuki. Apa yang kita janjikan tidak seperti ini, kan? Aku bilang "Datanglah menemuiku." Jika aku yang pergi menemuimu, itu bukan janji kita.
Kemarahan dan kesedihan berputar dalam diri Narumi.
Gadis yang seharusnya dia curahkan perasaannya itu sudah tidak ada lagi.
Sekali lagi, angin berhembus.
Sakura bermekaran lagi.
Di tengah kilauan musim semi, berdiri seorang gadis yang sangat cantik, bahkan tidak dia pernah dilihat sebelumnya.
"Maaf, maaf. Tapi, kalau tidak begini, sensei tidak akan melihatku. Kamu selalu melamun dan aku berjalan di belakangmu, jadi wajar saja jika kamu tidak akan menyadarinya. Jadi, aku menarikmu seperti ini. Sensei, lihat ke sini. Lihat aku."
"…Yuzuki, ya?"
Narumi bertanya pada gadis cantik bermata biru yang berdiri di belakangnya sambil memegang jas labnya.
Penampilannya tidak seperti murid yang dikenalnya, tetapi.
Begitu nama itu disebut, gadis itu tersenyum lebar dengan wajah bahagia. Meskipun penampilannya berbeda, ekspresinya adalah yang sangat dikenali Narumi, dan dia yakin.
Ah, gadis ini adalah Hikari Yuzuki yang dia kenal.
Hari-hari yang dia habiskan bersama Hikari, semua waktu yang telah berlalu, membuatnya percaya demikian.
"Yuzuki, kan? Sudah lama tidak bertemu."
Dengan penuh percaya diri, dia mengulangi kata-katanya.
❀
"Begitu, ya. Kamu langsung mengerti ya dengan sekali lihat. Padahal aku belum menjelaskan apapun. Meskipun penampilanku berbeda."
Dengan bibir Ai dan suara Ai, Hikari menerima kata-kata Narumi yang penuh keyakinan.
Sekarang, jiwa Hikari Yuzuki berada dalam tubuh Ai.
Ai adalah "malaikat yang menghubungkan orang yang telah meninggal dan orang yang mereka cintai untuk terakhir kalinya" dengan meminjamkan tubuhnya kepada orang yang telah meninggal.
Malaikat itu muncul di depan jiwa yang kehilangan tubuh dan menyimpan perasaan yang tidak bisa ditujukan. Untuk menenun kisah perpisahan antara orang yang telah meninggal dan orang yang mereka cintai.
"Satu-satunya murid yang menarik jas labku seperti itu hanyalah kamu."
"Hehehe. Begitu, ya."
Dengan malu-malu, Hikari menggaruk kepalanya.
"Namun, aku tidak menyangka akan bertemu denganmu dengan penampilan seperti ini."
"Hah? Aku sudah mengatakan dengan jelas bukan. Aku bilang aku tidak akan melupakan janji itu bahkan jika aku telah meninggal. Aku akan membuatmu terkejut dengan penampilanku yang sangat cantik."
"Perubahannya terlalu ekstrem. Memang sih, aku terkejut."
Saat itu, Hikari secara sembunyi-sembunyi memeriksa jari manis tangan kiri Narumi.
Masih seperti empat tahun yang lalu, ujung jarinya yang cantik belum menunjukkan tanda-tanda "milik seseorang." Tapi.
"Apakah sensei sudah berubah? Atau tidak? Apakah sensei masih bersama pacarmu?"
"…Kamu sudah tahu ya?"
Hikari mengangguk.
Tentu saja, dia tahu.
Narumi memiliki aspek kehidupan yang bukan sebagai "guru." Di tempat yang tidak pernah bisa dijangkau Hikari, ada keluarganya, teman-temannya, dan kekasihnya.
Dia benar-benar tahu itu.
"Kami masih bersama. Tidak perlu khawatir tentang itu."
"Begitu, ya. Sepertinya tidak ada cincin, jadi itu berarti sensei belum melamarnya, kan?"
"…Lebih tepatnya sih, aku masih menundanya."
Apakah itu karena aku? Saat Hikari mempertanyakan lebih lanjut, Narumi yang jujur tampak ragu. Sikapnya lebih berbicara daripada kata-kata, memberikan jawaban.
Sedikit bahagia.
Rasa bersalah juga sama besarnya.
"Ah, bolehkah aku bertanya satu hal lagi? Bagaimana dengan kecelakaan yang menimpaku? Apakah kamu berpikir untuk menunda lamaran karena janji kita?"
Narumi terdiam sejenak.
"Seperti yang kuduga. Aku tidak memintamu sejauh itu, tahu. Empat tahun sudah cukup lama untuk berpikir bahwa kamu mungkin akan putus dengannya, dan mungkin aku masih punya kesempatan. Tapi menunda lamaranmu karena aku, itu tidak adil bagi pacarmu."
"Aku tidak bisa menghindarinya. Melamar orang lain sementara masih ada janji dengan gadis lain itu tindakan yang tidak jujur, dan lagipula aku adalah 'sensei'-mu. Aku harus menepati janji dengan muridku."
Benar-benar, di sinilah masalahnya.
Kamu datang sejauh ini, dan bahkan di akhir, kamu masih membuatku bingung.
"Aku senang datang menemuimu. Seandainya aku dibenci seumur hidup oleh pacarmu. Itu sangat gawat."
"Dia bukan tipe orang seperti itu, jadi kamu tidak perlu merasa bersalah."
"Mungkin dia tidak akan marah padamu, Sensei. Tapi di dalam hatinya, aku yakin dia tidak suka. Pria yang dia cintai lebih mengutamakan gadis lain. Sensei tidak mengerti perasaan perempuan ya."
"Aku minta maaf."
Di sudut mata Narumi, ada satu kerutan yang tidak ada empat tahun lalu.
Jika diperhatikan dengan baik, rambut putihnya juga mulai terlihat di sana-sini.
Narumi yang semakin tua tetap saja adalah tipe Hikari.
Bahkan sekarang, dadanya terasa sakit karena perasaan itu.
"Tapi, ini memang khas sensei ya. Ini adalah sensei-ku."
Berbagai perasaan kembali muncul di dadanya.
Ada yang hangat, ada yang dingin, ada yang bahagia, ada yang sedih, ada yang menyenangkan, dan ada yang menyakitkan.
Jika semua itu dikumpulkan menjadi satu, lahirlah dua kata sederhana yang sering diucapkannya tanpa sadar.
Bunga yang sudah bertunas di dadanya selama bertahun-tahun, akhirnya dipetik oleh Hikari.
Perasaan yang telah dijaganya dengan sangat hati-hati, untukmu.
Terimalah. Ini adalah seluruh perasaanku. Enam tahun cinta tak terbalas.
"Aku sangat mencintai Narumi-sensei lebih dari siapa pun di dunia ini."
Akhirnya, akhirnya dia bisa mengatakannya. Saat sesuatu yang sudah lama tertahan di dalam dadanya hilang, hatinya terasa lebih ringan, hanya menyisakan kesedihan yang sama beratnya.
"Terima kasih. Tapi, maaf. Aku sudah punya seseorang yang kusukai."
"Seberapa besar kamu menyukainya?"
"Mungkin sebesar dunia."
"Beruntung sekali dia. Bisa dicintai oleh sensei seperti itu."
Suara Hikari bergetar tanpa sadar, dia menggigit bibirnya dengan kuat.
Ini adalah cinta yang dari awal sudah pasti akan berakhir dengan patah hati.
Hikari tahu bahwa ada orang yang berkata bahwa cinta yang tidak terbalas tidak ada artinya. Dalam komedi romantis, gadis yang patah hati sering disebut dengan julukan tidak menyenangkan seperti "heroine yang kalah."
(TLN: Hmm, jadi keinget anime make heroine.)
Tapi, tetap saja...
Hikari tidak ingin cintanya kepada sensei dianggap tidak berarti.
Karena baginya, itu adalah kebahagiaan. Itu benar-benar kebahagiaan baginya.
Merasa bahagia setiap kali memikirkan dia saat bangun tidur.
Mencari-cari rambut acak-acakan sensei di jalan menuju sekolah atau di halte bus.
Merasa senang ketika tangan sensei mengacak-acak rambutnya dengan kasar.
Walaupun cinta ini tidak terbalas dan memang ditakdirkan berakhir dengan patah hati.
Jika ada makna dalam dua puluh dua tahun hidup Hikari yang singkat, itu adalah cintanya kepada sensei. Dengan semua perasaan dan emosinya, Hikari Yuzuki telah jatuh cinta sekali seumur hidup kepada Narumi-sensei.
Jadi, lihatlah. Meski aku sudah mati, meski aku menangis, aku masih bisa tersenyum dengan sangat manis, bukan?
"Ehhehe. Hei, sensei. Terima kasih, ya."
"Untuk apa?"
"Terima kasih karena sudah menungguku sampai hari ini. Aku sangat bahagia."
"Begitu ya. Sama-sama."
Dengan wajah yang tampak ingin menangis, Narumi mengusap kepala Hikari dengan kuat untuk pertama kalinya setelah empat tahun.
Terima kasih, sensei. Aku mencintaimu. Tidak, aku sangat mencintaimu.
Aku jatuh cinta pada tangan ini, pada jari-jari ini.
Tapi, aku harus melepaskannya sekarang. Meskipun terasa nyaman dan aku ingin terus seperti ini selamanya, tangan ini bukan milikku.
Ini milik orang lain, bukan milikku.
"Karena ini kesempatan yang jarang, bolehkah kita berbicara sebentar? Ada banyak hal yang ingin aku bicarakan denganmu. Kamu bebas kan?"
"Tentu saja."
Lalu, sambil berkata "Hm," dengan canggung, Narumi mengulurkan tangan yang tadi mengusap kepala Hikari.
"Apa ini?"
"Ayo kita berjalan sambil bicara. Kita akan berjalan di bawah pohon sakura bersama. Itu adalah ikatan kita bukan."
"Apakah itu berarti kita akan bergandengan tangan?"
"Tapi jangan beri tahu Asazuki-sensei, ya. Aku bisa dimarahi nanti."
"Senangnya. Aku selalu ingin berjalan seperti ini dengan orang yang kusukai, setidaknya sekali saja."
Lalu, mereka berdua berjalan di bawah pohon sakura, lebih lambat dari biasanya, seolah enggan berpisah. Dari tangan yang tergenggam, suhu tubuh mereka bercampur dan menjadi satu.
Itu sedikit mirip dengan keajaiban cinta yang tak terbalas.
"Tahu tidak, aku punya banyak teman setelah saat masuk universitas. Ada juga yang menyatakan cintanya padaku."
"Apa kamu tidak pacaran dengannya?"
"Tentu saja tidak. Karena satu-satunya alasan aku ingin berubah, dan ingin menjadi lebih baik, adalah karena aku ingin sensei menyukaiku. Semua itu adalah harta yang aku dapatkan karena aku jatuh cinta padamu."
"Kamu benar-benar bodoh. Yuzuki memang bodoh ya."
"Bunga sakuranya, indah, ya."
"Iya, kamu benar."
"Sakura yang kulihat di samping sensei, adalah yang terbaik."
"Aku juga lebih senang melihatnya bersamamu daripada sendirian."
Mereka berjalan sedikit lebih jauh dari halte bus tempat mereka biasanya berpisah, sampai ke halte berikutnya yang belum pernah mereka kunjungi sebelumnya. Tangan yang tergenggam pun perlahan terlepas dengan alami.
Meski ingin memohon, Hikari menahannya di dalam hati.
Karena, berjalan di samping Narumi hanya sampai di sini.
Karena Narumi masih punya masa depan.
Dia harus melangkah ke depan tanpa Hikari. Hikari sadar, dia tidak memiliki hak untuk menghentikan langkah itu.
"Sampai di sini saja, ya."
"Iya."
Jari Narumi menyentuh lembut mata Hikari yang basah karena air mata untuk terakhir kalinya.
Pertama di mata kanan, kemudian di mata kiri.
Air mata yang mengalir, semuanya dibersihkan oleh sentuhan lembutnya.
Kebaikan itu sangat menyakitkan, namun begitu menghangatkan hati.
"Sensei, itu pelecehan, loh."
"Eh? Tapi, kamu pasti akan memaafkanku, kan?"
Meski ingin mengangguk pada suara Narumi yang seakan bangga, Hikari menahan diri.
Maaf.
Karena itu juga, berakhir di sini hari ini.
"Kamu tidak boleh melakukan itu secara sembarangan. Mulai sekarang, kamu hanya boleh melakukan itu pada orang yang paling penting bagimu."
"Serius? Anak perempuan SMA memang susah dimengerti, ya."
"Sayangnya, aku bukan anak SMA lagi."
"Itu benar. Kamu sudah menjadi perempuan dewasa yang luar biasa. Selamat atas kelulusannya. Kamu sudah tumbuh dewasa."
Di sinilah akhir dari kehidupan Hikari Yuzuki.
Akhir ini sangat menyakitkan, dan sangat menyedihkan. Tapi, bukanlah hal yang tidak membahagiakan. Tidak, justru sebaliknya.
Karena, lihatlah. Sensei tersenyum.
Aku tidak sendirian.
Jadi, Hikari juga tersenyum sambil berkata.
Kali ini benar-benar, tanpa air mata, dengan senyum sepenuhnya.
"Selamat tinggal, sensei yang kucintai. Semoga kamu bahagia, sama seperti aku."
Aku jatuh cinta.
Dan itu sudah cukup untuk membuatku bahagia.
❀
Saat aku duduk di bangku halte bus setelah mengantar sensei dan melamun sendirian, Ai dan Dia datang terlambat ke arah Hikari. Malaikat putih yang melayang-layang dengan tenang di udara dan boneka yang berjalan dengan susah payah di atas aspal tampak sangat kontras, entah kenapa terlihat sangat lucu.
Lebih dari itu, aku merasa sangat menyayangi mereka.
"Hikari-san, hikari-san."
Ai, yang menjadi roh karena meminjamkan tubuhnya ke jiwa Hikari, melambai-lambaikan tangannya.
Di tengah kenangan bersama sensei dan banyaknya "kematian" yang melimpah di dunia ini, Hikari bersyukur karena bisa bertemu malaikat yang begitu imut seperti ini. Meskipun selalu sendirian, setidaknya di akhir hidup, dia tidak sendiri, dan dia bisa bangga mengatakannya.
Kebahagiaan yang lebih dari sekadar kebahagiaan, sebuah akhir yang hanya bisa didapatkan melalui kebersamaan dengan seseorang.
Terima kasih.
Karena kalian ada, aku bisa patah hati.
Aku bisa menyelesaikan cinta pertamaku yang sekaligus adalah yang terakhir dengan benar.
"Terima kasih atas kerja kerasmu. Bagaimana hasilnya?"
"Hahaha, aku ditolak."
"Oh begitu."
"Kenapa Ai terlihat hampir menangis?"
"Karena Ai adalah malaikat yang cengeng."
Suara Dia yang berkata dengan jahil terdengar sangat manis.
Ya, aku benar-benar sangat menyukai mereka berdua.
Dengan perasaan puas, Hikari merentangkan tubuhnya ke arah langit.
Lalu tertawa dan berteriak dengan lantang.
"Aah, aku ditolak. Tapi, itu menyenangkan. Hari-hari cinta bertepuk sebelah tangan yang menyenangkan dan bahagia. Jadi, tidak ada alasan untukku menangis."
Dikelilingi oleh orang-orang yang aku cintai di hari terakhir ini, aku bisa tertawa. Bukankah itu hal yang terbaik?
Setelah itu, Hikari berbincang panjang lebar dengan Ai dan Dia seperti teman dekat.
"Oh iya. Bagaimana kalau aku buat body painting untukmu? Kau bilang kau iri, kan?"
"Eh? Benarkah?"
"Tidak masalah. Aku juga sudah membawa alat-alatnya saat mampir ke kamar. Ini ada di dalam ranselku. Ada permintaan khusus?"
"Iya iya. Yang sama seperti Hikari-san. Sayap di lengan."
Sesuai permintaan, Hikari melukis sayap malaikat di kedua lengannya.
Setelah selesai, Ai sangat senang dan matanya berkilau.
"Keren! Hikari-san benar-benar hebat bisa menggambar seperti ini."
"Walaupun aku akan segera hilang sih."
"Tidak apa-apa. Apa yang terlihat bukanlah segalanya. Meskipun segera hilang dan tidak terlihat lagi, aku akan selalu ingat bahwa Hikari-san pernah ada di sini dan telah bersikap baik padaku."
"Kurasa yang bersikap baik adalah kau, Ai-chan. Tapi, aku senang jika kau merasa begitu."
Selain itu, kami berbincang tentang banyak hal, bahkan hingga bercerita tentang rasa kagum dan keluhan.
"Sensei, semakin tua semakin tampan ya. Memang ya, pria akan benar-benar matang setelah melewati usia tiga puluh."
"Hmmm, begitu ya?"
"Aku pikir itu tergantung orang masing-masing."
Rasanya sangat menyenangkan, aku ingin terus seperti ini selamanya. Tapi ketika bintang pertama mulai bersinar di langit, Hikari memutuskan untuk berdiri dari bangku halte bus.
Ada tempat yang harus aku tuju.
Karena itulah Ai memanggilku.
"Baiklah, sepertinya aku harus pergi. Tapi sebelum itu, Dia, boleh aku pegang sebentar?"
"Eh?"
Hikari mengangkat boneka yang selalu bersikap sombong itu dengan mudah.
Pada awalnya, boneka ini yang meskipun bermata bulat tapi berbicara kasar membuat Hikari berpikir, "Apa-apaan boneka ini?" Namun, seiring berjalannya waktu, dia mulai merasa bahwa bahkan sikap buruk boneka ini pun memiliki pesona tersendiri.
Tidak seperti niat jahat yang pernah aku dengar di kelas dulu.
"Sebagai tanda terima kasih karena menemaniku hari ini."
"Aku tidak butuh itu."
"Jangan sungkan. Chuu."
Sebelum Dia sepenuhnya menolak, Hikari mengecup kening boneka itu.
Sebuah ciuman singkat, seperti yang dilakukan oleh anak-anak kecil di taman kanak-kanak.
Namun, sensasi ciuman itu tetap terasa di bibirnya.
"Apa... apa yang kau lakukan!"
"Seperti yang kubilang, itu tanda terima kasih. Sensei punya seseorang yang dia sukai, jadi aku tidak bisa memberikan ciuman pertamaku padanya. Tapi, hidup yang berakhir tanpa pernah merasakan ciuman rasanya hampa, bukan?"
"Kau bodoh. Ciuman hanya untuk orang yang kau sukai, kan."
"Aku cukup suka padamu, Dia-kun. Ayo, Ai-chan, kau juga. Ayo berciuman."
Ai dengan ceria mendekat setelah dipanggil.
"Horeee!"
Hikari mengecup pipi Ai yang adalah roh, dan meskipun tidak ada sensasi atau kehangatan, hatinya terasa hangat dan penuh seperti saat dia sedang jatuh cinta pada sensei.
"Sekarang, giliranku untuk memberikan ciuman balasan pada Hikari-san."
Ketika Ai perlahan mendekatkan bibirnya, Hikari tahu tanpa perlu penjelasan bahwa itu adalah isyarat.
Saat ciuman Ai menyentuh dada Hikari,
──Pak!
Sebuah kristal berbentuk bunga muncul dengan suara nyaring dan jatuh ke tangan gadis itu.
"Inikah?"
"Iya. Kami menyebutnya ‘Bunga Kerinduan’, benda yang mengikatmu dengan dunia ini."
"Terima kasih, malaikat, karena kau telah menghilangkan kerinduanku."
Cinta kecil yang mekar di dada Hikari tampak sangat indah.
Mirip sekali dengan bunga yang disebut ‘Hanamizuki’.
Makna bunganya adalah "Tolong terimalah perasaanku."
Itulah "selamat tinggal" yang Hikari katakan kepada Ai dan Dia.
❀
Saat Ai kembali ke tubuhnya, Hikari sudah tidak terlihat di mana pun. Roh Hikari tampaknya telah pergi ke tempat yang seharusnya.
Meskipun itu adalah hal yang benar dan seharusnya membahagiakan, dada Ai terasa sangat sakit.
Air mata pun mengalir dengan deras.
Di hadapan rasa sakit perpisahan yang terus berulang dan tak pernah terbiasa, Ai dengan lembut memasukkan bunga kerinduan yang telah dipetiknya ke dalam botol transparan yang diambil dari ranselnya.
Terdengar bunyi dingin dan tak bernyawa saat bunga kristal memenuhi satu botol.
Kristal berbentuk bunga itu adalah apa yang mengikat roh orang mati ke dunia ini, dan hanya bisa dikumpulkan oleh Ai setelah dia membebaskan mereka dari kerinduan mereka.
Itulah kenangan yang Ai peroleh dari pertemuannya dengan para arwah.
Setelah tangannya akhirnya kosong, Ai memeluk erat boneka kelinci itu.
"Hei, Dia. Boleh aku cium kamu?"
"Tidak boleh."
"Kenapa? Hikari-san aja boleh, kenapa aku tidak? Jelaskan alasannya. Alasannya."
"Itu terjadi tiba-tiba. Lagipula, aku tidak memberikan izin."
"Bohong. Kamu terlihat senang."
Ai menatap Dia dengan mata berkaca-kaca dan menyipit.
Di sisi lain, Dia merasakan ketidaknyamanan yang aneh.
"…Tidak."
"Kamu tadi terlihat senang. Apa maksud dari jeda barusan?"
"Aku tidak senang kok."
"Kamu senang. Kamu senang! Akui saja itu!"
"Kamu menyebalkan ya."
"Hmph, sudah. Aku akan melakukannya sendiri. Muach!"
"Berhenti. Hei, hentikan. Dasar wanita mesum sialan. Jangan melakukan hal yang tidak perlu."
Dia berusaha keras untuk menjauhkan wajah Ai yang terus mendekat dengan bibirnya yang dimajukan.
Saat itu, ada perasaan dari seseorang yang sampai kepada mereka.
‘Kalian berdua memang teman yang paling kompak.’
Suaranya terdengar seperti seseorang yang menggoda pasangan teman, terdengar geli dan hangat.
Promise ‐ fin.




Post a Comment