NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Tenshi no Mune ni, sayonara no Hanataba wo ~Yomei Minus na watashi ga Shinu made ni shitai Hitotsu no koto~ V1 Chapter 2

 


Penerjemah: Flykitty

Proffreader: Flykitty


Chapter 2

Love song ‐ Bagaimana cuaca besok


Tahun ini, dia juga mengatakan seperti biasanya, "Jadikan ulang tahunku cerah, ya."


Aku hanyalah mahasiswa biasa yang tidak memiliki keterampilan khusus atau sihir yang bisa membuatku tak terkalahkan di dunia lain, bahkan aku tidak memiliki satu pun kualifikasi yang menguntungkan untuk pekerjaan. Tapi meskipun begitu, aku tetap ingin mengabulkan permintaan itu.


Karena aku menyukai dia yang tampak bahagia saat bernyanyi di bawah sinar matahari.



"Apakah besok akan cerah ya?"


Seperti anak kecil pemalu yang bertanya kepada ibunya, ketika matahari bersembunyi di balik awan, dunia seketika tenggelam dalam warna abu-abu.


Di udara, ada sedikit campuran bau hujan.


Sebentar lagi, mungkin hujan akan turun.


Dalam pikiran Makabe Haru, muncul sosok seorang gadis yang sudah lama ada di hatinya.


Namun, sejak kapan dia mulai peduli dengan cuaca, padahal dia bukan lagi siswa sekolah dasar yang akan pergi piknik?


Dia teringat alasan yang terkait dengan waktu dan tertawa sinis.


Yang penting bukan sejak kapan itu terjadi, tapi mengapa.


"Kau memang aneh."


Tiba-tiba suara laki-laki yang berbeda dari dirinya terdengar, membuat senyumnya menghilang dan Haru secara spontan menengok, "Begitu ya?" Meskipun tidak ada sosok laki-laki lain di situ, dia tidak lagi terkejut dengan hal itu.


Seorang lelaki universitas dan seorang gadis cantik berpenampilan remaja, bersama dengan boneka kelinci yang ada di tangan gadis itu.


Itulah semua yang membentuk kelompok aneh itu.


Haru sudah terbiasa dengan suara yang berasal dari boneka itu.


"Ah, tetap saja ini memang aneh, dari sudut pandangku, itu tidak bisa dipercaya."


"Kenapa?"


"Bagi kamu, cuaca besok tidak ada artinya sama sekali."


Dengan kata-kata yang sama sekali tidak penuh empati, gadis yang ada di sampingnya menggembungkan pipinya dengan manis dan berkata sebagai pengganti Haru.


Kenapa Dia selalu bilang hal-hal yang tidak lucu? Hanya penampilannya saja yang terlihat lucu, huh?


"Itu memang sifatku. Itu tidak bisa dihindari. Selain itu, aku tidak mengatakan hal yang salah."


"Maaf, Makabe-san. Anak ini, seperti yang kamu lihat, punya sifat dan mulut yang buruk. Dia adalah setan."


"Kau adalah malaikat, jadi bagaimana kalau kamu terlihat sedikit lebih anggun?"


"Tidak, tidak, aku sangat anggun. Coba cari di kamus kata 'elegan'. Ditulis, 'anak seperti Ai yang seperti malaikat'. Ini, di sini. Tandai dengan spidol karena akan muncul di ujian."


Dengan cepat, mereka membangun dunia mereka sendiri dan saling berdebat, meskipun kata-kata yang diucapkan bertolak belakang dengan kehangatan kasih sayang yang ada di antara mereka.


Entah kenapa, Haru merasa sedikit terhormat, melewati batas keheranan.


Setidaknya, tidak mungkin baginya untuk berciuman dengan percaya diri di depan seseorang yang baru saja dia kenal.


"Kalian sangat akrab, ya."


"Eh? Ah, ya. Begitu. Dia adalah teman berharga yang hanya ada satu di dunia ini."


Mengatakannya dengan suara kagum, Haru mendapatkan kembali senyuman penuh, ditambah tanda damai dari Ai.


"Aku bukan temanmu. Aku hanya dipaksa bekerja keras oleh Ai."


"Apakah itu hal yang perlu dibanggakan? Setan yang ditangkap oleh malaikat, itu terlihat konyol."


"Diam, Ai."


Saat itu.


Di samping kelompok aneh yang gaduh itu, sepasang kekasih melintas. Hah? Siapa orang-orang itu? Haru berbalik dan hampir ingin memanggil mereka, tetapi dia menahan diri.


Tidak ada artinya.


Sebenarnya, perhatian mereka hanya tertuju pada kecantikan luar biasa gadis yang baru saja mereka lewati.


"Hei, gadis itu. Sangat cantik, ya. Mungkin seorang selebriti atau sesuatu?"


"Memang. Tapi..."


"Ya. Berbicara sendirian dengan boneka, itu sedikit aneh."


Haru berdiri diam, terus mengarahkan tatapannya ke arah punggung yang semakin menjauh itu.


Sementara itu, Ai yang disebut 'cantik' atau 'aneh' tidak menunjukkan tanda-tanda peduli.


"Apakah orang-orang itu, mungkin, kenalan Makabe-san?"


"Mereka adalah pelanggan tetap di tempat kerjaku. Kadang-kadang mereka mentraktirku bir."


"Itu bukan pengabaian, ya. Mereka hanya tidak melihat sosok Makabe-san."


"Ah, aku mengerti. Mereka tahu bahwa aku sudah mati. Memang, seperti yang Dia katakan. Aku tidak memiliki hari esok. Memikirkan cuaca di masa depan adalah hal yang aneh untukku."


Haru meninggal hanya beberapa saat yang lalu.


Jika dihitung secara spesifik, itu terjadi sekitar satu jam yang lalu.


Dia terlibat dalam kecelakaan akibat sopir truk yang mengantuk.


Karena baru saja membeli barang yang mahal, Haru yang merupakan mahasiswa miskin merasakan kehabisan uang, dan ketika dia berjalan dengan keringat menetes di tengah teriknya musim panas, dia mengalami tragedi ketika ingin membeli es krim vanilla yang paling dia suka.


Di minimarket, satu paket es krim delapan buah harganya 400 yen, tetapi di supermarket di kota sebelah, harganya hanya 320 yen, jadi dia memilih untuk pergi jauh.


Akhirnya, hanya karena menghemat beberapa koin 10 yen, kehidupan Haru yang telah dia bangun selama 21 tahun hancur dalam sekejap, tanpa peringatan, dan langsung diberi tanda akhir.


Lebih dari sekadar sedih atau menyesal, dia bahkan merasa terkejut.


Apakah nilai akhir dari hidup ini hanya 80 yen?


Tidakkah Tuhan bisa melakukan sesuatu yang lebih baik?


Meskipun dia mengeluh, pintu yang menghubungkannya dengan dunia lain yang sedang tren tidak akan pernah terbuka untuk pemuda malang itu, dan tentu saja, dia juga tidak mendapatkan keterampilan langka yang akan memberinya tiket untuk hidup nyaman di sana.


Namun, di depan tubuhnya yang hancur setelah terlindas truk, jiwa Haru dipertemukan dengan sosok yang tidak terkait dengan dunia lain, tetapi sama istimewanya.


Dua sosok aneh, malaikat bernama Ai dan setan bernama Dia.


Sosok Haru yang tidak pernah diperhatikan oleh siapa pun, hanya terpantul dalam mata biru yang mirip langit.


Malaikat yang berwujud gadis cantik itu hanya bertanya satu hal kepadanya.


"──Apa keinginanmu yang belum terpenuhi?" 


Suara itu sangat aneh.


Suara itu menyaring berbagai emosi yang berputar dalam diri Haru, hanya meninggalkan satu perasaan yang muncul ke permukaan.


Perasaan itu mengambil wujud sosok gadis yang seusia Haru.




Sekitar dua tahun lalu Haru Makabe pertama kali mulai peduli pada Toumi Nijika.


Pada waktu itu, Haru adalah mahasiswa tahun pertama yang bersemangat.


Bagi pemuda yang akhirnya meninggalkan kampung halamannya setelah delapan belas tahun, semua yang ada di kota besar yang konon dihuni lebih dari satu juta orang tampak penuh dengan kilauan baru.


Segera setelah masuk kuliah, dia berteman dengan beberapa orang yang cocok dengannya, bermain mahjong, ikut pesta minum, acara kencan, pulang pagi—semua hal yang tidak bisa dia lakukan di masa SMA, seolah-olah dia mencentang daftar kegiatannya satu per satu.


Namun, kesenangan seperti itu hanya bertahan beberapa minggu saja.


Di dunia ini, apapun yang dilakukan selalu butuh uang.


Benar-benar, sangat mahal.


Dalam sekejap, tabungan dari pekerjaan paruh waktu saat SMA habis, dan dompetnya kosong.


Kiriman uang dari orang tua tidak bisa diandalkan, dan sebagai mahasiswa miskin yang harus hidup hanya dengan beasiswa dan gaji dari pekerjaan paruh waktu, tidak pernah ada rasa leluasa dalam hidupnya.


Perlahan, kehidupannya kehilangan kilauan yang dimilikinya sejak awal dan terus jatuh menjadi sesuatu yang sederhana.


Satu-satunya kemewahan yang Haru punya untuk dirinya sendiri adalah menikmati waktu di kafe sekali seminggu.


Sebuah kafe dengan suasana nyaman di depan stasiun, dikelola oleh seorang pria yang mewarnai rambutnya menjadi putih dengan sempurna. Rasa kopinya luar biasa.


Harganya juga terjangkau, dan porsinya cukup untuk memuaskan seorang mahasiswa.


"Mabuka-kun, terima kasih seperti biasa."


"Ah, Master. Hari ini juga luar biasa enak."


"Syukurlah. Ini, gratis untukmu. Kamu suka makanan manis, kan?"


Setelah menghabiskan hamburger, Haru meminum kopi sambil memandang ke luar jendela. Di depannya ada sebuah kue sus khusus buatan Master.


Master, yang kabarnya dulu bekerja sebagai juru masak di restoran berbintang tiga di Paris, terkadang membuat kue saat sedang merasa ingin.


"Wah, senang sekali. Aku akan menikmatinya tanpa ragu."


"Ada hal menarik hari ini?"


Sambil menggigit kue sus dengan senang, Master juga memandang keluar jendela di samping Haru.


Hujan yang awalnya turun dengan ringan semakin deras seiring waktu, kini benar-benar kencang. Orang-orang di luar sibuk melindungi diri dari tetesan hujan.


Jendela kafe juga dipenuhi tetesan air, sehingga pemandangan agak kabur.


"Umm... Menarik ya, mungkin ini agak aneh. Gadis itu, dia bernyanyi lagi hari ini."


Di ujung pandangan Haru, ada seorang gadis yang sedang tampil di jalanan.


Di bawah jembatan penyeberangan, dia terus bernyanyi dengan gitar di tangannya.


Namun, karena cuaca yang buruk, tidak ada satu pun orang yang berhenti untuk mendengarkannya.


Diguyur hujan, diabaikan oleh semua orang, namun tetap bernyanyi, Haru merasa itu konyol.


"Belakangan ini, dia sering terlihat di tempat itu, ya?"


"Heh. Mabuka-kun suka gadis seperti itu, ya? Yah, dia memang cantik."


"Ah, bukan begitu maksudku. Aku hanya merasa aneh saja."


"Apanya yang aneh?"


"Dia selalu bernyanyi di tengah hujan."


Sudah sekitar dua bulan sejak Haru mulai melihat penyanyi jalanan yang kesepian itu.


Sosoknya selalu hadir bersama hujan.


Itu saja.


Sungguh, hanya itu saja.



Toumi Nijika pertama kali memegang gitar pada musim gugur terakhir masa SMA-nya, tepat sebelum menghadapi ujian masuk universitas.


Alat musik yang pernah disentuhnya hanyalah harmonika di kelas atau piano di ruang musik saat bercanda ketika membersihkan ruangan.


Jadi, kenapa Nijika tiba-tiba ingin belajar gitar sekarang?


Yah, tidak ada alasan besar. Kebanyakan orang mulai belajar alat musik karena ingin menarik lawan jenis, ingin menjadi pusat perhatian, atau mengagumi seseorang.


Sebenarnya, alasan Nijika juga ada di antara hal-hal itu.


Tentu saja, dia tidak akan pernah mengakui hal itu kepada siapa pun.


"Eh? Ayano, kamu berhenti bermusik?"

(TLN: Ayono disini itu kakak dari Nijika)


"Bukan Ayano, tapi kakak, kan?"


"Sekarang bukan waktunya untuk itu."


"Tidak benar. Aku harus mulai mencari pekerjaan dengan serius sekarang. Maksudku, saatnya moratorium berakhir. Seperti kepompong yang menjadi kupu-kupu, atau kuncup bunga yang mekar, anak-anak harus tumbuh menjadi dewasa. Peter Pan tidak ada di mana pun. Pada akhirnya, dia tidak pernah datang ke tempatku."


"Apa maksudmu?"


"Kenyataan datang mengetuk bahuku, mengatakan bahwa aku tidak bisa lari lagi."


Pengumuman pengunduran diri kakaknya, yang empat tahun lebih tua dan bermain dalam sebuah band sejak masa SMA, merupakan pukulan besar bagi Nijika. Meskipun keluarganya cenderung longgar dan jarang berkumpul bersama, Nijika diam-diam mengagumi kakaknya yang mengabdikan diri pada musik.


Saat kakaknya mengatakan akan membuang gitarnya yang telah dibelinya dengan susah payah setelah menabung selama berbulan-bulan dari pekerjaan paruh waktu, Nijika meminta dengan memohon agar diberikan dengan harga murah.


"Kalau memang akan dibuang, aku kasih gratis saja. Kamu tidak punya uang, kan?"


Sambil memotong kukunya, kakaknya berbicara.


Namun, Nijika menggelengkan kepalanya.


Dia menggelengkan kepalanya dengan keras untuk menunjukkan penolakan.


"Aku akan membayarnya dengan tabungan uang tahun baru."


"Kamu biasanya tidak keras kepala, tapi aneh sekali, sekarang kamu begitu tegas."


"Tidak apa-apa."


Jika aku menerima gitarnya secara gratis, rasanya seperti aku menganggap beberapa tahun yang dihabiskan Ayano untuk musik menjadi tidak berharga. Seperti salju musim semi yang mencair dan hilang begitu saja.


Itu benar-benar tidak bisa diterima.


Kekaguman dan kenangan itu masih membara di dalam hatiku, bahkan sekarang.


"Baiklah, lakukan sesukamu."


"Ya, aku akan melakukannya. Sesukaku."


Awalnya, Nijika kesulitan berlatih di dalam lemari, tetapi setelah menyentuh gitar selama berjam-jam setiap hari, dia mulai terbiasa, meskipun dengan caranya yang canggung.


Jari-jarinya yang kaku perlahan-lahan menjadi lentur, dan dia mulai memahami secara naluriah bagaimana musik terbentuk.


Ketika dia sudah bisa memainkan beberapa lagu populer, keinginan untuk menyanyi di depan umum semakin kuat. Itu jalan yang ditempuh oleh banyak penyanyi yang telah menjadi terkenal dalam sejarah, mungkin.


Setelah belajar dari kakaknya dan mendapat izin, pertama kali dia memegang mikrofon di jalan adalah di akhir musim semi setelah dia diterima di universitas.


Dia tidak bermimpi bahwa dia akan langsung mendapat tawaran dari produser terkenal, debut besar-besaran, video musiknya ditonton jutaan kali, dan semua CD-nya menjadi hit besar. Tetapi kenyataannya jauh lebih keras dari yang dia bayangkan, karena tidak ada seorang pun yang berhenti di depannya untuk mendengarkan.


Waktu itu berulang hampir sepuluh kali.


Hingga suatu sore, Nijika bertemu dengan takdirnya.


"Hah, hah, hah... fuh."


Karena telah menyanyikan tiga lagu dengan penuh semangat, napasnya menjadi berat.


Tenggorokannya kering, jantungnya sakit, dan napasnya tidak teratur.


Memberikan segalanya selalu menyakitkan dan melelahkan, tapi dia tidak membencinya.


Saat Nijika mengusap keringat di dahinya, tiba-tiba terdengar suara tepukan. Awalnya dia mengira itu suara hujan, tapi ternyata suara itu lebih kuat dan terasa hidup.


Ketika Nijika menoleh dengan kaget, dia melihat seorang pria seusianya berdiri di dekatnya.


Dia tidak mengenal pria itu.


Apa yang dia inginkan?


Suasananya berbeda dari pria-pria yang pernah mencoba menggoda Nijika sebelumnya.


Pria itu mengeluarkan koin lima ratus yen yang sedikit basah dan meletakkannya di atas kotak gitar. Nijika sangat terkejut.


"Ini bukan mimpi, kan?"


Melihat ekspresi Nijika yang terkejut, pria itu tampak kebingungan.


"Maaf, apa aku salah? Aku tidak tahu harus melakukan apa karena ini pertama kalinya bagiku."


"Bukan begitu, ini pertama kalinya aku menerima uang, jadi aku terkejut."


"Boleh aku request lagu?"


"Lagu-laguku tidak banyak, tapi jika kamu tidak keberatan…"


Pria itu menyebutkan judul lagu yang populer saat Nijika masih SMP. Lagu itu akrab bagi Nijika, dan dia sering menyanyikannya.


Tidak sulit memainkan kordnya.


Namun, ini pertama kalinya Nijika menyanyi untuk seseorang, dan dia sangat gugup.


Apalagi, itu lagu cinta, dan dia menyanyikannya di depan pria seumurannya.


Tapi begitu Nijika mulai bermain gitar, pria itu mengikuti irama dan bertepuk tangan, yang membuat Nijika tertawa dan membuatnya lebih santai.


Tiba-tiba semua tampak tidak penting lagi.


Ketegangannya menghilang, dan dia mulai bernyanyi dengan leluasa.


Saat memasuki bagian reff, pandangannya bertemu dengan pria itu, dan dia tersenyum.


Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Nijika merasakan sesuatu yang baru.


Saat lagu selesai, pria itu dengan setia memberikan tepuk tangan lagi.


"Apa aku sudah menyanyikannya dengan baik?"


"Ya, dan itu sangat bagus."


"Syukurlah. Aku sangat gugup tadi."


"Benarkah? Tidak terlihat begitu."


"Ini mungkin pengalaman paling menegangkan dalam hidupku."


Nijika berbicara sedikit berlebihan untuk menutupi rasa malunya.


"Itu pasti berlebihan."


Pria itu dengan sopan mengikuti candaan Nijika, membuatnya merasa nyaman berbicara dengan seseorang dari lawan jenis.


"Tidak, aku serius."


"Kamu sudah lama bermain gitar?"


"Belum genap setahun sih."


Sambil terus berbicara dengan pria itu, Nijika tidak melepaskan jemarinya dari senar gitar.


Saat mereka terus menyanyi dan berbincang, beberapa orang mulai berhenti dan mendengarkan lagunya.


Beberapa dari mereka bahkan memberikan uang, seperti pria itu.


Setelah sekitar satu jam bernyanyi, Nijika menyadari bahwa dia sudah mengumpulkan sekitar seribu yen di atas kotak gitarnya.


Waktu itu, Nijika baru sadar bahwa hujan telah berhenti.


"Hah? Tidak mungkin."


"Ada apa?"


"Nih, lihat."


Matahari bersinar dari celah awan tebal, menandakan bahwa hujan telah reda.


"Ah, aku biasanya selalu membawa hujan."


"Jadi ini pertama kali kamu bernyanyi di bawah sinar matahari, ya?"


"Iya, rasanya senang sekali."


"Kalau begitu, aku akan datang lagi. Mungkin jika aku ada di sini, langit akan selalu cerah."


Pria itu sedikit bercanda, dan saat itulah Nijika mengetahui namanya, Makabe Haru, seorang mahasiswa yang seumuran dengannya.



"Hmmm. Jadi, orang itu adalah 'seseorang yang kau suka,' ya, Makabe-san?"


"Apa? Ti-tidak, bukan itu. Apa yang kau bicarakan?"


Meskipun kata-katanya menyangkal, sikap jujurnya membocorkan segalanya. Ai tersenyum lebar.


"Fufufu. Maksudku bukan begitu. Kami menyebut orang yang jadi sasaran rasa penyesalan 'arwah' sebagai 'orang yang kau suka'. Orang yang terakhir ingin ditemui oleh Makabe-san adalah seseorang yang kau sayangi."


"Kalau penjelasannya seperti itu. Mungkin ada benarnya."


"Tapi, tidak sepenuhnya salah juga, kan? Mungkin."


Tempat pertama yang mereka tuju setelah meninggalkan lokasi kecelakaan adalah apartemen tua tempat Haru tinggal selama tiga tahun.


Dinding apartemen yang tipis sebanding dengan murahnya sewa, tetapi karena penghuninya sedikit dan lokasinya jauh dari stasiun, suasana malam sangat tenang sehingga kekurangan ini tak terlalu terasa.


Mereka menaiki tangga luar yang tampak rapuh, yang sewaktu-waktu bisa runtuh karena beban tubuh, menuju ke kamar sudut di lantai dua.


Saat Haru memasukkan kunci dari saku ke dalam lubang kunci, dia memiringkan kepalanya dengan bingung.


"Eh?"


Tidak ada bunyi dari lubang kunci, dan Haru sama sekali tidak merasakan kunci itu berfungsi.


"Ah, ya. Saat ini Makabe-san tidak bisa menyentuh benda."


"Tentu saja aka tahu aku hantu. Tapi, kenapa aku masih punya kunci?"


"Bentuk jiwa dipengaruhi oleh persepsi. Karena Makabe-san masih berpikir bahwa kau membawa kunci, dompet, dan ponsel seperti saat kau hidup, jiwamu memilih bentuk itu."


"Tapi, benda yang tidak bisa digunakan tidak ada artinya. Nah, Ai, ini kunci asli kamarnya. Pakailah."


"Terima kasih."


Seseorang yang ikut dalam percakapan itu adalah Dia, yang sebelumnya diam dalam pelukan Ai.


Bagaimana cara Dia mendapatkan kunci yang identik dengan yang dipegang Haru masih menjadi misteri, tetapi Dia akhirnya membuka mulut.


"Aku pikir mungkin ini akan dibutuhkan, jadi aku mengambilnya dari tempat kecelakaan."


"Maaf ya. Ada cara-cara untuk membuka kunci tanpa perlu melakukan hal seperti ini, tapi aku tidak ingin merusak 'aturan yang dibuat manusia.' Jadi, boleh aku pakai ini?"


"Tentu, silahkan."


Dengan izin resmi dari Haru, Ai memutar kunci perak itu, dan kali ini pintunya terbuka dengan benar.


Suara dingin dari pintu yang terbuka itu seperti lagu perpisahan yang mengguncang hati Haru, membuatnya merasakan sesuatu yang melankolis dan lambat laun menghilang.


"Permisi~"


Dengan suara ceria yang kontras dengan perasaan sentimental Haru, Ai melepas sepatu dan masuk ke ruangan.


Tak ada lorong yang layak disebut. Kamarnya sempit, dengan ukuran sekitar enam tatami, di mana hampir semua benda bisa dijangkau tanpa banyak bergerak dari tengah ruangan.


Di rak buku yang dibuat dari kotak warna, berjajar komik dengan sampul yang sudah pudar. Di atasnya, ada tumpukan debu dan tagihan listrik serta penggunaan ponsel yang menumpuk.


"Jadi, benda yang ingin Makabe-san ambil, yang mana?"


Ai mulai mencari-cari tujuan mereka datang ke kamar ini.


"Itu."


Di sudut ruangan, ada benda yang ditunjukkan oleh tatapan Haru. Di antara barang-barang yang tampak menyesuaikan diri dengan kehidupan sehari-hari mahasiswa miskin, hanya benda itu yang tampak baru dan mahal, seperti bulan yang melayang di langit malam.


Seiring berjalannya waktu, kesan itu mungkin akan berubah, tapi sayangnya, waktu itu tak akan pernah datang.


"Itu gitar, ya? Makabe-san bisa bermain alat musik?"


"Seperti yang kau lihat, aku baru membelinya. Rencananya, aku akan belajar. Ah, tapi tujuan utamanya bukan gitar, melainkan tas di sebelahnya."


Di samping gitar, ada selembar kertas A4 yang agak kusut dan sebuah kantong kecil yang dibungkus rapi.


Tas kecil itu, bagaimanapun juga, jelas merupakan hadiah untuk seseorang.


Tatapan Ai meminta penjelasan lebih lanjut, tetapi Haru berpura-pura tidak menyadarinya. Malu jika harus mengatakannya dengan kata-kata.


"Bagaimana dengan gitar dan kertas itu?"


"Untukku sekarang, mereka tidak ada artinya."


"Hmm," Ai membuka lipatan kertas A4 itu perlahan.


Setelah merasakan kata-kata yang tertulis di sana dengan jarinya, Ai menutup kertasnya kembali.


"Boleh aku bawa kertas ini dan gitarnya?"


"Kenapa?"


"Aku mungkin belum bisa membaca tulisan manusia, tapi kurasa ini berisi sesuatu yang penting. Sesuatu yang sangat penting bagimu dan seseorang yang kau cintai. Jadi, aku rasa ini akan dibutuhkan suatu saat nanti. Hanya firasat malaikat, tapi biasanya tepat."


"Boleh aja sih, aku tak masalah."


"Baiklah, aku akan bawa."


Ai kemudian menata kertas itu dengan hati-hati dan membawa gitar, tetapi saat melihat bayangannya di cermin, dia merajut alisnya dan menyentuh bibirnya.


"Aku tidak cocok dengan pakaian yang dipilih oleh Dia."


"Itu pilihan Dia, ya?"


Pakaian sederhana berupa gaun dan topi jerami tampak seperti imajinasi seorang pria.


"Hebat, kan? Kau harus menghormati pilihanku. Aku juga yang mengepang rambutnya. Ai tak bisa melakukan hal itu dengan baik. Gadis harus terlihat anggun."


"Mendadak kau jadi banyak bicara. Dan seleramu agak berlebihan."


Haru merasa sependapat, tapi sebagai sesama pria, dia memilih untuk tidak mengungkapkan simpatinya.


"Hmm. Di antara dua pakaian ini, mana yang lebih cocok, Dia?"


Di tangan kanan Ai ada jaket kulit gaya punk, sementara di tangan kirinya ada seragam sekolah.


"Yang di sebelah kanan."


Ai mengangkat jaket kulit hitam dan memiringkan kepalanya.


"Bukan. Yang di sebelah kanan menurut pandanganku. Jadi, yang di tangan kirimu. Ya, itu. Kombinasi gitar dan seragam adalah yang terbaik."


"Kau memang agak aneh, ya."


Meski sedikit merasa aneh, Haru sebagai pria juga mengerti daya tariknya, meski dia tak ingin dianggap sama.


"Hmm, baiklah. Aku akan ganti pakaian segera."


"Eh?"


Sebelum Haru sempat mencerna situasi, Ai sudah mengangkat rok gaunnya, mengejutkannya. Warna putih yang tertinggal di matanya, apakah itu kulitnya, atau sesuatu yang lain, Haru tak tahu pasti.


Dia menutupi seluruh pandangan Haru dengan wajah kelincinya.


"Jangan lihat."


Suara keras itu membuat Haru kembali sadar.


"Ai, sedikit rasa malu tidak ada salahnya."


"Emangnya kenapa?"


"Percayalah, ada hal-hal tak terlihat yang berkurang secara drastis."


"Baiklah, baiklah."


Setelah mengganti pakaian dengan cepat, Ai memasukkan gaun dan topi jeraminya ke ransel dan mengangkat gitar.


Dia berdiri di depan cermin dan memeriksa penampilannya dengan memiringkan tubuh ke kiri dan kanan, mengayunkan rok.


"Aku puas dengan ini. Bagus, bagus."


Dengan begitu, Ai meninggalkan ruangan, diikuti oleh Haru.


Meskipun mereka hanya tinggal sebentar, langit semakin gelap.


"Hei, Makabe-san. Boleh aku mendengar lebih banyak tentang percakapanmu dengan Tomi-san di perjalanan berikutnya?"


"Aku tidak punya banyak cerita untuknya."


"Aku tetap ingin mendengarnya. Boleh?"


Dengan bunyi pintu yang tertutup di belakangnya, Haru tak tahu harus menjawab apa.


Tidak bisa mengucapkan 'selamat tinggal' kepada kamar yang tak lagi menyambut 'selamat datang,' dan mengucapkan 'sampai jumpa' juga terasa tidak tepat.


Tapi, terlalu memikirkan hal ini juga tidak ada gunanya.


"Baiklah, kalau kau ingin mendengarnya, aku akan cerita sedikit."



"Ah, kamu benar-benar datang ya."


Melihat Haru yang muncul dari arah stasiun, Nijika berkata demikian.


"Kan aku memang janji datang? Eh, atau mungkin aku mengganggu?"


"Tidak mengganggu, tapi…"


Gerakan Nijika yang menarik poninya untuk menutupi wajah membuat dada Haru terasa hangat.


"Kenapa kamu tersenyum begitu? Menyebalkan."


"Bukan tersenyum."


"Coba lihat di cermin. Kamu tersenyum."


Haru dan Nijika mulai sering bersama saat waktu luang.


Dia seperti kucing. Mandiri, suka bertindak sendiri, dan moody. Dia tidak bergabung dengan klub musik di universitas atau membentuk band dengan teman-teman yang sefrekuensi, tetapi terus beraktivitas solo, mungkin karena sifatnya yang seperti itu.


Haru sedikit senang karena diizinkan masuk ke dalam "wilayah" Nijika.


"Tapi, kalau aku benar-benar mengganggu, katakan saja dengan jujur."


"Sudah kubilang, bukan begitu. Hanya saja, kamu datang lebih lambat dari waktu yang kita sepakati... hanya itu."


"Oh, jadi aku membuatmu menunggu. Maaf ya, keretanya sedikit terlambat. Tapi, hanya sekitar dua menit, kan?"


Sepertinya tidak suka dengan kata-kata itu, wajah Nijika memerah dan dia memukul bahu Haru. Suara pukulannya terdengar seperti dalam komik, "poka poka."


Meskipun tidak sakit, Haru berpura-pura mengeluh, "Sakit, sakit."


"Aku tidak sedang menunggu atau khawatir. Jangan salah paham."


Betapa mudah dibaca orang ini.


Namun, Haru tidak mengomentari itu lebih lanjut, karena jika dia melakukannya, suasana hati Nijika akan benar-benar memburuk. Terlalu banyak memperhatikan kucing akan membuatnya stres dan menyerangmu seperti sebelumnya.


Dalam hubungan dengan kucing, kita tidak punya kendali.


Kita hanya boleh memperhatikannya saat kucing sendiri yang datang.


Haru tahu itu dengan baik, jadi dia memilih untuk mengganti topik.


"Lihatlah, hari ini cerah, kan?"


Musim sudah benar-benar memasuki musim panas.


Panas terik membuat jangkrik terus berdengung, dan di tanah jatuh bayangan yang tajam seperti bisa melukai jari jika disentuh. Bau yang menyengat dan keringat yang mengalir. Cahaya matahari yang melimpah membuat daun pohon jalanan berkilau dan mengeras.


Yang paling mencolok, langit biru jernih seperti soda, yang jika dilihat bisa membuatmu merasa terhisap ke dalamnya.


Melihat langit biru yang cerah itu, Nijika berkata, "Baguslah."


"Yang bagus itu justru buatmu, Nijika, bukan?"


"Soalnya, kalau hari ini tidak cerah, berarti Haru tidak ada gunanya."


Wajah Haru sedih mendengar itu, dan sedikit membuat suasana hati Nijika lebih baik.


Dengan berdiri di depannya, dia menarik napas dalam-dalam, menghirup udara panas musim panas yang membara.


"Ini cuaca yang sempurna untuk live di jalanan. Aku akan menyanyi dengan penuh semangat, jadi kalau ada waktu, dengarkan, ya?"


"Pasti. Aku menantikannya."


Live berlangsung dua setengah jam sekali. Namun, bukan tanpa henti. Ada sesi satu jam yang diselingi istirahat tiga puluh menit, dua kali.


Terkadang, Nijika mendapatkan sedikit uang dari penonton.


"Hari ini, aku akan traktir es krim di toko. Aku dapat banyak nih."


Nijika akan berkata dengan wajah bangga, dan Haru akan menerima dengan senang hati.


Setelah bernyanyi sekitar dua jam, biasanya dia mengumpulkan sekitar 300 atau 400 yen.


Dengan hasil segitu, menolak traktirnya justru akan tidak sopan.


"Kalau begitu, aku terima traktiranmu."


"Ya, nikmati sesukamu."


"Hari ini aku mau Haagen-Dazs."


"Wah! Itu jelas nggak boleh!"


Masih dalam suasana hati yang lebih tinggi dari biasanya karena efek dari bernyanyi, Nijika segera mengerucutkan bibirnya sambil membuat tanda silang dengan kedua tangan.


Tentu saja, Haru berpura-pura tidak paham.


"Specium beam? Tapi sudutnya salah nih. Seharusnya begini, lho."


"Bukan itu. Ini tanda silang. Maksudnya budget-nya nggak cukup. Kalau kamu pilih Haagen-Dazs, aku nggak bisa beli buat diriku. Paham?"


Es krim bar seharga 200 yen yang mereka makan bersama di bangku taman terasa lebih manis daripada es krim apapun yang pernah Haru makan sebelumnya.


Tapi Haru tidak pernah memberitahukan itu pada Nijika, karena dia tahu Nijika akan terlalu bangga kalau tahu.




Beberapa bulan telah berlalu sejak bertemu dengan Nijika, dan musim pun perlahan berubah.


Pakaian yang dikenakan semakin tebal satu per satu, dan napas yang dihembuskan membeku menjadi putih.


Waktu berubah menjadi kristal dingin yang putih dan menumpuk di mana-mana.


"Wah, lihat Haru. Salju turun. Pantas saja dingin."


Itu adalah malam Natal.


Kota bersinar dengan berbagai cahaya warna-warni. Semua orang di jalanan bersama seseorang. Kebanyakan dari mereka memiliki senyum cerah yang tak kalah dari lampu jalan.


Tentu saja, Haru juga sama.


Dia bersama Nijika, dan karenanya, tersenyum.


"Nijika kamu tidak suka salju ya, atau lebih tepatnya, musim dingin?"


"Kamu bisa tahu ya? Begitulah nasib menyedihkan orang yang lahir di musim panas. Aku benar-benar tidak tahan dingin."


"Kurasa bulan lahir tidak ada hubungannya."


"Ah, tanganku dingin."


Udara dingin membuat kulit Nijika memerah, dan napasnya yang dilepaskannya tampak putih. Dengan napas putih itu, dia berulang kali menghembuskannya ke ujung jarinya, sambil melirik Haru dengan mata memohon.


"Dingin, sakit, rasanya seperti mau mati."


"Kamu tidak akan mati hanya karena ini."


"Serius? Kamu melihat kondisiku sekarang dan itu tanggapanmu? Aku tidak percaya."


Meskipun Haru merasa bahwa dia memberikan respons yang tenang dan tepat, tampaknya itu tidak disukai oleh Nijika. Dia balas menatapnya dengan tatapan malas.


Tatapan itu terasa jauh lebih dingin dan menyakitkan.


"Haru, kamu pasti tidak populer."


"Kenapa tiba-tiba bilang begitu?"


"Kamu tidak pernah lembut pada perempuan, dan juga tidak bisa membaca situasi."


"Tidak juga."


"Hah? Kamu populer? Serius? Tidak mungkin, dunia sudah di ambang kehancuran."


"Kamu mengatakan itu? Dan lagi, aku orangnya lembut kok. Aku juga bisa membaca situasi."


Haru berkata dengan percaya diri sambil mengambil jarak karena Nijika mendekatinya dengan bersemangat.


Namun, Nijika hanya mendengus dan tertawa pelan.


"Lagi pula, kamu pasti tidak populer. Berada bersamaku di malam Natal sudah cukup sebagai bukti."


"Kalau begitu, bagaimana denganmu, Nijika? Sepertinya kamu juga tidak punya pacar."


"Aku, itu… bukan karena tidak bisa, tapi karena tidak mau. Kenapa kamu menatapku seperti itu? Itu sungguhan, lho. Sudah, sini mendekat."


"Hah? Eh, tunggu!"


Tiba-tiba.


Begitu Haru mendekat seperti yang diminta, Nijika langsung merangkul lengannya.


"Kamu tidak terlalu hangat."


"Wajahmu merah, lho."


"...Itu salah satu hal yang membuatmu sulit dipahami."


Setelah diperlakukan sejauh ini, Haru tak punya pilihan selain menunjukkan sisi laki-lakinya.


Setelah dengan lembut melepaskan Nijika yang tampak sedikit kecewa—dan entah kenapa terlihat lebih imut dari biasanya—Haru kembali menggenggam tangannya dengan lembut.


Tangan Nijika terasa sangat dingin, seperti es.


"Tanganmu dingin."


"...Iya."


Meski Haru sudah bersiap kalau-kalau Nijika akan melepaskannya, tak lama kemudian tangannya yang tadi kaku mulai bergerak, dan dia membalas genggaman Haru dengan erat.


Haru tak bisa menatap Nijika dengan baik.


Dia penasaran seperti apa wajah Nijika sekarang, tapi dia tidak punya keberanian untuk melihatnya.


"──Ku."


Suara kecil yang nyaris berbisik.


"Kamu bilang apa?"


Refleks, Haru menoleh ke Nijika, yang wajahnya kini lebih merah dari sebelumnya dan dia sedang memalingkan wajah, seperti yang tadi dilakukan Haru.


Haru tahu bahwa suara itu bukan kesalahpahaman, dari jejak napas putih yang tersisa di bibir merahnya.


"Aku bilang kamu lulus. Meskipun tipis."


"Oh, begitu. Syukurlah. Terima kasih."


"...Aku juga terima kasih."


"Kenapa suaramu jadi aneh?"


"Mulutku kaku karena dingin."


"Oh, begitu."


"Iya, begitu. Sungguh, itu saja alasannya."


Kemudian mereka terdiam.


Tidak ada kata-kata romantis atau hadiah yang istimewa.


Bagi dua orang yang tidak terbiasa dengan cinta, itulah batas mereka.


Jujur saja, situasinya juga tidak nyaman. Tubuh terasa geli di mana-mana, tenggorokan kering, dan mulai berkeringat. Kalau bisa, mereka ingin segera kabur dan menghangatkan seluruh tubuhnya


Namun, baik Haru maupun Nijika, tidak ada yang mau melepaskan genggaman tangan mereka.


Karena begini, rasanya sudah tidak dingin lagi.


Mereka terus berdiri di sana, menikmati lampu-lampu Natal bersama-sama.




Musim dingin telah berlalu, ketika aku berjalan santai di musim semi, hujan di awal musim panas sudah menunggu dengan tangan terlipat di depan. Seakan berkata, "Jika ingin melanjutkan, lewati dulu mayatku," dunia hujan terus menurunkan hujan, hujan, dan hujan setiap hari.


Udara lembab yang pekat berwarna abu-abu, sama seperti awan di langit.


Bunga hydrangea yang mekar indah, disapa oleh tetes-tetes air dengan bunyi seperti letupan api kecil yang pecah.


"Fufun. Karena hari ini hujan, sepertinya aku yang menang kali ini."


"Huh, apa maksudmu?"


"Hujan vs cerah. Perang terakhir, itu maksudku."


"Apa sih yang kamu bicarakan."


Sambil mendesah, Haru kemudian dengan tangan yang kosong memunculkan sebuah payung ajaib di atas kepala Nijika, seolah ingin melindungi segala hal dari hujan yang membasahi bunga dan tanah.


"Lalu, apa yang kamu lakukan?"


"Hari ini hujan turun, jadi payung ini sebagai pengganti cerah. Setidaknya, biar Nijika tidak basah."


"Oh, jadi begitu. Kamu datang menjemputku ya. Anjing kecilku memang setia."


Walaupun berkata begitu, Nijika tidak mengambil payung yang diberikan kepadanya. Sebaliknya, dia memilih untuk merapat lebih dekat di bawah payung sempit yang digunakan Haru untuk dirinya sendiri.


Dengan sedikit melompat, dia menyentuh dada Haru.


"Hei, apa yang kamu lakukan? Kamu akan basah."


"Tidak apa-apa, kan? Lihat saja."


Begitu tubuh Nijika mendekat, Haru secara reflek langsung memiringkan payungnya ke arah Nijika.


Ternyata, Nijika sudah tahu dia akan melakukan itu.


"Jika aku bersama Haru, aku tidak akan basah. Kamu yang akan melindungiku dari hujan, kan?"


"Aku yang akan basah, tahu."


"Ya, terima saja. Sebagai gantinya, bagaimana kalau aku menyanyikan lagu? Ini akan menjadi panggung spesial hanya untuk Haru. Apa kamu senang? Pasti senang kan. Eh, tahu nggak? Ada teori yang mengatakan suara manusia terdengar paling indah saat di bawah payung di hari hujan."


"Jadi, aku bisa mendengarkan suara terindah Nijika secara eksklusif?"


"Begitulah."


"Kalau begitu, sedikit basah tidak masalah sih."


Lalu Nijika mulai menyanyikan lagu anak-anak yang berhubungan dengan "hujan" yang dikenal oleh semua orang.


Suara itu benar-benar indah.


Meski terpercik hujan di sana-sini, dengan kaki yang basah, suasana hatinya tetap ringan.


"Akhir-akhir ini, aku mulai memikirkan tentang cuaca besok. Apakah besok akan cerah atau hujan. Aku tidak sampai melihat prakiraan cuaca, tapi tetap terpikirkan."


"Sejauh ini, tingkat keberhasilannya sekitar tujuh puluh persen. Maafkan aku."


Sejak Haru mulai bersama dengan Nijika, cuaca tidak selalu cerah.


Ada hari-hari hujan seperti hari ini, bahkan ada juga hari bersalju.


Tidak peduli seberapa hebat seorang ‘pria cerah’, dia tidak bisa mengendalikan cuaca sepenuhnya.


Seperti yang pernah dikatakan Nijika, jika Haru tidak bisa membuat hari menjadi cerah, maka tidak ada alasan baginya untuk tetap berada di sisi Nijika.


"Kamu salah paham, bukan itu yang kumaksud. Maksudku, sebenarnya..."


Nijika, yang jarang sekali tampak ragu, tersipu dan wajahnya memerah seperti saat malam Natal.


Meski agak terbata-bata, dia dengan susah payah mencoba mengungkapkan perasaannya.


"Aku senang bisa memikirkan hal seperti itu sekarang. Itu berarti aku tidak perlu menyerah dari awal jika cuaca besok hujan, kan? Karena ada Haru di sisiku, aku bisa berharap pada hari esok. Bukankah itu hal yang luar biasa?"


"Karena kamu seorang musisi, apa yang kamu katakan selalu terdengar terlalu dramatis."


"Ugh. Padahal itu tidak dramatis sama sekali."


Nijika menjulurkan lidah dengan kesal.


Tetes-tetes bening yang menghubungkan langit dan bumi mulai turun dari atas.


Hari ini hujan sepanjang hari, dan karena itu, mereka akan tetap menempel satu sama lain sepanjang hari.


Detak jantung mereka berdegup kencang.


Karena mereka berdua sangat dekat, tidak bisa dipastikan suara detak jantung siapa yang lebih keras.


"Besok cuacanya akan seperti apa ya?"


"Cerah atau hujan, aku tidak peduli lagi sekarang."


Haru tidak bertanya mengapa.


Baik Haru maupun Nijika tahu bahwa ketidakpastian cuaca esok hari adalah bukti bahwa mereka berdua akan tetap bersama.


Itu seperti sebuah janji.


Seperti sebuah pengakuan.




Di ulang tahun Nijika yang kedua sejak mereka bertemu, Haru memutuskan untuk menyiapkan hadiah.


"Ini, untukmu, ambillah."


Sebuah kotak kecil yang dibungkus rapi diletakkan di depan Nijika, yang sedang duduk di bangku taman.


"Apa ini?"


"Apa maksudmu? Ini hadiah. Hari ini hari ulang tahunmu, kan? Selamat ulang tahun."


"Eh? Haru yang tidak peka dan sama sekali tidak perhatian bisa memberi hadiah?"


"Kalau kamu bilang begitu, aku kembalikan saja."


"Wah, maaf. Aku hanya sedikit terkejut. Baiklah."


"Bukan sesuatu yang hebat, sih."


Namun, Nijika menggelengkan kepalanya kuat-kuat, menolak dengan tegas.


"Tapi, ini sesuatu yang kamu siapkan khusus untukku, kan? Aku senang."


"Kalau begitu, baguslah."


"Boleh aku buka sekarang?"


"Silakan."


Karena ini adalah hadiah pertama yang Haru berikan kepada seorang wanita, selain ibunya, dia benar-benar bingung.


Ketika dia meminta saran dari teman-teman wanitanya di kampus, mereka justru mengejeknya habis-habisan dengan pertanyaan mendetail, dan setelah berhasil lolos dari penyelidikan mereka, dia tersadar dengan kenyataan bahwa "Aksesori dari pria yang bukan pacar itu yang terburuk" dan "Barang bermerek yang tidak sesuai dengan selera akan berakhir di toko barang bekas." Fantasi pria tentang hadiah benar-benar hancur.


Selain itu, sebagai mahasiswa miskin, Haru juga tidak mungkin membeli tas seharga jutaan yen.


Akhirnya, dia memutuskan untuk meminta bantuan pemilik kedai kopi yang sering dia kunjungi, agar membuatkan kue khusus.


Kue keju berdesain musim panas yang dihiasi buah-buahan jeruk dengan warna dominan kuning. Melihat kue itu, Nijika tersenyum cerah, "Wah, ini luar biasa!"


Melihat reaksi tersebut, Haru diam-diam menghela napas lega. Ah, syukurlah, pikirnya.


"Aku rasa ini pertama kalinya ada yang menyiapkan kue untuk ulang tahunku."


"Benarkah?"


"Di keluargaku, semuanya agak bebas, masing-masing melakukan apa yang mereka suka. Aku tidak bermasalah dengan orangtuaku atau Ayano, kakakku. Tapi, saat membaca buku dan menemukan adegan-adegan seperti ini, aku merasa iri. Hehe. Hari ini, aku yang membuat orang lain iri."


Nijika dengan cepat memasukkan sepotong kue ke mulutnya, Nijika memakannya dengan sangat lahap sekali, kakinya bergerak-gerak, dan dia mengeluarkan suara "Hmm" sambil meluapkan kegembiraannya dengan seluruh tubuhnya.


Jika reaksinya sebesar itu, perjuangannya dalam memikirkan hadiah terbayar sudah.


"Enak sekali. Ini makanan terenak yang pernah aku coba."


"Itu berlebihan."


"Tidak, ini sungguh enak. Haru, ayo kamu juga makan. Eh? Mana bagianmu?"


Haru tersenyum, mencoba mengalihkan perhatian.


Bukan karena dia tidak bisa memesan untuk dirinya sendiri.


Namun, kue buatan pemilik kafe itu lebih mahal dibandingkan kue yang dijual di minimarket, dan bagi mahasiswa miskin seperti Haru, itu cukup terasa.


Tentu saja, Nijika tampaknya memahami keadaan keuangan pria di depannya.


Dia memotong kuenya menjadi dua, lalu menusukkan sepotong kecil dengan garpu plastik.


"Nih, buka mulutmu."


Nijika tertawa dengan sangat riang.


"Tidak, itu kan hadiah untukmu, jadi kamu harus makan semuanya."


"Apa yang kamu bicarakan. Ini hadiah untukku, jadi aku yang memutuskan apa yang akan kulakukan. Nih, buka mulutmu. Kalau tidak makan, aku tidak akan berhenti."


Tentu saja, Haru ragu.


Bagi dua mahasiswa ini, hari itu hanyalah hari libur panjang biasa, tetapi bagi banyak pekerja, itu adalah siang hari di hari kerja. Maksudnya, banyak tatapan orang yang lewat terasa sangat menusuk.


Ada juga pria yang melirik Haru dengan tidak suka, seolah dia sedang dimanja oleh Nijika yang cantik.


"Ayo, cepat buka mulutmu."


"Mereka melihat kita."


"Aku tidak peduli. Ayo buka. Aaaaa♪"


Akhirnya, Haru menyerah dalam perdebatan ini. Kalah telak.


Tak ada pria yang bisa menolak godaan ini.


Sebagai upaya terakhir, dia memutuskan untuk memasukkan seluruh potongan kue ke dalam mulutnya.


"Enak, kan? Sangat enak, kan?"


Karena mulutnya penuh, Haru tidak bisa bicara.


Dia hanya bisa mengangguk.


Sejujurnya, perasaannya sangat manis sehingga dia bahkan tidak bisa merasakan rasanya.


"Kalau ada kesempatan berikutnya, aku ingin kita makan sesuatu yang bisa dinikmati berdua. Tidak perlu sesuatu yang mewah seperti ini, bahkan kue minimarket atau es krim yang sedang diskon di supermarket juga boleh. Yang penting adalah kita berdua bisa berbagi kenangan bersama. Kamu mengerti?"


Haru hanya terus mengangguk.


"Janji, ya?"


Sambungan kelingking mereka terasa hangat sekali.





Hari-hari yang dihabiskan bersama Nijika, terasa panjang sekaligus singkat.


Beratnya dua tahun waktu yang telah berlalu mungkin berbeda bagi setiap orang.


Pasti, bagi anak-anak sekolah dasar, mereka akan berkata, "Terasa sangat panjang seperti selamanya."


Namun bagi para pekerja yang sibuk, mungkin itu terasa singkat.


Lalu, bagaimana dengan Makabe Haru?


Jawabannya sederhana.


Bukan masalah panjang atau pendek, tetapi setiap momen yang dihabiskan bersama Nijika adalah sesuatu yang sangat berharga dan penuh kasih bagi Haru.


Meski sering dipusingkan oleh sifat ceroboh Nijika, justru itulah yang membuat segalanya menyenangkan.


"Hei, Haru. Jadikan hari ulang tahunku cerah tahun ini juga, ya?"


Haru tentu tidak begitu tumpul untuk tidak mengerti maksud dari kata-kata itu.


Artinya, Nijika meminta Haru untuk tetap bersamanya pada hari ulang tahunnya tahun ini.


"Tentu saja, aku tidak keberatan. Aku akan membuatnya cerah. Serahkan saja padaku."


Sebenarnya, Haru sudah merencanakannya sejak awal, bahkan sudah meminta cuti dari pekerjaannya sejak dua bulan sebelumnya.


"Dan, ada satu lagi permintaan, bolehkah?"


"Kamu serakah sekali ya."


"Kenapa? Tidak boleh?"


"Tidak, aku akan mendengarkan apapun. Aku sudah terbiasa mengikuti keinginanmu, Nijika."


Saat Haru tersenyum menggoda, Nijika tetap menunjukkan wajah serius sambil memberikan selembar kertas. Haru melihat kertas itu, membaca isinya, dan kembali melihat Nijika.


Pipinya memerah, dan terlihat sedikit rasa gugup serta harapan di wajahnya.


"──Ini…"


Itulah yang terjadi seminggu yang lalu.



Ketika Ai, seorang gadis yang sangat cantik, keluar dari pintu kafe yang sering dikunjungi Haru sepanjang hidupnya, sayangnya hujan gerimis mulai turun dari langit mendung.


Di sebelah Ai, seorang pemuda dengan bahu yang sedikit menurun menghela napas, tak ada yang menyadari kehadirannya.


"Aduh. Sekarang sudah dipastikan aku tidak bisa menepati janji terakhirku dengan Nijika."


"Aku bilang akan membuatnya cerah, bilang serahkan saja padaku, dengan sombongnya."


"Heh, Makabe-san. Apa kamu benar-benar tidak ingin berbicara dengan pemilik kafe? Seperti yang aku jelaskan tadi, sekarang masih sempat kalau kamu mau."


"Tidak, begini sudah cukup. Kalau aku mendengar kata-kata yang baik, aku pasti akan menangis."


Di tangan Ai ada sebuah kotak kecil yang dibungkus dengan sangat rapi. Dengan kelembutan seperti menyambut salju di telapak tangannya, dia memegang kotak itu dengan hati-hati.


"Aku ini sudah mahasiswa. Dan laki-laki juga. Kalau aku menangis, itu memalukan, kan?"


"Benarkah?"


"Itu yang disebut hati laki-laki, Ai. Aku tidak bilang kamu harus mengerti, tapi cobalah untuk menerima."


Di atas kepala Ai, ada Dia yang hampir tergelincir karena perubahan posisi saat Ai memiringkan kepalanya, namun dengan susah payah tetap bertahan sambil menyela percakapan.


"Hmm," Ai hanya mengerucutkan bibirnya, tampak bosan.


Setelah itu, dia tidak berkata apa-apa lagi mengenai hal itu.


Sebagai gantinya, dia menatap ke arah yang sama seperti yang dilihat Haru.


Di depan mereka, berdiri Nijika dengan gitar di tangannya.


Dia masih belum tahu tragedi apa yang akan dia dengar nanti.


Saat memikirkan masa depan, Haru merasa dadanya yang seharusnya tidak memiliki bentuk fisik terasa sakit.


Memikirkan bahwa dia akan membuat senyum gadis itu menghilang, membuat kakinya gemetar.


Namun, jika masih diizinkan untuk terakhir kalinya.


Aku ingin bertemu denganmu sekali lagi.


Permintaan maaf dan terima kasih, aku harus menyampaikannya langsung dari mulutku sendiri.


"Baiklah, sekarang aku akan meminjamkan tubuhku. Oke? Ulangi kata-kataku dengan kata-katamu sendiri, Makabe-san."


Ai menatap Haru, dan Haru yang menerima tatapan itu mengangguk.


"Aku adalah kamu."


"Aku adalah kamu."


"Kamu adalah aku."


"Kamu adalah aku."


Berkah yang menenun keajaiban ini diucapkan, dan sekali lagi, nyawa yang hilang dikembalikan ke tangan Makabe Haru.



──Nijika.


Tanpa mengeluarkan suara, Haru hanya memanggil nama itu di dalam hatinya.


Berkali-kali ia memanggilnya.


Nijika. Nijika. Nijika.


Dia ada di depannya.


Haru merasa begitu bahagia sampai gemetar.


Hatinya, jiwanya, tidak, seluruh keberadaan Haru tertarik dan sangat menginginkan dirinya berada di dekatnya. Jika saja dia mengulurkan tangannya sekarang, dia pasti bisa menyentuhnya, tapi Haru menahan diri.


Dia tahu dengan jelas bahwa dia tidak diizinkan untuk menyentuhnya lagi.


Penyesalan yang muncul seperti kegelapan yang merayap membuat Haru mengangkat tangannya yang tidak diulurkan ke arah Nijika dan menempelkannya ke dadanya.


Dia meletakkan telapak tangannya dengan lembut di atas jantungnya yang bereaksi terhadap kesedihan.


Detak jantungnya terasa mendorong kuat dari dalam ke luar.


Ah. Sangat panas dan jelas terasa sakit.


Tubuh ini masih hidup.


Dengan susah payah menguatkan hatinya yang mulai goyah, Haru akhirnya memanggil nama yang begitu ia cintai dengan suaranya.


"Nijika."


"Eh?"


"Makabe Haru tidak akan pernah datang ke sini lagi."


Nijika yang sedang menyetel gitar menghentikan gerakannya.


Tatapan tajamnya yang mengarah ke Haru menusuknya.


"…Siapa kamu? Maksudmu apa tiba-tiba berkata begitu? Apa-apaan itu?"


Alis Nijika berkerut, kata-katanya penuh dengan ketidaksenangan.


Dia sama sekali tidak mencoba menyembunyikan perasaannya, yang sangat khas darinya.


Haru tidak merasa terganggu oleh hal itu.


Karena Haru yang ada di depan Nijika sekarang tidak terlihat seperti Haru yang dia kenal.


Rambut hitam berkilau seperti langit malam, kulit seputih cahaya pagi, bulu mata panjang, dan bibir berwarna merah muda. Seragam yang tidak biasa terlihat di sekitarnya.


Dari ransel yang bersayap, terlihat telinga boneka keluar, dan sebuah tas gitar tergantung di pundaknya.


"Aku diminta oleh seseorang, atau lebih tepatnya diberi tugas. Aku harus memberikan ini kepadamu."


Dengan sengaja, Haru menyampaikan kata-kata yang tidak menjawab pertanyaan Nijika.


Dia mengulurkan sebuah kantong kecil dan kotak suvenir dari kafe yang pernah mereka kunjungi.


Nijika tidak mau menerimanya, yang tentu saja wajar.


Setelah ragu sejenak, Haru akhirnya meletakkannya di atas kotak gitar Nijika.


"Selamat ulang tahun. Maaf aku tidak bisa menepati janjiku. ...Itu yang dia(Haru) ingin aku sampaikan kepadamu."


"Aku tidak mengerti. Bagaimana mungkin orang yang tidak aku kenal mengatakan hal ini? Di mana Haru?"


"Dia...ya, dia harus pergi jauh karena urusan mendesak. Jadi, dia tidak bisa bertemu denganmu lagi. Dia sangat-sangat menyesal."


"Tidak bisa lagi? Tunggu. Maksudmu, dia tidak akan pernah kembali?"


Suara Nijika terdengar penuh dengan keputusasaan, lebih dari yang Haru bayangkan sebelumnya.


Karena itu, rasanya seperti ada pisau yang menusuk dada Haru, membuatnya sesak dan sulit berbicara.


Haru hanya bisa mengangguk dengan rasa bersalah.


"Kenapa hal sepenting itu disampaikan oleh orang sepertimu, bukan oleh dia sendiri? Ini bohong. Apa yang kamu dapat dari membuat lelucon kejam seperti ini? Aku tidak percaya. Haru pasti akan datang."


"Ini bukan kebohongan. Aku adalah penggantinya."


Haru menyentuh selembar kertas di dalam sakunya, lembaran A4 yang diberikan Ai walaupun Haru merasa itu tidak perlu.


Di sana tertulis lirik lagu orisinal yang Nijika buat untuk pertama kalinya.


Sebuah harta karun yang hanya Haru dan Nijika yang tahu di seluruh dunia.


Saat Haru menerima kertas itu, Nijika berkata padanya.


"Aku ingin kita menyanyikan lagu ini bersama di ulang tahunku."


Haru begitu bahagia saat itu. Dia membaca lirik itu berulang kali sepulangnya ke apartemen. Dia bahkan membeli gitarnya sendiri untuk berlatih, agar suatu hari bisa berdiri di sampingnya.


Namun, kebahagiaan itu sekarang hanya bisa ia balas dengan pengkhianatan.


"Aku senang kamu mengajakku untuk bernyanyi bersama. Tapi aku tidak bisa. Aku tidak bisa bernyanyi lagi. Maaf."


"Aku tidak mengerti. Di mana Haru?... Aku akan pergi ke mana pun. Ke mana pun dia berada, aku akan mengikutinya. Bahkan jika itu neraka, atau ujung dunia. Tolong, katakan padaku. Di mana Haru sekarang?"


Nijika tampaknya menyadari sesuatu telah terjadi pada Haru, dan suaranya menjadi lebih mendesak.


Namun, Haru tetap tidak bisa menjawab pertanyaan itu.


"Aku mendukungmu. Di dunia ini, aku hanya mendukungmu."


Setetes hujan jatuh di pipi putih Haru dan mengalir turun seperti menelusuri wajahnya.


Sebelum menyelesaikan kalimatnya, Haru tersenyum dengan cara yang menolak segala sesuatu, membuat Nijika terdiam.


Tanpa memberikan kesempatan, Haru berlari menjauh.


Punggungnya yang mengenakan ransel bersayap palsu larut ke dalam hujan kelabu, dan dengan cepat menghilang.


──Berlari.


──Berlari.


──Berlari dengan segenap kekuatan.


Haru merasakan suhu hujan yang menghantam tubuhnya, rasa sakitnya, semua itu, saat ini, ia rasakan dengan segenap tubuhnya.


Di sampingnya, seorang gadis bermata merah dengan rambut putih melayang lembut.


Dia adalah gadis yang cantik, mengingatkan pada bunga mawar putih.


Namun, di punggungnya, sayap yang merupakan tanda malaikat tidak ada.


Ada orang yang memandang heran gadis berambut hitam yang berlari sekuat tenaga di tengah hujan, tetapi tidak ada yang memperhatikan gadis berambut putih yang memiliki wujud persis sama seperti di cermin.


"Apakah itu benar-benar baik saja?"


Sambil melihat wajahnya yang terdistorsi seakan ingin menangis, Ai bertanya.


"Ya. Itu sudah baik."


"Tapi, itu tidak terlihat seperti itu."


"...Tidak seperti itu apanya?."


Sebenarnya, Haru berpikir dia bisa melakukannya dengan lebih cerdas.


Namun, saat melihat wajah Nijika, emosinya langsung tidak bisa tenang.


Jantung yang entah kenapa terasa sangat akrab padahal bukan miliknya itu terus berdebar kuat di dalam dadanya.


Tubuh ini, jantung ini, sebenarnya bukan milik Haru, melainkan milik Ai, tapi saat ini, semua itu hanya bereaksi terhadap perasaan Haru.


Tanda kehidupan hadir bersama dengan penderitaan yang hebat.


Hidup mungkin saja berarti terus bertahan meskipun harus menahan rasa sakit.




Meskipun begitu, Nijika percaya bahwa Haru akan datang. Dia percaya, tetapi kenyataan bahwa waktu janji telah berlalu dan sosoknya tidak ada di sampingnya, terus terbentang di hadapannya tanpa bisa dihindari.


"...Hanya terlambat sedikit seperti dulu. Dia pasti akan datang. Pasti."


Ketika waktu yang telah dijanjikan semakin dekat, meskipun hujan, banyak orang mulai berkumpul di sekelilingnya.


Awalnya, pertunjukan live di jalanan itu tidak menarik perhatian sama sekali, tetapi seiring waktu, mereka mulai mengenali wajahnya. Sekarang, bahkan ada kelompok pendukung tidak resminya.


Mungkin mereka tahu itu hari ulang tahunnya, ada beberapa orang yang menyiapkan hadiah.


Hari ini, puluhan orang yang berkumpul di sana menunggu-nunggu lagu yang akan dinyanyikannya.


Namun, Nijika merasa kesepian.


Meskipun dikelilingi banyak orang, dipuji-puji, dia tetap merasa kesepian.


"Nijika-chan!"


Namanya dipanggil.


Tapi, itu bukan suaranya.


Dengan sorakan yang tidak kalah dari hujan, Nijika harus tersenyum dan menjawab.


Dengan pikiran yang masih bingung, dia menggenggam mikrofon dengan erat.


Dia pun mempersiapkan gitar.


"Terima kasih sudah datang!"


"Hari ini, aku minta lagu terbaikmu!"


"Serahkan padaku. Baiklah, mari kita mulai."


Nijika berpura-pura kuat. Itu semua karena ego. Dengan perasaan yang hancur dan pikiran yang bingung, Nijika tetap menggitar dengan keras untuk orang-orang yang menunggu. Sebuah rasa sakit menjalar di ujung jarinya.


Baiklah, aku akan bernyanyi. Dengarkan baik-baik.


"──A, a, a. Kuuh."


Tetapi, itu tidak mungkin.


Eh? Aneh. Kenapa? Kenapa suaraku tidak keluar?


Dengan hanya keberanian, dia melanjutkan satu lagu, dua lagu.


Dia memainkan musik seperti menggaruk jantungnya, seperti tangisan, seperti melampiaskan emosi.


"Nijika-chan, apakah ada yang tidak beres?"


"Kenapa kamu tidak bernyanyi?"


Kebingungan mulai menular ke orang-orang yang menyaksikan.


Banyak tatapan, bersamaan dengan hujan, menghantam pipi Nijika dengan rasa sakit dan dingin.


Aku adalah wanita hujan.


Ketika sendirian, langit, bahkan wajah seseorang pun tidak bisa menjadi cerah. Aku tidak sekuat itu. Aku bisa bernyanyi karena langit cerah, bukan karena Haru berada di sampingku. Karena ada dirimu, aku yang sekarang ada. Kamu tahu itu, kan? Ayo, jangan biarkan aku sendirian. Tetaplah di sampingku.


...Haru pembohong.


Aku sudah minta kamu untuk membuatnya cerah, tapi kamu bilang, "Serahkan padaku," dan sekarang hujan turun.


Ini begitu menyakitkan, sedih, dan dingin. Aku takut.


Seperti biasa, lindungi aku dari hujan. Lindungi. Tolong, ya.


"──Haru bodoh, bodoh sekali, bajingan besar!"


Jeritan kecil yang seperti erangan itu hilang tertelan oleh permainan gitar dan suara hujan.


Di planet ini ada miliaran manusia, tetapi tidak ada yang bisa menghapus kecemasan dan kesedihan Nijika.


Karena di mana pun aku, aku benar-benar tidak bisa bernyanyi.



Suara hujan menyelimuti seluruh dunia, namun di telinga Haru, pertunjukan solo Nijika terdengar dengan jelas. 


Meskipun dia berada sedikit jauh, sosoknya tidak terlihat dengan baik, tetapi hal itu bisa dia bayangkan hanya dengan melihatnya.


Waktu yang dihabiskan bersama sudah pasti.


Hari ini, musik yang dimainkan Nijika adalah semua yang Haru ketahui.


Lebih tepatnya, lagu-lagu yang diajarkan Haru dan disukai oleh Haru. Meskipun dikelilingi oleh begitu banyak orang, sangat jelas untuk siapa Nijika memainkan musiknya.


Karena dia tahu, rasa sakit itu semakin dalam.


Meskipun tubuhnya dipinjam, untuk menahan rasa sakit di hati, Haru mencengkeram lengan dengan kuku yang menancap dan menggigit bibirnya dengan kuat.


"Ah. Lagu ini, bagus ya. Aku mungkin menyukainya."


Dengan perubahan melodi yang tiba-tiba, tubuh putih berambut putih, Ai, tersenyum.


Melodi yang berbeda dari musik yang selama ini sempurna, seperti pertunjukan anak-anak yang canggung. Namun, seperti hujan yang meresap ke tanah dan kembali, melodi itu perlahan-lahan menyusup ke dalam hati pendengar satu per satu.


Namun, mungkin ini memang wajar.


Karena ini adalah──.


"Dia, lagu apa itu?"


"Aku tidak tahu. Aku belum pernah mendengarnya."


Haru tidak bermaksud menjawab percakapan Ai, melainkan seperti menggumamkan sendiri.


"Ini ‘Lagu Cinta.’"


"Oh, itu judulnya."


"Tidak, itu bukan judulnya. Ini adalah lagu pertama yang dibuat Nijika. Ketika aku mengajarinya, judulnya belum ditentukan. Tapi lagu ini adalah lagu cinta yang tak terbantahkan."


Setelah mengatakannya, Haru mengeluarkan selembar kertas yang sudah sangat kusut dari saku. Dia menatap lirik yang tertulis di sana. Meskipun beberapa huruf sudah mulai pudar karena hujan, dia telah membacanya ratusan kali hingga hari ini, jadi dia mengingat semuanya dan tidak ada masalah.


Ini adalah pesan pengakuan yang ditulis Nijika khusus untuk Haru.


Namun, anehnya, di sampingnya, Dia menggelengkan kepalanya.


"Tentu saja tidak ada yang aneh."


"Ini aneh. Meskipun ini lagu cinta, perasaan yang seharusnya disampaikan tidak dinyanyikan."


Meskipun Ai menatap Haru dengan tajam melalui matanya yang biru, Dia tidak mundur satu langkah pun.


Meskipun ini adalah lagu cinta yang seharusnya diciptakan dengan perasaan kepada seseorang, lagu yang dinyanyikan Nijika kosong, hanya melodi tanpa isi.


"Cinta baru ada jika ada dua orang. Tidak bisa sendirian. Lagu cinta tanpa orang yang dituju, pada dasarnya, itu sudah gagal. Jadi, ini adalah lagu cinta yang belum selesai."


"Makabe-san. Anak itu, apakah dia tidak sedang menunggumu sekarang?"


Dengan wajah yang penuh kesedihan dan kesakitan, tetapi tetap berjuang dengan keras melawan kenyataan, Ai berbicara.


Haru menggigit bibirnya dengan lebih kuat dari sebelumnya.


Kekuatan yang lebih kuat menyelimuti tangan yang memegang harta berisi perasaan Nijika.


"Aku sudah tahu tanpa perlu dikatakan."


"Jadi, kamu tidak mau pergi menemuinya?"


"Apa yang akan terjadi jika aku melakukannya? Itu hanya akan menyakiti hati Nijika. Sekarang, aku tidak bisa melindunginya dari hujan. Tidak bisa membuatnya cerah. Meskipun sudah berjanji, aku tidak bisa bernyanyi bersamanya. Jadi…"


"Jadi kamu akan melarikan diri? Itu sangat tidak keren."


"Tidak. Aku tidak berniat melarikan diri."


Dia tidak bisa menahan diri untuk tidak melawan karena itu adalah kenyataan yang menyakitkan.


Meskipun itu kenyataan, dia tidak bisa mengakuinya.


"...Kamu tahu, aku sudah menyaksikan banyak perpisahan sejauh ini. Memang perpisahan membawa rasa sakit. Semakin berat perasaannya, semakin dalam lukanya. Air mata pun mengalir banyak. Tapi kamu tahu? Jika hujan tidak turun, awan tidak akan menghilang, tidak peduli berapa lama itu."


"Oleh karena itu," Ai tersenyum nakal.


Karena sudah lama bergaul, sepertinya Dia segera menyadari niatnya dan juga tersenyum.


"Bicara tentang hal-hal indah, memang seperti malaikat. Namun niatmu ada di tempat yang berbeda, bukan?"


"Ah, ketahuan. Karena aku ingin mendengar versi lengkap dari lagu itu."


Oleh karena itu, dengan penuh keberanian, Ai mengatakan dengan ceria, bersamaan dengan gerakan tubuh Haru yang seharusnya, yang secara otomatis bergerak. Dia terkejut. Eh? Apa ini? Ini menakutkan.


Meskipun tidak bermaksud demikian, dia berdiri dan kakinya melangkah maju.


Seolah-olah ditiup angin belakang.


Perasaan tidak bisa mengendalikan tubuhnya yang membuatnya merasa tidak nyaman dan ketakutan datang secara bersamaan.


"Tubuh itu pada dasarnya milikku. Jika aku berusaha, bahkan aku bisa menggerakkan sedikit tubuhku yang sekarang."


Dalam kebingungan, Haru berteriak.


"Hey, jangan bercanda. Berhentilah. Aku sudah tidak bisa…"


"Tidak boleh. Tidak boleh sama sekali. Ini adalah kesempatan terakhir untuk Makabe-san. Dan, jika Makabe-san tidak pergi, dia akan terus memiliki wajah itu selamanya. Apakah itu benar-benar baik-baik saja?"


Awalnya Haru menolak, tetapi semakin mendekat kepada Nijika yang wajahnya tampak ingin menangis, dia semakin tidak berdaya. Semua perhitungan, ketakutan, dan rasa sakit lenyap, dan satu-satunya perasaan yang menguasainya.


Dia sangat ingin membuat Nijika cerah.


"Tidak mungkin. Ah, tidak mungkin. Aku mencintai senyuman Nijika."


"Bagus. Jadi, semuanya baik-baik saja sekarang. Pergilah. Menuju orang yang kamu cintai."


Tanpa menyadari bahwa dia tidak dipaksa oleh siapa pun, Haru melangkah maju dengan kehendaknya sendiri.


Setiap langkah yang diambil, di depannya menunggu gadis yang paling dia cintai di dunia.


Tidak ada yang perlu ditakutkan lagi.



Sepertinya intensitas hujan semakin meningkat, dan Nijika terlihat sedih sekali.


Kemeja yang basah terasa berat, dan setiap detik tenaga semakin terkuras. Dingin sekali. Sudah berulang kali berpikir untuk berhenti. Namun, hanya berpikir saja.


Walau jari-jarinya yang memaksa memainkan senar semakin terasa sakit, dia terus menerus melanjutkan permainan.


Melihat kekosongan di depan mikrofon kedua yang disiapkan khusus untuk hari ini. Tidak. Dia menatap tajam.


Karena dia berpikir jika dia sedang dalam kesulitan seperti ini, mungkin dia akan datang berlari. Dia percaya akan datang menolongnya.


Karena, Haru Makabe adalah anak laki-laki yang seperti pahlawan bagi Nijika.


Nijika yang pendiam dan tidak jujur tidak pernah bisa mengatakan "senang" ketika dia mendekat dari stasiun, tetapi dia tetap menggambar busur kecil dengan bibirnya agar tidak terlihat oleh Haru.


"Hei, Nijika."


"Kau datang lagi? Haru juga sepertinya orang yang cukup punya waktu luang, ya."


"Meskipun begitu, aku cukup sibuk dengan kuliah dan pekerjaan paruh waktu."


"Hm. Apakah kau benar-benar ingin bertemu denganku?"


Memikirkan masa-masa bahagia itu, hatinya sakit dan air mata menggenang di matanya.


Tiba-tiba, ada seseorang yang memanggilnya.


"──Nijika!!"


Suara yang dia bayangkan berbeda, itu adalah suara seorang gadis.


Seorang gadis berambut hitam dengan mata biru meletakkan tangan basahnya di atas tangan Nijika.


Permainan yang sudah tidak bisa dia hentikan dengan kehendaknya, tiba-tiba terhenti secara paksa.


"Sebelumnya... Apakah masih ada urusan lain? Cukup mengganggu, sih."


"Ayo kita mulai lagi. Mari kita nyanyikan dari awal. Kali ini, kita akan membuat kenangan bersama. Itu sudah kita janjikan, kan? Maaf, aku tidak punya keberanian untuk mengucapkan selamat tinggal langsung padamu. Itu adalah yang terakhir, dan aku hampir menyesal."


"…Apa maksudmu?"


"Seperti yang dijanjikan, aku akan melindungimu dari hujan."


Tanpa peduli, gadis itu melanjutkan.


"Aku akan membuat duniamu cerah."


Dia tampak sangat serius.


"Itu adalah sesuatu yang hanya bisa aku lakukan di seluruh dunia. Ini adalah sesuatu yang tidak ingin aku serahkan kepada siapa pun."


Entah karena hujan atau air mata.


"Walaupun aku tidak bisa berada di sampingmu, tolong biarkan aku menjaga senyummu. Aku akan melindungimu dengan segenap diriku."


Dalam pandangannya yang semakin kabur, wajah gadis itu, suaranya, semakin menyatu dengan orang yang sangat dia cintai.


Gadis itu meletakkan sarung gitar yang dia bawa dan menggenggam mikrofon yang telah disiapkan Nijika khusus untuknya.


"Aku juga sudah membeli gitar. Aku berpikir untuk belajar darimu, Nijika. Suatu saat, mungkin kita bisa bermain bersama."


Itu tidak mungkin.


Itu tidak seharusnya terjadi.


"Tapi, aku sudah tidak punya waktu lagi, jadi jika boleh, gunakan saja Nijika. Itu cukup mahal, loh?"


Tapi, ah. Kenapa.


"Dan satu lagi. Hadiah yang tadi kuberikan, ada kue di dalamnya. Tahun ini adalah short cake stroberi. Kali ini aku sudah membeli dua, tetapi sayangnya aku harus memakannya sendirian lagi. Di dalam kantong kertas yang satu lagi, ada pick yang cocok. Meskipun murah, aku akan sangat senang jika kau bisa menjaganya."


Kenapa, begitu kau datang, hujan berhenti dan cahaya muncul?


Aku hanya tahu satu orang yang bisa mengubah takdir hujan yang sangat buruk ini.


Orang yang ajaib seperti itu, tidak ada yang lain.


"Huuh. Mungkin itu saja yang ingin kukatakan. Sekarang, ini adalah bagian utamanya."


Hanya di telinga Nijika, suara itu menyampaikan frekuensi orang yang sangat dia cintai.


Suara orang yang dia cintai, suaranya yang dia cintai.


"Ayo kita bernyanyi. Kita akan membuat semua orang di dunia mendengarnya."


Awan terbelah, dan cahaya menyebar.


Sama seperti sore hari yang lalu, pahlawan Nijika yang berdiri di sampingnya.


Tangga surga menghubungkan keduanya.


"Lagu cinta yang Nijika buat untukku."


"Ya. Aku akan menyanyikannya. Apakah Haru bisa menyanyikannya dengan baik? Jika ada kesalahan, aku akan menendangmu, ya?"


"Pastinya. Jika aku lupa, di sini ada surat cinta yang kau berikan."


Mengusap air mata, memanggil nama yang sangat dicintai.


Keduanya mulai menyanyikan cinta yang tumbuh menjadi sama besarnya.



Saat itu, di momen itu.


Haru Makabe dan Nijika Toumi sedang menyanyikan satu lagu sambil mengenang hari-hari yang telah berlalu.


Sejarah itu, mungkin orang akan dengan malu-malu menyebutnya "cinta."


'Hari pertama, di tengah hujan, aku masih sering memimpikan sosokmu yang memanggilku.'


Sosok Nijika yang basah oleh hujan tidak bisa keluar dari ingatanku. Mungkin, itu adalah cinta pada pandangan pertama.


Terima kasih telah menemukan aku di antara bintang-bintang yang tak terhitung jumlahnya.


'Hari-hari yang tidak biasa itu, kita berdua mengubahnya satu per satu menjadi hal yang biasa.'


Meski hal-hal sepele, aku bisa mengingat semua waktu yang dihabiskan bersama Nijika.


Bersama-sama itu menyenangkan dan hangat. Namun, ketika sendiri, tiba-tiba aku merasa tidak berdaya. Banyak hal yang Haru ajarkan padaku. Kegembiraan saat bersama seseorang. Rasa sakit saat sendiri.


'Es krim yang kita makan di sampingmu, jika aku menciummu sekarang, pasti...'


Di satu musim, kami berhasil mencicipi semua jenis es krim dari minimarket.


Haru suka rasa vanila, kan? Setiap kali aku makan es krim vanila mulai sekarang, pasti aku akan mengingat saat-saat manis bersama Haru. Cinta pertamaku adalah rasa vanila, gitu. …Ah, tidak cocok. Bukan karakterku.


'Hari-hari panas dan dingin, pagi saat bunga sakura mekar, malam saat dedaunan berguguran, kita berdua selalu bersama.'


Ngomong-ngomong, jika seorang gadis bilang "tanganku dingin," tunjukkanlah keberanianmu untuk menggenggam tangannya. Si anak yang tidak peka. Sudah terpaksa aku yang harus berani.


Maafkan aku.


'Ketika hujan turun, kau datang menjemput dengan payung. Hal-hal kecil seperti itu sangat menyenangkan.'


Suara Nijika yang kudengar di bawah payung adalah yang terindah di dunia.


Karena itu adalah panggung dengan tempat duduk istimewa yang dibuka hanya untuk Haru. Rahasiakan ya?


'Bersama-sama menjadi harta yang paling berharga. Mungkin, kebahagiaan itu seperti ini.'


Selamat ulang tahun.


Karena seseorang, ulang tahun ini menjadi yang terburuk sekaligus terbaik. Sepertinya hari seperti ini tidak akan pernah datang lagi. Tapi, terima kasih. Aku tidak akan melupakan ini. Aku pasti tidak akan melupakan apa yang terjadi hari ini. Semua hari-hari bersamamu, Haru.


'Seperti bintang, saling menarik. Apa pun harinya, selama kau ada, itu sudah cukup.'


Maaf, aku tidak bisa menepati janji. Maaf aku tidak bisa selalu bersamamu.


Tidak. Haru sudah memenuhi janjinya. Dia melindungiku dari hujan. Ketika aku menangis, dia berlari menghampiriku. Selalu dan setiap saat, kau, kau lah yang membuat hatiku cerah.


Begitu ya. Aku juga telah banyak membuat Nijika tersenyum.


Aku ini, seorang gadis hujan?


Sepertinya aku harus mengembalikan gelar itu. Mulai hari ini, Nijika adalah gadis cerah.


'Meski hari-hari penuh hujan, entah sejak kapan, aku bisa percaya bahwa besok akan cerah. Keajaiban itu diberikan oleh orang ajaib, orang yang paling istimewa di dunia, pahlawanku sendiri.'


Hei, Haru. Besok, apakah akan cerah?


Pasti, tidak masalah. Sekarang, Nijika sudah baik-baik saja. Kita mungkin tidak bisa bersama lagi, tetapi aku rasa kita akan selalu bersama. Kau mengerti maksudnya, kan?


Semua kenangan bersamamu ada di sini. Selamanya, cintamu akan melindungiku. Begitu bukan?


Iya. Meskipun tubuh ini akan membusuk dan jiwa ini hancur, perasaan ini akan selamanya tidak berubah.


'Contohnya, jika dunia berakhir hari ini...'


Haru. Terakhir, bolehkah aku meminta satu hal lagi?


Tentu saja.


'Aku akan menginginkan ini untukmu.'


Aku sangat mencintaimu. Sangat mencintaimu. Di dunia ini, aku yang paling mencintaimu.


Aku juga, Nijika mencintaimu.


'Semoga kau bisa tersenyum lebih dari siapa pun.'


Dengan ini, kita pasti saling mencintai.


Ah, kita saling mencintai. Aku mencintaimu, mencintaimu, mencintaimu.


'──Aku akan selalu mencintaimu.'


Akhirnya, lagu itu pun selesai.


Waktu mereka yang terasa panjang namun singkat, juga mengumumkan akhir.



Saat itu, di tempat yang tidak terlihat oleh siapa pun, Ai diam-diam memetik harga dari keajaiban. Dia memberikan ciuman lembut ke dada Haru yang cerah tanpa awan, yang terbentang luas.


Kreek.


Kemudian, kelopak yang mekar di dada Haru mengkristal dan jatuh ke tangan Ai, sementara jiwa orang yang telah meninggal itu menjauh dari dunia ini.


"Hei, Ai. Bagaimana dengan lagu antara aku dan Nijika?"


"Sangat-sangat membuat hatiku hangat."


"Begitu ya. Kalau begitu, semua usaha ini tidak sia-sia. Berkat kalian, aku bisa menyampaikan perasaanku kepada Nijika. Aku bisa berpisah dengan baik. Aku bersyukur atas keajaiban ini. Terima kasih. Dan, selamat tinggal."


Suara lembut yang menggema di dunia ini, sayangnya hanya bisa didengar oleh Ai dan Dia.


"Selamat tinggal," jawab Ai dengan pelan.


Suara itu juga, tetap tidak bisa didengar oleh siapa pun.



Dengan tepuk tangan yang mengguyurnya, dunia kembali berada di tangan Nijika.


Mungkin karena telah menyanyikan dengan segenap tenaga, napasnya terengah-engah dan tenggorokannya sangat sakit, tetapi hanya perasaan puas setelah mengeluarkan semuanya yang kini memenuhi seluruh tubuhnya. Setelah melihat sisi wajah Nijika, gadis yang berdiri di panggung yang sama menghilang di tengah kerumunan.


"Haru. Tunggu. Tolong, tunggu. Jangan pergi. Masih ada yang ingin kukatakan—"


Tidak ada jawaban untuk suara Nijika.


Namun, hanya dari mata gadis yang terakhir dilihatnya, terdapat air mata, dan itu saja sudah cukup untuk menyadari bahwa gadis itu bukan "dia." Ah, jadi begitu. Iya, benar.


Haru telah pergi meninggalkanku.


"A, ahhhh. Auu, ahhhhhh—. Haru, Haru, Haruuuu. Hei, aku benar-benar tidak mau. Aku ingin bersamamu lebih lama. Bersama denganmu selamanya. Uwaaaahhhhhh!"


Dari mata Nijika, semua yang ditahannya mulai meluap.


Nijika, yang merupakan hujan wanita yang luar biasa, kembali basah oleh hujan dingin yang menyakitkan hari ini.


Orang tercintanya yang akan melindungi Nijika dari hujan itu, kini sudah tidak ada lagi di dunia ini. Seberapa kuat dia berpura-pura, mustahil untuk segera mengucapkan selamat tinggal pada dunia yang seharusnya ada Haru di sampingnya.


Namun, pasti ada sesuatu yang dia tinggalkan yang ada di dalam diri Nijika.


Saat ini, dia tidak dapat melihatnya karena rasa sakit, tetapi suatu saat nanti, akan ada waktu ketika dia bisa menemukan itu dengan benar.


Ini adalah kisah cinta semacam itu.


Jadi, itu adalah sebuah selamat tinggal semacam itu.


Orang yang dicintai Toumi Nijika, terpesona oleh kekuatannya yang seperti itu.



"Hikss, hikkks!"


Pada saat yang sama, seorang gadis juga berusaha keras menghapus air mata yang mengalir dari matanya yang berwarna biru.


Ai, yang selalu menangis setiap kali berpisah dengan orang yang sudah meninggal.


Ketika sudah begini, si malaikat ini menjadi jauh lebih kekanak-kanakan daripada biasanya, sekitar lima puluh persen lebih.


"Benar-benar, kau bisa terus-menerus menangis tanpa merasa bosan, ya?"


"Karena, karena tidak bisa membantu. Dadaku sakit. Jadi, perlakukanlah aku dengan lembut."


"Aku selalu lembut kok."


"Bohong!"


Rasa sakit di dadanya terus berdenyut, mirip dengan detak jantung.


Pahit, menyakitkan, dan tidak ada cara untuk menghindarinya.


Tetapi, tetap saja, dia tidak bisa terus-menerus menangis.


Setelah menangis, menangis, dan menangis, ketika rasa sakitnya sedikit reda, Ai mengangkat kristal berbentuk bunga yang tersisa di tangannya ke langit. Kristal itu memiliki warna biru yang sama dengan langit yang cerah.


"Bunga Haru mirip dengan ‘Okisupetarumu,’ ya."


Dengan suara yang lembut seolah menghibur anak kecil, kata Dia.


"Bunga apa itu, Dia?"


"Itu adalah bunga cantik yang juga dikenal sebagai Blue Star. Makna bunga itu adalah ‘cinta yang bahagia’ dan ‘hati yang saling percaya.’ Tapi, yah, tidak mungkin kita bisa dengan mudah mempercayai sesuatu yang tidak berbentuk seperti hati, kan?"


"Lagi-lagi kamu dingin. Perlakukanlah aku sedikit lebih lembut, dong!"


"Aah, berisik, berisik. Ayo, cepat kita lanjut ke yang berikutnya."


Boneka kelinci yang dipeluk Ai menunjuk jalan berikutnya dengan sikap yang seolah-olah tahu segalanya.


"Hah. Semoga besok cerah ya."


"Hmph. Kalau untuk itu, mungkin aku bisa menjamin. Tidak apa-apa. Karena, lihatlah."


Di tempat yang ditunjukkan Dia, terlihat pelangi.


Tidak ada hujan yang abadi.


Setelah hujan deras, masa depan yang indah menanti, dan semua orang tahu hal itu dengan baik.


Love song ‐ fin.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

Post a Comment

Post a Comment

close