NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Wakiyaku ni Tensei Shita Ore Demo, Gimai o “Kouryaku” Shite Iidesu ka? V1 Chapter 3

 Penerjemah: Rion

Proffreader: Rion


Chapter 3

"Tekad di Acara Memasak!"

Hari memasak pun tiba. 

“Pagi, Eiji-chan,” sapa Kazuna. 

“Pagi. Ngomong-ngomong, kenapa tidak pakai interkom aja? Telepon segala,” kataku. 

“Takut kagetin Suzuna-chan,” jawabnya. 

“Apa Suzuna hewan kecil… Tapi iya, mungkin bikin dia tegang. Nice thinking,” pujiku. 

Aku menyambut Kazuna, yang bahkan membawa bahan-bahan sendiri. Orang tua sedang keluar, katanya ada urusan, tapi pasti sengaja memberi kami ruang. “Kalau ada Kazuna, kami tenang,” kata mereka. Kepercayaan yang luar biasa, tapi aku setuju. 

“Suzuna mana?” tanya Kazuna. 

“Di ruang tamu,” jawabku. 

Tadi dia sengaja ganti baju rapi, duduk di meja tanpa main ponsel, cuma diam. Mungkin itu caranya bersiap. 

“Bahan-bahannya aku bawa. Maaf ya, merepotkan,” kataku. 

“Terima kasih,” jawab Kazuna. 

“Oh iya, aku bayar. Berapa biayanya?” tanyaku. 

“Eh, urusan itu nanti aja, ya?” katanya. 

“Ugh… iya, benar,” aku mengalah. 

Aku juga deg-degan, sama seperti Suzuna. Pakai pengetahuan game untuk masuk ke event utama Suzuna—memasak. Aku tidak tahu seberapa besar artinya buat Suzuna sekarang, tapi menyentuh area itu bikin aku tegang. 

“Tenang, ada aku,” kata Kazuna. 

Dia mungkin tidak tahu persis apa yang kurasakan, tapi dia bisa lihat aku tegang. Dia mengelus punggungku, benar-benar perhatian. Aku mengangguk dan memimpin ke ruang tamu. 

“Suzuna, temenku datang. Aku kenalin,” kataku. 

Suzuna bangkit kaget, menoleh ke arah kami. Lalu… 

“Eh, Amamiya-senpai!?” serunya, matanya membulat melihat Kazuna di belakangku. 

“…Hah?” Aku bingung, menoleh ke belakang. 

Kazuna, yang namanya disebut, cuma tersenyum kecil. 

“Halo, Kanzaki-san. Jadi, kamu benar-benar adiknya Eiji-chan, ya,” katanya santai. 

“Eh, eh!?” Suzuna tambah bingung. 

Kazuna menjawab dengan natural, tapi… mereka sudah kenal tanpa sepengetahuanku!? 

Seingatku, Suzuna dan Kazuna tidak punya hubungan. Aku cuma ketemu Suzuna di acara keluarga atau saat paman dan bibi main ke rumah, dan Kazuna tidak pernah ada di situ. Apa orang tuaku yang kenalin? Tapi tidak masuk akal. Kazuna bicara seolah baru tahu Suzuna adikku. 

Kazuna temenku, Suzuna adikku. Ini pertama kalinya mereka ketemu dalam kapasitas ini. Pasti. 

(Kalau gitu… ah!) Tiba-tiba aku teringat. 

“Dia kayaknya tidak nyatu sama kelas. Tidak pernah lihat dia ngobrol sama orang, tugas bersih-bersih juga sendirian,” kata Kazuna saat menamparku hari itu. 

Sekarang kupikir, dia tahu terlalu detail. “Tidak pernah lihat dia ngobrol” bukan pengamatan sekilas, melainkan hasil perhatian berulang. 

(Jadi gitu…) Kazuna bukan cuma perhatian, dia kayak peri dengan kekuatan empati. Dia udah peduli sama Suzuna bahkan sebelum menamparku, dan mungkin udah kenal sedikit. Teman dekat mungkin sulit karena beda kelas tiga dan satu SMP, tapi sebagai senior yang suka ngurusin junior, jarak mereka pas. 

“Haha,” Kazuna tertawa canggung saat aku menatapnya. 

Mungkin dia merasa ketahuan. Aku tidak marah, tapi dia mungkin malu karena aku tahu, atau merasa bersalah karena mendekati Suzuna tanpa bilang apa-apa setelah mendorongku. 

“Suzuna, kamu kenal Kazuna, ya?” tanyaku. 

“I-iya… Tapi, Eiji-chan, panggilan ‘Kazuna’ itu…” katanya, bingung. 

“Kami temen masa kecil. Rumah kami juga sebelahan,” jelasku. 

“Eh!?” Suzuna tambah kaget. 

Wajar. Senior yang dia kenal ternyata temen masa kecil kakaknya dan tetangga—terlalu banyak kebetulan. 

“Aku denger dari Eiji-chan soal adik barunya. Dia juga minta saran biar bisa akrab,” kata Kazuna. 

“Oi, oi!” protesku. 

“Tapi aku tidak nyangka itu kamu, Suzuna-chan. Nama belakangnya sama, Kanzaki, tapi aku tidak pernah lihat kamu di sekitar sini, jadi kukira cuma kebetulan,” tambahnya. 

Tentu saja, dia pasti sengaja menghindari Suzuna di lingkungan biar tidak ketahuan. Licik banget. Dia bilang tidak tahu Suzuna adikku dengan muka polos, senyumnya mulus banget—liciknya naik level! 

“B-begitu, ya,” kata Suzuna, masih kaget. 

“Lagipula, kamu imut banget. Wajar Eiji-chan pengen pamer. Aku juga pengen akrab sama kamu,” kata Kazuna, lalu memeluk Suzuna erat! 

“!?” Suzuna memerah. Aku, meski tidak dipeluk, ikut kaku! 

Cewek cantik peluk cewek cantik. Pemandangan ini kayak lukisan event di game, begitu memukau sampai aku tidak bisa mengalihkan mata, tapi juga tidak tahu harus ngapain. Apa yang harus kulakukan!? 

“Oh iya, panggil aku Kazuna-nee juga boleh, lho?” kata Kazuna, makin agresif. 

Dia tahu Suzuna tapi pura-pura tidak kenal, dan sekarang kayak nekat maju sejauh mungkin biar tidak ketahuan bohongnya!? Biasanya Kazuna perhatian tapi kalem, tidak suka mendominasi, pasti begitu juga di depan Suzuna. Tapi serangan mendadak ini bikin Suzuna kewalahan. 

“N-tidak usah! Senpai tetap senpai, panggil ‘Onee’ kayak… kurang sopan!” tolak Suzuna dengan muka merah, mendorong tubuh Kazuna. 

“Yah, sayang banget,” kata Kazuna, tetap tersenyum lebar seolah tidak peduli. 

Tapi dalam hati, dia pasti panik, “Kelebihan ngegas!?” atau semacamnya. 

“Ehem,” aku berdehem. 

Aku tadi cuma jadi penutup, tapi sekarang saatnya masuk. “Oke, obrolan selesai, waktunya masak!” kataku. 

“Iya, bener. Hehe, aku excited banget masak bareng Suzuna-chan,” kata Kazuna. 

“Mo-mohon bimbingannya, Kak Amamiya,” kata Suzuna. 

Aku berhasil ambil alih, tapi mata mereka berdua tidak ke arahku sama sekali… (Aku beneran cuma udara, ya?) pikirku, menangis dalam hati. 

***

“Jadi, hari ini kita bikin hamburger!” kata Kazuna. 

Dia memilih hamburger, masakan yang sama seperti yang pertama kali dia buatkan buatku. Katanya, ini seru dibuat, sederhana, tidak gampang gagal, dan hasilnya bikin bangga—cocok buat pemula. Mungkin dia pilih ini karena pengalamannya sendiri. 

“Hamburger…” gumam Suzuna, menelan ludah sambil memakai celemek dari ibu. 

Bukan karena ngiler, jelas. Pasti karena tegang. Aku ngerti. Buat orang yang tidak biasa masak, hamburger terasa kayak makanan restoran, susah dibuat. Kazuna bilang gampang, tapi buat pemula, rasanya menakutkan. 

Di restoran cepat saji, hamburger menu andalan. Di kehidupan sebelumnya dan sekarang, itu makanan favoritku, setidaknya terasa spesial. Bisa bikin itu? Beneran gampang? Meski Kazuna udah jelasin lewat telepon, aku masih ragu.

Kami semua mencuci tangan, lalu aku dan Suzuna memperhatikan Kazuna menata bahan-bahan di dapur. Daging giling campur sapi dan babi, bawang bombay, bawang putih, telur, tepung roti, susu, dan pala. Bahan-bahan awal masih masuk akal, tapi yang terakhir? Pala? Apa hubungannya dengan hamburger? 

“Baik, aku kasih instruksi, kalian berdua kerjasama buat masak, ya!” kata Kazuna. 

“I-iya. Jangan bikin kacau, ya, Eiji-san,” kata Suzuna. 

“Sa-saya akan berusaha!” jawabku. 

Mungkin karena tegang, Suzuna menunjukkan sedikit sifat cerewet khas anak seusianya. Aku sendiri juga cukup tegang, jadi tidak sempat membalas candaannya. 

“Pertama, rendam tepung roti dalam susu,” kata Kazuna. 

Kami memasukkan tepung roti dan susu ke mangkuk. Gampang. Tapi ini ngapain buat hamburger? 

“Nanti tepung roti ini dicampur sama daging giling. Kalau direndam susu dulu, hamburger bakal lebih empuk pas matang,” jelas Kazuna. 

“Oh, begitu…” kata Suzuna, mengintip mangkuk dengan penasaran. 

Pasti dia juga punya pertanyaan sama sepertiku. 

“Selanjutnya, cincang bawang bombay dan bawang putih sampai halus,” lanjut Kazuna. 

““Cincang halus!?”” seru kami bersamaan. 

Tidak bisa dihindari. Zona menakutkan buat pemula—bagian pisau—datang juga! 

“Kalau aku biasanya pakai food processor, sih,” kata Kazuna santai. 

“Profesor!?” tanyaku kaget. 

“Itu processor. Eiji-chan, tidak lucu, jangan bercanda,” katanya ketus. 

“Bukan maksudku bercanda!” protesku. 

Sekadar info, food processor adalah alat dapur yang bisa mencincang bahan dengan cepat. Kata “processor” berarti alat pengolah, kurang lebih. “Kalau ada alat secanggih itu, kenapa tidak dipakai, Kak?” tanya Suzuna. 

“Tidak boleh. Kalau dari awal pakai cara gampang, tidak bakal jago,” jawab Kazuna. 

“Ugh…” Suzuna mengeluh. 

Dalam game, Suzuna berusaha keras ningkatin kemampuan masak, tapi sekarang, ketakutan sama pisau sepertinya lebih dominan. 

“Jadi, kalian mau bagi tugas apa? Siapa yang mana?” tanya Kazuna. 

“Ada rekomendasi?” tanyaku. 

“Hmm… bawang bombay lebih besar, jadi lebih gampang dipotong, tapi bikin nangis. Bawang putih kecil, jadi lebih susah,” jelasnya. 

“Kalau gitu, aku bawang bombay…” kata Suzuna. 

“Oke, berarti aku bawang putih,” kataku. 

Kami bagi tugas, dan Suzuna mulai duluan. “Pegang pisau kayak gini, tangan kiri yang nahan jangan lurus, bikin kayak cakar kucing,” ajar Kazuna. 

“I-iya,” jawab Suzuna, memegang pisau dengan hati-hati. 

Melihat ini, aku teringat pelajaran tata boga di SD. Pisau dianggap berbahaya, jadi kami diberi banyak peringatan. Akibatnya, meski tahu itu penting, aku malah takut dan merasa tidak jago. Suzuna mungkin sama. 

“Ugh…!” Suzuna berkeringat, matanya mulai berair karena bawang, tapi dia terus memotong. 

Bukan cuma karena bawang, tapi mungkin juga ketegangan. Tapi anehnya, dia tidak kelihatan kesakitan. Malah ekspresinya… agak cerah? 

“Kayaknya seru,” katanya pelan. 

“Hehe, lumayan buat lepas stres, kan?” kata Kazuna. 

Memang, ada orang yang merasa puas saat menghancurkan atau menciptakan sesuatu. Masak punya keduanya. Di kehidupan sebelumnya, ada rekan kerja yang melampiaskan stres kerja dengan masak rumit. Mungkin ini salah satu alasan Suzuna dalam game begitu terobsesi sama masak, detail yang tidak dijelaskan. 

“Aduh!” Tiba-tiba Suzuna menjerit kecil. 

“Suzuna!?” Aku buru-buru mendekat. 

Dia sedang mencincang bawang bombay, dan sepertinya pisau tergelincir, mengenai ujung jari telunjuk kirinya. 

“!” Aku secara refleks memegang tangan kirinya. Ada darah, tapi cuma sedikit. 

“Uh, itu…” kata Suzuna. 

“Tenang, lukanya tidak dalam,” kataku. 

Keren banget, kayak samurai, padahal yang luka bukan aku. Aku buru-buru cuci lukanya dengan air, lalu tempelkan plester yang sengaja kubawa di saku. 

“Kamu bawa itu…?” tanya Suzuna, kaget. 

“Masak itu rawan kecelakaan, jadi aku siapin. Selesai,” kataku, menepuk bahunya pelan. 

Suzuna menoleh kaget, matanya membulat. “Jangan dipikirin. Aku malah kira yang bakal luka itu aku,” kataku. 

“Eiji-chan emang ceroboh, sih,” canda Kazuna. 

“Diam! Ayo lanjutin. Kami berdua jagain kamu, Suzuna, jadi tenang aja,” kataku. 

“…Iya,” jawab Suzuna, mengangguk patuh dan memegang pisau lagi. 

Aku lega, mundur beberapa langkah untuk mengawasi, saat Kazuna berbisik, “Kamu beneran ‘kakak’ banget, ya.” 

“Yah, mau ngapain atau tidak, aku tetep kakaknya,” kataku. 

Boleh lah, ini pujian. Aku angkat dada bangga. Tapi sebenarnya aku tidak sengaja pamer kakak-adik. 

(Suzuna mungkin takut darah, tapi sepertinya tidak juga,) pikirku. Dia kehilangan keluarga dalam kecelakaan mobil, dan dia ada di mobil itu. Entah dia ingat momen itu atau tidak, wajar kalau dia takut darah. Tapi tadi dia kelihatan baik-baik aja. 

“Maaf, aku ke toilet dulu,” kataku. 

“Hah? Tadi sebelum mulai kan udah ke sana?” tanya Kazuna, curiga. 

“Iya, maaf,” kataku, buru-buru keluar dari dapur. 

Di toilet, aku menutup mulut. Bukan mau muntah, cuma butuh tarik napas. Jantungku berdegup kencang. Aku tarik napas dalam-dalam berulang-ulang. 

“Kecelakaan mobil, ya…” gumamku. 

Kenangan yang tidak mau kuingat, tapi terukir dalam. Mengingat kehidupan sebelumnya tidak selalu menyenangkan. Rasa sakit yang seharusnya cuma dialami sekali seumur hidup… aku mengingatnya. 

“Khawatir sama Suzuna, tapi aku sendiri gini. Payah banget,” kataku, mencemooh diri sendiri. 

Aku menelan ludah, menampar pipiku beberapa kali untuk menyadarkan diri, lalu kembali. 

“Sekarang, tumis bawang bombay dan bawang putih yang udah dicincang pakai sedikit minyak. Sampai warnanya cokelat karamel,” kata Kazuna. 

“Cokelat karamel?” tanya Suzuna. 

“Kadang disebut warna rubah. Cokelat muda gitu,” jelasku. 

“Rubah… oke, aku coba,” kata Suzuna. 

Suzuna pegang wajan, menuang sedikit minyak, lalu masukkan bawang bombay yang dia potong dan bawang putih yang kupotong. Ini juga berisiko, tapi dapur kami pakai kompor induksi, jadi lebih aman daripada kompor gas. 

“Bagus, gerakannya oke,” puji Kazuna, mengintip dari samping. 

Dipuji itu menyenangkan, apalagi sama orang yang kelihatan tulus kayak Kazuna. Bikin otak ngeluarin dopamin. Makanya Kazuna cocok banget ngajar. Aku juga pengen dipuji! Pas motong bawang putih Cuma dibilang “lumayan”, loh! 

“Udah cukup, ya. Matikan api, pindahin ke piring dulu,” kata Kazuna. 

“I-iya,” jawab Suzuna. 

“Terus tutup pakai plastik wrap, biar agak dingin. Kalian pasti capek, kan? Istirahat dulu sambil nunggu dingin,” saran Kazuna. 

Bener juga. Tegang terus, berdiri lama, apalagi buat yang tidak biasa, pasti pegal. “Eiji-chan, kamu oke?” tanya Kazuna, tampak khawatir.

*** 

“Wow, kamu beneran oke. Ternyata kamu juga berbakat jadi guru,” kataku. 

“Bukan aku, Eiji-chan. Aku khawatir sama kamu. Tadi muka kamu agak pucat,” kata Kazuna. 

“Oh… apa istirahat ini sebenarnya buat aku? Padahal yang kerja keras tadi hampir semuanya Suzuna,” kataku. 

“Di acara kunjungan kelas, katanya orang tua yang ngawasin malah lebih capek daripada murid,” canda Kazuna. 

“Dari kakak naik level jadi ibu!?” balasku. 

Kalau umur mental dari kehidupan sebelumnya dihitung, mungkin aku memang seumur orang tua mereka, tapi tetap saja. 

“…Yah, tidak usah khawatir sama aku. Fokus aja ke Suzuna,” kataku. 

“Tidak gitu juga. Aku kan gurunya kalian berdua hari ini. Tapi… cara kamu nangani luka Suzuna tadi seratus poin! Hebat, hebat!” puji Kazuna, sambil mengelus kepalaku. 

“Hei, jangan usap-usap kepala temen sebaya!” protesku. 

“Tidak apa, santai aja♪” katanya, terus mengelus sambil tersenyum ceria. 

Karena beda tinggi yang mulai kentara sejak SMP, dia kelihatan agak susah payah. “Aku kira, karena itu Eiji-chan, kamu bakal jilatin jari Suzuna,” candanya. 

“…Itu pelecehan, tahu!” kataku. 

“Bukan, itu pengobatan! Katanya air liur punya zat yang bantu sembuhin luka, udah dibuktikan ilmiah,” katanya. 

Meski begitu, jilat jari cewek tiba-tiba jelas tidak pantas. Aku pernah denger kasus orang dituntut gara-gara pakai AED buat nolongin cewek, meski aku tidak tahu detailnya. Tapi yang pasti, Suzuna pasti ilfeel kalau aku tiba-tiba gitu. 

(Dalam game, protagonis sih melakukannya…) pikirku. 

Tindakan yang bakal ditolak di dunia nyata, di komedi romansa atau game galge, justru jadi senjata andalan protagonis. Di event masak sama Suzuna, ada adegan dia luka gara-gara pisau, dan protagonis jilat jarinya buat “disinfeksi”. 

(Apa aku harus gitu tadi?) pikirku. 

Sekarang aku agak tenang, mungkin aku harus lebih berani. Mungkin Suzuna malah senang… atau tidak. 

“…Tidak deh, aku tidak bisa,” gumamku. 

“Hah? Apa?” tanya Kazuna, memiringkan kepala. 

Kalau kuberitahu aku serius mikirin harus jilat jari Suzuna apa tidak, dia pasti ilfeel. “Tidak apa-apa,” kataku, menggeleng, mengakhiri topik. 

Masih mending cuma dianggap aneh, tapi kalau dia tahu alasan aku tidak melakukannya karena “takut rasa darah”, dia pasti tambah khawatir. (Trauma itu merepotkan,) pikirku. 

Selama ini aku tidak sadar… atau lebih tepatnya, sengaja tidak mikirin. Sepertinya aku jadi takut darah. Daging makan malam atau daging giling tadi tidak masalah, tapi… darah yang keluar dari tubuh, apalagi kayak tadi, bikin aku panik. Mungkin karena di kecelakaan itu aku tidak lihat kondisiku sendiri, jadi tidak terlalu parah. Beruntung dalam ketidakberuntungan… apa iya boleh bilang gitu? 

Tapi masak punya risiko luka kayak tadi. Meski aku yang rencanain, baru sekarang aku sadar event ini ternyata tidak cocok sama aku. 

***

Kembali ke ruang tamu, aku lihat Suzuna duduk lemas di sofa. Seperti dugaan Kazuna, dia kelihatan capek, mungkin karena tegang. 

“Masak seru, tidak?” tanyaku. 

“Entah… belum selesai, jadi belum tahu,” jawabnya. 

“Oh, iya,” kataku, duduk di sebelahnya. 

Dia melirikku sekilas, lalu memalingkan muka. Aku ikuti pandangannya—ternyata dia lihat plester di jarinya. “Apa kurang imut? Ada yang bergambar karakter, lho,” kataku. 

“Umurku berapa, sih? Apa aja tidak apa,” katanya, sedikit kesal. 

Tapi suasananya terasa nyaman. “Suzuna, nada bicaramu mulai santai, ya,” kataku. 

“Hah?” tanyanya, kaget. 

“Lihat, kamu mulai pakai bahasa biasa, tidak formal lagi,” jelasku. 

Mungkin karena tegang masak, dia tidak sempat pakai bahasa sopan. “Ah…! Ma-maaf, eh, maksudku, maaf!” katanya panik. 

“Ngapain minta maaf? Aku malah suka kalau kamu ngomong santai,” kataku. 

“Tapi aku…” katanya, ragu. 

“Dulu, di acara keluarga, kita pernah main bareng, kan? Kalau kamu bisa santai kayak dulu, aku senang. Bukan cuma soal keluarga, tapi asal kamu nyaman,” kataku. 

“Ugh…” Suzuna menunduk, tampak bingung. 

Mungkin terlalu blak-blakan. Tapi ada hal yang cuma bisa disampaikan dengan kata-kata. “Kalau kamu lebih nyaman pakai bahasa sopan, aku tidak maksa. Tapi tadi, pas masak, sama Kazuna, kamu tegang, lalu santai, dan keluar sifat aslimu, kan? Ini udah rumahmu. Di rumah, kamu tidak perlu tegang terus,” kataku. 

Aku sampaikan apa yang kupikirkan—atau lebih tepatnya, harapanku—dengan nada lembut, meski aku sendiri tegang. Pengalaman dari kehidupan sebelumnya tidak selalu bawa hal baik. Ada keberhasilan, tapi juga kegagalan. 

Hidup yang penuh bukan cuma meniru keberhasilan, tapi juga hindari kegagalan. Makanya, aku ragu buat ambil risiko yang bisa gagal. Bicara jujur itu tidak selalu berhasil. Meski dari hati dan demi kebaikan, kadang orang lain anggap itu memaksa atau menyebalkan. Bisa jadi dianggap sok ikut campur. 

Aku juga pernah kesal sama orang yang terlalu ikut campur. Aku tidak mau Suzuna merasa gitu. Dari pengalaman gagal itu, aku mulai cari hubungan yang datar, aman. Salah langkah bisa dianggap pelecehan, atau info pribadi bocor di internet dan viral. Cara paling pintar adalah sembunyikan perasaan, bicara hal-hal aman, dan menyatu sama dunia. 

Itu bagian dari jadi dewasa. Kegagalan masa lalu cukup ditutup dengan “waktu itu masih muda”. Aku tidak menyangkal itu. 

Tapi sekarang, itu cuma menghambatku. Kalau aku bertindak tanpa sadar, pengalaman kehidupan sebelumnya bakal ngerem aku. Jadi, aku harus sadar dan melangkah maju. 

“Kita nikmati aja. Meski kamu jujur, aku, ayah, ibu, tidak bakal benci kamu,” kataku. 

“…Meski aku tiba-tiba ngamuk di sini?” tanyanya. 

“Iya. Aku bakal hentikan, tapi tidak benci,” jawabku. 

“Kalau aku berbuat kriminal dan ditangkap?” tanyanya lagi. 

“Aku bakal hentikan, tapi kalau kejadian, aku bakal kunjungi kamu setiap hari,” kataku. 

Aku tahu dia bercanda, tapi aku jawab serius. Suzuna lihat aku, lalu tersenyum kecil, tapi pasti. “Konyol banget,” katanya. 

“Tidak juga,” jawabku. 

Keluarga. Adik. Aku tidak bilang itu sekarang. Kalau kata-kata itu bikin Suzuna tidak nyaman, aku ingin dia percaya padaku sebagai manusia, bukan cuma kakak. Dengan perasaan itu, aku genggam tangannya. 

“Aku di pihakmu,” kataku. 

“!” Suzuna memandangku dengan mata membulat. 

Lalu, matanya mulai berkaca-kaca— “B-bukan! Ini… bawang! Efek bawang tadi!” katanya, buru-buru melepaskan tanganku dan memalingkan muka. 

“Suzuna-chan, Eiji-chan, kita lanjutin, yuk,” kata Kazuna, masuk ke ruang tamu dengan timing sempurna, meredakan suasana. 

“I-iya!” jawab Suzuna cepat, diam-diam menyeka matanya, lalu berjalan cepat keluar ruang tamu… tapi tiba-tiba menoleh. “Plester… makasih,” katanya pelan.


Suzuna menunjukkan jari telunjuk kiri yang dibalut plester. Mungkin selama ini dia ingin mengucapkan terima kasih, tapi menahannya. 

“Cepetan, ayo!” katanya buru-buru. 

“Oh… iya,” jawabku. 

Apa ini balasan atas kejujuranku tadi? Bahasa santai yang sengaja dia pakai? Entah kenapa, itu bikin aku jauh lebih senang dari yang kubayangkan. 

“…Kayaknya aku juga kena efek bawang,” gumamku, tidak bisa langsung berdiri karena menahan perasaan yang membuncah. 

***

“Eiji-chan, lama banget!” keluh Kazuna saat aku kembali ke dapur. 

“Maaf, maaf,” kataku. 

Dia menyambutku dengan senyum cerah, tapi pasti dia dengar semua obrolanku sama Suzuna tadi. Agak malu, sih. 

“Baik, semua udah kumpul, kita lanjut! Dan sekarang adalah momen puncak pembuatan hamburger, tidak salah kalau dibilang ini bagian paling epik!” kata Kazuna dengan semangat. 

“Kapan ini jadi kayak syuting?” tanyaku bingung. 

“Yaitu… waktu adon-adon!” lanjutnya. 

Namanya kok kekinian banget, tapi oke, akhirnya sampai ke bagian itu. Kazuna memasukkan daging giling ke mangkuk besar dan menaburi garam. 

“Suzuna-chan, silakan!” katanya. 

“I-iya!” jawab Suzuna. 

Giliran pemain ganti. Dengan sarung tangan sekali pakai biar tangan tidak kotor, Suzuna masukkan tangan ke mangkuk. 

“Ugh!?” serunya kaget. 

“Hehe, lumayan enak, kan, sensasinya?” kata Kazuna. 

“Agak… aneh, tapi unik,” kata Suzuna, wajahnya tampak menikmati. 

Adon-adon memang inti serunya bikin hamburger, tapi cuma ada satu mangkuk. Tidak bisa bagi tugas kayak ngebentuk mochi, jadi aku cuma bisa nonton… menyebalkan! 

“Sowasowa, pengen nyoba, kan?” bisik Kazuna. 

“Ugh…!” Dia kelewat jeli. 

“Aku tahan diri. Suzuna lagi asyik,” kataku. 

“Hehe,” Kazuna tersenyum penuh arti, kayak bilang, “Aku tahu semua, Kak,” lalu kembali ke Suzuna. Dia beneran tahu semua, ya? 

“Pas ngadon, pakai jari aja. Jangan terlalu hangat, biar lemak daging tidak meleleh. Lembut, lembut,” saran Kazuna. 

“Baik!” jawab Suzuna serius. 

Aku lagi-lagi cuma penonton. Tapi ekspresi serius Suzuna imut banget, jadi aku maafin. 

“Bagus, udah mulai memutih. Kalau udah gini, tambah lada sama pala… lalu adon lagi sampai rata!” kata Kazuna. 

“I-iya…” jawab Suzuna, nadanya mulai lelah. 

Perubahan kecil itu pasti ketahuan sama Kazuna, si jelmaan empati. “Oke, Eiji-chan, giliranmu!” katanya. 

“Siap!” jawabku. 

Ganti pemain lagi. Instruksi pelatih bener-bener jitu. Suzuna yang udah capek digantikan aku, yang udah pakai sarung tangan dan siap tempur. 

“Hati-hati, Eiji-chan. Lembut tapi kuat,” kata Kazuna. 

“Serahkan padaku! …Whoa!” Saat tanganku masuk ke daging, sensasi unik yang bikin Suzuna kaget tadi langsung terasa. 

“Ini enak banget… pantesan tukang hamburger ketagihan!” kataku. 

“Kenapa tiba-tiba logat Kansai?” tanya Kazuna. 

“Aku mau kerja cuma ngadon ini kalau udah gede,” candaku. 

“Dengan sifatmu, sejam aja tidak bakal tahan,” katanya dingin. 

Komentarnya pedas, tapi bener. Aku tidak tahan kerjaan monoton. 

Sambil ngobrol, aku terus adon… adon… adon. Beberapa menit kemudian, “Oke, udah cukup rata,” kata Kazuna. 

“Apa udah waktunya bakar?” tanyaku antusias. 

“Eiji-chan, lupa sama yang udah kita siapin sebelum istirahat?” katanya. 

“Oh…” Aku lupa. 

“Sekarang masukkan itu semua, adon lagi biar nyatu,” lanjut Kazuna. 

Dia masukkan telur kocok, bawang tumis, dan tepung roti rendaman susu ke adonan. Dengan tambahan bahan-bahan “nyentrik” ini, mangkuk jadi kacau. Saatnya adon-adon lagi biar harmonis! 

“Wow, licin banget!” kataku. Sensasi adon berubah drastis dengan bahan baru. Seru banget, hampir lupa ini masak. 

“…,” Suzuna diam, memperhatikan. 

“Hehe, Suzuna-chan juga pengen nyoba lagi?” tanya Kazuna. 

“Eh, aku…” Suzuna ragu. 

“Suzuna udah tidak capek, kan? Oke, ganti—” kataku, tapi Kazuna memotong. 

“Aku dapat ide! Kalian berdua kerjasama buat selesain!” katanya. 

““Hah?”” seru kami bersamaan. 

“Eiji-chan, pakai tangan kiri aja. Suzuna-chan, sini,” kata Kazuna, mendorong Suzuna ke sampingku dan memasukkan tangan kanannya ke mangkuk. 

“Hii!?” Suzuna kaget. 

“Sekarang kalian bisa adon bareng, kan?” kata Kazuna. 

Jadi, kami disuruh adon pakai satu tangan masing-masing, saling berhadapan. Meski tidak dempet-dempetan, ini mungkin jarak terdekatku sama Suzuna sejak dia tinggal di rumah. Aku sampai deg-degan. 

“Suzuna, oke tidak?” tanyaku. 

“De-demi hamburger enak!” katanya, menunjukkan semangat pertamanya soal hamburger, tidak menolak. 

Kalau dia oke, ya sudah. Kerjasama pertama kami pun dimulai. 

“Ugh…” “Ngh…” Kami berdua kesusahan. 

Adon Cuma pakai satu tangan itu susah banget. Tegangnya bukan main. Apalagi, kalau serius adon, mau tidak mau jari kami bersentuhan. Meski pakai sarung tangan dan tadi di ruang tamu aku udah genggam tangannya, entah kenapa ini bikin jantungan. Gerakan adon ini… entah kenapa terasa… sensual. 

“Ugh…” Suzuna kelihatan malu, terus menunduk, jadi aku tidak bisa lihat ekspresinya. 

Tapi dibandingkan jarak kami kemarin—fisik maupun emosi—ini kemajuan luar biasa! Kami tidak banyak ngobrol, tapi bersama-sama memandang adonan hamburger yang tadinya acak-acakan perlahan menyatu jadi satu.

*** 

“Bagus banget!” kata Kazuna, menghentikan kami yang asyik mengadon. Rasanya kayak selamanya, tapi sebenarnya tidak lama. Yah, cuma buat nyatuin adonan, sih. 

“Jangan cemberut gitu, Eiji-chan. Masih bisa pegang adonan kok,” canda Kazuna. 

“Aku tidak cemberut!” protesku. 

“Sekarang, kita bentuk hamburger satu-satu, bikin bulat buat dibakar!” lanjut Kazuna, mengabaikanku dengan elegan. Dia ambil segenggam adonan, remas-remas, bulatin, dan bentuk jadi lonjong khas hamburger, lalu taruh di baki aluminium. 

“Poinnya, tekan kuat biar udara di dalam keluar. Kalau ada rongga, pas dibakar bisa retak atau kuah dagingnya kabur,” jelasnya. 

“I-iya!” jawab Suzuna. 

Kami mulai membentuk hamburger sesuai contoh. Ini lumayan susah, tapi seru. Kazuna kasih petunjuk detail, jadi tidak salah. Tapi tiap orang beda, ada yang bikin terlalu kecil, terlalu besar, atau terobsesi sama bentuk—karakter masing-masing kelihatan. 

Akhirnya, ada tiga adonan hamburger: satu contoh dari Kazuna, satu aku, satu Suzuna. 

“Sekarang, bakar!” kata Kazuna. 

Dia oles minyak di wajan, lalu taruh tiga adonan. Suzuna yang pegang wajan lagi. 

“Mulai dengan api sedang, tiga menit biar kecokelatan…” kata Kazuna. 

Suzuna dengerin dengan serius sambil mengangguk. Aku? Kembali jadi penonton. Kayaknya udah mulai jago ngawasin. 

“Ba-balik wajan,” kata Suzuna. 

“Iya, agak cepet, ya,” saran Kazuna. 

“Iya!” Suzuna berhasil membalik hamburger dengan sempurna. 

Aku tiba-tiba ingat, aku sendiri payah balik adonan okonomiyaki. Rasanya Suzuna udah nyalip aku. 

“Taro tutup, kecilkan api, biar matang pelan. Sekitar sepuluh menit,” jelas Kazuna. 

Aroma enak dari wajan mulai tercium, disertai suara daging mendesis. Mikirin daging giling yang kami adon tadi berubah jadi hamburger bikin aku terharu. Aku dan Suzuna cuma bisa bengong ngeliatin wajan. Tutup kacanya buram, tidak kelihatan apa-apa, tapi suara dan baunya bikin lapar. 

“Eiji-chan, maaf ganggu, bisa siapin meja makan?” kata Kazuna. 

“Oh, iya,” jawabku. 

Bener juga, ini tidak cuma masak, abis ini kami makan siang bareng. Meja harus disiapin. 

“Eh, tunggu…” Suzuna tiba-tiba panggil aku yang mau bergerak. 

Tapi dia tidak lanjutin. Dia lihat aku, nunduk, lihat lagi, ulang-ulang. Tidak perlu kata-kata, aku tahu apa maunya. 

“Oke, kita siapin meja sama bersihin ringan sebelum makan. Suzuna, bantu, ya? Kami tidak tahu kapan daging matang, jadi finishing serahin ke Kazuna,” kataku. 

“Duh, akhir-akhir diserahin ke aku? Ya tidak apa, sih,” kata Kazuna. 

“Orang yang tepat pada hal yang berguna.. Gimana, Suzuna?” tanyaku. 

“I-iya, aku bantu,” katanya, mengangguk cepat. 

Intinya, Suzuna yang serius tidak tahan cuma berdiam diri sementara yang lain kerja. Jadi, kami siapin piring, lap meja ruang tamu, dan sapu lantai pake wiper. Makan enak butuh suasana nyaman. Kayak BBQ di luar bikin daging lebih sedap, atau restoran mewah bikin makanan Prancis terasa eksklusif, hamburger buatan sendiri harus dinikmati di meja yang bersih dari debu! 

Selama nyiapin, aku dan Suzuna tidak banyak ngobrol, tapi suasana tidak terlalu canggung lagi. Mungkin karena dia tidak pakai bahasa sopan. Perubahan kecil, tapi bikin udara lebih ringan. 

“Selesai! Suzuna, makasih sudah membantu!” kataku ceria. 

“…Iya,” jawabnya pelan. 

Mungkin cuma aku yang kelewat senang. Tanpa bahasa sopan, kecanggungan aslinya malah kelihatan. Dia mengangguk kaku, dan beda semangat itu bikin aku kehilangan kata-kata. 

“Eh, jadi…” Aku bingung. 

Hah? Tadi rasanya udah maju jauh, apa cuma perasaanku? Apa dari istirahat tadi sampe sekarang aku ngelakuin sesuatu yang bikin Suzuna jaga jarak lagi? Good favor di dunia nyata susah banget. Tidak kayak game yang sistematis. Bisa naik-turun gara-gara hal sepele, dan sekali salah, bisa anjlok sampai tidak bisa pulih. Kadang gagalnya tidak disadari, kayak sekarang. 

(Ya ampun… gimana ini…) pikirku, panik. 

Kemarin Suzuna masih asing banget, jadi aku bisa agresif tanpa takut mundur. Tapi setelah istirahat tadi rasanya udah dekat, sekarang aku takut balik ke awal. Berlebihan mungkin, tapi kakiku gemetar. 

Pokoknya, tidak boleh canggung gini terus. Harus ada sesuatu buat cairin suasana— 

“A-aku bantu Senpai dulu!” kata Suzuna tiba-tiba, buru-buru pergi. 

“Oh…” Aku cuma bisa ngeliatin dia pergi, lalu ambruk. 

Aku gagal. Aku tahu dia canggung, tapi dia kabur gitu berarti aku juga bikin suasana tidak enak. Ini buruk banget. Harus aku perbaiki… tapi justru karena tidak bisa, aku ditinggal sendirian di ruang tamu. 

“Dasar bodoh,” gumamku, menyesali diri sendiri sambil memukul dahi. 

Maju beberapa langkah tidak berarti masalah selesai. Ini kayak disiram air dingin pas lagi semangat. Tapi mungkin bagus, aku tidak kelewat buta sama kegembiraan… coba deh positif. 

***

“Eiji-chan, udah selesai!” kata Kazuna, balik dari dapur. 

Kayak pelayan restoran, dia bawa dua piring di tangan dan satu di lengan kanan. Isinya… hamburger yang udah matang! 

“Wow, baunya enak banget! Kayak di restoran! Ini beneran hamburger yang kita bikin!?” seruku. 

“Tentu, buktinya, lihat,” kata Kazuna, nunjuk satu hamburger. 

Meski matangnya bagus, ada retakan di permukaannya. “Ini punya Eiji-chan. Karena tidak bener-bener keluarin udara, pas dibakar retak,” katanya. 

“Serius!?” kataku, kecewa. 

“Kuah dagingnya juga bocor, sayang banget,” tambahnya. 

“Argh, nyesel banget…!” keluhku. 

Memang, pas ngadon, aku kurang serius ngeluarin udara. Kelalaian kecil bikin hasil beda. Masak memang menyeramkan. 

“Eiji-san, ambil ini,” kata Suzuna, datang sambil bawa nampan dengan tiga mangkuk nasi. 

“Nasi? Kapan kita siapin?” tanyaku bingung. 

“Senpai yang nyiapin, kayaknya,” jawab Suzuna. 

“Dia kapan…!?” seruku kaget. 

Aku ambil mangkuk dari Suzuna dan taruh di meja bareng piring hamburger. Di resto cepat saji biasanya ditanya mau nasi atau roti, tapi aku tim nasi. Roti enak buat nyerap sisa saus, tapi nasi tetep juara. Kutukan orang Jepang, mungkin. 

“Geser, geser!” kata Kazuna tiba-tiba. 

“Wah!? Kazuna, kapan balik!?” tanyaku kaget. 

Tadi dia bawa hamburger, lalu menghilang, dan sekarang balik bawa wajan. “Ini apa?” tanyaku. 

“Saus demiglace. Dibikin cepet abis hamburger matang,” katanya. 

“Secepet itu!?” seruku. 

“Dan ini juga…” tambahnya.

“Apa!?” 

Kazuna ternyata bawa wajan lain di tangan kiri, di luar pandanganku! Bukan wajan biasa, tapi skillet kecil, kayak yang dipakai buat camping. Isinya tumisan wortel, jamur eringi, dan brokoli. 

“Itu bener-bener dibikin kapan!?” tanyaku kaget. 

“Pikirnya perlu lauk pendamping, jadi aku bikin cepet bareng saus tadi,” kata Kazuna santai. 

“Gitu aja ngomongnya…” kataku, masih tidak percaya. 

“Hehe, sengaja aku rahasiain biar kagetin Eiji-chan. Operasi sukses! Iya, kan, Suzuna-chan?” katanya. 

“…Apa Suzuna juga terlibat dalam kejutan misterius ini?” tanyaku. 

“B-bukan! Aku cuma disuruh diam!” bela Suzuna, menggeleng keras. Imut banget. 

Aku cuma fokus ke hamburger, padahal buat makan siang tidak cukup cuma itu. Nasi, saus, lauk pendamping—Kazuna siapin semua tanpa diminta. Aku bener-bener tidak bisa ngelupain jasa dia. 

“Ayo makan sebelum dingin!” kata Kazuna. 

“Oke!” jawabku. 

Aroma enak dari tadi udah bikin perutku keroncongan. Tiba-tiba, grrr—suara rendah terdengar. Aku langsung lihat sumbernya… perut Suzuna! 

“Ugh,” Suzuna memerah sampai telinga, nunduk. 

“Haha, Suzuna juga lapar, ya,” kataku. 

“Uuu…” Dia kelihatan malu banget. 

Ekspresi polos yang pertama kali kulihat sejak dia tinggal di sini bikin aku tidak bisa berpaling, meski tahu itu salah. Aku pengen Suzuna bisa selalu sekspresif ini. 

“Eiji-chan, jangan ngeliatin terus,” tegur Kazuna. 

“Oh, maaf. Ayo makan!” kataku, mengalihkan pandangan. 

Bisa jadi aku bakal dibenci kalau terus ngeliatin. Makasih, Kazuna, remnya pas. Kami duduk, tangan disatukan. 

““Selamat makan!”” kataku dan Kazuna bersamaan. 

“S-selamat makan,” kata Suzuna, agak terlambat. 

Nada dia agak tegang. Meski dia nikmatin masak, apa dia bisa nikmatin rasanya…? 

“Ugh…!” seruku pas nyoba. 

“Eiji-chan?” tanya Kazuna. 

“…Enak banget!!” kataku. 

Begitu menggigit hamburger, rasa gurih yang kuat langsung meledak di mulut. Tanpa cela, super enak. Bahkan di kehidupan sebelumnya, aku tidak pernah makan hamburger seenak ini. 

“Apa karena aku bikin sendiri, rasanya lebih enak? Tapi ini kayak di restoran!” kataku. 

“Hehe, kan?” kata Kazuna bangga. 

“Kenapa kamu yang bangga? Yang ngadon aku sama Suzuna!” protesku. 

“Tapi resepnya dari aku. Boleh dong aku bangga sedikit,” balasnya. 

Bener sih. Bukan cuma resep, dia juga ngawasin, bikin saus, sama lauk. Kalau dipikir, jasa aku sama Suzuna cuma ngadon, jadi hamburger ini hampir sepenuhnya karya Kazuna. 

“Kamu bener-bener hebat, ya,” kataku. 

“Hah? Tiba-tiba ngapain?” tanyanya kaget. 

“Bukannya kamu yang minta dipuji tadi?” kataku. 

“Aku tidak minta dipuji…” bela Kazuna. 

“Kamu bilang bangga sama jasa sendiri. Bukannya sama aja?” kataku. 

“Ugh…!” Kazuna kehabisan kata. 

Mungkin tidak terang-terangan, tapi kalau Kazuna yang bilang gitu, itu udah termasuk pamer usaha. Mungkin aku harus elus kepalanya sambil bilang “hebat, hebat”… tapi tidak deh, ini bukan komedi romansa. Lagipula, dia duduk di depanku, bukan sebelah kayak Suzuna, jadi susah nyampe. 

“Suzuna-chan, rasanya gimana? Enak?” tanya Kazuna. 

Iya, yang paling penting hari ini adalah Suzuna menikmati masak dan merasa makanannya enak. 

“…” Suzuna kaget, lalu nunduk, wajahnya kayak ketahuan lihat sesuatu yang tidak boleh. 

“Suzuna?” tanyaku, pura-pura tidak tahu, meski setengah nebak perasaannya. 

Dari suasana tadi, aku tahu Suzuna cukup percaya sama Kazuna dan tidak mau bikin dia kecewa. Berpikir gini mungkin licik, tapi aku pengen dengar dari mulut Suzuna, “enak,” meski dia harus memaksa. 

“…” Suzuna kelihatan bingung cari kata, wajahnya meringis. Dia gigit bibir, lalu… 

“Te-terima kasih atas makanannya!” katanya tiba-tiba, berdiri, dan lari keluar ruang tamu, ninggalin piring yang masih setengah isi hamburger. 

“Suzuna!” panggilku, tapi cuma suara langkah naik tangga ke kamarnya yang balik. 

“…Maaf, Kazuna,” kataku, langsung minta maaf. 

“Tidak apa, Eiji-chan. Kayaknya aku kurang perhatiin selera Suzuna-chan,” katanya. 

“Bukan gitu. Suzuna pasti pengen bilang ‘enak’, tapi… dia tidak bisa ngomong gitu sekarang. Aku tahu itu, tapi malah bikin kamu nanya hal yang tidak enak,” kataku. 

Harapan kecilku sirna, tinggal penyesalan. Aku tidak boleh sembarangan ceritain masalah Suzuna, jadi Kazuna tidak salah sama sekali. Yang salah aku, yang diam-diam minta bantuan tanpa ceritain hal penting. 

“Oh, jadi Eiji-chan bikin acara ini cuma pengen Suzuna bilang ‘enak’, ya?” kata Kazuna, tidak marah, malah nebak situasi dengan senyum. 

“Eh, Eiji-chan, boleh tidak aku ngobrol bentar sama Suzuna-chan? Nanti aja, abis makan! Pas Eiji-chan cuci piring!” katanya. 

Jadi cuci piring tugasku, ya? Tidak masalah, aku senang ngerjain itu. Porsi Suzuna aku simpen di wadah, dia pasti tidak mau buang makanan yang dia bikin. Kalaupun tidak dimakan, aku yang habisin. 

“Boleh, tapi mau ngomong apa?” tanyaku. 

“Hmm, masih ide, tapi kayaknya ngobrol yang tidak bisa kalau Eiji-chan ada,” katanya. 

“Ada obrolan gitu? Hah! Jangan-jangan ngomongin keburukanku!?” candaku. 

“Kalau bener gitu, aku tidak bakal ngaku di depanmu,” katanya. 

“Iya juga,” kataku. 

Aku cuma bercanda, tidak beneran khawatir. Kazuna udah lebih bisa dipercaya daripada aku sendiri. Kalau dia sampe ngomongin aku di belakang, berarti aku yang bermasalah. 

Mungkin dia mau nenangin Suzuna, yang merasa bersalah karena kabur tadi, biar tahu Kazuna tidak marah. (Tapi kenapa Kazuna sampe segininya bantu?) pikirku. 

Kebaikan hati tidak cukup jelasin. Dari kehidupan sebelumnya, aku tahu manusia punya sisi kalkulatif. Besar atau kecil, orang pasti mikirin untung-rugi. Aku tidak bilang tidak ada kebaikan murni, tapi aku yang narik Kazuna ke urusan kami—apa dia juga dapet sesuatu dari hubungan sama aku dan Suzuna? 

…Jujur, aku harap ada. Kalau tidak, aku cuma ngerasa bersalah sama dia. 

“Makasih, Kazuna,” kataku. 

“Apaan, serius amat,” katanya. 

“Serius atau tidak, aku harus bilang terima kasih,” kataku. 

Kata-kata tidak cukup balas budi, tapi Kazuna tersenyum, kayak ada makna khusus. “Hutang ini pasti kubayar, kalau aku bisa,” kataku. 

“Duh, Eiji-chan, tidak usah bilang ‘hutang’ kayak gitu,” katanya. 

“Tapi kan bener,” kataku. 

“Tapi iya juga, aku nurutin kemauanmu, jadi kamu juga harus nurutin kemauanku, dong,” katanya. 

“Iya, pasti,” jawabku. 

“Yey! Hehe, aku harus pikirin kemauan apa,” katanya, ceria banget. 

Kenapa dia… ah, sudahlah, tidak usah dipikirin sekarang.

“Terima kasih atas makanannya. Hmm, kayaknya Suzuna-chan udah agak tenang. Aku coba ngobrol bentar, ya,” kata Kazuna. 

“Oke, cuci piring serahin ke aku!” kataku. 

“Bukan kerjaan besar sampe harus tepuk dada gitu, tapi… yaudah, Eiji-chan, aku percayain,” kata Kazuna sambil tersenyum kecut, lalu pergi ke kamar Suzuna. 

Aku bohong kalau bilang tidak penasaran sama obrolan mereka. Tapi karena udah memutuskan buat percaya sama Kazuna, ikut campur cuma bakal bikin kacau. Tugas aku sekarang adalah beresin dapur dengan sempurna, biar pas ayah ibu pulang tidak bilang, “Jangan pernah masak sendiri lagi!” 

***

“Argh, ini… yes, akhirnya lepas! Kenapa sih kerak di wajan bandel banget?” keluhku. 

Setelah beberapa menit bergulat sama wajan, akhirnya bersih juga. Aku jarang cuci piring, dan katanya kalau gosok terlalu keras, lapisan anti-lengketnya bisa rusak. Butuh ketelitian, dan aku capek banget. Ibu rumah tangga atau bapak rumah tangga yang ngurus beginian tiap hari bener-bener hebat. 

“Ngapain, Eiji-chan?” tanya Kazuna, tiba-tiba muncul. 

“Apa lagi? Cuci piring,” jawabku. 

“Tapi tadi tanganmu berhenti, ngeliatin plafon,” katanya. 

“Itu… ceritanya panjang,” kataku. 

“Oh, gitu,” jawabnya acuh. 

Dia yang tanya, tapi balasannya cuek banget. Tapi mending gitu, kalau ceritain pasti tidak lucu dan cuma bikin malu. 

“Udah ngobrol sama Suzuna-chan,” katanya. 

“…Gimana?” tanyaku. 

Maaf, meski bilang percaya, aku sebenarnya penasaran banget. “Tidak ngobrol apa-apa. Cuma bilang aku tidak marah, dan ajak ngobrol lagi di sekolah,” katanya. 

“Oh, gitu,” kataku. 

“Suzuna-chan sedih. Dia ngerasa ngerusak suasana di akhir, dan ngerasa nyusahin aku sama Eiji-chan,” lanjutnya. 

“…Gitu, ya,” kataku. 

Suzuna tidak perlu khawatir. Kalau soal hari ini, dari awal sampe akhir, akulah yang nyusahin dia. Aku nyentuh bagian sensitif yang dia tidak mau orang tahu, dan itu tanggung jawabku. 

“Eiji-chan, kamu salah,” kata Kazuna tiba-tiba. 

“Hah?” tanyaku. 

Dia pegang pipiku dengan kedua tangan, menatap mataku lurus, dan bilang, “Perasaanmu udah tersampaikan ke Suzuna-chan. Aku cuma lihat sekilas, tapi dia tidak benci kamu. Cuma…” 

“Cuma apa?” tanyaku. 

“…Mungkin dia butuh waktu. Dia ngalamin hal berat, tidak tahu caranya ngatasin, dan lukanya belum sembuh. Pasti dia yang paling frustrasi,” katanya. 

“Jadi, apa yang harus kulakuin?” tanyaku. 

“Sekarang, mungkin nunggu dia aja. Biar dia urutin perasaannya,” sarannya. 

“Bukannya dulu kamu nyuruh aku hadapin dia?” kataku. 

“Setiap waktu, tindakan yang tepat bisa berbeda. Itulah hubungan manusia,” katanya, angkat dada meski cuma anak SMP. Tapi bener juga. 

Sifat ribet itulah yang bikin aku di kehidupan sebelumnya makin menutup diri, tidak coba buka lingkaran baru, dan betah di zona nyaman. Aku tidak tahu pasti apa efek acara masak ini buat hubunganku sama Suzuna, atau apa yang dia rasain sekarang. Seberapa jauh kemajuannya pun tidak jelas. 

Tapi… “Plester… makasih,” kata Suzuna tadi, meski canggung. Saat itu, aku yakin apa yang kulakuin tidak salah. Suzuna anak yang baik, makanya aku pengen bebaskan dia dari luka batinnya. Aku bakal pakai apa aja—pengalaman kehidupan sebelumnya, pengetahuan game, temen-temenku sekarang. 

Demi kebahagiaan Suzuna, aku rela ngapain aja. Keringetan, malu, bahkan mungkin… kejahatan. Pikiran gitu bikin aku sadar, aku udah terjerumus total ke dalam “rawa Suzuna”.


Previous Chapter | ToC | Next Chapter

0

Post a Comment

close