Penerjemah: Rion
Proffreader: Rion
Chapter 4
"Aku Ingin Kencan dengan Adikku!"
Sekitar seminggu berlalu sejak acara masak.
(Ugh… deg-degan banget…!!)
Aku nurutin saran Kazuna, tidak terlalu agresif sama Suzuna. Sekarang cuma sapa pagi, ngobrol ringan pas makan, atau nyapa kalau ketemu di rumah—gitu doang, kayak orang normal. Yah, Suzuna sih masih cuek, jarang bales positif.
Tapi aku tidak patah semangat. Kalau orang biasa, kena cuek berkali-kali pasti udah nyerah. Tapi aku kakaknya, dan kakak itu kebal sama sikap dingin adik! Sikap cuek pun bakal dikonversi jadi “imut” di otakku. Keren, kan?
“Suzuna, aku pulang!” kataku ceria.
Suzuna, yang pulang duluan, lagi ngerjain PR di ruang tamu.
“…Selamat datang,” jawabnya pelan, cuma melirik sekilas.
“Lagi ngerjain PR? Boleh bareng?” tanyaku.
“Terserah,” katanya.
“Makasih!” kataku.
Nada dia datar, tapi entah kenapa aku tidak kesel. Dari luar mungkin kelihatan kayak adik yang dingin. Aku tidak terlalu peduli apa kata orang, tapi penasaran, hubungan kami kelihatan kayak apa dari sudut pandang orang lain.
(Tapi serius, Suzuna imut banget,) pikirku, bukan buat siapa-siapa, cuma alasan dalam kepala.
Imutnya bukan cuma fisik—meski iya, dia cantik. Lebih dari itu, sikapnya yang… susah dijelasin. Contohnya sekarang! Dia ngerjain PR di ruang tamu. Kalau beneran nolak aku, dia bisa aja ngurung diri di kamar, kayak pas baru pindah ke sini. Tapi sekarang dia pilih di ruang tamu!
Bukan cuma itu. Dibandingkan awal, kayanya dia lebih sering di ruang tamu. Permen cuma bilang cuek, tapi sadar atau tidak, dia kayak berusaha deketin keluarga ini. Mungkin aku terlalu optimis, tapi aku yakin gitu.
“Hmm…” Suzuna kelihatan bingung.
“Kenapa? Tidak ngerti?” tanyaku.
“Eh, terjemahan bagian ini,” katanya.
“Oh, ini. Pinjem buku pelajarannya… lihat, pakai idiom yang muncul di sini,” jelasku.
“Oh, iya. Makasih,” katanya.
Huaaa, untung aku pinter belajar!!! Pas ngerjain PR, Suzuna fokus banget, jadi balesannya lebih santai dari biasa. Mungkin dia tidak sadar sendiri. Jangan-jangan dia sengaja ngerjain PR di sini biar aku bantu? Hehe, bermimpi kan gratis.
Tapi aku tidak bakal kelewat agresif. Misi aku sekarang nunggu sampe Suzuna siap. Meski gitu, aku tetep deg-degan. Cuma nunggu tanpa ngapa-ngapain ternyata lebih menyebalkan dari bayangan.
Suzuna kelihatan udah lumayan tenang, jadi aku pengen coba lebih deket lagi. Tapi… aku tidak ngerti hati cewek sama sekali.
(Oh iya, Suzuna di game juga termasuk heroine yang susah dilupain, ya,) pikirku.
Di game, tidak ada indikator angka buat good favor heroine, jadi pemain harus nebak dari dialog umum atau reaksi di event. Dulu aku ngerasa kayak beneran pacaran sama heroine di layar, seru banget, meski sekarang kelihatan ribet.
Tapi buat Suzuna, nebak good favor-nya susah banget. Perubahan yang kelihatan buat ngecek apakah udah cukup buat masuk rute pribadi itu minim. Apalagi, karena elemen “masak jelek”, waktu攻略nya lebih ketat dibandingkan heroine lain. Kadang, pas waktu攻略 habis, good favor tidak cukup buat masuk rute pribadinya.
Makanya, Suzuna resmi dianggap “heroine sulit ditaklukkan”. Mungkin ada yang nanya, apa sih yang imut dari dia? Tapi justru karena itu, pas dia mulai manis atau bener-bener manis, dampaknya luar biasa!
Jadi, kalau aku terapin pengetahuan game ke dunia nyata, mungkin Suzuna sekarang, di balik ekspresi cueknya, sebenarnya mulai suka sama aku (tentu saja, sebagai kakak-adik)! Tapi bisa aja sebaliknya.
“Eh, Suzuna,” panggilku.
“…” Dia tidak dengar, fokus banget.
Yah, sudahlah. Tidak perlu ganggu dia yang lagi serius, lagipula aku tidak punya topik penting. Aku cuma impulsif manggil, kalau dia bales, mungkin aku malah bingung. Jadi… “beruntung” dia tidak dengar, kali ya.
Aku pun ngerjain PR sendiri sambil ngeliatin adikku yang lagi berusaha.
***
Entah kenapa, setelah momen itu, aku jadi penasaran sama kehidupan Suzuna di sekolah. Kazuna bilang nunggu, tapi… ngeliat dari jauh kan tidak apa-apa, ya?
Jadi, pas istirahat makan siang, aku ke kelas Suzuna. Aku tidak bakal nyapa atau bilang aku kakaknya (tepatnya sepupu). Cuma lewat doang, kayak anak SMP biasa.
(Pasti kelas 1-A, ya…) pikirku.
Di lantai kelas satu, aku jalan santai, pura-pura lagi jalan-jalan. Kok kayak ada yang ngeliatin? Apa perasaan doang? Bedanya cuma warna garis di sepatu dalem sama emblem kelas di kerah. Tidak mungkin orang pada ngecek satu-satu, jadi aku tidak terlalu mencolok… kayanya.
(Tapi kalau ada yang ngeliatin, cuekin. Fokus ke Suzuna,) kataku dalam hati.
Cepet, masuk, lihat, kabur. Kalau Suzuna tahu aku ngintip, dia bisa mikir, “Apaan sih, ngapain ke kelas? Eww…” Aku bakal sedih banget.
(Sembunyi, sembunyi…)
Dari pintu belakang kelas 1-A, aku ngintip sambil pura-pura santai. Suzuna… ketemu!
Dia duduk di kursi belakang deket jendela, tempat yang biasa disebut “kursi protagonis”, mungkin karena dia anak pindahan dan itu kursi kosong. Sesuai info Kazuna soal dia tidak nyatu sama kelas, Suzuna cuma duduk sendirian, baca buku, tidak ngobrol sama siapa-siapa.
Bukan dia doang yang gitu, tapi di kelas yang rame pas istirahat, dia kelihatan mencolok. (Anak pindahan, cantik, temen sekelas pasti tidak bakal cuekin… berarti masalahnya dari Suzuna.)
Aku lihat sekeliling. Ada grup cewek agak jauh yang sesekali melirik Suzuna. Mereka tidak heboh, tapi kelihatan baik. Pasti peduli sama Suzuna, tapi bingung cara nyapa. Aku ngerti, aku pernah gitu (di kehidupan sebelumnya). Makasih, ya, udah peduli sama adikku.
(Kalau Suzuna mau, situasinya bisa berubah. Untungnya, kayaknya dia tidak di-bully karena sendirian.)
Di game, Suzuna tidak punya masa lalu di-bully, tapi orang yang menonjol kadang jadi sasaran. Aku agak khawatir, soalnya Suzuna cantik! Di manga, bullying antar cewek kadang gara-gara, “Kakak yang aku suka bilang dia suka kamu! Kamu genit, ya!” Serem banget.
(Ngintip dikit, Suzuna baca buku apa, ya? Kalau tahu genre yang dia suka, bisa jadi bahan obrolan…)
“Akhirnya ketemu!” tiba-tiba suara familiar terdengar.
“Hah?” Aku menoleh.
Kazuna berdiri di sana! Kenapa dia di sini!?
“Duh, ngapain sembunyi di lantai kelas satu cuma buat kabur dari panggilan guru?” katanya.
“Guru?” tanyaku bingung.
“Ayo, ikut!” katanya, narik lenganku.
Kok kayaknya orang-orang di koridor pada ngeliatin banget!
“Oi, Kazu—” protesku.
“Sst! Eiji-chan diam aja!” potongnya cepat.
Protesku langsung diblokir. Aku ditarik menjauh dari Suzuna dan dibawa ke sudut lantai ruang praktikum yang sepi.
“Eh, Kazuna-san? Kayaknya marah, ya…” kataku hati-hati.
“Ya iya lah! Duh… tidak nyangka Eiji-chan bakal ngintip Suzuna-chan. Tapi kalau dipikir, memang sih khas kamu,” katanya.
“…Tapi,” belaanku lemah.
“Dengan sifat Suzuna-chan, dia pasti tidak suka kalau kehidupan sekolahnya diam-diam diintip, tahu!” katanya.
“Ugh…” Aku tidak bisa bales.
“Ta-tapi makanya aku hati-hati biar tidak ketahuan!” kataku.
“Eiji-chan tidak bakal bisa!” katanya tegas.
“Hah!?” seruku kaget.
“Tadi kamu ketahuan banget. Kakak kelas tiga yang ngintip kelas serius gitu, orang-orang pada takut. Katanya susah masuk kelas,” katanya.
“Bohong!?” kataku tidak percaya.
“Beneran. Duh, pokoknya!” katanya sambil mendesah panjang.
Aku kira aku ngintip dengan sempurna… tapi Kazuna tidak kelihatan bohong. Operasi gagal.
“Tapi kamu sendiri kan udah beberapa kali ngintipin Suzuna,” kataku.
“Aku beneran hati-hati biar tidak ketahuan!” balasnya.
“Gimana caranya!? Cewek secantik kamu mana mungkin tidak ketahuan!” kataku.
“Hah!?” Kazuna memerah, matanya membulat.
Reaksi lebay banget!
“A-aku tidak cantik!” katanya.
“Siapa pun lihat, kamu cantik!” kataku.
“…Eiji-chan juga mikir gitu?” tanyanya pelan.
“Menurut siapa pun, termasuk aku!” kataku.
“Oh… gitu…” katanya, naruh tangan di pipi kayak nyoba ngademin muka. Lebay banget!
Tapi memang, bilang cantik langsung gitu emang bikin canggung. Itu pujian murni. Kalau dia malah bilang, “Hah? Cantik? Terus kenapa?” malah tidak imut.
Intinya… Kazuna memang luar biasa!
“Ngomong-ngomong, hati-hati biar tidak ketahuan itu maksudnya apa?” tanyaku.
“Ganti gaya rambut, gitu…” katanya.
“…” Itu doang!? Mana mungkin cukup!
Aku mau protes, tapi kayaknya bakal balik ke awal, jadi sudahlah. Kalau Kazuna bilang gitu cukup, aku tidak bakal ngomong apa-apa lagi.
“Pokoknya, Eiji-chan kakaknya Suzuna-chan, jadi harus hati-hati. Kalau terlalu mencolok, bisa bikin Suzuna kena gosip,” katanya.
“Maaf…” kataku, tidak bisa bales.
Hidupku tidak cuma milikku lagi. Agak lebay, tapi bener.
“Tapi kebetulan, aku mau ngomong sama kamu,” kataku.
“…Apa?” tanyanya, langsung waspada.
Parah, cuma karena aku puji cantik tadi. “Kebetulan, maksudnya ngomong yang tidak bisa di depan orang,” kataku.
“Bukan gitu… kalau kita ngobrol di kelas, apapun isinya, pasti ketahuan. Kamu kan terkenal,” kataku.
Cewek kelas tiga kayak Kazuna yang udah penuh pesona heroine pasti punya banyak penggemar cowok. Bahkan di antara temenku ada yang naksir. Kami tidak sembunyiin fakta bahwa kami temen masa kecil, tapi juga tidak umbar-umbar. Dulu kami agak jaga jarak, jadi tidak ada yang curiga. Tapi kalau sekarang kami tiba-tiba kelihatan deket, orang bisa salah paham, kayak kami pacaran diam-diam. Itu bisa nyusahin Kazuna. Bukan selevel manga soal bullying, tapi godain-godain soal cinta-cintaan itu ada.
“Tapi yang terkenal kayaknya Eiji-chan, deh,” katanya, ngelantur.
Memang, Eiji Kanzaki ini cukup oke. Tapi toh cuma peran pendukung. Meski aku tidak ngerasa gitu, cewek kayaknya jeli banget ngebaca “potensi” cowok, makanya tidak ada yang ngejar aku. Lagipula, sampe urusan Suzuna selesai, aku tidak mikirin pacaran. Beneran…
Pokoknya, penilaian orang lain gitu. Dibandingkan Kazuna yang heroine, aku tidak sebanding. Tapi itu tidak penting sekarang.
“Ya pokoknya kita sama-sama terkenal, lah. Yang mau aku omongin… soal Suzuna,” kataku.
“Iya, iya, udah ketebak,” katanya, kayak kesal.
Rude banget. “Kamu masih kontakan sama Suzuna, kan?” tanyaku.
“Iya, dia suka curhat sama aku,” katanya.
“Curhat!?” seruku kaget.
“Isinya tidak aku kasih tahu, meski kamu kakaknya,” katanya.
“Ugh… aku tahu,” kataku.
Dia melotot, bikin aku ciut. Ngintip kelas aja udah kena semprot, apalagi nyoba nanya curhatan. Lagipula, kalau itu penting, Kazuna pasti bakal kasih tahu tanpa aku tanya. Tapi denger dia curhat, aku tidak bisa cuek.
“Kalau gitu, kesan kamu setelah dia curhat apa? Itu boleh diceritain, kan?” tanyaku.
“Hmm…” Kazuna taruh jari di dagu, pejamkan mata beberapa detik, mikir. “Kalau cuma kesanku, boleh,” katanya.
“Iya,” kataku.
“Aku rasa Suzuna-chan suka sama Eiji-chan,” katanya.
“Hah!?” seruku.
“Eh… tidak benci, maksudnya?” katanya, buru-buru revisi.
“Jangan dikurangin gitu!” kataku.
Tapi “tidak benci” aja udah bikin senang. Aku pernah berharap Suzuna mulai buka hati, tapi belum bisa ekspresikan. Tapi kalau orang lain, apalagi Kazuna yang aku percaya, bilang gitu, aku jadi berharap banget—meski tahu kalau harapan itu salah, sakitnya bakal gede.
Mungkin Suzuna cuma susah jujur, tapi sebenarnya… “Tapi kayaknya ada sesuatu yang ngeganjal di hatinya. Apa itu… kayaknya dia tidak bakal kasih tahu aku juga,” kata Kazuna.
“Oh…” kataku.
“Makanya, Eiji-chan! Tabrak aja!” katanya.
“Hah!? Tabrak!?” seruku.
“Ajakin jalan, gitu! Berani tidak?” katanya.
“Bukannya kamu bilang nunggu dulu?” tanyaku.
“Dulu aku juga bilang tindakan yang tepat beda tiap waktu, kan?” katanya.
“Oh, iya…” kataku.
“Tapi ngintip tetep tidak boleh,” tegasnya.
“Iya…” kataku.
Minta jawaban pasti cepet-cepet itu kebiasaan buruk orang dewasa. Harus fleksibel kayak anak-anak. “Suzuna-chan mungkin lagi nyari pemicu. Pemicu buat bener-bener jadi keluarga sama Eiji-chan,” katanya.
“Bener… ya,” kataku.
Kalau udah sejauh ini, tinggal selangkah lagi.
(Tapi… sekarang aku ngerasa Kazuna lebih kayak karakter pendukung daripada heroine,) pikirku.
Kayak temen yang kasih petunjuk pas kita bingung langkah selanjutnya, atau partner detektif yang ngobrol ngalor-ngidul tapi nyanyi kasih clue. Di game cinta, sering ada karakter gitu. Di Langit Berwarna Cinta, adik kembar yang kasih strategi, meski tidak bilang langsung good favor heroine.
Sekarang aku lagi gencar “strategi” Suzuna, jadi aku kayak nyusahin Kazuna, yang seharusnya heroine, buat bantu aku. Gara-gara keegoisanku.
“Apa? Kenapa, Eiji-chan?” tanyanya.
“Oh, tidak… cuma mikir, kalau ajak jalan, ke mana ya enaknya?” kataku.
“Sampai gitu aja tanya aku?” katanya, melotot lagi.
Memang, pertanyaan cowok banget yang memalukan.
“Kalau aku sih…” kata Kazuna.
“Oh!” seruku.
“…Apa?” tanyanya.
Aku cuma mikir dia bakal jawab… senang sih.
“Bukan apa-apa! Lanjutin!” kataku.
“Duh… kalau aku, asal Eiji-chan mikirin aku pas ngajak, ke mana aja aku senang,” katanya.
“Hah?” kataku.
“Sekarang apa lagi?” tanyanya.
“Eh… hmm…” Aku bingung, harus tunjukin apa abaikan.
Aku ragu, tapi kalau ragu toh sama aja, jadi aku jujur. “Kamu bilang seolah-olah aku yang ngajak,” kataku.
“…Hah?” katanya.
“Bukannya kamu bilang ‘kalau Eiji-chan mikirin aku pas ngajak’?” kataku.
“Oh…!” Kazuna baru sadar.
Reaksiku bikin dia lebih panik. Mukanya merah banget, kayak kena flu. “B-bukan! Bukan gitu!” katanya.
“Tenang, Kazuna,” kataku.
“Kan kita ngomongin Eiji-chan ngajak Suzuna-chan! Jadi tidak aneh kalau bilang Eiji-chan ngajak! Lagipula, kalau cowok lain ngajak, aku… ugh, aku malah ngejebak diri sendiri!?” katanya panik.
“Udah, tenang. Oke?” kataku.
Dia panik banget, malah bikin aku kalem. Omongannya tadi kayaknya asal ngomong karena panik, mending tidak dianggap serius.
Pokoknya, tenangin dia dulu. Meski di sudut sekolah yang sepi, kalau ribut, bisa narik perhatian. “Kazuna,” kataku, naruh tangan di bahunya, goyangin pelan, tatap matanya buat nenangin.
Tapi dia malah membelalak, tambah panik. “Maaf, aku yang nanya, malah kepikiran aneh. Kamu bener, aku salah. Mungkin aku kelewat percaya diri,” kataku.
“Iya, Eiji-chan bodoh! Cowok nol sensitivitas!” katanya.
Kata-katanya pedes, tapi dia udah tenang. Bagus.
“Aku pikirin sendiri dengan jujur,” kataku.
“Iya, gitu dong,” katanya, masih agak canggung, tapi tersenyum.
“Tapi, harus ngapain ya…” kataku.
“Hah, beneran…! Eh, Suzuna!?” seru Kazuna.
Tepat pas aku mikir bakal narik perhatian, seseorang datang. Adikku, Suzuna!
“Kenapa di sini…?” tanyaku.
“Kenapa apa,” katanya.
Apa dia denger obrolan kami!? Tapi kalau denger, dia tidak bakal muncul, kan?
“Katanya orang-orang pada ribut soal senpai kelas tiga,” katanya.
“Hah!?” seruku.
“Lihat…” katanya.
“Bukan ‘orang-orang’, kamu juga kan ikutan!” kataku. Kazuna mau lepas tangan, tapi dia juga pelaku!
“Tapi kok tahu di sini?” tanyaku.
“Sering lihat Senpai ngobrol di sini,” katanya.
“Oh,” kataku.
Jadi ini tempat ketemuan rahasia Kazuna? Makanya dia bawa aku ke sini, dan Suzuna tahu tanpa ngintil. Berarti… ini tempat berbahaya buat ngomongin Suzuna!
“…Hehe,” tawa Kazuna.
“Hehe apaan!” kataku.
“Aduh!” Kazuna kena chop kecil karena nyengir.
“Jadi, kalian berdua ngapain di depan kelas satu?” tanya Suzuna.
“…” Kami diam.
“Jangan-jangan… ngintip aku?” tanyanya.
“B-bukan gitu…” kataku.
“Aku juga denger, ada Senpai cowok yang ngintip kelasku,” katanya.
Bused…! Meski cuma kabar burung, aku ketahuan total!!
Suzuna melotot setengah mata, minta penjelasan. Aku lihat Kazuna minta tolong, tapi dia cuma pegang kepala yang kena chop, pura-pura tidak tahu. Iya, aku salah chop, tapi cuma pelan!
“Eiji-san?” panggil Suzuna.
“I-iya,” jawabku.
“Eiji-san mencolok, jadi jangan gitu lagi,” katanya.
“Ugh… maaf,” kataku.
Kata-kata Kazuna tadi diulang Suzuna. Tidak ada alasan buat membela diri.
“Soalnya… kalau tahu diliatin, jantungan,” katanya pelan, hampir tidak kedengeran.
“Hah?” kataku, tidak ngerti maksudnya.
“Suzuna…” panggilku, tapi dia udah kabur cepet.
(Jantungan… cuma ganggu? Atau…?) Aku tidak ngerti Suzuna sepenuhnya, tapi aku pengen ngerti. Makanya sekarang rasanya gatal. Ngejar buat nanya maksudnya tidak mungkin.
“Eiji-chan,” kata Kazuna, naruh tangan di bahuku.
Dia yang cuma nonton tadi tersenyum, acungkan jempol. “Keren!” katanya.
…Keren apaan? Aku cuma mengangguk, meski tidak ngerti. Kazuna tahu sesuatu yang aku tidak sadar, dan itu bikin aku kesal. Aku baru sadar harusnya tanya dia setelahnya, gara-gara gengsi bodoh.
***
“Jalan-jalan… jalan-jalan, ya…” gumamku.
Sampai rumah, aku ngurung diri di kamar, rebahan di kasur sambil mikir. Kata-kata Suzuna tadi mengganggu, tapi sekarang aku harus fokus ke rencana jalan-jalan.
Jalan-jalan… kalau umum, bisa disebut kencan. Tapi tidak ada yang bilang jalan sama adik itu kencan. Kecuali… kakak yang super sayang keluarga, mungkin. Tapi tujuan kali ini tidak sehangat kencan. Meski Suzuna pengen deket sama aku, salah pilih tempat bisa bikin semuanya berantakan. Ini beda sama obrolan biasa, harus hati-hati banget.
“Tapi… kencan, ya…” kataku.
Jalan sama adik susah dibayangin, tapi kalau kencan, aku punya petunjuk. Aku ambil buku catatan pengetahuan game yang sering aku cek. Meski udah hafal, aku cek lagi.
“Tempat kencan yang bagus buat Suzuna di game… bioskop, belanja, game center,” kataku.
Ada event “hari libur umum” di game. Ajak heroine buat jalan bareng… alias kencan. Bukan cerita panjang yang udah ditulis, tapi kombinasi heroine dan tempat kencan yang bikin jalannya beda.
Setiap heroine punya tempat kencan favorit dan yang tidak disukai. Pilihan tempat dan keputusan di sana bakal naikin atau nurunin good favor. Sistemnya gitu.
Beruntung banget punya pengalaman dari kehidupan sebelumnya. Apalagi info ini aku dapet dari main ulang berkali-kali sebagai berbagai protagonis, tanpa ngandalin situs strategi. Jadi lebih meyakinkan.
“Oh iya…” kataku.
Aku buka halaman lain di catatan, yang nyatet info heroine lain, termasuk halaman Kazuna Amamiya, buat jaga-jaga.
“Tempat kencan favoritnya taman sama kafe… heroine hemat yang ramah dompet,” gumamku.
Kazuna Amamiya termasuk heroine ramah pemula dengan tingkat kesulitan rendah. Karakternya senpai yang keibuan, penuh keramahan, dan atributnya jelas, makanya populer. Biaya kencan di game biasanya ditanggung protagonis, jadi tempat yang tidak terlalu mahal kayak taman atau kafe bikin dia makin disukai.
“…Eh, kebawa. Sekarang fokus ke Suzuna,” kataku.
Meski ngandelin pengetahuan game sepenuhnya tidak bagus, ini cukup jadi pegangan. Pilihannya bioskop atau game center. Keduanya ada plus-minus. Di kehidupan sebelumnya, pas jadi pekerja aku jarang main game, dan di dunia ini juga tidak terlalu. Jadi game center agak susah buatku. Bioskop lebih aman, meski harus tahu selera Suzuna.
“Film yang lagi tayang apa ya…” kataku, mau buka ponsel.
“Eiji, makan malam!” panggil ibu.
“Oh, iya!” jawabku.
Tepat pas ibu manggil. Di rumah ini, panggilan ibu buat makan itu hukum. Meja makan adalah tempat kumpul keluarga, makanya Suzuna di game… eh, kok mikir ke situ.
“…Laper,” gumamku.
Sudah, sudahlah. Mikir bikin laper. Sekarang istirahat dulu, isi energi.
***
“Pergi! Selesaikan semuanya dan bawa kedamaian ke galaksi!”
“Wooo!!”
Wah… plotnya seru banget.
Setelah makan, aku selonjoran di sofa, ngelamun sambil nonton TV. Kebetulan lagi tayang film, seri SF terkenal, bagian ketiga. Aku tidak nonton yang pertama dan kedua, jadi bingung, tapi kelihatan seru. Cuma itu yang aku ngerti.
“Seru?” tanyaku ke Suzuna.
“…Biasa,” jawabnya.
Suzuna duduk di sofa yang sama, tapi jaga jarak satu orang dari aku. Dia juga kelihatan lelah, ngeliatin TV. Ibu lagi cuci piring, ayah lagi ngerokok di luar.
(Tidak kayak pecinta film…) pikirku.
Dia tidak main ponsel, matanya ke TV, tapi sorotnya kosong, tidak fokus. Kayak aku, cuma nonton buat ngilangin bosan abis makan.
“…Eiji-san suka film?” tanyanya tiba-tiba.
Whoa, Suzuna yang mulai!? Otakku yang ngantuk langsung melek, tapi aku tahan diri biar tidak kelihatan heboh. Jangan sampai dia kaget.
“Cukup suka,” kataku kalem, pura-pura santai.
Ini kode, lho. “Tapi aku lebih suka nonton di bioskop ketimbang TV,” tambahku, nyebar kode lagi.
Momen ini kesempatan! Aku harus siapin tanah biar bisa ngajak nonton film dengan natural.
“Hmm…” Suzuna cuma bales datar, kayak kurang tertarik. Tapi lumayan.
Setidaknya, dia kelihatan tidak suka film SF macam yang lagi tayang. Kalau anak SMP cewek, apa suka film romansa dari manga? Atau itu lebih buat SMA?
“Kalau Suzuna suka film?” tanyaku.
“…Ya, biasa aja,” katanya.
“Biasa aja”. Kata yang ambigu. Tapi jarang orang bilang “biasa aja” buat sesuatu yang dibenci. Jadi… agak suka, kali ya?
“Tapi…” katanya, lalu berhenti.
Bukan ragu, kayak narik balik kata-katanya.
“Karakter game nasional itu muncul di layar!”
TV masuk iklan. Yang muncul iklan film yang lagi tayang, adaptasi dari seri Super Makio, pendahulu Makio Tennis yang pernah aku main bareng Suzuna. Judulnya Super Makio Brothers: The Movie.
“…” Suzuna ngeliatin iklan itu serius, jauh lebih antusias dibandingkan film tadi.
“Eh, Suzuna,” panggilku.
“Apa?” jawabnya.
“Besok kosong tidak?” tanyaku.
“…Apa?” katanya, nada waspada.
Wajar sih, tiba-tiba ditanya jadwal. “Besok kan libur sekolah. Kalau kosong, mau nonton film tadi bareng?” kataku.
“Hah?” Suzuna membelalak.
Segitu kagetnya!? Aku coba ngomong santai, meski dalem hati deg-degan banget.
“Ada bioskop tiga puluh menit naik kereta, di mal. Nonton siang, terus makan apa gitu. Gimana?” kataku, jaga nada ringan, kayak “boleh nolak kok”. Padahal kalau ditolak, aku bakal sedih.
Suzuna nunduk, mikir. Iklan udah selesai, dia tidak lihat TV sama sekali. Suasananya… kayak bakal ditolak. Aku udah mulai down.
“…Boleh,” katanya.
“Hah? Terlalu mendadak, ya… tunggu, apa tadi?” tanyaku, tidak percaya.
“Boleh. Aku ikut,” katanya.
“Hah!?” seruku.
Aku tidak ngerti dia ngomong apa. Dua kali denger, tetep tidak nyata. Dia bilang “boleh”, bukan halusinasi, bukan “boleh” dalam artian nolak, tapiPLEASE, tadi apa yang kamu bilang!? “Beneran boleh!?” tanyaku.
“…Kenapa harus konfirmasi berulang?” tanyanya.
“Soalnya… ya, iya. Tanya berkali-kali aneh, ya,” kataku.
Pipi aku rasanya melorot saking senengnya. Bukan mimpi, kan? Nyata, kan? Tidak nyangka Suzuna setuju gitu aja. Jalan bareng Suzuna beneran kejadian!
Nonton film bareng, makan siang, mungkin sambil belanja, kami bisa kayak kakak-adik beneran! Sambil bayangin itu, aku buru-buru cek jadwal tayang. Cepet-cepet manfaatin momen!
Cek tempat duduk… oke. Meski H-1, masih bisa pesen online. Aku tidak punya kartu kredit karena umur, jadi tidak bisa bayar dulu, tapi kalau ke bioskop cepet buat bayar dan ambil tiket, bisa pesen tempat dulu. Praktis banget zaman sekarang.
“Suzuna, jam segini oke? Pukul 11:30,” kataku.
“Iya,” jawabnya.
“Mau duduk di mana?” tanyaku.
“Eh… belakang, kayaknya,” katanya.
“Di sini?” tanyaku.
Aku tunjukin laman pemesanan tiket di ponsel, biar pilih bareng. Aku bisa pilih sendiri, tapi mumpung deket, aku coba dekatin dia.
“Eh, ehmm,” katanya, agak bingung, tapi ngeliatin layar ponselku.
Kami ngeliatin satu layar bareng… ini udah kayak kakak-adik banget!
“Iya, oke,” katanya.
“Yosh! Aku pesen tiketnya!” kataku.
“Iya… eh, a-aku tiba-tiba inget ada yang harus aku lakuin!” katanya, buru-buru balik ke kamar.
Biasanya aku bakal down, takut dia kesel aku kebanyakan ngomong. Tapi sekarang tidak!
Bisa dibilang aku baru saja bikin janji buat nonton film bareng Suzuna! Ini kayak level di bawah Tuhan Yang Maha Tahu dan Maha Kuasa, tapi tetep keren banget!
Ditolak sedikit tidak masalah. “Hehe, mau pamer ke Kazuna!” kataku.
Aku udah di awang-awang. Sambil selonjoran di sofa, aku kirim pesan ke Kazuna, “Jadi nonton film bareng Suzuna!” Balasannya cuma “Bagus deh” yang datar, tapi itu cuma bikin semangatku makin membara.
Mungkin ini momen paling heboh sejak aku reinkarnasi. Tapi justru karena itu, aku tidak mikirin apa-apa.
Saat itu, aku tidak tahu sama sekali apa yang Suzuna rasain, perubahan hati apa yang bikin dia terima ajakanku. Aku bener-bener tidak ngeliatin Suzuna.
***
Tapi ya, besok itu datang cepet banget. Aku tidak sempat deg-degan, tahu-tahu udah hari H. Sekilas aku mikir, apa lebih baik jadwalnya mundur dikit? Tapi kalau kebanyakan waktu, aku malah bakal makin cemas, jadi mungkin ini udah pas.
Pagi hari janjian sama Suzuna, kami sarapan bareng keluarga seperti biasa. Suasana libur banget—kecuali ibu, semua masih pake piyama, santai abis.
“Suzuna-chan, hari ini mau nonton film sama Eiji, ya?” tanya ibu.
“Iya,” jawab Suzuna.
Tentu aja, karena cuma kami berdua (meski udah kelas tiga dan satu SMP), aku udah lapor ke orang tua. Mereka seneng banget. Apalagi mereka sempat khawatir karena dulu aku cuek sama Suzuna pas dia baru datang. Maaf banget soal itu.
“Nonton film, ya… sejak Eiji gede, kita jarang nonton bareng keluarga,” kata ayah.
“Iya, soalnya selera kita beda-beda,” tambah ibu.
“Oh, gitu ya,” kata Suzuna, melirikku.
“Biasanya kalian nonton film apa?” tanyanya.
“Ayah suka yang action keras. Aku suka yang road movie, yang kalem gitu,” kata ibu.
“…Eiji-san?” tanya Suzuna.
“Aku sih apa aja, kecuali horor,” kataku cepet, biar orang tua tidak kasih info aneh.
Sebenarnya, selera filmku udah campur aduk gara-gara ingatan kehidupan sebelumnya. Dulu, aku tidak terlalu peduli film, ke bioskop cuma buat nemenin, dan kalau dipaksa bilang, aku kurang suka animasi buat ukuran anak seusiaku.
Tapi di kehidupan sebelumnya, kebalikan. Aku suka suasana bioskop, sering ke sana pas libur karena relatif murah. Film animasi juga sering aku tonton. Cuma, kayak yang aku bilang, horor aku tidak tahan sama sekali—psikologis, hantu, zombi, apa pun yang berbau horor bikin aku lelet. Bahkan trailer atau poster di dinding bioskop bisa bikin aku deg-degan.
Jadi, selera filmku sekarang mostly ditimpa sama kehidupan sebelumnya, yang awalnya tidak terlalu kuat. Tapi sejak ingat kehidupan sebelumnya, aku belum ke bioskop lagi.
(Makanya, kalau orang tua bilang, “Kamu aneh, anak kecil tapi tidak suka film animasi,” bisa repot. Hari ini kan nonton animasi berbasis game, meski CG.)
Kalau dikira aku cuma ngikutin selera Suzuna, dia bisa tidak enak. Hari ini, aku mau hindarin hal-hal yang bikin tidak nyaman. Pengennya cuma fun aja.
“Oh, Eiji tidak suka horor, ya?” kata ayah.
“Iya,” jawabku.
“Ayah juga tidak suka. Kirain Eiji kuat… ternyata bapak-anak, ya. Suzuna-chan gimana?” tanya ayah.
“Aku… kayaknya oke. Tapi aku jarang nonton sih,” kata Suzuna.
“Sama kayak aku, dong. Hehe,” kata ibu, senyum senang.
Suzuna juga senyum tipis. Suasananya bagus banget.
“Kenapa, Eiji? Muka kamu kayak gatal,” kata ayah.
“Tidak gitu! Terima kasih makanannya,” kataku, buru-buru selesai makan.
Ngobrol keluarga enak, tapi aku harus siap-siap. “Suzuna, jam 10:30 berangkat, oke?” tanyaku.
“I-iya. Aku juga selesai makan!” katanya, buru-buru selesai, mungkin tidak mau kelamaan pake piyama. Aku sih ngerasa piyama Suzuna imut. Imut.
Tapi aku juga excited lihat baju jalan-jalannya nanti. “Eiji, hati-hati, ya,” kata ayah.
“Seneng-seneng, ya!” kata ibu.
“Oke!” jawabku.
Dengan doa restu (dan uang saku ekstra buat hari ini), aku mulai siap-siap.
***
Bioskop ada di mall, 20 menit naik kereta bawah tanah, 10 menit jalan kaki, total 30 menit. Kedengeran jauh, tapi di kota yang keretanya nyambung ke mana-mana, tidak terasa repot.
“Untung dapet duduk,” kataku.
“Iya,” jawab Suzuna.
Kami goyang-goyang di kereta, ngobrol ringan. Aku agak tegang, jadi tidak bisa bikin obrolan seru, tapi ya tidak apa-apa.
Suzuna pake kemeja, rok, dan kardigan yang cocok sama cuaca musim semi—simple tapi bahan bagus, koordinasi sempurna. Intinya, imut. Keren. Bikin deg-degan. Pengen teriak ke seluruh dunia, “Ini adikku, lho!”
Suzuna kelihatan tenang. Masih agak kaku, tapi tidak nolak ngobrol sama aku. Ekspresinya juga terasa lebih lembut. Meski tidak mau kebanyakan mikir masa lalu, dibandingkan awal, dia jauh lebih ceria.
(Kok rasanya mata panas…) pikirku.
“Eiji-san,” panggil Suzuna, narik lengan bajuku.
“Stasiun kita di sini, kan?” tanyanya.
“Oh, iya! Turun!” kataku.
Hampir kelewat! Kami buru-buru turun, dan pintu kereta langsung nutup. Pas banget.
“Hampir aja… makasih, Suzuna. Eh, kok tahu stasiun ini? Kan belum terlalu hafal daerah sini?” tanyaku.
“Cuma… pernah denger namanya,” katanya.
“Oh, gitu. Untung deh,” kataku.
Tidak boleh kebanyakan larut dalam momen bahagia sama Suzuna. Aku kencengin semangat, keluar gerbang tiket, menuju pintu keluar 4 ke mal.
“Yosh, ke sini… eh? Suzuna?” kataku, menoleh.
Suzuna malah ngeliatin arah sebaliknya, ke papan pintu keluar 2. “Kenapa? Bioskop di sini, lho,” kataku.
“Oh… i-iya,” katanya, buru-buru nyusul.
Ada apa, ya? “Masih ada waktu sebelum film mulai. Kalau ada yang pengen diliat, kita mampir dulu?” tanyaku.
“…Tidak, tidak apa-apa,” katanya.
Ada jeda singkat, hampir tidak kelihatan, tapi dia nolak. (Agak penasaran… tapi jangan kebanyakan mikir, kali ya.)
Aku juga suka ngeliatin label kaleng kopi pas bengong, jadi mungkin Suzuna cuma gitu. Artinya, tugas kakak adalah bikin suasana seru biar dia tidak bosen!
“Ngomong-ngomong, untung hari ini cerah, ya~” kataku.
“Iya…” jawab Suzuna.
Aku keceplosan ngomongin cuaca—klise banget, apalagi di stasiun kereta bawah tanah. Tapi ya sudahlah! Lebih baik gitu daripada diam awkward. Lagipula, cuaca bagus beneran. Kata ramalan, hari ini cerah seharian tanpa awan.
Meski rencananya lebih banyak di dalam ruangan, cuaca cerah tetep bikin mood bagus. Cuma buat perjalanan, kalau hujan, hari ini bisa jadi bete.
***
“Wah, rame banget,” kataku.
Sampai di bioskop, lobi penuh sesak. Banyak keluarga, dan kayaknya tujuannya sama kayak kami: Super Makio Brothers: The Movie. Brand Makio emang kuat banget.
(Ngomong-ngomong, di kehidupan sebelumnya, ada karakter mirip tapi beda yang duduk di posisi sama, ya…) pikirku.
Mungkin karena aku reinkarnasi ke dunia galge, tapi kalau diperhatiin, banyak brand di sini yang mirip tapi beda sama dunia sebelumnya. Industri ini emang penuh parodi, jadi tidak aneh. Buat aku di dunia ini, itu hal biasa. Bikin aku ngerasa beneran di dunia lain, tapi tidak perlu dipikirin terlalu dalam.
Yang lebih penting, Suzuna. Dia bales obrolan dengan baik, dan itu bikin aku seneng. Tapi dari tadi dia kayak melamun, mikirin sesuatu, atau tidak fokus. Bisa aja topikku kelewat biasa sampai dia bosen, atau mungkin dia capek karena lama tidak jalan-jalan.
“Aku mau ambil tiket yang udah dipesen. Sekalian ke toilet. Ketemu lagi di sini, ya,” kataku.
Kebetulan ada sofa kosong di depan. Aku pikir Suzuna perlu waktu sendiri buat rileks, jadi aku usulin gitu.
“…Oke,” katanya, mengangguk pelan.
Tapi dia tetep kelihatan melamun. Semoga istirahat bikin dia lebih santai. (Apa aku bikin dia tidak nyaman?) pikirku.
Aku sadar aku sendiri juga tidak tenang. Tegang, excited, soalnya jalan berdua sama Suzuna kayak mimpi. Tapi aku tidak boleh bikin dia tertekan. Aku lebih tua, apalagi punya pengalaman hidup ekstra.
(Harus lebih tenang. Harus…) Aku tidak boleh kebanyakan heboh. Tujuan akhir bukan cuma ini. Aku mau jadi keluarga beneran sama Suzuna, bikin dia bahagia, sampe tidak butuh diselamatin lagi. Aku tidak lupa tujuan itu, tapi harus kencengin fokus.
“Pokoknya, ambil tiket dulu. Popcorn… beli bareng Suzuna nanti aja,” kataku, sambil nyelonong ke mesin tiket di tengah keramaian.
***
“…Lama,” gumamku.
Udah ambil tiket, cuci tangan, balik ke sofa… tapi Suzuna tidak ada. Aku pikir dia jalan-jalan bentar, jadi aku tunggu. Tapi udah 15 menit sebelum film mulai, orang-orang udah masuk studio, dia masih tidak balik.
Lobi udah sepi, keluarga-keluarga udah masuk, tapi Suzuna tidak kelihatan. “Jangan-jangan… ada apa-apa!?” kataku, panik.
Mungkin dia kena masalah serius! Aku coba kirim pesan, tidak ada balasan. Beberapa menit kemudian, pesanku kebaca.
“Suzuna!” Aku lihat sekeliling, tapi dia tidak ada.
‘Maaf’
Pesan itu muncul tiba-tiba.
‘Aku ingat ada urusan’
‘Sorry’
‘Jangan khawatir’
‘Maaf’
‘Maaf’
Pesan datang bertubi-tubi, kayak buru-buru ngetik. Cuma teks, tidak ada jaminan Suzuna yang nulis. Tapi entah kenapa, aku yakin ini dia. Gaya ngetiknya yang panik cocok banget sama imagenya Suzuna yang ngerasa bersalah karena tiba-tiba ninggalin janji.
(Suzuna aman… tapi, apa yang terjadi?) pikirku.
Kenapa dia tiba-tiba hilang? Aku tidak nyangka sama sekali. Kakiku lelet, badanku dingin.
Mungkin aku harus biarin dia sendiri… pikiran lemah gitu muncul. Tapi, di balik pesan ini, mungkin dia pengen diselamatin, meski tidak sadar.
(Kalau gitu… aku harus selamatin. Aku kan kakaknya!) kataku dalam hati.
Pikir. Suzuna pasti tidak bakal cerita meski ditanya. Kenapa dia tiba-tiba pergi? Ke mana?
Pagi tadi dia masih biasa, kayak excited buat nonton. Kalau dari awal dia niat kabur, ngapain dia repot-repot datang terus kabur? Ditch last minute gitu juga bikin stress, apalagi Suzuna tidak tebal muka.
Pasti ada pemicu. Sesuatu yang bikin dia pergi tanpa bilang apa-apa. Dan aku… mungkin tidak ngeh sama pemicu itu.
“Pikir! Pikir…!” kataku, panik.
Waktu tidak berhenti. Tapi ini titik balik. Momen yang bisa bikin kami jadi kakak-adik beneran, atau malah gagal. Ini krisis, tapi juga peluang. Aku tidak yakin, cuma harapan, tapi itu bikin aku semangat.
“Suzuna…!” kataku.
Dada sesak, jantungan, keringet dingin… tapi aku tetep mikir keras, percaya Suzuna ada di ujung pikiranku.
Post a Comment