-->
NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Gimai Seikatsu Volume 4 Chapter 10

Chapter 10 - 26 September (Sabtu) Asamura Yuuta


Setelah sarapan, aku langsung meninggalkan rumah dan mengayuh sepeda menyusuri jalan Omotesando. Meskipun jam belum memunjukkan pulul 9 pagi, banyak orang yang berjalan di jalan.

... Ya, berjalan menyusuri jalan Omotesando di akhir pekan seperti ini hanyalah siksaan.

Aku tahu bahwa pemikiran ini sendiri membuatku terdengar seperti penyendiri yang khas. Tapi, aku tidak bisa menahan perasaan itu ketika aku mengayuh sepedaku di jalanan Omotesando.

Aku tidak merasakan kehadiran musim panas di dalam angin yang bertiup ke arahku. Aroma aspal yang terik bahkan tidak mencapai hidungku dan sensasi mendesis di kulitku tidak ada. Benar saja, musim gugur akan segera datang. Aku memarkir sepedaku di tempat parkir dan melihat ke gedung untuk sekolah persiapanku. Kira-kira sudah sebukan sejak aku datang ke sini selain hari Sabtu. Nilaiku jelas meningkat setelah kelas tambahan musim panas, seperti yang ditunjukkan pada tes dan ujianku. Jadi, aku memberi tahu Ayahku dan Akiko-san bahwa aku ingin secara resmi menghadiri sekolah persiapan dan meyakinkan mereka untuk mengizinkanku melakukannya.

Tentu saja, aku tidak berbohong. Namun, alasan terbesarnya adalah karena aku ingin berada di mana saja selain di rumah, semua agar aku bisa melupakan perasaan yang kumiliki untuk Ayase-san. Biaya siswa menghabiskan cukup banyak uang pekerjaan paruh waktuku, tetapi itu adalah kejahatan yang diperlukan. Aku tidak hanya mencoba lari dari kenyataan. Hasil lain dari keputusanku adalah nilaiku semakin naik dan aku juga bisa memilih kampus pilihanku. Itulau yang dikatakan oleh Suzuki-sensei saat pertemuan orang tua-guru kemarin.

Segera setelah memasuki gedung, aku berhenti sejenak. Biasanya aku akan pergi ke kelas sekarang, tetapi aku berubah pikiran. Aku melihat peta yang menampilkan tata letak sekolah persiapan dan berjalan ke lokasi yang berbeda dari ruang kelasku yang biasa.

'Ruang belajar mandiri.'

Aku membaca tulisan yang tergantung di atas pintu. Aku bahkan tidak pernah menyadari bahwa mereka memiliki ruangan seperti ini di sini. Aku membuka pintu dengan tenang. Aku melihat beberapa meja berbaris berjajar dengan sedikit ruang di antaranya, memungkinkan fokus yang tidak terhalang. Yah, sepertinya tempat ini juga tidak dipenuhi orang. 

Seperti yang mungkin kau harapkan. Sekolah persiapan adalah tempat yang biasanya kau kunjungi untuk menghadiri kelas dan mendengarkan guru dan jika kau ingin belajar sendiri, kau selalu bisa melakukannya di perpustakaan atau bahkan kafe. Meskipun aku yakin ada banyak siswa yang tidak tahu bahwa ruangan ini ada di sini. [TN: Jika kalian tidak tahu, Ruangan belajar mandir, di kampus terkenal di Jepang. Mereka memiliki tempat khusus untuk belajar, sebagai contoh liat Chanel YT Nihongo Mantappu di sana nanti kalian tahu, terus kafe, berbeda dari Indonesia. Kebanyakan anak SMA/Mahasiswa di Jepang menggunakan kafe sebagai tempat refresing untuk belajar bukan buat nongkrong doang]

Melihat ke bawah deretan siswa/i, aku melihat wajah yang familier di bagian paling akhir. Itu Fujunami Summer Sail-san, juga dikenal sebagai Kaho-san. Untungnya, ada beberapa ruang terbuka di sebelahnya. Karena dia duduk di barisan paling belakang, tidak ada orang lain di belakangnya. Jadi, kurasa itu memungkinkan untuk fokus yang lebih baik, ya? Dalam apa yang kuanggap kebetulan, Fujinami-san mengangkat kepalanya dan melihatku. Dia kemudian dengan lembut mengangguk dan meletakkan satu jari ke bibirnya, memberi isyarat padaku untuk diam, seperti yang dia maksudkan untuk menekankan bahwa tidak ada percakapan pribadi yang diizinkan di ruang belajar mandiri.

... Yah, sejak awal aku tidak pernah punya niat untuk memanggilnya.

Aku duduk di baris terakhir dan mengeluarkan buku pelajaranku. Karena aku (jelas) tidak punya apa-apa untuk dibicarakan dengan Fujinami-san, aku hanya fokus pada studiku. Setelah sedikit waktu berlalu dan aku membuat kemajuan yang baik dengan studiku, aku mengerti betapa menyenangkan suasana di dalam ruangan ini. Udara dari AC memberi kami udara sejuk dan berkat dinding di setiap sisi mejaku, yang bisa kulihat hanyalah apa yang ada di mejaku sendiri, memungkinkanku untuk lebih fokus.

Demikian pula, karena hanya ada siswa/i lain yang ingin belajar di sekitarku, aku bisa merasakan diriku merasa jauh lebih termotivasi. Ini jauh lebih baik daripada ruang perpustakaan atau kafe dengan orang-orang yang terus bergerak masuk dan keluar. Berkat peningkatan fokusku, waktu berikutnya aku melamun, sudah waktunya makan siang. Perutku menggerutu pelan. Jumlah orang di ruangan itu juga berkurang. Mereka mungkin pergi makan siang. Aku membersihkan mejaku dan berdiri, berpikir bahwa aku mungkin juga membeli sesuatu untuk dimakan dari toko serba ada.

Fujinami-san melakukan hal yang sama, berjalan ke arahku. Aku bingung sejenak. Tapi, karena aku tidak bisa mengganggu orang-orang di sekitar kami, aku hanya diam-diam berjalan bersamanya ke arah pintu keluar. Begitu kami melangkah keluar ke lorong, aku angkat bicara.

“Apa kau juga ingin makan siang di luar, Fujinami-san?”

"Iya, selain itu…"

“Hm?”

"Karena kamu datang jauh-jauh ke kursi yang dekat denganku, aku bertanya-tanya apakah kamu membutuhkan sesuatu dariku."

“Ah, baiklah…”

Bukannya aku tidak punya perasaan seperti itu. Sejak aku bertemu dengannya di tempat simulasi golf, aku merasa ingin berbicara lebih banyak dengannya, tapi—

“Aku tidak benar-benar punya urusan mendesak atau semacamnya…”

“Ah, begitukah?”

“…Yah, kalau kau ingin makan siang, mungkin sebaiknya kau bergegas pergi?”

"Aku berencana makan sesuatu dari toko serba ada."

"Aku juga.."

“Kalau begitu mari kita beli sesuatu dulu. Kita selalu bisa makan di lounge.”

“Aku belum pernah ke sana, sekarang setelah kau menyebutkannya. Baiklah, kedengarannya bagus.”

“Ya, ayo pergi.”

Menurut apa yang Fujinami-san katakan padaku, lounge itu seperti tempat istirahat yang bisa digunakan semua orang di waktu luang mereka. Kau bahkan dapat makan dan minum di sana (walaupun mereka melarang ramen, udon atau hidangan apa pun yang berbau menyengat).

... Yah, itu mungkin sama dengan ruang istirahat di tempat kerjaku.

Kami membeli makan siang di toko serba ada di sebelah sekolah persiapan. Aku mengambil beberapa roti isi dan sebotol teh, sementara Fujinami-san meraih onigiri terlebih dahulu, tetapi kemudian mengambil sandwich buah serta jus sayuran. Kami membawa semuanya ke ruang tunggu, berhasil menemukan meja kosong dan makan siang sambil mengobrol. Meskipun sepertinya aku tidak memiliki banyak topik yang bisa kami bicarakan. Jadi, kami kehabisan hal untuk didiskusikan dengan cukup cepat.

"Kamu benar-benar tidak punya apa-apa untuk dibicarakan denganku, begitu."

Ketika Fujinami-san mengatakan itu, sejujurnya aku cukup tertekan.

... Ya, dia benar.

Aku sendiri bertanya-tanya apa sebenarnya yang kulakukan.

“Yah, kurasa.”

“Aku sedang berpikir untuk menolakmu, kau tahu. Mengatakan sesuatu seperti 'Aku datang ke sini untuk belajar, jadi ini agak berlebihan.'”

Dengan kata lain, dia mengira aku mendekatinya karena aku ingin menggodanya.

“Aku tidak memiliki niat seperti itu.. Meskipun aku tertarik untuk berbicara denganmu, itu saja.”

“Bukankah itu ungkapan klise yang kamu gunakan ketika mencoba untuk mendekati seseorang? Mengatakan bahwa kanu hanya tertarik pada mereka.”

"…Mungkin?"

"Ya."

“Benar, maaf soal itu. Aku tidak bermaksud untuk terlihat seperti itu. Maafkan aku." Aku menundukkan kepalaku saat aku meminta maaf.

"Tidak apa-apa. Dari sudut pandangku, kamu bukan tipe orang yang akan melakukan itu. Meskipun aku terlihat seperti gadis seperti itu.”

“Gadis itu… Tunggu.”

“Tipe gadis yang mudah didekati. Karena aku tidak pergi ke sekolah, sepertinya aku terlihat seperti tipe gadis yang hanya bermain-main. Yah, fakta bahwa itu tidak sepenuhnya salah membuatku ingin menangis, tapi tetap saja.”

“Kau tidak sekolah? Ah, maaf, aku tidak bermaksud mencampuri urusan pribadimu.”

"Tidak apa-apa. Lebih tepatnya, aku tidak bersekolah di sore hari."

“Sore hari… Ahh. Jadi, kau pergi ke tempat semacam sekolah paruh waktu?”

“Karena ini berbeda dengan sekolah pada umumnya, banyak orang berpikir aku tidak menganggap serius sekolah. Jadi, Asamura-san, kalau kamu mendengar kata 'sekolah paruh waktu', 'cewek', dan 'pergi ke pusat permainan larut malam' dalam kalimat yang sama, bagaimana menurutmu?”

Kata-kata ini terdengar sangat mirip denganku.

“Aku akan berpikir bahwa seorang gadis yang menghadiri sekolah paruh waktu bersantai di pusat permainan di malam hari, itu saja.”

Dia menyipitkan matanya.

“Apa kamu yakin? Kamu tidak akan melihatku sebagai seorang gadis yang memiliki banyak masalah? Kamu tidak akan melihatku sebagai seorang gadis yang mudah untuk didekati dan digoda?”

Hm, begitu ya... Jadi itu sebabnya dia pikir bahwa aku berniat menggodanya.

"Maaf. Aku tidak tahu siapa saja yang dekat denganku yang bersekolah di sekolah dengan sistem seperti itu. Jadi, menurutku seperti itu. Aku minta maaf kalau aku menyinggungmu perasaanmu, tetapi aku benar-benar tidak melihatmu seperti itu.”

“Hmmm. Nah… jika itu benar, maka itu akan menjadi cara pemahaman yang sangat apresiatif. Dan sangat menyenangkan.”

"Kurasa begitu. Jika ada satu hal yang membuatku penasaran, maka—”

Dan ini hanya prasangkaku.

“Aku penasaran kenapa kau terlihat sangat menyukai golf, Fujinami-san.”

Matanya terbuka lebar.

"Itu?"

“Maksudku, itu sangat tidak terduga bagiku dan aku ingin tahu tentang hal itu. Tidak disangka-sangka melihat seorang gadis pergi ke tempat simulasi golf di larut malam.”

“Sebenarnya, aku pergi pada waktu tertentu karena aku ingin. Itu antara bekerja dan sepulang sekolah. Itulah satu-satunya saat aku benar-benar memiliki kebebasan. Jadi, tentu saja aku akan pergi.”

“Ya, ketika aku mendengar bahwa kau berada di sekolah paruh waktu, aku juga menebaknya.”

Sistem sekolah paruh waktu ada bagi orang untuk mendapatkan kesempatan pendidikan di samping pekerjaan mereka yang sebenarnya. Jadi, setelah pekerjaannya selesai, dia akan sekolah, yang kemudian akan berlangsung hingga larut malam, hanya menyisakan sedikit waktu untuk pergi ke tempat golf itu. Padahal, aku agak tidak jelas tentang motifnya di balik itu. [TN: Mungkin mirip dengan sekolah terbuka di Indonesia, bedanya sekolah terbuka di sini berlangsung pada jam 1 siang hingga 4-5 sore]

“Masalahnya, keluargaku sangat menikmati golf. Jadi, kupikir mereka akan senang jika aku bisa bermain dengan mereka.”

"Oh wow."

“Keluargaku sebenarnya tidak terlalu kaya. Namun, orang-orang ini bertemu di lingkaran golf di kampus dan mereka masih menikmati bermain bersama. Kalau aku menjadi lebih baik, lebih baik kita pergi ke lapangan golf, kata mereka.”

"Jadi begitu. Kedengarannya bagus.” Aku berkomentar, tetapi merasa tidak nyaman ketika dia memanggil keluarganya 'orang-orang ini'.

Tentu saja, aku tidak ingin mengganggu privasinya dengan menanyakan hal itu padanya. Meski harus kukatakan, saat dia duduk tepat di depanku seperti ini, tinggi badannya benar-benar menonjol. Tingginya mungkin 180cm. Karena dia mengenakan pakaian sederhana bahkan di hari akhir pekan, dia memberikan kesan polos. Dia sangat berhati-hati dengan pilihan kata-katanya dan dia mengatakan bahwa banyak orang akan melihatnya sebagai sasaran empuk untuk diserang, tetapi jika kau bertanya padaku, dia terlihat seperti murid teladan di Suisei. Aku bisa tahu betapa pintarnya dia hanya dengan berbicara dengannya. Tapi aku juga melihat dua lubang di telinganya, mungkin untuk anting-anting.

“Yah, fakta bahwa itu tidak sepenuhnya salah membuatku ingin menangis, tapi tetap saja.”

Karena tidak ada apa-apa di dalam lubang itu, aku merasakan rasa tidak nyaman lagi. Mungkin dia memiliki beberapa keadaan khusus.

"Asamura-kun, kamu menjaga pandangan yang adil tentang segalanya, ya?"

"Entahlah. Aku ingin berpikir bahwa begitulah caraku menangani sesuatu, tapi…”

Alasanku tidak memiliki pandangan dunia yang dibuat-buat dan alasanku tidak terlihat terlalu arogan atau narsis, mungkin semua karena aku sering membaca buku.


"Apakah begitu? Secara pribadi, menurutku kamu sangat bijak dalam pertukaranmu dengan orang lain."

"Terima kasih. Aku senang kau merasa seperti itu,” jawabku dan Fujinami-san menunjukkan senyum tipis.

“Aku selalu berpikir bahwa tidak ada gunanya berbicara dengan orang lain di sekolah persiapan. Tapi, berbicara denganmu seperti ini menyenangkan, Asamura-kun.”

"Mungkin."

"Apakah besok kamu juga akan datang lagi?"

“Aku ada kelas sore hari Sabtu dan Minggu. Tapi, aku seharusnya bisa datang di pagi hari… kurasa.”

"Kalau begitu, mari kita makan siang bersama lagi." Nada suaranya dan pilihan ekspresinya terdengar sedikit lebih terbuka dan ramah dari sebelumnya.

"Baik."

Dia mengumpulkan semua sampahnya dan berdiri. Aku mengikutinya, lalu aku angkat bicara.

“Ngomong-ngomong, ada sesuatu yang membuatku penasaran.”

“Eh… ada apa?”

“Di toko serba ada, kau meraih onigiri tetapi tidak jadi. Apa kau tidak menyukai isiannya secara kebetulan?” Ketika aku menanyakan pertanyaan santai ini, dia menunjukkan reaksi terkejut, anehnya.

“Kamu melihat itu?”

"Yah, aku baru saja menyadarinya."

"Jadi begitu. Maksudku, aku mempertimbangkan untuk membeli onigiri, tetapi pada akhirnya memutuskan untuk tidak membelinya. Bagaimanapun, itu hanya onigiri.”

Apa yang dia maksud dengan itu?

“Ganggang laut mungkin akan menempel di gigiku. Itu sebabnya, aku tidak membelinya.”

“Ohh.”

“Kalau begitu, sampai jumpa besok!”

Hampir seperti dia mencoba melarikan diri, dia dengan cepat berjalan kembali ke ruang belajar mandiri. Sambil melihatnya pergi, aku merenungkan sesuatu.

Belajar mandiri di pagi hari dan mengambil kelas di sore hari cukup efisien, bukan?

* * *

Setelah selesai dari sekolah persiapan, aku langsung menuju toko buku tempat pekerjaan paruh waktuku. Hari ini, aku ada shift malam. Sesampainya di tempat kerja, aku langsung mengganti pakaianku dengan seragam, lalu menuju kasir. Kali ini, giliranku di kasir.

Tentu saja, aku tidak sendirian. Di sana juga ada manager.

.... Sungguh kejadian yang langka.

“Baik Yomiuri-kun maupun Ayase-kun tidak ada shift hari ini. Jadi, sepertinya kam terjebak dengan orang tua ini.. Maaf tentang itu.”

“Tidak tidak, tolong jangan katakan itu. Jadi, mereka tidak memiliki shift hari ini, ya?"

Aku tahu, hari ini Ayase-san libur. Tapi, aku tidak tahu kalau Yomiuri-senpai juga libur.

“Ya, Yomiuri-kun harus membantu di kampusnua.”

"Apa Anda sudah tahu itu?"

“Ya, dia mengatakan bahwa hari ini ada kelas terbuka.”

"Oh, begitu."

“Awalnya, dia berencana untuk datang sepulang kerja. Aku tidak mendengarnya langsung darinya. Tapi, dia mengatakan sesuatu seperti 'Ada seorang profesor yang benar-benar membuatku lelah~ Aku tidak bisa mengumpulkan kekuatan bahkan untuk bekerja setelah itu!' jika aku mengingatnya dengan benar.”

Manajer, kau tidak harus meniru suaranya... Seorang profesor yang membuat Yomiuri-senpai lelah, ya?

Profesor yang dia maksud, itu pasti orang yang kulihat bulan lalu di toko pancake itu. Itu mengingatkanku, Ayase-san bilang dia akan pergi ke acara kelas terbuka juga. Tapi, aku tidak tahu itu di hari yang sama.

Kebetulan seperti ini benar-benar terjadi, ya?

Lahipula, kalau kau ingin menghindari melakukannya selama istirahat yang lebih lama, hari-hari terbaik adalah hari Sabtu, Minggu dan hari libur lainnya. Jadi, aku membayangkan sebagian besar kampus mengadakannya di sekitar jangka waktu yang sama.

Menurut manajer, kehilangan dua pekerja berbakat akan menurunkan efisiensi secara keseluruhan. Ketika register penuh sesak, tidak ada waktu untuk memikirkan hal lain. Jadi, aku dipaksa untuk hidup melalui neraka dengan dia di sisiku. 

* * *

Setelah selesai di pekerjaan paruh waktu, aku langsung pulang ke rumah. Memakirkan sepedaku di tempat parkir, lalu aku memasuki ruang tamu. Ketika aku berjalan di lorong, aku melihat seseorang ada di sana..

.... Hm? Kupikir Ayah—

“Selamat datang kembali, Nii-san.”

"…Aku pulang. eh? Kau belum makan malam?"

“Iya, kamu juga belum makan 'kan?" katanya sambil menuangkan sup miso ke dalam mangkuk kecil.

Aku membuka lemari es, mengambil beberapa salad dan meletakkannya di atas meja bersama dengan beberapa saus. Dari instruksi yang akan diberikan Ayase-san pada catatan kecil, tubuhku sudah mulai mengingat setiap detail kecil. Natto, lalu—

"Ah, aku baru saja selesai memanggang makarel."

"Kalau begitu, aku akan memarut lobak."

Karena melakukannya dengan pisau akan memakan waktu, aku memutuskan untuk menggunakan parutan lobak dengan lubang tabung untuk memarut lobak hari ini.

"Berapa banyak nasi yang kau inginkan?"

“Tolong mangkuk kecil.”

“Bagaimana dengan minumnya?” Aku bertanya pada Ayase-san sambil mengeluarkan mangkuk dan menyiapkan dua pasang sumpit. [TN: Di Jepang kebanyakan makan pake mangkuk]

"Teh hangat saja."

"Baik."

Aku memasukkan beberapa daun teh ke dalam teko kecil, menuangkan air panas ke dalamnya dari teko berinsulasi. Sementara itu terseduh, aku menyiapkan dua cangkir teh.

"Terima kasih."

“Kau mengurus makanan dan bahkan menghadiri kelas terbuka itu bahkan hari ini. Jadi, aku bisa mengurus sisanya. Kau pasti lelah, kan?”

"Nggak juga.."

Setelah kami menyelesaikan semua persiapan, kami duduk bersama, menikmati makan malam kami yang terlambat. Setelah keheningan singkat berlalu, kami berdua mulai saling bercerita tentang keseharian kami. Aku mulai bercerita tentang sekolah persiapan, tentang ruang belajar mandiri yang belum kuketahui dan tentang bagaimana hal itu banyak membantu meningkatkan belajarku.

“Hmm. Jadi, sekolah persiapan itu punya tempat seperti itu?”

“Apa kau pernah mengunjungi sekolah itu sebelumnya?”

"Tidak pernah. Itu agak terlalu mahal.”

Ayase-san kemudian menceritakan pengalamannya selama kelas terbuka di kampus.

“Tunggu, kau benar-benar bertemu dengan Yomiuri-senpai?!”

Ayase-san mengangguk.

"Kenapa kamu terdengar sangat terkejut, Nii-san?"

“Aku mendengar dari manager bahwa Yomiuri-senpai juga sibuk karena kelas terbuka. itu sebabnya, dia harus mengambil cuti. Saat itulah aku mengetahui bahwa kalian berdua pergi karena alasan yang sama.”

“Ahhh, jadi karena itu…”

“Jadi, bagaimana rasanya di kampus itu?”

"Aku lelah."

"Eh?"

“Ah, tunggu, tidak. Kelas terbuka itu sendiri sangat menarik. Itu membuatku sadar bahwa kamu bisa belajar segala macam hal di kampus… meskipun menyebutnya 'belajar' mungkin tidak sepenuhnya akurat.”

“Kupikir sekolah atau kampus adalah tempat untuk belajar?”

“Ya, tentang itu… Bagaimana aku mengatakannya? Aku menyadari bahwa itu lebih seperti tempat untuk berpikir. Dan bukan dalam arti bahwa seseorang menyuruhmu untuk memikirkannya, melainkan untuk menemukan proses pemikiranmu sendiri dan memasukkannya ke dalam kata-katamu sendiri.”

Aku tidak bisa dengan yakin menyatakan bahwa aku langsung mengerti apa yang dia bicarakan.  Tempat yang aku kenal sebagai sekolah dan tempat yang disebut kampus yang Ayase-san gambarkan sepertinya sedikit berbeda.

"Dan ada seorang profesor yang sangat aneh."

“Aneh dalam hal apa?”

"Hanya itu yang bisa kukatakan ... tapi aku berakhir dengan sedikit diskusi dengannya."

Tunggu ... dia berdiskusi dengan seseorang selama pertemuan pertama mereka?

Aku benar-benar terkejut. Ayase-san mungkin seseorang yang terus-menerus memberontak melawan ketidakadilan dunia dan penghuninya. Tapi, aku tidak berpikir dia adalah tipe orang yang benar-benar berdiri berhadap-hadapan dengan seseorang dan berdiskusi secara verbal.

“Diskusi menjadi panas dan aku hampir kelelahan karena itu.”

“…Tapi, itu menyenangkan, bukan?” tanyaku dan mata Ayase-san melebar sebagai jawaban.

"Huh? Ah, ya… kurasa. Kenapa kamu bisa tahu hal itu?"

“Kau memiliki ekspresi yang cukup gembira ketika kau mengatakan betapa lelahnya dirimu. Jadi, kurasa itu menyenangkan untukmu.”

“…Begitu. Kamu benar-benar memahamiku.” Ayase-san mengalihkan pandangannya, bergumam pada dirinya sendiri.

“Apa kau tertarik dengan Tsukinomiya?” [TN: nama kampus yang dikunjungi Saki]

“Aku tidak tahu apakah aku bisa sampai di sana, tapi… kupikir setidaknya aku akan mencoba yang terbaik untuk itu.”

Begitu, ya. Aku senang mendengarnya.

Ayase-san mencoba sesuatu yang baru dan bertemu dengan seseorang yang menarik minatnya. Dia berhasil mendapatkan pertemuan baru.

Yah, aku tidak bisa mengatakan aku tidak terganggu oleh fakta bahwa ini terjadi tanpaku di sekitarnya dan dengan seseorang yang tidak kukenal.

“Jadi, A—Nii-san, apa kamu akan pergi ke sana lagi?"

“Yah… kurasa begitu. Aku juga punya janji untuk pergi ke sana besok. ”

"Janji?"

“Hm? Ya, dengan orang yang memberitahuku tentang itu. Dia juga akan ada di sana besok. Jadi, kami berjanji untuk makan siang bersama lagi.”

"Oh begitu. Bagus untukmu, Nii-san.”

Itu benar, ini adalah sesuatu yang baik—untuk kita berdua. Sama seperti Ayase-san memiliki pertemuan yang meningkatkan motivasinya untuk pergi ke kampua, aku juga memiliki pertemuan baru di sekolah persiapanku. Jadi, kami berdua membuat kenalan baru. Beginilah seharusnya.

"Aku tidak bisa membuat makan malam besok," kata Ayase-san. Dia memberi tahuku tentang sesi belajar yang dia rencanakan dengan beberapa teman sekelasnya.

"Mengerti, aku juga akan sibuk besok. Jadi... untuk besok kita bisa membeli makan malam sendiri."

"Mnm.."

Besok aku harus menghadiri sekolah persiapan lagi, serta shift kerja nanti. Kami berdua memilki kesibukan masing-masing besok dan jadwal kami juga tidak akan tumpang tindih. Aku merasa kami perlahan-lahan menjadi saudara berusia 17 tahun pada umumnya.




|| Previous || Next Chapter ||
7 comments

7 comments

  • Unknown
    Unknown
    6/2/22 19:32
    Tertarik gw nich... sama heroine bru wihihii
    Reply
  • Unknown
    Unknown
    6/1/22 20:36
    Mantafffffpp
    Reply
  • Zexdexz
    Zexdexz
    29/12/21 11:31
    🤨 jadi gitu kalau udh lama interaksi seseorang bakal menganggap spesial ngk salah romcom mulai daru teamn masa kecil
    Reply
  • Zaq
    Zaq
    28/12/21 21:00
    Megane + short hair wangy wangy
    Reply
  • Brauler
    Brauler
    28/12/21 20:03
    This comment has been removed by a blog administrator.
  • Brauler
    Brauler
    28/12/21 20:02
    Mudahan Chara baru nongol yg bakal Deket ama saki..mati aja sana Chara sok keren:V
    • Brauler
      SHIORI
      25/3/22 13:02
      Loh ya jangan
    Reply
close