-->
NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Ushiro no Seki no Gal ni Sukarete Shimatta V1 Chapter 1 Part 3

Chapter 1 - Bagian 3
¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯

"Aku sangat menghargaimu karena mau meminjamkanku kamar tidurmu... Tapi, bagaimana denganmu sendiri?"

"Aku bisa tidur di sofa atau lantai."

"Apa tidak ada kamar tidur atau futon yang kosong?"

"Dulu ada satu di kamar yang digunakan orang tuaku. Tapi, mereka jarang pulang ke rumah dan setiap kali mereka pulang. Mereka hanya mampir sebentar, lalu pergi lagi keesokkan harinya. Makanya, ruangan itu sekarang kosong dan sekarang benar-benar menjadi gudang. Yah, kau tidak perlu mengkhawatirkan aku tidur di mana, oke? Selain itu, aku tidak bisa membiarkan seorang gadis sepertimu tidur di sofa atau lantai, sementara aku tidur nyenyak di kamarku. Jika aku melakukan itu, harga diriku sebagai pria akan jatuh. Oleh karena itu, kau bisa menggunakan kamar tidurku tanpa mengkhawatirkanku.." kata Sandai dengan santai, dan Shino terkekeh.

"Bukannya aku sedang mencoba, sih. Jika aku tipe seperti itu, aku tidak akan dengan sengaja memilih tempatmu sebagai tempat perlindunganku atau memintamu untuk mengambilkan sesuatu untuk dimainkan, ayolah."

"....Kurasa itu benar juga."

"Tapi, yah.. aku akan menerima saranmu itu. Makasih sudah mau meminjamkanku tempat tidurmu. Oh, ya. Di mana kamarmu?"

"Ada di sana."

"Muu, meski kamu mengatakan ada di sana, tetapi aku tidak bisa melihat apa-apa karena gelap gulita... Cepat pegang tanganku dan bimbing aku ke sana."

Shino memegang tangan Sandai dan menjalin jari-jari mereka.

Jantung Sandai spontan berdetak cepat saat merasakan tangan gyaru yang kecil, ramping, lembut dan sedikit dingin.

"Tanganmu agak dingin, ya.. Apa kau kedinginan?"

"...Nee, apa kamu tahu orang seperti apa seseorang dengan tangan dingin itu? Itu adalah mitos yang sudah diceritakan ada sejak dulu."

Sandai lupa di mana dia mendengarnya. Tapi, dia juga pernah mendengar mitos yang Shino sebutkan. Seseorang dengan tangan dingin memiliki hati yang hangat atau baik hati, semacam itu.

Sandai percaya bahwa mitos hanyalah mitos belaka. Meskipun, baru sekarang dia merasa bisa mempercayainya.

Alasannya sederhana.

Sandai mengambil sikap yang agak dingin terhadap Shino. Namun, tanpa mempedulikan hal itu, Shino berbicara dengannya secara normal.

Shino baik hati dan tangannya dingin. Jadi, itu juga membuatnya merasa bisa mempercayainya.

"...Terima kasih, Yuizaki."

"A-Ada apa tiba-tiba mengucapkan terima kasih?"

"Kau itu benar-benar gadis yang baik hati.."

"....Memujiku tidak akan mendapatkan apa-apa, kau tahu?"

"Ini tidak seperti aku mengatakannya karena aku menginginkan sesuatu. Aku hanya mencobanya, mengatakan apa yang aku rasakan. Padahal aku sudah bersikap dingin padamu. Tapi, kau masih mau berbicara padaku dengan nada lembut. Hal itu membuatku ingin mengucapkan terima kasih... Aku yakin kau adalah gadis paling baik di dunia, Yuizaki," kata Sandai seolah-olah ingin mengeluarkan semuanya.

Mendengar perasaan jujur dari Sandai, Shino hanya terdiam tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Meskipun merasa cemas apakah dia terlambat mengatakan ini, tetapi Sandai tidak menyesal. Lagipula, justru karena dia selalu menjadi penyendiri sepanjang hidupnya, dia tahu dengan perasaan bahwa momen di mana dia bisa menyampaikan apa yang ingin dia sampaikan sangatlah berharga.

Jadi, meskipun ada rasa pencapaian, tidak ada sedikit pun penyesalan.

Meskipun, Sandai tidak tahu bagaimana Shino menerima kata-kata yang baru saja dia ucapkan. Shino tidak membuat gerakan apapun yang mencoba untuk melepaskan tangannya. Jadi, dia tahu bahwa setidaknya dia tidak menganggapnya menyeramkan, tapi...

Sayangnya tidak dapat melihat ekspresinya karena gelap gulita, ada kekurangan bahan yang luar biasa untuk membuat penilaian.

Namun, hanya dengan mengetahui bahwa itu tidak dianggap tidak menyenangkan, Sandai bahkan tidak berpikir untuk mencoba mengetahui lebih banyak.

Jika perasaan syukur sepenuhnya diterima, tidak akan ada kebutuhan untuk mengetahui lebih jauh.

Ketika mereka tiba di kamar tidur, Shino, masih terdiam, meraba-raba untuk memastikan bentuk tempat tidur, berbaring miring dan meringkuk dengan gelisah.

"....Selamat malam," gumam Sandai kepada Shino dan diam-diam meninggalkan ruangan.

Tetapi segera setelah itu, dia bisa mendengar suara tangan dan kaki yang bergoyang-goyang datang dari kamar.

"A-Apa?"

Setelah dengan gugup mengintip ke dalam ruangan, Sandai baru sekarang menyadari bahwa dia mendapatkan smartphonenya di sakunya dan pergi menyalakan lampunya untuk melihat ke dalam. 

"Aku mendengar suara berisik barusan," dia mencoba berbicara dengan Shino untuk sementara waktu, "Apa terjadi sesuatu?" tetapi Shino tetap terbungkus di tempat tidur dan tidak menggerakkan badanya.

"Hei."

"....."

"Tidak ada jawaban... Sudah tidur, ya. Apa suara itu hanya imajinasiku saja? ...Yah, terserah.. lebih penting lagi." Sandai dengan lembut menutup pintu kamar dan memeriksa waktu saat dia mematikan lampu smartphonenya.

Saat itu pukul 00:20-sekitar waktu untuk memulai hobinya menonton anime larut malam.

Dia ingin menonton jika dia bisa, tetapi tampaknya mustahil dalam situasi saat ini dengan listrik yang masih padam.

Tetapi masih ada waktu sampai dimulainya siaran. Jadi, masih ada kemungkinan bahwa listrik akan menyala kembali sebelum itu.

Sandai memutuskan untuk menunggu untuk saat ini.

Namun, lampunya masih padam bahkan ketika sudah waktunya untuk memulai.

"... Aku cenderung menonton anime pada siaran pertamanya, tetapi situasi ini tidak memungkinkan itu. Yah, mau bagaimana lagi. Kurasa aku harus menonton di situs stream lain kali."

Sandai berbaring di sofa dan memejamkan matanya. Sofa itu ternyata sangat nyaman untuk tidur dan dia tidur seperti bayi.

* * *

Keesokan paginya.

Sandai tidak bisa bangun dengan kekuatannya sendiri.

Apa yang akhirnya membuatnya terbangun adalah bau sedap dari masakan yang menggelitik lubang hidungnya dan keningnya dipukul berulang-ulang dengan sendok sayur dengan tempo yang baik.

"Ayo, bangunn~"

"Ouch, dahiku.. Nnn, Yuizaki?"

"Astaga, akhirnya kamu bangun juga~"

"Tidak, aku sudah bangun. Aku hanya mengujimu saja. Apa kau daritadi memukul dahiku dengan sendok yang kau pegang itu?"

"Mau bagaimana lagi, kan? Daritadi aku sudah membangunkanmu. Tapi, kamu nggak bangun-bangun. Jadi, terpakasa aku menggunakan ini untuk membangunkanmu.."

"Begitu, jadi kau sudah--..."

"Oh, aku tidak punya niat untuk menyakitimu."

"Bukan begitu. Yah, lupakan saja. Btw, aku sudah mencium sesuatu yang enak sejak tadi." Sandai melihat ke meja saat dia menggerakkan hidungnya dan melihat sarapan sederhan, tetapi sangat menggugah selera makan. Ada nasi, ikan bakar, sup miso dan acar sayuran.

"Yuizaki, ini..."

"Mn, sarapan. Aku yang membuatnya loh..."

"Kau yang membuatnya? Meskipun tidak ada bahan-bahan di rumah untuk membuat makanan yang layak? Tidak ada apa-apa di lemari es, kan?"

"Ah, tentu saja tidak ada, tapi..."

Sandai praktis tidak memasak untuk dirinya sendiri, malah mengandalkan makanan kemasan supermarket atau toserba. Bahkan tidak ada satu pun bahan makanan yang ada di rumah, kecuali beras dan bumbu yang dia simpan untuk berjaga-jaga.

Jadi, dari mana datangnya ikan, acar sayuran dan sup miso? pikir Sandai.

Shino tersenyum kecut pada Sanda yang memiringkan kepalanya dengan bingung.

"Tadi aku pergi keluar untuk membeli bahan-bahan. Ah, badai sudah lama berlalu. Jadi, kupikir supermarket yang buka di pagi hari sudah buka. Jadi, aku mencoba pergi ke sana dan tokonya buka... Kamu sudah mengizinkanku tinggal di rumahmu dan membiarkanku menggunakan kamar tidurmu. Jadi, setidaknya biarkan aku melakukan ini, oke?"

Dia sepertinya bermaksud mengucapkan terima kasih. Meskipun, Sandai tidak memberikan Shino tempat tinggal karena ia ingin Shino melakukan hal seperti ini.

Namun, tentu akan sulit untuk menyuruhnya mundur sekarang karena hidangannya telah selesai. Shino juga sudah bersusah payah membuatnya. Jadi, pasti akan berubah menjadi tidak menyenangkan.

Karena tidak ada pilihan lain, Sandai pada akhirnya memutuskan untuk menerimanya... tapi sebelum itu.

Shino mengatakan bahwa dia barusan pergi keluar untuk membeli bahan-bahannya, yang berarti Shino sudah menggunakan uangnya untuk membeli bahan makanannya. Sandai merasa tidak enak tentang hal itu. Mengambil dompetnya, dia mendekati Shino-

"Aduh."

-Tap tap, dan dahinya terkena sendok sayur.

"Kenapa kamu mengeluarkan dompetmu?"

"Tidak, maksudku, butuh uang untuk membeli bahan-bahannya, kan?"

"Jangan khawatir, aku tidak menghabiskan banyak uang kok. Bahkan tidak sampai seribu yen."

"Ongkos pergi belanja dan membuatnya..."

"Supermarketnya dekat dan aku bahkan tidak membuat satu pun hidangan yang rumit~. Ini hanya hal-hal yang bisa dengan cepat aku buat. Tidak bisakah kamu mengatakan 'terima kasih' seperti yang kamu lakukan semalam?"

Saat Sandai sedang memutar otak untuk memberikan uang itu, ekspresi Shino perlahan berubah menjadi tegas. Dia jelas-jelas tidak senang.

Ini tidak seperti Sandai yang mencari pertengkaran. Jadi, dia harus mundur sekarang karena Shino telah mengambil sikap seperti itu. Dia punya sesuatu dalam pikirannya, tetapi dia menghentikan perlawanan yang tidak berguna dan mengucapkan. "...Terima kasih."

"Mn, sama-sama~!"

Melihat Shino tersenyum bahagia dan ceria, Sandai hanya bisa membuat senyum samar.

Jujur saja, senyumnya itu membuatnya semakin imut....

Sejak awal Shino adalah salah satu gadis tercantik di sekolahnya. Jadi, sudah jelas dia akan terlihat imut. Tapi, Sandai tidak pernah sadar akan hal itu atau melihatnya dengan benar.

Kelopak mata ganda yang indah pada kontur yang tertata dengan baik tanpa satu pun yang sia-sia. Hidung yang tidak terlalu tinggi atau terlalu rendah, kulit putih yang memberikan perasaan menyegarkan. Rambut kuncir yang lembut dan halus juga, ujungnya sedikit diwarnai dengan warna bunga sakura, yang meningkatkan keindahan dan kelucuannya.

Itu membuatnya menyadari bahwa dia benar-benar seorang gadis cantik yang mampu bersaing dengan Idol atau aktris terkenal.

"Apa ada sesuatu di wajahku? Daritadi kamu menatapku terus, hm~?"

"Bukan apa-apa..."

Seperti yang diduga, dia tidak bisa mengatakan bahwa dia terpikat oleh kecantikan Shino.

"Terkadang kamu bisa bersikap aneh, ya~ ... Ngomong-ngomong, biasanya kamu sarapan apa?"

"Sarapan?... Biasanya, aku membeli makanan kemasan. Memasak untuk satu orang terlalu merepotkan bagiku."

"Fufu, itu pernyataan dari seseorang yang tidak pernah pergi keluar."

"Bodo amat, ora urus."

Sandai memalingkan wajahnya, mengambil tempat duduk dan memakan sarapannya dalam diam. Sebagai tanggapan, Shino menghela nafas, sepertinya ingin mengatakan: Astaga.

Setelah selesai sarapan sambil sesekali menyipitkan mata mereka pada matahari pagi yang bersinar masuk melalui celah tirai, mereka mencuci piring bersama dan memutuskan untuk pergi ke sekolah bersama karena mereka akan pergi ke sekolah yang sama.

"...Ini pertama kalinya aku pergi ke sekolah bersama dengan seorang pria."

"...Ini juga pertama kalinya aku pergi ke sekolah bersama dengan seorang gadis."

Saat mereka berjalan kedepan, menghindari genangan air yang tertinggal karena badai semalam, Shino tiba-tiba mengambil langkah di depannya dan berbalik.

"Oh, ya, ini." Shino mengeluarkan selembar memo yang dia cari-cari di dalam tasnya dan memasukkannya ke dalam saku dada Sandai dengan penuh semangat.

"A-Apa ini...?"

"Aku buru-buru menulisnya sebelum kamu bangun. Jadi, mungkin agak sulit dibaca, tapi... ini memo dengan nomor HP-ku."

"Nomor HP-mu?"

"Yup. Aku juga menyelipkan memo ketika aku mengembalikan pakaianmu. Tapi, kupikir itu mungkin hilang entah kemana. Makamya, aku memberikanmu satu lagi di sini."

Kemudian Sandai teringat; tentang memo dalam pakaian yang dikembalikannya, yang dia anggap sebagai lelucon, yang telah dia kusut dan dibuang.

Meskipun dia mengerti sekarang, itu bukanlah sebuah lelucon. Dalam memo yang dia dapatkan dari Shino benar-benar tertulis nomor HP-nya.

"Jangan sampai hilang kali ini, oke? Aku akan menunggu balas darimu."

Di dunia yang diwarnai oleh cahaya yang dipantulkan oleh genangan air, Shino mengangkat sudut mulutnya dan tersenyum, dan pipi Sandai memanas saat melihat itu.

"Ara? Kenapa kamu tersipu malu, hm~?:

"...Nggak, kau salah liat."

"Ufufu, kamu mudah dibaca tau.."

"Ini bukan karena aku malu. Ini hanya seperti pantulan cahaya atau ilusi optik atau sudut atau sesuatu?"

"Alasan mulu~"

Mengulangi pertanyaan dan jawaban seperti itu, Sandai merasakan sensasi aneh yang belum pernah dia alami sebelumnya: sesuatu yang agak manis dan asam.

Hatinya terasa lembut.

Apa yang membuat hati Sandai yang anehnya tidak stabil bisa tenang adalah berkat tatapan berisik yang ditujukan pada mereka dari sekitarnya setelah tiba di sekolah dan melewati gerbang.

Fakta bahwa mereka pergi ke sekolah bersama-sama tampaknya telah memberikan energi baru pada rumor dan kecurigaan dan tentu saja, bisikan dari sekitarnya mencapai telinganya bahkan tanpa dia mencoba untuk mendengarkannya.

Sejujurnya, itu adalah jenis perhatian yang agak menjengkelkan, tetapi Sandai tidak terlalu terganggu karena dia sudah pernah mengalami situasi seperti ini sebelumnya.

'Lihat, di sana.'

'Aku tahu itu, mereka berdua...'

'Mereka pacaran, ya?'

'Apa ini berarti orang itu adalah... pacar Yuizaki? .... Kurasa itu memang benar. Lagipula, mereka berdua berangkat ke sekolah bersama-sama. Seorang penyendiri seperti dia pacar Yuizaki? ... Dunia ini sangat konyol.'

'Aku yakin itu hipnotisisme. Yuizaki pasti sudah di cuci otaknya oleh dia. Maksudku, bagaimana mungkin ini bisa terjadi?'

'Oi, jangan asal ngomong. Kau hanya akan membuat rumor aneh tentang Yuizaki.'

... Mereka yakin mengatakan apa pun yang mereka inginkan lagi.

Sandai menghela napas dan di sampingnya, Shino memiringkan kepalanya dan berulang kali mengedipkan matanya. Itu adalah isyarat yang sepertinya ingin mengatakan 'Aku tidak tahu mengapa mereka menatap ke arah kita'.

"Entah mengapa... Aku merasa seperti aku sedang ditatap lebih dari biasanya. Sesuatu yang serupa juga terjadi beberapa saat yang lalu. Mereka pada kenapa sih?"

Dia berpura-pura tidak tahu... tidak. Shino tampaknya tidak menyadari betapa mencoloknya eksistensi dirinya.

Tidak, lebih tepatnya, dia sengaja tidak menyadarinya atau sesuatu yang sejalan dengan itu mungkin. Entah bagaimana dia bisa merasakannya.

Ketika manusia stres, mereka akan menutup diri dan menghindari informasi, terlepas dari sadar atau tidak sadar. Sandai memiliki toleransi stres yang relatif tinggi dan tidak akan memblokir informasi sampai seekstrim Shino, tapi itu semacam keberanian.

"Untuk saat ini... kurasa mungkin lebih baik jika kita menjauh dari satu sama lain di sekolah."

Sandai berpikir bahwa itu akan menjadi cara terbaik untuk meringankan beban Shino bahkan sedikit saja. Tingkat keefektifannya tidak pasti. Tapi, itu seharusnya lebih baik daripada tidak melakukan apa-apa.

Meskipun, Shino tampaknya tidak menyukai usulan Sandai dan membuat wajah cemberut.

"Kenapa? Kenapa kamu mengatakan itu? Apa kamu membenciku?"

"Kenapa, katamu... Kau tidak menyadarinya? Pokoknya, lupakan aku di sekolah, bergaul saja dengan teman-temanmu. Bukankah kau selalu berbicara dengan gadis-gadis lain dan sebagainya di dalam kelas?"

"Kamu tiba-tiba menjadi dingin..."

"Kita bisa mengobrol di luar sekolah kalau kau mau. Lagian aku sudah punya nomor HP-mu. Jadi, kita tidak harus bergaul di sekolah. ...Aku akan menghubungimu malam ini. Aku janji."

Kata-kata yang Sandai gumamkan dengan aliran itu, secara tidak sengaja, adalah kata-kata pertama di mana Sandai, karena niatnya sendiri, menyatakan untuk memiliki hubungan dengan Shino.

Hati Sandai bergetar; lebih dari daun-daun segar yang lembut yang mulai bertunas. Shino tampaknya telah menyadari perubahan itu dan membuka matanya lebar-lebar karena terkejut.

"...Aku mendengar kata-katamu barusan dengan keras dan jelas. Dan, aku sudah mengingatnya! Janji loh malam nanti kamu harus menghubungiku sebagai ganti tidak bisa mengobrol di sekolah. Itu janji yang kamu buat sendiri. Jadi, jangan coba-coba untuk melanggarnya 'oke?"

"Y-Ya, aku janji."

"Yup, aku menantikannya!"

Pomf-pomf, Shino memukul punggung Sandai dengan ringan, menemukan teman perempuan di antara para siswa yang datang ke sekolah, bergabung dengan mereka dan mulai mengobrol dengan gembira seperti biasa.

Masih berhenti di tempatnya, Sandai menekan punggung tangannya ke pipinya yang tak berdaya, yang telah terbakar sejak beberapa waktu lalu, berpikir untuk mendinginkannya.

Namun, panasnya tidak mendingin dengan mudah. Itu adalah panas yang akan bertahan di inti tubuhnya.




|| Previous || ToC || Next Chapter ||
Post a Comment

Post a Comment

close