-->
NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

Gimai Seikatsu Volume 7 Chapter 10

Chapter 10 - 19 Februari (Jum'at) - Perjalanan Karyawisata Hari ke-3 - Asamura Yuuta


Aku tahu Maru dan Yoshida sudah bangun setelah apa yang terjadi kemarin. Dan fakta bahwa mereka akan segera memulai petualangan mereka juga. Meskipun itu hanya melibatkan pergi ke toserba di sini di halaman hotel. Aku tahu aku akan ditinggal sendirian di kamar, itulah sebabnya aku menyetel alarm-namun alarm itu tidak berbunyi. Ketika mataku terbuka, aku melirik jam di atas meja... dan menyadari bahwa waktu sudah menunjukkan pukul 7 pagi. Tapi, ketika aku menyadari bahwa sudah waktunya sarapan, aku panik.

..... Sudah jam 7 pagi?!

Kepalaku masih terasa sedikit mengantuk saat aku dengan panik mencari smartphoneku. Dan karena gordennya tertutup, mungkin sesuatu yang dilakukan dua orang lainnya untuk tidak membangunkanku, ruangan itu gelap dan bahkan ketika aku mengusap-usap meja berpikir bahwa aku meletakkan smartphoneku di atas sana, aku tidak dapat menemukannya. Aneh. Aku menyalakan lampu di kamar dan akhirnya menemukan smartphoneku di bawah bersama dengan pengisi dayaku.

Mungkin aku kebetulan mendorongnya saat tidur atau mungkin gempa bumi memindahkannya saat aku sedang... Tidak, seharusnya tidak ada banyak gempa bumi di Singapura. Ini berarti kecelakaan. Aku mencoba menyalakan layar, tetapi tetap hitam. Aku menduga aku tidak mengisi daya dan sekarang bateraiku tinggal 0%. Aku semakin panik. Itu berarti, bahkan jika aku mendapatkan pesan atau sesuatu seperti itu, aku tidak akan melihatnya. Dan jika Ayase-san merespon, maka aku juga tidak tahu-

Oke, tenanglah...

Aku menghubungkan smartphoneku ke pengisi daya dan menunggunya untuk booting. Sebuah logo yang familiar muncul di layar dan jantungku berdebar-debar ketika melihat ada pesan masuk.

"...Hanya Maru, ya."

Dia memberitahuku bahwa sudah waktunya sarapan, tapi hanya itu satu-satunya pesan yang kudapat. Hanya untuk memastikan, aku memeriksa apakah LINE telah diperbarui sejak kemarin dan kemudian meninggalkan ruangan. Karena smartphoneku kehabisan daya, aku harus meninggalkannya di pengisi daya untuk saat ini.

"Yo, Asamura. Kesiangan, ya?"

"Bateraiku habis, kau tahu," jawabku sambil mulai berjalan-jalan di buffet.

Sambil menyantap sarapanku, aku mulai berpikir. Aku tidak berpikir baterai nya akan terisi penuh dalam jangka waktu yang singkat ini. Karena itu, aku tidak bisa menunggu di kamarku sampai baterai terisi penuh. Memang, kami diberi kebebasan yang cukup banyak dalam kelompok kami, tetapi jika aku hanya tinggal di kamarku sepanjang waktu, orang akan mengira aku sedang sakit.

"Maru, apa menurutmu kita punya waktu untuk mampir ke minimarket setelah ini?"

"Nggak ada kegiatan juga. Jadi, seharusnya baik-baik saja. Emangnya kenapa? Panggilan alam, ya?"

Bahkan jika memang benar, aku benar-benar berharap dia tidak akan mengatakannya begitu saja.

"Aku punya beberapa pil pahit kalau kau membutuhkannya."

"Tidak, aku baik-baik saja. Aku butuh pengisi daya portabel. Kira-kira di sekitar sini ada yang menjual tidak, ya?"

"Waktu tidak akan menjadi masalah. Ada banyak jalan menuju Pulau Sentosa. Jadi, selama kita tidak terlambat ke titik pertemuan, itu akan baik-baik saja."

"Mengerti."

"Aku punya beberapa baterai cadangan. Mau menggunakannya?" Maru menawarkan, tetapi aku menolaknya.

Dia mungkin akan membutuhkannya dalam keadaan darurat.

"Ngomong-ngomong, ke mana perginya gadis-gadis?"

Kemarin, kami berenam pasti sarapan bersama. Maru memberi isyarat dengan dagunya dan menyuruhku untuk melihat ke sampingku. Ketika aku melakukannya, aku melihat sekumpulan besar gadis-gadis yang duduk di tiga meja yang disatukan, mengadakan semacam pertemuan. Mereka berasal dari berbagai kelas juga. Bukan hanya kelas kami saja.

"Mereka akan berjalan-jalan bersama?"

"Sepertinya begitu."

"Bagus dong."

Selalu menyenangkan untuk memiliki rencana.

"Yah, Shinjou juga sama populernya seperti biasa."

"Shinjou?"

Komentar Maru membuatku melihat kelompok itu sekali lagi dan kemudian aku melihat beberapa anak laki-laki bercampur juga. Di tengah-tengah mereka adalah Shinjou dari kelas di sebelah kelas kami. Ketika dia mengangkat kepalanya, tatapannya bertemu denganku dan dia melambaikan tangan padaku. Aku melakukan hal yang sopan dan melambaikan tangan kembali.

"Tunggu... Kalian berdua saling kenal?" Yoshida menatapku dengan kaget.

"Yah, begitulah."

"Serius, aku heran bagaimana dia bisa masuk ke dalam kelompok gadis-gadis dengan mudah. Membuatku iri saja."

"Begitukah?"

Bukankah karena mereka berhubungan baik? Yah, bagiku. Menjadi bagian dari kelompok besar seperti itu hanya akan membuatku lelah saja.

"Asamura, kenapa kau begitu santai melihatnya. Kau bertingkah seperti kau punya pacar atau semacamnya!"

"Ehh? Aku tidak bisa-"

"Bukan berarti kau tidak bisa. Itu akan membuatku memiliki lebih sedikit saingan. Tapi Asamura... Kenapa kau tetap berpandangan tenang seperti itu? Atau... apa kau benar-benar punya pacar, bajingan?!"

Aku panik dan menggeleng-gelengkan kepalaku beberapa kali.

Apa yang membuatnya begitu marah? Juga, kita masih ditengah-tengah sarapan kau tahu.

"Sial... Padahal aku ingin bergaul dan bersenang-senang dengan seorang gadis... Tapi masa mudaku sudah kelabu. Aku ingin berlari-lari di dunia mimpi dan mengejar tikus sambil berpegangan tangan."

Jangan mengejar tikus malang itu. Dia tidak melakukan kesalahan apapun.

"Hei, Maru. Tidak bisakah kau memanfaatkan pengetahuanmu yang luas untuk memberitahuku satu atau dua kutukan yang bagus? Sesuatu yang akan membuatnya botak dalam 20 tahun atau dia akan menjadi gemuk. Terserah apa saja."

Itu adalah kutukan-kutukan yang sangat spesifik.

"Aku tidak tahu kutukan... Tapi mungkin sesuatu seperti Eko Eko Azarak |1|, Elohim Essaim |2| atau 'Aku akan menuntut dan menuntaskan kebencianku!' |3| mungkin? Pokoknya, hentikan itu.. Yoshida."

"Kenapa?"

"Pikirkanlah tentang hal itu. Kau tidak pernah tahu apa yang bisa terjadi. Bagaimana kalau kita bertemu dengan kelompok lain seperti kemarin? Apa kau hanya akan mengutuk mereka?"

"Itu... benar!"

Ekspresi Yoshida langsung bersinar seperti dia merasa jauh lebih damai. Aku rasa itu berhasil.

"Asamura, dia hanya mengoceh kan hal random. Abaikan saja."

"Yah, terserah deh"

Dia tampak sangat membenci mereka.

"Ingat: Mereka yang dengan bebas mengutarakan pikiran dan keinginan mereka adalah apa yang kau sebut normie. Mereka yang hidup dalam kegelapan seperti kita tidak memiliki keberanian untuk mengutarakan pikiran kita."

Benar. Entah bagaimana itu masuk akal, tetapi juga tidak selamanya benar.

"....Hal yang sama berlaku untukmu, Maru?"

"Tidak ada komentar."

Setelah kami selesai menyantap sarapan kami, Maru dan Yoshida kembali ke kamar dan aku menuju ke minimarket dan membeli charger portabel. Ini bekerja dengan baik dan juga membutuhkan baterai. Dan karena aku membeli beberapa dari mereka, itu akan membuatku tetap stabil untuk sisa hari itu. Aku kembali ke kamar dan memeriksa smartphoneku, yang baru saja melewati 20% pengisian daya. Seperti yang kupikirkan, aku tidak melihat ini selesai pada saat kami pergi. Dan aku juga belum mendapat pesan dari Ayase-san. Aku membayangkan dia juga sibuk pagi ini.

* * *

Bus kami sedang menuju Pulau Sentosa sekarang. Dalam perjalanan ke sana, aku mendapat pesan lain dari Ayase-san.

> Saki: Beritahu aku jika kamu memiliki waktu luang.

Dia mungkin ingin aku menghubunginya saat aku menemukan kesempatan untuk keluar dari grup. Jika aku harus menebak, mereka mungkin juga sedang menyeberangi jembatan untuk menuju ke Pulau Sentosa sekarang. Dia bahkan mungkin berada di salah satu bus di depan atau di belakang kami. Transportasi umum seperti ini memiliki wifi gratis, bagaimanapun juga.

Dia seharusnya segera mendapat tanggapan, bukan? Dan apakah dia akan berada dalam keadaan dimana dia bisa melihatnya?

"Asamura," Maru, yang duduk di sampingku di dalam bus, tiba-tiba memanggilku, yang cukup mengejutkanku hingga membuatku hampir menjatuhkan ponselku.

"Apa?"

"Aku memang bilang kita bebas bergerak hari ini, tapi apa rencanamu?"

"Hah? Bukankah kita sudah memutuskannya?"

"Oh, benar. Hm, hmmm," gumam Maru sambil menatap smartphonenya, menggeser layarnya.

"Apa kau sudah membeli souvenirmu?"

"Eh? Aku berpikir untuk membelinya besok."

Jadwal kami untuk besok cukup longgar, karena kami hanya harus pulang ke rumah. Namun, kami diberi waktu tambahan di bandara sehingga kami bisa membeli oleh-oleh. Aku berpikir untuk membeli sesuatu untuk Ayahku, tetapi karena aku tidak terlalu sering bertemu dengan kerabatku, aku tidak perlu membeli terlalu banyak. Meskipun aku harus membeli sesuatu untuk rekan kerjaku. Seperti Senpaiku yang dengan hati-hati (?) menjagaku.

"Bukan itu," Maru merendahkan suaranya saat ia melanjutkan. "Maksudku untuk adikmu."

...Hah?
 
Sejujurnya, pikiran itu bahkan tidak terlintas dalam pikiranku. Pada awalnya, dia hanya tahu tentang aku memiliki adik perempuan baru, yang kupikir jauh lebih muda. Tapi sekarang dia tahu bahwa adik perempuan yang dimaksud adalah Ayase-san.

"Kenapa kau tidak membeli cinderamata dari tempat yang kalian berdua kunjungi...?"

Cinderamata adalah untuk memberikan orang lain sebuah fragmen pengalaman untuk sesuatu yang belum mereka alami. Aku tidak melihat alasan untuk membeli cinderamata untuk Ayase-san, yang sedang dalam perjalanan yang sama persis ke Singapura sepertiku.

"Ah, kurang jelas ya. Aku bertanya apa kau ingin membelikan sesuatu untuknya. Aku yakin itu akan menjadi kenangan yang indah."

"Ah."

Jadi, itu maksudmu. Aku mengerti sekarang. Kembali ke SMP, kau akan saling membelikan pedang kayu atau panji-panji atau semacamnya. Memikirkannya kembali sekarang, aku mungkin membelinya saat itu juga. Namun, setiap kali aku melihat panji-panji di kamarku, itu mengingatkanku pada teman-teman sekelasku saat itu. Dan itu membuatku tersenyum tentang betapa bodohnya kami.

Kenangan perjalanan ini, ya?

Menurutku itu adalah sesuatu yang harus kita berdua beli bersama. Atau aku bisa memberikannya sebagai hadiah. Setidaknya itu terdengar menyenangkan.

"Apa kau punya rekomendasi?" Aku bertanya pada Maru.

"Pertanyaan bagus. Yoshida dan aku akan pergi ke USS sekarang dan ada banyak toko di dalam dan di luar itu."

USS mengacu pada 'Universal Studios Singapore'. Ini mungkin berada di puncak daftar hal-hal yang harus dilihat di Pulau Sentosa. Akan ada banyak siswa/i yang akan segera menuju ke sana. Bahkan, para gadis dalam kelompok kami mengatakan bahwa mereka juga akan ke sana. Mungkin Ayase-san juga akan berada di sana. Kalau begitu, menyelinap keluar dan menemuinya akan terbukti mudah.

Berdasarkan kecepatan perjalanan kami saat ini, kami akan sampai ke pulau itu sekitar tengah hari. Aku tidak tahu di mana dia akan makan siang, tetapi mungkin ide yang bagus bagiku untuk menyelesaikan makan siangku sebelum kami bertemu. Dan mendapatkan hadiah untuknya mungkin akan lebih baik jika itu adalah kejutan. Jadi, aku tidak akan memberitahunya apa pun sampai saat itu. Dengan semua yang sudah diputuskan, aku mengirim pesan kepada Ayase-san.

> Yuuta: Maaf, aku baru bisa balas! Aku akan memastikan untuk menyelinap keluar sore ini. Jadi, kita bisa bertemu nanti.

Dia segera membaca pesanku dan membalasnya.

> Saki: Kamu tidak perlu memaksakan diri untuk meluangkan waktu. Cukup beritahu aku kapan waktu yang terbaik untukmu.

Setelah membacanya, aku berpaling ke arah Maru dan mengatakan bahwa aku akan bergabung dengan mereka dalam perjalanan mereka ke USS.

* * *

Di pintu masuk, aku berpisah dari Maru dan Yoshida. Aku pergi ke pusat perbelanjaan untuk makan dan kemudian berjalan-jalan di dalam untuk mencari hadiah.

Aku ingin tahu apa yang akan membuat Ayase-san senang mendapatkannya. Mainan mewah? Beberapa perhiasan? Mungkin parfum yang bergaya? Tidak, bukan itu...

Kata kunci untuk kali ini adalah 'Kenangan'. Yakni, sesuatu yang akan mengingatkannya pada saat kami datang ke Singapura bersama-sama (secara teknis) ketika kami berusia 17 tahun. Jika aku membelikannya sesuatu yang terlalu berhubungan langsung dengan USS, dia mungkin akan salah mengira bahwa itu adalah semacam merchandise Osaka.

Artinya, hadiah itu harus menjadi sesuatu yang unik untuk negara ini ...

Aku melihat sekeliling dan melihat gantungan kunci Merlion |4|. Ini benar-benar terasa seperti suvenir yang sempurna untuk dibawa dari Singapura, tapi... rasanya tidak ada bedanya dengan panji-panji yang kudapatkan di SMP. Pada akhirnya, aku memutuskan untuk membeli dua buah gantungan kunci. Lebih baik memiliki sesuatu untuk berjaga-jaga jika aku berjalan-jalan dan kembali dengan tangan kosong. Aku menyelesaikan pembayaran dan memutuskan untuk keluar untuk berburu hadiah ketika smartphoneku bergetar. Ketika aku mengeluarkannya, aku melihat ada pesan dari Maru. Belum lagi sebuah panggilan telepon. Kurasa ini pasti sesuatu yang mendesak.

"Ya, ini-"

Bahkan sebelum aku bisa menyelesaikan kalimatku, Maru berbicara.

'Bisakah kamlu kembali ke pintu masuk?'

"-Aku bisa."

Aku segera bergegas keluar dari toko dan bergegas kembali ke mal.

'Kalau begitu tolong lakukan. Seseorang pingsan karena anemia.'

"Siapa?"

'Aku tidak tahu nama mereka. Hm?'

Seseorang pasti sedang berbicara dengan Maru.

'-Makihara. Seorang gadis dari kelompok kelas sebelah. Aku melihat sekelompok orang dan bertanya apa yang terjadi ketika-'

"Mengerti. Aku tidak butuh detailnya sekarang. Apa dia baik-baik saja?"

'Ya. Tidak ada-'

Kata-kata Maru terputus. Aku melihat ke arah telepon dan melihat bahwa panggilan itu telah terputus. Entah karena Maru berjalan ke suatu tempat atau karena aku kehabisan jangkauan. Aku mendapatkan intinya dan itu sudah cukup. Aku menatap langit-langit yang tembus pandang di atas kami. Seharusnya, Singapura seharusnya berada di musim hujan. Namun, langit tidak bisa lebih biru lagi. Dan suhunya sangat tinggi. Bahkan membuat tenggorokanku sedikit sakit. Pasti aku terkena sengatan panas. Aku melihat smartphonekeku, tetapi tidak ada pesan lanjutan yang datang dari Maru. Setelah sekitar 10 menit, aku sampai di tempat kami awalnya berpisah. Aku bisa melihat tubuh besar Maru di seberang gerbang, dengan gadis-gadis yang memiliki ekspresi khawatir dan Yoshida membawa seseorang di punggungnya. Itu pasti gadis yang pingsan. Aku melakukan jogging terakhir untuk beberapa meter terakhir, saat Maru melihatku dan berbicara.

"Maaf tentang ini, Asamura."

"Jangan khawatir. Jadi, apa yang terjadi?"

"Kami menyuruhnya untuk beristirahat di ruangan yang sejuk untuk sementara waktu. Seorang karyawan datang untuk memeriksanya, tetapi dia sudah kembali bersama kami dan dia merasa jauh lebih baik. Mereka baru saja memanggil wali kelasnya."

Para gadis mengangguk-angguk mendengarnya.

"Hal yang sama terjadi di tempat lain. Jadi, Tsuji-sensei pergi ke sana terlebih dahulu..."

Menurut apa yang diberitahu, Makihara-san tidak pernah terlalu baik dengan cuaca panas. Mungkin dia sudah agak mendingan, tetapi mereka memutuskan untuk membawanya kembali ke hotel.

"Maafkan aku..." Gadis itu meminta maaf dengan suara lemah.

Aku tahu mengapa Maru memanggilku ke sini dan mengangguk.

"Jadi, kau ingin aku memastikan dia kembali ke hotel dengan selamat?"

Salah satu gadis itu angkat bicara. "....Tidak, seharusnya kita yang melakukan itu. Yuka adalah bagian dari kelompok kami dan kami tidak bisa merepotkanmu dengan ini."

Jadi, masalahnya adalah tentang siapa yang akan pergi bersama mereka, ya?

Kembali ke hotel sekarang berarti kau mungkin tidak akan bisa keluar lagi. Karena itu, para guru sibuk di tempat lain dan kita tidak bisa membuatnya pulang sendiri dalam keadaan lemahnya.

"Aku tahu kau punya rencana lain. Jadi, aku ingin menghindari meminta bantuanmu, tapi..."

"Aku mengerti. Kau adalah pemimpin kelompok."

Hari ini, kelompok kita berada di USS. Maru harus tetap kembali jika terjadi sesuatu yang lain. Dan akan sia-sia jika memaksa seseorang untuk pergi setelah mereka membayar tiket. Untungnya, aku hanya memeriksa pusat perbelanjaan di sebelah studio. Jadi, aku tidak perlu membayar biaya masuk. Dan ada juga kekhawatiran membayar ongkos taksi yang lumayan besar. Aku mengerti mengapa dia memanggilku untuk ini.

"Ya... Bolehkah aku meminta bantuanmu di sini? Aku akan membayarnya nanti."

"Jangan khawatir tentang hal itu."

"Aku akan menggendongnya sepanjang sisa perjalanan pulang. Asamura, kau ambil barang-barangnya."

"Eh? Ah, Yoshida!"

Bahkan sebelum aku bisa mengatakan apa-apa, Yoshida berjalan melalui gerbang tiket tanpa ragu-ragu. Orang yang paling bingung adalah gadis yang dibawanya.

"Um! Aku bisa berjalan, jadi..."

"Sudah nggak apa-apa. Aku sudah terlatih untuk hal ini. Udah nanggung juga. Maaf meninggalkanmu, Maru."

"Aku tidak keberatan... Oh, baiklah. Asamura, ini barang-barang milik Yoshida. Juga, barang-barangnya.."

Salah satu gadis itu menyerahkan ransel yang mungkin miliknya. Di dalamnya ada beberapa botol air dan obat-obatan. Pemimpin kelompok untuk para gadis itu mengatakan bahwa dia akan ikut juga.

"Aku bisa menggendongnya jika terlalu sulit, kau tahu?"

"Aku bisa mengatasinya tanpa masalah. Kau harus fokus untuk membawa kita kembali ke hotel."

"Ahhh."

Benar, bahasa Inggris. Yoshida tidak terlalu pandai berbicara bahasa Inggris. Dibandingkan dengannya, setidaknya aku bisa berkomunikasi dengan cukup baik. Dan pemimpin kelompok perempuan itu juga tidak tampak terlalu percaya diri dengan kemampuan bahasa Inggrisnya. Sebagai permulaan, kami mencari area taksi, yang tidak terlalu jauh dari gerbang tiket depan. Seperti yang kau harapkan dari tempat wisata populer. Aku ingat bahwa pintu taksi di Singapura tidak terbuka secara otomatis. Jadi, aku membuka pintu di belakang terlebih dahulu dan kemudian duduk di dalam bersama tiga orang lainnya. Saat udara dingin dari AC berhembus ke kulitku, aku merasa lega. Aku mendengar suara samar-samar meminta maaf, diikuti oleh Yoshida yang mencoba menghibur gadis itu.

Aku berbicara dengan sopir taksi dan memberinya petunjuk arah ke hotel kami dan kami segera berangkat menyusuri jalan yang sama dengan tempat asal kami. Sepanjang perjalanan taksi, gadis yang pingsan itu meminta maaf lagi dan lagi, tetapi Yoshida hanya mengatakan bahwa kita harus saling membantu pada saat dibutuhkan. Setelah beberapa saat, kami sampai di hotel. Berkat Maru yang menghubungi hotel sebelumnya, seorang guru sudah menunggu kami dan menerima gadis itu. Maklum saja, karena lantai yang ditempati para gadis itu terlarang bagi kami para pria. Ketika kami berpisah, gadis itu memanggil Makihara Yuka-san, yang wajahnya masih agak pucat dan pemimpin kelompok gadis-gadis itu meminta maaf sekali lagi dan berterima kasih kepada kami. Guru dan ketua kelompok kemudian membawa gadis itu ke kamarnya.

"Seharusnya tidak apa-apa bagiku untuk menggendongnya ke kamar, setidaknya."

"Aku bisa mencium kekecewaan dan motif tersembunyi dari sini."

"Yah, aku tidak akan berbohong."

"Sangat jelas."

"Pokoknya, aku senang kita bisa mengantarnya dengan selamat," Yoshida tersenyum dan aku mengangguk. "Apa yang akan kau lakukan sekarang, Asamura?"

Yoshida mengatakan bahwa ia lelah. Jadi, dia ingin tidur siang. Bagaimanapun juga, ia telah menggendong gadis itu sepanjang waktu kecuali saat kami naik taksi. Dia melakukan pekerjaan yang hebat. Tapi bagiku... Aku menyadari aku melupakan sesuatu dan mengeluarkan smartphone-ku. Ada dua pesan baru yang masuk. Keduanya dari Ayase-san.

> Saki: Kami sedang menuju ke Pantai Palawan sekarang.

> Saki: Aku akan menunggu di sana, dan aku akan memberitahumu kalau kami pergi.

Oh, sial. Sudah berapa menit sejak saat itu?

"Aku harus pergi."

"Eh?"

"Aku akan kembali ke pulau. Aku akan menghubungimu nanti. Bilang pada Maru saja!"

"...Apa? Hei, Asamura?!"

Aku mendengar Yoshida memanggilku, tapi aku hanya berlari keluar dari hotel.

* * *

Aku membuka aplikasi peta dan memeriksa untuk menemukan rute terpendek ke Pantai Palawan. Berjalan kaki sepanjang jalan akan memakan waktu 2 jam 10 menit-ini tidak mungkin. Menggunakan kereta bawah tanah dan monorel... Juga akan memakan waktu 1 jam.

"Naik taksi akan lebih cepat, bukan?"

Aku mencarinya dan katanya akan memakan waktu sekitar 20 menit. Jadi ketika aku meninggalkan hotel, aku memanggil taksi berikutnya yang kulihat, meminta mereka untuk membawaku ke Pantai Palawan di Pulau Sentosa. Aku tidak tahu di mana tepatnya dia menunggu, tetapi ini mungkin kesempatan terbaikku. 

Untungnya, aku belum membeli hadiah untuk Ayase-san. Jadi, aku punya cukup sisa uang untuk-Ah. Aku hanya membeli gantungan kunci!

Aku menggertakkan gigiku dalam penyesalan dan menyerah pada hadiah itu.

Yang lebih penting sekarang adalah Ayase-san sedang menungguku. Sambil memelototi smartphoneku, aku secara berkala melirik keluar jendela. Lagipula, tidak ada wifi... Sejak Ayase-san mengirimiku pesan bahwa dia berada di Pantai Palawan, aku belum mendapatkan kabar terbaru.

Mungkin dia masih di sana atau mungkin dia sudah pindah? Entahlah, tetapi aku harus bergegas.

Waktu terasa berlalu lebih cepat dari biasanya, tetapi mobil terasa begitu lambat.

Apa jembatan menuju Pulau Sentos sepanjang ini sebelumnya?

Akhirnya, aku tiba di pulau itu dan aku bisa melihat USS di sebelah kananku saat taksi terus melaju. Kemudian, pengemudi tiba-tiba menanyakan sesuatu kepadaku. Aku mencoba menerjemahkan kata-katanya secara langsung, seperti yang dilakukan Ayase-san. Aku tidak berpikir bahwa latihan kami akan membuahkan hasil di sini. Jika aku harus menebak, dia ingin bertanya di mana akan menurunkanku di pantai...mungkin.

"Um, sampai kita melihat pantai."

"Kita sudah sampai."

.... Eh?

Aku melihat ke arah yang ditunjuk pengemudi. Ke kiri dan kanan, aku bisa melihat langit biru sedikit di depan kami dan warna yang membentur tanah perlahan-lahan mulai menebal. Itu adalah laut.

"Kalau begitu, ke kanan jalan ini. Sampai Anda bisa melihatnya."

Pengemudi itu mengangguk. Perlahan tapi pasti, laut yang terlihat semakin besar. Kami sampai di terminal dan aku diturunkan dari taksi. Setelah membayar ongkos, aku berdiri di trotoar pejalan kaki. Karena tidak tahu ke mana harus pergi, aku memeriksa smartphoneku dan melihat ada jaringan WiFi.

Nice... 

Tapi, tidak ada lagi pesan yang masuk sejak itu.

Sebagai permulaan, aku memilih untuk menjelaskan kepada Maru ke mana aku akan pergi. Dia mungkin tidak tahu bahwa aku kembali ke pulau itu. Dan karena dia tidak tahu kalau aku akan menemui Ayase-san, dia mungkin mulai mengkhawatirkanku. Sementara aku melawan keinginanku untuk mulai berlari-lari secara acak, aku selesai memberitahunya dan kemudian memeriksa pesan Ayase-san. Jika dia sudah pindah, maka aku harus mengejarnya sekali lagi. Tetapi pada saat itu, sebuah pesan baru muncul.

> Saki: Aku menunggu di jembatan gantung di Pantai Palawan. Tolong temui aku.

Aku panik dan merespon.

> Yuuta: Maaf membuatmu menunggu. Aku sedang dalam perjalanan sekarang.

Dan kemudian aku mulai berlari. Seorang anak SMA Jepang berlari dengan panik di sepanjang jalan menuju laut, ingin bertemu dengan teman sekelasnya; Jika orang-orang melihat ini, aku bertanya-tanya pikiran apa yang akan memenuhi pikiran mereka? Aku hanya merasa tidak enak karena hal ini mungkin berdampak negatif pada nama baik SMA Suisei. Smartphone di sakuku bergetar dan aku mengeluarkannya sambil terus berlari. Itu dari Maru. Yoshida mungkin memberitahunya. Dia hanya menulis satu baris padaku.

> Maru: Tidak apa-apa. Kami akan menunggumu. Juga, maaf sudah merepotkanmu.

Dia menyebutkan sebuah hubungan, yang membuatku terkesiap sejenak, tapi aku tidak punya waktu untuk meminta penjelasan dari Maru. Aku hanya memasukkan kembali smartphoneku ke dalam saku dan terus berlari. Aku teringat pesan Ayase-san. Dia langsung memintaku untuk datang. Aku belum pernah melihat dia langsung meminta seperti ini sebelumnya. Ketika aku memikirkan bagaimana perasaannya ketika mengirim pesan ini, aku tidak bisa berhenti berlari.

Semua pasangan melakukan hal ini - aku tidak tahu apakah itu benar. Tapi paling tidak, aku tidak bisa membuat Ayase-san merasa kesepian dan sedih hanya untuk mencoba terlihat keren. Aku terus berlari ke arah Pantai Palawan dan semakin dekat, semakin banyak orang yang bisa kulihat. Setiap kali aku berpapasan dengan penduduk setempat, turis lain atau bahkan pasangan, mereka berbalik untuk melihatku. Aku bisa merasakan tatapan mereka saat aku melewati mereka. Tapi, aku tidak mempermasalahkannya. 

Mungkin beberapa orang yang kulewati bisa saja teman sekelasku.. Terus, apa masalahnya?

Aku tidak peduli jika hubungan kami ketahuan. Yang terpenting bagiku sekarang adalah Janjiku kepada Saki.

* * *

Karena suhunya sudah sedikit mendingin, aku berhasil berlari sampai ke sana. Ketika aku sampai di pantai, matahari sudah mulai terbenam di bawah cakrawala barat. 

Jadi, di mana jembatan gantungnya?

Aku melihat ke kiri dan ke kanan dan melihat garis sempit yang menghubungkan pulau utama dengan pulau yang lebih kecil di kejauhan, nyaris tidak menggantung di atas air. Saat aku mendekat, aku bisa tahu bahwa itu bukan garis dan sebenarnya jembatan gantung dan aku melihat siluet seorang gadis yang kukenal berdiri di tengah-tengah jembatan itu.

Di sekitar jembatan ditutupi oleh pepohonan, yang menutupi jembatan untuk sesaat. Beberapa turis berkumpul di depannya, tetapi tidak ada yang mencoba menyeberangi jembatan. Hanya karyawan yang berdiri di samping papan reklame yang menandai titik awal jembatan yang tersisa. Mereka menyapaku dan memintaku untuk berhati-hati... kurasa. Aku mengucapkan terima kasih kepada mereka dan melanjutkan perjalanan. Akhirnya, aku berdiri di awal jembatan.

Gadis yang berdiri di tengah, menyaksikan matahari terbenam, sekarang berbalik ke arahku. Rambutnya yang pendek namun berwarna cerah bersinar terang di tengah hijaunya pulau kecil di belakangnya. Dia menatapku dan tatapan kami bertemu.

Aku ingin berlari ke sisinya, tetapi ketika aku menginjak jembatan, aku bisa merasakan guncangan dan getaran. Aku tidak ingin menakut-nakutinya, tetapi aku juga tidak bisa melangkah pelan-pelan. Dengan setiap langkah berirama, aku bisa merasakan getaran samar di bawah telapak kakiku saat jembatan berguncang. Ekspresi wajah Saki berubah dari terkejut menjadi gembira dalam sekejap, hanya untuknya yang memalingkan muka. Dan kemudian aku menghampirinya.

"Maaf... Butuh waktu lama bagiku..." Aku berkata di antara tarikan napas.

Dia mengangkat kepalanya dan menatapku.

"Aku sudah menunggumu tau," katanya sambil menatapku dengan matanya berkedip.

Begitu, dia marah 'ya..

Mata berbicara lebih banyak daripada mulut, seperti yang mereka katakan. Tidak ada software penerjemahan di dunia ini yang bisa menyampaikan emosinya lebih akurat daripada apa yang bisa aku rasakan sekarang. Narasaka-san benar, bagaimanapun juga. Bahkan saat itu, ekspresinya berbicara sendiri. Lebih dari yang bisa dilakukan oleh kata-kata apapun. Namun, tatapan marahnya segera menghilang saat dia mengalihkan tatapannya sekali lagi.

"Tidak adil bagiku untuk memaksakan semua perasaanku padamu, ya?"

"Tidak, aku senang kau jujur padaku," kataku dan mendekatinya.

Aku bisa melihat bahu kecilnya sedikit bergetar, membuatku bisa langsung merasakan betapa kesepiannya dia.

"Maaf, ya," bisikku sambil meletakkan tanganku di bahunya dan dia menggelengkan kepalanya.

"Kamu datang untukku, jadi..." Dia berkata sambil berjalan selangkah ke arahku-membungkus lengannya di punggungku. "Aku senang kita bisa bertemu seperti ini."

Dia membenamkan wajahnya di dadaku, membuatku tidak mungkin mengetahui ekspresi apa yang dia buat. Aku juga memeluknya dan menariknya lebih dekat. Dia mengangkat kepalanya, menatapku dari jarak yang tidak terlalu jauh. Kami mengangguk dan kemudian berhenti berpikir. Selain anting-antingnya yang bersinar merah samar-samar karena matahari terbenam, aku tidak ingat apa-apa. Aku hanya terfokus pada bibir kami yang saling tumpang tindih saat kami berbagi ciuman.





|| Previous || ToC || Next Chapter ||

1. Sebuah manga


3 Catchphrase dari manga "Matarou ga Kuru".

4 Maskot resmi Singapura
Post a Comment

Post a Comment

close